Anda di halaman 1dari 9

Aku tau, memaafkan seseorang jauh lebih baik daripada menumpuk setiap kesalahan terhampar rapi

di halaman ingatanku, tetapi itu semua tidak berlaku dalam semua hal. Sore ini, aku muak dengan
sikap bosku yang sering disapa dengan Mamih. Bagaimana tidak, di depan puluhan anak-anaknya
(sapaan pekerja yang berkerja mengikutinya), ia dengan enteng menamparku. Kejadian macam ini,
memang telah berulang kali aku alami, tetapi entah kenapa hari ini, aku tidak memiliki seni untuk
menepis emosionalku. Ia menamparku dengan cukup menikmatinya, satu hal yang tidak aku maafkan,
ucapannya, tatapannya, mulut poncongnnya seperti belati yang menyeset tenggoroanku secara
perlahan. Itu. Hanya itu!
Aku perempuan jalang yang hidup di tengah kolom kegelapan, ratusan alat kelamin sudah sempat ku
jadikan properti untuk memainkan peran. Namun tidak pada malam sebelum Mamihku mengeluarkan
mantra seperti nenek sihir yang mengutuk benda, dari ratusan laki-laki, ia adalah laki-laki yang sudah
dipastikan ingin menguliti tubuhku dengan dorongan nafsu, ia datang dengan membawa aroma
berbeda, rompi yang dikenakan;seolah menyimbolkan dia menjadi keamanan dengan penuh tatapan
intelegensi, celana cut bray yang dipakainya mengartikan kelonggaran langkah kakinya untuk
berjalanan dengan siapapun, matanya seperti detektif, seolah memandang tepi laut tanpa kehilangan
jejak-jejak paus melompat ring di ujung lautan, mulutnya menghipotis semua perempuan jalang untuk
tidur bersama dengan cuma, bahkan mungkin juga dengan perempuan lain di luar kehidupan dunia
bawah ini.
Seperti biasa, seorang tamu (istilah pelaku sex di kota penuh galaksi fatamorgana), ia akan
dipersilahkan memilih puluhan dari kita yang dijejer seperti pasukan baris-berbaris yang selalu ta’at
dengan intruksi. Tamu tersebut duduk di sofa berjenis Camel Back yang cukup elegan dan higienis,
Sebagaimana makana dari nama sofa tersebut, tamu yang mendudukinya seolah menaiki punuk unta,
yang dapat memandang dengan rinci dari beberapa meter, pandangan tersebut dengan tajam sekaligus
mempertimbangkan setiap perempuan yang akan dijajakinya. Kali ini kudapati tamu dengan wajah
berbentuk diamond, diselimuti dengan kulit sawo matang penuh dengan citra, dengan tinggi badan
sekitar 160 sekaligus ramping, terkesan penuh wibawa. Saat itu, aku cupuk dibuatnya terpukau, bukan
karena apa. Gerak tubuhnya benar-benar mirip dengan teman lamaku yang sudah meninggal. Teman
yang mungkin, seandainya ia masih hidup akan memakiku habis-habisan sekaligus tidak akan
membiarkanku terlantar pada kehidupan yang elok digemari oleh paruh kemunafikan. Dan pastinya
teman lamaku pasti akan menikahiku. Aku yakin itu. Sangat yakin!
Laki-laki berstatus tamu tersebut, menatap seperti panglima yang menunggangi kudanya, satu per satu
dari perempuan di depan matanya, ia amati dengan teliti. Sesekali ia tertawa terbahak-bahak.
Kemudian ia berjalan menghampiri setiap dari kita dengan topi koboynya, wine yang digenggamnya
menjadi pemanis gaya yang diperankannya. Walaupun belum ku saksikann laki-laki tersebut
meminumny, Ia pegangi setiap tangan dari, kita tanpa melihat muka kita. Lagi-lagi aku dibuatnya
kebingungan. Bagaimana tidak? Yang ia pegang bukan tangan kami melaninkan menekan halus urat
nadi perempuan yang terjejer tepat di depannya. Dengan sesekali meminta kita membalikan tangan
seperti parnormal. Di sentuhnya telapak tangan kita dengan telunjuknya dengan mengomel sana-sini,
sesekali ia membalikan badannya, kemudian didapai gaya tangan kanan mengayuhkan dagunya
dengan sedikit tertawa lirih. Ini awal kalinya, kami perempuan-perempuan jalang seperti melihat
pentas badut sulap secara langsung.
