Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH FT MUSKULOSKELETAS I

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA

OSTEOARTHRITIS KNEE JOINT

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK I

ABD. JAMAL K PO

ADHE YULFIAH GANI PO

ADINDA AFIFAH SAHARUDIN PO

ADINDA AYUNINGTYAS SIKALA PO

AGNES DWI PUTRI PO

D. III FISIOTERAPI TINGKAT III

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

          Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena dengan

rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyusun makalah tentang

“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Osteroarthritis Knee” Harapan kami, makalah

ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kepada

pembaca dan yang terpenting yaitu kepada kami mengenai “Penatalaksanaan

Fisioterapi Pada Osteroarthritis Knee”.

Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari

kata yang sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritikan dan saran

serta usulan demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang, mengingat tidak ada

sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami oleh siapapun yang

membacanya.Sebelumnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat

kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan mohon kritikan dan saran yang

membangun.

Makassar, 14 November 2021

Kelompok I

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi ................................................................................................. 3

B. Patologi Osteoarthritis Knee ................................................................................. 7

1. Pengertian ....................................................................................................... 7

2. Etiologi ........................................................................................................... 7

3. Proses Patologi ................................................................................................ 10

4. Gambaran Klinis .............................................................................................. 12

C. Intervensi Fisioterapi............................................................................................. 14

BAB III PROSES FISIOTERAPI

A. Proses Asesmen Fisioterapi .................................................................................. 22

1. Identitas Umum Pasien ................................................................................... 22

2. History Taking ................................................................................................ 22

3. Inspeksi/Observasi .......................................................................................... 23

4. Pemeriksaan Fungsi Dasar ............................................................................... 23

5. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi ......................................... 23

6. Diagnosa Fisioterapi ....................................................................................... 29

7. Problematik Fisioterapi (ICF Concept) .......................................................... 29

B. Prosedur Intervensi Fisioterapi.............................................................................. 30

1. Tujuan Intervensi Fisioterapi .......................................................................... 30

2. Program Intervensi Fisioterapi ....................................................................... 30

ii
3. Prosedur Pelaksanaan....................................................................................... 31

C. Evaluasi Fisioterapi............................................................................................... 37

BAB IV PENUTUP ................................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 39

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Osteoarthritis (OA) adalah suatu proses degenerasi pada tulang rawan sendi yang

banyak di derita pada orang tua yang jumlah kejadiannya cenderung meningkat seiring

dengan bertambahnya usia harapan hidup penduduk dan penyakit ini sering menyerang

sendi lutut (knee joint). Orang yang mengalami osteoarthritis biasanya sulit untuk

menggerakkan persendiannya sehingga pergerakannya terbatas.

Berdasarkan World Health Organization (WHO) pada tahun 2011,

Prevalensi OA di dunia termasuk dalam kategori tinggi berkisar antara 2.3% hingga

11.3%. Hal tersebut dapat diketahui bahwa prevalensi OA pada lansia usia > 60 tahun

diestimasikan sebesar 10 -15% dengan angka kejadian 18.0% pada perempuan dan

9.6% pada laki - laki, dari angka tersebut dapat dilihat bahwa prevalensi OA pada

perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki - laki (Ireneu et al, 2017).

Di Amerika Serikat, 85% dari jumlah tersebut adalah penderita dengan

usia diatas 75 tahun dan 50% dari jumlah tersebut adalah penderita berumur diatas 65

tahun, sedangkan pada usia dibawah 65 tahun hanya berkisar 15% saja. Diperkirakan

pada tahun 2020 penderita osteoarthritis akan meningkat 11,6 juta penderita (Ibrahim

Njoto, 2017). Prevalensi OA akan mengalami peningkatan seiring bertambahnya orang

yang berusia 60 tahun dan terjadinya kenaikan angka obesitas di seluruh dunia

khususnya di Amerika (Mobasheri & Batt, 2016).

Angka kejadian osteoartritis di Indonesia yang didiagnosis oleh tenaga

kesehatan sejak tahun 1990 hingga 2010 telah mengalami peningkatan sebanyak 44,2%

yang diukur dengan DALY (Disability Adjust Lost Years). Prevalensi OA berdasarkan

1
usia di Indonesia cukup tinggi yaitu 5% pada usia 40 tahun, 30% pada usia 40 - 60

tahun, dan 65% pada usia tua (lansia) lebih dari 61 tahun (Ireneu et al, 2017).

Dari aspek karakteristik umum pasien yang didiagnosis penyakit sendi

osteoarthritis, menurut Arthritis Research UK (2012), memperlihatkan bahwa usia, jenis

kelamin, obesitas, ras/genetik, dan trauma pada sendi mempunyai kolerasi terhadap

terjadinya osteoarthritis. Adapun gejala yang biasa di rasakan adalah nyeri,kebas,adanya

krepitasi,kekakuan,serta gangguan fungsional.

Beberapa intervensi dapat diterapkan pada kasus osteoarthritis, dapat berupa

elektroterapi maupun latihan. Menurut Julie M. Gentile (2011),beberapa pengobatan

aktif antara lain strengthening exercise dan fleksibilitas exercise. Beberapa manfaat

antara lain perbaikan kekuatan otot disekitar knee joint, mobilitas dan fungsi knee joint.

Hasil penelitian Gail D Deyle et al (2005) menunjukkan bahwa strengthening exercise,

stretching exercise dan manual therapy dapat menghasilkan perbaikan fungsional knee

yang signifikan pada penderita OA.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi

1. Anatomi Sendi

a. Tibiofemoral Joint

Tibiofemoral joint yang biasa disebut knee

joint, merupakan biaxial modified hinge joint

dengan 2 meniskus sebagai bantalan sendi. Dataran

medial tibia lebih besar daripada dataran lateral

tibia, yang masing-masing memiliki meniskus

fibrocartilaginous. Meniskus berfungsi

memperbaiki kongrueni-tas (sebangun) permukaan sendi.

Meniskus melekat pada kapsul sendi melalui ligamen coronary. Meniskus

medialis sangat melekat pada kap-sul sendi serta ligamen collateral medial, li-

gamen cruciatum anterior, dan otot semi-membranosus. Oleh karena itu sangat

mu-dah injury ketika terjadi pukulan lateral pada knee.

Tibiofemoral joint dibentuk oleh 2 condylus asimetris yang konveks pada

ujung distal femur, yang bersendi dengan 2 dataran tibia yang konkaf pada ujung

proksimal tibia. Condylus medial lebih panjang daripada lateral sehingga

memberikan kontribusi ter-hadap mekanisme penguncian di knee.

