Anda di halaman 1dari 42

PENGATURAN MEDIASI PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

PENGELOLAAN PERKEBUNAN SAWIT DALAM PERSPEKTIF


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

PROPOSAL TESIS

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Diseminarkan


Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum (M.H.)
Universitas Jambi

M. FAISAL SIREGAR
NIM. P2 B121049

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

JAMBI
2022

1
2

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

PERSETUJUAN PROPOSAL TESIS

Proposal Tesis ini diajukan oleh:

Nama : M. FAISAL SIREGAR


Nomor Induk Mahasiswa : P2 B121049
Program Kekhususan : Hukum Bisnis
Judul : PENGATURAN MEDIASI PENYELESAIAN
SENGKETA BISNIS PENGELOLAAN
PERKEBUNAN SAWIT DALAM
PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI INDONESIA

Telah disetujui oleh Pembimbing pada tanggal seperti tertera di bawah ini untuk
diseminarkan di hadapan Tim Penguji Proposal Tesis Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi

Jambi, September 2022

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dr. H. Umar Hasan, S.H., M.H. Dr. Rosmidah, S.H., M.H.


NIP. 196111151989021001 NIP. 19640812 199001 2 001
A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal

33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan. Pembangunan berkelanjutan, memerlukan suatu instrumen untuk

mengatur (power) guna melaksanakan dan mewujudkan pembangunan

berkelanjutan. Sebab, kecenderungan manusia mempergunakan kesempatan

yang sebesar-besar untuk memanfaatkan sumberdaya alam guna memperoleh

keuntungan tanpa memperhitungkan keberlanjutannya.

Perkebunan sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam

perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan

bertanggung jawab, serta diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan

berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.

Perkebunan berdasarkan Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun

2014 Tentang Perkebunan (yang selanjutnya disebut UU Perkebunan),

diselenggarakan dengan tujuan:

Pasal 2

Perkebunan diselenggarakan berdasarkan asas:


a. kedaulatan;
b. kemandirian;
c. kebermanfaatan;
d. keberlanjutan
e. keterpaduan;
f. kebersamaan;
g. keterbukaan;
h. efisiensi-berkeadilan;
i. kearifan lokal; dan
j. kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 3

1
Penyelenggaraan Perkebunan bertujuan untuk:
a. meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
b. meningkatkan sumber devisa negara;
c. menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha;
d. meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing,
dan pangsa pasar;
e. meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku
industri dalam negeri;
f. memberikan pelindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan
masyarakat;
g. mengelola dan mengembangkan sumber daya Perkebunan secara optimal,
bertanggung jawab, dan lestari; dan
h. meningkatkan pemanfaatan jasa Perkebunan.

Perkebunan kelapa sawit merupakan satu di antara jenis bisnis usaha

perkebunan yang perlu dikembangkan, yang pengembangannya kepada

perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sebagai bagian dari pembangunan

ekonomi ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat,

meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan devisa negara, menyediakan

lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing,

memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, serta

mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Menurut

Supriadi, yang mengemukakan:

… perkebunan sebagai komoditas unggulan dalam rangka


peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan pemasukan
devisa Negara. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya membuat
perencanaan yang matang dalam kaitannya dengan pembangunan
perkebunan ke depan.1

Permentan Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi

Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, peraturan ini mencabut


1
Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, hlm. 574.

2
3

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang

Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian

Sustainable Palm Oil/ISPO), (disingkat: Permentan No.

11/Permentan/OT.140/3/2015), peraturan ini dilengkapi oleh Peraturan

Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia. Kedua peraturan ini merupakan Pedoman

Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable

Palm Oil/ISPO) yang menjadi dasar dalam mendorong usaha perkebunan

kelapa sawit memenuhi kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan,

melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit

berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar.

Dalam tumbuh dan berkembangnya perkebunan kelapa sawit di negara

Indonesia, tidak luput dari adanya permasalahan. Permasalahan tersebut dapat

dikemukakan sebagai berikut:

a. Permasalahan terkait dengan HGU:

1. Batas luas maksimum tanah dengan HGU untuk perusahaan dan

holding company;

2. Perdebatan tentang urgensi perpanjangan HGU dan syarat konsultasi

dalam perpanjangan HGU;

3. Melaksanakan Permenag Nomor 5 Tahun 1999 terkait dengan

pengembalian tanah eks HGU yang berasal dari tanah ulayat kepada

masyarakat hukum adat.


4

4. Perdebatan tentang status tanah negara eks HGU. Ada yang

menyatakan sebagai tanah negara bebas, ada yang mengangap sebagai

prioritas pemegang hak, dan sebagai asset bekas pemegang hak

berdasarkan UU asset.

b. Permasalahan tanah (perkebunan) terlantar:

Tidak ada ketentuan terkait penelantaran tanah perkebunan oleh BUMN.

c. Permasalahan izin lokasi:

1. Koordinasi kewenangan pemberian izin lokasi oleh pemerintah daerah

dengan instansi yang terkait dengan penataan ruang, Kementan,

Kemenhut, dan BPN.

2. Praktik perkebunan telah berlangsung setelah izin lokasi diperoleh

meski HGU belum diproses.