Agaknya bosku yang dikenal dengan Mamih, sedikit kesal dengan gaya tamu yang slengean itu,
akhirnya Mamih tak tahan dan memperingatkannya “Mohon maaf Pak, kami masih punya banyak
tamu lain,” sebuah kalimat halus untuk mengusir tamu dengan gaya badur sulap tersebut. Tetapi, laki-
laki itu tidak menghiraukan, bahkan kalimatnya cukup mengagetkan aku dan semua temanku yang
berjejer seperti rokok tersusun rapi di etalase warung sembako, tidak Cuma itu, aku pun terkejut
dengan jawabannya. “Tamu yang lain suruh masuk saja Mam, biar kita milih bersama. Dan kita
berlomba untuk memilih mana yang layak untuk kita pestakan malam ini.” Kali ini Mamih tidak
hanya kesal, terlihat dari bagaiman tatapanya yang tajam dengan hela nafas yang cukup terdengar,
Mamih pun berjalan dengan senyuman sinis kepadanya sekaligus ingin mengusirnya tamu tersebut
tepat di wajahnya. Namun Mamih terhenti di tengah langkahnya, tamu itu menunjukan jarinya ke
wajahku. “Kamu!” Entah, kenapa aku kaget, tidak seperti saat para tamu lain yang memilihku dan aku
merasakan sedikit kesenangan karena mendapatkan uang. Ia menghampiriku dengan gaya badut sulap
lalu memegang tanganku, “Iyah kamu, teman yang akan bermain denganku malam iini”. Atsmofir
ruang senyap, Si Mamih terlihat bahagia, dia bahagia bukan karena laki-laki tersebut, itu memang iya,
tetapi rasa bahagia Mamih dapat dipastikan karena yang dipilihnya adalah aku. Perempuan yang
dianggap cukup merepotkan dengan kejadian yang sering aku lakukan kepada tamu. Tidak hanya
Mamih, teman-temanku pun merasakan hal yang sama seperti Mamih, terlihat dari bagaimana
mereka tersenyum remeh dengan genggaman tangan yang menutupi giginya. Mereka seolah
merayakan hari lahir. Alasan sederhananya, karena yang dipilih oleh tamu itu adalah aku. Kedua
hargaku terlalu mahal.
Kami berjalan menuju kamar yang ia pesan, katanya nomor yang ia pilih tidak sembarang ia pilih,
angka 99 memiliki keserasian dengan telapak tangan yang ada padaku. Itulah yang selalu laki-laki
tersebut katakan selama meyusuri lorong hotel, bahkan terkadang ia nyleneh dengan beberapa
ungkapannya yang aku sendiri, sama sekali tidak memahami apa yang ia katakan. Sesekali aku
meresponsnya, tetapi lebih banyak aku sibukan selama perjalan dengan smartphone ku. Tetapi tetap
saja, aku cukup dibuatnya kesal, dengan menarik pundakku dan menatapku dengan penuh keyakinan.
Ia selalu berkata “Malam ini, akan terjadi perubahan besar di dalam dirimu” Saat aku hendak
menjawab, ia menutup bibirku dengan kepala geleng. Itu terjadi berulang kali. Kemudian aku
mempersipkan diri untuk ketujuh kalinya, saat ia mau memegangku, aku menolaknya dan
menegaskan “Jangan keluarkan di dalam!” lalu aku berjalan cepat mendahuluinya. Ia berteriak “Ngga
ada yang keluar, tetapi akan terjadi perubahan besar di dalam dirimu malam ini!.” Lantangnya dengan
lari kecil menyusulku.
Bibir pintu telah kami masuki, aku pun tersadar dengan beberapa kode etik, di mana saat perempuan
telah memasuki kamar, ia patuh dengan tamu. Walaupun ada beberapa pengecualian yang dapat
disanksikan. Dan pengecualian inilah yang selalu membuat Momih marah, karena beberapa kali tamu
yang menjajah diriku, mereka selalu kurampas secara tidak sadar uang-uang mereka. Bahkan
terkadang terlena karena teler lalu tidur dan tubuhku tidak terjamah sama sekali. Itu hanya sebagian,
karena bagaimana pun, laki-laki yang datang ke dunia ini, pasti lebih licik. Yah, Mamih marah karena
setelah tamu booking mereka complain dan tidak akan memboking anak-anaknya lagi karena anaknya
terlalu licik, sedangkan alasan kenapa Mamih masih mempertahanku karena harga di atas semua
perempuan yang dimilikinya. Ya jelaslah, pertama kekasih para tamu tidak secantik aku dan yang
kedua kekasih mereka tidak pintar berperan seperti diriku. Bukan karena sombong, faktanya kedua
kecantikan tersebut aku miliki.
Lampu kamar aku matikan, tetapi dia menyuruhku untuk menyalakan kembali. Laki-laki itu
menyuruhku untuk mandi, katanya “kalau engga mandi aku mandiin”, dengan sibuk menata koper
yang dibawanya. Dia sama sekali tidak pernah menatapku di alas marmer gedung bertingkat lima ini,
rasa kesalku semakin berkecambuk, tetapi bukankah kekesalan tidak merubah apapun, kecuali kita
sabar dengan apa yang terjadi? Aku sudah terlatih dengan ratusan manusia bertopeng seperti dia,
badut-badit dengan kelaparan penuh. Ah sudahlah, aku pun berjalan menuju kamar mandi pojok
kamar ini.
“Loh sudah selesai? baru 20 menit loh.”
“Emang umumnya mandi berapa menit?”
