Kalimantan Tengah
Provinsi
Kalteng
Julukan:
Bumi Pancasila, Bumi Tambun Bungai
Motto:
Isen mulang
(Dayak Ngaju/Sangen) Pantang mundur
Wikimedia | © OpenStreetMap
Peta
Negara Indonesia
Pemerintahan
• Gubernur H. Sugianto Sabran
• Wakil H. Edy Pratowo S.Sos., M.M.
Gubernur
• Sekretaris Drs. H. Nuryakin, M.Si (Pj)
Daerah
• Ketua Wiyatno, S.P.
DPRD
Luas
• Total 153.564,50 km2 (59,291,58 sq mi)
Populasi
(2020)[2]
• Total 2.670.000
• Kepadatan 17/km2 (40/sq mi)
Demografi
• Agama Islam 74,11%
Kristen 19,90%
- Protestan 16,67%
- Katolik 3,23%
Hindu/Kaharingan 5,84%
Buddha 0,11%
Konghucu 0,01%
Lainnya 0,03%[2][3]
• Bahasa Indonesia (resmi)
Dayak (dominan)
—Dayak Bakumpai
— Dayak
Ngaju, Banjar, Bugis, Jawa, Madura, Mela
yu
— Melayu Kotawaringin
• IPM 71,25 (2021)
tinggi[4]
Kode 62
Kemendagri
APBD Rp 4.412.108.656.900,- (2018)
PAD Rp 1.400.710.256.900,- (2018)
DAU Rp 1.614.203.045.000,- (2020)[5]
Lagu daerah "Kalayar"
"Naluya"
"Palu Cempang Pupoi"
"Saluang Kitik-kitik"
"Manasai"
"Tumpi Wayu"
Rumah adat Huma Betang (Rumah Betang)
Senjata Mandau
tradisional
Flora resmi Kapulasan
Fauna resmi Kuau-kerdil kalimantan
Sejarah awal
Menurut legenda suku Dayak yang berasal dari Panaturan Tetek Tatum yang ditulis oleh Tjilik Riwut
mengisahkan orang pertama yang menempati bumi atau menginjakan kakinya di Kalimantan adalah Raja
Bunu. Pada abad ke-14 Maharaja Supayaryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara
Dipa (Amuntai) yang berpusat di Candi Agung dengan wilayah mandalanya dari Tanjung
Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah batang sungai
Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju
Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang dengan kepala-kepala daerahnya
masing-masing yang disebut Mantri Sakai (Kepala Distrik), sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu
merupakan kerajaan tersendiri. [6] Kerajaan Negara Dipa dilanjutkan oleh Kerajaan Negara Daha dengan raja
pertamanya Miharaja Sari Babunangan Unro miharaja= maharaja. Raja tersebut telah mengantar salah
seorang puteranya yang bernama Raden Sira Panji Kesuma alias Uria Gadung (Uria= Aria) untuk memegang
kekuasaan wilayah Tanah Dusun [atau Barito Raya] yang berkedudukan di JAAR – SANGGARWASI.
Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang
dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai
memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit.
Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan.
Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak,
agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan Kerajaan
Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah: Sampit,
Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas secara otonom menjalankan hukum
adat Dayak-Kaharingan, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang
menarik diri masuk ke pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh
pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam
peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa, di antaranya Tambun, Bungai,
Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai,
menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah.
Wilayah Kesultanan
Pada abad ke-16, Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah mandala Kesultanan Banjar, penerus
Negara Daha yang telah memindahkan ibu kota ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan
wilayah mandalanya yang semakin meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung Sambar sampai Tanjung
Aru. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai,
seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di
istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai
bernama Panglima Sorang yang diberi gelar Nanang Sarang membantu Raja Maruhum menumpas
pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok. Selain itu orang Biaju (sebutan Dayak pada zaman dulu) juga
pernah membantu Pangeran Dipati Anom (ke-2) untuk merebut takhta dari Sultan Ri'ayatullah.
Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding
digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja
Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami
dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran
Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri
Lanting.[6] Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya
berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama
Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637. [7] Menurut laporan Radermacher, pada tahun
1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai, Kyai
Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah Pembuang dan kerajaan Kotawaringin
dengan rajanya yang bergelar Ratu Kota Ringin[8]
Pendudukan Portugis dan Misionaris Kristen
Orang-orang Portugis dari Makau sudah berdagang ketika VOC-Belanda tiba di Banjarmasin pada tahun
1679 dengan maksud mengamankan perdagangan itu dan mengusir pedagang negara Makao dari pasar itu.
Ambisi para pedagang negara Portugis yang terlibat dalam pasar ini lebih besar daripada yang dibayangkan
oleh VOC-Belanda. Kompeni mengetahui bahwa karena perebutan kekuasaan internal, Sultan Dipati Anom
(Raden Kasuma Lelana) ditantang oleh kedua keponakannya, dua putra Sultan Ratu Anom (Raden Kasuma
Alam gelar Sultan Saidullah 1), yakni Suria Angsa dan Suria Negara, dan bantuan Portugis tersebut telah
didaftar sebagai pemberontak melawan Sultan Dipati Anom (Raden Kasuma Lelana gelar Pangeran Suria
Nata 2). Portugis dari Macao memulai upaya pertama mereka untuk memonopoli produksi lada
Banjarmasin. Kebijakan intervensi Portugis dan mendukung penggulingan Sultan Dipati Anom akhirnya
berhasil dengan Suria Angsa menjadi Sultan dan Portugis memperoleh hak-hak komersial. Hak-hak
komersial ini tidak sama dengan monopoli tetapi cukup mengecewakan VOC-Belanda, yang sudah tidak
senang dengan kerusuhan politik Banjarmasin yang tak berkesudahan, bahwa Perusahaan (Kompeni)
berhenti berdagang di Banjarmasin pada tahun 1681; VOC-Belanda yakin bahwa dapat mengamankan stok
lada tambahan dari peningkatan produksi lada di Palembang dan Banten. [9] Pada masa kekuasaan Sultan
Saidillah sekitar tahun 1685, Portugis mengirim seorang pastur bernama Ventigmilia. [10]
Jenderal Macau seperti Andrea Coelo Viera, Aloysius Francesco Cottigno, maupun Kapten Kapal
Emmanuelle Araugio Graces, sama-sama ingin menjadi sponsor perjalanan pastor Antonio Ventimiglia ke
tanah Borneo. Penjelajahannya dimulai per tanggal 16 Januari 1688 dari Macau. Pada tanggal 2 Februari
1688, Antonio Ventimiglia tiba di Banjarmasin dengan kapal Potugis (sekutu Sultan Suria Angsa dari Banjar),
untuk mengembangkan agama Katolik di udik negeri Banjar di sepanjang sungai Barito dan akhirnya ia
meninggal di udik pada tahun 1691. [11][12] Cay Deponattee (Kiai Dipanata), seorang pria dengan karakter
kejujuran terbesar di antara mereka, mengatakan kepada Daniel Beeckman, bahwa beberapa tahun yang
lalu datang ke bagian-bagian itu seorang pendeta Portugis, atau biarawan, yang dengan perilakunya yang
sopan dan cara-caranya yang menawan telah memperoleh banyak manfaat bagi agama Kristen, tetapi tidak
puas untuk berkhotbah di antara mereka, dia harus pergi ke pedesaan di antara orang-orang pedalaman
yang kasar, yang disebut Byajos, yang oleh mereka dia dibunuh dengan kejam. [13][14]
Perusahaan Hindia Timur Belanda
Penyerahan Sunan Batu
Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sunan Nata Alam (sunan batu) dari Banjarmasin menyerahkan
daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian
Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri dengan
wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura, Hulu Sungai sampai Distrik Pattai, Distrik
Sihoeng dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda. Sesuai traktat 1 Januari 1817,
Sultan Sulaiman dari Banjar menyerahkan Kalimantan Timur, Kalimatan Tengah, sebagian Kalimantan Barat
dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada Hindia Belanda. CONTRACT MET DEN
SULTAN VAN BANDJERMASIN 4 Mei 1826. / B 29 September 1826 No. 10, Sultan Adam al-Watsiq Billah dari
Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, sebagian
Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. [15][16]
de facto
