Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester pada
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Oleh:
195120401111049/D-2
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MEI 2020
KESENIAN LOKAL DONGKREK KABUPATEN MADIUN: Studi Interpretasi
Kesenian Lokal Dongkrek Kabupaten Madiun sebagai Modal Pembentukan
Identitas Nasional-Bangsa Indonesia
DESKRIPSI SINGKAT
Heterogenitas budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia merupakan warisan
leluhur bangsa. Salah satu unsur penting pembentuk budaya adalah keberadaan kesenian
lokal. Terdapat ribuan kesenian lokal yang tersebar di setiap daerah, salah satunya
adalah kesenian lokal “dongkrek” yang berasal dari Kabupaten Madiun. Asal mula
pemberian nama kesenian dongkrek sendiri, berdasarkan buku Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Madiun, diambil dari bunyi 2 instrumen utama yakni bedug dan
korek (Wahyuningsih dkk, h.10). Instrumen bedug apabila dipukul akan menghasilkan
suara “dhug”, sementara instrumen korek—yakni kayu berbentuk bujur sangkar dengan
satu ujungnya terdapat tangkai kayu bergerigi—apabila digesek akan mengeluarkan
suara “krek”. Pada saat kedua instrumen tersebut dimainkan secara bergiliran akan
terdengar bunyi “dhung-krek-dhung-krek”. Hal tersebut yang kemudian menjadikan
nama kesenian lokal dari Kabupaten Madiun ini sebagai “dongkrek”.
Berdasarkan aspek historis, kesenian lokal dongkrek merupakan sebuah kesenian
tradisional yang berasal dari Kabupaten Madiun. Pada tahun 1879, dongkrek diciptakan
oleh Raden Bei Lo Prawirodipura—atau biasa disebut sebagai Eyang Palang (Jaecken
MP, 2011 dalam Hanif dkk, 2019, h. 137). Eyang Palang merupakan seorang Demang
atau Palang di Kecamatan Caruban—sekarang berubah nama menjadi Kecamatan
Mejayan—yang berada di Kabupaten Madiun. Dalam sistem pemerintahan pada waktu
itu, Eyang Palang atau Raden Bei Lo Prawirodipuro menjadi Palang terakhir hingga
beliau wafat. Padahal jabatan Palang sudah lama dihapus tetapi diduga karena
kepribadian Eyang Palang yang sangat berwibawa sehingga pemerintah mengambil
kebijaksanaan untuk memberikan predikat Palang—khusus kepada Raden Bei Lo
Prawirodipuro. Palang sendiri merupakan sebutan atau jabatan setingkat kepala desa
yang membawahi lima hingga enam desa di Kecamatan Caruban (Hanif dkk, 2019, h.
137).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jaecken M P (2011), menjelaskan bahwa
kemunculan kesenian dongkrek dimulai ketika daerah Mejayan terkena wabah penyakit
atau pageblug (Wahyuningsih dkk, h. 9). Eyang Palang—atau Raden Bei Lo
Prawirodipuro yang menjabat sebagai pemimpin atau Palang—merenung untuk mencari
jalan keluar atas wabah penyakit yang menimpa rakyat. Dalam proses merenung di
gunung kidul Caruban, Eyang Palang mendapatkan wangsit—yakni membuat semacam
tarian atau kesenian untuk mengusir bala dari pageblug atau wabah penyakit. Wangsit
yang diperoleh Eyang Palang digambarkan bahwa para punggawa kerajaan roh halus
atau pasukan genderuwo yang menyerang penduduk Mejayan dapat diusir melalui
kesenian yang melukiskan fragmentasi pengusiran roh halus pembawa pageblug—yakni
kesenian dongkrek.
Kesenian Dongkrek dipertunjukan sebagai sebuah fragmen pengusiran roh halus
yang terdiri dari lima genderuwo, lelaki tua sakti (Eyang Palang), dan dua perempuan
paruh baya. Perempuan dalam pertunjukkan dongkrek tersebut menjadi simbol kondisi
rakyat yang lemah karena krisis pangan dan dikepung oleh lima genderuwo. Lima
genderuwo yang menyerang warga desa berhasil membunuh hampir keseluruhan warga.