Kedua meniskus berbentuk 2 halfmoon, ber-fungsi sebagai shock

absorber. Regio knee joint memiliki banyak bursa berfungsi untuk mengurangi

gaya friksi. Dibagian dorsal terdapat fossa poplitea yg dibentuk oleh tendon

biceps femoris, tendon semimembranosus-semitendinosus, & 2 ca-put

3
gastrocnemius. Di fossa poplitea terdapat nervus tibialis posterior dan vena-arteri

poplitea.Stabilitas anterior-posterior sendi diperkuat oleh ligamen cruciatum

posterior & anterior.

Stabilitas medial sendi diperkuat oleh liga-men collateral medial

(tibialis) dan stabilitas lateral sendi diperkuat oleh ligamen collateral lateral

(femoralis). Terdapat pes anserine pada sisi medial knee joint, yaitu dibentuk oleh

otot sartorius, gracilis & semitendinosus yg sama-sama melekat pada permukaan

anteromedial proksimal tibia.

b. Patellofemoral Joint

Patellofemoral (knee cap joint) dibuat

dari dua tulang yaitu tulang tempurung lutut

(patellar) dan tulang paha  (femur).Sendi

patellofemoral adalah struktur yang unik dan

kompleks yang terdiri dari unsur-unsur statis

(tulang dan ligamen) dan elemen dinamis (sistem neuromuskular). Patella

memiliki konfigurasi segitiga dengan puncaknya diarahkan secara inferior. Lebih

lanjut, ia berartikulasi dengan trochlea, permukaan artikulasi distal femur, yang

merupakan permukaan artikulasi utama dari sendi patellofemoral.

Sendi dengan jenis modified plane joint dan terletak diantara tulang femur

dan patella. Sendi ini berfungsi membantu 26 mekanisme kerja dan mengurangi

friction quadriceps. Gerak geser patella terhadap femur mengikuti pola ulur gerak

lurusmelengkung ke medial-lurus. Gerak geser patella ke proksimal dan ke distal

saat ekstensi dan fleksi. Saat ekstensi disertai gerak geser patella ke medial hingga

kembali lurus.

4
2. Sistem Otot

Otot-otot yang bekerja pada sendi lutut yaitu:

a. Bagian anterior adalah  musculus rectus femoris, musculus vastus lateralis,

musculus Vastus medialis, musculus vastus intermedius.

b. Bagian posterior adalah musculus biceps femoris, musculus semitendinosus,

musculus semimembranosus, dan musculus gastrocnemius.

c. Bagian  medial  adalah musculus Sartorius

d. Bagian lateral adalah  musculus Tensorfacialatae

(Anterior View) (Lateral View)

(Posterior View)

3. Biomekanik Sendi Lutut

Aksis gerak fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan sendi, yaitu

melewati condylus femoris. Sedangkan gerakan rotasi aksisnya longitudinal pada

daerah condylus medialis (Kapandji, 1995). Secara biomekanik, beban yang

diterima sendi lutut dalam keadaan normal akan melalui medial sendi lutut dan

5
akan diimbangi oleh otot-otot paha bagian lateral, sehingga resultannya akan jatuh

di bagian sentral sendi lutut.

a. Osteokinematika

Osteokinematika yang memungkinkan terjadi adalah gerakan fleksi dan

ekstensi pada bidang sagital dengan lingkup gerak sendi fleksi antara 120-130

derajat, bila posisi  hip fleksi penuh, dan dapat mencapai 140 derajat, bila hip

ekstensi penuh, untuk gerakan ekstensi, lingkup gerak sendi antara 0 – 10 derajat

gerakan putaran pada bidang rotasi dengan lingkup gerak sendi untuk endorotasi

antara 30 – 35 derajat, sedangkan untuk eksorotasi antara 40-45 derajat dari posisi

awal mid posision. Gerakan rotasi ini terjadi pada posisi lutut  fleksi 90 derajat

(Kapandji, 1995), gerakan yang terjadi pada kedua permukaan tulang meliputi

gerakan rolling dan sliding. Saat tulang femur yang bergerak maka, gerakan

rolling ke arah belakang dan sliding  ke arah depan (berlawanan arah). Saat fleksi,

femur rolling ke arah  belakang dan sliding ke belakang, untuk gerakan  ekstensi,

rolling ke depan dan sliding  ke belakang. Saat tibia yang bergerak fleksi  adapun

ekstensi  maka rolling maupun sliding bergerak searah, saat fleksi  maka rolling

maupun sliding bergerak searah, saat  fleksi  rolling dan sliding ke arah belakang,

sedangkan saat ekstensi rolling  dan sliding bergerak ke arah depan.

b. Artrokinematika

Artrokinematika pada sendi lutut di saat femur bergerak rolling dan sliding

berlawanan arah, disaat terjadi gerak fleksi femur rolling  ke arah belakang dan

sliding-nya ke depan, saat gerakan ekstensi femur rolling kearah depannya

sliding-nya ke belakang. Jika tibia bergerak fleksi ataupun ekstensi maka rolling

6
maupun sliding terjadi searah, saat fleksi menuju dorsal, sedangkan ekstensi

menuju ventral  (Kapandji, 1995).

B. Patologi Osteoarthritis

1. Pengertian

Osteoarthritis adalah suatu gangguan kronis yang ditandai dengan adanya

kerusakan atau gangguan pada kartilago artikuler, tulang subcondral, permukaan

sendi, sinovium, dan jaringan paraartikuler, dengan karakteristik menipisnya

kartilago secara progresif, disertai dengan pembentukan tulang baru pada tepi

sendi atau osteofit dan trabekula subchondral (Kurnia dewi, 2009).

2. Etiologi

Osteoarthritis dianggap sebagai penyakit kartilago hialin. Saat ini menjadi

pertanyaan, dan evidence based (fakta) telah menjelaskan bahwa proses penyakit

tidak berasal dari kartilago, tetapi diawali dengan perubahan pada tulang

subchondral. Perubahan ini meliputi redistribusi suplai darah dengan hipertensi di

dalam sumsum tulang subchondral, edema dan mikro-nekrosis, yang kemudian

mengakibatkan degenerasi kartilago hialin yang bersifat sekunder. Akumulasi

mikro – fraktur didalam tulang subchondral membuatnya lebih rapuh, yang

selanjutnya menyebabkan stres yang besar pada kartilago sendi (Stuart, 2003).

