Anda di halaman 1dari 2

Nama : Ayub Adii

Npp : 31.1020
Kelas : B-6

Konflik yang terjadi adalah adanya penghilangan hutan di sekitar Getentiri, pinggir
Kali Digoel, Distrik Jari, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. Hutan tersebut hilang
sejak tahun 2019 dan diperkirakan karena aktivitas perusahaan kelapa sawit oleh anak
perusahaan PT Digoel Agri Group, yakni PT Bovendigoel Budidaya Sentosa dan PT
Perkebunan Bovendigoel Sejahtera. Kedua anak perusahaan PT Digoel Agri Grup tersebut
beroperasi tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU) pada 2019 dan 2021.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menduga bahwa perusahaan tersebut melakukan kegiatan
land clearing dan penggusuran tanpa memiliki izin HGU yang diperlukan. Meskipun
perusahaan tersebut telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) tahun 2018, Izin
Pembukaan Lahan (land clearing) tahun 2018, dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) tahun
2019, namun izin HGU belum diverifikasi dan baru akan di proses.

Analisis terhadap konflik yang terjadi di Boven Digoel, Papua menunjukkan adanya
konflik antara perusahaan kelapa sawit PT Digoel Agri Group dengan masyarakat adat yang
bergantung pada hutan di sekitar Getentiri, pinggir Kali Digoel, Distrik Jari, Kabupaten Boven
Digoel, Provinsi Papua. Konflik ini terjadi karena perusahaan melakukan penghilangan hutan
dan kegiatan land clearing tanpa memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU), yang diperlukan
untuk kegiatan perkebunan. Meskipun perusahaan tersebut memiliki Izin Usaha Perkebunan
(IUP), Izin Pembukaan Lahan (land clearing), dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), namun izin
HGU belum diverifikasi dan baru akan di proses.

Permasalahan ini sangat kompleks karena melibatkan hak atas tanah ulayat
masyarakat adat yang terancam, lingkungan yang rusak, dan keterlibatan perusahaan tanpa
izin yang jelas. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan konflik ini, perlu mengutamakan
kepentingan masyarakat adat dan pelestarian lingkungan. Hal ini dapat diterapkan dengan
memperkuat hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya dan mengakui pengetahuan
mereka mengenai lingkungan sekitar dan cara-cara untuk memanfaatkannya secara lestari.

Konsep masyarakat hukum adat yang diuraikan oleh Prof. Mr. B. Terhaar Bzn dapat
menjadi acuan dalam menyelesaikan konflik ini. Konsep tersebut mengakui hak-hak
masyarakat adat atas tanah ulayatnya dan menuntut pemerintah untuk mengakui dan
melindungi hak-hak tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu bekerja sama dengan
masyarakat adat untuk mengelola sumber daya alam dengan cara yang lestari dan
memperkuat hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat.

Sebagai pengambil keputusan di lingkungan Pemerintahan, solusi yang dapat


diberikan adalah:

1. Menghentikan aktivitas perusahaan yang merusak lingkungan dan


mengancam eksistensi masyarakat adat, sampai perusahaan tersebut
memiliki izin HGU dan mematuhi standar sertifikasi dan peraturan lingkungan
yang berlaku.
2. Dialog dan konsultasi: saya akan membuka ruang dialog dan konsultasi
dengan masyarakat adat dan perusahaan untuk mencari solusi bersama yang
menguntungkan semua pihak. Hal ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan
masukan dan aspirasi dari masyarakat adat dan mempertimbangkan
kepentingan mereka dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan
lingkungan dan perizinan perusahaan.
3. Melakukan penegakan hukum pidana lingkungan dan memberikan sanksi
kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran.
4. Meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi
di wilayah tersebut, dengan melibatkan masyarakat adat dan organisasi
lingkungan dalam proses pengawasan.
5. Memberikan dukungan kepada masyarakat adat dalam pengelolaan sumber
daya alam secara lestari dan memperkuat hak-hak masyarakat adat atas
tanah ulayat.

Anda mungkin juga menyukai