3. Permentan Nomor 26 Tahun 2007 terkait perubahan luasan izin lokasi

untuk perusahaan dari 20.000 hektar (untuk kelompok perusahaan)

menjadi 100.000 hektar per provinsi. Dalam praktik, kelebihan luasan

tanah didasarkan pada sewa tanah. Ini bertentangan dengan UUPA dan

UU No. 56/Prp/1960. Tidak ada harmonisasi peraturan di sektor

perkebunan dan pertanahan.

d. Penguasaan asing di sektor perkebunan:

Perpres No. 77 Tahun 2007 mengenai daftar positif/negatif investasi

memperbolehkan penguasaan 95% saham perusahan perkebunan oleh

pihak asing, untuk usaha kebun seluas 25 hektar atau lebih.

e. Kebijakan inti-plasma/kemitraan:
5

1. Minimnya transparansi informasi harga;

2. Ketiadaan kebijakan terkait dengan lokasi kebun plasma yang tepat

dan menguntungkan petani/masyarakat adat;

3. Ketiadaan kebijakan pencegahan diskriminasi perlakuan terhadap

masyarakat adat/setempat dibandingkan dengan transmigran.

f. Pengakuan hak masyarakat hukum adat:

1. Prosedur pengakuan yang rumit;

2. Ketiadaan ketentuan mengenai objek tanah ulayat (sejenisnya).

3. Tidak adanya pengakuan terhadap tanah adat.

Permasalahan di atas, telah mengemuka dan terus saja terjadi serta

berpeluang menjadi suatu konflik. Menurut Andiko dan Norman Jiwan, yang

mengemukakan:

Sampai dengan Desember 2021 tercatat 663 kasus konflik perkebunan


kelapa sawit.2 Biasanya jumlah tersebut adalah angka tercatat
berdasarkan amatan maupun investigasi lembaga pencatat. Dan oleh
karena itu selalu ada ”the dark number” yang merupakan konflik-
konflik yang tidak teramati atau terinvestigasi sehingga tidak nampak
dalam database. Dengan begitu, jumlah konflik perkebunan kelapa
sawit yang sebenarnya akan lebih banyak dari jumlah 663 kasus.

Terlepas dari jumlah kasus yang tercatat, tidak diragukan bahwa

pembangunan sektor perkebunan khususnya kelapa sawit memunculkan

konflik dalam berbagai wujud antara masyarakat dengan badan-badan usaha

baik milik negara maupun swasta. Situasi tersebut dapat dijelaskan secara

2
Data jumlah konflik akibat operasi perkebunan kelapa sawit ini diolah dari database
konflik Sawit Watch, sebuah jaringan organisasi non-pemerintah dan individu, didirikan tahun
1998, yang prihatin dengan makin meluasnya dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit
terhadap ketidakadilan sosial dan penurunan kualitas lingkungan hidup di Indonesia. Kegiatan
utama Sawit Watch adalah melakukan investigasi kasus dan riset kebijakan; memantau kebijakan,
program dan keuangan nasional dan internasional pada sektor kelapa sawit; kampanye penyadaran
publik; fasilitasi dan pendampingan masyarakat.
6

teori maupun kenyataan di lapangan. Secara teoritis, pembangunan sektor

perkebunan kelapa sawit sangat memerlukan tanah dalam skala mega hektar

sebagai faktor produksi utama, sementara di sisi lain apa yang disebut sebagai

tanah yang langsung dikuasai negara3 tidaklah sebanyak tanah-tanah negara

yang berada dalam penguasaan masyarakat4. Kenyataan inilah yang

menyebabkan tanah-tanah negara yang berada dalam penguasaan masyarakat

pun diincar untuk dijadikan lahan proyek pembangunan perkebunan kelapa

sawit. Dalam situasi itulah konflik-konflik itu bermula yang kemudian

berkembang dengan varian-varian sebab, akibat, maupun dampaknya.

Menurut Andiko dan Norman Jiwan, yang mengemukakan:

Konflik yang mengiringi pembangunan sektor perkebunan kelapa


sawit sangat erat dengan persoalan tanah. Tanah sebagai faktor
produksi utama wajib ada sebelum kebun sawit dibangun. Akan tetapi
tanah yang dibutuhkan oleh usaha perkebunan kenyataannya berada
dalam penguasaan masyarakat, terutama masyarakat adat. Lebih-lebih,
masyarakat adat bukan hanya meyakini dirinya sebagai penguasa
tanah, tetapi sebagai pemilik tanah atas dasar hukum adat yang mereka
jalankan sehari-hari, sehingga cukup kuat untuk dipertahankan
kepenguasaan dan atau kepemilikannya. Namun, karena aturan dan
kebijakan pemerintah mengatakan sebaliknya, bahwa pembangunan
sektor perkebunan kelapa sawit adalah untuk dan demi kepentingan
nasional, tanah-tanah yang dipertahankan oleh masyarakat itu,
dicarikan ’jalan’ melalui sejumlah peraturan dan kebijakan, agar bisa
diambil alih untuk pembangunan kebun sawit. Akibatnya, banyak
tanah-tanah dalam penguasaan dan atau pemilikan masyarakat yang
diambil alih baik melalui cara-cara kekerasan maupun dengan tipu

3
Tanah yang langsung dikuasai negara adalah tanah-tanah yang bebas dari penguasan dan
atau pemilikan perorangan maupun badan hukum. Hanya tanah dengan status tanah yang langsung
dikuasai oleh negera itulah yang dapat dijadikan objek dari pemberian hak guna usaha untuk usaha
perkebunan sawit.
4
Dalam aturan hukum pertanahan Indonesia modern (paska terbitnya UUPA), tanah-tanah
yang berada dalam penguasaan masyarakat dan belum dimohonkan sertifikat hak atas tanah, masih
dikatagorikan sebagai tanah negara. Meski demikian, tanah Negara dalam penguasaan masyarakat
ini mendapatkan perlindungan hukum dan previlege dengan cara diprioritaskan mendapatkan
sertfikat hak atas tanah (tanah milik) bila diajukan oleh masyarakat yang menguasainya.
Perlindungan lain adalah tanah-tanah katagori ini dihargai 80% dari harga tanah berstatus milik,
bila diperlukan oleh Negara untuk kepentingan pembangunan, melalui mekanisme ganti rugi.
7

daya informasi. Berbagai skema kerjasama pun dirumuskan untuk


memudahkan proses pengambi-alihan tanah dari masyarakat, antara
lain skema inti-plasma, koperasi, jual beli, konsolidasi tanah maupun
kompensasi.5

