Anda di halaman 1dari 8

Essai

Karakter Bangsa

Oleh :
Afrizal Muhammad Lazuardi
151220040

Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik


Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Yogyakarta
2023
Karakter Bangsa

A. Defini dan Pengertian

1. Pengertian Karakter
Karakter ini berasal dari kata Yunani “kasiro” yang berarti “rencana”, “format dasar”,
“cetak” seperti sidik jari. Dalam hal ini, karakter diberikan atau sesuatu yang sudah ada dari
alam. Mounier (1956) mengusulkan dua interpretasi untuk mendefinisikan karakter. Dia
menganggap karakter ada dua hal, yang pertama adalah seperangkat kondisi yang diterima
begitu saja, atau hanya ada dalam diri kita, karakter tersebut dianggap sudah ada atau esensial
(sudah ada). Kedua, kepribadian juga dapat dipahami sebagai tingkat kekuatan yang
dengannya seseorang dapat mengendalikan situasi. Karakterisasi seperti itu disebut proses
menginginkan (menginginkan).
Karakter seseorang dapat memiliki arti psikologis dan etis yang dapat kita lihat dari
tingkah lakunya. Dalam psikologis, karakter adalah sifat-sifat yang terlihat jelas dan seolah-
olah mewakili pribadinya. Berkarakter berarti memiliki prinsip dalam arti moral di mana
perbuatannya atau tingkah lakunya dapat dipertanggungjawabkan dan teguh.
Karakter juga dikenal sebagai watak, adalah segala dari semua ciri kepribadian
permanen seseorang sehingga menjadi "karakteristik" khusus untuk membedakan satu orang
dari yang lain. Watak atau budi pekerti muncul dari perkembangan dasar yang telah
dipengaruhi oleh pengajaran. Makanya disebut pendidikan karakter. Yang disebut dasar
adalah potensi dasar atau bakat yang diperoleh seseorang yang menjadi esensial. Sedangkan
yang disebut “pengajaran” adalah seperangkat ciri pendidikan dan pengajaran yang dapat
menghasilkan kecerdasan. Menurut Ki Hadjar Dewantara (1977: 408) dalam jiwa karakter ini
terdapat keseimbangan yang konstan antara kehidupan batinnya. Seseorang dengan segala
macam perbuatannya. Karena itu, ia tampil sebagai "tangga" atau "sendi" dalam hidupnya,
yang kemudian menciptakan kepribadian manusia yang unik.
2. Pengertian Karakter Bangsa
Dapat disimpulkan bahwa karakter bangsa adalah ciri khas dan sikap suatu bangsa
yang tercermin pada tingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Ciri khas dan sikap
tersebut dapat muncul atau terpengaruhi karena oleh sesuatu yang sudah ada atau oleh
sesuatu yang di dapat dengan sengaja yang diusahakan negara/pemerintah) demi kemajuan
bangsanya. Oleh karena itu, karakter bangsa sangat bergantung pada kemauan politik
pemerintah atau pemimpin suatu negara, karena keberanian nasional selain karena apa yang
diberikan tetapi juga karena ingin memiliki, yaitu mendapatkan dan dibangun sejalan dengan
visi suatu negara. Sejarah telah menuntut para founding fathers untuk meletakkan dasar dan
dasar negara yang sudah menjadi ciri bangsa, yang penting berkembang dan bertransformasi
menjadi milik seluruh warga negara Indonesia.
Menurut Wibison (1998:8) Karakter bangsa meliputi nasionalisme dan cinta tanah air.
Untuk eksis sebagai bangsa, warga negara harus memiliki apa yang disebut rasa memiliki dan