“Umumnya satu jam”
“Kamu gila Mas? Satu jam menyebabkan kulit sakit”
“Mandinya 20 menit, 20 menit untuk buang air kecil dan besar, 20 menit yang lain untuk beryanyi,
atau berimajinasi hahaha”
Aku tak meresponsnya,
“Mas, aku pakai lingeria atau gimana?”
“Bebas, ujung-ujungnya juga telanjang bulat”
Tanpa kata lagi, aku memilih lingeria untuk kupakai dengan berisiknya kepala yang mengutuknya.
Bayangkan saja, siapa manusia sih manusia yang enggan untuk berbicara tanpa tatapan? Sesekali, ia
memang meliriku, tetapi itu hanya seperkian detik saja kemudian bercumbu kembali dengan
kesibukan handponenya, gaya udang di atas kasur, seolah sedang berjemur di bibir pantai dengan
santai. Mungkin, kesibukanya sedang menggombal kepada kekasihnya agar pertarungan di ranjang
ini, seolah direstui dan menjadi cerita baru untuk diceritakan di depan kekasihnya. Yah, cerita yang
kemudian berbalik dari fakta, dengan penuh tatapan mata kejujuran semu. Aku memotong
kesibukannya, keberadaanku seperti properti mati di dekatnya.
Sekali lagi, aku dibuatnya kesal. Ia masih saja meresponsku dengan mata yang setia memandang
handphonenya. Tidak hanya kepala kali ini batinku terus mengucapkan kata-kata kotor untuk
mengutuknya, seluruh jiwaku mendo’akan agar ia terserang penyakit jantuk atau tidur dengan tanpa
sebab selama satu malam ini. Namun, entah kenapa, justru kata-kata itu berbalik merasukiku, semakin
aku mengutuknya, semakin aku penasaran dengannya, dari sekian laki-laki yang membokingku
hampir semuanya langsung menjajaki dengan liur yang berterbaran seperti anjing atau sebagian
mengajak berpesta dengan berminum semalam pulas lalu menyenkramku dengan naluri hewannya
yang kasar, walaupun tidak sampai menjajaki tetapi terkadang menimbulkan luka yang tak bisa
dimaafkan.
Aku sibuk berdandan, ia masih tidak menatapku. Hati kecil membenci sekaligus penasaran. Cemin
yang ku dapati memantulkan lipstik merah lekat yang kulukis dalam bibirku. Ku putar lipstikku
dengan membalikan badan kemudian perlahan aku mendekatinya, entah kenapa rasa kesal yang
menyelimuti saat dekat dengannya, seolah aroma yang melekatnya mengelabuiku untuk merayunya,
sekali lagi ia laki-laki aneh, aku benci dan penasaran kepadanya. Akupun mencoba merayunya
kembali. Menyainkan diri dia akan takluk karena parasku yang ku magic, tentunya sebagai pekerja
malam, melayani tamu dengan kasih sayang seperti kekasihnya bagian dari kewajiban yang harus
dipenuhi. Walaupun sebenarnya itu semua demi nama baik Mamih, iyah perempuan brengsek yang
selama ini memberikanku sesuap nasi dari laki-laki bangsat yang ia tawari.
“Mas, aku udah siap dipakai,” ucapku dengan duduk di bibir kasur yang ia tiduri dengan gaya udang.
Kali ini ia menatapku dengan tengokan penuh, tetapi itu seperti sapaan say hello saja, dengan wajah
datarnya ia kembali menghadap handphone-nya. Brengsek benar laki-laki ini, aku yang terjerumus di
dunia arus hitam ini juga memiliki martabat sebagai manusia. Semua rasa penasaranku semakin
melemah, kali ini tidak hanya kesal. Tetapi aku juga dibuat untuk membencinya, kalaupunaku
memang perempuan jalang, apakah sikap kesema-menaan selalu dibenarkan kepada manusia
sepertiku. Aku masih terdiam, mengumpulkan rasa kesal untuk dikatakan.
“Mas,gini-gini aku manusia!”
“Aku tau, kamu manusia” Nadanya datar dengan tetap melihat ponselnya.
“Kalo kamu kaya gitu, aku pergi. Aku batalin bookingan kamu!” Tutupku dengan membalikan tubuh
dan mengambil tasku.
“Silahkan!”
Entah aku harus bagaimana lagi, perlakuannya membuatku semakin ingin mengutusknya
mengutuknya dengan lantang. Sayangnya itu hanya bersuara dipikiranku, ingin rasanya aku
menamparnya. Tetapi, itu tidak seperti aku yang selalu cuek dengan sikap siapapun. Bukankah
kehidupanku sendiri sudah berkali-kali dikutuk oleh sebagian orang yang dikhianati oleh tamu-
tamuku? Namun, tamu ini benar-benar semua yang mengepung di kepalaku mendobrak keluar
dengan penuh
“Dasar semua laki-laki itu sama, keras kepala dan kurang ajar!”