Beberapa sendi yang tidak bergerak rentan terjadinya perkembangan

osteoarthritis. Kandungan proteoglican yang rendah ditemukan dalam kartilago

sendi yang tidak bergerak disertai dengan penurunan volume cairan sinovial.

Perubahan ini berhubungan dengan degenerasi kartilago sendi. Gerakan abnormal

sendi dapat menjadi faktor predisposisi osteoarthritis pada sendi, seperti terjadi

pada sendi lutut pasca ruftur ligamen cruciatum anterior. Hipermobilitas sendi

7
memiliki korelasi positif terhadap risiko berkembangnya osteoarthritis (Stuart,

2003).

Lebih jelasnya etiologi osteoarthritis dapat diketahui berdasarkan

klasifikasi osteoarthritis. Klasifikasi osteoarthritis terdiri atas osteoarthritis primer

dan sekunder.

a. Osteoarthritis Primer

Pada osteoarthritis primer, tidak diketahui penyebabnya yang jelas. Hal

ini disebabkan oleh perubahan intrinsik dari jaringan sendi itu sendiri.

Osteoarthritis primer dapat mempengaruhi beberapa sendi dalam pola yang

klasik dan umumnya terjadi pada wanita pascamenopause yang secara khas

memperlihatkan nodul heberden dan (Stuart, 2003).

Faktor genetik dapat terlibat dalam osteoarthritis primer, dimana node

Heberden menjadi 10 kali lebih berisiko terjadi osteoarthritis pada perempuan

dibandingkan laki-laki, juga ibu dan saudara perempuannya yang terkena

menjadi 2 – 3 kali lebih berisiko terjadi osteoarthritis primer. Peningkatan

frekuensi human leukosit antigen (HLA) Al dan B8 dapat terjadi pada orang-

orang dengan kondisi osteoarthritis. Proinflammatory Cytokines dapat terlibat

dalam proses terjadinya osteoarthritis, dan terdapat bukti/fakta yang kuat

bahwa nitric oxide yang merupakan inorganik radikal bebas dapat berperan

besar terhadap degradasi kartilago. Iklim tampaknya tidak secara langsung

terkait dengan perubahan patologis osteoarthritis, tetapi setiap orang yang

tinggal di daerah dingin sering mengalami nyeri yang hebat akibat iklim

lembab (Stuart, 2003).

8
b. Osteoarthritis Sekunder

Osteoarthritis sekunder muncul sebagai konsekuensi dari kondisi lain.

Penyebab Osteoarthritis sekunder dapat dibagi kedalam empat kategori yaitu :

metabolisme, anatomical, traumatik atau inflamasi (Stuart, 2003).

Osteoarthritis lebih sering muncul pada orang-orang yang memiliki

riwayat cedera atau fraktur sebelumnya pada sendi tertentu. Trauma ringan

atau kecil yang berulang-ulang dapat menyebabkan mikro fraktur dan akhirnya

terjadi osteoarthritis. Faktor-faktor pekerjaan dianggap penting dalam

perkembangan munculnya osteoarthritis sekunder. Knee joint pada penambang

memiliki risiko terkena osteoarthritis, sendi carpometacarpal dan

metacarpophalangeal pertama pada penjahit juga memiliki risiko terkena

osteoarthritis, elbow dan shoulder pada operator bor juga memiliki risiko

terkena osteoarthritis (Stuart, 2003).

Adanya deformitas dapat meningkatkan risiko terjadinya osteoarthritis,

sebagai contoh fraktur yang menyebabkan perubahan biomekanik atau

kerusakan kartilago secara langsung jika fraktur melibatkan permukaan sendi

(Stuart, 2003).

Overweight sangat berhubungan dengan perkembangan osteoarthritis di

beberapa sendi yang menumpu berat badan namun tidak terjadi pada sendi lain.

Beberapa penelitian menunjukkan ada korelasi antara indeks massa tubuh yang

tinggi dengan osteoarthritis knee, dimana dapat diakibatkan oleh deformitas

varus pada orang obesitas (Stuart, 2003).

Overweight dapat menyebabkan kelelahan otot yang prematur,

selanjutnya dapat menyebabkan abnormal kinematika dan akhirnya

9
berkembang osteoarthritis. Overweight tampaknya memiliki hubungan yang

lebih kuat pada wanita. Peningkatan beban di sendi jelas sangat berpengaruh,

tetapi kelainan hormonal yang berhubungan dengan obesitas juga dapat

menjadi penyebab, sebagaimana telah dijelaskan adanya peningkatan,

meskipun sederhana, dapat menyebabkan osteoarthritis pada wanita obesitas.

Osteoarthritis merupakan penyakit yang bersumber dari mekanikal, tetapi

dimediasi secara kimiawi (Stuart, 2003).

3. Proses Patologi

Osteoarthritis terutama mempengaruhi kartilago, jaringan yang keras tapi

licin, yang menutupi ujung-ujung tulang yang bertemu membentuk suatu sendi.

Kartilago yang sehat memungkinkan tulang saling bergerak dengan luwes satu

sama lain. Kartilago juga mengabsorbsi energy dari guncangan akibat

perpindahan fisik. Sedangkan pada osteoarthtitis, terjadi pengikisan kartilago.

Fibrilasi atau keretakan dalam menit dan hilangnya kadar air dapat

menyebabkan pelunakan, pemecahan dan fragmentasi kartilago. Hal ini terjadi

pada area permukaan sendi yang menumpu berat badan dan yang tidak menumpu

berat badan. Serat kolagen terpecah dan terjadi disorganisasi pada hubungan

normal proteoglycan – kolagen. Sebagai akibatnya, air tertarik ke dalam matriks

kartilago sehingga menyebabkan pelunakan dan penglupasan yang lebih berat

(Stuart, 2003).

Serpihan-serpihan kartilago yang rusak/pecah tersebut akan terambang

bebas didalam sendi, dan dampaknya diantara permukaan sendi adalah terjadi

penguncian, peradangan, dan iritasi sinovial. Proliferasi terjadi di kartilago perifer

dan kondrosit berusaha memperbaiki kerusakan, tetapi hasil akhirnya tidak

10
mampu menahan stress mekanikal. Hal ini akan mengawali terjadinya proses

patologis yang berat pada jaringan lainnya (Stuart, 2003).

Pada osteoarthritis terjadi tingkat remodeling tulang dan upaya perbaikan.

