Anda di halaman 1dari 18

1

Analisis Kasus Deforestasi Hutan Papua oleh Perusahaan Korindo menurut Instrumen
Hukum di Indonesia

Wilbert Yap (12520030)1, Alfonso S.H Sitanggang (12520063)2, Muhammad Ghazi


(12520076)3, Yedija Adelbert (12520043)4
Prodi Teknik Metalurgi, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia

Abstrak

Korindo Group, salah satu perusahaan yang berfokus pada pengembangan hardwood telah
berdiri di Indonesia sejak 1969. Salah satu area operasi dari perusahaan ini adalah terletak di
Asiki, Kec. Jair, Kabupaten Boven Digoel (basis utama) dan Merauke, Kec.Merauke,
Kabupaten Merauke, Papua. Perusahaan ini sudah beroperasi di wilayah Provinsi Papua sejak
2011 dan kini sudah membuka sekitar 57.000 hektar lahan hutan Papua menjadi perkebunan
sawit. Perusahaan ini dinilai merupakan pelaku deforestasi hutan terbesar di Papua dengan
praktik deforestasi oleh Korindo dinilai melakukan pelecehan hak atas lahan hutan adat,
deforestasi hutan besar-besaran menjadi lahan perkebunan, dan juga pembakaran hutan secara
illegal. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis kasus deforestasi hutan ini dalam kerangka
hukum dan pendapat masyarakat Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan menganalisis data-data kasus tersebut melalui sumber-sumber literatur resmi serta
menyimpulkan solusi-solusi yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan ini dari
pendapat masyarakat luas. Hasil keluaran penelitian ini adalah kajian hukum atas kasus
deforestasi hutan ini dari sudut pandang hukum dan pemerintah serta solusi-solusi yang dapat
diterapkan dari pendapat masyarakat untuk dapat menyelesaikan maupun mencegah kasus
serupa terjadi di Indonesia.

Abstract

Korindo Group, a company that focuses on hardwood development has been established in
Indonesia since 1969. One of the operating areas of this company is located in Asiki, Kec. Jair,
Boven Digoel Regency (main base) and Merauke, Merauke District, Merauke Regency, Papua.
The company has been operating in Papua Province since 2011 and has now cleared around
57,000 hectares of Papua's forest land into oil palm plantations. This company is considered
to be the largest perpetrator of deforestation in Papua with deforestation practices by Korindo
considered to have violated customary forest land rights, large-scale deforestation to become
plantation land, and also illegal forest fires. This study aims to analyze this case of
deforestation in the legal framework and the opinion of the Indonesian people. This study uses
a qualitative method by analyzing the case data through official literature sources and
concluding solutions that can be done in solving this problem from the opinion of the wider
community. The output of this research is a legal study of this deforestation case from the legal
and government point of view as well as solutions that can be applied from the community's
opinion to be able to resolve or prevent similar cases from happening in Indonesia.
2

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kawasan hutan terbesar di dunia. Data
dari FAO Stat (2018) menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan kawasan hutan terbesar
kedelapan di dunia dengan luas kurang lebih 933 ribu kilometer persegi. Daerah dengan
populasi hutan terbesar di Indonesia adalah Pulau Kalimantan dan Pulau Papua. Di mana untuk
jenis hutan hujan tropis, Indonesia merupakan negara dengan hutan hujan tropis terbesar ketiga
di dunia dan terbesar di Asia. Dengan potensi sebesar ini Indonesia menyimpan banyak sekali
potensi dari hutannya untuk dimanfaatkan masyarakat.
Untuk wilayah Papua, merupakan wilayah Indonesia dengan luas kawasan hutan
terbesar di Indonesia dengan luas total 42.224.840 ha di tahun 2008 (Hariyadi,2008) dan kini
sekitar 29,3 ha dengan keanekaragaman tertinggi dunia dengan 20.000 spesies tanaman , 602
jenis burung, 125 mamalia, dan 223 reptil. Berdasarkan hukum perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, terdapat 3 buah klasifikasi wilayah hutan di Indonesia yaitu hutan hak,
hutan adat, dan hutan negara. Di Papua sendiri, hutan adat belum diakui secara hukum padahal
menurut Kasmita Widodo Direktur BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat) Papua sendiri
memiliki potensi sebanyak 1.419.124 ha sebagai hutan adat. Kini hak-hak masyarakat
tradisional disana dalam pengolahan hutan adat diatur melalui perda daerah masing masing
mengenai Wilayah Adat.
Kenyataannya potensi hutan Indonesia yang besar ini secara khusus di Papua sendiri
kurang dimanfaatkan dengan baik terlebih dengan maraknya dilakukan perusakan lingkungan
berupa deforestasi dengan memotong hutan maupun pembakaran. Dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) pada Pasal 1 ayat 10 dijelaskan bahwa
deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia. Kegiatan ini bertujuan untuk merubah fungsi lahan seperti
menjadi pemukiman, perkebunan, atau pertanian. Kegiatan deforestasi juga merupakan bentuk
kejahatan dan merupakan tindakan pidana karena menimbulkan kerugian bagi masyarakat serta
terdapat unsur pidana pada tindakannya. Laju deforestasi di Indonesia sendiri cukup tinggi,
menurut KLHK pada tahun 2019-2020 laju deforestasi indonesia mencapai 115,46 ribu ha
sedangkan pada tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha. Adapun metode yang umum
digunakan pada praktik deforestasi di Indonesia adalah membakar hutan. Data Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan hingga akhir Juli 2020 luas area kebakaran
hutan di Indonesia mencapai 160.104 ha.
Berdasarkan publikasi oleh Balairung Press, hingga April 2021 laju deforestasi
khususnya di Papua masih tergolong tinggi. Data Auriga Nusantara sebagai salah satu
pemerhati di Papua (Koalisi Indonesia Memantau) menyatakan bahwa dalam dua dekade
terakhir mencapai 663.443 ha. Laporan Auriga yang bertajuk “Planned Deforestation: Forest
Policy in Papua” menunjukkan sekitar 29 persen angka deforestasi tersebut terjadi dalam
rentang tahun 2001-2010 dan 71 persen terjadi pada tahun 2011-2019. Pengamat dari Koalisi
Indonesia Memantau menilai bahwa penyebab utama terjadinya deforestasi hutan secara besar-
besaran di Indonesia adalah karena banyaknya kebijakan pemerintah untuk melepas hutan
(PKH) untuk dialihkan menjadi lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit. Selain itu,
lemahnya instrumen dan perlindungan wilayah hutan di Papua bagi masyarakat
3

