Anda di halaman 1dari 22

DASAR-DASAR PENGETAHUAN

A. Definisi dan ciri-ciri Ilmu Pengetahuan


1. Definisi Ilmu Pengetahuan

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang
berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kat kerja scire yang berarti
mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu
mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan
sistematik. Dalam bahasa JErman wissenschaft.

The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaah yang mnecari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai
seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang mnejelaskan berbagai
gejala yang ingin dimengerti manusia.

Aktivitas

Ilmu

Metode Pengetahuan

Dalam bagan tersebut memperlihatkan bahwa ilmu harus diusahakan dengan


aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu,
dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang
sistematis.

Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat terwujud penelaah (study), penyelidikan


(inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau pecarian (search).Oleh
karena itu, pencarian biasanya dilakukan berulang kali, maka dalam dunia
ilmu kini dipergunakan istilah research(penelitian) untuk aktivitas ilmiah
yang paling berbobot guna menemukan pengetahuan baru.

Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencangkup beragai tindakan


pikiran, pola kerja, atat langkah, dan cara teknis untuk memperoleh
pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada.

Metode yang berkaitan dengan pola procedural meliputi pengamatan,


percobaan, pengukuran, survey, deduksi, induksi, analisi, dan lain-lain.
Berkaitan dengan tata langkah meliputi penentuan masalahm, perumusan
hipotesis (bila perlu), pengumpulan data, penurumusan kesimpulan, dan
pengujian hasil. Yang berkaitan denga berbagai teknis meliputi daftar
pertanyaan, wawancara, perhitungan, pemanasan, dan lain-lain. Yang
berkaitan dengan aneka alat, meliputi timbangam, meteran, perapian,
computer dan lain-lain.
Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para
ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau
disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan
maupun para filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah
sesuatu kumpulan pengetahuan yang sistematis.

Adapun menurut Bahm (dalam Koento Wibisono, 1997) definisi ilmu


pengetahuan melibatkan paling tidak enam macam komponen, yaitu masalah
(problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (aktivity), kesimpulan
(conclusion), dan pengaruh (effects).

a. Masalah (Problem)
Ada tiga karakteristik harus dipenuhi untuk menunjukkan bahwa suatu
masalah bersifat scientific, yaitu communicability, the scientific attitude,
dan the scientific method. Communicability berarti masalah adalah
sesuatu untuk dikomunikasikan. The scientific attitude paling tidak
memenuhi karakteristik curiosity, speculativeness, willingness to be
objective, willingness to suspend judgment, dan tentativty. The scientific
method berarti masalah harus dapat diuji (testabe).
b. Sikap (Attitude)
Karaketeristik yang harus dipenuhi antara lain :
Curiosity berarti adanya rasa ingin tahu tentang bagaimana sesuatu ide
ada, bagimana sifatnya, fungsinya, dan bagaimana sesuatu dihubungkan
dengan sesuatu yang lain.
Speculativeness. Secientist harus mempunyai usaha dan hasrat untuk
mencoba memecahkan masalah, melalui hipotesis-hipotesis yang
diusulkan
Willingness to be objective,hasrat dan usaha untuk bersikap dan bertindak
objektif merupakan hal yang penting bagi seorang scientist.
Willingness to suspend judgment, ini berarti bahwa seseorang scientist
dituntut untuk bertindak sabar dalam mengadakan observasi, dan bersikap
bijaksana dalam menemukan kebijakan berdasarkan bukti-bukti yang
dikumpulkan karena apa yang diketemukan masih serba tentative.
c. Metode (Method)
Sifat scientific method berkenaan dengan hipotesis yang kemudian diuji.
Esensiscience terletak pada metodenya. Sciencesebagai teori, merupaka
sesuatu yang selalu berubah. Berkenaan dengan sifat metode scientific,
para scientist tidk selalu memiliki ide yang (pasti) yang dapat ditunjukkan
sebagai sesuatu yang absolute atau mutlak.
d. Aktivitas (Activity)
Science adalah sesuatu lahan yang dikerjakan oleh para scientist, melalui
apa yang disebutscientific research, terdiri atas dua aspek, yaitu
individual dan sosial. Dari aspek individual, scienceadalah aktivitas, yang
dilakukan oleh seseorang. Adapun dari aspek sosial, science has become
a vast institutional undertaking. Scientist menyuarakan kelompok orang-
orang ‘elite’, danscience merupakan a never ending journey, atau a never
ending effort.
e. Kesimpulan (Conclusions)
Science lebih sering dipahami sebagai a body of kwoledge. Body dari
ideide ini merupakan science itu sendiri. Kesimpulan yang merupakan
pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah tujuan
dari science, yang dikhiri dengan pembenaran dari sikap, metode, dan
aktivitas.
f. Beberapa Pengaruh (Effects)
Sebagian dari apa yang dihasilkan melalui science pada gilirannya
member berbagai pengaruh. Pertimbangannya dibatasi oleh dua
penekanan, yaitu pertama, pengaruh ilmu terhadap ekologi, melalui apa
yang disebut dengan applied science, dan kedua, pengaruh ilmu terhadap
alam dalam masyarakat serta membudayakan nya menjadi berbagai
macam nilai.
2. Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan

Ciri pengetahuan ilmiah antara lain adalah persoalan dalam ilmu itu penting
untuk segera dipecahkan dengan maksud untuk memperoleh jawaban. Dalam
hal ini ilmu muncul dari adanya problema dan harus dari suatu problema,
tetapi problema itu telah diketahuinya sebagai suatu persoalan yang tidak
terselesaikan dalam pengetahuan sehari-harinya.

Di samping itu, setiap ilmu dapat memecahkan masalah sehingga mencapai


suatu kejelasan dan kebenaran, walaupun bukan kebenaran akhir yang abadi
dan mutlak. Kemudian bahwa setiap jawaban dalam masalah ilmu telah
berupa kebenaran harus dapat diuji oleh orang lain. Pengujiannya baik
dengan pembenaran atau penyangkalan. Hal ini juga bahwa setiap masalah
dalam ilmu harus dapat dijawab dengan cara penelaahan atau penelitian
keilmuan yang seksama, sehingga dapat dijelaskan dan didefinisikan.

Dengan menilik persoalan keilmuan pada dasarnya masalah yang terkandung


dalam ilmu selalu harus merupakan suatu problema yang telah diketahui atau
yang ingin diketahuinya, kemudian ada suatu penelitian agar dapat diperoleh
kejelasan tentunya dengan mempergunakan metode yang relevan untuk
mencapai kebenaran yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. (Abbas
Hammami Mintaredja, 1980)

Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie (1987)
mempunyai 5 ciri pokok :

a. empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan


percobaan;
b. sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan
pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur;
c. objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan
dan kesukaan pribadi;
d. analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya
ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat,
hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu;
e. verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.
Adapun Daoed Joesoef (1987) menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu
pada tiga hal, yaitu pokok, proses, dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai
produk, yaitu pengetahuan yang telah dietahuai dan diakui kebenarannya oleh
masyarakat ilmuawan.

Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang


mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji,
dan dibantah oleh seseorang.

Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya, kegiatan kemasyarakatan yang


dilakukan demi pertemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana yang
kita kehendaki sebagai adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki.
Metode ilmiah yang khas dipakai dalam proses ini adalah analisis rasional,
objektif, sejauh mungkin ‘impersoanl’ dari masalah-masalah yang didasarkan
pada percobaan dan data yang dapat diamati.

Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindak-


tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan
yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme yang
teratur.