Remodelling ini dapat terlihat pada tulang subchondral yang telah menjadi

eburnasi (menyerupai gading dan mengkilap) dan pada X-Ray nampak putih,

padat, sklerotik. Kedua ujung tulang menjadi keras dan padat secara abnormal,

sebagai proteksi terhadap kartilago diatasnya yang hilang atau rusak. Kista bisa

terbentuk di dalam tulang subchondral dan karena tulang yang eburnasi menjadi

rapuh maka mikro-fraktur dapat terjadi, sehingga memungkinkan lewatnya cairan

sinovial ke dalam tulang yang lebih dalam (Stuart, 2003).

Akibat osteoarthritis, membran sinovial dapat mengalami hipertrofi dan

menjadi edema. Beberapa serpihan kartilago yang telah patah atau rusak menjadi

iritan bagi membran sinovial, dan menyebabkan efusi yang berulang. Kapsul

sendi dan ligamen akan mengalami degenerasi fibrous dan pemendekan adaptif

jika terjadi perkembangan penyakit. Perubahan inflamatory kronik low-grade

seringkali terlihat, meskipun definisi OA adalah degeneratif dan bukan

inflamatory. Beberapa ligamen mengalami perubahan yang sama seperti kapsul,

yaitu mengalami pemendekan atau elongasi. Jika space sendi menurun sampai

derajat yang signifikan maka ligamen-ligamen yang telah mengalami

pemanjangan sedang dapat menjadi pemanjangan yang lebih besar ketika ruang

sendi menurun sehingga ligamen-ligamen tidak akan mampu lagi menopang sendi

atau memberikan proprioceptive feedback sendi yang cukup (Stuart, 2003).

Otot disekitar sendi menjadi lemah karena efusi sinovial dan disuse atropy

pada satu sisi dan spasme otot pada sisi lain. Perubahan biomekanik ini disertai

11
dengan biokimia dimana terjadi gangguan metabolisme kondrosit, gangguan

biokimia matrik akibat terbentuknya enzim metalloproteinase yang memecah

proteoglikan dan kologen. Meningkatkan aktivitas subtansi sehingga

meningkatkan nociceptor dan menimbulkan nyeri (Suriani, 2013).

4. Gambaran Klinis

Menurut Australian Physiotherapy Association (APA) (2003) penyakit

osteoarthritis mempunyai gejala-gejala yang biasanya menyulitkan bagi

kehidupan penderitanya. Adapun gejala tersebut antara lain:

a. Nyeri sendi (recurring pain or tenderness in joint)

Keluhan nyeri merupakan keluhan utama yang sering-kali membawa

penderita k 19 sendi sudah kaku dan berubah bentuknya. Biasanya nyeri sendi

bertambah dikarenakan gerakan dan sedikit berkurang bila istirahat. Pada

gerakan tertentu (misal lutut digerakkan ke tengah) menimbulkan rasa nyeri.

Nyeri pada osteoarthritis dapat menjalar kebagian lain, misal osteoarthritis

pinggang menimbulkan nyeri betis yang disebut sebagai “claudicatio

intermitten”. Korelasi antara nyeri dan tingkat perubahan struktur pada

osteoarthritis sering ditemukan pada panggul, lutut dan jarang pada tangan dan

sendi apofise spinalis.

b. Kekakuan (stiffness)

Pada beberapa penderita, kaku sendi dapat timbul setelah duduk lama di

kursi, di mobil, bahkan setelah bangun tidur. Kebanyakan penderita mengeluh

kaku setelah berdiam pada posisi tertentu. Kaku biasanya kurang dari 30 menit.

c. Hambatan gerakan sendi (inability to move a joint)

12
Kelainan ini biasanya ditemukan pada osteoarthritis sedang sampai

berat. Hambatan gerak ini disebabkan oleh nyeri, inflamasi, sendi

membengkok, perubahan bentuk. Hambatan gerak sendi biasanya dirasakan

pada saat berdiri dari kursi, bangun dari tempat berbaring, menulis atau

berjalan. Semua gangguan aktivitas tergantung pada lokasi dan beratnya

kelainan sendi yang terkena.

d. Bunyi gemeretak (krepitasi)

Sendinya terdengar berbunyi saat bergerak. Suaranya lebih kasar

dibandingkan dengan artritis reumatoid dimana gemeretaknya lebih halus.

Gemeretak yang jelas terdengar dan kasar merupakan tanda yang signifikan.

e. Pembengkakan sendi (swelling in a joint)

Sendi membengkak / membesar bisa disebabkan oleh radang sendi dan

bertambahnya cairan sendi atau keduanya.

f. Perubahan cara berjalan atau hambatan gerak

Hambatan gerak atau perubahan cara berjalan akan berkembang sesuai

dengan beratnya penyakit. Perubahan yang terjadi dapat konsentris atau seluruh

arah gerakan maupun eksentris atau salah satu gerakan saja (Sudoyono, 2009).

g. Kemerahan pada daerah sendi (obvious redness or heat in a joint)

Kemerahan pada sendi merupakan salah satu tanda peradangan sendi.

Hal ini mungkin dijumpai pada osteoarthritis karena adanya sinovitis, dan

biasanya tanda kemerahan ini tidak menonjol dan timbul belakangan

(Sudoyono, 2009)

13
Gambaran khas pada OA lutut adalah adanya osteofit dan penyempitan

celah sendi.3,7 Berdasarkan pemeriksaan radiologi, Kellgren & Lawrence

menyusun gradasi OA lutut menjadi : 

1) Grade 0 :  tidak ada OA

2) Grade 1 :  sendi dalam batas normal dengan osteofit meragukan

3) Grade 2 : terdapat osteofit yang jelas tetapi tepi celah sendi baik dan tak

nampak deformitas tulang.

4) Grade 3 :  terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan penyempitan celah

sendi.

5) Grade 4 :  terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan disertai hilangnya

celah sendi.

C. Intervensi Fisioterapi

1. Microwave Diathermy (MWD)

a. Definisi

Microwave Diathermy adalah suatu aplikasi terapeutik dengan

menggunakan gelombang mikro dalam bentuk radiasi elektromagnetik yg

akan dikonversi dalam bentuk dengan frekuansi 2456 MHz dan 915 MHz

14
dengan panjang gelombang 12,25 arus yang dipakai adalah arus rumah 50

HZ, penentrasi hanya 3 cm, salah satu modalitas fisioterapi yang bermanfaat

untuk mengurangi nyeri

b. Fisika Dasar

MWD menggunakan gelombang mikro dlm bentuk radiasi

elektromagnetik yg akan dikonversi dalam bentuk dengan frekuansi 2456

MHz dan 915 MHz dengan panjang gelombang 12,25 arus yang dipakai

adalah arus rumah 50 HZ, penentrasi hanya 3 cm, efektif pada otot 

c. Efek Terapeutik

1) Nyeri, hipertonus dan gangguan vascularisasi

Menurunkan nyeri, normalisasi tonus otot melalui efek sedatif, serta

perbaikan metabolisme.