tradisional/adat. Deforestasi sepanjang 2001-2010 terbanyak di Kabupaten Boven Digoel,


Teluk Bintuni, Kaimana, Mimika, dan Sorong. Sementara pada 2011-2019, selain Boven
Digoel, Merauke, Keerom, Nabire, dan Fakfak muncul sebagai daftar baru wilayah dominan
deforestasi. Masyarakat adat yang menggantungkan hidup melalui kawasan hutan adat mereka
sering sekali dirugikan dengan keputusan korporasi. Salah satunya adalah alih lahan dan
deforestasi hutan oleh Korindo perusahaan asal Korea di banyak wilayah Papua diantaranya
Merauke, Boven Digul, dll.
Salah satu deforestasi yang masif terjadi di Papua adalah oleh Korindo untuk alih lahan
menjadi perkebunan kelapa sawit dan beberapa pemanfaatan hutan untuk dijual. Deforestasi
hutan Papua dilakukan oleh PT Korindo. PT Korindo merupakan perusahaan asal Korea
Selatan yang pada awalnya bergerak pada pengembangan hardwood. Namun, seiring
perkembangan, produksi PT Korindo tidak lagi hanya berpusat pada kayu namun beralih ke
komoditas lain. Sektor bisnis utama Korindo di Indonesia adalah sumber daya alam yang
operasinya mencakup penebangan kayu, konsesi bubur kayu, dan kelapa sawit. Kelapa sawit
menjadi komoditi utama, dihasilkan Korindo dengan beroperasi di wilayah Provinsi Papua.
Korindo mulai beroperasi di Papua pada tahun 1993 dan saat ini telah memiliki kawasan sawit
seluas 160.000 hektar, dengan area seluas 149.000 hektar terletak di Papua. Area operasi seluas
itu menjadikan Korindo sebagai perusahaan kelapa sawit terbesar di Papua.
Namun, operasi perluasan lahan Korindo ini banyak menyalahi aturan yang berlaku
seperti penggunaan api untuk membuka lahan dan tidak memenuhi hak masyarakat adat yang
hutannya diambil untuk membuka lahan. Fakta tersebut diperoleh dari data, dalam waktu 2013
hingga 2015 terdapat 894 titik panas yang direkam dari tata batas konsesi anak perusahaan
Korindo. Di mana menurut hukum, pembakaran untuk membuka hutan atau lahan dilarang oleh
Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu juga beberapa hal terkait biaya ganti lahan dan pemenuhan kesejahteraan
sering kali diabaikan. Deforestasi ini tentunya sudah berlangsung lama mengingat kini
perusahaan Korindo sudah berbasis besar di Papua. Akan tetapi, kasus ini beberapa tahun lalu
baru mencuat setelah investigasi oleh organisasi/badan dari luar Indonesia sendiri. Setelah
investigasi dari luar barulah organisasi dalam Indonesia seperti Greenpeace Indonesia
mengangkat kasus ini ke publik. Berdasarkan fakta dan studi tentang kasus diatas, maka
analisis ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan fakta mengenai kasus deforestasi oleh
Korindo serta mengolahnya dalam bentuk tulisan informatif. Selain itu juga karena kasus
deforestasi hutan marak dan tidak hanya terjadi di beberapa daerah saja di Indonesia, analisis
ini juga diharapkan menghasilkan solusi dan upaya-upaya aplikatif yang dianggap bisa
mencegah terjadinya kasus serupa terjadi lagi.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian normatif melalui pendekatan perundang-
undangan yang dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap berbagai hukum perundang-
undangan di Indonesia yang memiliki hubungan dengan tindak pidana lingkungan hidup,
terutama terkait pembakaran hutan dan alih lahan untuk menyelesaikan masalah konflik norma
pada tindak pidana pembakaran hutan dan lahan dalam hal ini pada kasus Korindo. Sebagai
pendukung penulisan mini research ini, digunakan literatur seperti buku-buku, makalah, jurnal
4

maupun berita yang membahas mengenai pembakaran hutan dan lahan yang terkait dengan
kasus yang diteliti. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan ini dilakukan dengan penyebaran form online berupa google form yang berisikan
beberapa pertanyaan mengacu pada kasus yang dibahas dan pandangan masyarakat tentang
kasus tersebut. Pendapat-pendapat dari 150 responden tersebut, kami gunakan sebagai bahan
sekunder untuk penentuan solusi pada hasil penulisan kami.