Semenjak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894, secara de facto wilayah pedalaman Kalimantan
Tengah tunduk kepada Hindia Belanda. Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di
bawah Hindia Belanda.[17] Sekitar tahun 1850, daerah Tanah Dusun (Barito Raya) terbagi dalam beberapa
daerah pemerintahan yaitu: Kiaij Martipatie, Moeroeng Sikamat, Dermawijaija, Kiaij Dermapatie, Ihanjah
dan Mankatip.[18][19]
Sejak tahun 1845, Hindia Belanda membuat susunan pemerintahan untuk daerah zuid-ooster-afdeeling van
Borneo [meliputi daerah sungai Kahayan, sungai Kapuas Murung, sungai Barito, sungai Negara serta Tanah
Laut] selain Residen terdapat juga Rijksbestierder alias Kepala Pemerintahan Pangeran Ratoe Anom
Mangkoeboemi Kentjana. Di dalam hierarki pemerintahan tersebut terdapat nama kepala suku Dayak
seperti Tumenggung Surapati dan Toemenggoeng Nicodemus Djaija Negara.[20][21]
Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, daerah-daerah di wilayah ini termasuk dalam
zuid-ooster-afdeeling menurut Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-
Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8. [22] Daerah-daerah di Kalteng tergolong sebagai negara dependen dan
distrik dalam Kesultanan Banjar.[23]
Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan
Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Sekitar tahun 1835 misionaris Kristen mulai
beraktivitas secara leluasa di selatan Kalimantan. Pada 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama
Kalimantan tiba dan mulai menyebarkan agama Kristen di Banjarmasin. Pemerintah lokal Hindia Belanda
malahan merintangi upaya-upaya misionaris [24] Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda
membuka pelabuhan di Sampit.[25]
Pemerintahan dan Organisasi Sosial
Tahun 1917, Pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan sistem pemerintahan Inlands Bestuur, dimana
orang-orang Belanda mengangkat masyarakat pribumi untuk dijadikan petugas-petugas pemerintahannya,
dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai mengadakan
ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun
penduduk pribumi, tidak begitu saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah
mereka lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah Sultan Mohamad
Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai Menawing dan dimakamkan di Puruk Cahu.
Pada masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah bersosialisasi dengan
pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya sendiri. Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah
mengenyam pendidikan formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya dengan mendirikan
Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe, Philips Sinar, Haji
Abdulgani, Sian, Lui Kamis, Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi
Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926. Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan
zaman dan mulai bergerak.
Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial,
ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat,
Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S.
Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan
perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia.
Tahun 1945, Persatuan Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai cabang di seluruh
Kalimantan, dipelopori oleh Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, F.C. Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim,
F.D. Leiden. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo.
Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri
Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan Indonesia di bawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar,
R. Magat, dan masih banyak lainnya.
Tahun 1942, Kalimantan Tengah disebut Afdeeling Kapoeas-Barito yang terbagi 6 divisi. [26]
KLK 142 km
KKN 180 km –
KSN 88 km –
SPT 227 km –
KLP 457 km –
PBU 449 km –
SKR 686 km –
Arsitektur Rumah Betang (Huma Betang) di Tumbang Anoi merupakan rumah panjang hunian komunal
masyarakat suku Dayak Ot Danum di perhuluan sungai Kahayan.
Arsitektur Rumah Baanjung tipe Rumah Balai Bini di Kumai, yang merupakan hunian keluarga inti dalam
rumah sendiri-sendiri pada masyarakat pesisir Kalimantan Tengah.
