Anda di halaman 1dari 43

MAKALA REMATIK

Di susun oleh :
Kelompok IV

RIVALDO ELIA SANU


SRI AMINA TUKUMULY 21212020
CLARISTA EKA SUSANA MAUNINO 21212038
XAVERIUS MARKUS KAAT 21212043

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GUNUNG SARI


MAKASSAR
T.A 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat TUHAN YANG MAHA ESA
yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Rheumatoid Arthritis” ini dengan
sebaik baiknya. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sistem
Muskuloskeletal.
Makalah ini terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu kami
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Imelda Appulembang,S.Kep,MNS selaku Dosen Sistem Muskuloskeletal
yang memberikan motivasi, bimbingan, serta arahan.
2. Teman-teman yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

MAKASSAR 7 MARET 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................


DAFTAR ISI...............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................
A. Latar Belakang........................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................
C. Tujuan Penulisan.....................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI......................................................................
A. KONSEP TEORITIS..............................................................
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN................................
C. PENDIDIKAN KESEHATAN
D. PENYIMPANGAN KDM......................................................
E. FUNGSI ADVOKASI............................................................
BAB III JURNAL.......................................................................................
BAB IV PENUTUP....................................................................................
A. Kesimpulan.............................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rematik adalah orang yang menderita arthritis atau di sebut juga radang
sendi. Tiga jenis artritis yang paling sering diderita adalah osteoarthritis, arthritis
gout, dan rheumatoid arthritis yang menyebabkan berbenjol pada sendi atau radang
pada sendi secara serentak (Utomo, 2005).
Di Indonesia penyakit rematik yang paling banyak ditemukan dan dijumpai
adalah osteoarthritis. Osteoarthritis merupakan suatu penyakit degeneratif
persendian yang disebabkan oleh beberapa faktor. Penyakit ini mempunyai
karateristik berupa terjadinya kerusakan pada kartilago (tulang rawan sendi).
Kartilago merupakan suatu jaringan keras bersifat licin yang melingkupi sekitar
bagian akhir tulang keras di dalam persendian. Jaringan ini berfungsi sebagai
penghalus gerakan antar tulang dan sebagai peredam (shock absorber) pada saat
persendian melakukan aktivitas atau gerakan. Gejala osteoarthritis bersifat
progresif, dimana keluhan terjadi perlahan- lahan dan lama-kelamaan akan
memburuk (Helmi, 2012).
Tenaga kesehatan yang menangani kasus osteoarthritis salah satunya adalah
fisioterapi. Menurut Fukuda (2011), dilihat dari aspek fisioterapi, Osteoarthritis
dapat menimbulkan bermacam-macam gangguan seperti impairment yaitu terjadi
penurunan kekuatan otot, adanya nyeri yang mengakibatkan lingkup gerak sendi
terbatas, terjadi spasme pada otot, dan disability yaitu terjadi ketidak mampuan
dalam melakukan aktivitas tertentu contoh berlutut, berdiri lama, bangkit dari
duduk, dan jongkok. Akibat dari menurunnya kemampuan gerak. Bahkan pada
tingkat functional limitation seperti mengalami gangguan saat berjalan, naik turun
tangga, dan saat berlari. Penderita osteoarthrit di Indonesia cukup tinggi yaitu pada
laki-laki
15,5% dan pada perempuan 12,7% dari seluruh penderita osteoarthritis, pada usia <
40 tahun penderita osteoarthritis mencapai 5% sedangkan pada usia 40-60 tahun
mencapai 30% dan pada usia > 60 tahun mencapai 65%.
(Mutiwara, 2016).

Osteoarthritis biasanya terjadi pada usia di atas 50 tahun. Di Amerika, di


laporkan bahwa terdapat lebih dari 60.000.000 penderita osteoarthritis, sampai
penyakit ini disebut sebagai penyakit pasca pensiun. Sebagian besar penderita
osteoarthritis kelihatannya menderita obesitas. Perempuan lebih banyak menderita
osteoarthritis daripada lelaki dan terutama pada usia lanjut. Sendi yang sering
dikenai osteoarthritis adalah sendi lutut, panggul dan beberapa sendi kecil di tangan
dan kaki (Yatim, 2006).
Nyeri lutut merupakan salah satu keluhan yang sering timbul dan sering
dijumpai pada kasus osteoarthritis. Sedangkan nyeri merupakan gejala klinik yang
sering dijumpai pada pasien osteoarthritis lutut terutama saat melakukan aktifitas
atau pembebanan yang berlebih. Akibat lanjut dari osteoarthritis adalah terjadi
penurunan aktifitas fungsional (Parjoto, 2000).

B .Rumusan Masalah

1. Apa Itu Konsep Dasar Penyakit Rematik


2. Apa Itu Konsep Asuhan Keperawatan Penyakit Rematik
3. Apa Itu Penyimpangan Kdm
4. Apa Itu Fungsi Advokasi Perawat Pada Pasien Reamatik

C.Tujuan

1. Untuk Mengetahui Konsep Dasar Penyakit Rematik


2. Untuk Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Penyakit Rematik
3. Untuk Mengetahui Penyimpangan Kdm
4. Untuk Mengetahui Fungsi Advokasi Perawat Pada Pasien Reamatik
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR PENYAKIT REMATIK

1. Pengertian

Istilah rheumatism berasal dari bahasa Yunani, rheumatismos yang berarti mucus,
suatu cairan yang dianggap jahat mengalir dari otak ke sendi dan struktur lain tubuh
sehingga menimbulkan rasa nyeri atau dengan kata lain, setiap kondisi yang disertai
kondisi nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal disebut reumatik termasuk penyakit
jaringan ikat (Ismayadi, 2017)
Rematik merupakan penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan tulang
rawan (kartilago) sendi dan tulang didekatnya, disertai proliferasi dari tulang dan jaringan
lunak di dalam dan sekitar daerah yang terkena (Priyanto, 2018). Rematik termasuk
dalam kelompok penyakit reumatologi yang menunjukan suatu kondisi nyeri dan kaku
yang menyerang anggota gerak atau system musculoskeletal, yaitu sendi, otot, tulang,
maupun jaringan disekitar sendi. (Hembing, 2017)
Penyakit rematik merupakan kelompok terbesar gangguan otot dan persendian
pada lansia karena frekuensinya yang tinggi. Memang kadang keluhan ini tersamarkan
oleh keluhan yang tidak jelas, penyakit penyerta yang tidak berhubungan dengan sistem
otot dan persendian, serta sering terjadi bersamaan dengan penurunan fungsi beberapa
sistem organ (Broto, 2017). Rematik adalah suatu bentuk arthritis (peradangan sendi yang
biasanya menyerang jari jari kaki, terutama ibu jari kaki ). Bisa juga menyerang lutut,
tumit, pergelangan kaki, pergelangan tangan, jari jari tangan dan siku (Soumya, 2016)
2. Jenis-jenis rematik

Ditinjau dari lokasi patologik maka jenis rematik tersebut dapat dibedakan dalam
dua kelompok besar, yaitu rematik artikuler dan rematik non artikuler. Rematik artikuler
atau arthritis (radang sendi) merupakan gangguan rematik yang berlokasi pada
persendian, diantaranya meliputi arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan gout arthritis.
Rematik nonartikuler atau ektra artikuler, yaitu gangguan rematik yang disebabkan oleh
proses diluar persendian, diantaranya bursitis, fibrositis, dan sciatica. (Hembing, 2017)
a. Rematik artikuler (arthritis)
1). Osteoartritis
Penyakit ini merupakan penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang
lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara klinis ditandai dengan nyeri,
deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan gerak pada sendi – sendi tangan dan sendi
besar yang menanggung beban. Osteoartritis adalah penyakit peradangan sendi yang
sering muncul pada usia lanjut. Jarang dijumpai pada usia dibawah 40 tahun dan lebih
sering dijumpai pada usia diatas 60 tahun.
2). Artritis Reumatoid

