Anda di halaman 1dari 11

Case Report Session

KORBAN MATI
AKIBAT KECELAKAAN KERJA

Oleh :

Annisa Dania Juliana 1840312448


Nurul Ramadani 1840312622
Debbi Yulanda Putri 1840312623
Muhammad Hafizul Luthfi 1840312647
Sri Yulia Esti 1940312009
Fajria Khalida 1940312010
Haldan Aerastama 1940312015
Muhammad Hazqi Rama 1940312052

Preseptor :

dr. Taufik Hidayat, M.Sc, Sp. F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecelakaan kerja adalah sebuah kejadian tak terduga yang menimbulkan


segala jenis cedera atau penyakit pada pasien akibat tuntutan atau persyaratan
khusus dalam pekerjaan. Kecelakaan kerja mewakili persentase yang substansial
dalam setiap kedatangan di unit gawat darurat.1 Bagian tubuh yang paling umum
terlibat adalah tangan, mata, tulang belakang, kepala, paru-paru, kerangka, dan
kulit.2

Kecelakaan akibat kerja secara umum dapat disebabkan oleh bahaya fisik,
biologis, kimia, atau psikososial seperti kebisingan, suhu, gigitan serangga atau
hewan, aerosol, patogen yang ditularkan melalui darah, bahan kimia berbahaya,
radiasi, dan kelelahan kerja. Meskipun berbagai metode pencegahan sudah
tersedia, banyak kecelakaan kerja yang masih terjadi akibat ergonomi yang
buruk, penanganan beban berat secara manual, penyalahgunaan peralatan, bahaya
zat-zat umum, dan pelatihan keselamatan yang tidak memadai.3

Secara epidemiologi di seluruh dunia, Sekitar 350.000 kematian di tempat


kerja dan 300 juta cedera di tempat kerja terjadi setiap tahun. Per 1.000 pekerja,
kecelakaan kerja mengurangi rentang hidup sehat hingga 3,5 tahun. Pekerjaan
yang paling membahayakan secara umum adalah di bidang pertanian,
penangkapan ikan, kehutanan, konstruksi, dan pabrik.1

Usia juga mungkin menjadi faktor personal paling umum yang memengaruhi
peningkatan risiko cedera terkait pekerjaan seseorang. Pekerja berusia 65 tahun
ke atas lebih rentan untuk menderita kecelakaan akibat pekerjaan dibandingkan
dengan rekan kerja mereka yang lebih muda. Kecelakaan akibat kerja, secara
umum, terjadi lebih sering pada pekerja di atas usia 65 tahun dibandingkan
dengan pekerja berusia 25 hingga 34 tahun.1 Menurut laporan Bureau of Labor
Statistics (BLS), di amerika serikat 4.836 kecelakaan kerja yang fatal terjadi pada
tahun 2015, dengan tingkat keparahan cedera lebih fatal terlihat pada populasi
pekerja yang lebih tua sekitar empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan
populasi pekerja yang lebih muda.1

Menurut data dari Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dan Biro Statistik Tenaga Kerja, sekitar 15 pekerja meninggal karena cedera
traumatis setiap hari di Amerika Serikat, dan 200 orang dirawat di rumah sakit.
Dari kecelakaan yang mengakibatkan kematian tersebut, yang paling umum
adalah jatuh dari ketinggian, kontak dengan mesin yang bergerak, dan ditabrak
oleh kendaraan. Jenis kecelakaan ini mengakibatkan setengahnnya dari kematian
terkait pekerjaan. Tergelincir atau tersandung yang menyebabkan terjatuh adalah
kecelakaan kerja yang umum terjadi, terhitung sebanyak 20% hingga 40% dari
kecacatan akibat kecelakaan kerja.4 Mengingat sifat mekanis dari sebagian besar
kecelakaan kerja ini, tidak mengherankan bahwa laporan gawat darurat 2018
menganalisis hampir 50.000 kunjungan gawat darurat untuk kecelakaan kerja
yang menyebabkan pelayanan ortopedi menjadi yang paling sering
dikonsultasikan.5

Setiap kecelakaan kerja berbeda masing-masingnya. Dengan demikian,


penyedia layanan kesehatan harus terlebih dahulu menentukan apakah cedera
akibat kecelakaan yang terjadi sudah ada sebelumnya, secara langsung atau tidak
langsung terkait dengan kondisi pekerjaan pasien.6 Penyedia layanan kesehatan
harus berusaha untuk menjaga kesadaran mengenai beban finansial dari biaya
yang secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan kecacatan jangka
panjang dan permanen, serta peran terkait oleh sistem kompensasi pekerja untuk
memfasilitasi aliran dan efisiensi perawatan kesehatan yang disediakan untuk
para pekerja ini untuk mengurangi dampak negatif terkait kecelakaan kerja.2

Berdasarkan penjelasan diatas, dengan tingginya angka kecelakaan kerja


yang terjadi di seluruh dunia, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut serta
melaporkan salah satu kasus kecelakaan kerja.

