Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN OBSERVASI

KESENIAN LOKAL DONGKREK KABUPATEN MADIUN

Studi Interpretasi Kesenian Lokal Dongkrek Kabupaten Madiun sebagai Modal


Pembentukan Identitas Nasional-Bangsa Indonesia

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester pada
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pembimbing: Sinda Eria Ayuni, S.IP, M.H.

Oleh:

Vina Amalia El Khawarizmi

195120401111049/D-2

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MEI 2020
KESENIAN LOKAL DONGKREK KABUPATEN MADIUN: Studi Interpretasi
Kesenian Lokal Dongkrek Kabupaten Madiun sebagai Modal Pembentukan
Identitas Nasional-Bangsa Indonesia

DESKRIPSI SINGKAT
Heterogenitas budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia merupakan warisan
leluhur bangsa. Salah satu unsur penting pembentuk budaya adalah keberadaan kesenian
lokal. Terdapat ribuan kesenian lokal yang tersebar di setiap daerah, salah satunya
adalah kesenian lokal “dongkrek” yang berasal dari Kabupaten Madiun. Asal mula
pemberian nama kesenian dongkrek sendiri, berdasarkan buku Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Madiun, diambil dari bunyi 2 instrumen utama yakni bedug dan
korek (Wahyuningsih dkk, h.10). Instrumen bedug apabila dipukul akan menghasilkan
suara “dhug”, sementara instrumen korek—yakni kayu berbentuk bujur sangkar dengan
satu ujungnya terdapat tangkai kayu bergerigi—apabila digesek akan mengeluarkan
suara “krek”. Pada saat kedua instrumen tersebut dimainkan secara bergiliran akan
terdengar bunyi “dhung-krek-dhung-krek”. Hal tersebut yang kemudian menjadikan
nama kesenian lokal dari Kabupaten Madiun ini sebagai “dongkrek”.
Berdasarkan aspek historis, kesenian lokal dongkrek merupakan sebuah kesenian
tradisional yang berasal dari Kabupaten Madiun. Pada tahun 1879, dongkrek diciptakan
oleh Raden Bei Lo Prawirodipura—atau biasa disebut sebagai Eyang Palang (Jaecken
MP, 2011 dalam Hanif dkk, 2019, h. 137). Eyang Palang merupakan seorang Demang
atau Palang di Kecamatan Caruban—sekarang berubah nama menjadi Kecamatan
Mejayan—yang berada di Kabupaten Madiun. Dalam sistem pemerintahan pada waktu
itu, Eyang Palang atau Raden Bei Lo Prawirodipuro menjadi Palang terakhir hingga
beliau wafat. Padahal jabatan Palang sudah lama dihapus tetapi diduga karena
kepribadian Eyang Palang yang sangat berwibawa sehingga pemerintah mengambil
kebijaksanaan untuk memberikan predikat Palang—khusus kepada Raden Bei Lo
Prawirodipuro. Palang sendiri merupakan sebutan atau jabatan setingkat kepala desa
yang membawahi lima hingga enam desa di Kecamatan Caruban (Hanif dkk, 2019, h.
137).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jaecken M P (2011), menjelaskan bahwa
kemunculan kesenian dongkrek dimulai ketika daerah Mejayan terkena wabah penyakit
atau pageblug (Wahyuningsih dkk, h. 9). Eyang Palang—atau Raden Bei Lo
Prawirodipuro yang menjabat sebagai pemimpin atau Palang—merenung untuk mencari
jalan keluar atas wabah penyakit yang menimpa rakyat. Dalam proses merenung di
gunung kidul Caruban, Eyang Palang mendapatkan wangsit—yakni membuat semacam
tarian atau kesenian untuk mengusir bala dari pageblug atau wabah penyakit. Wangsit
yang diperoleh Eyang Palang digambarkan bahwa para punggawa kerajaan roh halus
atau pasukan genderuwo yang menyerang penduduk Mejayan dapat diusir melalui
kesenian yang melukiskan fragmentasi pengusiran roh halus pembawa pageblug—yakni
kesenian dongkrek.
Kesenian Dongkrek dipertunjukan sebagai sebuah fragmen pengusiran roh halus
yang terdiri dari lima genderuwo, lelaki tua sakti (Eyang Palang), dan dua perempuan
paruh baya. Perempuan dalam pertunjukkan dongkrek tersebut menjadi simbol kondisi
rakyat yang lemah karena krisis pangan dan dikepung oleh lima genderuwo. Lima
genderuwo yang menyerang warga desa berhasil membunuh hampir keseluruhan warga.
Namun, lima genderuwo dihadang oleh lelaki tua sakti bersenjata teken atau tongkat
ketika akan membunuh dua perempuan paruh baya—lelaki tua tersebut adalah Eyang
Palang. Terjadi peperangan sengit antara kawanan genderuwo dan Eyang Palang tetapi
akhirnya kawanan genderuwo dapat dikalahkan. Kemudian, masyarakat berarak-arakan
keliling desa untuk mengatasi pageblug.
Selama perkembangannya, kesenian Dongkrek terus bertransformasi mulai dari
instumen pengiring hingga gerak tari. Walaupun demikian, pementasan kesenian
dongkrek tetap mengusung nilai-nilai budaya yang ada sejak dulu seperti nilai religi,
sosial, serta estetika. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menjelaskan lebih
mendalam terkait prospek nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian lokal dongkrek
tersebut sebagai modal pembentukan identitas nasional-bangsa Indonesia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif. Menurut Moh. Nazir (2014), penelitian yang bersifat deskriptif
mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam
masyarakat dan situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap,
pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh terhadap fenomena.
Adapun sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan jalan: (a) kajian pustaka
yang relevan dengan masalah yang diteliti seperti jurnal, penelitian terdahulu, serta
literatur online (b) wawancara via daring dengan Ketua dan Wakil Ketua Sanggar Seni
“Bissing” SMAN 1 Geger yakni informan yang pernah berperan dalam pementasan
kesenian lokal dongkrek, (c) dokumentasi pribadi yang diperoleh dari Sanggar Seni
“Bissing” SMAN 1 Geger.