Van Meslen (1985) mengemukakan ada delapan cirri yang menandai ilmu,
yaitu sebagai berikut.

a. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang


secara logis koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode)
maupun harus susunan logika.
b. Ilmu pengertahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan
tanggungjawab ilmuwan.
c. Universalitas ilmu pengetahuan.
d. Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi
oleh prasangka-prasangka subjektif.
e. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah
yang bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat
dikomunikasikan.
f. Progresivitas, artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat sungguh-
sungguh, bila mengandung pertanyaan menimbulkan problem baru lagi.
g. Kritis, artinya tidak ada teori yang definitive, setiap teori terbuka bagi
suatu peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
h. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakansecara perwujudan kebertautan
antara teori dengan praktik.

Mohammad Hatta, menfinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur


tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama
tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut
bagunannya dari dalam. Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau
keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman
dengan istilah sederhana. (Amsal Bakhtiar, 2004:15)
Demi objektivitas ilmu, ilmuwan harus bekerja dengan cara ilmiah. Sifat
ilmiah dalam ilmu harus dapat diwujudkan, apbila dpenuhi syarat-syarat yang
intinya adalah :

a. Ilmu harus mempunyai ibjek, ini berarti bahwa kebenaran yang hendak
diuangkapkan dan dicapai adalah persesuaian anatara ilmu pengetahuan
da objeknya.
b. Ilmu harus mempunyai metode, ini berarti bahwa untuk mencapai
kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi.
c. Ilmu harus sitematik, ini berarti bahwa dalam memberikan pengalaman,
objeknya dipadukan secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur.
d. Ilmu bersifat universal, ini berarti bahwa kebenaran yang diuangkapkan
oleh ilmu tidak mengenai sesuatu yang bersifat khusus, melainkan
kebenaran itu berlaku umum. (Hartono Kasmadi, dkk., 1990:8-9)

Disamping itu yang perlu disadari, yakni ilmu bukanlah hal yang statis,
melainkan bergerak dinamis sesuai dengan pengembangan yang diusahakan
oleh manusia dalam mengungkapkan tabir alam semesta ini. Usaha
pengembangan tersebut mempunyai arti juga bahwa kebenaran yang telah
diuangkapkan oleh ilmu tertentu adalah kebenaran yang masih terbuka untuk
diuji.

B. Penalaran dan logika


1. Penalaran

Manusia dalah makhluk yang diberi kemampuan berpikir merasa, melihat,


mendengar, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakannya diperoleh atau
bersumber pada pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan
berpikir, merasa, melihat dan mendengar. Penalaran menghasilkan
pengetahuan yang dikaitkan dengan berpikir dan tidak dikaitkan dengan
perasaan, dalam hal ini seorang ahli fisika yaitu Pascal menyatakan bahwa
ternyata hati juga mempunyai logikanya sendiri. Dalam hal ini perlu
diketahui juga logikanya kita dasari bahwa tidak semua kegiatan berpikir itu
didasarkan pada penalaran. Artinya, penalaran adalah kegiatan berpikir yang
memiliki karakteristik tertentu dalam menentukan suatu kebenaran. Dengan
singkat dapat dinyatakan bahwa penalaran dapat didefinisikan sebagai suatu
proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan
yang benar.

Berpikir seperti yang telah dijelaskan adalah suatu kegiatan akal manusia
untuk menentukan pengetahuan yang benar. Pertanyaannya adalah apakah
yang dimaksud dengan benar? kata benar itu sendiri ternyata setiap orang
memiliki pengertian yang tidak sama. Oleh karena itu, kegiatan berpikir yang
dapat menghasilkan pengetahuan yang benar juga mempunyai cara atau
aturan yang berbeda-beda. jadi setiap jalan pikiran manusia mempunyai apa
yang disebut dengan criteria kebersamaan, dan criteria kebenaran ini juga
merupakan landasan bagi proses bahwa penalaran merupakan proses
penentuan kebenaran, dimana setiap kebenaran sesuai dengan criterianya
masing-masing.

Penalaran bagi suatu proses berpikir didasarkan dua hal utama, yaitu logis
dan analitis. Logis sebagai salah satu cirri penalaran mempunyai logika
masing-masing. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bawa penalaran adalah
suatu berpikir logis, dimana berpikir logis adalah suatu kegiatan berpikir
menurut suatu pola tertentu atau logika adalah suatu pola atau logika
tertentu. Perlu diketahui bahwa berpikir logis itu memiliki konotasi yang
bersifat jamak (pural) dan bukan tunggal (singular).Kegiatan berpikir
dikatakan logis bila ditinjau dari logika tertentu, dan tidak logis bila ditinjau
dari logika yang lain. Hal ini sering dikatakan sebagai kekacauan penalaran
yang disebabkan ketidak konsistenan dalam mempergunakan pola pikir
tertentu.

Anlitis adalah cirri dari penalaran, yaitu kegiatan berpikir yang mendasarkan
diri pada suatu analisis. Sedangkan kerangka berpikir yang dipergunakan
untuk analisis adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya,
penalaran ilmiah suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah,
sedangkan penalaran yang lain tentunya akan menggunakan logikanya
masing-masing. Sifat analitis dari penalaran ini, bila dikaji lebih jauh
merupakan konsekuensidari adanya pola berpikir tertentu. Artinya, tanpa
adanya pola berpikir tertentu tersebut maka tidak akan pernah ada kegiatan
analisis, sebab anailisis pada hakikatnya adalah suatu kegiatan berpikir
berdasarkan langkah-langkah tertentu pula. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa tidak semua kegiatan bepikir didasarkan pada proses
penalaran, dengan demikian dapat dikatakan bahwa cara berpikir yang tidk
masuk ke dalam penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitis. Dengan
kata lain, dalam proses berpikir kita dapat membedakan mana berpikir yang
menggunakan penalaran dan yang bukan menggunakan penalaran.

Manusia dalam melakukan kegiatan berpikir tidak selalu didasarkan pada


penalaran, namun ada juga kegiatan berpikir yang didasarkan pada perasaan
dan intuisi. Berpikir yang didasarkan pada perasaan dan instuisi disebut
dengan kegiatan berpikir non-analitis. Artinya, berpikir nonanalitis adalah
suatu kegiatan berpikir yang tidak didasarkan pada pola kegiatan berpikir
tertentu. Kegiatan berpikir intuitif dalam kehidupan masyarakat ternyata
memiliki peranan yang penting dalam cara berpikir nonanalitis, yang
kemudian sering dikaitkan dengan perasaan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ada dua cara berpikir masyarakat dalam menemukan
pengetahuan yang benar, yaitu dengan cara berpikir analitis (penalaran) dan
berpikir nonanalitis (intuisi dan perasaan).