1.2 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam makalah ini adalah membahas ilustrasi kasus,
identifikasi forensik, dan pemeriksaan jenazah meliputi pemeriksaan luar serta
pemeriksaan dalam.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan


pemahaman tentang ilustrasi kasus, identifikasi forensik, dan pemeriksaan
jenazah meliputi pemeriksaan luar serta pemeriksaan dalam.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini disusun berdasarkan studi kepustakaan yang merujuk pada


berbagai literatur.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Identifikasi Forensik


Mayat adalah mayat seorang laki-laki berusia 63 tahun ras
mongoloid, berumur enam puluh tiga tahun, kulit warna sawo matang,
gizi sedang, panjang tubuh serratus enam puluh lima sentimeter, berat
badan tidak ditimbang. Rambut kepala berwarna hitam, tumbuh ikal,
sedang, dengan panjang delapan sentimeter. Alis mata berwarna hitam,
tumbuh lurus, tipis, dengan panjang satu sentimeter. Bulu mata berwarna
hitam, tumbuh lurus, sedang, dengan panjang nol koma lima sentimeter.
Kumis berwarna keputihan, tumbuh lurus, tipis, dengan panjang nol koma
dua sentimeter. Jenggot berwarna keputihan, tumbuh lurus, tipis, dengan
panjang nol koma dua sentimeter. Identifikasi terutama dilakukan pada
jenazah tidak dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus
terbakar, kecelakaan massal, bencana alam, serta potongan tubuh manusia
atau kerangka. Sementara pada kasus ini jenazah masih segar.

2.2. Diagnosis Kematian


Seorang korban laki-laki mengalami kecelakaan kerja saat sedang
mengerjakan pekerjaan bangunan di jalan Pattimura pada pukul 20.00
WIB. Korban jatuh dari steger dengan ketinggian kurang lebih 3 menter.
Korban tidak sadar setelah kejadian dan langsung dibawa ke RSUP M
Djamil Padang. Kondisi korban saat sampai di IGD dalam keadaan
penurunan kesadaran, kemudian di IGD dilakukan pemberian obat-
obatan, perawatan luka, dan dilakukan ressusitasi. Korban dinyatakan
meninggal pada 10 Januari 2020 pukul 07.44 WIB. Diagnosis kematian
ditegakkan berdasarkan tidak adanya nadi dan nafas. Dari pemeriksaan
klinis tersebut, dapat ditegakkan bahwa korban telah mengalami mati
somatis dan mati batang otak.
Diagnosis mati klinis dapat ditegakkan dengan ditemukannya
perubahan fungsi neurologis terdiri dari hilangnya fungsi sensorik,
motorik, dan hilangnya reflex. Pada kasus ini, ditemukan pupil dalam
kondisi midriasis. Tidak adanya fungsi respirasi, dapat terlihat dari
inspeksi (dinding dada tidak bergerak), palpasi (tidak ada pergerakan
dinding dada), atau auskultasi ( tidak ada suara nafas). Pada kasus ini
berhentinya fungsi sirkulasi ditegakkan dari tidak terabanya pulsasi arteri
(radialis, brakhialis, femoralis, dan karotis) dan bunyi jantung tidak
terdengar saat auskultasi.
Ada tiga temuan cardinal klinis pada pasien dengan mati batang
otak, yaitu kesadaran koma, reflex batang otak tidak ada, dan apnea. Pada
kasus ini, korban sudah dalam tidak sadar dan apnea. Hilangnya reflex
batang otak dapat dinilai dengan midriasis pupil. Pemeriksaan reflex
batang otak lainnya dpaat dinilai dengan Doll’s eye phenomenon, tes
kalori, reflex kornea, jaw reflex, dan reflex muntah.

2.3. Kematian Tidak Wajar


Pada kasus ini, cara kematian korban termasuk ke dalam kematian
tidak wajar karena kematian disebabkan oleh trauma berupa jatuh dari
ketinggian akibat kecelakaan kerja. Contoh lain dari kematian tidak wajar
adalah kematian yang mencurigakan, keracunan, dan kekerasan. Oleh
karena itu, kepada korban harus dilakukan pemeriksaan luar dan dalam
untuk menentukan sebab kematian. Surat keterangan kematian belum
boleh dikeluarkan jika pemeriksaan jenazah tidak dilakukan. Keluarga
korban juga disarankan untuk segera melapor ke polisi dan meminta surat
permintaan visum agar kemudian bisa diproses sehingga dapat dibuatkan
visum et repertum.