Artritis reumatoid merupakan radang yang umumnya menyerang pada sendi sendi
tangan dan kaki,yang semakin lama semakin bertambah berat sakitnya.
3). Gout artritis

Gout artritis adalah suatu bentuk artritis (peradangan sendi yang biasanya
menyerang jari jari kaki, terutama ibu jari kaki). Bisa juga menyerang lutut, tumit,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, jari jari tangan dan siku. Gout biasanya diturunkan
dalam keluarga. Hanya saja pada pria sering timbul tanpa gejala awal
sekitar umur 45 tahun. Bila dicetuskan oleh cedera ringan seperti memakai sepatu yang
tidak sesuai ukurannya, terlalu banyak makan makanan yang mengandung asam urat
seperti jeroan, alkohol, stress, infeksi dan obat obatan tertentu.
b. Rematik nonartikuler
1). Bursitis
Merupakan peradangan bursa yang menimbulkan rasa sakit pada satu atau lebih
kantong yang berisi cairan penutup dan pelindung ujung tulang. Bursa berfungsi sebagai
bantalan antara tulang, otot, dan tali otot.daerah yang biasanya terserang bursitis meliputi
bagian bawah otot bahu, siku, sendi pinggul, tempurung lutut, dan tumit. Bursitis terjadi
pada usia menengah dan mungkin serangannya tidak berlangsung lama.
2). Fibrositis

Merupakan suatu kondisi yang disebabkan inflamasi atau peradangan jaringan ikat
fibrous, terutama pada daerah leher, bahu, dan punggungbagian atas. Hal ini terjadi
karena berbagai hal. Umumnya, fibrositis disebabkan rasa sakit pada leher dan tulang
belakang akibat salah urat atau cedera ringan, serta adanya yang mengalami degenrasi
pada tulang rawan. Selain itu, dapat juga disebabkan karena kelelahan, kecemasan,dan
factor kejiwaan maupun psikis. Gangguan ini ditandai dengan rasa sakit, sensitive, dan
otot kaku. Fibrositis sering dijumpai pada usia lanjut, terutama wanita.
3). Sciatica

Merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh rasa sakit yang menjalar kebawah
dari punggung bagian bawah atau bokong hingga tungkai bawah sepanjang daerah saraf
sciatic, yaitu saraf terbesar tubuh yang terletak sepanjang
kaki. Umumnya, penyakit ini disebabkan tekanan pada saraf oleh diskus invertebralis
yang robek dan menonjol keluar dari sumsum tulang belakang atau ruas tulang punggung
yang bergeser (slipped disk).
3. Penyebab

Faktor penyebab dari penyakit ini belumdiketahui dengan pasti. Namun, faktor
genetik seperti produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA- DR) dan
beberapa faktor lingkungan diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini (Sudoyo,
2017). Faktor genetik seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR),
dari beberapa data penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengemban HLA-DR4
memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini. Rematik/pegal linu pada pasien
kembar lebih sering dijumpai pada kembar monozygotic dibandingkan kembar dizygotic
(Sudoyo, 2017).
Dari berbagai observasi menunjukkan dugaan bahwa hormon seks merupakan
salah satu faktor predisposisi penyakit ini. Hubungan hormon seks dengan rematik/pegal
linu sebagai penyebabnya dapat dilihat dari prevalensi penderitanya yaitu 3 kali lebih
banyak diderita kaum wanita dibandingkan dari kaum pria (Sudoyo, 2017). Faktor infeksi
sebagai penyebab rematik/pegal linu timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi
secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.
Dengan demikian timbul dugaan kuat bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan
oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen tunggal atau beberapa antigen
tertentu saja. Agen infeksius yang diduga sebagai penyebabnya adalah bakteri,
mycoplasma, atau virus (Sudoyo, 2017).
4. Faktor resiko

Menurut Priyanto, (2018) faktor yang mempengaruhi munculnya rematik


tergantung pada jenis rematiknya. Serangan pada jenis rematik yang satu dipengaruhi
oleh factor yang berbeda dengan rematik lainnya. Berikut beberapa hal yang
mempengaruhi timbulnya serangan rematik.
a. Factor usia

Rematik juga dipicu oleh faktor pertambahan usia. Setiap persendian tulang
memiliki lapisan pelindung sendi yan menghalangi terjadinya gesekan antara tulang. Dan
didalam sendi terdapat cairan yang berfungsi sebagai pelumas sehingga tulang dapat
digerakkan dengan leluasa. Pada mereka yang sudah berusia lanjut, lapisan pelindung
persendian mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental, menyebabkan tubuh
menjadi kaku dan sakit saat digerakkan. biasanya lebih banyak menyerang usia diatas 60
tahun. Tidak semua jenis rematik dipengaruhi oleh proses ketuaan (proses degenerative).
Ada juga rematik yang menyerang anak-anak dan usia muda seperti juvenile rheumatoid
arthritis yang menyerang anak usia 4-15 tahun.
b. Jenis Kelamin

Wanita lebih sering terkena rematik lutut dan sendi , dan lelaki lebih sering terkena
rematik paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan dibawah 45 tahun
frekuensi rematik kurang lebih sama pada laki dan wanita tetapi diatas
50 tahun frekuensi rematik lebih banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukkan
adanya peran hormonal pada patogenesis rematik.
c. Infeksi

Rematik pada persendian dapat disebabkan karena adanya infeksi virus atau
bakteri. Hal ini dapat mengakibatkan rasa sakit yang mendadak. Tanda-tandanya berupa
demam, nyeri pada persendian tulang dan otot, disertai dengan peradangan (seperti
bengkak, panas, dan bercak-bercak merah pada kulit).
d. Pekerjaan

Sikap badan yang salah dalam melakukan pekerjaan sehari-hari memudahkan


timbulnya reumatik nonartikular. Mengangkat beban berat dari lantai dengan badan
membungkuk dapat mengakibatkan sakit pinggang. Pada pemain tenis, karena seringnya
melakukan pukulan back hand yang keras atau cedera lain, dapat menimbulkan rasa nyeri
dan peradangan pada jaringan otot siku lengan yagn disebut dengan tennis elbow.
e. Jenis Makanan

Tidak semua jenis rematik dipengaruhi oleh faktor makanan. Rematik gout atau
asam urat merupakan satu-satunya jenis rematik yang serangannya sangat dipengaruhi
oleh pola makan. Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung purin dapat
meningkatkan kadar asam urat, yang menyebabkan terjadinya pengkristalisasian dalam
sendi. Agar terhindar dari penyakit gout, salah satu caranya adalah menjaga kadar asam
urat dalam darah di posisi normal, yaitu 5-7 mg%. Batasan tertinggi untuk pria adalah 6,5
mg% sedangkan untuk wanita 5,5 mg%. Di atas batas ini, biasanya akan terjadi
pengkristalan. Diet normal biasanya mengandung 600-1.000 mg purin per hari. Namun
bagi penderita gout, asupan purin harus dibatasi sekitar 100-150 mg purin per hari
(Suyono, 2015).
f. Faktor genetik atau keturunan

Faktor genetik atau keturunan hanya berpengaruh pada beberapa jenis rematik
tertentu, Faktor keturunan mempunyai peran terhadap terjadinya rematik. Sinovitis yang
terjadi acapkali dihubungkan dengan adanya mutasi genetik, yaitu gen Ank. Gen tersebut
berkaitan dengan peningkatan pirofosfat intraselular dua kali lipat, dimana deposit
pirofosfat diyakini dapat menyebabkan sinovitis. Pengaruh faktor genetik mempunyai
kontribusi sekitar 50% terhadap risiko terjadinya rematik tangan dan panggul, dan
sebagian kecil osteoarthritis lutut.
g. Psikologis