Analisis dan Pembahasan

Papua, merupakan rumah terbesar bagi hutan hujan tropis primer yang masih belum
terjamah oleh manusia sama sekali. Pada akhir tahun 2012, luas hutan hujan primer di Papua
diperkirakan mencapai 35,2 juta hektar, atau sekitar 86,2 persen dari total luas Papua. Untuk
melihat bagaimana luasnya hutan hujan primer di Papua, kita bisa membandingkannya dengan
hutan hujan primer di Kalimantan yang luasnya 27,7 juta hektar atau 51,9 persen dan hutan
hujan primer di Sumatera yang luasnya 13,4 juta hektar atau 28,3 persen dari luas kawasannya.
Dibalik hutan hujannya yang masih belum terjamah oleh manusia sama sekali, hutan hujan
tropis Papua menjadi rumah bagi kekayaan hayati di Indonesia, yang jumlahnya mencapai 50
persen dari total keanekaragaman hayati di Indonesia. Di hutan hujan ini kita bisa menemui
15.000 – 20.000 tumbuhan (55 persen endemik), 602 burung (52 persen endemik), dan 223
reptil (35 persen endemik). Hal ini menobatkan hutan hujan primer Papua sebagai benteng
terakhir hutan Indonesia dan gudang flora dan fauna endemic.

Namun nyatanya tindakan perlindungan bagi hutan hujan Papua dan keanekaragaman
hayati yang terkandung di dalamnya acap kali dilanggar oleh pemerintah dan perusahaan
swasta yang saling terlibat demi memperluas lahan perkebunan. Tindakan deforestasi ini
bertujuan untuk memperluas lahan perkebunan sawit. Hal ini disebabkan karena kawasan lahan
yang luas semakin sulit ditemukan di Sumatera dan Kalimantan karena hutan semakin banyak
yang mengalami deforestasi. Hal ini juga disebabkan karena peningkatan pembatasan sektor
swasta dan pemerintah untuk mengalami deforestasi dan pengambilalihan lahan yang dimiliki
oleh masyarakat adat. Dampaknya adalah perusahaan-perusahaan perkebunan sawit ini
mencari alternatif lahan yang lebih luas serta rendah akan pengamanan oleh hukum dan aparat.
Alhasil, perusahaan-perusahaan ini mencari lahan perluasan di Papua.

Dari data sekunder yang dikumpulkan oleh WWF Indonesia, pada tahun 2005 hanya
ada lima perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Papua. Sampai 2014, sebanyak 30
perusahaan di tujuh kabupaten di Provinsi Papua telah mendapatkan izin prinsip dari
Kementerian Kehutanan dan sekitar 24 perusahaan telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan
(IUP) dari Kementerian Pertanian untuk segera merealisasikan tahapan usahanya.

Korindo, sebuah kombinasi dua kata Korea dan Indonesia, merupakan perusahaan besar
yang bergerak di bidang kayu dan kelapa sawit, merupakan salah satu dari perusahaan-
perusahaan yang bergerak secara agresif dalam deforestasi dan pembakaran hutan hujan primer
Papua. Semenjak 1993, Korindo sendiri sudah aktif di sektor kehutanan Papua dan sampai saat
ini merupakan perusahaan kelapa sawit terbesar di Papua.
5

Beberapa waktu sebuah badan lembaga sertifikasi yang memastikan pengelolaan hutan
secara bertanggung jawab, yaitu FSC (Forest Stewardship Council), telah mencabut lisensi
merek dagang Korindo mulai 16 Oktober 2021. FSC telah menyimpulkan bahwa Korindo
melanggar ‘Policy for Association’ (Pfa) dan memberlakukan serangkaian tindakan untuk
mengatasi kerusakan parah yang disebabkan oleh perusahaan tersebut. Investigasi yang
dilakukan oleh Forensic Architecture dan Greenpeace yang diterbitkan pada November lalu
bersama dengan BBC, menemukan bukti bahwa Korindo telah melakukan pembakaran lahan
untuk membuka perkebunan kelapa sawitnya selama periode 2011-2016. Meskipun Korindo
sempat menuding bahwa isu pembakaran lahan adalah tidak benar, FSC tetap Korindo bersalah
terkait indikator-indikator yang pada FSC.

Kim Carstensen selaku Direktur Jenderal FSC mengatakan bahwa Korindo tidak
diragukan lagi telah melakukan konversi bernilai tinggi terhadap hutan Papua. Konversi ini
divalidasi dengan deforestasi berskala besar terhadap lebih dari 30.000 hektar selama 2 tahun
sebelum pengaduan ditujukan. Tak hanya penghancuran wilayah hutan hujan, Korindo juga
terbukti bersalah atas dampak yang ditimbulkan terhadap habitat satwa liar dan
penyalahgunaan hak-hak masyarakat adat serta pelanggaran terhadap hak-hak tradisional dan
hak asasi manusia. Langkah yang diambil oleh FSC ini tentunya merupakan kebijakan angin
segar bagi kondisi hutan di Papua serta mampu meningkatkan kinerja Korindo dalam bidang
sosial dan lingkungan hidup. Sangat penting bagi konsumen dan badan sertifikasi untuk tidak
terus membantu para perusak lingkungan hidup untuk menciptakan topeng keberlanjutan dan
transparansi.

Mighty Earth dalam laporannya menyebutkan perlunya persyaratan remediasi seperti


melakukan dialog dengan masyarakat sekitar yang terkena dampak lingkungan hidup akibat
aktivitas anak perusahaan Korindo. Mereka juga menyerukan agar Korindo untuk
mengembalikan tanah adat, menyelesaikan isu sosial dan menanggapi keluhan, memberikan
kompensasi yang adil kepada masyarakat setempat atas hilangnya lahan, sumber daya alam,
dan mata pencaharian mereka, serta memulihkan ekosistem yang rusak. Tentunya jika Korindo
mampu memenuhi tanggung jawab dan menyediakan ganti rugi yang telah ditentukan, maka
Tindakan FSC dapat menjadi preseden yang kuat dan bisa membantu untuk menghentikan dan
menghilangkan praktik deforestasi pada lahan-lahan yang dimiliki masyarakat sekitar.