a. Prinsip-prinsip Penalaran
Prinsip-prinsip penalaran ada empat yang terdiri atas tiga prinsipdari
Aristoteles dan satu prinsip dari Georgo Leibniz.
Prinsip penalaran dari Aritoteles adalah :
1) Prinsip identitas. Prinsip ini dalam istilah Latin ialah principium
identitatis. Prinsip identitas berbunyi : “sesuatu hal adalah sama
dengan halnya sendiri”. Dengan kata lain: “sesuatu yang disebut p
maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”.
2) Prinsip kontradiksi (principium contradictionis).
Prinsip kontradiksi berbunyi : “sesuatu tidak dapat sekaligus
merupakan hal itu dan bukan hal itu pad awaktu yang bersamaan”,
atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar dan
tidak benar pad saat yang sama”. Dengan kata lain “sesuatu tidaklah
mungkin secara bersamaan merupakan p dan non-p”.
3) Prinsip eksklusi tertii (principium exdusi tertii), yakni prinsip
penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan
ketiga.
Prinsip eksklusi tertii berbunyi: “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal
tertentu atau bukan hal tertentu mak tidak ada kemungkinan ketiga
yang merupakan jalan tengah”. Dengan kata lain: “sesuatu x mestilah
p atau non-p tidak ada kemungkinan ketiga”. Arti dari prinsip ini
ialah dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin
kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu
yang dapat dimilikinya, sifat p atau non-p.
4) Di smaping ketiga prinsip yang dikemukakan oleh Aritoteles di atas,
seorang filsuf Jerman Leibniz menambah satu prinsip yang
merupakan pelengkap atau tambahan bagi prinsip identitas, yaitu
prinsip cukup alasan (principium rationis sufficientis), yaitu
berbunyi: ”suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hak tertentu hal
tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-
tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”. Dengan kata lain:
“adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup,
demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”. (Noor Ms
Bakry, 1983)
b. Penalaran Proposisi Kategoris
Penalaran adalah suatu proses penarikan kesimpulan dari satu atau lebih
proposisi. Penalaran ada sua, yakni penalaran langsung dan tidak
langsung. Penalaran langsung adalah penalaran yang didasarkan pada
sebuah proposisi kemudian disusul proposisi lain sebagai kesimpulan
dengan menggunakan tertii yang sama. Ada dua penalaran langsung
yakni penalaran oposisi dan penalaran edukasi. Adapun penalaran tidak
langsung adalah penalaran yang didasarkan atas dua proposisi atau lebih
kemudian disimpulkan. Kedua penalaran yakni penalaran langsung dan
tidak langsung ini untuk mengolah proposisi kategoris. Oleh karena itu,
sebelum membahas mengenai penlarannya harus dibahas dahulu
pengertian proposisi kategoris.
Proposisi kategoris adalah suatu pernyataan yang terdiri atas hubungan
dua tertii sebagai subjek dan predikat serta dapat dinilai benar atau salah.
Di dalam proposisi ini, Predikat (P) menerangkan Subjek (S) tanpa
syarat. Proposisi ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu kategoris kuantitas
dan kategoris kualitas. Kategoris kuantitas berisikan dua hal sebagai
berikut: universal (P menerangkan semua S, missal semua anak SD itu
rajin), dan particular (P menerangkan sebagian S, missal sebagiananak
SD itu miskin). Sementara kategoris kualitas terdiri dari dua macam:
positif (P dipersatukan dengan S melalui kata penghubung yang bersifat
mengakui (affirmative), contoh: Kambing adalah binatang, dan negative
(P dan S dihubungkan dengan kata penghubung yang bersifat
mengingkari (menegaskan) missal pacar Adi bukan Sinta)).

Jadi unsur-unsur dalam proposisi kategoris adalah

1) Term sebagai subjek: yaitu hal yang diterangkan dalam pernyataan, yang
sering disimbolkan dengan ‘S’.
2) Term sebagai predikat: yaitu hal yang menerangkan dalam pernyataan,
yang sering disimbolkan dengan ‘P’.
3) Kopula: hal yang mengunggkapkan adanya hubungan antara subjek dan
predikat, dapat mengiyakan atau mengingkari predikat, dapat mengiyakan
atau mengingkari, yang menunjukkan kualitas pernyataan.
Misalnya: semua mahasiswa ikut ujian. Dalam contoh ini kualitas
pernyataan adalah mengiyakan atau afirmatif, karena redikat (ikut ujian)
mengiyakan subjek (semua mahasiswa). Semua mahasiswa tidak ikut
ujian. Ini berarti kualitas pernyataan mengingkari (negative) karena
predikat (tidak ikut ujian) emngingkari subjek (semua mahasiswa).
4) Kuantor. pembilang yang menunjukkan lingkungan yang dimaksukdan
oleh subjek, dapat berbentuk universal atau particular, yang sekaligus juga
menunjukkan kuantitas pernyataan.
Misalnya: Semua karyawan masuk kerja. Contoh ini kuantitasnya adalah
universal. Sebagian karyawan tidak masuk kerja. Contoh ini kuantitasnya
adalah particular.

Dalam proposisi kategoris, jenis proposisi kategoris kuantitas dan kualitas


kemudian digabungkan. Hasil pengabungan kedua jenis proposisi kategoris
ini akan menghasilkan empat proposisi kategoris, yakni sebagai berikut.

1) Proposisi Universal Afirmatif, yakni proposisi yang kuantitasnya


universal dan kualitasnya afirmatif. Proposisi ini dilambangkan dengan
Proposisi ‘A’, diambil dari huruf yang pertama dari kata Latin affirmo
yang berarti mengiyakan . Contoh: Semua mahasiswa mengikuti ujian.
2) Proposisi Universal Negatif, yakni proposisi yang kuantitasnya universal
dan kualitasnya negative. Proposisi ini dilambangkan dengan Proposisi
‘E’, diambil dari huruf kedua dari kata Latin Nego yang berarti
mengingkari. Contoh: Semua karyawan tidak masuk kerja.
3) Proposisi Partikular Afirmatif, yakni proposisi yang kuantitasnya
particular dan kualitasnya afirmatif. Proposisi ini dilambangan dengan
Proposisi ‘I’, diambil dari huruf keempat dari Latin afirmatif yang berarti
mengiyakan. Contoh: Sebagian Sarjana Hukum adalah Politikus.
4) Proposisi Partikular Negatif, yakni proposisi yang kuantitasnya particular
dan kualitasnya negative. Proposisi ini dilambangkan dengan Proposisi
‘O’, diambail dari huruf keempat kata Latin Nego yang berarti
mengingkari. Contoh: Sebagian gadis Bali tidak bisa menari.
2. Logika

uah dari berpikir adalah pengetahuan. Berpikir adalah suatu proses, proses
berpikir ini biasa disebut bernalar. Dalam bernalar manusia melakukan
proses berpikir untuk berusaha tiba pada pernyataan batu yang merupakan
kelanjutan runtut dari pernyataan lain yeng telah diketahui (The, 1999: 21).
Pernyataan yang telah diketahui itu disebut pangkal pikir (premis), sedang
pernyataan baru yang diturunkan dinamakan simpulan (conclusion). Menjadi
pernyataan berikutnya adalah: apakah pernyataan atau pengetahuan yang
dihasilkan melalui penalaran itu mempunyai dasar kebenaran? Untuk
menjawab hal itu maka perlu dilacak, apakah proses berpikir atau penalaran
yang dilakukan itu telah dilakukan melalui suatu cara tertentu dan kemudian
sampai kepada cara penarikan simpulan yang sahih (valid) sesuai dengan
cara tertentu tersebut? Cara penarikan simpulan ini disebut sebagai logika.
Terdapat berbagai cara penarikan simpulan, namun dalam dunia keilmuan,
secara garis besar dapat dibedakan menajdi dua jenis cara penarikan
simpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif.

Logika iduktif adlah suatu cara penarikan simpulan pada suaty proses
berpikir dengan menyimpulkan sesuatu yang bersifat umum dari berbagai
kasus yang bersifat individual. Suatu penalaran dengan logika induktif
dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai
ruang ligkup yang khas dan terbatas sebagai argumentasi dan kemudian
diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Dari fakta pengamatan
didapatkan kenyataan bahwa sebatang besi jika dipanaskan akan memuai,
demikian juga dengan sebatang tembaga, alumunium dan berbagai batang
logam yang lain. Berdasarkan kenyataan-kenyataan individual ini dapat
ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum yakni semua logam jika
dipanaskan akan memuai.

