“Apakah cerita lama bisa diperbaiki? Atau justru cerita lama adalah sebuah cermin masa
depan?”
Sebagian manusia mengartikan moment adalah hak waktu dalam menjaganya, tidak ada yang
tau kilas dibalik kisahnya. Bagai gentong kosong yang sering disebut ‘Ada’ isinya, tetapi
tetap samar, tak terlihat dan misterius dalam mengungkapkan keberadaanya. Dan tetap
dinamakan ‘kosong’ yang bersifat ‘Ada’
“Sore ini free?” sebuah pesan dari WhatsApp Satria
“Tidak ada istilah free bagiku Satria, bukankah kamu lebih tau?” Balas Lestari
“Kalau Aku mengedepankan apa yang kutahu tentangmu, itu tidak lain sama halnya air yang
tergenang.”
“Maksudmu, kamu sudah melupakan semua perjalanan kita?”
“Lupa ‘iya’ tapi melupakan ‘tidak’, wkwk”
“Kenapa kamu selalu menanyakan sesuatu yang sudah pasti? Dasar menyebalkan!”
“Karena, Aku tidak tau persis apa yang kamu rasakan lestari”
“Nah itu tau”
“Okeh Aku… out. Hahaha” Kesal Satria
“Gimana jadinya?, nanti sore kamu bisa tidak pergi?” Lanjutnya
“Ga bisa”
“Loh, kenapa?”
“Kalo mau ngajak pergi aku harus mau terima konsekwensinya”
“Maksudmu mengantarkan kamu pulang?”
“Iya”
“Bukankah itu sudah pasti Les?” Kesal Satria
“Bukankah sesuatu yang sudah pasti, jika kita fikirkan kembali justru lebih bermakna?”
“Yaah itu persoalan yang berbeda si les, tapi ya terkadang memang begitu, ini bukan berarti
aku kalah loh”
“Sama, ketika Aku lantang dan berani menyampaikan sesuatu, itu bukan berarti
kemenangan”
“Halah kamu tuh, Jadinya gimana?” Emot kesal dibalik chatting Satria
“Iya”
“Okey, nanti aku jemputnya dirumah atau ditempat kerjaan?”
“Ketemuan langsung dialun-alun”
“Emang Aku mau ngajak kamu ke alun-alun?” Ledek Satria dengan emot bingung
“Mengajaknya kemana itu urusan nanti, yang penting pertemuan pertama kita dialun-alun”
Tegas Lestari seperti biasanya
“Kenapa harus alun-alun? Wkwkwk” Ledek Satria
“Bukankah kamu sudah tau?” Kesal Lestari
“Jangan balas lagi pesan ini dengan seperti apa yang sudah kamu bayangkan. Kamu cukup
diam, dan menunggu pesan dariku. See U” Lanjut Lestari
***
Senja menyapa halus, mengiringi dan menemani mereka yang telah mempertaruhkan
sebagian hidupnya demi sebuah harapan. Baik para pelajar, pekerja, pendidik, petani, dan
manusia ragam lainya. Senja menjadi ruang dimana para puisiwan merefleksikan nafasnya
dengan bahasa yang menyihir pepohonan, senja bagai poros waktu, Bagi mata yang telah
menyambutnya untuk melegakan asa. Dengan cepatnya menyapa, justru itulah kehidupan
lebih bermakna. Yah seperti Manusia, mereka mencintai, membenci, serakah, dermawan
tidak lain karena limitasi nafasnya.
Satria dengan santai berjalan menyeberangi jalan raya dan melewati para pedagang menuju
sebuah kursi taman, terlihat gadis remaja dengan gamis modern berwarna biru langit dengan
jilbab putih susu. Gaya murungnya yang tidak sabar untuk menunggu justru menjadikan
Lestari dimata Satria semakin cantik. Satria sengaja tidak membuka hp-nya, membiarkany
berdering disela perjalan-nya. Saat sampai dibelakang kursi taman, Satria baru membuka
hand phone dari tasnya yang penuh panggilan dan pesan dari lestari.
“Kamu dimana?” sebuah pesan Lestari yang membuat satria gugup
“Aku dibelakangmu” Jawab satria
Seketika Lestari menengok kebelakan, tapi tidak disapanya satria. Dia memalingkan
wajahnya kembali dengan diam. Satria saat itu tidak terkejut, karena lagi-lagi sifat seperti
inilah yang membuat Satria semakin mencintainya.
Satria pun mencoba merayunya dengan duduk disampingnya dan membawakan aromanis
yang dibeli dipojok ruko alun-alun. Lestari pun tersenyum menerimanya.
“Dari tadi?” satria mengawali obrolanya
“Engga sih, paling yaa 10 menitan, menunggu manusia yang aku sendiri tidak tau alasanya
kenapa menyempatkan diri untuk menunggunya”
“Hahaha, alasanya sebenarnya sederhana. Karena cinta”
“Mungkin juga karena benci?!”