Perlu diketahui bahwa sertifikasi FSC ini diperlukan di banyak pasaran di seluruh
dunia. Namun sayangnya masih banyak negara di Asia yang masih bisa beroperasi tanpa
sertifikasi. Setelah pembekuan sertifikasinya oleh FSC, Korindo akan menargetkan pasar Asia
yang bebas persyaratan sertifikasi. Implikasi bisnis terkait dengan asosiasi FSC dengan
Korindo ini tidak akan sangat besar. Oleh karena itu Korindo masih tetap akan beroperasi
meskipun ruang pasar yang ditargetkan oleh Korindo mungkin akan semakin menyempit ke
pasar Asia.

Berkaca pada usaha yang dilakukan oleh badan sertifikasi global kehutanan FSC dan
Mighty Earth terhadap keberlangsungan hutan di Papua, tentunya semakin mempertegas
bagaimana citra pemerintah dalam menangani masalah deforestasi hutan di Indonesia.
Pemerintah tampaknya terus memberikan wilayah hutan untuk perusahaan-perusahaan seperti
6

Korindo dan mengizinkan mereka untuk melanggar hak asasi Masyarakat Adat dan komunitas
di sekitar lahan operasional tanpa hukuman. Alih-alih menangani permasalahan ini, pemerintah
terlihat tidak peduli akan isu ini sehingga hanya lembaga swasta dan internasional saja yang
menaruh perhatian yang lebih kepada kasus ini. Karenanya manajemen Korindo yakin bahwa
kecil kemungkinan perusahaannya disuruh bertanggung jawab atas pembakaran terbuka
melalui sanksi hukum maupun opini public. Kelompok-kelompok masyarakat adat tidak
memiliki akses banyak terhadap media untuk melaporkan praktik-praktik illegal. Ditambah lagi
dengan fakta di lapangan yang membuktikan bahwa Korindo menjalin koneksi yang bagus
dengan angkatan bersenjata setempat, yang semakin mempertegas fakta bahwa pemerintah
tutup mata dan telinga terhadap apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Hal ini sangat
disayangkan mengingat banyaknya peraturan perundang-undangan yang bisa membuktikan
bahwa Korindo bersalah atas konversi dan deforestasi hutan Papua dengan cara pembakaran.
Apakah pemerintah telah menempatkan diri mereka sebagai ‘mitra bisnis’ Korindo dan lebih
pro-bisnis ketimbang memperhatikan fakta bahwa Korindo telah menghancurkan tanah dan
mata pencaharian masyarakat Papua, merampas sumber daya alam mereka, melakukan tindak
kekerasan dan intimidasi terhadap banyak orang, dan tentunya deforestasi hutan hujan primer
Papua dalam skala yang luar biasa? Sikap pemerintah pusat dan daerah harus memberikan
sanksi tegas bagi Korindo Group agar tidak ada anggapan pilih kasih terhadap perusahaan local.
Karena itu Korindo layak diberikan sanksi administratif terminasi (penghentian) izin atau
pengurangan area lahan.

Korindo mulai menanam kelapa sawit di Papua pada 1998, setelah PT Tunas Sawa
Erma menerima izin pelepasan 34.300 hektar kawasan hutan. Menjelang 2000, PT TSE 1A
telah menanam kelapa sawit di areal seluas 7.500 hektare. PT TSE 1B mulai pembangunannya
pada 2006 dan telah menanami kawasan seluas 7.000 hektar pada 2008. Menjelang 2010,
keseluruhan areal yang dikembangkan oleh PT TSE 1A adalah 21.400 hektar. Sebagian besar
pengembangan ini mengorbankan hutan primer. Korindo mulai mengembangkan konsesi PT
Donghin Prabhawa (PT DP) pada akhir 2010. Menjelang 2012, sekitar 1.600 hektar kawasan
hutan sekunder telah dibuka. Secara total, Korindo telah membabat lebih dari 50.000 hektar
hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Kawasan tersebut kira-kira sama luasnya
dengan Seoul, ibukota Korea Selatan. Korindo telah mempercepat proses pembukaan dan
penanaman di Papua sejak 2013, dan pada 2014 mulai melakukan pembukaan ekstensif di
Halmahera Selatan. Gambar 3 menunjukkan hilangnya tutupan hutan dari 2013 sampai akhir
Mei 2016 yang dapat dirangkum sebagai berikut:

- Total deforestasi yang dilakukan oleh Korindo selama periode waktu 2013 sampai Mei 2016
adalah 30.000 hektar yang terdiri dari 11.700 hektar hutan primer dan 18.300 hektar hutan
sekunder.

- Pembukaan lahan terhadap hutan primer baru saja dilakukan oleh PT PAL (3.800 hektar sejak
akhir 2015) dan PT TSE 1B (500 hektar pada 2016).
7

Gambar 1. Kawasan hutan yang telah dibuka sejak 2013

Sumber: Citra Landsat 8, dibandingkan dengan peta tutupan hutan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama 2011, dan
dalam kasus petat tutupan hutan milik PT DP untuk 2009.

Yang menjadi permasalah pelik adalah bagaimana Korindo membuka hutan primer
Papua dengan menggunakan praktik penggunaan api yang secara sistematis. Selama kurun
waktu 2013 sampai 2015, tak kurang dari 894 titik panas (>50 persen keyakinan/confidence)
direkam dari tata batas konsesi anak perusahaan Korindo. Pada 2013, Korindo membuka hutan
dan lahan di dua kawasan konsesi, tiga konsesi pada 2014, dan empat konsesi pada 2015.
Gambar berikut ini menunjukkan korelasi yang jelas antara jumlah konsesi yang dibuka oleh
Korindo dan banyaknya titik panas yang terekam.