Depresi, stress, dan beban kecemasan yang disertai dengan kelelahan dan
ketidakmampuan menangani tuntutan fisik dapat mempengaruhi timbulnya penyakit
rematik, sikap mental yang salah tersebut merupakan sumber ketegangan otot yang
memacu timbulnya rematik. Rasa nyeri yang merupakan gejala komplek rematik dapat
bertambah buruk dalam keadaan stress, defresi dan gelisah.
5. Patofisiologi

Akibat peningkatan aktivitas enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks


tulang rawan sendi (proteoglikan dan kolagen) maka terjadi kerusakan setempat secara
progresif dan memicu terbentuknya tulang baru pada dasar lesi sehingga terbentuk
benjolan yang disebut osteolit. Proteoglikan adalah suatu zat yang membentuk daya
lentur tulang rawan, sedangkan kolagen adalah serabut protein jaringan ikat. Osteolit
yang terbentuk akan mempengaruhi fungsi sendi atau tulang dan menyebabkan nyeri jika
sendi atau tulang tersebut digerakkan (Suyono, 2015)
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu : Kapsula dan
ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya . Kapsula dan
ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range of motion) sendi
(Davies, 2018). Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada
permukaan sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan.
Protein yang disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi
sebagai pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan
peradangan pada sendi (Davies, 2018).
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu mekanoreseptor
yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang dikirimkannya
memungkinkan otot dan tendon mampu untuk memberikan tegangan yang cukup pada
titik-titik tertentu ketika sendi bergerak (Davies, 2018). Otot-otot dan tendon yang
menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika
pergerakan sendi memberikan tenaga dan akselerasi yang cukup pada anggota gerak
untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut meringankan stres yang
terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan (impact).
Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi sehingga
meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi untuk
menyerap goncangan yang diterima (Davies, 2018).
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan sendi
sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika bergerak.
Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai
penyerap tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya
rematik dapat terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut
tentang kartilago (Davies, 2018). Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago,
yaitu Kolagen tipe dua dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi
molekul – molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul
proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan pada
kartilago (Davies, 2018).
Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruha elemen
yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim pemecah matriks,
sitokin { Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor pertumbuhan.
Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan merangsang kondrosit untuk melakukan
sintesis dan membentuk molekul-molekul matriks yang baru. Pembentukan dan
pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor
lingkungan (Davies, 2018). Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM)
untuk memecah kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks
yang dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal rematik, aktivitas serta efek dari
MPM menyebar hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago (Davies, 2018).
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi pergantian matriks,
namun stimulaso IL-1 yang berlebih malah memicu proses degradasi matriks. TNF
menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida nitrit (NO), dan
protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi matriks. TNF yang
berlebihan mempercepat proses pembentukan
tersebut. NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan
proses pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya
rematik (Davies, 2018).
Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian matriks yang
lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi. Namun, pada
fase awal perkembangan rematik kartilago sendi memiliki metabolisme yang sangat aktif
(Davies, 2018). Pada proses timbulnya rematik kondrosit yang terstimulasi akan
melepaskan aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan
sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen akan
mudah mengendur (Davies, 2018). Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh
komponen pertahanan sendi akan meningkatkan kemungkinan timbulnya rematik pada
sendi (Davies, 2018).
6. Tanda dan gejala

Menurut Soumya, (2017) gejala rematik bermacam-macam tergantung pada


jenisnya. Namun, secara umum rematik ditandai dengan rasa nyeri dan kaku pada
persendian, otot, dan tulang, selain itu rematik juga disertai dengan gejala lain, seperti
rasa lelah dan lemah, demam, sulit tidur, depresi, berat badan turun, serta gerak tubuh
terhambat/lamban. Berikut gejala yang sering terjadi pada penyakit rematik
a. Nyeri pada anggota gerak

Rasa nyeri pada anggota gerak merupakan keluhan utama para penderita rematik.
Biasanya, rasa nyeri timbul ketika melakukan gerakan tertentu atau setelah melakukan
aktivitas. Nyeri juga dapat timbul ketika istirahat yang tidak ada hubungan dengan masa
gerakan sebelumnya, atau pada pagi hari ketika
bangun tidur. Rasa nyeri tersebut tidak hanya di persendian, tetapi juga menyebar hingga
seluruh tubuh. Nyeri yang menjalar secara tajam keseluruh tubuh menandakan nyeri
saraf.
b. Kelemahan otot

Pada umumnya, gejala yang mengiringi nyeri adalah otot-otot terasa capek dan
lemah. Dalam waktu yang lama, kelemahan otot tersebut dapat menimbulkan atrofi
(pengecilan) otot yang bersangkutan. Dalam hal ini disebabkan oleh proses rematismus
yang berjalan cukup lama. Jaringan yang terkena proses patologik, yaitu saraf pergerakan
(saraf motorik) atau otot.
c. Peradangan dan bengkak pada sendi

Jika sendi mengalami peradangan maka sendi akan membengkak, warna kulit
terlihat memerah, nyeri dan terasa panas setempat, dan sakit jika diraba. Terkadang, pada
kulit akan timbul bercak-bercak dan jika ditekan agak nyeri.
d. Kekakuan sendi

Persendian yang mengalami rematik menjadi kaku dan susah digerakan. Namun,
kekakuan juga dapat disebabkan otot yang tegang seara berkesinambungan.
e. Kejang dan kontraksi otot

Saat kejang, otot-otot menggumpal dan terasa sebagai benjolan yang keras. Dengan
mengurut dan menggerakan anggota tubuh, dapat membantu meredakan kontraksi otot
yang tegang dan keras.
f. Gangguan fungsi

Lamban laun, rasa nyeri, kekakuan dan kelemahan otot akan berpengaruh pada
aktivitas keseharian. Gangguan fungsi tersebut dapat mematahkan semangat
kebanyakan penyakit rematik. Gangguan fungsi tersebut sering menjadi keluhan utama
penderita rematik, seperti tidak dapat berjalan karena lutut atau tumit sakit atau tidak bisa
berbalik karena tumit terasa sakit.
g. Sendi berbunyi (krepitasi)

Sebagian orang usia muda dapat menghasilkan bunyi-bunyian jika menekukan


persendian pada jari-jari tangan, kaki atau lainnya. Meskipun demikian, bukan berarti
mereka itu akan terkena rematik. Pada penyakit rematik, dapat dirasakan adanya bunyi
berderak yang dapat diraba dan didengar.
h. Sendi goyah

Sendi yang posisinya goyah dapat terjadi karena kerusakan rawan sendi atau
ligament yang robek. Selain itu,dapat disebabkan juga karena adanya peradangan atau
trauma pada ligament dan kapsul sendi.
i. Timbulnya perubahan bentuk

Rematik yang parah dapat menyebabkan peubahan bentuk organ tubuh atau
kecacatan. Kelainan ini hanya terjadi pada jenis rematik tertentu terutama pada rematik
sendi (artikuler), seperti rheumatoid arthritis, gout, dan osteoarthritis. Biasanya,
perubahan bentuk terjadi pada sendi-sendi jari tangan dan sendi antar ruas jari yang
terlihat bengkak dan bentuuknya berubah. Rematik yang menyerang sendi lutut kadang
dapat menyebabkan kaki berubah bentuk menjadi O. sendi- sendi yang terserang
rheumatoid arthritis dapat berubah menjadi bengkok. Sendi yang terserang gout
menimbulkan tonjolan yang disebut dengan tofus.
10) Timbul benjolan / nodul