Berdasarkan hal-hal di atas seperti kurangnya nilai-nilai manfaat,

penyelesaian yang tidak tuntas, maupun kerugian-kerugian yang akan terjadi

bagi pihak yang terlibat dalam konflik/sengketa perkebunan kelapa sawit

memunculkan ide untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ini secara win-win

solution, melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR).

Model Alternative Dispute Resolution (ADR) ini secara umum

dikukuhkan di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan demikian, sejak

berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 itu, maka model ADR

sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah dilembagakan dalam

sistem hukum Indonesia. Penyelesaian sengketa tidak lagi hanya dilakukan

melalui pengadilan, ajudikasi, atau litigasi saja, tetapi dapat juga diselesaikan

melalui ADR sepanjang para pihak secara sukarela memilih penyelesaian

sengketa di luar pengadilan, yakni melalui prosedur yang telah disepakati

bersama para pihak, baik itu dengan cara konsultasi (consultation), negosiasi

(negotiation), mediasi (mediation), konsiliasi (consiliation) atau penilaian ahli.

5
Andiko dan Norman Jiwan, Panduan Dasar bagi Aktifis dan Masyarakat
Memahami Dan Memantau Pelaksanaan Peraturan Dan Hukum Oleh Perusahaan
Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, Sawit Watch, Januari 2012, diakses tanggal 07
September 2022.
8

Penyelesaian perselisihan di dalam konflik perkebunan kelapa sawit

yang terbaik adalah melalui perundingan di antara para pihak yang

bersengketa, baik secara langsung maupun dengan menunjuk kuasa

hukumnya, guna menghasilkan kesepakatan bersama yang menguntungkan

kedua belah pihak. Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang

dapat digunakan oleh para pihak di luar pengadilan. Cara ini memberikan

kesempatan kepada para pihak untuk berperan mengambil inisiatif, guna

menyelesaikan sengketa mereka yang dibantu pihak ketiga sebagai mediator.

Prinsip mediasi adalah sama-sama menang (win-win solution), sehingga para

pihak yang terlibat sengketa merasakan tidak adanya pihak menang dan pihak

kalah. Mediasi bukan hanya mempercepat proses penyelesaian sengketa, tetapi

juga menghilangkan dendam dan memperteguh hubungan silaturahmi.

Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi mendapat tempat dari sejumlah

sistem hukum yang ada di Indonesia, yaitu sistem hukum syariah, sistem

hukum adat, dan sistem hukum nasional. Ketiga sistem hukum ini menegaskan

bahwa mediasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa yang mampu

menjaga nilai-nilai kemanusiaan, dan menempatan manusia sebagai makhluk

sosial yang bermartabat.

Bahwa terdapat persoalan hukum berupa ketidakjelasan dan ketidak

tegasan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya ketentuan mediasi yang mengatur

upaya optimalisasi media kaukus dan penegasan sifat persidangan mediasi

yang sebaiknya bersifat tertutup untuk umum.


9

Kekuatan hukum hasil mediasi berupa adanya syarat wajib

pendaftaran pada pengadilan negeri apabila para pihak yang berselisih

mencapai perjanjian bersama dalam mediasi untuk mendapatkan akta bukti

pendaftaran dari Pengadilan Negeri merupakan persoalan hukum berikutnya,

untuk hal ini dirasakan tidak sinkron dengan asas-asas hukum perjanjian,

sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata yang dikenal 4 (empat) asas

yang bersifat universal, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt

servanda, asas itikad baik dan asas konsensualisme. Tiga asas yang pertama,

yakni kebebasan berkontrak, pacta sunt servanda, dan itikad baik dapat

dikemukakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan:

Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku


sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan
itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Asas konsensualisme mengandung arti kemauan yang terdapat pada

Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu “supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu

dipenuhinya empat syarat, yakni kesepakatan mereka yang mengikatkan diri,

kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu pokok persoalan tertentu,

suatu sebab yang tidak terlarang”. Dengan demikian perjanjian yang timbul

pada dasarnya sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok

dan tidak diperlukan sesuatu formalitas untuk menjadikannya sah.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa sejak diberlakukan secara efektif telah

terjadi perubahan paradigma yang mendasar, yakni penyelesaian sengketa


10

telah dibagi dalam 2 (dua) penyelesaian, yaitu di luar pengadilan melalui

mediasi, konsiliasi, dan arbitrase dan di dalam peradilan negeri yang berada

di lingkungan peradilan umum.