Akhirnya aku mengeluarkan semua yang menyekatku dipikiran, dan menjadi kata-kata yang terakhir
sebelum kakiku melangkah ke luar bibir pintu. Di sisi lain, aku pun semakin mengutuk diriku kenapa
berada dalam kehidupan yang seperti ini. Takdir mana yang membelaku untuk tidak berada dalam
rantai kegelapan ini. Sesekali aku mengatakan diri ingin keluar, tetapi Mamih selalu saja mengancam
untuk memberitahukan kepada keluargaku yang kucintai di pelosok desa sana. Kehidupan ini sangat
tidak adil.
Saat pintu sudah ku tarik, tiba-tiba suara keras terdengar. Suara yang kelur dari mulut seseorang yang
keras kepala. Tidak hanya itu, aku pun kaget dengan larian kec il dari belakang yang memelukku dari
belakang. Entah apa yang harus kulakukan, memarahinya dengan menarik seluruh tangan kemudian
menampar wajah yang sedang bersender di bahu kananku. Atau melarikan diri untuk melepaskan
pelukan brengseknya kemudian keluar dari pintu yang terlihat cahaya di sela pintu. Sayangnya,
semuanya tidak terjadi. Aku hanya diam, menerima peluknya. “Akhirnya, selesai sudah pekerjaanku”
bisiknya sambil melepaskan tanganya. “Maafkan aku” tutupnya.
Akupun membalikan badan, menatapnya sayu sekaligus menggenggamkan kedua tanganku dengan
penuh energi dengan mempersiapkan diri untuk memukulnya. Tetapi kudapati kedua matanya dengan
senyuman yang seolah momohon ampunan. Aku pun menghela nafas, “lain kali jangan seperti itu”
Ungkapku. “Okeh” jawabnya dengan mata berkedip dengan kepala menggeleng ke samping.
Ia mengembalikan badan dengan sergap, diambillah sebuah handphone dan dompet di atas kasur
kemudian kembali ke arahku dan secara sepihak menarik tanganku. Pintu yang sudah sedikit terbuka
ia tarik dengan tangan kanannya sekaligus menariku dengan tangan kirinya. Kamar di tutup dan dia
masih sangat erat memegang tangan kananku. Aku tak bergeming, seperti ombak yang hanya
mengikuti angin lalu yang mendorongnya. Apapun yang ia katakan diperjalan, aku tak menghiraukan,
bukan karena aku balas dendam kepadanya. Tetapi memang kebingungan menghujani isi kepalaku
dan mematahkan setiap kali mulut ingin menjawabnya. Ia terus bercerita dalam mobil yang entah
kemana ia tuju, akupun terdiam sesekali memandang wajahnya yang aneh.
Sebuah restoran didapati. Kita pun berbicara banyak hal, rasa kesalku hilang begitu saja. Setiap ejaan
kata yang dilemparkan kepadaku seperti halaman buku yang mudah kubaca. Entah kenapa, aku
merasakan kenyaman yang berbeda. Bahkan status perempuan jalangku lepas dengan begitu saja.
Laki-laki ini benar-benar seperti dokter yang membawakan obat bius dibaluti permen. Di sisi lain,
setiap kata yang keluar dari lesung pipinya mengingatkan teman lamaku yang sedang menunggu di
alam sana. Mungkin itu juga yang membuatku merasakan bahagia, padahal perasaan itu sudah ku
talak empat tahun lalu. Yah, empat tahu, waktu di mana teman lamaku meninggal dunia dan seminggu
setelahnya kedua orang tuaku menyusulnya dengan sebab yang sama. Yaitu kecelakaan.
Sesekali kita hanya saling tatap, karena bersitatap adalah ketulusan sebelum banyak bicara, dan
sebelum banyak dusta. Waktu semakin larut, kita pun kembali ke hotel yang akan mengembalikan
statusku sebagai perempuan jalang. Malam ini akan kuingat sepanjang masa, setiap benda yang
berkabung di depan mata akan kuhafali, tak lupa bagaimana laki-laki itu menatapku akan terus
kujadikan foto di dinding ingatanku.
Bibir pintu kembali terlihat, hanya saja kali ini aku mendahului langkah membuka pintunya. Sebagai
perempuan yang tidak layak dipersunting sebagai istri, kali ini perasaan itu tumbuh beserta harapan
yang dibalik kenangan bersamanya. Lagi-lagi entah kenapa, aku seperti kekasih di depan matanya,
diperhatian sebagaimana para kekasih. Namun, apalah daya aku harus tahu diri, ia membokingku
untuk sesaat, seperti halnya sebuah takdir, ia datang dan pergi begitu saja. Kita tidak berhak merasa
memilki apa yang dimiliki oleh takdir, karenanya aku terlatih kecewa saat mencoba merasa memiliki
laki-laki ini.