nasionalisme tertentu. Oleh karena itu, dari segi fungsional, bangsa ini lebih baik. Artinya,
setiap warga negara harus memiliki pengetahuan umum bahwa ia membentuk komunitas
politik tertentu, yang kehadiran dan perannya dibutuhkan oleh warga negara dan sebaliknya,
mereka tidak dapat memenuhi tugasnya tanpa warga negara lainnya. Dapat dikatakan pula
bahwa dinamika kehidupan berbangsa harus mencakup nilai-nilai partisipasi dan adaptasi.
B. Dasar-Dasar Aturan Hukum yang Terkait dengan Pembangunan Karakter Bangsa
Indonesia
Derivasi nilai-nilai luhur Pancasila tertuang dalam norma-norma yang terdapat dalam
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Oleh karena itu, landasan kedua yang harus
menjadi acuan dalam pembangunan karakter bangsa adalah norma konstitusional UUD 1945.
Nilai-nilai universal yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 harus terus dipertahankan
menjadi norma konstitusional bagi negara Republik Indonesia.
Dalam Batang Tubuh UUD 1945 juga terdapat norma-norma konstitusional yang
mengatur sistem ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia, pengaturan hak asasi manusia
(HAM) di Indonesia, identitas negara, dan pengaturan tentang perubahan UUD 1945 yang
semuanya itu perlu dipahami dan dipatuhi oleh warga negara Indonesia. Oleh karena itu,
dalam pengembangan karakter bangsa, norma-norma konstitusional UUD 1945 menjadi
landasan yang harus ditegakkan untuk kukuh berdirinya negara Republik Indonesia.
Landasan selanjutnya dalam pembangunan karakter bangsa adalah semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan itu bertujuan menghargai perbedaan/keberagaman, tetapi
tetap bersatu dalam ikatan sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki kesamaan sejarah
dan kesamaan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang ―adil dalam kemakmuran‖ dan
―makmur dalam keadilan‖ dengan dasar negara Pancasila dan dasar konstitusional UUD
1945. Keberagaman itu harus dipandang sebagai kekayaan khasanah sosiokultural, kekayaan
yang bersifat kodrati dan alamiah sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa bukan untuk
dipertentangkan, apalagi dipertantangkan (diadu antara satu dengan lainnya) sehingga
terpecahbelah. Oleh karena itu, semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus dapat menjadi
penyemangat bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Kesepakatan yang juga perlu ditegaskan dalam pembangunan karakter bangsa adalah
komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karakter yang dibangun
pada manusia dan bangsa Indonesia adalah karakter yang memperkuat dan memperkukuh
komitmen terhadap NKRI, bukan karakter yang berkembang secara tidak terkendali, apalagi
menggoyahkan NKRI. Oleh karena itu, rasa cinta terhadap tanah air (patriotisme) perlu
dikembangkan dalam pembangunan karakter bangsa. Pengembangan sikap demokratis dan
menjunjung tinggi HAM sebagai bagian dari pembangunan karakter harus diletakkan dalam
bingkai menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa (nasionalisme), bukan untuk
memecah belah bangsa dan NKRI. Oleh karena itu, landasan keempat yang harus menjadi
pijakan dalam pembangunan karakter bangsa adalah komitmen terhadap NKRI.