Mediasi adalah salah satu bentuk dari ADR (Alternative Dispute

Resolution) yang merupakan proses penyelesaian sengketa di luar Jalur

Pengadilan. Jika dibandingkan dengan proses litigasi (pengadilan), mediasi

memiliki keuntungan:

a. Bersifat luwes, sukarela, cepat, murah, sesuai, kebutuhan, netral,


rahasia, didasari hubungan baik.
b. Memperbaiki komunikasi antara para pihak yang bersengketa.
c. Membantu melepaskan kemarahan terhadap pihak lawan.
d. Meningkatkan kesadaran akan kekuatan dan kelemahan posisi
masing-masing pihak.
e. Mengetahui hal-hal atau isu-isu yang tersembunyi yang terkait
dengan sengketa yang sebelumnya tidak disadari.
f. Mendapatkan ide yang kreatif untuk menyelesaikan sengketa
(Rapat Kerja ABH, 2008).6

Sedangkan kekurangan litigasi jika dibandingkan dengan mediasi

adalah Rapat Kerja ABH:

a. Proses yang berlarut-larut atau lama untuk mendapatkan suatu


putusan yang final dan mengikat.
b. Menimbulkan ketegangan atau rasa permusuhan di antara para
pihak.
c. Kemampuan dan pengetahuan hakim yang terbatas dan bersifat
umum.
d. Tidak dapat dirahasiakan.
e. Kurang mampu mengakomodasikan kepentingan pihak asing.
f. Sistem administrasi dan birokrasi peradilan yang lemah.
g. Putusan hakim mungkin tidak dapat diterima oleh salah satu
pihak karena memihak salah satu pihak atau dirasa tidak adil.7

Dengan demikian terlihat bahwa memang proses mediasi yang

berlangsung di luar pengadilan memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri.


6
http://hukbis.files.wordpress.com / 2022 / 05 / mediasi.ppt.
7
Ibid.
11

Penerapan mediasi ini menjadi lebih diperhatikan lagi semenjak keluarnya

Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan yang kemudian direvisi dengan Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 terakhir direvisi dengan Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan. Ketentuan Pasal 2 yang secara tegas mewajibkan setiap perkara

perdata melewati proses mediasi di pengadilan apabila tidak melalui proses

mediasi maka perkara tersebut batal demi hukum. Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 Tahun 2016 mengatur mediasi dapat dilakukan di semua

tingkat pengadilan sehingga jangkauan upaya mediasi dalam menyelesaikan

sengketa dapat lebih luas dan lebih baik karena mengutamakan perdamaian.

Madjedi Hasan dalam bukunya “Pacta Sunt Servanda”, mengutip

pendapat Grotius, bahwa Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum

Kodrat dengan mengatakan bahwa: janji itu mengikat (pacta sunt servanda)

dan harus memenuhi janji (promissorum implendorum obligati). Falsafah ini

terdapat dalam Syari’at Islam sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-

Maidah Ayat 1, yang artinya: ”wahai orang-orang yang beriman tepatilah

janji-janji itu”, sesungguhnya janji itu akan ditanyakan dan dimintakan

pertanggungjawaban”. Bahwa asas pacta sunt servanda telah diterima sebagai

salah satu prinsip umum dalam perdagangan internasional dan perjanjian

antar negara dimana dalam Pasal 26 Konvensi Wina 23 Mei 1969, bahwa:

“every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed
12

by them in good faith”. Artinya bahwa setiap perjanjian mengikat para pihak

dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa sejak diberlakukan secara efektif telah

terjadi perubahan paradigma yang mendasar, yakni penyelesaian sengketa

telah dibagi dalam 2 (dua) penyelesaian, yaitu di luar pengadilan melalui

mediasi, konsiliasi, dan arbitrase dan di dalam peradilan negeri yang berada

di lingkungan peradilan umum.

Di bidang pertanahan pada umumnya dan bidang perkebunan kelapa

sawit secara khususnya, belum ada suatu peraturan perundang–undangan

yang secara eksplisit memberikan dasar hukum penerapan Alternatif Dispute

Resolution (ADR). Mediasi yang dilaksanakan di pengadilan hingga saat ini

memiliki sejarah landasan yuridis, yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor

1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Hal ini berbeda

dengan mediasi yang dilaksanakan di luar pengadilan yang aturannya kurang

jelas sebagaimana yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan tersebut

di atas, maka penulis tertarik untuk dikaji dalam sebuah penelitian yang

berbentuk proposal tesis dengan judul: “Pengaturan Mediasi Penyelesaian

Sengketa Bisnis Pengelolaan Perkebunan Sawit Dalam Perspektif

Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”.

B. Perumusan Masalah
13

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat

dirumuskan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan mediasi sebagai alternatif penyelesaian

perkebunan kelapa sawit dalam perspektif peraturan perundang-undangan

di Indonesia?

2. Bagaimanakah kekuatan hukum hasil mediasi pada penyelesaian sengketa

perkebunan kelapa sawit menurut peraturan perundang-undangan di

Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk menganalisis dan mengkritisi pengaturan mediasi dalam

penyelesaian sengketa perkebunan kelapa sawit dalam perspektif peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

2. Untuk menganalisis dan mengkritisi kekuatan hukum hasil mediasi pada

penyelesaian sengketa perkebunan kelapa sawit dalam perspektif peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

titik tolak dalam penelitian tentang pengaturan, kedudukan, tata kerja,

produk hukum dan fungsi dari kelembagaan mediasi dan mediator dalam

pengaturan mediasi penyelesaian sengketa bisnis pengelolaan perkebunan

sawit dalam perspektif peraturan perundang-undangan di Indonesia.


14

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan atau masukan dalam mengikuti dan memproses

penyelesaian melalui mediasi oleh mediator bagi para pihak yang terkait

dalam permasalahan perkebunan kelapa sawit.