Umumnya, benjolan timbul pada rematik gout kronis, disebut tofus. Tofus
merupakan endapan sepereti kapur dibawah kulit atau di dalam sendi yang
menandakan adanya pengendapan asam urat. Pada rheumatoid arthritis, juga dapat timbul benjolan yang
disebut nodul rheumatoid, yaitu masa berbentuk bundar atau oval yang tidak lunak dibawah kulit, benjolan
kecil yang timbul pada sendi antar ruas jari tangan paling ujung disebut nodus herberden atau benjolan
herberden.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN


AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala: Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stress pada sendi :
kekakuan pada pagi hari.
Keletihan
Tanda: Malaise
Keterbatasan rentang gerak ; atrofi otot, kulit : kontraktur atau kelainan pada sendi
dan otot

KARDIOVASKULER
Gejala : Jantung cepat, tekanan darah menurun

INTEGRITAS EGO
Gejala: Faktor-faktor stress akut atau kronis : Misalnya finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, factor-faktor hubungan
Keputusasaan dan ketidak berdayaan
Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi misalnya
ketergantungan pada orang lain

MAKANAN ATAU CAIRAN


Gejala: Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan adekuat :
mual.
Anoreksia
Kesulitan untuk mengunyah
Tanda: Penurunan berat badan
Kekeringan pada membran mukosa

HIGIENE
Gejala: berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas pribadi, ketergantungan pada orang
lain.

NEUROSENSORI
Gejala: kebas/kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan
Tanda: Pembengkakan sendi

NYERI / KENYAMANAN
Gejala: fase akut dari nyeri

Terasa nyeri kronis dan kekakuan

KEAMANAN
Gejala: Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga
Kekeringan pada mata dan membran mukosa

INTERAKSI SOSIAL
Gejala: kerusakan interaksi dan keluarga / orang lsin : perubahan peran: isolasi

ASUHAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA 1: Nyeri b/d penurunan fungsi tulang


Kriteria hasil: nyeri hilang atau tekontrol
INTERVENSI RASIONAL

mandiri
- kaji keluhan nyeri, catat lokasi - membantu dalam menentukan kebutuhan
dan intensitas (skala 0 managemen nyeri dan keefektifan
– 10). Catat factor-faktor yang program
mempercepat dan tanda-tanda
rasa sakit non verbal
- berikan matras atau kasur keras,
- matras yang lembut/empuk, bantal yang
bantal kecil. Tinggikan linen
besar akan mencegah pemeliharaan
tempat tidur sesuai kebutuhan
kesejajaran tubuh yang tepat,
menempatkan setres pada sendi yang
sakit. Peninggian linen tempat tidur
- biarkan pasien mengambil posisi
menurunkan tekanan pada sendi yang
yang nyaman pada waktu tidur
terinflamasi / nyeri
atau duduk di kursi. Tingkatkan
- pada penyakit berat, tirah baring mungkin
istirahat di tempat tidur sesuai
diperlukan untuk membatasi nyeri atau
indikasi
cedera sendi.
- dorong untuk sering mengubah
posisi. Bantu pasien untuk
bergerak di tempat tidur, sokong - Mencegah terjadinya kelelahan umum dan
sendi yang sakit di atas dan di kekakuan sendi. Menstabilkan sendi,
bawah, hindari gerakan yang mengurangi gerakan/rasa sakit pada sendi
menyentak
- anjurkan pasien untuk mandi air
- Panas meningkatkan relaksasi otot dan
hangat atau mandi pancuran pada
mobilitas, menurunkan rasa sakit dan
waktu bangun. Sediakan waslap
melepaskan kekakuan di pagi hari.
hangat untuk mengompres sendi-
Sensitifitas pada panas dapat dihilangkan
sendi yang sakit beberapa kali
dan luka dermal dapat disembuhkan
sehari. Pantau suhu air kompres,
air mandi
- berikan masase yang lembut - Meningkatkan elaksasi/mengurangi
tegangan otot
kolaborasi
- Meningkatkan relaksasi, mengurangi
- beri obat sebelum aktivitas tegangan otot, memudahkan untuk
atau latihan yang ikut serta dalam terapi
direncanakan sesuai petunjuk
seperti asetil salisilat
(aspirin)

DIAGNOSA 2 : Intoleran aktivitas b/d perubahan otot.


Kriteria Hasil : Klien mampu berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan.
INTERVENSI RASIONAL
 Perahankan istirahat tirah  Untuk mencegah kelelahan dan
baring/duduk jika diperlukan. mempertahankan kekuatan.
 Bantu bergerak dengan bantuan  Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan
seminimal mungkin. otot dan stamina umum.
 Dorong klien mempertahankan postur  Memaksimalkan fungsi sendi dan
tegak, duduk tinggi, berdiri dan mempertahankan mobilitas.
berjalan.
 Berikan lingkungan yang aman dan  Menghindari cedera akibat
menganjurkan untuk menggunakan kecelakaan seperti jatuh.
alat bantu.
 Berikan obat-obatan sesuai indikasi  Untuk menekan inflamasi sistemik
seperti steroid. akut.

DIAGNOSA 3 : Resiko tinggi cedera b/d penurunan fungsi tulang.


Kriteria Hasil : Klien dapat mempertahankan keselamatan fisik.
INTERVENSI RASIONAL
 Kendalikan lingkungan dengan :  Lingkungan yang bebas bahaya akan
Menyingkirkan bahaya yang tampak mengurangi resiko cedera dan
jelas, mengurangi potensial cedera membebaskan keluaraga dari
akibat jatuh ketika tidur misalnya kekhawatiran yang konstan.
menggunakan penyanggah tempat
tidur, usahakan posisi tempat tidur
rendah, gunakan pencahayaan malam
hari, siapkan lampu panggil
 Memantau regimen medikasi

 Izinkan kemandirian dan kebebasan  Hal ini akan memberikan pasien

maksimum dengan memberikan merasa otonomi, restrain dapat

kebebasan dalam lingkungan yang meningkatkan agitasi,

aman, hindari penggunaan restrain, mengegetkan pasien akan

ketika pasien melamun alihkan meningkatkan ansietas.

perhatiannya ketimbang
mengagetkannya.
DIAGNOSA 4 : Perubahan pola tidur b/d nyeri
Kriteria Hasil : Klien dapat memenuhi kebutuhan istirahat atau tidur.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
 Tentukan kebiasaan tidur biasanya  Mengkaji oerlunya dan
dan perubahan yang terjadi mengidentifikasi intervensi yang
tepat.
 Berikan tempat tidur yang nyaman  Meningkatkan kenyamaan tidur serta
dukunmgan fisiologis/psikologis
 Bila rutinitas baru mengandung aspek
 Buat rutinitas tidur baru yang
sebanyak kebiasaan lama, stress dan
dimasukkan dalam pola lama dan
ansietas yang berhubungan dapat
lingkungan baru
berkurang. Membantu menginduksi
tidur

 Instruksikan tindakan relaksasi  Meningkatkan efek relaksasi

 Tingkatkan regimen kenyamanan  Dapat merasakan takut jatuh karena


waktu tidur, misalnya mandi hangat perubahan ukuran dan tinggi tempat
dan massage. tidur, pagar tempat tidur memberi
keamanan untuk membantu
mengubah posisi
 Gunakan pagar tempat tidur sesuai
 Tidur tanpa gangguan lebih
indikasi: rendahklan tempat tidur bila
menimbulkan rasa segar, dan pasien
mungkin.
mungkin tidak mampu kembali tidur
bila terbangun.
 Hindari mengganggui bila mungkin,
misalnya membangunkan untuk obat
atau terapi.
Kolaborasi
 Berikan sedative, hipnotik sesuai  Mungkin diberikan untuk membantu
indikasi pasien tidur atau istirahat.