C. Upaya Membangun Karakter Bangsa Indonesia yang Unggul


Karakter bangsa dapat dibangun dengan pembentukan kebiasaan yang baik.
Pembinaan karakter sangat dipengaruhi oleh keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan
yang lebih luas yaitu bangsa dan negara. Membangun karakter bangsa harus menjadi prioritas
pembangunan nasional agar bangsa Indonesia terhindar dari berbagai krisis. Membangun
karakter bangsa dapat dilakukan melalui berbagai tindakan berdasarkan karakter dasar, yaitu:
1. Kepedulian Sosial: Orang yang berkarakter tidak hanya peduli tetapi juga suka
menolong dan memiliki kepekaan sosial. Contohnya adalah pengembangan simpati
dan empati terhadap orang lain. Melindungi dan menjaga
2. Hubungan yang baik: Orang yang berkarakter selalu berusaha melindungi dan
menjaga hubungan baik dengan orang lain. Tidak hanya melihat keintiman pribadi,
tetapi juga mengutamakan kemanusiaan.
3. Mengembangkan sifat berbagi: Sikap gotong royong dan adil kepada sesama
merupakan akar dari karakter orang yang suka berbagi. di depan
4. Sikap Jujur: Semua sikap dan perilaku dilandasi oleh nilai-nilai kejujuran. Pidatonya
selalu apa adanya.
5. Mengutamakan moral dan etika: Saat membangun hubungan dengan orang lain, selalu
utamakan moral dan etika. Contohnya adalah etika tidak mudah goyah dan goyah
ketika dihadapkan pada ajakan untuk melakukan tindakan maksiat yang bertentangan
dengan moralitas.
6. Mampu Mengontrol dan Mengintropeksi Sendiri : Sikap tidak mudah terprovokasi
oleh perkataan atau tindakan orang lain. Lebih baik evaluasi diri sendiri untuk
menghindari tindakan yang bisa merugikan orang lain.
7. Suka membantu orang lain: Suatu sikap untuk selalu berusaha menolong dan
menolong ketika melihat orang lain dalam kesulitan, tanpa memandang jabatan atau
status orang tersebut.
8. Memecahkan masalah dan konflik sosial: Kesediaan untuk memilih jalan yang
bijaksana dan bijaksana ketika timbul masalah atau konflik. Salah satunya adalah
selalu berpikir dua kali saat memecahkan masalah untuk mencapai mufakat.