Gambar 2. Titik-titik panas di hutan hujan Papua

Sumber: Fire Information for Resource Management System (FIRMS), http://go.nasa.gov/27awNFg

Peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan tegas melarang pembukaan lahan


perkebunan dengan cara pembakaran. Mulai pada peraturan daerah hingga undang-undang
telah mengatur proses perizinan untuk perkebunan. Hal ini secara rinci dituangkan pada:
8

· Peraturan Gubernur Papua No 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Hutan Tanaman


Rakyat Masyarakat Hukum Adat (HTRMHA) yang tertuang pada Pasal 25. Pasal ini
menjelaskan beberapa kewajiban pemegang IUPHH-HTRMHA, salah satunya pada poin e
yang berbunyi: “melakukan pengamanan areal tebangan antara lain pencegahan kebakaran,
melindungi pohon-pohon yang tumbuh secara alami (tidak menebang pohon yang bukan
hasil tanaman)”.

· Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup yang tertuang pada:

Ø Pasal 21 ayat (3) huruf c yang menjelaskan kriteria kerusakan ekosistem yang
salah satunya adalah kriteria kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.

Ø Pasal 69 ayat (1) huruf h yang menjelaskan bahwa setiap orang dilarang
melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Ø Pasal 108 yang mengatur sanksi bagi yang melanggar Pasal 69 ayat (1) huruf
h yaitu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

· Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang


tertuang pada:

Ø Pasal 56 ayat (1) sampai (3) yang menjelaskan bahwa setiap Pelaku Usaha
Perkebunan dilarang membuka lahan dengan cara membakar dan
berkewajiban memiliki sistem dan sarana dalam pengendalian kebakaran
lahan dan kebun.

Ø Pasal 67 ayat (3) huruf c yang menjelaskan setiap Pelaku Usaha Perkebunan
membuat pernyataan kesanggupan untuk menanggulangi terjadinya
kebakaran.

Ø Pasal 108 yang mengatur sanksi bagi yang melanggar 56 ayat (1) yaitu
dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

· Undang-Undang Republik Indonesia No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang


tertuang pada:

Ø Pasal 50 ayat (3) huruf d dan l yang menjelaskan bahwa setiap orang dilarang
membakar hutan dan membuang benda-benda yang dapat menyebabkan
kebakaran.
9

Ø Pasal 49 yang tertulis bahwa pemegang hak dan izin bertanggung jawab atas
terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

Dari peraturan perundang-undangan di atas, sangat jelas tertulis bahwa siapapun atau
pihak manapun tidak mempunyai hak untuk membakar hutan Indonesia, dimana pada kasus ini
Korindo telah terbukti membuka lahan dengan pembakaran hutan. Greenpeace (2018) percaya
relasi antara oligarki yang terlibat dalam industri sumber daya alam dengan pengambil
kebijakan, tidak hanya menghasilkan perusahaan individu yang mendapatkan untung dengan
mengeksploitasi kelemahan dalam sistem regulasi berkat pengaruh sekutu mereka, tetapi juga
melemahkan seluruh sistem tata kelola sektor sumber daya alam. Tata Kelola yang buruk bukan
hanya berakar dari masalah pelaksanaan dan penegakan peraturan yang buruk, tetapi juga
karena peraturan yang mengatur tidak sesuai dengan tujuannya. Di Indonesia, banyak peraturan
yang mengatur hak kelola lahan, hutan, dan pertanian telah dirancang (mungkin dengan
sengaja) sedemikian rupa sehingga membuka ruang ketidakadilan dan koruptif. Frasa yang
ambigu; tumpang tindih dalam kewenangan dan ketidaksesuaian dalam aturan berbagai
instansi pemerintah dan departemen yang bertanggung jawab atas perizinan perkebunan di
hutan dan di atas tanah adat; kewenangan pejabat yang terlalu luas; dan keengganan terhadap
transparansi - semuanya digabungkan untuk menciptakan lanskap peraturan yang memfasilitasi
penyalahgunaan aset sumber daya alam publik oleh kepentingan swasta, dan menimbulkan
risiko korupsi yang parah.

Lambatnya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang sudah jelas


terbukti melanggar pasal yang sudah diuraikan di atas dari tahun ke tahun menyebabkan
timbulnya persepsi bahwa hukum Indonesia di ranah kehutanan sangatlah lemah.
Ketidakjelasan ini memperbesar kemungkinan perusahaan beroperasi secara pseudo-legal.
Artinya, meskipun sebuah perusahaan seperti Korindo Group telah memenuhi persyaratan
teknis untuk mengembangkan lahan, tetapi izin-izin tersebut sebenarnya akan semakin
mengeksploitasi celah dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Legitimasi
persyaratan tersebut akan membuat perusahaan seperti Korindo bersembunyi di balik tameng
‘persyaratan’ dan kebal akan hukum yang berlaku. Pada budaya pseudo-legal, perusahaan yang
tidak sesuai dengan prosedur administrasi bisa saja tetap berlanjut, asalkan dapat
memanfaatkan relasi kekuasaan dengan pihak berwenang. Seperti halnya Korindo, perusahaan
tersebut akan yakin pihak berwenang akan tutup mata terhadap penyimpangan apapun. Hal ini
pun tentunya semakin mendesak masyarakat adat di Papua untuk mengikuti alur kerja dari
perusahaan dan membiarkan diri ditindas oleh perusahaan dan aparat keamanan. Maraknya
konflik antara masyarakat adat dan Korindo merupakan indikator kuat bahwa masyarakat adat
tidak dapat dengan bebas memilih nasib tanah adat mereka.