2) Gangguan konduktivitas dan treshold jaringan syaraf

Apabila elastisitas dan treshold jaringan saraf semakin membaik, maka

konduktivitas jaringan. Ini dimaksudkan sebagai persiapan sebelum

pemberiam latihan

3) Kontraktur jaringan lemak

Dengan peningkatan elastisitas jaringan lemak, maka dapat mengurangi

proses kontraktur jaringan. Ini dimaksudkan sebagian persiapan sebelum

pemberian latihan.

d. Indikasi

Selektif pemanasan otot (jaringan kolagen), spasme otot (efektif untuk sendi

Inter Phalangeal, Metacarpal Phalangeal dan pergelangan tangan,

15
Rheumathoid Arthritis dan Osteoarthrosis), kelainan saraf perifer (neuralgia

neuritis) 

e. Kontraindikasi MWD

Adanya logam, gangguan pembuluh darah, pakaian yang menyerap keringat,

jaringan yang banyak cairan, gangguan sensibilitas, neuropathi (timbul

gangguan sensibilitas dan diabetes melitus), infeksi akut, transqualizer (alat

pada pasien dengan gangguan kesadaran), sesudah rontgen (konsentrasi EM

berkelebihan), kehamilan, saat menstruasi.

2. Mobilisasi Sendi

a. Definisi

Mobilisasi sendi adalah suatu tehnik terapi manual yang digunakan

untuk memodulasi nyeri dan menangani gangguan sendi yang menghambat

Range of motin yang secara khusus mengatasi perubahan mekanik pada sendi.

Perubahan mekanik sendi dapat diakibatkan oleh nyeri dan muscle guarding,

efusi sendi, kontraktur atau perlengketan pada kapsul sendi atau ligament

penopang atau gerakan sendi yang menyimpang. Gerakan mobilisasi sendi

didasari oleh gerak artrokinematikanya (Kisner and Colby, 2014). Jenis

gerakan yang terjadi pada sendi dipengaruhi oleh bentuk permukaan sendi.

Jenis gerakan yang dapat terjadi pada sendi , yaitu : Roll, Slide/Translasi,

Kombinasi Roll-sliding pada sendi dan Traksi/Translasi.

b. Efek gerakan sendi

Gerakan sendi merangsang aktivitas biologis dengan menggerakan

cairan sinovial, yang membawa nutrisi ke kartilago sendi yang vaskular pada

permukaan sendi dan fibrokartilago intraartikular pada meniskus. Atropi

16
pada kartilago sendi dimulai segera setelah imobilisasi terjadi pada sendi

(Kisner and Colby, 2014).

Ekstensibilitas dan ketahanan tarikan sendi serta jaringan periartikular

dipertahankan dengan gerakan sendi pada imobilisasi terjadi proliferasi

fibrofatty, yang menyebabkan perlekatan intra- artikular serta perubahan

biomekanik pada tendon, ligamen, dan jaringan kapsul sendi, yang akan

menyebabkan kontraktur sendi dan kelemahan ligament (Kisner and Colby,

2014).

Impuls saraf aferen dari dari reseptor sendi mengirimkan informasi ke

sistem saraf pusat dan, karena itu, memberikan kesadaran posisi dan gerakan.

Pada cedera atau degenerasi sendi,terdapat potensi penurunan sumber utama

umpan balik proprioseftif yang dapat memengaruhi respons keseimbangan

individu.

c. Indikasi

1) Nyeri dan spasme otot

2) Hypomobilitas sendi yang bersifat reversible

3) Keterbatasan yang bersifat progresif

4) Immobilitas fungsional

d. Kontraindikasi

1) Hypermobilitas

2) Efusi sendi

3) Inflamasi

3.    Contract Relax Stretching

a. Definisi

17
Contract Relax Stretching merupakan suatu teknik yang menggunakan

kontraksi isometrik yang optimal dari kelompok agonis yang memendek,

dilanjutkan dengan relaksasi kemudian diulur

Menurut Susan S. Adler (2000), Contract Relax adalah kontraksi resisted

isotonik pada otot yang spasme kemudian diikuti dengan relaksasi dan

dilakukan gerakan kearah peningkatan ROM. Sedangkan Stretching adalah

istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu manuver

terapeutik yang didesain untuk memanjangkan struktur jaringan lunak yang

memendek secara patologis. (Carolyn Kisner, 1999). Jadi Contract Relax

Stretching adalah suatu teknik terapi latihan yang diawali dengan kontraksi

resisted isotonik pada otot yang spasme kemudian diikuti dengan relaksasi,

dan akhirnya diaplikasikan stretching untuk mengulur otot yang spasme.

b. Prinsip Fisiologi

1) Autogenic inhibisi (Inverse Stretch Refleks)

Ketika suatu otot berkontraksi sangat kuat, terutama jika

ketegangan menjadi berlebihan, maka secara tiba-tiba kontraksi menjadi

terhenti dan otot relaksasi. Ralaksasi ini sebagai respon terhadap

ketegangan yang sangat kuat, yang dinamakan dengan inverse stretch

refleks atau autogenic inhibisi dan menyesuaikan dengan hukum kedua

Sherrington, yaitu jika otot mendapat stimulasi untuk berkontraksi,

maka otot antagonis menerima impuls untuk relaksasi.

2) Inhibisi Reciprocal

Kita ketahui bahwa didalam medula spinalis terdapat inhibisi

prosinaptik. Serabut saraf afferant Ia dari muscle spindel otot berjalan

18
ke medula spinalis dan bersinaps dengan saraf motorik dari otot yang

sama (alpha motoneuron) serta bersinaps dengan interneuron inhibisi

medula spinalis yang kemudian bersinaps dengan saraf motorik dari otot

antagonis.

Jika ada impuls dari muscle spindel yang dibawa oleh serabut saraf

Ia, maka impuls inhibisi postsinaptik melalui interneuron inhibisi

medula spinalis neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot

antagonis. Kemudian impuls tersebut memfasilitasi neuron motoril dari

otot yang sama (agonis), sehingga otot tersebut berkontraksi, sehingga

otot antagonis mengalami relaksasi. Fenomena ini disebut inhibisi dan

fasilitasi reciprokal, karena adanya persarafan dalam medula spinalis.