Malam ini, aku kembali mendekatinya dengan tubuh yang siap dijajakinya. Bahkan seluruh jiwaku,
akan ku relakan secara penuh dihadapannya. Ia pun menghampiriku, menderai rambut ikalku. Sama
sekali ia tidak menyentuh selain rambutku, kita benar-benar seperti sepasang kekasih yang melupakan
hari-hari yang telah dilalui. Ia pun beranjak, saat jam tangan yang didapatinya berbunyi. Bunyi jam
yang menempel dipergelangan tangannya ia tatap, ia kaget dan spontan beranjak menuju kamar
mandi. Aku pun tak berani menanyakannya. Ia keluar dengan wajah air yang masih dibiarkannya
mengalir begitu saja, lalu menuju koper yang ia bawa kemudia diambilnya suatu kain yang
dilantarkan di atas lantai. Akupun terkejut dengan apa yang ia lakukan. Ia sholat tepat di depan
mataku. Bagiamana tidak, dari ratusan laki-laki yang booking perempuan ke hotel sudah dipastikan
mengeluarkan bisa nafsunya semata. Tetapi laki-laki ini justru membalikan fakta 180% dari apa yang
ada.
Tetapi perasaanku tidak lantas percaya begitu saja. Karena aku lebih memastikan, ibadah dan berbuat
keji adalah dua hal yang berbeda. Walaupun keduanya memiliki keterkaitan yang berhubungan.
Tetapi tidak serta merta menjadi cerminan khusus, bahwa orang yang rajin beribadah itu memiliki
kebajikan, pun sebaliknya. Karena aku pun menjalani ibadah yang dia lakukan, walaupun tidak rutin
setiap hari di lima waktu, tetapi itulah caraku mereda kekecewaan kedua orang tuaku. Pokoknya aku
selalu menyakinkan diri tidak ada hubungannya saat dia sholat, dengan apa yang akan ia lakukan
setelah shalat nanti. Aku tetap pelacur di matanya, dan dia berhak menyentuhku, kapan pun ia mau.
Bukankah itu hal wajar yang bisa dilakukan siapa saja? Namun apapun yang aku pikirkan, tetap saja.
Aku semakin nyaman berada didekatnya. Bahkan kalau dia berkehendak, aku akan melanjutkan satu
malam hanya untuk mendengarkan cerita-ceritanya yang lucu dan penuh dengan drama.
Aku masih terbaring santai, sesekali aku membuka handphone dan rasanya ingin membuat status
dengan apa yang telah kulalui malam ini. Tetapi, semua teman kontaku tak mungkin percaya, bahkan
tidak banyak dari mereka yang terkadang menceramahiku dibalik alibinya, yah alibi untuk bertemu
denganku kemudian menidurkanku secara gratis, itulah pengalamanku beberapa bulan yang lalu.
Beberapa lagi yang ingin bertemu denganku, secara halus mengusirku dari kehidupan raya ini dengan
intonasi mengutuk. Tidak masalah, aku mengakui alasan mereka dan masih membuka diri bagi
mereka yang berniat baik untuk bertemu denganku. Karena setiap kali aku menceritakan
permasalahanku dan meminta pertolongan untuk melepaskan dunia kerjaku, mereka melepas tangan
dan meninggalkan ruang temu dengan wajah tidak peduli. Itulah kenapa aku tetap bertahan sekaligus
melawan arus untuk lepas dari kehidupan bobrok ini.
Laki-laki itu selesai dengan ritualnya dan kembali merentangkan badan di sebelahku. Sesekali ia
bersender mesra di bahuku. Akupun menceritakan apa yang telah kulalui tanpa dipaksanya. Bahkan
nama asli yang tidak mungkin aku ceritakan kepada siapapun, kecuali Mmih, aku memberitahukan dia
secara cuma. Yah, namaku bunga sekar wulandari, sejak kecil dipanggil dengan nama bunga. Hanya
nenek-ku yang mengundangku dengan nama sekar. Namun, di dunia antah berantah ini aku meminta
kepada Mamih untuk merubah namaku, Mamih memberikanku nama baru, sintia bella. Akrab di sapa
bella.
Angin malam semakin menusuk, aku pun dibuatnya menembus masa laluku, sebuah masa yang jika
dapat kembali, aku tidak akan datang ke kota penuh kedunguan ini. Aku pun menceritakan semuanya
dari mulai kecil, tiba saat kisahku bertemu dengan Mamih. Dia memintaku untuk mengambilkan
rokok di samping televisi dengan segelas kopi yang ia bungkus dari restoran tadi. Saat hendak
memberikan apa yang ia minta, tiba-tiba dia duduk dengan penuh sigap, seolah kedua telinganya telah
siap untuk mendengarkan sepanjang malam. Aku pun mengambil kursi yang ada di depan rak televisi
setelah memberikan bungkus rokok dan kopinya, ia mendungkuk pelan sekaligus menyalakan
rokoknya di atas kasur tanpa takut karena melanggar peraturan hotel.