1. Hambatan dalam Pembangunan Karakter Bangsa


Disorientasi dan belum Dihayatinya Nilai-nilai Pancasila sebagai Filosofi dan Ideologi
Bangsa
Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersumber dari
budaya Indonesia telah menjadi ideologi dan pandangan hidup. Pancasila sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 merupakan ideologi negara dan
sebagai dasar negara. Pancasila sebagai pandangan hidup mengandung makna bahwa hakikat
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dijiwai oleh moral dan etika yang
dimanifestasikan dalam sikap perilaku dan kepribadian manusia Indonesia yang proporsional
baik dalam hubungan manusia dengan yang maha pencipta, dan hubungan antara manusia
dengan manusia, serta hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Namun dalam
kehidupan masyarakat prinsip tersebut tampak belum terlaksana dengan baik. Kekerasan
(domestik maupun nasional) dan hempasan globalisasi sampai kepada korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) masih belum dapat diatasi.
Masalah tersebut muncul karena telah terjadi disorientasi dan belum dihayatinya nilai-
nilai Pancasila yang diakui kebenarannya secara universal. Pancasila sebagai sumber karakter
bangsa yang dimaksudkan adalah keseluruhan sifat yang mencakup perilaku, kebiasaan,
kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir yang dimiliki oleh
sekelompok manusia yang mau bersatu, merasa dirinya bersatu, memiliki kesamaan nasib,
asal, keturunan, bahasa, adat dan sejarah Indonesia.
Keterbatasan Perangkat Kebijakan Terpadu dalam Mewujudkan Nilainilai Esensi
Pancasila
Substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis sudah tertuang
secara implisit maupun eksplisit dalam produk-produk hukum yang ada. Substansi hukum
mengarah pada pemenuhan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, terutama
dalam pemenuhan rasa keadilan di depan hukum. Namun demikian berbagai kebijakan dan
produk hukum tersebut masih belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kebutuhan untuk
mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila sebagai landasan dalam kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara. Akibatnya, maka penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai wahana
dan sarana membangun karakter bangsa, meningkatkan komitmen terhadap NKRI serta
menumbuhkembangkan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia belum
optimal. Oleh karena itu, pewujudan nilai-nilai esensi Pancasila pada semua lapisan
masyarakat Indonesia perlu didukung perangkat kebijakan terpadu.
Bergesernya Nilai-nilai Etika dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Pembangunan nasional dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini
memang mengalami berbagai kemajuan. Namun, di tengahtengah kemajuan tersebut terdapat
dampak negatif, yaitu terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pergeseran sistem nilai ini sangat nampak dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini, seperti penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa, nilai
solidaritas sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan, sopan santun, kejujuran, rasa malu dan
rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Perilaku korupsi masih banyak terjadi,
identitas ke-"kami"-an cenderung ditonjolkan dan mengalahkan identitas ke-"kita"-an,
kepentingan kelompok, dan golongan seakan masih menjadi prioritas. Ruang publik yang
terbuka dimanfaatkan dan dijadikan sebagai ruang pelampiasan kemarahan dan amuk massa.
Benturan dan kekerasan masih saja terjadi di mana-mana dan memberi kesan seakan-akan
bangsa Indonesia sedang mengalami krisis moral sosial yang berkepanjangan. Banyak
penyelesaian masalah yang cenderung diakhiri dengan tindakan anarkis. Aksi demontrasi
mahasiswa dan masyarakat seringkali melewati batas-batas ketentuan, merusak lingkungan,
bahkan merobek dan membakar lambang-lambang Negara yang seharusnya dijunjung dan
dihormati. Hal tersebut, menegaskan bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi kesemua itu disebabkan belum optimalnya
upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnnya keteladanan para pemimpin, lemahnya
budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif dan
ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Memudarnya Kesadaran terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa
Pembangunan di bidang budaya telah mengalami kemajuan yang ditandai dengan
meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun arus
budaya global yang sering dikaitkan dengan kemajuan di bidang komunikasi mencakup juga
penyebaran informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronika berdampak
tehadap ideologi, agama, budaya dan nilai-nilai yang dianut manyarakat Indonesia. Pengaruh
arus deras budaya global yang negatif menyebabkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya
bangsa dirasakan semakin memudar. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia
yang lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya bangsa, baik dalam cara
berpakaian, bertutur kata, pergaulan bebas, dan pola hidup konsumtif, serta kurangnya
penghargaan terhadap produk dalam negeri.
Ancaman Disintegrasi Bangsa
Ancaman dan gangguan terhadap kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan
keutuhan wilayah sangat terkait dengan posisi geografis Indonesia, kekayaan alam yang
melimpah, serta belum tuntasnya pembangunan karakter bangsa, terutama pemahaman
masalah multikulturalisme yang telah berdampak munculnya gerakan separatis dan konflik
horisontal. Selain itu, belum meratanya hasil pembangunan antardaerah, primordialisme yang
tak terkendali, dan dampak negatif implementasi otonomi daerah cenderung mengarah
kepada terjadinya berbagai permasalahan di daerah.
Melemahnya Kemandirian Bangsa
Kemampuan bangsa yang berdaya saing tinggi adalah kunci untuk membangun
kemandirian bangsa. Daya saing yang tinggi, akan menjadikan Indonesia siap menghadapi
tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Kemandirian suatu
bangsa tercermin, antara lain pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunan, kemandirian aparatur
pemerintahan dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, pembiayaan
pembangunan yang bersumber dari dalam negeri yang semakin kukuh, dan kemampuan
memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Namun hingga saat ini sikap ketergantungan masyarakat
dan bangsa Indonesia masih cukup tinggi terhadap bangsa lain. Konsekuensinya bangsa
Indonesia dalam berbagai aspek kurang memiliki posisi tawar yang kuat sehingga tidak
jarang menerima kehendak negara donor meskipun secara ekonomi kurang menguntungkan.
Kurangnya kemandirian, juga tercermin dari sikap masyarakat yang menjadikan produk asing
sebagai primadona, etos kerja yang masih perlu ditingkatkan, serta produk bangsa Indonesia
dalam beberapa bidang pertanian belum kompetitif di dunia internasional.