DIAGNOSA 5 : Defisit perawatan diri b/d nyeri


Kriteria Hasil : Klien dapat melaksanakan aktivitas perawatan sendiri secaea mandiri.
INTERVENSI RASIONAL
 Kaji tingkat fungsi fisik  Mengidentifikasi tingkat bantuan
/dukungan yang diperlukan

 Pertahankan mkobilitas, kontrol terhadap  Mendukung kemandirian


nyeri dan progran latihan fisik/emosional
 Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam  Menyiapkan untuk
perawatan diri, identifikasi untuk meningkatkan kemandirian yang
modifikasi lingkungan akan meningkatkan harga diri
 Memberikan kesempatan untuk
 Identifikasi untuk perawatan yang dapat melakukan
diperlukan, misalnya;lift, aktivitas seccara mandiri
peninggiandudukan toilet, kursi
roda.

DIAGNOSA 6 : Gangguan citra tubuh/ perubahan penampilan peran b/d perubahan


kemampuan untuk melakukan tugas-tugas umum.
Kriteria hasil : mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan
Untuk menghadapi penyakit, perubahan gaya hidep dan kemungkinan keterbatasan.
INTERVENSI RASIONAl
Mandiri
o Dorong pengungkapan mengenai  Beri kesempatan untuk
masalah mengenai proses penyakit, mengidentifikasi rasa
harapan masa depan. takut/kesalahan konsep dan
menghadapinya secara
langsung.
o Diskusikan arti dari
 Mengidentifikasi bagaimana
kehilangan/perubahan pada
penyakit mempengaruhi
pasien/orang terdekat. Memastikan
persepsi diri dan interaksi dengan
bagaiamna pandangan pribadi psien
orang lain akan menentukan
dalam memfungsikan gaya hidup sehari-
kebutuhan terhadap intervensi atau
hari termasuk aspek-aspek seksual.
konseling lebih lanjut.
o Diskusikan persepsi pasien mengenai
bagaiman orang terdekat menerima
 Isyarat verbal/nonverbal orang

keterbatasan terdekat dapat mempunyai


pengaruh mayor pada bagaimana
pasien memandang dirinya sendiri.
o Akui dan terima perasaan berduka,  Nyeri konstan akan melelahkan,
bermusuhan, ketergantungan. dan perasaan marah, bermusuhan
umum terjadi.
o Perhatikan perilaku menarik diri,
 Dapat menunjukkan emosional
penguanan menyangkal atau terlalu
atau metode koping maladaptive,
memperhatikan tubuh/perubahan.
membutuhkan intervensi lebih
lanjut atau dukungan psikologis.

o Susun batasan pada prilaku maladaptive.  Membantu pasien untuk


Bantu pasien untuk me ngidentifikasi mempertahankan kontrol diri yang
dapat meningkatkan perasaan
perilaku positif yang dapat membantu
harga diri.
koping.
 Meningkatkan perasaan
kompetensi/harga diri,
o Ikut sertakan pasien dalam
mendorong kemandirian, dan
merencanakan perawatan dan membuat
mendorong partisipasi dan terapi.
jadwal aktivitas.

 Pasien/orang terdekat
Kolaborasi
mungkin membutuhkan
 Rujuk pada konseling psikiatri
dukungann selama
berhadapan dengan proses
jangka

 Berikan obat-obat sesuai petunjuk


panjang/ketidakmampuan.
 Mungkin dibutuhkan pada saat
munculnya depresi hebat sampai
pasien
mengembangkan kemampuan
koping yang lebih efektif.

b. Pendidikan kesehatan
c. Edukasi pasien dan promosi kesehatan rheumatoid arthritis diperlukan terkait modalitas
penatalaksanaan yang akan digunakan dan manajemen ekspektasi pasien. Sampaikan bahwa
rheumatoid arthritis merupakan penyakit progresif yang memerlukan pemantauan jangka
panjang. Sampaikan pula langkah-langkah pencegahan yang dapat membantu pasien
memperlambat progresi penyakit, misalnya dengan latihan dan menurunkan berat badan.

C. PENDIDIKAN KESEHATAN
Sampaikan pada pasien bahwa rheumatoid arthritis merupakan kondisi jangka panjang yang
bersifat progresif. Hal ini berarti pasien akan menjalani pengobatan dalam waktu lama dan
dapat mengalami eksaserbasi. Meski demikian, sampaikan juga bahwa pengobatan dini dan
agresif dapat membantu mengendalikan penyakit, menurunkan progresivitas, dan
meningkatkan kualitas hidup jangka panjang.

o Modifikasi Aktivitas Fisik


o Saat sendi sedang nyeri dan bengkak, anjurkan pasien untuk istirahat dan membatasi
aktivitas sampai gejala membaik. Pasien dapat memulai aktivitas normal secara
bertahap ketika gejala membaik. Sarankan untuk menghindari gerakan dan aktivitas
yang menyebabkan ketegangan persendian, seperti olahraga berat dan angkat beban.
o Ketika nyeri membaik, pasien perlu disarankan untuk melakukan latihan rutin.
Sampaikan bahwa inaktivitas fisik dapat menyebabkan menurunnya lingkup gerak
sendi dan kekuatan otot. Aktivitas fisik secara teratur dapat membantu mencegah dan
membalikkan efek ini. Banyak jenis latihan yang dapat bermanfaat, termasuk latihan
rentang gerak untuk mempertahankan dan memulihkan gerakan sendi, maupun
aktivitas untuk meningkatkan daya tahan seperti berjalan kaki, berenang, dan
bersepeda. Gerakan lembut secara teratur, seperti pada tai chi, juga dapat membantu.
o Modifikasi Gaya Hidup
 Pasien yang merokok rutin perlu dianjurkan untuk berhenti merokok. Pasien
yang obesitas perlu dianjurkan untuk menurunkan berat badan. Konsumsi
alkohol juga perlu dihindari karena meningkatkan risiko kerusakan hepar
yang juga bisa timbul akibat obat rheumatoid arthritis seperti methotrexate.
o Menangani Efek Samping Pengobatan
 Obat dan dosis terbaik akan tergantung pada faktor individu. Sampaikan pada
pasien bahwa umumnya dosis obat akan ditingkatkan bertahap atau akan
diperlukan penambahan obat lain sampai dokter merasa peradangan sudah
ditekan secara optimal sembari mempertimbangkan tolerabilitas.
o Pasien perlu diedukasi mengenai pentingnya kontrol teratur karena mungkin
diperlukan penyesuaian dosis dan juga untuk memantau komplikasi terapi. Bila pasien
mengalami komplikasi terapi, obat mungkin perlu diturunkan dosisnya atau
dihentikan.[5,11]
o Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
 Pencegahan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, seperti olahraga,
penurunan berat badan, hindari kafein, hindari merokok, perbanyak konsumsi
makanan mengandung vitamin C sebagai antioksidan dan diet rendah kalori.
 Progresivitas penyakit dan komplikasinya dapat dihambat dengan fisioterapi
agar mengembalikan fungsi sendi dan modifikasi gaya hidup. Pasien harus
segera kontrol apabila mengalami perburukan gejala, mengalami nyeri
berlebih hampir setiap hari dalam 1 bulan, atau nyeri tidak membaik dengan
obat-obatan yang diberikan.
 Kontrol rutin diperlukan selama 1 tahun sekali atau sesuai dengan
kesepakatan dokter dengan pasien. Tes laboratorium untuk cek fungsi hati dan
ginjal dilakukan setiap 3-6 bulan sekali setelah pengobatan.[5,7,11]