Logika deduktif adalahs uatu cara penarikan simpulan pada suatu proses
berpikir yang sebaliknya dari logika induktif. Dalam proses berpikir ini dari
pernyataan yang bersifat umum ditarik simpulan yang bersifat khusus.
Penarikan simpulan deduktif biasanya menggunakan pola pikir silogismus.
Sebagai seorang pelopor dalam logika deduktif, Aristoteles mengajarakan
silogismus kategoris yang tersusun dari tiga buah proposisi kategoris
(Poespoprodjo, 1999: 206). Berdasarkan alur logika deduktif di atas dapat
dibuat contoh silogismus kategoris sebagai berikut:

a. Semua logam jika dipanaskan akan memuai (Premis mayor)


b. Besi termasuk logam (Premis minor)
c. Maka jika besi dipanaskan akan memuai (Konklusi)

Silogismus kategoris menjadi cara untuk menyelidiki identitas atau diversitas


dua konsep objektif dengan memperbandingkannya dengan konsep ketiga
secara berurutan.
Kelompok lain dari ragam silogismus adalah silogimus hipotesis.
Silogismus hipotesis dibagi ke dalam tiga jenis, yakni:

a. Silogismus kondisional, yakni silogismus yang premis mayornya adalah


preposisi kondisional.
Contoh :
- Apabila Tuti rajin belajar, ia akan lulus ujian.
- Tuti rajin belajar
- Maka Tuti akan lulus ujian.
b. Silogismus disjungtif. Silogismus yang premis mayornya berbentuk
preposisi disjungtif.
Contoh :
- Kamu atau saya yang pergi berlomba
- Kamu tidak pergi
- Maka sayalah yang pergi.
c. Silogismus konjungtif, silogismus yang premis mayornya berbentuk
suatu preposisi konjungtif.
Contoh :
- Tidak diizinkan seorang mahasiswa kuliah di dua perguruan
tinggi negeri dalam waktu bersamaan.
- Si Amir kuliah di perguruan tinggi negeri X
- Maka si Amir tidak kuliah di perguruan tinggi negeri Y.

Logika sebagai sarana berpikir ilmiah akan member suatu “jaminan”


(assurance) bahwa pengetahuan yang didapatkan sebagai hasil penarikan
simpulan atau konklusi itu adalah sahih. Logika menuntun dan menjaga
proses berpikir itu tehindar dari kekeliruan-kekeliruan, sehingga dengan
demikian kecermatan dalam berpikir dapat dicapai.

C. Sumber Pengetahuan

Eksistensi manusia sangat dibatasi oleh ruang, waktu dan syarat-syarat lain
yang dibawa oleh kodratnya. Pada suatu waktu seorang manusia tidak dapat
secara fisik hadir dalam dua tempat yang agak berjauhan. Persitiwa-peristiwa
penting yang terjadi di tempat lain kerapkah tidak dapat kita selesaikan
karena kondisi-kondisi tertentu menghalang-halangi kita. Bahkan peristiwa-
peristiwa penting yang terjadi secara serempak di tempat tinggal kita sendiri
tidak dapat dua-duanya kiat kunjungi secara bersama-sama.

Akan tetapi dengan cara-cara tertentu manusia dapat melampaui batas ruang,
waktu dan syarat-syarat yang lain. Manusia mulai mendegarkan berita-berita,
mengumpulkan informasi-informasi, dan memeriksa data-data yang telah
terkumpulkan dari peristiwa-peristiwa yang tidak ia alami sendiri. Demikian
juga segala sesuatu yang dapat ia alami sendiri ia himpun dan ia renungkan,
ia olah dan ia simpulkan sehingga menjadi pengetahuan yang makin tepat dan
lebih mantap. Persoalan yang muncul tentang bagaimana proses
terbentuknya pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dapat diperoleh
melalui cara pendekatan apriori maupun aposteriori. Pengetahuan yang
diperoleh memalui pendekatan apriori adalah pengetahuan yang diperoleh
tanpa melalui proses pengalaman, baik pengalaman yang bersumber dari
pancaindra maupun pengalaman batin atau jiwa. Sebaliknya, pengetahuan
yang diperoleh melalui pendekatan aposteriori adalah pengetahuan yang
diperolehnya melalui informasi dari orang lain atau pengalaman yang telah
ada sebelumnya.

Sumber pengetahuan yang dibangun berdasarkan logika deduktif dan induktif


seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah suatu proses penalaran yang
dibangun berdasarkan premis-premis yang berupa pengetahuan yang benar.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana kita dapat memperoleh
pengetahuan yang benar tersebut? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini,
terlebih dahulu kita harus dapat mendefinisikan apa itu pengetahuan dan apa
itu benar? Menurut Mundiri (2001) pengetahuan adalah hasil dari aktivitas
mengetahui, yaitu tersingkapnya suatu kenyataan kedalam jiwa sehingga
tidak ada keraguan terhadapnya. Pendapat lain menyatakan bahwa
pengeatahuan adalahs egala sesuatu yang diketahui oleh manusia. Kita benar,
menurut Jujun S Suriasumantri (1998) dapat didefinisikan sebagai pernyataan
tanpa ragu!. Artinya, “ketidakraguan” adalah syarat mutlak bagis seseorang
untuk dapat dikatakan “mengetahui”. Contohnya, kita mengetahui bahwa
bilangan lima lebih benar dari bilangan empat danlebih kecil dari bilangan
enam, manakala kita menyakini akan kenyataan itu, meskipun guru kita atau
orang lain yang kita anggap pandai mengatakan sebaliknya, namun kita pasti
tetap akan mempertahankan pendirian kita terhadap kebenaran tersebut. Bila
pendapat yang berlawanan itu menyebabkan kita timbul keraguan, hal ini
menunjukkan bahw akita belum memahami secara pasti konsep yang terkait
dengan bilangan lima.

“Mengetahui” seperti yang telah dijelaskan di atas, dapat diartikan sebagai


segala sesuatu yang dapat kita tangkap di dalam jiwa baik yang terkait dengan
benda, seperti kursi, buku, rumah atau mengenai peristiwa-peristiwa yang
mneyertai benda-benda tersebut, misalnya melayang, mendidih , pasang,
meledak, rusak, atau mengenai sifat-sifat dan keadaan benda seperti, panas,
wangi, mahal, gelap, dan lain sebagainya.

Untuk mendpatkan penegatahuan yang benar ada dasarnya ada dua sumber
utama yang perlu diketahui oleh setiap manusia, yaitu berdasarkan rasio dan
pengalaman manusia. Pengetahuan yang diperoleh melalui sumber rasio,
kebenarannya hanya didasarkan pada kebenaran akan pikiran semata,
pendapat ini dikembangkan oleh para rasionalis, sedangkan orang yang
menganut paham ini disebut dengan istilah kaum rasionalisme. Sebaliknya,
orang yang berpendapat bahwa sumber pengatahuan diperoleh melalui
pengalaman, kebenaran pengetahuan hanya didasarkan pada fakta-fakta yang
ada di lapangan, sedangkan orang yang menganut paham ini disebut kaum
empirisitze.

Kaum rasionalisme seperti yang te;ah dijelaskan diatas, untuk dapat


memperoleh pengetahuan yang benar dilakukan dengan menggunakan
penalaran, sedangkan logika yang digunakan adalah logika deduktif. Premis-
premis yang digunakan dalam proses penalaran diperoleh melalui ide-ide
yang menurut anggapan dasarnya jelas dan dapat diterima. Priinsip semacam
ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum manusia beruusaha memikirkannya
sehingga orang yang menggunakan logika deduktif dalam setiap pemecahan
masalah yang dihadapi dikenal dengan nama idealisme.

Masalah utama yang muncul dari cara berpikir yang demikian ini adalah
mengenai criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang
menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Misalnya, suatu ide
mungkin si A menyatakan bahwa hal itu sudah jelas dan dapat dipercaya,
namun menurut si B hal itu belum tentu jelas dan dapat dipercaya.
Pertanyaannya adalah mengapa ide yang sama ditanggapi secara berbeda
oleh orang yang berbeda? Untuk dapat menjawab permasalahan ini perlu
dijelaskan berdasarkan latar belakang dari kedua orang tersebut.
Contohnya, si B dalam menyusun sistem pengetahuan sama sekali berbeda
dengan pengetahuan si B menggunakan ide lain yang menurut si B hal itu
merupakan prinsip yang jelas dapat dipercaya, sedangkan si A tidak sama
ide yang dikembangkan, hal ini yang memunculkan perbedaan satu dengan
yang lain. Bagi kaum rasionalis permasalahan utama yang dihadapi adalah
penilaian terhadap kebenaran premis-premis yang digunakan untuk
penalaran deduktif. Karena premis yang digunakan bersumber pada
penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbatas dari pengalaman,
maka penilaian semacam ini tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, melalui
penalaran rasional akan mendapatkan bermacam-macam pengetahuan
mengenai suatu objek tertentu tanpa adanya suatu adanya consensus yang
dapat diterima oleh semua pihak. Pengetahuan yang bersumber dari
pemikiran rasional semacam ini cenderung bersifat solipsistic (hanya
benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berbeda dalam benak orang
yang berpikir tersebut) dan bersifat subjektif.