PERFORMASI/TAMPILAN DALAM KESENIAN LOKAL “DONGKREK”


KABUPATEN MADIUN

1. PERALATAN DAN MAKNA SIMBOLIK


1.1 Topeng
Dalam pementasan kesenian dongkrek, para pemain mengenakan tokoh topeng
yakni Topeng Raden Prawirodipuro, Topeng Roro Ayu, Topeng Roro Perot atau
wewe putih, Topeng Genderuwo Abang atau merah, Topeng Genderuwo Putih,
Topeng Genderuwo Ireng atau hitam, Topeng Genderuwo Ijo atau hijau, serta
Topeng Genderuwo Kuning.
Pertama, topeng Raden Prawirodipuro yang menggambarkan watak ksatria,
bijak, dan kuat lahir-batin. Dalam pementasan dongkrek, kebijaksanaan serta
kebajikan dari tokoh topeng Raden Prawirodipuro diceritakan berhasil mengalahkan
kekuatan jahat para genderuwo. Hal tersebut melambangkan sura dira jayaningrat
lebur dening pangastuti atau semua perbuatan jahat akan kalah oleh perbuatan yang
baik dan bijaksana (Hanif, 2016, p. 137).

Gambar 1 Topeng Raden Prawirodipuro


Sumber: Dokumentasi Sanggar Seni “Bissing”
Kedua, topeng Roro Ayu yang menggambarkan wanita yang cantik (putri
pejabat) yang anggun, sopan dalam berbicara, perilaku, dan selalu berbuat kebaikan.

Gambar 2 Topeng Roro Ayu


Sumber: Dokumentasi Sanggar Seni “Bissing”

Ketiga, topeng Roro Perot atau wewe putih menggambarkan wajah dari abdi
kinasih atau pengikut setia yang membantu Raden Bei Lo Prawirodipoero ketika
perang melawan genderuwo yang menjadi penyebab wabah penyakit di desa
Mejayan. Berwatak ajeg atau berpendirian teguh tidak mudah terpengaruh oleh orang
lain, kemampuan yang dimilikinya ,pantang menyerah dapat diandalkan, juga sangat
setia.

Gambar 3 Topeng Roro Perot atau Wewe Putih


Sumber: diambil dari Jurnal Kesenian Dongkrek (Hanif, 2016, h.137)

Keempat, topeng Genderuwo Abang menggambarkan salah satu topeng


genderuwo dengan watak seram dan peringai mudah marah. Hal tersebut
menunjukkan nafsu amarah yakni nafsu memiliki senantiasa menyuruh berbuat
maksiat. Watak yang dimiliki Genderuwo Abang tersebut cenderung menjadikan
manusia selalu mementingkan dirinya sendiri, serta tidak ingin terkalahkan. Warna
merah sendiri berasal dari api sehingga cocok dengan gambaran perwatakan yang
bringasan, kasar, serta selalu menunjukkan kemarahan.