E. Kerangka Konseptual

Guna mengetahui maksud dan kesamaan pengertian atau pemahaman

tentang beberapa istilah yang terkandung dalam penulisan proposal tesis ini,

maka penulis akan menjelaskan beberapa konsepsi yang terdapat dalam judul

proposal tesis ini antara lain sebagai berikut:

1. Pengaturan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi

pengaturan adalah: “proses, cara, perbuatan mengatur”.8

Maria Farida Indrarti S. berpendapat bahwa:

Pengaturan atau beliau menyebut dengan istilah perundang-


undangan (legislation) diartikan sebagai “suatu proses, cara dan
atau perbuatan mengatur, yaitu proses pembentukan atau proses
membentuk perundang-undangan, peraturan perundang-undangan,
peraturan Negara, atau aturan hukum tertulis baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah dan segala peraturan negara yang
merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.9

Menurut Philipus M Hadjon, et al; pengaturan merupakan:

“perbuatan hukum publik pemerintah yang mengikat secara umum sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

pengaturannya”.10

8
http://kbbi.web.id//atur, tanggal akses 07 September 2022.
9
Sukamto Satoto, Pengaturan dan Fungsi Badan Kepegawaian Negara, Hanggar Kreator,
Jogjakarta, 2004, hlm.2.
10
Ibid.
15

2. Mediasi

Mediasi merupakan suatu proses damai di mana para pihak yang

bersengketa menyerahkan penyelesaiannya pada seseorang atau mediator

yang mengatur pertemuan antara 2 (dua) pihak atau lebih yang

bersengketa untuk mencapai hasil akhir yang adil tanpa membuang biaya

yang terlalu besar akan tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh

para pihak yang bersengketa secara sukarela.11

Syahrizal Abbas sebagaimana dikutip oleh Achmadi Saifudin

bahwa: “memberikan definisi, bahwa mediasi dapat membawa pihak

mencapai kesepakatan tanpa merasa ada pihak yang menang atau kalah

(win-win solution)”.12

3. Penyelesaian Sengketa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan

penyelesaian, yaitu: “proses, cara, perbuatan, menyelesaikan (dalam

berbagai-bagai arti seperti pemberesan, pemecahan)”. 13 Sedangkan

menurut Kamus Hukum, yang dimaksud dengan sengketa, yaitu: “sesuatu

yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang

berselisih, perkara dalam pengadilan”.14

11
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT..Fikahi
Aneska, Jakarta, 2002, hlm.34.
12
Achmad Saifudin, “Efektifitas Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi
Terhadap Peran Mediator Di Pengadilan Agama Sidoarjo”, AL-HUKAMA The Indonesian Journal
of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 02, Desember 2017; ISSN:2089-7480, hlm. 413.
13
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas, Jakarta, 2008, hlm. 1252.
14
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 433.
16

Penyelesaian sengketa ini dimaksudkan sebagai Alternative Dispute

Resolution (ADR). Menurut Sophar Maru Hutagalung yang

mengemukakan:

ADR merupakan kehendak sukarela dari pihak-pihak yang


berkepentingan untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar
pengadilan, dalam arti di luar mekanisme ajudikasi standar
konvensional. Oleh karena itu, meskipun masih berada dalam
lingkup atau sangat erat dengan pengadilan, tetapi masih
menggunakan prosedur judikasi nonstandar, mekanisme tersebut
masih merupakan ADR. Dalam Bab I Ketentuan Umum Undang
Undang Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 1 butir 10, disebutkan bahwa
ADR adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara atau metode
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi atau penilaian ahli.15

4. Perkebunan Kelapa Sawit

Menurut Supriadi, yang mengemukakan:

Perkebunan merupakan suatu andalan komoditas unggulan dalam


menopang pembangunan perekonomian nasional Indonesia, baik
dari sudut pandang pemasukan devisa negara maupun dari sudut
pandang peningkatan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan, dengan cara membuka lapangan kerja yang sangat
terbuka luas.16

Lebih lanjut Supriadi mengemukakan:

Komoditas perkebunan yang sangat mengalami perkembangan


pesat yakni perkebunan kelapa sawit, yang saat ini menggeser
kedudukan perkebunan karet. Pergantian minat membuka
perkebunan karet ke perkebunan sawit dilatar belakangi suatu
pertimbangan dari sektor perekonomian. Pengelolaan perkebunan
karet, hasil panennya membutuhkan waktu yang panjang,
sementara perkebunan kelapa sawit membutuhkan waktu yang
pendek.17

15
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 312.
16
Supriadi, Op. Cit., hlm. 544.
17
Ibid.,
17

Berdasarkan berbagai pengertian di atas maka dapat disebut bahwa

proses damai di mana para pihak yang bersengketa menyerahkan

penyelesaiannya pada seseorang atau mediator yang mengatur pertemuan

antara 2 (dua) pihak atau lebih yang bersengketa untuk mencapai hasil akhir

yang adil sebagai kehendak sukarela dari pihak-pihak yang berkepentingan

untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan, terhadap

permasalahan yang meliputi komoditas perkebunan yang sangat mengalami

perkembangan pesat yakni perkebunan kelapa sawit.

F. Landasan Teoretis

Landasan teori dalam konteks penelitian ini digunakan untuk memberikan

prediksi, hipotesis, dan penjelasan tentang realitas faktual atau fenomena hukum

yang diteliti.18 Kerangka teoritis juga berfungsi sebagai jawaban konseptual untuk

pertanyaan yang akan atau sedang dipelajari, sedangkan jawaban empiris

diperoleh melalui data penelitian.19

Kerangka teori di sini diperlukan sebagai pedoman bagi penulis dalam

penelitian ini adalah untuk memahami gejala hubungan antara orang-orang

(masyarakat) dalam masalah hukum dan makna hubungan tersebut. Makna ini

melibatkan semua keinginan, pemikiran, keyakinan, nilai, niat dan motivasi

partisipan atau partisipan yang terungkap melalui data mining. Semua penelitian

selalu disertai dengan pemikiran teoritis yang dirancang untuk membantu

memahami dan menjawab pertanyaan yang diajukan.