3) Respon Mekanikal dan Neurofisiologi Otot Terhadap Stretch

Respon mekanikal otot terhadap peregangan bergantung pada

myofibril dan sarkomer otot. Ketika otot secara pasif

diregangkan/diulur, maka pemanjangan awal terjadi pada rangkaian

komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara drastis.

Kemudian ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan

kembali ke posisi resting lenght. Kecenderungan otot untuk kembali ke

posisi resting lenght setelah peregangan disebut dengan elastisitas.

Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada

struktur muscle spindle dan golgi tendon organ. Ketika otot diregang /

diulur dengan sangat cepat, maka serabut efferent primer meregang

alpha motoneuron pada medula spinalis dan memfasilitasi kontraksi

serabut ekstrafusal, yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot.

19
Hal ini dinamakan dengan monosynaptik refleks. Tetapi jika

peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon organ

terstimulasi dan menginhibisi ketegangan (tension) pada otot sehingga

memberikan pemanjangan pada komponen elastis otot yang paralel

(sarkomer).

c. Indikasi

Ketika Range Of Motion (ROM) terbatas karena adanya kontraktur

adhesive dan terbentuknya scar tissue yang memicu pemendekan pada

jaringan connective tissue dan kulit. Serta Ketika adanya spasme atau

tightness pada otot-otot disekitar sendi.

d. Kontra indikasi

1) Fraktur

2) Dislokasi atau subluksasi

3) Peradangan atau infeksi akut disekitar sendi

4) Trauma akut pada otot.

4. Strengthening Quadriceps

a. Definisi

Strengthening Exercise merupakan latihan sebagai upaya penguatan otot

dengan komponen berupa power, endurance dan speed contraction sebagai

upaya penguatan dengan membuat kontraksi pada otot Quadriceps (4 otot

penggerak extensor paha). Quadriceps Strengthening exercise merupakan

bentuk latihan kontraksi otot statik ataupun dinamik yang menggunakan

tahanan yang berasal dari luar ataupun dalam tubuh yang bertujuan

20
menurunkan peradangan intraartikular, tekanan dan kerusakan tulang serta

mengembalikan kekuatan otot Quadricep itu sendiri.

b. Teknik

Kisner dan colby (2012) memaparkan beberapa faktor penentu dari exercise

yaitu frequency, time, dan type (jenis lathan yang digunakan). Beberapa teknik

untuk melakukan strengthening exercise adalah; Warm Up, pembebanan,

direction of resistance, stabilisasi, intensitas latihan, volume atau repetisi,

instruksi verbal atau tertulis, memonitor pasien, pendinginan (Putera, 2014;

Kisner & Colby, 2012).

c. Kontra Indikasi

Johnston (2016) membagi kontraindikasi exercise terutama untuk lansia, adalah

sebagai berikut; deep vein thrombosis, Artery stenosis, Stroke, Tekanan darah

tinggi > 200/ 100 mmHg, Anemia (Johnston, 2016).

21
BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Proses Asesmen Fisioterapi

1. Identitas Umum Pasien

Nama : Ny. A

Umur : 61 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Kader Posyandu

Alamat : Jln. Rajawali 1

2. History Taking

Keluhan utama : nyeri lutut kanan

Kapan terjadi : sekitar 1 tahun

Penyebab keluhan : tidak diketahui

Riwayat trauma : tidak ada

Riwayat penyakit dahulu : tidak ada

RPP : keluhan dirasakan sekitar 1 tahun lalu, pasien

merasakan nyeri dan kaku pada pagi hari. Nyeri

bertambah saat pasien bergerak dari duduk ke berdiri,

saat naik dan turun tangga dan berjalan jauh.

3. Inspeksi/Observasi

a. Statis : Keadaan umum pasien baik, nampak deformitas genu valgum,

semi fleksi knee sebelah kanan dan adanya oedema.

22
b. Dinamis : Pasien datang dengan cara berjalan agak pincang, saat pasien

diminta untuk menekuk lututnya dengan posisi berdiri hasilnya pasien sulit

melakukan karena adanya nyeri yang di rasakan pasien.

4. Pemeriksaan Fungsi Dasar

Gerak Aktif Pasif TIMT


Fleksi Knee Nyeri dan terbatas Nyeri, terbatas dan Tahanan minimal

firm end feel


Ekstensi Knee Nyeri dan terbatas Nyeri, terbatas dan Tahanan minimal

firm end feel

5. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi

a. Palpasi :

1) Suhu : Normal

2) Nyeri tekan knee dextra : Ada nyeri tekan sisi lateral dan anterior

3) Adanya krepitasi yang dirasakan saat palpasi sendi

b. Pengukuran ROM

Normal : (S : 5o – 00 – 1300 °−0° −120°)

Hasil : Dextra (S : 0o – 1000 °−0° −120°)

c. Pengukuran nyeri (VAS) :

Karakteristik Hasil Interpretasi


Nyeri diam 0 Tidak sakit (none)
Nyeri tekan 4 Agak mengganggu

(moderate)
Nyeri gerak 7 Mengganggu (severe)

d. MMT

23
Gerakan Dextra Sinistra
Fleksi 4 5
Ekstensi 4 5

e. Ballotement test

Hasil : (+)

IP : ada penumpukan cairan yang melebihi normal pada knee

f. Indeks WOMAC (The Western Ontario and McMaster Universities Osteoarthritis

Index)

Instruksi : Silahkan pilih setiap kategori sesuai dengan skala kesulitan yang

dirasakan dalam akivitas : 0 = None, 1 = Slight/ringan, 2 = Moderate/sedang, 3 =

Very/berat, 4 = Extremely/sangat berat

Kriteria Aktivitas Score


1. Berjalan 3 Total
2. Menaiki tangga 4
score: Nyeri 3. Kegiatan dimalam hari 2 68 x
2. Istirahat 0
96 =
3. Berdiri statis 3
1. Kaku dipagi hari 4
64,32%
Kekakuan
2. Kaku pada hari berikutnya 2
1. Menuruni tangga 4
2. Menaiki tangga 4
4. Bangkit dari duduk 4
5. Berdiri 4
6. Membungkuk kelantai 4
7. Berjalan diatas permukaan datar 3
8. Masuk atau keluar dari mobil 3
Physical 9. Pergi berbelanja 4
10. Memakai kaos kaki 1
fuction 11. Berbaring di tempat tidur 0
12. Melepas kaos kaki 1
13. Bangkit dari tempat tidur 4
14. Masuk/keluar kamar mandi 3
15. Duduk 1
16. Masuk/keluar toilet 3
17. Tugas rumah tangga yang berat 4
18. Tugas rumah tangga yang ringan 2 24
100

Interpretasi nilai WOMAC

- Mendekati Nilai 0% : normal

- Mendekati Nilai 100 % : disabilitas

g. Tes Spesifik

1) Tes Valgus

Satu tangan fisioterapis memfiksasi medial ankle, lalu tangan lainnya

mendorong lateral knee kearah medial menggunakan telapak tangan dengan

posisi tungkai fleksi 300 dan selanjutnya ekstensi.