Gambar 4 Topeng Genderuwo Abang


Sumber: Dokumentasi Sanggar Seni “Bissing”

Kelima, topeng Genderuwo Putih menggambar watak baik, mempunyai


tatakrama dan manusiawi. Warna putih tersebut merepresentasikan sumber
kehidupan manusia yakni air yang mengalir bening, bersih, jernih serta menyucikan.
Watak tersebut dinamakan nafsu mumainah dimana merupakan perwujudan manusia
yang selalu menginginkan atau mengajak untuk mengutamakan nafsu atas ibadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa

Gambar 5 Topeng Genderuwo Putih


Sumber: Dokumentasi Sanggar Seni “Bissing”

Keenam, topeng Genderuwo Hitam menggambarkan watak yang buruk. Watak


buruk tersebut adalah sifat pemalas, suka makan banyak namun malas untuk bekerja.
Topeng Genderuwo hitam ini menjadikan manusia mempunyai nafsu aluamah atau
sifat sombong, ingin berkuasa, dan serakah. Namun disisi lain, topeng ini juga
menunjukkan sifat suka mencela dan mengkritik kejahatan karena ia tahu bahwa hal
tersebut merupakan hal yang buruk. Apibila diterapkan daam manusia, sifat topeng
ini merupakan perwujudan sifat manusia yang pada dasarnya mengetahui hal-hal
yang buruk namun tetap saja dilakukan untuk memperoleh keinginan mereka. Warna
hitam sendiri berasal dari simbol bumi, yakni tanah.

Gambar 6 Topeng Genderuwo Hitam


Sumber: Dokumentasi Sanggar Seni “Bissing”

Ketujuh, topeng Genderuwo Hijau yang menggambar watak ksatria, berani


bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan, serta memiliki tata krama. Akan
tetapi, topeng ini juga menunjukkan sifat yang senang akan kemegahan dan
kemewahan duniawi. Apabila dilihat dalam diri manusia, topeng ini memiliki makna
bahwa seseorang terlihat alim tetapi didalam dirinya masih terdapat keinginan untuk
memperoleh kesenangan duniawi.

Gambar 7 Topeng Genderuwo Ijo


Sumber: diambil dari Jurnal Kesenian Dongkrek (Hanif, 2016, h.138)
Kedelapan, topeng Genderuwo Kuning yang menggambarkan watak mirip
dengan genderuwo hijau yakni ksatria, berani menanggung kesalahan, mempunyai
tata krama tetapi masih memuja keindahan dan kemewahan harta benda yang
sifatnya duniawi.

Gambar 8 Topeng Genderuwo Kuning


Sumber: Dokumentasi Sanggar Seni “Bissing”

1.2 Lagu
Lagu yang dinyanyikan dalam kesenian dongkrek adalah sekar gambuh dan
tembang-tembang dolanan Jawa. Sekar Gambuh dibawakan sebelum mengawali
kesenian dongkrek (Sejati, 2016, h.75). Kesenian dongkrek diawali dengan sekar
gambuh karena difungsikan sebagai ritual pembuka sekaligus disesuaikan dengan
sejarah kesenian dongkrek itu sendiri. Selain itu, tembang-tembang dolanan Jawa
juga digunakan sebagai lagu pengering kesenian dongkrek—diantaranya Cublak
Suweng, Buto Galak, Ilir-Ilir, Sluku Bathok, Jamuran, Cenkir Legi.

Gambar 9 Tembang Sekar Gambuh dalam Kesenian Dongkrek


Sumber: diambil dari Skripsi Fungsi dan Bentuk.......(Hening, 2016)
1.3 Alat musik

Gambar 10 Alat Musik dalam Kesenian Dongkrek


Sumber: Dokumentasi Sanggar Seni “Bissing”

Alat musik dalam kesenian dongkrek terdiri dari: Pertama, bedug memiliki
makna kesaktian Palang Mejayan sebagai pendekar pilih tanding, “ora tedas tapa
paluning pande” (dug deng). Kedua, korek yang bermakna sebagai alat pembersih
segala macam bala baik yang terlihat maupun tidak. Ketiga, kentongan memiliki
makna sebagai alat untuk mengumpulkan dan menggerakkan masyarakat guna
bersatu padu. Keempat, kenong yang menyiratkan makna sebagai pengantar suasana
hening agar memperoleh petunjuk dalam menyelesaikan masalah. Kelima, gong
memiliki makna bahwa Eyang paang atau Raden Prawirodipura sebagai seorang
yang berbudi wibowo laksono serta sosok yang mengajak masyarakatbersama-sama
memberantas wabah penyakit atau pageblug (Hanafi, 2016 h. 138)