D. PENYIMPANGAN KDM
E. FUNGSI ADVOKASI
Peran perawat sebagai advokasi pasien adalah perawat mampu memberikan
perlindungan terhadap pasien, keluarga pasien, dan orang – orang disekitar pasien. Hal ini
didukung dengan hasil penelitian Umasugi (2018) bahwa perawat sebagai pelindung,
perawat mampu mempertahankan lingkungan yang aman dan nyaman dan mengambil
tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan dari hasil
pengobatan, contohnya mencegah terjadinya alergi terhadap efek pengobatan dengan
memastikan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi. Salah satu untuk mencegah
terjadinya hal – hal yang merugikan pasien perawat harus saling berkoordinasi dengan
adanya standar komunikasi yang efektif dan terintegrasi dalam kegiatan timbang terima
yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan (Alvaro et al. 2016 dalam Triwibowo
& Zainuddin 2016). Peran advokasi perawat terhadap pasien juga terlaksana dalam
pemberian penjelasan tindakan prosedur dalam informed consent berperan sebagai pemberi
informasi, pelindung, mediator, pelaku dan pendukung (Tri Sulistiyowati, 2016). Perawat
memberikan perlindungan terhadap pasien untuk mencvegah terjadinya
penyimpangan/malpraktik yang pada dasarnya setiap profesi kesehatan sudah harus
memahami tanggung jawab dan integritasnya dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Para professional kesehatan terutama perawat harus memahami hak – hak dan kewajiban
pasien sebagai penggunan layanan kesehatan. (Kusnanto, 2004). Dalam artikelnya Nurul
(2018) pasien berhak mendapatkan pelayanan yang manusiawi dan jujur. Pasien berhak
mendapatkan pelayanan yang sama tanpa adaanya diskriminasi. Pasien berhak didampingi
oleh keluarga selama di rawat. Pasien juga berhak memilih tim medis dan rumah sakit
sesuai dengan kebutuhannya, namun pada hal ini perawat harus memberikan informasi
yang sejujurnya agar pasien tidak salah dalam memilih. Kemudian pasien berhak
mengetahui hasil pemeriksaan yang dilakukannyan dan berhak mendapatkan perlindungan
privasi. Dalam hal ini perawat sebagai pendamping pasien selama 24 jam penuh wajib
memenuhi hak pasien tersebut yang berperan sebagai advokasi bagi pasien untuk
menghindari terjadinya kesalahan asuhan keperawatan.

Perawat harus menghargai pasien yang dirawatnya sebagai manusia yang utuh
sehingga tidak menjadi beban selama menajalani perannya sebagai advokat pasien. Namun
beberapa penghambat yang dialami perawat dalam menjalankan perannya adalah salahnya
paradigma perawat sebagai pembantu atau asisten dokter (Suryani, dkk, 2013) yang masih
menjadi pencetus hilangnya kepercayaan diri perawat dalam melaksanakan peran sebagai
advokasi tersebut. Tingkatkan pendidikan juga harus ditingkatkan agar perawat dapat
meningkatan ilmu pengetahuan sehingga pada saat pelaksanaan asuhan keperawatan yang
dilaksanakan bisa lebih dilakukan dengan teliti. Kemudian hal yang terpenting untuk
melaksanakan peran sebagai advokasi pasien adalah bagaimana seorang perawat dapat
berkomunikasi dengan baik dengan pasien maupun dengan mitra sejawat. Komunikasi
adalah bentuk aksi untuk melakukan interaksi yang akan memberikan informasi silang
antara pasien dan mitra sejawat. Apabila komunikasi antar perawat dan pasien atau
keluarga akan memberikan feedback yang positif antara kedua pihak. Yang tentunya akan
membantu proses perawatan yang lebih mudah dan pasien akan merasa nyaman dengan
tindakan yang dilakukan. Sehingga peran perawat sebagai advokasi pasien salah satunya
mediator antara pasien dan tenaga kesehatan lainnya dapat tercapai (Irfanti, 2019).
BAB III

JURNAL

HUBUNGAN ANTARA NYERI REUMATOID ARTRITIS DENGAN


KEMANDIRIAN ADL PADA LANSIA

Kartini1 , E. Samaran1 , Serly A. Marcus1 1Jurusan


Keperawatan Politeknik Kesehatan Sorong email :
kunsamaran99@gmail.com

ABSTRACK

Arthritis or commonly called rheumatism is a disease that attacks the joints and surrounding structures.
Rheumatic disease in the community is often considered a trivial disease because it does not cause
death, but if not treated quickly rheumatism can make limbs function abnormally, starting from bumps, stiff
joints, difficulty walking, even lifelong disability. Objective: to find out there is a relationship between
rheumatoid arthritis pain and independence of Activity daily living (ADL) in the elderly. Research
Methods: This study used a quantitative research design with a cross sectional approach to reveal the
relationship between independent variables (Rheumatoid Arthritis pain) and the dependent variable of
Independent Activity daily living (ADL) at the same time and once a measurement. Statistical tests using
chi-square consisted of 33 respondents. Results: From the results of the chi-square statistical test obtained
p value = 0.047 (p <0.05) there was a relationship between rheumatoid arthritis pain and the
independence of the elderly in the puskesmas classaman city of Sorong. Conclusion: There is a relationship
between Rheumatoid Arthritis pain and the degree of independence in carrying out daily life activities in
the elderly in the working area of the Sorong City Community Health Center (p value = =, 047)
Keywords: Rheumatoid Pain Arthritis; Elderly ADL
Bibliography: 2002 – 2017

ABSTRAK

Arthritis atau biasa disebut rematik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya.
Penyakit rematik pada masyarakat sering dianggap penyakit sepele karena tidak menimbulkan kematian,
tetapi bila tidak ditangani secara cepat rematik bisa membuat anggota tubuh berfungsi tidak normal, mulai
dari benjol-benjol, sendi kaku, sulit berjalan, bahkan kecacatan seumur hidup. Tujuan : untuk mengetahui
ada hubungan antara nyeri rematoid artritis dengan kemandirian Activity daily living (ADL) pada lansia.
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional untuk mengungkapkan hubungan antara variabel independen (nyeri Reumatoid Arthritis) dan
variabel dependen Kemandirian Activity daily living(ADL) dalam waktu yang bersamaan serta sekali
pengukuran. Uji statistik menggunakan chisquare terdiri dari 33 responden. Hasil : Dari hasil uji statistik
chi-square di peroleh nilai p = 0,047 (p <0,05) ada hubungan antara nyeri reumatoid artritis dengan
kemandirian lansia di puskesmas klasaman kota sorong. Kesimpulan : Ada hubungan antara nyeri
Reumatoid Artritis dengan tingkat kemandirian dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari pada
lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Klasaman Kota Sorong (p value sebesar = ,047)

