Anda di halaman 1dari 11

A.

Kasus Kebakaran Hutan Papua

Hutan hujan terluas di Asia yang berada di Papua menghadapi ancaman


serius dari pembukaan lahan demi perluasan kebun kelapa sawit. Perusahaan
Korea bernama Korindo adalah salah satu perusahaan sawit dengan lahan terluas
di pedalaman papua. Mereka telah membuka lebih dari 57.000 hektar hutan diatas
lahan konsensi yang diberikan oleh pemerintah dengan luas setara Kota Seoul.1
Korindo ditengarai melanggar hukum dengan membakar lahan, namun pihak
terkait membantah. Investigasi visual oleh Forensic Architecture menyelidiki
tekait hal tersebut mereka mengatakan: “kami mempunyai foto-foto dan rekaman
video yang menunjukkan api serta kepulan asap muncul dari lahan tersebut.
Namun belum jelas apakah pembakaran tersebut disengaja atau tidak. Berawal
dari bukti visual tersebut kami memulai penelitian kami”. Video udara diambil
oleh Greenpeace Internasional menunjukkan tumpukan kayu bakar berdasarkan
petunjuk visual, peneliti menggunakan sistem geolokasi dan menemukan
kebakaran terjadi di konsensi Korindo. Pola dan arah pembersihan lahan jelas
terlihat. Pola, arah dan kecepatan munculnya titik-titik api sangat sesuai dengan
arah, pola dan kecepatan pembukaan lahan di area konsensi, ini adalah bukti
kebakaran lahan terjadi secara sengaja. Jika kebakaran di konsesi Korindo terjadi
secara alami, kerusakan lahannya tidak akan teratur. Namun, setelah dilacak dari
pergerakan deforestasi dan kebakaran dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa
hal itu jelas terjadi secara berurutan dengan kebakaran yang mengikuti arah
pembukaan lahan dari barat ke timur dan terjadi secara besar-besaran di dalam
batas konsesi Korindo.

Untuk menentukan apakah kebakaran tersebut disengaja atau tidak dengan


aktivitas masyarakat atau terkait perluasan perkebunan, Forensic Architecture

1
Ayomi Amindoni, Rebecca Henschke, Papua: Investigasi ungkap perusahaan Korsel 'sengaja'
membakar lahan untuk perluasan lahan sawit (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
54720759) diakses 29 November 2020
menggunakan citra satelit NASA yang mencakup kurun waktu lima tahun untuk
mengidentifikasi sumber panas dari kebakaran yang terjadi di PT Dongin
Prabhawa, salah satu konsesi Korindo yang berlokasi di Merauke, Papua. Untuk
memastikan bahwa titik panas tersebut adalah api, Forensic Architecture
menggunakan metode analisis terkini untuk mengumpulkan data bersama dengan
rekaman video dari survei udara yang dilakukan oleh juru kampanye Greenpeace
International pada tahun 2013. Tim tersebut menemukan bahwa pola deforestasi
dan kebakaran tersebut menunjukan bahwa pembukaan lahan menggunakan api.2

Pihak Korindo mengatakan bahwa adanya kebakaran hutan terjadi karena


adanya kemarau panjang dan disebabkan oleh warga sekitar yang melakukan
perburuan tikus tanah. Namun warga sekitar area konsensi, di kampong Tagaepe
dan Nakias menururkan hal yang berbeda. Menurut warga: “kebakaran hutan
terjadi bertahun-tahun bermula saat mereka mulai membuka lahan, batang-batang
kayu mereka kumpulkan ditumpuk sampai tinggi, baru mereka siram dengan solar
lalu dibakar. Tahun 2016 baru selesai, langit tertutup asap kalau sedang terjadi
pembukaan lahan”. Area yang dulunya hutan belantara kini berubah menjadi
hamparan kebun kelapa sawit bahan yang banyak digunakan dalam makanan dan
rduka atas kehilangan hutan.