2. KRONOLOGIS PEMENTASAN
Kronologis pementasan kesenian dongkrek diawali dengan tembang Sekar
Gambuh yang dibawakan oleh para penyanyi. Kemudian, setelah tembang Sekar
Gambuh selesai dinyanyikan, alat musik pambuko yakni kentongan mulai dipukul
dan disambung dengan alat musik pengiring lain—yang disesuaikan dengan pola
iringan musik khas kesenian dongkrek.
Penari putri yang masuk secara berurutan menjadi kelanjutan kronologis
pementasan dalam kesenian dongkrek—tarian yang dibawakan oleh para penari
melambangkan kebahagiaan dalam masyarakat. Ater-ater yang dipukul oleh pemain
kendang menjadi pertanda berakhirnya tarian, lalu para penari bersimpuh
membentuk lingkaran dan menyanyikan tembang-tembang dolanan Jawa. Setelah
tembang-tembang Jawa selesai dinyanyikan, para penari berdiri dan bergerak
berputar secara tidak beraturan. Kronologis pementasan para penari putri tersebut
diakhiri dengan musik ater-ater kendang yang berhenti, dan para penari saling
berjatuhan.
Kemudian, muncullah sosok topeng Prawirodipuro atau Eyang Palang yang
membangkitkan kembali para penari—dilanjutkan dengan masuknya lima
Genderuwo dan 2 abdi Eyang Palang yakni Roro Ayu dan Roro Perot. Adegan
selanjutnya adalah pertarungan antara lima Genderuwo dengan Eyang Palang.
Pertarungan diakhiri dengan kekalahan para Genderuwo. Kemudian, Eyang Palang
berhenti dan menghentakkan tongkatnya ke tanah dan para Genderuwo secara
bersamaan terbangun. Tanda akhir pementasan ialah ketika para Genderuwo
melakukan sesembahan dan turut mengikuti tokoh topeng Eyang Palang bersama dua
abdinya berjalan di sekeliling panggung.