Cerita di mulai saat teman lamaku dan kedua orang tuaku meninggal. Saat itu usiaku 21 tahun, di
sebuah desa pelosok desa, aku termasuk perempuan yang dianggap beruntung. Pertama, aku termasuk
satu-satunya perempuan yang lulus sampai Sekolah Menengah Atas dan itu negri, itu semua karena
kedisiplinan yang dididik dari keluargaku. Saat aku berusia 21 tahun, aku mengalami syok berat,
pertama teman lama yang kuanggap sebagai kekasih pergi meninggalkanku menuju alam yang tak
terjamah oleh pikiran dan hati, kepergiannya tepat di hari ulang tahunku yang ke 21 tahun. Kado yang
dipersiapkan di rumahnya diberikan kedua orang tuanya kepadaku. Laki-laki yang cukup aneh juga,
dia selalu menamai dirinya minkey karena termotivasi dari novel Bumi Manusia Pram. Padahal nama
aslinya cukup kuno, ia diberi nama mahrus. Setelah kepergiannya, tepat satu minggu setelahnya kedua
orang tuaku menyusulnya. Keduanya sama-sama meninggal karena kecelakaan.
Singkat cerita, aku memberanikan diri ke kota metropolitan membawa bekal tabunganku, mendaftar
ke beberapa instansi dan perusahaan dengan ijasah sekolahku. Namun, tidak diterima. Kemudian aku
mencoba mendaftar di beberapa kedai cafee, salah satunya menerimaku sebagai pekerja freeline. Satu
tahun aku bekerja sampai menjadi barista yang cukup terkenal saat itu. Keterkenalan itu justru
mempertemukan aku dengan Mamih. Saat itu ia memberikan sebuah kartu identitas dengan mulut
yang berbisa. Dengan puluhan janji yang ditawarkan awalnya tidak menjadikanku ingin
meninggalkan pekerjaan yang sudah kucintai saat itu. Yah, menjadi seorang barista.
Tepat satu bulan setelah pertemuanku dengan monster tersebut, aku mendapat kabar dari teman desa
yang kutitipkan untuk memantau Nenek dan adiku di rumah. Persitiwa yang sama menghampiriku,
keduanya mengalami kecelakaan, keduanya pula harus dioperasi. Saat itu juga aku langsung pulang
menuju rumah sakit kota kurang lebih satu jam untuk sampai ke rumah sakit tersebut. Mereka dirawat
di IGD, karena biaya operasi cukup mahal. Mereka tertawan dengan ruang inap biasa. Saat itu aku
hendak menggadaikan sertifikat rumah ke bank, tetapi waktu tidak mencukupinya. Akhirnya aku
menelpon Mamih untuk meminjamkan 200 juta dan berjanji akan bekerjanya selama hutang itu dapat
tertutup. Mamih memberikan syarat bunga, memang ular itu cukup picik. Tetapi tidak ada alasan
untuk menolaknya, saat itu memang nenek dan adiku satu-satunya yang aku miliki, dan
mengharuskan dioperasi saat itu juga.
Aku pun kembali ke kota antah berantah ini, empat tahun aku hidup dengan monster tersebut, bunga
yang diberikan cukup besar. Aku masih memiliki hutang 50 juta, itu pun uang yang bisa diputar balik
oleh Mamih dengan permaian liciknya, hal inilah yang sering membuatku sering berdebat dan tidak
hanya satu kali luka lebam membekas di tubuhku. Tapi, apalah daya, dia selalu mengancamku dengan
parang mulutnya yang akan memberitahukanku kepada adik dan nenek-ku jika kabur. Syaratnya
hanya melunasinnya secara kontan, karena nilai bunganya 20 persen dari setiap bulannya. Laki-laki
tersebut mulai meneteskan mata, ia berbiri dan menghampiriku, melerai air mata yang mengucur
deras di paha ku. Paha yang terpanggang oleh api liur para laki-laki. Kemudian ia menengadahkan
kepalaku dengan tatapan lembutnya, “Ayo tidur” tutupnya dengan memberikan tisu untukku.
Cahaya memantul perlahan melalui kaca ordenga yang menjadi saksi obrolan kita semalan, aku
terbangun secara perlahan. Namun, tidak kudapati laki-laki tersebut. Awalnya aku berpikir ia pergi
menunggu, dengan selimut yang rapi terdapat pada tubuhku. Aku beranjak menuju ke kamar mandi
untuk mandi. Usai mandi aku tersadarkan, koper dengan warna merah marun tidak ada di depan
lemari. Ku geledah lemari, tidak kutemukan satu barangpun. Hela nafas panjang ku lakukan, sesekali
aku menatap setiap sudut ruangan, seolah setiap momen merekap kenangan indah sekaligus
kehilangan sesuatu yang merekat dalam kehidupnku. Aku pun merasa, apakah aku memang
ditakdirkan untuk tidak pernah merasa memiliki? Walau itu senyuman dan kenyaman dari seseorang?