Hasil : Dextra : instabilitas

2) Tes Varus

Satu tangan fisioterapis memfiksasi lateral ankle dan tangan kanan pada

medial knee dan mendorong knee ke arah lateral dengan posisi sedikit fleksi

knee dan selanjutnya ekstensi.

Hasil : negative

3) Anterior Drawer Test

25
Posisi pasien berbaring terlentang di atas bed, satu lutut pasien ditekuk dan

lutut yang lain tetap lurus. Posisi pemeriksa duduk dipinggir bed,sambil

menekan kaki pasien, dimana yang lututnya tadi ditekuk, kedua lengan

pemeriksa memberikan tarikan ke arah anterior. Pemeriksaan ini untuk

mengatahui stabilitas Ligamentum cruciatum anterior.

Hasil : hipomobile

4) Posterior Drawer Test

Posisi pasien berbaring terlentang di atas bed, satu lutut pasien ditekuk

dan lutut yang lain tetap lurus. Posisi pemeriksa duduk di tepi bed sambil

menekan kaki pasien dimana lututnya ditekuk bersamaan dengan itu

pemeriksaan memberikan dorongan ke arah posterior.

Hasil: hipomobile

5) Tes Joint Play Movement

a) Traksi Tibia

26
Posisi pasien prone lying dengan posisi fleksi knee 45’. Posisi fisioterapis

berada disamping pasien. Tangan kanan fisioterapis berada pada posterior

distal femur dan tangan kiri berada pada distal tibia. Tangan kanan

fisioterapis memfiksasi posterior femur dan tangan kiri melakukan traksi

pada tibia.

b) Ventral – Dorsal Glide Tibia

Posisi pasien duduk di pinggir bed dengan posisi tungkai menggantung.

Posisi fisioterapis duduk di stol atau duduk di pinggir bed. Kedua tangan

fisioterapis berada pada proksimal Tibia kemudian melakukan gerakan

kearah ventral dan dorsal secara bergantian pada Tibia.

6) Fungsional Squad Tes

Posisi pasien berdiri di depan fisioterapis. Minta pasien untuk berjinjit lalu

jongkok ( posisi kuda-kuda) lalu perhatikan ada tidaknya nyeri.

27
h. Pemeriksaan penunjang

Hasil Pemeriksaan X-Ray

6. Diagnosa Fisioterapi

Adapun diagnosa fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses pengukuran dan

pemeriksaan tersebut, yaitu: “Knee Pain dengan Hipomobile Knee et causa

Osteoarthritis Genu Dextra”.

7. Problematik Fisioterapi

a. Impairment

1) Nyeri lutut sebelah kanan

28
2) Keterbatasan ROM fleksi dan ekstensi knee sebelah kanan.

3) Gangguan Stabilitas Sendi

4) Kelemahan otot

b. Activity Limitation

1) Nyeri dari jongkok ke berdiri

2) Kesulitan berpindah dari duduk ke berdiri

3) Kesulitan naik tangga dan berjalan lama

4) Kesulitan melakukan transfer position atau ambulasi ( berdiri ke jongkok dan

duduk keberdiri.)

c. Participation Restriction

1) Keterbatasan saat beribadah

2) Kesulitan untuk pergi bekerja

B. Prosedur Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Intervensi Fisioterapi

a. Rencana jangka pendek

1) Menurunkan tingkat nyeri

2) Memperbaiki kekuatan otot

3) Memperbaiki ROM sendi

4) Memperbaiki stabilitas sendi

b. Rencana jangka panjang

Memperbaiki kemampuan ambulasi naik turun tangga dan berjalan tanpa rasa

nyeri.

29
2. Program Intervensi Fisioterapi

No Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Jenis Intervensi

.
1. Impairment :
a. Nyeri lutut Menurunkan nyeri MWD

b. Keterbatasan ROM Meningkatkan Traksi Oscillasi

ROM Theraband

Latihan stabilitas sendi

c. Gangguan stabilitas Meningkatkan

sendi stabilitas sendi

d. Kelemahan otot
2. Activitiy Limitation :
a. Nyeri dari jongkok ke Menurunkan nyeri MWD

berdiri

b. Kesulitan berpindah Meningkatkan Contrax relax stretching

dari duduk ke berdiri kinerja otot

c. Kesulitan naik tangga Strengthening

dan berjalan lama Quadriceps

Jadikan 1 Traksi Oscillasi


3. Participation Restriction
a. Keterbatasan saat Meningkatkan Contrax relax stretching

30
beribadah kinerja otot dan Strengthening

b. Kesulitan untuk pergi Meningkatkan Quadriceps

bekerja aktifitas fungsional Traksi Oscillasi

3. Prosedur Pelaksanaan

a. MWD (Micro Wave Diathermy)

1) Tujuan penggunaan MWD.

a) Merelaksasi otot dan meningkatkan Ekstensibilitas jaringan otot yang

letak kedalamannya kurang lebih 3cm

b) Membantu meningkatkan sirkulasi limpatik dan sirkulasi darah local.

2) Teknik aplikasi MWD:

a) Persiapan alat : Cek alat, kabel dan pastikan alat dalam keadaan baik.

Dan pastikan alat tersambung arus lisrtik.

b) Persiapan pasien : posisi pasien supine lying, bebaskan dari pakaian dan

logam, posisikan pasien senyaman mungkin, tes sensibilitas, jarak 5-10

cm.

c) Tekan tombol ON pada alat

d) Posisikan MWD tepat diatas lutut pasien.

e) Tentukan (dosis, frequensi, dan waktu )

- Intensitas : 100 W/Cm2

- Time : 8 menit

f) Naikkan intensitas secara bertahap.

g) Setelah waktu habis, tekan tombol OFF.

h) Lepaskan kabel dari arus listrik.