18
Periksa, Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung, 2002,
hlm. 64.
19
Periksa, Ana Nadia Abrar, Terampil Menulis Proposal Penelitian Komunikasi, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 2005, halaman 40.
18

Sehingga dengan demikian, teori-teori akan digunakan untuk meneliti,

mendiskusikan, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Grand Theori

1.1 Teori Negara Hukum

Negara hukum menurut F.R Bothlingk adalah “De taat waarin de

wilsvrijheid van gezagsdragers is beperkt door grenzen van recht”

(negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh

suatu kehendak hukum). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam rangka

merealisasikan pembatasan pemegang kekuasaan tersebut maka

diwujudkan dengan cara, “Enerzijds in een binding van rechter

administatie aan de wet, anderjizds in een begrenzing van de

bevoegdheden van de wetgever”, (disatu sisi keterikatan hakim dan

pemerintah terhadap undang-undang, dan disisi lain pembatasan

kewenangan oleh pembuat undang-undang).20

A. Hamid S. Attamimi dengan mengutip Burkens, mengatakan

bahwa: “negara hukum (rechstaat) secara sederhana adalah negara yang

menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan

penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan

dibawah kekuasaan hukum”.21

Menurut Philipus M. Hadjon, ide rechsstaat cenderung ke arah

positivisme hukum yang membawa konsekuensi bahwa hukum harus


20
Periksa, Ridwan HR, Hukum Administasi Negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2014, hlm. 21.
21
A. Hamid S. Attamimi, “Teori perundang-undangan Indonesia”, makalah pada Pidato
Upacara pengukuhan Guru Besar tetap di Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1992, hlm. 8.
19

dibentuk secara sadar oleh badan pembentuk undang-undang. 22 Dalam

negara hukum segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (evrithing

must be done according to law). Negara hukum menentukan bahwa

pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus

tunduk pada pemerintah.23

Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam

berbagai model seperti rechtsstaat, rule of Law, nomokrasi Islam, dan

beberapa konsep lain, semisal konsep negara hukum Pancasila. 24 Konsep

rechsstaat muncul pada abad ke-19, yang diusung oleh Freidrich Julius

Stahl. Konsep ini mengetengahkan unsur-unsur negara hukum

(rechtsstaat) sebagai berikut:25

1). Perlindungan hak-hak asasi manusia;

2). Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak

itu;

3). Pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan; dan

4). Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Pada medio yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara

hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem

22
Periksa, Philipus M. Hadjon, “Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia”, makalah pada Simposium Politik, Hak Asasi Manusia, dan Pembangunan,
dalam Rangka Dies natalis Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hlm. 6.
23
Periksa, Ridwan HR, Hukum Administasi Negara …. Loc. Cit.
24
Periksa, Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum; Suatu Studi tentang
PrinsipPrinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, Cet-I, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992, hlm. 63.
25
Periksa, Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982, hlm.
57-58. Lihat pula Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya,
Bina Ilmu, 1987, hlm. 76-82.
20

hukum Anglo-Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law

sebagai berikut:26

a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak


adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary
power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau
melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the
law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk
pejabat.
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara
lain oleh undang-undang dasar) serta keputusankeputusan
pengadilan. 27

Sementara itu, negara hukum Pancasila yang diimplementasikan di

Indonesia pada prinsipnya bersumber pada nilai-nilai Pancasila. Oemar

Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri

khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan

sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan

Negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam Negara Hukum

Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau

kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama di Negara Hukum

Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi

ateisme atau propaganda anti agama di Bumi Indonesia.

Hal ini sangat berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang

memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun

dalam arti negatif, sebagaimana dirumuskan oleh Sir Alfred Denning yang

dikutip Seno Adji sebagai berikut, “Freedom of religion means that we are

26
Ibid. hlm.58
27
Lukman Santoso, Negara Hukum dan Demokrasi: Pasang Surut Negara Hukum
Indonesia Pasca Reformasi, Ponorogo, IAIN Po Press, 2016, hlm. 10-14.
21

free to worship or not to worship, to affirm the existence of God or to deny

it, to believe in Cristian religion or any other religion or in none, as we

choose”. Sedangkan di Uni Soviet dan negara-negara liberalis lainnya

“freedom of religion” dimaknai sebagai kebebasan memberikan pula

jaminan konstitusional terhadap propaganda anti agama.

Ciri berikutnya dari Negara Hukum Indonesia menurut Seno Adji

ialah tiada pemisahan yang rigid dan mutlak antara agama dan negara.

Karena agama dan negara berada dalam hubungan yang harmonis.

Keadaan ini berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang menganut

doktrin pemisahan agama dan gereja secara ketat, sebagaimana

dicerminkan oleh kasus Regents Prayer, karena berpegang pada wall of

sparation, maka doa dan praktek keagamaan di sekolah-sekolah dipandang

sebagai sesuatu yang inkonstitusional.28

Padmo Wahyono menelaah Negara Hukum Pancasila dengan

bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945.