Aku masih sibuk dengan setiap sisi dengan rasa putus asa, saat kudapati rak cermin, sebuah kotak
makanan, jajanan dan mineral tersaji rapi di alas rak tersebut. Aku pun mengambilnya dengan
meneteskan air mata. Di bawak kotak makanan didapati surat. “Jangan dibuka kecuali besok sore”
Saat tangis lirih mengundang seluruh asa, tiba-tiba Mamih dan anak-anaknya mendatangiku, aku
seperti di sergap oleh polisi yang sedang mengincar buronan. Mamih dengan lari pelan
menghampiriku dan manamparku. Aku masih terdiam, bingung dengan apa yang dilakukan. Ia
menatapku dengan geram, sekali lagi aku tidak tahu menahu alasan di baliknya. Saat ia hendak
menamparku yang kedua kalinya, aku menangkisnya. Kita beradu mulut, ia selalu saja berkata “gara-
gara kamu, semua berantakan!” aku masih saja berdebat. Dan menjawabnya dengan lantang
“sekarang apalagi yang akan kalian lakukan kepadaku?” aku masih terus berpihak kepada keadilan
“sekali lagi, aku tidak tau kenapa kalian menyergapku dan kamu, iyah kamu monster yang menjualku
menjadi ikan-ikan yang dipanggang dengan mudah. Kamu monster yang selalu mengancamku untuk
tidak memiliki hak untuk memilih jalan hidupku” mulutku terus berkata dengan bunyi yang selama ini
aku jadikan ratapan dalam hidupku. Aku terus menunjuk Mamih dengan sinis dan mulut yang tak
kalah berbisa. Saat aku sedang menghela nafas panjang, Mamih menamparku dan menyuruhu pergi.
“Silahkan pergi! Dasar anak durhaka, sok suci. Anak haram” kepalaku berdengung, tanganku
menggepal dengan sendirinya. Lalu aku menampar balik “Kamu, iya kamu nenek sihir yang terlah
merubahku menjadi tikus-tikus got di lorong antah berantah, aku tidak akan mempersoalkan mulut
moncongmu terhadapku, kau bebas mengatakanku sebagai atau seperti apa. Tapi jangan sesekali
membawa nama keluargaku. Berapa kali aku memohon kepadamu tentang ini.” Nenek sihir itu terus
menatapku dengan geram, pun dengan anak-anak lainya. salah dari mereka menghampiriku, ia
sahabat malamku yang memiliki perasaan hangat kepadaku, fitri menariku dengan pelan dan
mengajaku keluar dari lingkaran setan.
“Kemas semua barangmu dan cepatlah pergi, sebelum Mamih berubah pikiran dan membunuhmu”
lirihnya.
“Aku lebih baik mati, fit”
“Husst, sudah kemasi saja semua, lalu pergi.”
“Tapi kan Fit, kamu tau sendiri. Monster itu akan mengancamku”
Fitri kemudian berhenti, ia seolah menyakinkanku Monster itu tidak akan berani melakukan itu.
“Lalu bagaimana dengan semua hutangku?”
“Kamu akan mengetahuinya nanti, sekarang kamu harus pergi.”
“Kamu masih ada uang untuk bertahan hidup kan bell?” Lanjutnya
“Masih sih,”
“Iyaudah syukurlah, sekarang kemasi barang-barangmu” ia memberhentikanku di depan kamar yang
menampung barang-barangku. Aku masih menatapnya sendu sekaligus bingung dengan apa yang
terjadi. Namun, fitri sangat menyakinkanku dengan tangan menggemgamku. “Ayo buruan, aku
tunggu di pintu kamarmu”
Aku pun mengemas seluruh barang-barangku, memang tak banyak hanya satu koper baju saja. Karena
semua kehidupanku telah difasilitasi oleh Monsterku, ya walaupun aku tau, itu semua tidak gratis.
Aku dan fitri melangkah dari setiap lorong yang ada, aku pun memberitahukan sesuatu yang belum ia
tahu. Yah, nama asliku, aku memberitahukannya saat kita berbicara dengan penuh kenangan yang
telah dilalui bersama. Wajar kita saling membuka diri, karena Fitri adalah satu-satunya teman dari
perempuan jalang yang memahamiku lebih dari siapa saja. Pun sebaliknya, aku juga sangat
memahami kenapa ia memasuki arena terlarang ini. Bedanya ia sedang mencari laki-laki yang telah
mencampakannya.
Pintu otomatis terbuka, saat itu Fitri memberikan sepucuk surat kepadaku. Aku menolaknya, ia
kembali menyakinkanku, “Ini bukan dariku, tapi laki-laki yang semalam tidur bersamamu. Sebelum ia
pulang, katanya aku memiliki garis tangan yang suatu saat akan keluar dari kehidupan antah berantah
ini” katanya dengan tertawa. Aku yang awalnya bingung, teringat dengan ucapannya semalam
“Malam ini, akan terjadi perubahan besar dalam hidupmu,” Aku pun menaruh amplop kerja yang
diberikan Fitri ke dalam tasku. Kemudian kubalikan kedua tanganku dengan kepala penuh tanya
terkait apa yang dimaksudkan oleh laki-laki aneh semalam. Fitri tertawa, kemudian tersenyum.
Dengan wajah polos, aku menanyakan.
“Kenapa tertawa, Fit?”
“Pasti kamu bingung kan Bell?
“Kamu juga diberi tahu tentang maksud tentang arti dari kedua telapak tangan dari laki-laki aneh itu?”