Namun, lima genderuwo dihadang oleh lelaki tua sakti bersenjata teken atau tongkat
ketika akan membunuh dua perempuan paruh baya—lelaki tua tersebut adalah Eyang
Palang. Terjadi peperangan sengit antara kawanan genderuwo dan Eyang Palang tetapi
akhirnya kawanan genderuwo dapat dikalahkan. Kemudian, masyarakat berarak-arakan
keliling desa untuk mengatasi pageblug.
Selama perkembangannya, kesenian Dongkrek terus bertransformasi mulai dari
instumen pengiring hingga gerak tari. Walaupun demikian, pementasan kesenian
dongkrek tetap mengusung nilai-nilai budaya yang ada sejak dulu seperti nilai religi,
sosial, serta estetika. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menjelaskan lebih
mendalam terkait prospek nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian lokal dongkrek
tersebut sebagai modal pembentukan identitas nasional-bangsa Indonesia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif. Menurut Moh. Nazir (2014), penelitian yang bersifat deskriptif
mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam
masyarakat dan situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap,
pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh terhadap fenomena.
Adapun sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan jalan: (a) kajian pustaka
yang relevan dengan masalah yang diteliti seperti jurnal, penelitian terdahulu, serta
literatur online (b) wawancara via daring dengan Ketua dan Wakil Ketua Sanggar Seni
“Bissing” SMAN 1 Geger yakni informan yang pernah berperan dalam pementasan
kesenian lokal dongkrek, (c) dokumentasi pribadi yang diperoleh dari Sanggar Seni
“Bissing” SMAN 1 Geger.
Ketiga, topeng Roro Perot atau wewe putih menggambarkan wajah dari abdi
kinasih atau pengikut setia yang membantu Raden Bei Lo Prawirodipoero ketika
perang melawan genderuwo yang menjadi penyebab wabah penyakit di desa
Mejayan. Berwatak ajeg atau berpendirian teguh tidak mudah terpengaruh oleh orang
lain, kemampuan yang dimilikinya ,pantang menyerah dapat diandalkan, juga sangat
setia.
1.2 Lagu
Lagu yang dinyanyikan dalam kesenian dongkrek adalah sekar gambuh dan
tembang-tembang dolanan Jawa. Sekar Gambuh dibawakan sebelum mengawali
kesenian dongkrek (Sejati, 2016, h.75). Kesenian dongkrek diawali dengan sekar
gambuh karena difungsikan sebagai ritual pembuka sekaligus disesuaikan dengan
sejarah kesenian dongkrek itu sendiri. Selain itu, tembang-tembang dolanan Jawa
juga digunakan sebagai lagu pengering kesenian dongkrek—diantaranya Cublak
Suweng, Buto Galak, Ilir-Ilir, Sluku Bathok, Jamuran, Cenkir Legi.
Alat musik dalam kesenian dongkrek terdiri dari: Pertama, bedug memiliki
makna kesaktian Palang Mejayan sebagai pendekar pilih tanding, “ora tedas tapa
paluning pande” (dug deng). Kedua, korek yang bermakna sebagai alat pembersih
segala macam bala baik yang terlihat maupun tidak. Ketiga, kentongan memiliki
makna sebagai alat untuk mengumpulkan dan menggerakkan masyarakat guna
bersatu padu. Keempat, kenong yang menyiratkan makna sebagai pengantar suasana
hening agar memperoleh petunjuk dalam menyelesaikan masalah. Kelima, gong
memiliki makna bahwa Eyang paang atau Raden Prawirodipura sebagai seorang
yang berbudi wibowo laksono serta sosok yang mengajak masyarakatbersama-sama
memberantas wabah penyakit atau pageblug (Hanafi, 2016 h. 138)
2. KRONOLOGIS PEMENTASAN
Kronologis pementasan kesenian dongkrek diawali dengan tembang Sekar
Gambuh yang dibawakan oleh para penyanyi. Kemudian, setelah tembang Sekar
Gambuh selesai dinyanyikan, alat musik pambuko yakni kentongan mulai dipukul
dan disambung dengan alat musik pengiring lain—yang disesuaikan dengan pola
iringan musik khas kesenian dongkrek.