Berbagai fakta lainnya terkait kasus hutan papua:

1. Hutan Papua Salah satu asli hutan Indonesia dengan tingkat


keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan 20.000 spesies tanaman,
602 jenis burung, 125 mamalia, dan 223 reptil.
2. Hutan Papua merupakan salah satu hutan hujan yang tersisa di dunia
dengan keanekaragaman hayati tinggi. Lebih dari 60 persen keragaman
hayati Indonesia, ada di Papua.
3. Perusahaan Korindo telah membuka sekitar 60.000 hektar hutan diatas
lahan konsensi yang diberikan oleh pemerintah dengan luas setara Kota
Seoul. Anak usaha perusahaan Korea Selatan (Korsel), Korindo Group,
menguasai lebih banyak lahan di Papua daripada konglomerasi lainnya.
2
Greenpeace Indonesia, (https://www.greenpeace.org/indonesia/) diakses 29 November 2020
4. Masyarakat adat menerima ganti rugi sebesar RP.100.000 untuk satu
hectare hutan adat mereka.
5. Suku mandobo yang tinggal di pedalaman Papua perlahan kehilangan
hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung
6. Papua adalah rumah bagi hutan hujan terluas di Asia yang dihuni dari 300
kelompok masyarakat adat.
7. Hutan sudah habis tetapi semua tuan dusun tinggal dalam kemiskinan,
seperti belum mendapat hidup yang layak, air bersih dan listrik pun sulit.
8. KLHK menyatakan “Investigasi yang diekspos Greenpeace menyebutkan
bahwa video yang digunakannya itu adalah video tahun 2013”.
9. Greenpeace menyatakan “meski video diambil pada 2013 namun
kebakaran di konsesi Korindo masih terjadi di tahun 2016. Masalah
utamanya terletak pada adanya dugaan pembakaran yang disengaja,
terlepas kapan kebakaran pertama muncul dan di era menteri mana
kawasan hutan dilepaskan, investigasi pelanggaran dan penyelidikan
masih menjadi tanggung jawab menteri saat ini”.

Hutan tak hanya menjadi habitat bagi banyak spesies flora dan fauna, namun
juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat Papua secara
turun temurun. Salah satu suku yang terdampak dari pembukaan hutan dengan
pembakaran disengaja tersebut adalah suku Mandobo dan Malind yang tinggal di
pedalaman Papua. Seiring dengan geliat ekspansi perkebunan kelapa sawit,
semakin banyak hutan adat yang semakin terkikis. Padahal menurut Undang-
undang Perkebunan dan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH), praktik pembakaran untuk pembukaan lahan adalah
tindakan ilegal di Indonesia.

B. Kerusakan Lingkungan Mengenai Kerusakan Hutan

Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak


langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Kebakaran hutan dan lahan
memberikan dampak yang cukup besar bagi kerugian manusia baik materiil
maupun imateriil. Pemerintah telah berupaya keras menyelesaikan permasalahan
ini baik melalui dukungan kebijakan, dukungan kelembagaan, maupun dukungan
pendanaan. Namun realitanya kejadian ini masih berulang sepanjang tahun.
Antara 2015-2019, 4,4 juta hektar lahan telah terbakar di Indonesia. Sekitar
789.600 hektar kawasan ini (18 persen diantaranya) telah berulang kali terbakar.
1,3 juta hektar (30 persen) dari area kebakaran yang dipetakan antara 2015 – 2019
berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas (pulp). Pada tahun 2019, karhutla
tahunan terburuk sejak 2015 yang membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan atau
setara 27 kali luas wilayah DKI Jakarta. 8 dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan
area terbakar terbesar di konsesi mereka dari 2015 hingga 2019, belum menerima
sanksi apapun meskipun kebakaran terjadi dalam beberapa tahun terakhir di dalam
konsesi mereka..3

C. Penegakan Hukum Lingkungan

Studi dan analisa yang dilakukan oleh berbagai pihak mengenai sebab-
sebab lemahnya penerapan peraturan-peraturan mengenai kebakaran hutan dan
lahan pada umumnya memberikan hasil yang sama, yang pada intinya terdiri dari
hal-hal berikut ini:

1. Terlalu banyak peraturan mengenai kebakaran hutan dan lahan yang


pengimplementasiannya tidak dikoordinasikan secara baik. Hal ini disebabkan
karena peraturan-peraturan tersebut disusun dan dikeluarkan pada berbagai tingkat
yang berbeda, mulai dari Presiden sampai berbagai kementrian/departemen
tertentu dan masing-masing provinsi.