31
b. Traksi Oscillasi

1) Posisi pasien : Prone lying dengan knee fleksi

2) Posisi fisioterapis : berada di samping bed

3) Teknik pelaksanaan :

a) Fiksasi pada bagian femur, bisa menggunakan belt ataupun bantuan dari

fisioterapis lain

b) Kedua tangan fisioterapis diletakkan di bagian distal tibia.

c) Kemudian kedua tangan fisioterapis melakukan traksi knee dan bisa

ditambahkan oscillasi.

d) Traksi dilakukan sebanyak 8 kali pengulangan.

c. Strengthening Quadriceps

a) Isometric Quadriceps Exercise (Supine)

1) Posisi pasien : supine lying dengan kaki extensi dengan posisi dorso

fleksi.

2) Posisi fisioterapi : berada di samping pasien

3) Teknik pelaksanaan : fisioterapis meletakkan handuk di bawah knee

joint pasien sebagai bantalan. Pasien diberikan instruksi untuk

32
menekan bantalan tersebut selama 10 detik dengan rest time 5 detik,

dilakukan sebanyak 3x repitisi.

2) Isometric Quadriceps Exercise (Prone)

a) Posisi pasien : prone lying

b) Posisi fisioterapi : berada di samping pasien

c) Teknik pelaksanaan : diberikan handuk di bawah pergelangan kaki,

kemudian pasien diinstruksikan untuk menekan bantalan tersebut selama

10 detik dengan rest time 5 detik, dilakukan sebanyak 3x repitisi.

3) Theraband Exercise

a) Posisi pasien : duduk di atas kursi

b) Posisi fisioterspi : berada di samping pasien

c) Teknik pelaksanaan : ujung teraband diikatkan pada kaki kursi dan ujung

yang lainnya dipasang pada pergelangan kaki ( pada region yang terkena

33
Osteoarthritis knee ) kaki yang sehat sebagai stabilitas, dan pada region

yang terkena Osteoarthritis Knee melakukan extensi secara optimal

kemudian kembali pada posisi knee flexi 900. Exercise ini dilakukan 2-3

set dan dilakukan sebanyak 10 kali repitisi.

4) Stabilitation Exercise

a) Wall Squat Exercise

Posos pasien berdiri dengan punggung rapat pada dinding kemudian

kedua kaki agak maju kedepan kemudian lakukan gerakan squat dengan

punggung tetap menempel pada dinding.

b) Extension Control

34
Posisi pasien berdiri didepan fisioterapi. Posisikan knee pasie dengan

soft knee. Fisioterapi mengontrol knee pasien dengan menggunakn belt

kemudian minta pasien melakukan gerakan extensi knee secara

perlahan.

c) One Leg Squat Exercise

Posisi pasien berdiri di atas balance board dengan kedua tangan berada

di pinggang pasien dengan salah satu kaki pasien di tekuk. Kemudian

minta pasien secara perlahan melakukan gerakan squat dengan lutut

pasien tidak melebihi jari-jari kaki.

C. Evaluasi Fisioterapi

35
No Problematik Sebelum Sesudah
1 Nyeri lutut sebelah Adanya rasa nyeri Nyeri mulai berkurang

kanan dengan nilai VAS 5 dengan skala VAS 2


2 Keterbatasan gerak Hasil pengukuran ROM terjadi peningkatan ROM

pada lutut pasien (S : 0o – 00 – 1190 menjadi (S : 8o – 00 – 1290

°−0° −120°) °−0° −120°)


3 Keterbatasan Pasien merasakan nyeri Pasien telah merasa nyaman

kemampuan saat naik tangga dan saat naik tangga dan

fungsional berjalan jauh. berjalan.

Pasien sulit melakukan Pasien sudah bisa

ibadah (sholat) dan melakukan ibadah dan pergi

pergi bekerja. bekerja.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Osteoarthritis (OA) adalah suatu proses degenerasi pada tulang rawan sendi

yang banyak di derita pada orang tua yang jumlah kejadiannya cenderung meningkat

seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup penduduk dan penyakit ini sering

menyerang sendi lutut (knee joint). Orang yang mengalami osteoarthritis biasanya

sulit untuk menggerakkan persendiannya sehingga pergerakannya terbatas.

Osteoartritis dapat dibagi atas dua jenis yaitu Osteoarthritis primer dan

Osteoarthritis sekunder. Gejala pada penyakit osteoarthritis bervariasi, tergantung

pada sendi yang terkena dan seberapa parah sendinya berpengaruh. Namun, gejala

36
yang paling umum adalah kekakuan, terutamanya terjadi pada pagi hari atau setelah

istirahat, Pada kondisi Osteoarthritis knee, penggunaan intervensi yang dapat

diberikan adalah ; pengunaan MWD, Muscle settting exercise, Manual Traksi dan

Static Contraksi.

B. Saran

1. Diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang pemeriksaan

penatalaksanaan kasus Osteoarthritis knee dengan benar untuk menegakkan

diagnosis.

2. Diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang intervensi yang tepat yang

diberikan pada kasus Osteoarthritis knee.

DAFTAR PUSTAKA

Schumacher Jr, H; Ralph, MD; Klippel, John H, MD; Koopman, William J, MD. 1993.

Osteoarthritis : Epidemiology, Pathology, and Pathogenesis. In : Primer on the

Rheumatic Diseases. 10th ed. Arthritis Foundation. Atlanta,. p.184-190.

Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, dkk.2009. Osteoartritis. Dalam: Sudoyo W, Setiyohadi

B, Alwi I,Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.

Jakarta: Interna Publishing; .p. 2538.2.

Anshar, Sudaryanto.2011.BIOMEKANIK (Osteokinematika dan Arthrokinematika).

Makassar : Politeknik Kesehatan Makassar

37
Sudaryanto. 2017. Teknik-Teknik Contract Relax Stretching. Makassar : Fisioterapi

Poltekkes Makassar

Rasjad C. 2003. kelainan Degeneratif Tulang dan Sendi dalam Pengantar Ilmu Bedah

Ortopedi. Edisi ke-2.Ujung Pandang : Bintang Lamumpatue. p. 196-204

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC

Ambardini, R.L. 2013. Peran latihan fisik dalam manajemen terpadu osteoartritis.

http://staff.uny.ac.id/sites. Di akses pada tanggal 2 April 2020.

38

Anda mungkin juga menyukai