Provinsi
Lambang
Julukan:
Bumi Rafflesia
Motto:
Sekundang Setungguan Seiyo Sekato
(Bengkulu) Seberat Apapun Pekerjaan Jika Dikerjakan Bersama-sama
Akan Terasa Ringan Juga
Wikimedia | © OpenStreetMap
Peta
Negara Indonesia
Pemerintahan
• Gubernur Rohidin Mersyah
• Wakil Gubernur Rosjonsyah Syahili
• Sekretaris Daerah Hamka Sabri
• Ketua DPRD Ihsan Fajri
Luas
• Total 19.919,33 km2 (7,690,90 sq mi)
Populasi
(2021)[2]
• Total 2.091.314
• Kepadatan 105/km2 (270/sq mi)
Demografi
• Agama Islam 96,29%
Kristen 3,04%
— Protestan 2,37%
— Katolik 0,67%
Hindu 0,52%
Buddha 0,14%
Lainnya 0,01%
• Bahasa Indonesia (resmi/utama)
Melayu Bengkulu (dominan)
Minangkabau
Besemah
Kaur
Rejang
Lembak
Enggano
Batak
Pekal
• IPM 71,64 (2021)
Tinggi[3]
Geografi[sunting | sunting sumber]
Provinsi Bengkulu terletak di bagian Barat Daya Pulau Sumatera dan berada di pantai
barat bagian Selatan Pulau Sumatera yang berhadapan langsung dengan garis pantai
Samudera Hindia di sisi barat provinsi tersebut. Dengan luas wilayah yang hanya sebesar
19.919,33 km2, Provinsi Bengkulu merupakan provinsi terkecil urutan pertama di daratan
Pulau Sumatera dan provinsi terkecil urutan kesepuluh di Indonesia. Namun, apabila di
tambah dengan provinsi yang berbentuk kepulauan yang terpisah dari daratan Pulau
Sumatera, Provinsi Bengkulu merupakan provinsi terkecil urutan ketiga dari sepuluh
provinsi yang terdapat di Pulau Sumatera, setelah Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung.
Batas wilayah[sunting | sunting sumber]
Berikut merupakan batas-batas wilayah dari Provinsi Bengkulu:
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Sejarah Bengkulu
Di wilayah Bengkulu pernah berdiri kerajaan-kerajaan yang berdasarkan etnis
seperti Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai
Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris, Kerajaan Gedung Agung, dan Kerajaan
Marau Riang. Di bawah Kesultanan Banten, mereka menjadi vazal.
Sebagian wilayah Bengkulu, juga pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Inderapura semenjak abad ke-17.
British East India Company (EIC) sejak 1685 mendirikan pusat
perdagangan lada. Bencoolen/Coolen yang berasal dari bahasa Inggris Cut Land yang
berarti tanah patah wilayah ini adalah wilayah patahan gempa bumi yang paling aktif di
dunia dan kemudian gudang penyimpanan di tempat yang sekarang menjadi Kota
Bengkulu. Saat itu, ekspedisi EIC dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk
mencari pengganti pusat perdagangan lada setelah Pelabuhan Banten jatuh ke
tangan VOC, dan EIC dilarang berdagang di sana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada
tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung
perdagangan. Benteng York didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut.
Sejak tahun 1713, dibangun benteng Marlborough (selesai 1719) yang hingga sekarang
masih tegak berdiri. Namun, perusahaan ini lama kelamaan menyadari tempat itu tidak
menguntungkan karena tidak bisa menghasilkan lada dalam jumlah mencukupi.
Sejak dilaksanakannya Perjanjian London pada tahun 1824, Bengkulu diserahkan
ke Belanda, dengan imbalan Malaka sekaligus penegasan atas kepemilikan
Tumasik/Singapura dan Pulau Belitung). Sejak perjanjian itu Bengkulu menjadi bagian
[6]
dari Hindia Belanda.