Telah menjadi fakta bahwa hukum adat di Tanah Papua semua tanah adalah tanah adat
milik suatu kelompok etnis. Sistem hukum adat bervariasi dari satu kelompok etnis ke
kelompok lainnya, tetapi pola yang paling umum di Tanah Papua hak ulayat dipegang secara
kolektif oleh marga, bukan individu. Hak-hak ulayat tersebut tertuang dalam Konstitusi
Indonesia dan juga telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya, jika perusahaan
perkebunan ingin menggunakan suatu areal tanah harus melakukan negosiasi terlebih dahulu
10

dengan pemilik tanah adat. Hal tersebut diatur dalam beberapa peraturan perundang - undangan
berkaitan dengan industri perkebunan, seperti:

· Peraturan Gubernur Papua No 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Hutan Tanaman


Rakyat Masyarakat Hukum Adat (HTRMHA) yang tertuang pada pasal 1 ayat (16) yang
menjelaskan bahwa Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat, selanjutnya disebut
HTRMHA adalah hutan yang ditanam pada tanah hak ulayat yang dikuasai oleh kelompok
marga tertentu yang mendapatkan pengesahan dari lembaga adat dan Pemerintah setingkat
Distrik setempat serta tidak dibebani hak-hak lainnya.

· Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang


tertuang pada:

Ø Pasal 1 ayat (5) yang menjelaskan bahwa hak ulayat adalah kewenangan
masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan
tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat
hukum adat yang bersangkutan yang menjadi sumber kehidupan dan mata
pencahariannya.

Ø Pasal 12 ayat (1) yang menjelaskan bahwa Tanah yang diperlukan untuk
Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan
Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh
persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya.

Ø Pasal 107 huruf b terkhusus membahas mengenai sanksi apabila secara tidak
sah menduduki dan menguasai Tanah Masyarakat atau Tanah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk usaha perkebunan akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4

(empat) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar


rupiah).

· Undang-Undang Republik Indonesia No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang


tertuang pada:

Ø Pasal 4 ayat (3) yang menjelaskan bahwa penguasaan hutan oleh Negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional.

Ø Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan
adat.
11

Ø Pasal 37 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa pemanfaat hutan adat
dilakukan oleh masyarakat hukum adat dan dapat dimanfaatkan sepanjang
tidak mengganggu fungsinya.

Ø Pasal 67 ayat (1) yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat.

Ø Pasal 68 ayat (3) yang menjelaskan bahwa masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan
sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, serta ayat (4) yang menyatakan bahwa setiap orang
berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya
sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

· Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup yang tertuang pada:

Ø Pasal 63 ayat (1) huruf t yang menyatakan Pemerintah berwenang untuk


menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Meskipun pada umumnya perusahaan memang melakukan upaya negosiasi dengan


pemegang hak ulayat, hal ini seringkali jauh dari harga yang sewajarnya sehingga pada
kenyataannya masyarakat adat tidak memiliki pilihan yang jelas apakah ingin menyerahkan
tanah mereka atau tidak. Sejumlah praktik-praktik kecurangan tersebut menunjukkan bahwa
pemerintah gagal melindungi hak konstitusional masyarakat adat Papua. Kurangnya
transparansi membuat masyarakat adat seringkali secara sistematis terpinggirkan dari
kebijakan yang seharusnya menguntungkan mereka.

Permasalahan konversi hutan Papua menjadi lahan perkebunan kelapa sawit juga tak
luput dari perang kepentingan di antara beberapa pihak dari dalam maupun luar negeri di
Papua. Setidaknya isu ini dapat dikategorikan ke dalam isu politik (sejarah integrasi dan
identitas politik Papua), diskriminasi ras dan budaya, kepentingan ekonomi dan eksploitasi
potensi dan kekayaan ekonomi Papua oleh orang non-Papua. Sebagai contoh, Papua dicap
sebagai kekayaan bangsa Indonesia namun masih erat dengan masalah kemiskinan, disparitas
ekonomi dan kesenjangan pembangunan antara daerah Papua dengan daerah-daerah lain di
Indonesia. Di bidang pengelolaan SDA Papua, kebijakan pemerintah dinilai lebih berpihak
pada pebisnis/pemodal besar ketimbang pada masyarakat Papua. Akibatnya dalam kepentingan
bisnis asing, masyarakat Papua seringkali terabaikan, misalnya dalam pengambilan keputusan
menyangkut kepemilikan atas tanah adat, mereka tidak dilibatkan dalam proses dan kontrak
bisnis yang dilakukan, padahal mereka adalah pemilik tanah adat di Papua. Seluruh kekayaan
alam dan perkebunan yang telah diambil keuntungannya, seharusnya merekalah yang paling
berhak menikmati keuntungan-keuntungan tersebut.
12

Analisis Data Responden

Dalam kuesioner terdapat 15 soal yang wajib diisi oleh responden. Adapun target
responden dari kelompok kami adalah mahasiswa ITB dan masyarakat umum, terutama yang
telah masuk ke jenjang perguruan tinggi. Hal ini kami lakukan agar terdapat keberagaman
opini-opini dari berbagai mahasiswa dari perguruan tinggi di Indonesia. Berikut ini adalah
jawaban dari analisis data dari masing-masing soal. Perlu diingat bahwa jawaban yang
diuraikan di bawah ini merupakan jawaban mayoritas yang disaampaikan oleh responden dan
tidak akan diuraikan semuanya karena jumlah responden yang tidak memungkinkan untuk
diuraikan secara keseluruhan.

1. Pada soal ini membahas tentang apakah responden pernah mendengar isu yang kami
bahas. Hasilnya sebanyak 50,9% menjawab tidak, dan 49,1% menjawab ya.

Gambar 3. Diagram mengenai jumlah responden yang telah mendengar isu ini

2. Di bagian ini responden ditanyakan mengenai kapan setidaknya responden pernah


mendengar isu ini untuk pertama kalinya. Hasilnya, sebagian besar baru pertama kali
mendengarkan dan baru tahu akan isu ini, dan beberapa sisa lainnya sudah mengetahui
hal ini sebelumnya.