2. Selain itu, peraturan-peraturan tersebut seringkali dikeluarkan tanpa atau


dengan kurang memperhatikan peraturan-peraturan lainnya. Kebanyakan
peraturan-peraturan tersebut didokumentasikan dan dikumpulkan secara terpisah
oleh berbagai instansi yang berbeda. Ketidaktahuan akan peraturan-peraturan
yang ada bukan hanya terjadi secara horizontal (antar instansi pemerintah serta

3
Greenpeace Indonesia, Karhutla Dalam Lima TahunTerakhir,
(https://www.greenpeace.org/indonesia/publikasi/44219/karhutla-dalam-lima-tahun-
terakhir/)diakses 29 November 2020
antara instansi pemerintah dan non-pemerintah), melainkan juga terjadi secara
vertikal. Sosialisasi mengenai kebijakan yang dibuat di tingkat nasional ke daerah-
daerah seringkali tidak memadai dan memakan waktu yang cukup lama.

3. Pendekatan yang dilakukan bersifat sektoral dan hanya terfokus pada masalah-
masalah kebakaran hutan dan lahan. Perlu digarisbawahi, bahwa kebakaran hutan
dan lahan merupakan masalah multi dan lintas sektoral.Kebijakan yang dibuat dan
diputuskan harus disinkronisasikan dengan kebijakan-kebijakan di sektor lainnya.
Contoh yang paling mudah adalah kebijakan dalam hal tata-guna lahan. Selama
masyarakat yang tinggal di suatu kawasan dan sejak lama mengelola lahan di
kawasan tersebut tidak memiliki hak dan dengan demikian mempunyai rasa
memiliki atas lahan yang dikelolanya, maka selama itupula segala usaha-usaha
pencegahan dan pemadaman kebakaran di lahan tersebut tidak akan berjalan
dengan baik.

4. Sampai pada beberapa tahun ini, usaha-usaha penanganan kebakaran hutan dan
lahan dilakukan lebih melalui pendekatan pemadaman daripada pencegahan,
termasuk pemberian sanksi dan hukuman sebagai ‘shock therapy’ untuk
mencegah para pelaku pembakaran (dan calon pelaku) untuk melakukan hal
tersebut. Hal ini tercermin pada kurangnya komitmen berbagai pihak yang terlibat
(baik instansi pemerintah, lembaga-lembaga internasional, swasta dan pihak-pihak
lainnya pada tingkat nasional maupun lokal) untuk mengalokasikan sumberdaya
yang tersedia dan melakukan berbagai macam bentuk program dan kegiatan
dalam usaha-usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan (dibandingkan untuk
usaha-usaha pemadaman kebakaran).

5. Besarnya benturan kepentingan dan minat antara berbagai pihak yang terlibat
dalam hal pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam.4

Kegiatan melaksanakan dan menegakkan peraturan tidak hanya menjadi


tanggung jawab pengadilan, melainkan yang paling utama menjadi tanggung

4
Supriyanto, Syarifudin, Ardi, “Analisis Kebijakan Pencegahan Dan Pengendalian Kebakaran
Hutan Dan Lahan Di Provinsi Jambi” Jurnal Pembangunan Berkelanjutan Vol 1 No (1), Universitas
Jambi, hlm 99-100
jawab aparatur pemerintah di bidang lingkungan hidup. Untuk itu tepatlah
pandangan Keith Hawkins dari dua sistem atau strategi yang disebut "compliance"
dengan "conciliatory style" sebagai karakteristiknya dan "sanctioning" dengan
"penal style" karakteristiknya.5 Pendapat Hawkins tersebut diikuti oleh Daud
Silalahi bidang hukum administrasi negara, bidang hukum perdata, dan bidang
hukum pidana. Menurut Siti Sundari Rangkuti,individual, melalui pengawasan
dan penerapan (atau ancaman) sarana administratif, pidana dan perdata. Secara
lebih komprehensifdikemukakan oleh G.A Biezeveld berikut ini:

Environmental law enforcement can be defined as the application of legal


governmental powers to ensure compliance with environmental regulations by
mean of:

a. Administrative supervision of the compliance with environmental regulations


(inspection) (=mainly preventive activity);

b. Administrative measures or sanctions in case of non-compliance (= corrective


activity)

c. Criminal investigation in case offenses (= represif activity);

d. Civil action (law suit) in case of (threatening) non-compliance (=preventive


corrective activity)6

Mencegah dan menanggulangi perusakan dan/atau pencemaran lingkungan titik


upaya preventif dalam rangka pemenuhan peraturan dapat dilakukan melalui
pengawasan dan pembinaan oleh pejabat administrasi negara sedangkan upaya
represif dilakukan melalui pemberian sanksi atau jalur pengadilan untuk
mengakhiri pelanggaran, pemulihan lingkungan, dan ganti rugi kepada korban
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan (aspek hukum administrasi, perdata
dan pidana). penataan terhadap peraturan lingkungan merupakan upaya yang
5
Koesnandi Hardjasoemantri, “Pengantar Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia”, Bahan
Penataran Nasional Hukum Lingkungan, (Eks) Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda (Surabaya: FH
Universitas Airlangga, 9-14 Januari 1995, hlm 1
6
Daud Silalahali, “Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Melalui Pendekatan Kesadaran
Hukum dan Lingkungan”, Orasi Ilmiah, Dies Natalis XXXIV Universitas Padjajaran, (Bandung: 24
september 1991) hlm 1.
utama untuk mencegah terjadinya pelanggaran peraturan dan/atau administrasi
hukum pidana dan hukum perdata. perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan titik penegakan hukum lingkungan bertujuan
untuk penaatan peraturan perundang-undangan ditentukan sehingga tidak terjadi
pencemaran dan/ataukerusakan lingkungan sedangkan penegakan hukum
lingkungan kepidanaan dan kependetaan bertujuan selain untuk pemulihan
lingkungan, juga untuk menghukum pelaku pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan.

D. Faktor Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dan lahan terjadi disebabkan oleh 2 (dua) faktor utama
yaitu faktor alami dan faktor kegiatan manusia yang tidak terkontrol. Faktor alami
antara lain oleh pengaruh El-Nino yang menyebabkan kemarau berkepanjangan
sehingga tanaman menjadi kering. Tanaman kering merupakan bahan bakar
potensial jika terkena percikan api yang berasal dari batubara yang muncul
dipermukaan ataupun dari pembakaran lainnya baik disengaja maupun tidak
disengaja. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kebakaran bawah (ground fire)
dan kebakaran permukaan (surface fire). Faktor kegiatan manusia yang
menyebabkan kebakaran hutan dan lahan antara lain adanya kegiatan pembuatan
api unggun di dalam hutan, namun bara bekas api unggun tersebut tidak
dipadamkan. Adanya kegiatan pembukaan lahan dengan teknik tebang-tebas-
bakar yang tidak terkontrol, biasa dilakukan oleh perusahaan dan peladang
berpindah ataupun menetap. Pembakaran secara disengaja untuk mendapatkan
lapangan penggembalaan atau tempat berburu, membuang puntung rokok yang
menyala secara sembarangan serta akibat penggunaan peralatan/mesin yang
menyebabkan timbulnya api. Dampak negatif pada lingkungan fisik antara lain
meliputi penurunan kualitas udara akibat kepekatan asap yang memperpendek
jarak pandang sehingga mengganggu transportasi, mengubah sifat fisika-kimia
dan biologi tanah, mengubah iklim mikro akibat hilangnya tumbuhan, bahkan dari
segi lingkungan global ikut memberikan andil terjadinya efek rumah kaca.
Dampak pada lingkungan hayati antara lain meliputi menurunnya tingkat
keanekaragaman hayati, terganggunya suksesi alami, terganggunya produksi
bahan organik dan proses dekomposisi.

Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik


perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun
berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama
kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau
permasalahan sebagai berikut:

1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-


pindah.

2. Pembukaan hutan oleh para pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) untuk
insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.

3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan


pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum
adat dan hukum positif negara. 7

Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan


dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena
cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut
umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun
temurun. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan
untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal
yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan
pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah
dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas
pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau
perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para
pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli
yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah
7
Fachmi Rasyid, Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan, Jurnal Lingkar Widyaiswara Edisi 1
No. 4, Tangerang Selatan, hlm 54
dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara.
Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran
demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun.
Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan
masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.