Penari putri yang masuk secara berurutan menjadi kelanjutan kronologis
pementasan dalam kesenian dongkrek—tarian yang dibawakan oleh para penari
melambangkan kebahagiaan dalam masyarakat. Ater-ater yang dipukul oleh pemain
kendang menjadi pertanda berakhirnya tarian, lalu para penari bersimpuh
membentuk lingkaran dan menyanyikan tembang-tembang dolanan Jawa. Setelah
tembang-tembang Jawa selesai dinyanyikan, para penari berdiri dan bergerak
berputar secara tidak beraturan. Kronologis pementasan para penari putri tersebut
diakhiri dengan musik ater-ater kendang yang berhenti, dan para penari saling
berjatuhan.
Kemudian, muncullah sosok topeng Prawirodipuro atau Eyang Palang yang
membangkitkan kembali para penari—dilanjutkan dengan masuknya lima
Genderuwo dan 2 abdi Eyang Palang yakni Roro Ayu dan Roro Perot. Adegan
selanjutnya adalah pertarungan antara lima Genderuwo dengan Eyang Palang.
Pertarungan diakhiri dengan kekalahan para Genderuwo. Kemudian, Eyang Palang
berhenti dan menghentakkan tongkatnya ke tanah dan para Genderuwo secara
bersamaan terbangun. Tanda akhir pementasan ialah ketika para Genderuwo
melakukan sesembahan dan turut mengikuti tokoh topeng Eyang Palang bersama dua
abdinya berjalan di sekeliling panggung.
Buku
Hanif, M., Hartanto, Y., & Wibowo, A. M. (2018). Kesenian Dongkrek Internasilisasi
Nilai dan Ketahanan Budaya. Jakad Media Publishing.
Jurnal
Alfiati, A. (2017). Dongkrek Madiun: Antara Seni, Tradisi, dan Religi. An-Nuha: Jurnal
Kajian Islam, Pendidikan, Budaya & Sosial, 4(2).
Brata, I. B. (2016). Kearifan budaya lokal perekat identitas bangsa. Jurnal Bakti
Saraswati (JBS), 5(1).
Hanif, M. (2016). Kesenian Dongkrek (Studi Nilai Budaya dan Potensinya Sebagai
Sumber Pendidikan Karakter). Gulawentah: Jurnal Studi Sosial, 1(2), 132-141.
Hanif, M., Hartono, Y., & Wibowo, A. M. Pengembangan Model Internalisasi Nilai
Kesenian Dongkrek Guna Meningkatkan Ketahanan Budaya Siswa SMA
Kabupaten Madiun. Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 3(2), 134-143.
Pahlevi, F., & Hukum, D. I. (2018). Peran Kesenian Tradisional Dongkrek Sebagai
Media Pendidikan Nilai Moral. Ibriez: Jurnal Kependidikan Dasar Islam Berbasis
Sains, 3(2), 221-234.
Sulistiono, B., & Nurchayati, Z. (2017). Model Strategi Promosi Kesenian Tradisional
Dongkrek Sebagai Upaya Optimalisasi Pelestarian Budaya Lokal Dalam
Mewujudkan Ikon Pariwisata Kabupaten Madiun. Jurnal Sosial, 18(1).
Wahyuningsih, S., Prabawati, S. P., & Febriary, I. Revitalisasi Seni Pertunjukan
Dongkrek sebagai Upaya Penguatan Identitas Daerah dan Pengembangan Aset
Wisata Budaya di Kabupaten Madiun Jawa Timur.
Skripsi
Portal Online
https://pesonamadiun.wordpress.com/2018/04/07/kesenian-leluhur-dongkrek-kota-
madiun/ , diakses pada 10 Mei 2020.
https://www.kompasiana.com/widiya.hayuningsih/55204b41a333119f4646cdd7/seni-
dongkrek-caruban , diakses pada 10 Mei 2020.
LAMPIRAN