Penemuan deposit emas di daerah Rejang Lebong pada paruh kedua abad ke-19
menjadikan tempat itu sebagai pusat penambangan emas hingga abad ke-20. Saat ini,
kegiatan penambangan komersial telah dihentikan semenjak habisnya deposit.
Pada tahun 1930-an, Bengkulu menjadi tempat pembuangan sejumlah aktivis pendukung
kemerdekaan, termasuk Sukarno. Pada masa inilah Sukarno berkenalan
dengan Fatmawati yang kelak menjadi istrinya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bengkulu menjadi keresidenan dalam provinsi Sumatra
Selatan. Wilayah Bengkulu dahulu juga meliputi Kawedanan Krui yang meliputi Kabupaten
Lampung Barat dan Pesisir Barat saat ini. Akan tetapi, berdasarkan hasil plebisit pada
tahun 1951, Krui menjadi bagian dari Lampung[7]. Pada tanggal 18
November 1968 Bengkulu menjadi provinsi Indonesia ke-26 (termuda sebelum Timor
Timur).
Demografi[sunting | sunting sumber]
Suku Kaur tempo dulu dalam buku Sejarah Sumatra Karya Wilham Marsden
Provinsi Bengkulu merupakan daerah yang heterogen dari segi suku bangsa.
Penduduknya terdiri dari suku-suku asli dan masyarakat pendatang. Suku-suku asli
Bengkulu meliputi suku Suku
Rejang[a], Serawai, Mukomuko, Enggano, Kaur, Lembak, Pekal, Merpas, Nasal dan Melayu
. Di antara suku-suku asli, Rejang dan Serawai adalah dua suku dengan populasi tertinggi,
masing-masing dengan persentase 20,60% dan 18,91%.[25] Ada pula masyarakat
pendatang meliputi Suku Jawa dengan persentase 22,64% sekaligus sebagai populasi
etnis tunggal terbesar di Provinsi Bengkulu,[25] Serawai, suku lokal
lainnya, Melayu, Minangkabau, Batak, Sunda, Lampung, dan lainnya. [26]
Berdasarkan data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010, berikut ini komposisi etnis atau
suku bangsa di provinsi Bengkulu:[26]
Jumlah 201
No Suku %
0
Tiga wanita Belanda berpakaian sarong kebaya jalan-jalan di depan Fort Marlborough (awal abad ke-20).
Bay Tat
Godok-godok
Kelicuk
Keripik ikan beledang
Lema
Lempok durian
Pendap
Tari tradisional[sunting | sunting sumber]
Tari-tarian tradisional dari Bengkulu antara lain:
Pantai Panjang
Lokasi pantai Panjang sekitar 3 km dari kota Bengkulu. Sekitar 7 km panjang pantai
dengan 50 meter lebar dari jalan raya. Banyak transportasi umum yang menuju
ataupun pergi dari Pantai Panjang. Pohon cemara yang rindang menghiasi
sepanjang pantai. Hotel dan restoran juga banyak terdapat di sana. Pantai ini juga
memiliki fasilitas area parkir, kolam renang, cottage dan lainnya yang mendukung
wisata di sana.
Pulau Tikus
Pulau ini terdiri dari satu pulau induk dan beberapa pulau-pulau kecil lainnya yang
mengitari dan dengan karang-karang yang indah. Pulau tikus sangat cocok untuk
wisata laut. Pulau ini dapat dicapai sekitar 1 jam dari kota Bengkulu dengan
menggunakan kapal boat.
Danau Tes
Danau terbesar di Bengkulu, danau yang memiliki pemandangan dengan latar bukit
bukit yang menghijau. Di tengah danau terletak persawahan penduduk dan sebuah
gunung pasir.
Danau Musi
Danau di kabupaten Kepahiang yang terletak di sekitar Suro Ilir.