Kaum empiris, mempunyai pendapat yang berbeda dengan kaum


rasionalis terkait dengan sumber pengetahuan. Bagi kaum empiris
pengetahuan manusia itu dapat diperoleh bukan dari penalaran yang
bersifat rasional yang bersifat abstrak, namun diperoleh melalui
pengalaman yang konkret. Mengapa demikian, para kaum empiris
beranggapan bahwa gejala-gelajala ilmiah yang terjadi di muka bumi ini
adalah bersifat konkret dan dapat dinyakatakan melalui tangkapan
pancaindra manusia. Gejala-gejala itu bila kita kaji lebih jauh, ternyata
memiliki beberapa karakteristik tertentu, misalnya gelaja alam yang
muncul ternyata memiliki pola yang teratur mengenai suatu kejadian
tertentu. Contohnya, suatu logam bila dipanaskan akan memuai, langit
mendung diikuti dengan turunnya hujan, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, pengalaman manusia akan membuahakan pengetahuan mengenai
berbagai gejala alam yang mengikuti pola-pola tertentu. Selain itu, kita
dapat melihat adanya karakteristik lain yaitu adanya kesamaan dan
penanggulangan, misalnya berbagai jenis logam bila kita panaskan pada
suhu tertentu ternyata mengalami proses memuai. Hal ini memungkinkan
kta untuk melakukan generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi
dialam semesta ini. Artinya, dengan menggunakan penalaran deduktif
maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum melalui
pengamatan terhadap gelaja-gejala fisik yang bersifat individual.

Masalah utama yang muncul dalam penyusunan pengetahuan secara


empiris ini adalah bahwa pengetaahuan yang dikumpulkan itu cenderung
untuk menjadi kumpulan fakta-fakta. Kumpulan fakta tersebut belum tentu
bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat
kontrasiktif. Kumpulan suatu fakta atau kaitan antara berbagai fakta,
belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sitematis;.
Dalam hal ini Einstein mengingatkan kepada kita bahwa tidak terdapat
metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu
ilmu.

Kaum empiris beranggapan bahwa dunai fisik adalah nyata karena


merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindra manusia. Hal ini bahwa
kita pada dua persoalan penting. ‘Pertama’ apabila kita mengetahui
apabila ada dua fakta yang nyata, misalnya rambut keriting dan mata lebar,
bagaimana kita merasa ada kaitan yang pasti mengenai hubungan antara
kedua fakta tersebut? Apakah rabut keriting dan mata lebar mempunyai
kaitan satu sama lain dalam hubungan kausalitas? Sekiranya kita
mengatakan todak, bagaimana sekiranya penalaran indukktif membuktikan
sebaliknya? Pertanyaan ini mengingatkan kepada kita bahwa hunungan
antara berbagai fakta tidaklah nyata sebagaimana yang kita perkirakan.
Oleh Karena itu, harus terdapat suatu kerangka pemikiran yang member
latar belakang mengapa X mempunyai hubunngan dengan Y, sebab kalau
tidak, maka pada hakikatnya semua fakta dalam dunia fisik bisa saja
dihubungkan dalam kaitan kausalitas.

Masalah kedua adalah menganai hakikat pengalaman yang dijadikan


sebagai cara dalam menemukan pengetahuan dan pancaindra sebagai alat
untuk menangkapnya. Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud
dengan pengalaman? Apakah hal ini merupakan stimulus pancarindar?
Ataukah persepsi? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindra
sebagai alat untuk menangkap gejala fisik yang nyata, maka seberapa jauh
kita dapat mengandalkan pencarindra tersebut?

Kaum empiris ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang


meyakinkan mengenai hakikat pengalaman itu sendiri. Pancaindra
mempunyai banyak kekurangan dan hal ini bukan merupakan sesuatu yang
baru bagi kita lagi. Pancaindra manusia kemampuannya sangat terbatas
dan lebih penting pancaraindra manusia bisa melakukan kesalahan.
Contoh, apa yang kita lihat sehari-hari adalah sebagaimana tongkat lurus
yang sebagian terendam didalam air akan kelihatan menjadi bengkok.
Haruskah kita mempercayai terhadap kenyataan semacam ini sebagai
dasar untuk menyusun pengetahuan?
Sumber pengetahaun selain dapat diperoleh memalaui rasionalisme dan
empirisme, ternyata masih ada cara lain yang perlu kita ketahui yaitu
intuisi dan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berpikir untuk mendapatkan
pengetahuan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Contohnya,
seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba
saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Jawaban atas
permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan
kebenaran yang membukakan pintu. Atau bisa jua, intuisi ini bekerja
dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu
permasalahan ditentukan tidak pada saat orang tersebut secara sadar
sedang memikirkan mencari permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Suatu masalah yang sedang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda
karena menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul dalam benak kita suatu
jawaban yang lengkap. Kita merasa yakin memang itulah jawaban yang
kita cari namun kita tidak dapat menjelaskan bagaimana caranya sampai
kita ke sana.

Intuisi merupakan kegiatan berpikir yang bersifat personal dan tidak bisa
diramalkan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur,
maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisif dapat
dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam
menemukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Dengan
deemikian, kegiatan intuitif dan analitik dapat bekerja saling membantu
dalam menemukan kebanaran. bagi Maslow dalam Jujun (1988) intuisi ini
merupakan pengalaman puncak (peak experience).Intuisi menurut
Neitzsche merupakan inteligensi yang paling tinggi.

D. Kriteria dan cara penemuan kebenaran


1. Kriteria Kebenaran

Hukum-hukum, asas-asas, dan patokan-patokan logika pembimbing akal


manusia menempuh jalan yang paling efisien untuk menjaga
kem,ungkinan salah dalam berpikir. Lantas apakah arti benar itu? Benar
menurut Randall & Bucher dalam Mundari (2001) pada dasarnya adalah
penyesuaian antara pikiran dan kenyataan. Benar menurut Jujun (1988)
adalah pernyataan tanpa ragu. Contohnya, kita akan berkata bahwa
proposisi-proposisi berikut adalah salah : batu hitam tenggelam dalam air
raksa; batu lebih ringan daripada kapuk; matahari terbit dari barat,
Sebaliknya kita mengakui kebenaran dari proposisi-proposisiberikut ini :
Bumi bergerak mengelilingi matahari; Napoleon adalah panglima perang
yang ulung; Besi lebih berat daripada air tawar. Apakah dasar kita
menentukan demikian itu? Tidak lain dan tidak nukan adalah sesuai
tidaknya proposisi-prosposisi itu dengan kenyataan sesungguhnya.

Untuk mennetukan kebanaran suatu pengetahuan ada tiga teori yang


dapat dijadikan sebagai criteria, yaitu :

a. Teori koherensi (teori kebenaran saling berhubungan)


b. Teori korespondensi (teori kebenaran saling berkesesuaian), dan
c. Teori pragmatism (teori kebenaran konsekuensi kegunaan)
(Jujun, 1988; dan Sudarsono, 2001).