Gambar 4. Diagram mengenai kapan pertama kalinya responden mendengar isu ini

3. Pada pertanyaan kali ini kami menanyakan bagaimana reaksi responden saat pertama
kali mengetahui isu ini. Hasilnya ternyata mengejutkan, dari 3 pilihan terdapat
persentase jawaban, 34% mencari informasi dari media-media yang relevan dan aktual,
9,4% tidak terlalu peduli tentang hal ini, 56,6% hanya sekedar tahu tanpa mendalami
lebih jauh.
13

Gambar 5. Diagram mengenai reaksi responden saat pertama kali mengetahui isu ini

4. Kemudian di pertanyaan ini kami menanyakan tentang pendapat responden, apakah isu
ini sebaiknya perlu diinvestigasi lebih mendalam atau tidak. Hasilnya, sebanyak 98,1%
menjawab perlu dilakukannya investigasi lebih dalam, 1,9% mengatakan tidak perlu.

Gambar 6. Diagram mengenai pendapat responden terkait investigasi isu ini

5. Di soal ini kami menanyakan responden apakah mereka pernah mendengar tentang
perusahaan Korindo yang berasal dari Korea Selatan. Hasilnya menunjukkan bahwa
84,9% menjawab belum pernah dan 15,1% menjawab sudah mendengar sebelumnya.

Gambar 7. Diagram mengenai jumlah responden yang telah mendengar kata ‘Korindo’

6. Selanjutnya, kami menanyakan apakah responden tetap mengikuti kasus ini atau tidak.
Setidaknya Sebanyak 94,3% menjawab tidak dan 5,7% nya menjawab ya.
14

Gambar 8. Diagram mengenai jumlah responden yang masih mengikuti kasus ini

7. Pada pertanyaan ini kami bertanya tentang apa pendapat responden terhadap isu ini.
Hasilnya adalah bahwa sebagian besar responden setuju agar:
• Perlu diusut dan diinvestigasi lebih lanjut.
• Perlunya ditegakkan hukum seadil-adilnya.
• Merusak keindahan alam beserta ekosistem didalamnya.
• Perlu dilihat lebih lanjut dari berbagai perspektif tidak langsung menyalahkan
perusahaanya.
• Pemerintah harus lebih peduli akan kasus ini.

8. Pada pertanyaan ini kami menguji seberapa kenal responden terhadap hutan hujan
Papua. Hasilnya adalah bahwa sebagian besar responden menegenal hutan Papua
sebagai:
• Hutan yang luas.
• Hutan yang subur.
• Paru-paru dunia.
• Hutan tropis terbesar di Indonesia.
• Memiliki banyak ekosistem didalamnya.

9. Pada pertanyaan ini kami menanyakan apakah hutan Papua layak dikonversi menjadi
lahan perkebunan kelapa sawit atau tidak. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak
58,5% menjawab tidak layak, 37,7% menjawab mungkin, dan 3,8% menjawab layak.

Gambar 9. Diagram mengenai pendapat responden apakah hutan Papua layak dikonversi atau tidak
15

10. Selanjutnya kami menanyakan responden terkait opini mereka mengenai keberhasilan
pemerintah Republik Indonesia dalam mengusut tuntas kasus ini. Hasilnya
menunjukkan bahwa sebanyak 62,3% menjawab mungkin, 26,4% menjawab bisa, dan
11,3% menjawab tidak mungkin.

Gambar 10. Diagram mengenai pendapat responden terkait kemampuan pemerintah mengusut kasus ini secara
tuntas

11. Di bagian pertanyaan ini responden ditanyakan mengenai alasan responden memilih
jawaban yang telah dipilih di soal sebelumnya. Hasilnya adalah karena:
• Kurang kepercayaan terhadap pemerintah.
• Karena fokus pemerintah saat ini adalah Covid-19 dan pembangunan.
• Pemerintah bisa melakukannya karena percaya kepada rakyat dan juga
sebaliknya.
• Karena pemerintah memiliki kekuasaan untuk memperjuangkan hak rakyat.

12. Selanjutnya di pertanyaan ini kami menanyakan pendapat responden mengenai dampak
alam dan sosial yang ditimbulkan apabila hutan Papua dikonversi menjadi lahan
perkebunan sawit. Hasilnya menunjukkan bahwa konversi hutan ke lahan perkebunan
kelapa sawit dapat menyebabkan:
• Ketidakstabilan ekosistem dilingkungan tersebut.
• Kehilangan biodiversitas.
• Kurangnya penghasil oksigen.
• Kenaikan temperatur.
• Kerusakan alam.

13. Berangkat dari Korindo dan isu deforestasi hutan, kini kami ingin meninjau terkait opini
responden mengenai penyebab kasus deforestasi tidak pernah berhenti dan selalu
berlanjut hingga saat ini. Responden percaya bahwa kasus ini disebabkan oleh:
• Karena ketidaktegasan dalam penegakan hukum di Indonesia, terutama terkait
dengan peraturan perundang-undangan tentang kehutanan dan lingkungan
hidup.
• Ketidaktegasan pemerintah dalam aturan yang telah dibuat.
• Komoditas sawit merupakan komoditi yang menjanjikan.
• Kebutuhan ekonomi.
16

14. Kemudian di pertanyaan ini kami ingin meminta solusi yang bisa ditawarkan oleh
responden untuk mengatasi permasalahan karhutla dan lingkungan hidup. Solusi yang
ditawarkan responden adalah:
• Regulasi yang holistik dan mengikat.
• Pemerintah harus lebih tegas dalam menghadapi kasus seperti ini.
• Pembentukan lembaga hukum tersendiri dengan kuasa yang cukup kuat dan
seleksi yang ketat.