Taman Nanua
Taman ini berada di pulau terluar Indonesia, yakni Enggano. Ini merupkan taman burung
dan reptil mini.
Danau Picung
Ialah danau disekitar Tubei,ibu kota kabupaten Lebong. Danau ini terletak di pusat kota
dengan akses akomodasi yang lancar. Rumah dinas bupati juga menghadap kedanau
indah ini. Pinggiran danau dibuka untuk umum sebagai wilayah pemancingan
Benteng Marlborough
Benteng Marlborough dibangun oleh perusahaan india timur di bawah kepemimpinan
Gubernur Joseph Callet. The fort constitutes the strong fort,
Benteng Marlborough berdiri menghadap selatan dan memiliki
luas 44,100 meter persegi. Benteng ini mempunyai bentuk
bangunan abad 18, menyerupai kura-kura. Pintu utamanya
dikelilingi parit yang luas dan dapat dilalui oleh jembatan.
Menurut masyarakat di sekitar benteng itu juga terdapat pintu
keluar bawah tanah yang dulu digunakan pada waktu perang.
Rejang Lebong
Air Panas dan Air Terjun Suban. Terletak 6 km dari Curup yang dihubungkan oleh jalan
aspal dan terdapat air panas serta dua air terjun. oleh pemerintah
dibangun berbagai macam fasilitas umum untuk menunjang
pariwisata di sana.
Danau Pematang
Terletak 16 km dari Curup dan dapat dicapai dengan mudah dengan transportasi
umum. Danau ini dikelilingi oleh perbukitan. Bukit Kabal Terletak
19 km dari Curup dengan jalan aspal yang menghubungkannya.
Dengan tinggi sekitar 1,936 m di atas permukaan laut dengan
keindahan alam yang menakjubkan.
Danau Tes
Terletak 51 km dari Curup di Kecamatan Lebong Selatan, Danau ini adalah danu
terbesar di provinsi Bengkulu dengan jarak 3 km. dan digunakan
juga sebagai pembangkit listrik tenaga air. Tempat ini juga
biasanya sebagai tempat peristirahatan bagi turis untuk melihat
panorama yang indah dan matahari terbenam.
Gunung Kaba
Terletak di Curup, Gunung ini dijadikan tempat rekreasi alam terfavorit bagi pendaki
baik dari wilayah Bengkulu, Sumatra Selatan, dan sekitarnya.
Suban
Curup, Tempat pemandian air panas ini terletak d kaki gunung kaba. Disini anda bisa
mandi dengan air panas yang asli dari alam dan anda juga bisa
menikmati keindahan alam yang masih alami dan segar.
Objek wisata andalan[sunting | sunting sumber]
Padma Raksasa
Pada masa pemerintahan Inggris, bunga ini dipopulerkan secara ilmiah oleh Sir
Thomas Raffles dan Dr. Arnoldy pada tahun 1818 di wilayah hutan yang
lokasinya terletak di antara Kabupaten Kepahiang dan Bengkulu Tengah. Bunga
ini adalah bunga terbesar di dunia dengan diameter 100 cm. Bunga ini
membutuhkan 6 sampai 8 bulan untuk tumbuh dan 15 hari setelah itu untuk
berbunga. Keunikan dari bunga ini adalah tidak adanya akar, daun dan batang.
Tumbuhan ini termasuk parasit kerena tidak adanya klorofil dan haustoria. Bunga
ini sering tumbuh dan ditemukan di Taba Penanjung I dan Taba Penanjung III
(Bengkulu Tengah), daerah di wilayah kabupaten Kepahiang, dan daerah di
wilayah kabupaten Rejang Lebong.
Berbagai macam kekayaan hutan yang dapat ditemukan di Bengkulu seperti Kayu
Medang, Meranti, Rattan, Damar. Tanaman lainnya yang dibudidayakan oleh
masyarakat adalah Minyak sawit, getah karet, kopi, durians, jeruk, sayuran, dan
lainnya.