2.4. Tanatologi
Tanda pasti kematian terdiri atas lebam mayat (livor mortis), kaku
mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh (algor mortis), pembusukan
(dekomposisi), adiposera (lilin mayat), dan mumifikasi. Tanda-tanda
tersebut merupakan perubahan lanjut yang dapat ditemukan pada seorang
jenazah.7 Pada kasus ini, tanda pasti kematian yang ditemukan meliputi
lebam mayat dan kaku mayat.
Lebam mayat terbentuk akibat eritrosit yang menempati tempat
terbawah akibat gravitasi, dan mengisi vena dan venula sehingga
terbentuk bercak warna merah keunguan pada bagian terbawah tubuh,
kecuali bagian tubuh yang tertekan alas keras. Lebam mayat mulai
tampak 20-30 setelah kematian, menjadi menetap dan lengkap setelah 8-
12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih hilang (memucat) pada
penekanan dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah. Lebam mayat
tidak selalu terlihat, pada kondisi tertentu bergantung pada usia, kondisi
darah, dan keadaan lain lebam mayat dapat tidak terlihat. Pada kasus
keracunan, lebam mayat dapat digunakan untuk memperkirakan sebab
kematian seperti lebam yang berwarna merah terang pada kasus
keracunan karbon monoksida atau sianida, dan warna coklat pada kasus
keracunan anilin, nitrit, nitrat atau sulfonal.7 Pada jenazah, ditemukan
lebam mayat pada punggung, berwarna kebiruan, dan hilang pada
penekanan, hal ini menunjukkan bahwa perkiraan waktu kematian korban
lebih dari 20-30 menit dan kurang dari 8-12 jam dari waktu pemeriksaan.
Kaku mayat terbentuk akibat habisnya ATP di dalam serabut otot
sehingga energi tidak terbentuk lagi serta aktin dan miosin akan
menggumpal dan otot menjadi kaku. Kaku mayat mulai tampak kira-kira
2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil)
kearah dalam (sentripetal). Setelah mati klinis, 12 jam kaku mayat
menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang
dalam urutan yang sama. Kaku mayat dimulai dari otot-otot kecil hingga
akhirnya ditemukan pada seluruh tubuh. Faktor-faktor yang dapat
mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik sebelum mati,
suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot-otot kecil dan
suhu lingkungan tinggi.7 Pada jenazah, ditemukan kaku pada rahang,
anggota gerak atas dan bawah yang mudah dilawan.
Penurunan suhu tubuh tidak diperiksa di bagian ilmu forensik
RSUP Dr. M. Djamil Padang karena tidak tersedianya alat. Berdasarkan
teori, penurunan suhu tubuh harusnya sudah dapat dideteksi pada jenazah.
Tanda-tanda pembusukan belum ditemukan pada jenazah karena waktu
kematian jenazah diperkirakan belum mencapai 24 jam.

2.5. Luka Pada Jenazah


Pada jenazah ditemukan luka yang terbuka di dahi kiri, memar di
dahi kiri dan keluar darah dari mulut dan telinga kanan akibat kekerasan
tumpul.

2.6. Sebab Mati


Sebab kematian jenazah tidak dapat ditentukan karena tidak
dilakukan pemeriksaan dalam. Namun, hasil pemeriksaan luar jenazah
dapat mengarahkan sebab kematian disebabkan oleh cidera kepala
sehingga terjadi perdarahan.
Kematian karena trauma tumpul dapat terjadi akibat sekuele dari
jatuh. Statisik di Bavaria, selama periode 2 tahun, total 201 orang
meninggal akibat jatuh. Dalam kasus-kasus tertentu, cara kematian tidak
diketahui secara pasti sewaktu korban ditemukan. multipel trauma tumpul
pada korban dapat menyebabkan sulitnya membedakan cedera yang
terjadi akibat jatuh dengan cedera yang telah ada sebelum jatuh.8
Frekuensi dan luasnya bagian tubuh dan organ yang terluka
bergantung pada level ketinggian jatuh. Suatu studi menemukan bahwa 37
korban (30,8%) jatuh dari ketinggian mulai dari 31-40 kaki diikuti oleh 21
(17,5%) korban yang jatuh dari ketinggian 41-50 kaki. Cidera yang
terlibat diantaranya tulang tengkorak 87 kasus, tulang rusuk 51, Femur 31
kasus dan Vertebrae di 25 kasus. Di antara cedera jaringan lunak otak
yang terlibat dalam 91 kasus, cidera hati 42 kasus, dan paru-paru dengan
33 kasus.9 Cidera kepala merupakan kasus terbanyak akibat jatuh dan
secara signifikan meningkatkan risiko kematian. Hematoma subdural
(56%) lesi intrakranial paling umum terlihat pada total 84 kasus, semua
fraktur tengkorak basal terlihat pada korban yang jatuh dari ketinggian
lebih dari 5 m.8
Temuan klasik autopsi pada korban dari jatuh ketinggian adalah
laserasi aorta serta fraktur dasar tengkorak. Multipel fraktur tengkorak,
pecahnya struktur otak, dan perdarahan intrakranial berat terlihat pada 34
kasus (50%). Temuan cidera parah pada organ internal dapat berupa
ruptur aorta dan pembuluh darah besar lainnya, ruptur jantung, hati,
limpa, dan usus, cedera paru-paru seperti memar, ruptur bronkus, dan
fraktur penetrasi tulang rusuk. Suatu penelitain mendapatkan penetrasi
fraktur tulang rusuk dan kontusio paru-paru terjadi pada 62% dari semua
kasus. Aspirasi darah dengan kompensasi emfisema paru akut terlihat
pada 50% pasien.10
Penyebab kematian langsung dari cidera akibat jatuh adalah
trauma kepala, perdarahan internal, dan polytrauma. Penyebab kematian
lainnya, yaitu pada individu selamat dari trauma untuk periode yang lebih
lama, diantaranya septik sindrom dengan disfungsi organ multipel dan
emboli paru. Kelangsungan hidup korban dapat bertahan dalam waktu
beberapa jam hingga 1 hari dan dapat bertahan selama beberapa hari
setelah jatuh.10
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Identifikais forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan
membantu penyedik menentukan identitas seseorang
2. Ada tiga temuan cardinal klinis pada pasien dengan mati batang otak,
yaitu kesadaran koma, reflex batang otak tidak ada, dan apnea. Pada
kasus ini, korban sudah dalam tidak sadar dan apnea. Hilangnya
reflex batang otak dapat dinilai dengan midriasis pupil.
3. Pada kasus ini, cara kematian korban termasuk ke dalam kematian
tidak wajar karena kematian disebabkan oleh trauma berupa jatuh
dari ketinggian akibat kecelakaan kerja. Oleh karena itu, korban
harus dilakukan pemeriksaan luar dan dalam untuk menentukan
sebab kematian.
4. Pada korban, hanya dilakukan pemeriksaan luar sehingga tidak dapat
ditentukan sebab kematian. Namun, hasil pemeriksaan luar jenazah
dapat mengarahkan sebab kematian disebabkan oleh cidera kepala
sehingga terjadi perdarahan. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan
dalam (autopsy) untuk menentukan penyebab pasti kematian pada
jenazah ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tadros A, Sharon M, Chill N, Dragan S, Rowell J, Hoffman S. Emergency


department visits for work-related injuries. Am J Emerg Med. 2018
Aug;36(8):1455-1458.
2. Chaumont Menéndez CK, Socias-Morales C, Daus MW. Work-Related
Violent Deaths in the US Taxi and Limousine Industry 2003 to 2013:
Disparities Within a High-Risk Working Population. J. Occup. Environ.
Med. 2017 Aug;59(8):768-774.
3. La Torre G, Verrengia G, Saulle R, Kheiraoui F, Mannocci A. Determinants
of work-related accidents in Italian Regions. Med Lav. 2017 Jun
28;108(3):209-221.
4. Pek S, Turner N, Tucker S, Kelloway EK, Morrish J. Injunctive safety
norms, young worker risk-taking behaviors, and workplace injuries. Accid
Anal Prev. 2017 Sep;106:202-210.
5. Wiatrowski WJ. The BLS survey of occupational injuries and illnesses: a
primer. Am. J. Ind. Med. 2014 Oct;57(10):1085-9.
6. Pek S, Turner N, Tucker S, Kelloway EK, Morrish J. Injunctive safety
norms, young worker risk-taking behaviors, and workplace injuries. Accid
Anal Prev. 2017 Sep;106:202-210
7. Bagian kedokteran forensik FKUI. Ilmu kedokteran Forensik.
Jakarta:Forensik FKUI.
8. Arbes S, Berzlanovich A. Injury Pattern In Correlation With The Height Of
Fatal Falls. Wien Klin Wochenschr. 2015;127(1-2):57-61.
9. Jagannatha SR, Pradeep Kumar MV, Naveen Kumar T, Ananda K,
Venkatesha VT. Injuries Due To Fall From Height – A Retrospective Study.
Journal of Forensic Medicine & Toxicology Vol. 27 No. 1, Jan-June 2010.
10. Tu¨rk EE , Tsokos M. Pathologic Features of Fatal Falls From Height. Am J
Forensic Med Pathol 2004;25: 194–199.

Anda mungkin juga menyukai