Pertama, teori kebenaran yang didasarkan pada teori koherensi secara


sederhana dapat disimpukan bahwa suatu proposisi (pernyataan) dianggap
benar bilamana pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten atau
saling berhungan dengan pernyataan-peryataan sebelumnya yang dianggap
benar. Bila kita menganggap bahwa “semua makhluk hidup pasti akan
mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua konsiten dengan
pernyataan yang pertama.

Kedua, teori kebenaran yang didasarkan pada teori korespondesi, dimana


penggugas utamanya adalah Bernard Russell (1872-1970). bagi penganut
teoro korespondensi ini maka suatu penyataan dikatakan benar bila materi
pengetahuan yang dikandung pernyataan tersebu saling berkesesuaian
dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika
seseorang mengatakan bahwa “Tugu monas ada di ibu kota Jakarta” maka
pernyataan adalah benar sebab pernyataan itu dengan objek yang bersifat
faktual yakni Jakarta yang memang temat berdirinya monument tugu
monas. Apabila ada orang yang mengatakan bahwa “ Tugu monas di
Semarang” maka pernyataan ini adalah tidak benar sebab tidak terdapat
objek yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Dengan demikian maka
secara factual “ Tugu monas ada di Jakarta bukan di Semarang”

Teori kebenaran baik koherensi maupun korespondensi keduanya


dipergunakan untuk membangun pola berpikir secara ilmiah. Teori
koherensi dipergunakan sebagai proses penalaran teorestis yang
didasarkan pada logika untuk proses pembuktian secara empiris dalam
bentuk pengumpulan data-data yang mendukung suatu pernyataan tertentu
yang telah dibuat sebelumnya.

Ketiga, teori kebenaran yang didasarkan pada teori pragmatism. Teori ini
dicetuskan oleh Peirce (1939-1914) dalam sebuah makalah yang terbit
pada tahun 1878 yang brejudul “how to make our dear”. Bagi orang yang
menganut pragmatism ini menyatakan kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan criteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan dikatakan benar, jika
pernyataan tersebut atau konsekuensi dari pernyataan tersebut mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Sekiranya ada orang yang
menyatakan sebuah teori X tersebut kemudian dikembangkan pendidikan,
dam dengan teori X tersebut kemudian dikembangkan teknik Y dalam
meningkatkan kemampuan belajar siswa. maka teori X dianggap benar,
sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan.

Pragmatisme bukanlahh suatu aliran filsafat yang mempunyai doktrin-


doktrin filsafati melainkan teori dalam penemuan criteria kebenarab
sebagaimana disebutkan diatas. Kaum pragmatis berpaling pada metode
ilmiah sebagai metode mencari pengetahuan tentang ala mini yang
dianggap fungsional dan berguna bagi penafsiran gejala-gejala alamiah.
Kriteria pragmatism ini juga dipergunakan oleh para ilmuwan dalam
menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara
teoritis maka pernyataan makalah yang sekarang diaggap benar suatu
waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan pada permasalahan
semacam ini, maka ilmuwan bersifat pragmatis ; selama pernyataan ini
funsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan ii dianggap benar;
sekiranya pernyataan ini tidak lagi bersifat demikian, disebabkan
perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan yang lama harus ditinggalkan, pengetahuan ilmiah memang
tidak berumur panjang. Seperti yang telah diugkapkan dalam sebuah
pengumpulan pendapat dikalangan ahli-ahli fisika, bahwa teori tentang
partikel tidak berumur lebih dari empat tahun.

2. Cara Penemuan Kebenaran

Dalam penggunaan kata “pengetahuan” dan “ilmu” dari apa yang kita
tangkap dalam jiwa kita harus berhati-hati. Pengetahuan(knowledge)
sudah puas dengan “menangkap tanpa ragu” kenyataan sesuatu, sedang
ilmu (science) menghendaki penjelasan lebih lanjut dari sekedar apa yang
dituntut oleh pengetahuan. Misal, si Buyung mengetahui bahwa
pelampung kailnya selalu terapung di air, ia akan membantah jika
dikatakan gabus pelampung itu tenggelam. Kejadian inilah yang disebut
dengan “pengetahuan” baginya. Manakala ia mengetahui bahwa BJ (berat
jenis) pelampung lebih kecil dengan BJ air dan ini mengakibatkan
pelampung itu selalu terapung, maka hal itu menjadi “ilmu” baginya.
Seseorang tahu betul saat-saat laut pasang dan surut, sehingga ia dapat
mengambil manfaat bagi kehidupannya. Tetapi selama ia ketahui tidak
pernah menebus keterangan tentang sebab terjadinya peristiwa itu, yakni
daya tarik bulan yang mangakibatkan air laut di sebagian belahan bumi ini
pasang, selama itu pula ia hanya merupakan pengetahuan baginya.

Manusia akan puas apabila ia dapat memperoleh pengetahuan mengenai


apa yang dipermasalhkan dan lebih puas lagi apabila pengetahuan yang
diperoleh itu adalah pengetahuan yang benar. Oleh karena itu manusia,
selalu ingin mencari dan memperoleh pengetahuan yang benar (Cholid
Narbuko dan Abu Ahmadi, 1997). Untuk dapat memperoleh pengetahuan
yang benar pada dasarnya ada dua cara yang dapat ditempuh oleh manusia
yaitu dengan cara nonilmiah dan cara ilmiah. Menurut ahli filsafat
pengetahuan yang benar pada mulanya diperoleh melalui cara nonilmiah di
banding dengan cara ilmiah, hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya
pikir manusia.

Pendekatan ilmiah menuntut dilakukannya cara-cara atau langkah-langkah


tertentu denga peraturan tertentu pula agar dapat dicapai pengetahuan yang
benar. Namun, tidak semua orang suka melewati tata tertib pendekatan
ilmiah itu untuk sampai pada pengetahuan yang benar mengenai hal yang
dipertanyakannya. Bahkan di kalangan masyarakat awam untuk
memperoleh pengetahuan yang benar lebih baik suka menggunakan
pendekatan nonilmiah.

a. Cara Penemuan Kebenaran Nonilmiah

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan manusia untuk memperoleh


kebenaran melalui cara nonilmiah, di antaranya adalah :

1) Akal sehat (common sence)


2) Prasangka
3) Pendekatan intuisi
4) Penemuan kebetulan dan coba-coba
5) Pendekatan otoritas ilmiah dan pikiran kritis

Untuk lebih jelasnya dari beberapa pendekatan nonilmiah tersebut satu


persatu dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Akal sehat (common sence)