15. Di pertanyaan terakhir ini kami juga menyediakan kolom yang berisi kalimat yang ingin
disampaikan oleh responden kepada setiap pihak yang tidak bertanggung jawab
terhadap kerusakan hutan di Indonesia. Hasilnya adalah:
• Semoga cepat sadar akan perbuatannya.
• Terlalu serakah.
• Jagalah lingkungan.
• Mohon untuk dipikirkan lagi tindakannya.

Simpulan

Praktik-praktik pembakaran hutan Papua untuk membuka lahan sangat jelas telah
melanggar pasal-pasal perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Semua bukti mengarah
pada penggunaan api yang secara sistematik telah dilakukan oleh Korindo Group selama
menjalani praktiknya. Investigasi Greenpeace International bersama dengan Forensic
Architecture menemukan temuan kasus dimana Korindo bertanggung jawab terhadap 57.000
hektar hutan Papua atau nyaris seluas Kota Seoul. Hal ini tentunya disebabkan oleh
kesenjangan antara klaim pemerintah dengan kenyataan yang terjadi di Tanah Papua. Adanya
konflik kepentingan antara Korindo dan pemerintah semakin memperlemah perlindungan yang
sungguh-sungguh terhadap hak masyarakat adat. Berkaca dari kasus Korindo Group, tentunya
diperlukan upaya sistematis dengan instrumen hukum dan kebijakan agar kejadian yang sama
tidak terulang kembali. Di samping itu, perlu aksi nyata dari pemerintah pusat hingga daerah
untuk mencabut izin dan memberikan sanksi yang tegas sesuai perundang-undangan kepada
perusahaan manapun yang terbukti melanggar.

Dari hasil penelitian yaitu analisis data kuesoner, dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut.

1) Masyarakat terutama mahasiswa masih baru mengetahui apa itu perusahaan Korindo dan
tindakan-tindakannya yang merusak hutan hujan Papua.
2) Dari reaksi responden saat pertama kali mengetahui isu tersebut, bisa disimpulkan bahwa
responden masih kurang tertarik untuk menggali informasi-informasi dan tidak mendalami
kasus ini lebih jauh lagi setelah mendengar kasus ini untuk pertama kalinya.
3) Mayoritas responden meminta adanya investigasi lebih dalam terkait kasus ini.
4) Responden tidak setuju jika hutan hujan Papua dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa
sawit, serta meminta pemerintah untuk mengusut tuntas kasus ini secara tanggap dan
humanis.
17

5) Sebagian besar responden telah mengetahui dampak yang akan ditimbulkan oleh konversi
hutan hujan Papua.
6) Solusi serta saran yang diberikan dengan baik oleh responden.

Saran

Saran yang ingin penulis sampaikan yaitu, yang pertama dari hasil form yang telah
disebar, dapat ditarik kesimpulan yang nilainya kualitatif dimana kepedulian masyarakat
terhadap isu lingkungan hidup dan kehutanan masih sangat rendah, kita harus menyadari betapa
pentingnya hutan dan kekayaan alam bagi hidup kita, dengan melihat apa dampak positif yang
dibawa oleh hutan tersebut. Dengan itu kita bisa menimbulkan rasa kepedulian terhadap
lingkungan dan hutan di sekitar.
Dari sisi pemerintah, penulis menyarankan agar pemerintah lebih tegas dalam
menegakkan peraturan yang telah dibuat, dan membuat kebijakan yang bertujuan untuk
melindungi kekayaan alam Indonesia. Selain itu pemerintah juga dapat membantu
meningkatkan rasa kepedulian masyarakat terhadap isu-isu tentang pembalakan hutan di
Indonesia saat ini dengan cara mensosialisasikan bagaimana manfaat hutan bagi kehidupan,
dampak buruk jika hutan ditebang untuk keperluan komersial.

Daftar Pustaka

1. UU RI No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan


2. UU RI No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. UU RI No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
4. Peraturan Gubernur Papua No 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Hutan
Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat (HTRMHA)
5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
6. BBC. 2021. Korindo: Lisensi keberlanjutan perusahaan sawit raksasa asal Korsel
dicabut lembaga sertifikasi hutan FSC. URL : https://www.bbc.com/indonesia/dunia-
57830492. Diakses tanggal 18 November 2021
7. Mighty Earth. 2021. Korindo, Perusahaan Kelapa Sawit dan Kayu dikeluarkan dari
Forest Stewardship Council (FSC). URL :
https://www.mightyearth.org/2021/07/15/korindo-perusahaan-kelapa-sawit-dan-kayu-
dikeluarkan-dari-forest-stewardship-council-fsc/#_ftn8 . Diakses tanggal 18 November
2021
8. Sucahyo, N. 2021. Hilang Hutan Adat Karena Ekspansi Sawit di Papua. URL :
https://www.voaindonesia.com/a/hilang-hutan-adat-karena-ekspansi-sawit-di-
papua/5502087.html . Diakses tanggal 21 November 2021
9. Amindoni, A & Henschke, R. 2020. Papua: Investigasi ungkap perusahaan Korsel
'sengaja' membakar lahan untuk perluasan lahan sawit. URL :
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54720759 . Diakses tanggal 21 November
2021
18

10. Walhi. 2019. Usut Tuntas Kekerasan di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Tunas Sawa
Erma, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. URL :
https://www.walhi.or.id/usut-tuntas-kekerasan-di-perkebunan-kelapa-sawit-pt-tunas-
sawa-erma-distrik-jair-kabupaten-boven-digoel-provinsi-papual . Diakses tanggal 21
November 2021
11. Elisabeth, A. 2016. Dimensi Internasional Kasus Papua. LIPI
12. Walhi. 2019. Malapetaka Korindo, Perampasan Tanah & Bank. RAN

Anda mungkin juga menyukai