Dalam asas kekeluargaan maka yang diutamakan adalah “rakyat banyak,

namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai”. Pasal 33 UUD 1945

mencerminkan secara khas asas kekeluargaan ini. Dalam pasal ini ada

suatu penjelasan bahwa yang penting ialah kemakmuran masyarakat dan

bukan kemakmuran orang seorang, namun orang seorang dapat dibenarkan

sejauh tidak mencederai hajat hidup orang banyak. Maka konsep Negara

Hukum Pancasila harus dilihat dari sudut asas kekeluargaan itu. Artinya,

28
Periksa, Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1980,
hlm. 35-37.
22

untuk dapat memahami bagaimana konsep Negara Hukum Pancasila, perlu

ditelaah bagaimana pengertian negara dan pengertian hukum dilihat dari

sudut asas kekeluargaan itu. Padmo Wahyono memahami hukum adalah

suatu alat atau wahana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau

ketertiban; dan menyelenggarakan kesejahteraan sosial.29

1.2 Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum, secara normatif adalah ketika suatu peraturan

perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur

secara jelas dan logis, maka tidak akan menimbulkan keraguan karena adanya

multitafsir sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian peraturan perundang-

undangan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi

norma. Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah Sistem Norma. Norma

adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen,

dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.

Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-

Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi

individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan

sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-

aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau

29
Periksa, Padmo Wahyono, “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia”, Makalah,
September 1988, halaman 4.
23

melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan

aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.30

Menurut Utrecht kepastian hukum mengandung dua pengertian;

pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena

dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa

saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. 31

Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak

bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-

mata untuk kepastian hukum.32

2. Midle Teori

2.1 Teori Sistem Hukum

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil

tidaknya penegakan hukum tergantung pada sistem hukum yang mencakup

tiga komponen atau sub-sistem, yaitu komponen struktur hukum (struktur

of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal

culture). Secara sederhana, teori Friedmann itu memang sulit dibantah

kebenarannya. Namun, kurang disadari bahwa teori Friedman tersebut

sebenarnya didasarkan atas perspektifnya yang bersifat sosiologis

(sociological jurisprudence). Yang hendak diuraikannya dengan teori tiga


30
Periksa, Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, 2008, Kencana, Jakarta, hlm.
158
31
Periksa, Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, hlm. 23.
32
Periksa, Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm. 82-83
24

sub-sistem struktur, substansi, dan kultur hukum itu tidak lain adalah

bahwa basis semua aspek dalam sistem hukum itu adalah budaya hukum.

Di antara komponen sistem hukum yang dimaksud adalah: 1)

Struktur hukum, menurut Lawrence M. Friedman, “To begin with, the

legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of this

kind: the number and size of courts; their jurisdiction …Strukture also

means how the legislature is organized … what procedures the police

department follow, and so on. Strukture, in way, is a kind of crosss section

of the legal system…a kind of still photograph, with freezes the action.”33

Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan

ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang

mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan

lainnya. 2) Substansi hukum, menurut Lawrence M. Friedman:“Another

aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual

rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system …the

stress here is on living law, not just rules in law books”.34

Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud

dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata

manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang

mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. 3) Kultur

hukum, Friedman berpendapat: “The third component of legal system, of


33
Periksa, Lawrence M. Friedman, American Law, New York: W.W. Norton & Company,
1984, hlm. 5-6.
34
Ibid.
25

legal culture. By this we mean people’s attitudes toward law and legal

system their belief …in other word, is the climinate of social thought and

social force wicch determines how law is used, avoided, or abused”.35

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia

(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan

sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan

aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum

yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat

dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan

secara efektif.

2.2 Teori kemanfaatan Hukum

Kemanfaatan hukum adalah asas yang menyertai asas keadilan dan

kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas kepastian hukum dan asas

keadilan, seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan. Contoh konkret

misalnya, dalam menerapkan ancaman pidana mati kepada seseorang yang

telah melakukan pembunuhan, dapat mempertimbangkan kemanfaatan

penjatuhan hukuman kepada terdakwa sendiri dan masyarakat. Kalau

hukuman mati dianggap lebih bermanfaat bagi masyarakat, hukuman mati

itulah yang dijatuhkan.36

Hukum adalah sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan

untuk mengatur lalulintas perilaku manusia dapat berjalan lancar, tidak

saling tubruk dan berkeadilan. Sebagaimana lazimnya pengetahuan,

35
Ibid.
36
Periksa, Zaenuddin Ali, Hukum Islam, Sinar Grafika, Bandung, 2017, hlm. 46
26

hukum tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus komunikasi

manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya

kemampatan yang disebabkan oleh potensi-potensi negatif yang ada pada

manusia. Sebenarnya hukum itu untuk ditaati. Bagaimanapun juga, tujuan

penetapan hukum adalah untuk menciptakan keadilan.

Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun jelek dan tidak adil.

Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih berlaku, hukum itu

seharusnya diperhatikan dan dipatuhi. Kita tidak bisa membuat hukum

‘yang dianggap tidak adil’. Itu menjadi lebih baik dengan merusak hukum

itu. Semua pelanggaran terhadap hukum itu menjatuhkan penghormatan

pada hukum dan aturan itu sendiri. Kemanfaatan hukum perlu diperhatikan

karena semua orang mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan

penegakan hukum. Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan

keresahan masyarakat. Karena kalau kita berbicara tentang hukum kita

cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-undangan, yang

terkadang aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan

kehidupan masyarakat.

Sesuai dengan prinsip tersebut di atas, saya sangat tertarik

membaca pernyataan Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa: keadilan

memang salah satu nilai utama, tetapi tetap di samping yang lain-lain,

seperti kemanfaatan. Jadi dalam penegakan hukum, perbandingan antara

manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.