Akal sehat menurut Counaut yang dikutip Kerlinger (1973) adalah
serangkaian konsep dan bagan yang memuaskan untuk penggunaan
praktis yang digeneralisasikan dan hal-hal yang khusus. Bagan konsep
adalah seperangkat konsep yang dirangkaikan dengan dalil-dalil
hipotesis dan teori walaupun akal sehat yang berupa konsep dan bagan
itu dapat menunjukkan hal yang benar, namun dapat menyesatkan.
Sebagai contoh, pada abad ke-19 menurut akal sehat yang diyakini
oleh banyak pendidikan. Tetapi ternyata penemuan ilmiah membantah
kebenaran akal tersebut. Pada umumnya kal sehat banyak digunakan
oleh orang awam dalam mempersoalkam sesuatu.
2) Prasangka
Penemuan pengetahuan yang dilakukan melalui akal sehat kebanyakan
diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukannya. Hal ini
menyebabkan akal sehat mudah berubah menjadi prasangka. Orang
yang sering tidak mampu mengendalikan keadaan yang juga dapat
terjadi pada keadaan yang lain. Ia seringkali cenderung melihat
hubungan antara dua hal sebagai hubungan sebab akibat yang langsung
dan sederhana. Dengan akal sehat orang cenderung ke arah perbuatan
generalisasi yang terlalu dipaksakan, sehingga hal itu menjadi suatu
prasangka.
3) Pendekatan Intuitif
Dalam pendekatan intuitif orang menentukan pendapat mengenai
sesuatu hal yang berdasarakan atas “pengetahuan” yang langsung atau
di dapat dengan cara cepat melalui proses yang tidak disadari atau
tidak dipikirkan terlebih dahulu. Dengan untuitif oaring memberikan
penilaian tanpa didahului kesuatu renungan. Pencapaian pengetahuan
semacam itu kebenarannya sukar dipercaya. Metode semacam itu
biasanya disebut dengan pendekatan “apriori”. Dalil-dalil yang
diperoleh dengan “apriori” mungkin cocok dengan penalaran, namun
belum tentu cocok dengan pengalaman atau data empiris.
4) Penemuan Kebetulan dan Coba-coba
Penemuan secara kebetulan dan coba-coba banyak, di antaranya yang
snagat berguna. Penemuan secara kebetulan diperoleh tanpa
direncana, tidak pasti, dan melalui langkah-langkah yang sistematik
dan terkendali. Misalnya, seseorang anak terkurung dalam kamar
sedangkan pintunya terkunci, ia binggung, kebetulan ia melihat jendela
kamar tidak terkunci, ia kemudian keluar kamar melalui jendela.
Penemuan kebetulan dan coba-coba (trial and error) pengetahuan yang
diperoleh tanpa kepastian akan diperoleh suatu kondisi tertentu atau
pemecahan masalah. Pemecahan masalah terjadi secara kebetulan
biasanya tidak efektif dan tidak terkontrol. Contoh: percobaan yang
dilakukan Pavlov terhadap gorilla yang ada di dalam sangkarnya, di
dalam sangkar gorilla diberi tongkat dan di luar sangkar ditaruh pisang.
Karena selera ingin meraih pisang tersebut dan tanganya ternyata tidak
dapat menjangkau pisang tersebut, kemudian ia mencoba-
cobamenggunakan tongkat yang ada di sampingnya. Dengan usaha
coba-coba itu akhirnya pisang yang berada di luar sangkar dapat diraih.
5) Pendapat otoritas ilmiah dalam pikiran ilmiah
Otoritas ilmiah biasanya dapat diperoleh seseorang yang telah
menempuh pendidikan formal tertinggi, misalnya Doktor atau sesorang
yang mempunyai pengalaman professional atau kerja ilmiah dalam
suatu bidang cukup banyak (seorang professor).
Pendapat mereka biasanya sering diterima tanpa harus diuji, karena
dipandang benar apa yang mereka katakana. Namun, pendapat otoritas
ilmiah tidak selamanya benar, bila pendapat dikemukakan tersebut
tidak didasarkan pada hasil penelitian, namun hanya didasarkan pada
pikiran logis semata.
b. Cara Penemuan Kebenaran Ilmiah

Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah berupa kegiatan


penelitian ilmiah dan dibangun di atas teori-teori tertentu. Kita semua
mengetahui bahwa teori berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu
penelitian yang dilakukan secara sistematis dan terkontrol berdasarkan atas
data-data empiris yang ditemukan di lapangan. Teori yang ditemukan
dapat diuji keajekan dan kejituan internalnya. Artinya, jika penelitian
ulang dilakukan langkah-langkah yang serupa pada kondisi yang sama
akan diperoleh hasil yang sama atau hampir sama. Pendekatan ilmiah akan
menghasilkan kesimpulan seerupa bagi hampir setiap orang. Karena
pendekatan tersebut tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi maupun oleh
perasaan, dan cara penyimpulannya objektif bukan subjektif.

Dengan pendekatan ilmiah itu orang berusaha untuk memperoleh


kebenaran ilmiah , yaitu pengetahuan benar yang kebenarannya terbuka
untuk diuji oleh siapa yang menghendaki untuk mengujinya. Cara ilmiah
ini merupakan syarat mutlak untuk menemukan suatu ilmu, yang harus
berfikir secara ilmiah, maka ada tiga tahapan berpikir yang harus dilalui,
yaitu : a) skpetik, b) analitik, dan c) kritis.

1) Skpetik
Ciri berpikir ilmiah pertama ini ditandai oleh cara orang, di dalam
menerima kebenaran informasi atau pengetahuan tidak langsung
diterima begitu saja, namun dia berusaha untuk menanyakan fakta-
fakta atau bukti-bukti terhadap setiap pernyataan yang diterimanya.
2) Analitik
Ciri berpikir ilmiah kedua, ditandai oleh cara orang dalam melakukan
setiap kegiatan, ia selalu berusaha menimbang-nimbang setiap
permasalahan yang dihadapinya, mana yang relevan, dan mana yang
menjadi masalah utama da sebagainya. Dengan cara ini maka jawaban
terhadap permasalahan yang dihadapi akan dapat diperoleh sesuai
dengan apa yang kita harapkan.
3) Kritis
Ciri berpikir ilmiah ketiga ditandai dengan orang yang selalu berupaya
mengembangkan kemampuan menimbang setiap permasalahan yang
dihadapi secara objektif. Hal ini dilakukan agar semua data dan pola
pikir yang diterapkan data selalu logis.
E. Ilmu, Teknologi, dan Seni

Setiap manusia dan berhasrat memperoleh pengetahuan yang sempurna, yang


dapat dijangkau dengan pengamatan yang cermat, pemeriksaan yang teliti,
penalaran yang luas, dengan berpikir yang sedalam-dalamnya, tentang
kenyataan yang sebenar-benarnya. Manurut Paryana Suryadipura (1958)
bahwa kenyataan yang sebenarnya itu dinamakan hakikat. Kegiatan hasrat
memperoleh hakikat, ialah berpikir dengan landasan yang benar. Berpikir
dengan landasan yang benar membutuhkan tarekat, dengan deemikian
mencari hakikat ialah bukan memikirkan sesuatu tentang kenyataan yang
dapat disaksikan dengan kemampuan pancaindra saja, melainkan berpikir
mengenai hubungan antara kenyataan yang ada dengan keseluruhanya,
terhadap semesta alam, dan dengan pusat asasnya (yang mutlak/Sang
Pencipta). Hubungan yang demikian dinamai ma’rifat.

Secara fundamental manusia sebagai animal educable juga mempunyai


berbagai kebutuhan, sehingga ada dorongan sebagai upaya pemenuhannya.
Memang, pada momen-momen tertentu manusia menunjukkan kemiripan
infrahuman untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri. Namun demikian
adanya rasionalitas menjadikannya sebagai suprahuman yang pengendali
makhluk lain (Poespoprodjo W., 1987). Pembedaan keduanya terletak kepada
kemampuan intelek rasionalitas dan rohaninya. Intelek merupakan hal yang
penting, karena misalnya adanya pengertian yang merupakan syarat mutlak
untuk bahagia. Manusia hanya merasa senang kalau mengerti kesenangan,
seseorang hanya dapat memiliki sesuatu jika mengerti. Tanpa pengertian, tak
ada kepunyaan yang formal, kesusilaan, kemerdekaan, kemandirian rohani.
Mengerti yang intelek menuntun pencapaian hakikat ilmu berdasarkan tarekat
untuk menuju pemahaman yang ma’rifat.
Rasionalitas adalah proses refleksi perenungan sistematis dari pengalaman
konkret, sensitive, yang mampu menyusun konklusi signate berupa
pengertian langsung secara sadar, yang sangat padat dengan informasi.
Namun demikian secara exercite, pengertian yang tidak langsung diperoleh
dengan mengadakan eksplorasi dari pengalaman yang padat informasi
tersebut, dan kemudian memastikannya. Pencarian kepastian inilah yang
berhubungan dengan ilmu tentang prisip, yang mempelajari dan
mempertanyakan secara radikal segala realitasmelalui sebab-,isabab terakhir,
melaui asas-asasnya guna memperoleh pandangan insight yang tepat
mengenai realitas menggunakan logika yang berupa kritis pikiran dan
pemikiran manusia. Logika adalah kondisi dan tuntutan fundamental
eksistensi ilmu, sedangkan ilmu itu berupa pembuktian secara ilmiah tentang
pengetahuan untuk menjelaskan gejala-gejala dan fenomena alam yang
normative, komunakisme, serta bersifat disenterestedness yang skeptis.