Kata Kunci : Nyeri Reumatoid Artritis ; ADL Lansia


Daftar Pustaka : 2002 – 2017
PENDAHULUAN
Arthritis atau biasa disebut penderita reumatoid arthritis
rematik adalah penyakit yang padatahun 2013 berjumlah 27,7%
menyerang persendian dan struktur dan prevalensi reumatoid arthritis
di sekitarnya. Penyakit rematik pada untuk wilayah Papua Barat
masyarakat sering dianggap penyakit berjumlah 15,5% menurut riset
sepele karena tidak menimbulkan kesehatan dasar. (Badan Penelitian
kematian, tetapi bila tidak ditangani dan Pengembangan Kesehatan,
secara cepat rematik bisa membuat 2013).
anggota tubuh berfungsi tidak Hasil penelitian yang pernah
normal, mulai dari benjol-benjol, dilakukan menunjukkan ada
sendi kaku, sulit berjalan, bahkan hubungan nyeri rhemathoid arthritis
kecacatan seumur hidup. Rasa sakit dengan kemandirian dalam aktivitas
yang timbul bisa sangat mengganggu kehidupan sehari-hari pada lansia di
dan membatasi aktivitas kegiatan Posbindu Karang Mekar terdapat
sehari-hari (Nainggolan, 2009). hubungan yang signifikan antara
Bagian sinovial sendi, nyeri rhematoid arhtritis dengan
sarung tendon dan bursa akan kemandirian pada lansia
mengalami penebalan akibat radang (Chintyawati, 2014). Berdasarkan
yang diikuti oleh erosi tulang dan studi pendahuluan yang dilakukan
destruksi tulang disekitar sendi oleh peneliti di Puskesmas Klasaman
(Chabib, Ikawati, Martien, & Ismail, pada tanggal 16 April 2018, didapat
2016). Dampak dari pasien rematoid angka kejadian reumatoid arthritis
arthritis dapat menimbulkan rasa pada tahun 2016 berjumlah 1402
ketidaknyamanan, yang disebabkan jiwa, pada tahun 2017 terjadi
oleh dampak dari keterbatasan penurunan yang signifikan yaitu 236
mobilisasi fisik ini juga dapat jiwa serta pada tahun 2018 pada
menimbulkan kecacatan seperti tanggal 01 Januari s/d 16 April
kelumpuhan dan gangguan aktivitas berjumlah 67 jiwa.
hidup sehari-hari tetapi juga efek
sistemik yang tidak jelas tetapi dapat METODE
menimbulkan kegagalan organ dan Penelitian ini menggunakan
kematian atau mengakibatkan desain penelitian kuantitatif dengan
masalah seperti rasa nyeri, keadaan pendekatan cross sectional untuk
mudah lelah, perubahan citra diri mengungkapkan hubungan antara
serta resiko tinggi terjadi cidera variabel independen (nyeri
(Kisworo, 2008) di kutip oleh Reumatoid Arthritis) dan variabel
(Nadliroh, 2014). dependen Kemandirian Activity daily
Menurut Arthritis Foundation living (ADL) dalam waktu yang
(2015) dalam (Chabib, Ikawati, bersamaan serta sekali pengukuran.
Martien, & Ismail, 2016), sekitar 3% Populasi dalam penelitian ini
atau 1,5 juta orang dewasa adalah seluruh klien lansia diwilayah
mengalami RA (Arthritis kerja puskesmas Klasaman yang
Foundation, 2015). RA terjadi pada menderita arthritis reumatoid pada
0,5-1% populasi orang dewasa di tahun 2017. Berdasarkan
negara maju. Di Indonesia jumlah pengambilan data pada tanggal 01
Januari s/d 16 April 2018 Kelamin Di Puskesmas Klasaman
berjumlah 67 jiwa. Pada saat Kota Sorong
pengambilan data awal, populasi
yang didapatkan sebanyak 67 No Kategori Frekuensi %
sehingga menggunakan rumus 1 Laki-laki 14 42
purposive sampling hasil yang 2 Perempuan 19 58
Total 33 100
didapatkan 40 sampel kemudian saat
penelitian dilapangan hasil yang
didapatkan 33 respon. Berdasarkan tabel 4.2
ditunjukkan distribusi frekuensi
HASIL DAN PEMBAHASAN berdasarkan jenis kelamin
1. Karakteristik Responden perempuan diperoleh jumlah
a. Usia tertinggi yaitu sebesar 19 responden
Distribusi frekuensi (58%) dibandingkan jenis kelamin
responden berdasarkan usia laki-laki dengan jumlah 14
dalam penelitian ini dapat responden (42 %).
ditunjukkan pada tabel 4.1 2. Analisa Univariat
sebagai berikut ; a. Distribusi frekuensi nyeri
Rheumatoid Arthritis
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan lanjut usia.
Berdasarkan Usia Di Puskesmas Klasaman Distribusi frekuensi
Kota Sorong responden berdasarkan
frekuensi nyeri pada lanjut
usia dalam penelitian ini
No Kategori Frekuensi % dapat ditunjukkan pada tabel
1 60-74 29 88 4.3 sebagai berikut ;
2 75-90 4 12
Total 33 100
Tabel 4.3 Distribusi
ditunjukkan bentuk frekuensi
Berdasarkan tabel 4.1 Frekuensi Nyeri Rheumatoid
responden berdasarkan usia.
Arthritis Berdasarkan Lanjut
Kategori usia 60-74 tahun
Usia Di Puskesmas Klasaman
memperoleh jumlah tertinggi
Kota Sorong
yaitu sebesar 33 responden (88%).
No Nyeri Frekuensi %
b. Jenis Kelamin Rheumatoid
Distribusi frekuensi Arthritis
1 Nyeri rendah 28 85
responden berdasarkan jenis 2 Nyeri tinggi 5 15
kelamin dalam penelitian ini Total 33 100
dapat ditunjukkan pada tabel
4.2 sebagai berikut ;
Berdasarkan tabel 4.3
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi ditunjukkan bahwa dari 33 responden
Responden Berdasarkan Jenis sebagian besar responden memiliki
nyeri rheumatoid artritis rendah yaitu
28 responden (85%) dan yang paling
kecil adalah nyeri rheumatoid artritis Variabel Tingkat kemandirian P
tinggi yaitu 5 responden (15%) . Tergantung Mandiri
value