Fitri terus tertawa, ia seoalah menginginkanku untuk senantiasa memiliki wajah polos dan lugu.
“Fit, aku tanya serius ini” Ucapku dengan mata membinar.
“Memang, laki-laki tersebut telah merencanakan kita agar kita saling tertawa lepas Bell. Iyah dia,
membuat kita bodoh untuk sesaat, dengan hiruk pikur dari selimut dunia malam yang kita lalui,
akhirnya kita bisa tertawa bebas. Bukankah ini sesuatu yang tidak pernah kita lakukan Bel? Eh, Sekar
maksudnya.”
“Aku Bunga bukan Sekar, Fit!. Panggilan itu, khusus Nenekku Fit,”
Aku masih saja tak bergeming, bingung dari segala arah. Entah dari ucapan laki-laki yang semalam
tidak menyentuhku kecuali rambut dan tanganku, apalagi dengan tebakan garis tangan. Satu lagi, ada
apa dengan Fitri yang seolah sangat mengerti dengan laki-laki semalam. Pun dengan desiran tawanya
yang sangat menyindirku, di sisi lain Aku merasakan ia benar-benar dibuatkan kebingungan. Namun,
tawa lepasnya tak bersambung lama, aku tau itu, karena saat Fitri memasuki hotel. Ia tidak lagi
bermain teka-teki ini dengan ujung tawa ini. Dia akan menjadi artis dalam kehidupannya sendiri,
untuk menemukan laki-laki bangsat yang sempat memerkosannya tanpa pertanggung jawaban.
Tiba-tiba kita berdiam, waktu yang begitu cepat menghimpit kita. Bunyi telfon yang nyaring dari
handphone Fitri sudah terdengar. Sebuah nada yang cukup aku hafal, dering itu menandakan untuk
jam kerja. Fitri menghampiriku, kemudian memelukku dengan hangat. “Aku akan menyusulmu Kar.
Iyah, kata laki-laki itu juga seperti itu,bukan?.” Aku pun terdiam sendu, air mataku menetes dengan
sendiri. Aku hanya menggerung pelan sesekali memeluknya dengan erat. Ia melepaskannya secara
perlahan. “Oh Iya, pesan terakhir dari laki-laki itu, kamu jangan buka amplopnya sebelum membuka
isi surat yang sudah diberikan kepadamu.”
Kita pun berpisah, tawa, sedih, getir, bahagia benr-benar menyelimutiku untuk sesaat. Aku hanya
fokus menuju ke kosanku dahulu. Bertemu dengan keluarga lamaku, Ibu kos yang menggantikan
peran Nenekku di rumah. Cukup lelah hari ini, aku pun tertidur pulas setelah dipersilahkan untuk tidur
di kamar yang dulu menjadi rumah keduaku. Betapa terkejutnya, semuanya masih utuh, jam, dinding
bahkan chat hijau dengan lapisan biru dipusaran lampu di bibir langit atap tidak berubah, hanya saja
lecet-lecet dan memecah sedikit saja.
Sore hari aku terbangun, membuka surat yang aku janjikan kepada diriku untuk membukannya senja
hari. Entah kenapa aku tidak berani membukannya saat mendapati kosanku yang dulu. Seperti seorang
kekasih yang menjaga janji orang yang dikasihnya. Aku keluar dengan membawa surat misteri yang
diberi oleh laki-laki aneh semalam, dengan teh pucuk yang kupetik di taman Ibu yang sudah ku jemur
di mulut taman kecil kos. Langkah kaki perlahan menuju ke taman, tempat dahulu aku membaca buku
dan bercerita kepada bunga mawar yang ada. Surat tersebut kubaca, aku sontak tertawa. Laki-laki
brengsek sekaligus badut sulap yang merubah malamku menjadi manusia utuh lagi. Sat-saat terkahir
pun, Ia menulis kata-kata yang menyebalkan. Sangat menyebalkan, dengan larik huruf penuh kapital,
dia si badut itu melukis kata-kata dengan huruf indonesia “NIKMATI HIDUPMU, KAMU BELUM
KALAH! TERUS SEMANGAT! DAN JANGAN BUKA AMPLOP YANG DIBERIKAN FITRI
SEBELUM TAHUN BARU TAHUN DEPAN. BACALAH MALAM TAHUN BARU.”
Barangkali makna hidup bukanlah tentang apa yang kita lalui, bisa jadi justru makna dari hidup
adalah bagaimana kita menertawakan semua yang kita lalui. Menertawakan sesuatu yang bahkan
menurut orang lain gila kita pun perlu menertawakanya. Senja pun ikut menertawaiku dengan pesona
jingganya, dengan perginya matahari menuju bulan. Yah, aku akan menjaga nasehat reinkarnasi
mantap sebelum kekasihku dan kedua orang tuaku. Aku akan hidup dengan caraku. Tuhan,
terimakasih! Tulisku dalam buku lusuh yang kuambil dari pintu Ibu kosku.

Anda mungkin juga menyukai