“Loh? Kenapa kamu tidak mengakui saja perasaanmu itu?” ledek Satria
“Kejujuran itu akan membuka ribuan pintu untuk menempuh sebuah kehidupan lainya loh
Les. Bukankah itu dulu yang kau katakan saat…” Lanjut Satria
“Saat kita bertemu diwarung pedagang aromanis ini?” potong lestari
“Tapi kan itu beda permasalahan satria, saat itu..” lanjut Lestari dengan hela nafas panjang
dan wajah sebalnya.
“Pedagang aromanis saat itu, Si Kakek dan nenek sedang bersedih hati karena cucunya
tidak bersekolah dan kemudian melanjutkan jenjangnya untuk bekerja. Padahal bekerja
adalah sekolah tanpa baku. Dan kamu berkata lagi kepada Kakek yang sedih itu ‘Kek,
kenapa tidak jujur saja. Bahwa setiap anak memilik jalan dan pengalamanya sendiri-
sendiri.’ Tapi...” Ungkap Satria
“Yah, tapi Si Nenek belum bisa menerima semua yang terjadi saat itu. Karena dia merasa
cucu satu-satunya itu harus tetap belajar dalam pendidikan formal. Dia berkata “Alam ini
memang media pembelajaran yang luas, tapi ini menyangkut ‘bagaimana dia nanti, tidak
semata lain, Aku berharap agar cucuku menjadi manusia yang bisa menjadikan pengalaman
bersekolah dan pengalaman hidup menjadi suatu hal yang tak terpisahkan.” Respon Lestari
“Saat itu juga, kita tak berkutik, karena tak kusangka ternyata Nenek ini aktif dalam
membaca berita dan selalu bermusyawarah tentang isu perempuan. Bukan ghibah atau
rasan-rasan umumnya dari sepertiga kaum perempuan di dunia haha. Apalagi saat ia
menceritakan yang ternyata dirumahnya terdapat sanggar tari dan taman baca.” Respon
Satria dengan wajah ngledek Kediri masing-masing
“Iyah, saat itu kita seperti pemburu yang sedang diburu” Kekeh halus Lestari
”Sayangnya….” Lirih Lestari
“Sayangnya apa les?”
”Itu terjadi disaat itu”
“Yah, karena kita hanya bagian kecil dari naskah kehidupan ini. Tak bisa dibayangkan,
umur kakek dan nenek itu yang sudah mencapai 70 lebih, tetapi masih sangat
mengaharapkan kepada ruang dan waktu untuk cucunya. Mereka berusaha untuk menjalani
naskahnya sesuai fadhilahnya dan tidak lelah meregenerasikan kekuatan hatinya”
“Maksud Naskah dan fadhilah apa?” Tanya Nurul
“Kakek dan Nenek itu kan juga bagian dari skrip naskah Tuhan, dari keduanya tetap
berupaya untuk mendewasakan cucunya dengan cara pandangnya yang pastinya memiliki
alasan masing-masing. Dasar dari pendidikanya ini karena sebuah cinta. Jika tanpa cinta
mungkin si Cucu akan acuh terhadap keduanya.”
“Bukankah bekerja dengan apa yang dia anggap benar itu sebuah keacuhan Satria?”
“Mungkin iya mungkin tidak”
“Kok tidak memastikan?”
“Siapa tahu cucunya bersekolah tanpa sepengetahuan mereka? Atau mengikuti semacam
kajian lain yang nilai dan orientalisnya sama seperti formalitas”
“Apa bedanya sekolah formal dan nilai yang sama seperti formal? Bukan kah itu sama
halnya dengan bekerja. Seperti apa yang dipilih cucu kakek tersebut?” Tatap tanya serius
Lestari
“Perbedaanya kalau formal sekolah, kalau nilai formal bisa di forum kecil, dijalanan dan
dimana saja tapi nilai pengetahuanya ada. Kalau bekerja ya dia sedang melakukan sesuatu
demi sesuatu secara fisik”
“Jujur aku masih bingung, tapi..”
“Tapi apa?” tanya satria
“Aku bingung tapi kok faham, haha” Tawa kecil Lestari
“Oh iya , yang tadi, Fadhilah itu maksudnya apa?”
“Fadhilah itu berarti wujud dan namamu itu, yang tidak akan terlepas dari kesadaran
bertahan hidup dan menikmati penderitaan”
“Menikmati penderitaan atau memperjuangkan pengorbanan?”
“Kamu bertanya atau ngetes Tar?” Kesal Satria
“Aku merespon Sat, bukan bertanya dan menjawab. Karena laki-laki hanya perlu telinga”
“Dan perempuan hanya perlu mata” Balas singkat Satria
***