2. Hal-Hal yang Mendorong Pembangunan Karakter Bangsa


Williams (Hawadi, 2008), menambahkan bahwa dengan pendidikan karakter, seorang
anak akan lebih cerdas secara emosi. Williams menjelaskan bahwa terdapat kecenderungan
bahwa anak-anak yang memiliki masalah dengan kecerdasan emosi akan mengalami
kesulitan belajar, bergaul, dan mengontrol emosinya. Sebaliknya, anakanak dan para remaja
yang berkarakter atau memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, cenderung terhindar dari
masalah-masalah yang biasanya dihadapi remaja, seperti kenakalan remaja, tawuran, perilaku
seks bebas, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya.
Sehingga, dengan demikian kecerdasan emosi ini merupakan salah satu bekal penting
dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan karena dengannya seseorang akan
dapat berhasil dalam menghadapi tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara
akademis.
Pembangunan karakter harus dibentuk. Pembangunan karakter jika ingin efektif dan
utuh mesti menyertakan tiga institusi, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal ini sejalan
dengan pandangan Phillips (2000), bahwa pendidikan karakter haruslah melibatkan semua
pihak, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris
putus antara ketiga institusi pendidikan ini. Tanpa tiga institusi itu, program pendidikan
karakter sekolah hanya menjadi wacana semata. Dengan kata lain, pembangunan karakter
tidak akan berhasil selama ketiga institusi pendidikan tidak ada kesinambungan dan
harmonisasi.
Keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan pertama dan utama
mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips (2000), keluarga hendaklah
kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang. Sementara Azra (2008)
menyatakan, dalam perspektif Islam, keluarga sebagai madrasah mawaddah wa rahmah,
tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.
Penanaman akhlak terpuji seperti jujur, berani, disiplin, kerjasama, tegas, ramah,
sabar, kasih sayang, dermawan seharusnya dimulai sejak dari keluarga. Penanaman akhlak
mulia ini tidak bisa secara singkat, akan tetapi melalui proses yang terus menerus sejak usia
dini hingga mencapai taraf kedewasaan atau kematangan. Jika sejak usia dini sudah
ditanamkan akhlak terpuji, maka akan menjadi bekal ketika dewasa untuk berakhlak mulia.
Pembiasaan yang dilakukan sejak usia dini ini, pada akhirnya akan menjadi budaya dan akan
selalu dipegang teguh sampai akhir hayatnya.
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan
pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, menurut Shihab (1996), situasi kemasyarakatan
dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat
secara keseluruhan. Misalnya, penganut paham materialistis memandang bahwa nilai yang
tertinggi adalah material, sedangkan di kalangan masyarakat hedonis berpandangan bahwa
nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Jika sistem nilai dan pandangan masyarakat
terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks ini, Azra (2008) menyebutkan bahwa dalam Al-Qur’an banyak
ayatnya menekankan tentang pentingnya kebersamaan, tujuan bersama, gerak langkah
bersama, solidaritas yang sama. Setiap agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umatnya,
sikap saling menghormati, bersikap jujur, santun, disiplin, dan lain sebagainya. Oleh karena,
internalisasi ajaranajaran agama dalam kehidupan sehari-hari akan memantapkan karakter
seseorang baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun sebagai warga bangsa
Indonesia.
Melalui agama, individu menciptakan hubungan yang privat dengan Tuhan. Melalui
agama pula, seseorang dapat berinteraksi secara baik dengan orang lainnya, dan melalui
agama pula, seseorang dapat menebarkan kebaikan dan menguatkan karakter pribadinya. Tak
berlebihan dikatakan, kalau kita mau berhasil membentuk karakter bangsa di tengah-tengah
masyarakat, maka harus ada seorang pemimpin yang berkarakter, seperti disiplin,
bertanggung jawab, berani, saling menghormati, jujur, dan sikap-sikap lainnya. Jadi
pemimpin di masyarakat harus menjadi teladan. Dengan keteladanan ini, merupakan langkah
pembimbingan masyarakat dalam rangka membangun karakter bangsa.
Masalah dan usaha membangun karakter bangsa dapat dilakukan melalui pendekatan
keluarga, sekolah dan masyarakat, sehingga masalah dan usaha membngun karakter bangsa
menjadi tanggung jawab bersama semua komponen masyarakat dari berbagai lapisan
Daftar Pustaka
Departemen Dalam Negeri. 2003. Sosialisasi Kebangsaan. Modul 8. Depdagri Dirjen
Kesatuan Bangsa.

Doni Koesoema A. 2007. Pendidikan Karakter. Gramedia Widisarana Indonesia.

Mounier, Emmanuel. 1956. The Character of Man. Translate Into English by Cynthia
Rowland. New York: Harper dan Brothers.

Isabela, Monica. 2022. Pembangunan Karakter Bangsa. Diakses pada 


tanggal 22 Maret 2023, dari
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/31/04000021/pembangunan-karakter-
bangsa

Wahyu. 2011. Masalah dan Usaha Membangun Karakter Bangsa.

Anda mungkin juga menyukai