E. Dampak Kebakaran Hutan

Dampak kebakaran yang sangat dirasakan manusia berupa kerugian


ekonomis yaitu hilangnya manfaat dari potensi hutan seperti tegakan pohon hutan
yang biasa digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan
bangunan, bahan makanan, dan obat-obatan, serta satwa untuk memenuhi
kebutuhan akan protein hewani dan rekreasi. Kerugian lainnya berupa kerugian
ekologis yaitu berkurangnya luas wilayah hutan, tidak tersedianya udara bersih
yang dihasilkan vegetasi hutan serta hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata
air dan pencegah terjadinya erosi. Dampak global dari kebakaran hutan dan lahan
yang langsung dirasakan adalah pencemaran udara dari asap yang ditimbulkan
mengakibatkan gangguan pernapasan dan mengganggu aktifitas sehari-hari.
Dampak-dampak akibat kebakaran hutan antara lain sebagai berikut:

1. Dampak pada keanekaragaman hayati

Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati.


Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya
mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka,
sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah
hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai
daerah yang hutannya terbakar. Selama beberapa dekade, hutan-hutan
Dipterocarpaceae di Indonesia sering mengalami kebakaran baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja yang berdampak langsung dengan hilangnya
sejumlah spesies flora dan fauna tertentu. Kehilangan keanekaragaman hayati
secara umum juga berarti bahwa spesies yang memiliki potensi ekonomi dan
sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan
bahan kimia yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang
untuk selamanya. Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis
mungkin mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang berguna.

2. Perubahan Iklim

Oksigen (O2) merupakan gas yang melimpah di atmosfer, dimana hutan


merupakan produsen terbesar yang menghasilkan gas tersebut. Selain itu, hutan
juga membantu menyerap gas rumah kaca yang menjadi penyebab terjadinya
pemanasan global. Itulah sebabnya mengapa ada istilah yang mengatakan bahwa
hutan adalah paru-paru bumi. Pada saat suatu hutan mengalami kerusakan, maka
hal tersebut bisa berakibat terjadinya peningkatan suhu bumi serta perubahan
iklim yang ekstrem. Dengan adanya deforestasi, jumlah karbondioksida (CO2)
yang dilepaskan ke udara akan semakin besar. Kita tahu bahwa karbondioksida
merupakan gas rumah kaca yang paling umum. Menurut Badan Perlindungan
Lingkungan Amerika serikat menyatakan bahwa CO2 menyumbang sekitar 82%
gas rumah kaca di negara tersebut.
3. Terganggunya siklus air

Kita tahu bahwa pohon memiliki peranan yang penting dalam siklus air, yaitu
menyerap curah hujan serta menghasilkan uap air yang nantinya akan dilepaskan
ke atmosfer. Dengan kata lain, semakin sedikit jumlah pohon yang ada di bumi,
maka itu berarti kandungan air di udara yang nantinya akan dikembalikan ke
tanah dalam bentuk hujan juga sedikit. Selain itu, dibidang kesehatan deforestasi
bisa berakibat hilangnya berbagai jenis obat yang biasanya bersumber dari
berbagai jenis spesies hutan.

4. Rusaknya ekosistem darat dan laut

Hutan menjadi habitat bagi berbagai jenis spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Itu berarti bahwa hutan merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang ada
di bumi ini. Kegiatan deforestasi hutan dapat mengakibatkan kerusakan bahkan
kepunahan bagi kekayaan alam tersebut itu sendiri maupun kekayaan alam
lainnya yang ada di tempat lain seperti di laut. Kerusakan hutan yang terjadi akan
membawa akibat terjadinya banjir maupun erosi yang dapat mengangkut partikel-
partikel tanah menuju ke laut yang nantinya akan mengalami proses sedimentasi
atau pengendapan di sana. Hal tersebut tentu saja bisa merusak ekosistem yang
ada di laut, seperti ikan serta terumbu karang.

5. Kerugian Ekonomi

Hutan merupakan salah satu sumber kekayaan alam, sebagian masyarakat


menggantungkan hidup mereka dari hasil hutan. Jika hutan rusak, maka sumber
penghasilan mereka pun juga akan menghilang. Kerusakan hutan bisa
menyebabkan tanah menjadi tandus, sehingga akan sulit dipergunakan untuk
bercocok tanam. Selain itu, kerusakan hutan bisa memicu terjadinya berbagai
macam bencana yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian, baik itu
kerugian material maupun non material. Banyak orang yang kehilangan lahan,
tempat tinggal, maupun anggota keluarga akibat bencana seperti banjir dan tanah
longsor.

Anda mungkin juga menyukai