Beberapa macam hewan seperti macan, kijang, gajah, monyet, rangkong adalah
hewan yang menempati hutan di provinsi Bengkulu.
Tabut adalah upacara tradisional tentang kepahlawanan Hasan dan Husen, Mereka
mati dalam peperangan melawan orang-orang Yazid. Perayaan pertama kali
dilaksanakan oleh Syekh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada
abad ke 15. Syekh Burhanuddin (Imam Senggolo) Menikah dengan wanita
Bengkulu kemudian anak mereka, cucu mereka dan keturunan mereka disebut
sebagai keluarga pewaris Tabut. upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10
Muharam (berdasar kalender Islam) setiap tahun.
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Timur
Provinsi
NTT
Dari kiri ke kanan, atas ke bawah: Komodo, Pulau Padar, Pantai
Pink, Kampung Adat Praijing Sumba, Alat Musik Sasando, Gunung
Kelimutu, Tari Caci, dan Pantai Walakiri Sumba Timur.
Lambang
Wikimedia | © OpenStreetMap
Peta
Negara Indonesia
pendirian
Tanggal 20 Desember 1958
Pemerintahan
Luas
• Total 47.931,54 km2 (18,506,47 sq mi)
Populasi
(2020)[2]
• Total 5.325.566
• Kepadatan 111/km2 (290/sq mi)
Demografi
• Agama Kristen 91,71%
— Katolik 52,45%
— Protestan 39,26%
Islam 8,09%
Hindu 0,19%
Buddha 0,01%[3][4]
Pelat tampil
kendaraan
Daftar
Kode 53
Kemendagri
Senjata Sundu
tradisional
Demografi[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010, berikut adalah jumlah penduduk menurut suku bangsa
di provinsi Nusa Tenggara Timur, dari 4.672.648 jiwa penduduk:[21][22]
Tota
Nusa Tenggara Timur 4.672.648 100%
l
Ekonomi[sunting | sunting sumber]
Menurut berbagai standar ekonomi, ekonomi di provinsi ini lebih rendah daripada rata-rata Indonesia,
dengan tingginya inflasi (15%), pengangguran (30%) dan tingkat suku bunga (22-24%).
Kepulauan[sunting | sunting sumber]
Seperti halnya Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang didominasi
oleh kepulauan, tiga pulau utama di wilayah ini adalah Pulau Flores, Pulau Sumba, dan Pulau Timor
bagian Barat. Gugusan kepulauan ini sering disingkat dengan nama "Flobamora"
Sedangkan pulau-pulau lain di antaranya adalah Pulau-
pulau Adonara, Alor, Babi, Besar, Bidadari, Dana, Komodo, Rinca, Lomblen, Loren, Ndao, Palue, Pama
na, Pamana Besar, Pantar, Rusa, Pulau Mules, Raijua, Rote (pulau terselatan di
Indonesia), Sawu, Semau dan Solor.
Pariwisata[sunting | sunting sumber]
Beberapa tempat wisata yang ada di provinsi Nusa Tenggara Timur yakni:
Pulau Komodo dengan Komodo
Danau Kelimutu di Flores, 3 danau kawah dengan warna berbeda
Gunung Mutis di Timor Tengah Selatan
Semana Santa di Larantuka
Rumah adat dan pasola di Pulau Sumba
Air Terjun Waimarang Sumba Timur
Penyelaman di Pulau Alor
Pantai Nemberalla di Rote Ndao
Pantai Pink di Pulau Padar
Rumah Adat di Kampung Bena, Bajawa-Kabupaten Ngada
Taman Wisata 17 Pulau di Riung, Kabupaten Ngada
Taman Wisata Air Panas Mengeruda Soa, Bajawa- Kabupaten Ngada
Kelabba Madja di Sabu Raijua
Tradisi berburu Paus di Lembata
Rumah Adat Wae Rebo di Manggarai
Kampung Adat Bena, di Bajawa