b. Distribusi tingkat kemandirian lanjut Nyeri F % F %


RA
usia Ringan 8 67 20 95
Distribusi Sedang 4 33 1 5 0,047
Total 1 10 21 10
frekuensi responden berdasarkan 2 0 0
tingkat kemandirian lanjut usia
dalam penelitian ini dapat Berdasarkan pada tabel 4.5
ditunjukkan pada tabel 4.4 sebagai ditunjukkan mayoritas responden
berikut ; mandiri dan memiliki nyeri rendah,
yaitu sebesar 20 responden (95%).
Tabel 4.4 Distribusi Analisa hubungan antara nyeri
frekuensi tingkat kemandirian lanjut Rheumatoid Arthritis dengan tingkat
usia di Puskesmas Klasaman
No Tingkat Frekuensi % kemandirian dalam
melakukan
kemandirian aktivitas sehari-hari pada lansia di
1 Tergantung 12 36 wilayah kerja Puskesmas Klasaman
2 Mandiri 21 64 Kota Sorong ini menggambarkan uji
Total 33 100 Chi Squared. Hasil penelitian
diperoleh nilai p value 0,047 (p <
0,05) yang berarti pada alpha 5%,
Berdasarkan tabel 4.4 ditunjukkan terlihat ada hubungan yang yang
bahwa distribusi tingkat bermakna antara nyeri Reumatoid
kemandirian yang paling besar yaitu Arthritis dengan tingkat kemandirian
tingkat kemandirian mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-
sebanyak 21 hari pada lansia di wilayah kerja
responden (64%) sedangkan tingkat puskesmas Klasaman Kota Sorong.
kemandirian terkecil yaitu tingkat
kemandirian tergantung sebanyak 12 PEMBAHASAN
responden (36%). Hubungan nyeri reumatoid artritis
dengan tingkat kemandirian lansia di
3. Analisa Bivariat puskesmas klasaman kota sorong
a. Hubungan antara nyeri Dari hasil uji statistik chi-
Rheumatoid Arthritis dengan square di peroleh nilai p = 0,047 (p
tingkat kemandirian pada <0,05) ada hubungan antara nyeri
lansia reumatoid artritis dengan
kemandirian lansia di puskesmas
Tabel 4.5 Hubungan klasaman kota sorong. Hal yang
antara nyeri Rheumatoid signifikan tersebut juga bisa dilihat
Arthritis dengan tingkat dari fakta di lapangan yang dapat
kemandirian lansia dilihat dari hasil data yang diperoleh
dari hasil koesioner pada saat
penelitian.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang pernah
dilakukan dimana ada hubungan
yang signifikan antara nyeri mayoritas dalam rentang
reumatoid artritis dengan umur 60-74 tahun dan jenis
kemandirian pada lansia Di Wilayah kelamin sebagian besar
Kerja Puskesmas Pisangan perempuan.
Tangerang Selatan (Chintyawati, 2. Lansia di wilayah kerja
2014). Puskesmas Klasaman Kota
Sorong sebagian besar
Nyeri sendi pada reumatoid memiliki tingkat kemandirian
artritis membuat penderitanya tinggi dalam aktivitas
seringkali takut untuk bergerak kehidupan sehari-hari yaitu
sehingga mengganggu aktivitas sebesar 21 responden (64%).
sehari-harinya dan dapat 3. Lansia di wilayah kerja
menurunkan produktivitasnya. Puskesmas Klasaman Kota
Penurunan kemampuan Sorong memiki tingkat nyeri
muskuloskeletal karena nyeri sendi Reumatoid Artritis rendah
dapat juga menurunkan aktivitas fisik yaitu sebesar 28 responden
dan latihan, sehingga akan (85%)
mempengaruhi lansia dalam 4. Ada hubungan yang
melakukan aktivitas kehidupan bermakna antara nyeri
sehari-hari activity of daily living Reumatoid Artritis dengan
(ADL). Aktivitas sehari-hari yang tingkat kemandirian dalam
dimaksud seperti makan, minum, melakukan aktivitas
berjalan, tidur, mandi, berpakaian, kehidupan sehari-hari pada
dan buang air besar atau kecil. lanjut usia di wilayah kerja
Dari kemampuan melakukan Puskesmas Klasaman Kota
aktivitas tersebut dapat dinilai Sorong (p value sebesar =
apakah lanjut usia mandiri atau ,047)
tergantung pada orang lain. Mandiri
dalam melakukan aktivitas SARAN
kehidupan sehari-hari adalah
kebebasan untuk bertindak, tidak 1. Bagi Institusi Pendidikan
tegantung pada pihak lain dalam Hasil penelitian ini dapat
merawat diri maupun dalam dijadikan sebagai rujukan
beraktivitas sehari-hari. Semakin tambahan bagiinstitusi
mandiri status fungsional lansia pendidikan. Misalnya hasil
maka kemampuan untuk bertahan penelitian ini dapat digunakan
terhadap serangan penyakit akan sebagai referensi yang dapat
semakin baik. Sebaliknya lansia yang menambah pengetahuan
menunjukkan ketergantungan akan mahasiswa terhadap nyeri
rentan terhadap serangan penyakit. Reumatoid Artritis yang
berhubungan dengan tingkat
KESIMPULAN kemandirian dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari pada
1. Karakteristik lansia di lansia.
wilayah kerja Puskesmas
Klasaman Kota Sorong
2. Bagi Puskesmas Klasaman Kota penelititerburu-buru dalam
Sorong mewawancarai responden
a. Diharapkan tenaga dan bisa menimbulkan bias
kesehatan yang mengelola informasi.
program posbindu
memberikan dukungan
kepada keluarga lanjut usia DAFTAR PUSTAKA
agar senantiasa mengikuti
program posbindu sehingga Badan Penelitian dan Pengembangan
lanjut usia yang berada di Kesehatan. (2013). Riset
wilayah kerja Puskesmas Kesehatan Dasar
Klasaman Kota Sorong (RISKESDAS) 2013. Laporan
mengetahui kondisi Nasional 2013, 1–384.
kesehatannya setiap bulan. https://doi.org/1 Desember 2013
b. Terkait hasil dalam Chabib, L., Ikawati, Z., Martien, R.,
penelitian ini lanjut usia & Ismail, H. (2016a). Review
yang berada di wilayah Rheumatoid Arthritis : Terapi
kerja Puskesmas Klasaman Farmakologi , Potensi
Kota Sorong yang memiliki Kurkumin dan Analognya ,
tingkat ketergantungan dan serta Pengembangan Sistem
memiliki nyeri Reumatoid Nanopartikel. Jurnal
Artritis tinggi yang Pharmascience, 3(1), 10–18.
terbanyak adalah jenis Chabib, L., Ikawati, Z., Martien, R.,
kelamin perempuan. & Ismail, H. (2016b). Terapi
Diharapkan adanya Farmakologi, Potensi Kurkumin
penyuluhan kesehatan yang dan Analognya, serta
berkaitan dengan lanjut usia Pengembangan Sistem
seperti nyeri Reumatoid Nanopartikel.
Artritis yang mengganggu
aktivitas sehari-hari lanjut Jurnal Pharmascience, 1(5),
usia khususnya untuk lanjut 25–31. Retrieved from
usia yang berjenis kelamin http://10.0.4.153/193758671664
perempuan. Serta 6648%5Cnhttp://search.ebscoho
diharapkan kepada petugas st.com/login.aspx?direct=true&
kesehatan untuk melakukan db=a9h&AN=117270266&site=
penyuluhan kepada lansia ehost-live
untuk mengatasi nyeri Chintyawati, C. (2014). Hubungan
Reumatoid Artritis secara Antara Nyeri Reumatoid Artritis
alami dengan teknik Dengan Kemandirian Dalam
kompres air hangat terhadap Aktivitas Kehidupan Sehari-
bagian yang nyeri. Hari Pada Lansia Di Posbindu
c. Bagi Peneliti Selanjutnya Karang Mekar Wilayah Kerja
Untuk pengambilan Puskesmas Pisangan Tangerang
data sebaiknya tidak diikuti Selatan Tingkat.
dengan kegiatan posbindu Hasanah, Umi, N. (2015). Program
lainnya, karena studi s-1 keperawatan stikes
kusuma husada surakarta 2015.
Nadliroh, U. (2014). Gambaran Puskesmas Cicalengka
Penyakit Rematik Pada Kabupaten Bandung. Jurnal
Lansia Di Panti Wreda Keperawatan ‘Aisyiyah, 3.
Dharma Bakti Surakarta.
dan Determinan Penyakit Rematik
di Indonesia. Artikel
Penelitian.
Seran, R., Bidjuni, H., & Onibala,
F. (2016). Hubungan Antara
Nyeri Gout Arthritis Dengan
Kemandirian Lansia Di
Puskesmas Towuntu Timur
Kecamatan Pasan Kabupaten
Minahasa Tenggara. E-Jurnal
Keperawatan (E-Kp), 4(1), 1–
7.
Tamsury,

(2017)
www.definisi.nyeri.ac.id.com
Smeltzer & bare,
2002
http//
www.scrips.acid
(diakses26 maret
2013)
Setiawan, R., & Tjutju, R. (2016).
Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan


Kejadian Rematik Pada
Lansia Di
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Penyakit reumatik adalah kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang
lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara klinis ditandai dengan nyeri,
deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan gerak pada sendi – sendi tangan dan
sendi besar yang menanggung beban.
Artritis rematoid adalah merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik
dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ
tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien artritis rematoid terjadi setelah penyakit ini
berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresifitasnya. Pasien dapat juga
menunjukkan gejala berupa kelemahan umum cepat lelah.
Wanita lebih sering terkena osteoartritis pada lutut dan sendi, sedang pria
lebih sering terkena osteoartritis pada paha, pergelangan tangan dan leher. Secara
keeluruhan dibawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada
pria dan wanita, tetapi diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih banyak wanita
dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis
osteoartritis.
DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C., Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Alih bahasa :
Irawati, et al. Jakarta : EGC
Harris ED Jr. 1993. Etiology and Pathogenesis of Reumatoid Arthritis. Dalam: Textbook of
Rheumatology. Philadhelpia: Saunders Co
Hirmawan, Sutisna., 1973. Patologi. Jakarta : Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pp : 437, 1
Hollmann DB. Arthritis & musculoskeletal disorders. In: Tierney LM, McPhee, Papadakis MA
(Eds): Current Medical Diagnosis & Treatment, 34 th ed., Appleton & Lange, International
Edition, Connecticut 2005, 729-32.
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC
Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius 
Nasution. 1996. Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 
Price, SA. Dan Wilson LM. 1993. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit bag 2.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai