Anda di halaman 1dari 3

1. Apa perbedaan luka lecet dan luka bakar?

Luka lecet adalah luka yang terjadi akibat cedera pada epidermis yang
bersentuhan dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing.
Luka bakar adalah luka karena kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, listrik, bahan kimia,
radiasi dan sengatan matahari (sunburn). Kerusakan yang terjadi bergantung pada
tinggi suhu dan lama kontak. Luka bakar dapat dikategorikan ke dalam 3 derajat yaitu
derajat 1 terbatas pada lapisan epidermis, didapatkan gambaran kulit kering dan
hiperemis. Derajat II yaitu kerusakan pada seluruh lapisan epidermis dan sebagian
lapisan dermis/hampir seluruh dermis, didapatkan vesikel atau bulla dengan dasar
luka berwarna merah muda dan putih serta terbentuk scar. Luka bakar derajat III yaitu
kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan lebih dalam, gambarannya tidak
terdapat vesikel atau bula, kulit berwarna putih dan pucat hingga seperti arang, serta
terdapat scar.
2. Kenapa post mortem intervalnya 15 menit – 1 jam?
Karena pada jenazah tersebut belum terbentuk lebam mayat. Menurut teori, lebam
mayat (livor mortis) timbul antara 15 menit sampai 1 jam setelah kematian. Sehingga
perkiraan waktu kematian nya menjadi 15 menit – 1 jam.
3. Jelaskan trauma kepala sampai menyebabkan kematian?
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak. Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan
lokasi (area) dimana terjadi trauma. Cedera yang tampak pada kepala bagian luar
terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka.
Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang tak
terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat setelah terjadi
trauma. Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan seperti akselerasi,
rotasi, kompresi, dan distensi. Kekuatan-kekuatan ini menyebabkan tekanan pada
tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi neuron, glia, dan pembuluh darah dan
selanjutnya menyebabkan kerusakan fokal, multifokal maupun difus pada otak.
Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak dan / atau pembuluh darah otak. Cedera
pada parenkim dapat berupa kontusio, laserasi, ataupun diffuse axonal injury (DAI),
sedangkan cedera pada pembuluh darah otak dapat berupa perdarahan epidural,
subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat dilihat pada CT-scan.
Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer. Hal ini
dapat terjadi akibat adanya reaksi peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, dan neuroapoptosis.
Faktor intrakranial (lokal) yang mempengaruhi cedera otak sekunder adalah
adanya hematoma intrakranial, iskemik otak akibat penurunan perfusi ke jaringan di
otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, tekanan intrakranial yang meningkat,
demam, vasospasme, infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor ekstrakranial (sistemik)
yang mempengaruhi cedera otak sekunder dikenal dengan istilah “nine deadly H’s”
meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia, hipertermi, hiperglikemi dan
hipoglikemi, hiponatremi, hipoproteinemia, serta hemostasis. Proses tersebut yang
dapat menyebabkan kematian pada korban dengan trauma kepala.
4. Proses pemeriksaan luar jenazah yang tidak jelas penyebab kematiannya?
Apabila ada jenazah yang tidak diketahui penyebab dasar kematiannya secara
jelas baik dari dalam rumah sakit maupun dari luar rumah sakit, pertama-tama
dilakukan otopsi verbal untuk memperkirakan penyebab kematian dengan melakukan
wawancara medikolegal. Secara medis dilakukan heteroanamnesis terhadap pihak
yang mengetahui riwayat kesehatan almarhum/almarhumah sehari-hari, meliputi
sacred seven dan fundamental four. Selain itu, ringkasan rekam medis, hasil
pemeriksaan laboratorium dan radiologi serta hal-hal yang dapat membantu
penegakan diagnosis penyebab kematian perlu dimintakan kepada keluarga
almarhum/almarhumah.
Setelah otopsi verbal, lakukan informed consent kepada pihak keluarga untuk
melakukan pemeriksaan luar jenazah. Apabila keluarga tidak setuju maka jelaskan
dampak penolakan, meminta fotokopi ID almarhum/almarhumah serta keluarga,
fotokopi hubungan kekerabatan, fotokopi ID saksi serta nomor kontak keluarga.
Apabila keluarga setuju, lakukan pemeriksaan luar jenazah. Sebelum melakukan
pemeriksaan luar jenazah, pengambilan sampel, dan foto, penjelasan mengenai
prosedur tujuan, dan manfaat tindakan-tindakan tersebut harus dijelaskan kepada
keluarga terdekat almarhum/almarhumah.
5. Cara identifikasi jenazah
Identfikasi merupakan merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan
membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Proses identifikasi
dilakukan untuk mengetahui apakah sisa-sisa tubuh berasal dari manusia atau bukan,
jati diri mayat, penyebab kematian, dan perkiraan waktu kematian berdasarkan data
sebelum seseorang meninggal/hilang (antemortem data/AMD) untuk dibandingkan
dengan temuan pada mayat (postmortem data/PMD).
Jenis identifikasi ada dua yaitu identifikasi primer dan identifikasi sekunder.
Jenis metode identifikasi primer dan yang paling dapat diandalkan, yaitu identifikasi
sidik jari, analisis komparatif gigi dan analisis DNA. Jenis metode
identifikasi sekunder meliputi deskripsi personal, temuan medis serta bukti dan
pakaian yang ditemukan pada tubuh. Tujuan identifikasi ini adalah mendukung
metode identifikasi lainnya dan biasanya tidak cukup kuat jika dipakai sebagai satu-
satunya metode dalam identifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawestiningtyas, Eriko. 2009. Identifikasi Forensik Berdasarkan Pemeriksaan Primer
dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal.
Malang : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
2. Yulianti, Kunthi., dkk. 2018. Buku Panduan Belajar Dokter Muda Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
3. Budiyanto, Arif., dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
4. Moenadjat Y. 2003. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
5. Werner, C. & Engelhard, K. 2007. Pathophysiology of traumatic brain injury. British
Journal of Anaesthesia 99(1):4-9.

Anda mungkin juga menyukai