Gambar 11 Pementasan Kesenian Dongkrek dalam Even SEPASMA Madiun


Sumber: Dokumentasi Sanggar Seni “Bissing”
NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM KESENIAN “DONGKREK”
KABUPATEN MADIUN
Keberadaan kesenian lokal dongkrek bertemali erat dengan nilai-nilai yang ada
didalamnya. Nilai religi menjadi salah satu nilai yang dominan dalam kesenian lokal ini.
Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia tidak
terlepas dari kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Kesenian lokal dongkrek menjadi sebuah
ikhtiar atau usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengharmonikan antara
mikrokosmis dengan makrokosmis. Hal tersebut dibuktikan melalui pelaksanaan
pementasan kesenian dongkrek oleh masyarakat sebagai wujud fragmentasi pengusiran
roh halus pembawa bala—seperti yang telah telah dipaparkan diatas.
Pementasan dongkrek khususnya dalam acara adat desa biasanya diiringi dengan
arak-arakan. Masyarakat desa menampilkan dongkrek diiringi oleh arak-arakan—proses
arak-arakan biasanya melibatkan seluruh elemen yang ada dalam masyarakat baik
generasi tua maupun anak muda. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam kesenian
lokal dongkrek juga mengandung nilai gotong royong dan keharmonisan sosial. Gotong
royong dan keharmonisan sosial menjadi langkah awal dalam menguatkan hubungan
antar lapisan masyarakat—nilai-nilai tersebut juga sejalan dengan pemaparan para
informan yang pernah berperan dalam pementasan kesenian lokal dongkrek.
Selain dalam acara masyarakat desa, pementasan dongkrek juga dijadikan sebagai
ajang lomba, serta festival kesenian. Berdasarkan dari informasi yang diperoleh dari
informan, pementasan dongkrek yang pernah mereka perankan ialah Even SEPASMA
(Sepasar Ing Madiun) Kabupaten Madiun, serta festival kesenian di Taman Mini
Indonesia Indah (TMII). Hal tersebut berhasil menunjukkan bahwa kesenian dongkrek
juga erat dengan nilai estetis—nilai estetis sebagai salah satu unsur yang diperhatikan
dan dinilai dalam penjurian lomba. Nilai estetis ditunjukkan melalui gerak tari yang
dilakukan oleh para penari putri, pola iringan musik, serta lagu yang berkolaborasi
dalam sebuah keharmonisan.
Nilai-nilai utama dalam kesenian dongkrek tersebut perlu dikembangkan,
dilestarikan, serta diberdayakan. Dengan harapan untuk menjaga ciri khas kesenian
lokal Kabupaten Madiun tersebut dari generasi ke generasi. Interpretasi nilai-nilai dalam
kesenian lokal dongkrek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dijelaskan lebih
lanjut dalam sub bab berikutnya.
PROSPEK NILAI-NILAI KESENIAN LOKAL “DONGKREK” KABUPATEN
MADIUN DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Modernitas semakin mendorong adanya percepatan dan transformasi di setiap lini
—termasuk kebudayaan dan cara pikir terhadap identitas nasional-bangsa. Apabila
identitas nasional tidak dipupuk sejak dini, maka akan berdampak terhadap hilangnya
jati diri nasional-bangsa. Dewasa ini, kita perlu melakukan filtrasi serta selektif terhadap
kebudayaan asing yang masuk seiring dengan modernitas. Namun, apakah itu sudah
cukup? Upaya pengembangan, pelestarian, serta pemberdayaan kesenian lokal perlu
dilakukan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai kesenian lokal
untuk menjawab berbagai tantangan identitas nasional-bangsa Indonesia serta sebagai
wujud nyata revitalisasi budaya.
Secara definisi, identitas nasional-bangsa merupakan manifestasi nilai-nilai
budaya yang tumbuh dan berkembang dalam suatu negara dan menjadi sebuah ciri
pembeda dengan bangsa lain. Dalam identitas nasional-bangsa Indonesia sendiri,
terdapat tiga jenis pembidangan: Pertama, identitas fundamental yakni Pancasila.
Kedua, identitas instrumental yakni UUD 1945, Bahasa Indonesia, Lambang negara,
dan lain-lain. Ketiga, identitas alamiah yang terdiri atas suku bangsa, kebudayaan,
agama, sejarah, dan sebagainya. Unsur identitas alamiah inilah yang dapat menjadi
pijakan awal dalam upaya penguatan identitas nasional-bangsa Indonesia, utamanya jati
diri ke-Indonesia-an.
Menurut Alisyahbana (1985), konfigurasi nilai-nilai dalam kesenian lokal menjadi
bagian inti dari identitas dan karakteristik dasar kebudayaan (Brata, 2016, h. 14).
Kesenian lokal dongkrek merupakan salah satu manifestasi dari ribuan kebudayaan
bangsa Indonesia. Kesenian dongkrek dapat menjadi sebuah media penguat identitas
nasional-bangsa jiwa khususnya generasi milenial—yang dalam realitas di lapangan,
tradisi maupun budaya mulai tergerus adanya modernitas. Nilai-nilai yang terkandung
dalam kesenian lokal dongkrek diantaranya adalah nilai religi, sosial, serta estetika
dapat dilakukan objektivikasi agar mampu diterima oleh semua warga Indonesia.
Objektivikasi nilai religi kesenian lokal dongkrek dapat diterapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yakni menjadi fragmen musyawarah. Musyawarah
menjadi kontinuitas nilai religi dalam menghadapi setiap tantangan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam kesenian lokal dongkrek, nilai sosial yakni gotong
royong serta keharmonisan sosial dapat menjadi fragmen rasa tepo sliro atau tenggang
rasa dalam kehidupan bermasyarakat. Tenggang rasa menjadi elemen penting dalam
membangun kehidupan bermasyarakat yang saling menghargai dan menghormati
adanya perbedaan—sesuai dengan konteks “ Bhineka Tunggal Ika”. Adapun
objektivikasi nilai estetis kesenian lokal dongkrek dalam upaya penguatan identitas
nasional-bangsa Indonesia adalah strategi diplomasi kebudayaan—yakni dengan
melakukan pementasan kesenian lokal dongkrek di kancah internasional. Hal tersebut
dilakukan dengan orientasi untuk menanamkan, mengembangkan, serta memelihara
citra Indonesia di kancah internasional sebagai bangsa yang memiliki identitas nasional-
bangsa berkebudayaan tinggi.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, kesenial lokal
merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan sebagai modal pembentukan identitas
nasional-bangsa. Modernitas yang semakin mendorong adanya percepatan dan
transformasi di setiap lini—termasuk perubahan kebudayaan dan cara pikir masyarakat
terhadap bangsa. Oleh karena itu, penting dilakukan objektivikasi kesenian lokal—
termasuk dongkrek—agar dapat diterima oleh semua warga Indonesia. Nilai-nilai yang
terkandung dalam kesenian lokal dongkrek dapat menjadi pijakan awal untuk diterapkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga kebudayaan nusantara dapat
diterima oleh semua warga Indonesia—bermuara terhadap kuatnya identitas nasional-
bangsa dan jati diri ke-Indonesia-an.
DAFTAR RUJUKAN