Norma ilmu bersifat universalisme yang tidak tergantung ras, warna kulit, dan
internasonal. Komunalisme, artinya bahwa sesuatu ilmu adalah berupa hasil
uji suatu pengetahuan tersebut menjadi milik umum. Disenterestedness yang
berlawanan dengan propaganda kepentingan golongan, dan skreptisisme yang
tidak begitu saja menerima kebenaran apapun datang darimanapun. Ilmu
dapat dipandang sebagai produk, sebagai proses, dan sebagai paradigm ethika
pada kenyataanya amat rumit untuk diurai, dan pada dasarnya bersifat
misterius dengan taraf pemahaman terhadap kebenaran ilmu itu sendiri yang
provisional. Artinya, ilmu mempunyai kemampuan untuk meprediksi sesuatu
dasar penemuan berlandaskan pengembangan lohika, sehingga formulasi
dengan klasifikasi yang sahih. Kemampuan meramal dari suatu ilmu yang
berperan sebagai sarana pencapaian ideology denga segala konsekuensinya
yang berwujud teknologi.

Teknologi adalah kemampuan menerapkan suatu pengetahuan dan


kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan suatu produk, yang
berhubungan dengan seni, yang brelandaskan pengetahuan eksakta
berdasarkan pada aplikasi dan implikasi pengetahuan itu sendiri (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1989). Dengan demikian, teknologi adalah ilmu
terapan yang telah dikembangkan lebih lanjut, dan meliputi perangkat keras
dan perangkat lunak yang merupakan manifestasi atas kekuasaan alam,
manusia dan kebudayaannya (Paul W. Devore, 1980).

Seni, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), adalah merupakan


keahlian membuat karya yang bermutu, dilihat dari segi kehalusannya,
keindahannya, dan lain sebagainya. Sesuatu dikatakan indah apabila
mengandung tiga faktor utama, yaitu (1) faktor kesempurnaan, (2) faktor
keharmonisan, dan (3) sinar kecemerlangan. Kesempurnaan berupa hasil
karya ciptaan manusia yang memiliki nilai standar, baik kelengkapan,
keutuhan maupun bentuk yang dapat menimbulkan rasa indah, yang
diciptakan sendiri oleh person individual dengan hasil menjadi milik bersama,
untuk dapat dinikmati secara komunal dalam komunitas yang berupa
kelompok organism (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling
berinteraksi disuatu daerah tertentu, mempunyai karakteristik tertentu, serta
masyarakat tertentu. Keharmonisan merupakan adanya unsure keserasian,
keselarasan, dan kesesuaian komposisi antarorgan/ komponen satu dengan
lainnya, dengan berdasar criteria subjektif yang melekat padanya. Adapun
sinar kecemerlangan berupa nilai-nilai yang indah / elok dari perpaduan
unsure mampu memunculkan sesuatu yang luar biasa berhubungan dengan
nilai rasa seseorang. Dengan demikian, seni adalah wujud dari kesanggupan
akal budi manusia untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi/luar biasa
dan bermanfaat.

Ilmu, teknologi dan seni sebagai produk menjadi milik manusia. Artinya
ilmu, teknologi dan seni didapat melalui pola pemikiran analogi ilmiah
dengan menggunakan meuode keilmuan yang runtut membawa kearah titik
temu pada suatu konklusi yang bersifat nisbi, namun terhindar dari dekadensi
silang pendapat fundamental dikalangan bagi para ilmuwan dalam kurun
waktu sehingga terbuka untuk memungkinkan adanya pembuktian dan
pengujian akan kebenarannya. Konklusi yang dimaksud sebagai tarhet
orientasi pengetahuan, berupa formulasi rumusan yang berisi pernyataan
berdasar cara pandang masyarakat keilmuan terhadap suatu objek, ditinjau
dari sisi kemanfaatannya.

Ilmu, teknologi dan seni sebagai proses memandang manusia merupakan


unsure pelaku dalam memahami arti hidup bagi kehidupannya. Hal ini
menuntun setiap indivisu untuk dihargai taraf eksistensi sebagai subjek
pergaulan kemasyarakatan. Ilmu adalah sistem kegiatan sosial, ataupun
kegiatan dalam sosial berkembanglah ilmu pengetahuan untuk mencapai
tujuan masing-masing subjek. Pemahaman individu sebagai subjek
kehidupan senantiasa berusaha memahami fenomena alam semesta termasuk
manusia di dalam perilakunya, baik sebagai perseorangan maupun sebagai
kelompok rumpun individu yang berupa masyarakat. Dengan demikian,
metode keilmuannya bercirikan rasionalitas objektif yang bernalar. Menurut
Yuyun S.Sumantri (1984), bahwa kegiatan keilmuan itu sejauh mungkin
harus impersonal dengan penganalisaan masalah-masalah terutama
didasarkan atas percobaan dan data pengamatan. Penalaran ilmu, teknologi
dan sebi sebagai apa adanya yang mampu mendorong menuju titik
permahaman tanpa didahului praduga atensius yang diharapkan.

Aplikasi dan implikasi ilmu terapan ke dalam kancah teknologi dan seni
berupa prasana maupun sarana kegiatan sosial; membawa dampak
menjunjung nilai budaya normative bagi kehidupan manusia dengan
kemanusiaannya. Ilmu, teknologi dan sebi sebagai paradigm etika yang
mempunyai nilai-nilai bagi kemaslahatan umat berkubang pada kepentingan
ilmu, tekonolgi dan seni itu sendiri. Antara ilmu, teknologi dan seni terhadap
adaptasi kebudayaan merupakan buah budi manusia dengan dinamika
hidupnya, terhadap korelasi yang bersifat timbale balik, sehingga
pengembangan dan penerapan perlu pengarahan dan penilaian dengan standar
norma. Dapatlah dikatakan bahwa, menurut pandangan critical interactionist
memberikan pengarahan dan penilaian yang dimaksud dengan norma itu
melalui pengembangan dialogis berdasarkan factual dan nilai-nilai dari
manusia sebagai objek maupun subjek.

Ilmu, teknologi dan seni yang tergolong sains, merupakan natural sciences
berorientasi terhadap pengetahuan tentang kealaman, adalah cara pandang
mengenai pemnafaatan alam dengan segala isinya yang berifat materialis.
Menurut Mundzirin Yusuf (1998), bahwa ilmu pengetahuan kealaman dapat
dibagi menjadi: (1) ilmu kehidupan, yaitu ilmu pengetahuan mengenai
makhluk hidup di alam, (2) ilmu kebendaan (physical science), yang
membahas benda mati di alam, dan (3) teknologi dan seni, yaitu ilmu tentang
penerapan ilmu pengetahuan untuk memenuhi suatu tujuan yang sesuai
dengan kehendaknya. Ilmu pengetahuan atau ilmu itu sendiri, dalam hal ini
dirumuskan sebagai himpunan sebab-akibat yang disusun secara sistematis
berdasarkan pengamatan, percobaan, dan penalaran, dengan terlebih dahulu
diawali rasa ingin tahu tentang sesuatu sebagai langkah pemahaman gejala
alam semesta. Pengamatan dilakukan dengan cara mencermati atau
mengadakan pengukuran yang hasilnya berupa sekumpulan data dan fakta.
Percobaan bertujuan untuk menimbulkan gejala pada kondisi yang
dikendalikan. Sesuatu yang terkumpul berupa data hasil pengamatan dan
percobaan dianalisis menggunakan metode ilmiah agar diperoleh simpulan
yang masuk akal, dan disebut penalaran.

Anda mungkin juga menyukai