Buku

Hanif, M., Hartanto, Y., & Wibowo, A. M. (2018). Kesenian Dongkrek Internasilisasi
Nilai dan Ketahanan Budaya. Jakad Media Publishing.

Jurnal

Alfiati, A. (2017). Dongkrek Madiun: Antara Seni, Tradisi, dan Religi. An-Nuha: Jurnal
Kajian Islam, Pendidikan, Budaya & Sosial, 4(2).

Alfiati, A. (2019). Pembentukan Karakter Peserta Didik Melalui Cerita Rakyat


Dongkrek di Kabupaten Madiun. Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra V, 5(1),
54-59.

Brata, I. B. (2016). Kearifan budaya lokal perekat identitas bangsa. Jurnal Bakti
Saraswati (JBS), 5(1).

Dwi Cahyani, I. T. A. (2015). Karakteristik Topeng Dongkrek Sanggar Krido Sakti di


Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun. Jurnal Seni Rupa, 3(2).

Hanif, M. (2016). Kesenian Dongkrek (Studi Nilai Budaya dan Potensinya Sebagai
Sumber Pendidikan Karakter). Gulawentah: Jurnal Studi Sosial, 1(2), 132-141.

Hanif, M., Hartono, Y., & Wibowo, A. M. Pengembangan Model Internalisasi Nilai
Kesenian Dongkrek Guna Meningkatkan Ketahanan Budaya Siswa SMA
Kabupaten Madiun. Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 3(2), 134-143.

Pahlevi, F., & Hukum, D. I. (2018). Peran Kesenian Tradisional Dongkrek Sebagai
Media Pendidikan Nilai Moral. Ibriez: Jurnal Kependidikan Dasar Islam Berbasis
Sains, 3(2), 221-234.

Sulistiono, B., & Nurchayati, Z. (2017). Model Strategi Promosi Kesenian Tradisional
Dongkrek Sebagai Upaya Optimalisasi Pelestarian Budaya Lokal Dalam
Mewujudkan Ikon Pariwisata Kabupaten Madiun. Jurnal Sosial, 18(1).
Wahyuningsih, S., Prabawati, S. P., & Febriary, I. Revitalisasi Seni Pertunjukan
Dongkrek sebagai Upaya Penguatan Identitas Daerah dan Pengembangan Aset
Wisata Budaya di Kabupaten Madiun Jawa Timur.

Skripsi

Sejati, H. Q. (2016). Fungsi Dan Bentuk Penyajian Musik Kesenian Dongkrek Di


Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun. Pend. Seni Musik-S1, 5(2).

Portal Online

https://sdm.data.kemdikbud.go.id/upload/files/Kesenian_Dongkrek.pdf , diakses pada


10 Mei 2020.

https://pesonamadiun.wordpress.com/2018/04/07/kesenian-leluhur-dongkrek-kota-
madiun/ , diakses pada 10 Mei 2020.

https://www.kompasiana.com/widiya.hayuningsih/55204b41a333119f4646cdd7/seni-
dongkrek-caruban , diakses pada 10 Mei 2020.
LAMPIRAN

Informan 1 – Ketua Sanggar Seni “Bissing" 2017/2018


Nama : Ellin Ratnarafiani
TTL : Madiun, 01 Juli 2001
Alamat : Desa Ketandan RT 03 RW 01, Kec. Dagangan, Kab. Madiun

Informan 2 – Wakil Ketua Sanggar Seni “Bissing” 2017/2018


Nama : Annisa Fajrin Ikhsanti
TTL : Madiun, 26 November 2001
Alamat : Jl. Toto Tentrem No.25 Bangunsari, Kec. Dolopo, Kab. Madiun

Anda mungkin juga menyukai