27

Sementara itu, Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan: “bahwa bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Mengingat

mineral dan batu bara sebagai kekayaan alam yang terkandung dl dalam

bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya

perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat

sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

Menurut Supancana, penguasaan oleh negara dalam Pasal 33

Undang-Undang Dasar 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi dari

pemilikan secara konsepsi hukum perdata. Hal tersebut sebagaimana

tertuang dalam pendapatnya sebagai berikut: Bahwa dengan memandang

UUD 1945 sebagai sebuah sistem sebagaimana dimaksud, maka

penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian

yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi

hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi

hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang

dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik)

maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat

itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus

pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan

doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian
28

kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik

oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik

publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara

untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya

kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.37

3. Teori Aplikasi

1.1 Teori Tujuan Hukum

Tujuan hukum menurut teori etis ini adalah semata-mata untuk

mencapai keadilan dan memberikan haknya kepada setiap orang.

Sedangkan tujuan hukum menurut teori utilitas adalah untuk memberikan

manfaat atau faedah bagi setiap orang dalam masyarakat. Pada hakikatnya,

tujuan hukum adalah memberikan kebahagiaan atau kenikmatan besar bagi

seseorang atau kelompok dalam suatu masyarakat dalam jumlah yang

besar. Selain itu, ada beberapa pendapat yang meng mengemukakan

tentang beragam tujuan hukum yang berbeda-beda. Mari disimak berikut

ini.

a. Jeremy Bentham (1990), tujuan hukum adalah untuk mencapai

kemanfaatan. Artinya hukum akan dan dapat menjamin kebahagiaan

orang banyak, teori tersebut juga dikenal dengan teori utilitas.


37
Periksa, Supancana, Laporan Tim Analisa Dan Evaluasi Hukum Hak Penguasaan
Negara Terhadap Sumber Daya Alam, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I. Badan
Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2008, hlm. 13
29

b. Aristoteles, tujuan hukum adalah untuk mencapai sebuah keadilan,

artinya memberikan kepada setiap orang atas apa yang sudah menjadi

haknya. Teori itu kini dikenal sebagai teori etis.

c. Immanuel Kant, Tujuan hukum adalah keseleruhan syarat yang bebas

dari orang yang dapat menyesuaikan diri dengan peraturan lain

tentang kemerdekaan.

d. Subekti, Hukum bertujuan untuk menyelenggarakan sebuah keadilan

dan harapan sebagai syarat untuk kebahagiaan dan kemakmuran.

e. Wirjono Prodjodikoro, Mengemukakan tujuan hukum adalah untuk

menjamin keselamatan dan kebahagiaan serta tata tertib dalam

lingkungan masyarakat.

f. Tuan J. Van Kan, Tujuan hukum adalah untuk menjaga kepentingan

manusia agar kepentingannya tidak dapat diganggu. Lebih jelasnya

tujuan hukum itu untuk menjamin kepastian hukum di dalam suatu

masyarakat, juga menjaga dan mencegah agar setiap orang dalam

suatu masyarakat tidak menjadi hakim sendiri.

g. Roscoe Pound, Hukum bertujuan untuk merekayasa masyarakat

artinya hukum sebagai alat perubahan sosial (as a tool of social

engeneering), Intinya adalah hukum disini sebagai sarana atau alat

untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, baik secara

pribadi maupun dalam hidup masyarakat.


30

h. Belleforid, Tujuan hukum adalah menambah kesejahteraan atau

kepentingan umum yaitu kesejahteraan atau kepentingan semua

anggota-anggota suatu masyarakat.

i. Suharjo (Mantan Mentri Kehakiman), Tujuan hukum adalah untuk

mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif

sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang

manusia dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan

yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas

upaya yang sewenang-wenang dan hak secara tidak adil.

Tujuan hukum secara umum adalah untuk mengatur tata tertib

masyarakat secara damai dan adil, untuk menjaga kepentingan setiap

manusia agar kepentingan itu tidak dapat diganggu, selain itu untuk

menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia. Dengan

adanya hukum maka setiap perkara bisa diselesaikan melaui proses

pengadilan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu juga

hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang dalam

suatu masyarakat tidak bisa utama sendiri, karena segala perkara telah ada

ketentuannya dan dapat diserahkan kepada yang berwajib.

1.2 Teori Nilai-Nilai Keadilan

Keadilan hukum menurut L.J Van Apeldoorn tidak boleh

dipandang sama arti dengan penyamarataan, keadilan bukan berarti bahwa

tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. 38 Maksudnya keadilan

38
Periksa, L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. OetaridSadino, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 11
31

menuntut tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi

seseorang belum tentu adil bagi yang lainnya. Tujuan hukum adalah

mengatur pergaulan hidup secara damai jika ia menuju peraturan yang

adil, artinya peraturan di mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-

kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang memperoleh sebanyak

mungkin yang menjadi bagiannya.

Dalam pengertian lain, menurut Satjipto Rahardjo “merumuskan

konsep keadilan bagaimana bisa menciptakan keadilan yang didasarkan

pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban.” Namun

harus juga diperhatikan kesesuaian mekanisme yang digunakan oleh

hukum, dengan membuat dan mengeluarkan peraturan hukum dan

kemudian menerapkan sanksi terhadap para anggota masyarakat

berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu, perbuatan apa saja yang boleh

dan tidak boleh dilakukan yaitu substantif. Namun juga harus dikeluarkan

peraturan yang mengatur tata cara dan tata tertib untuk melaksanakan

peraturan substantif tersebut yaitu bersifat prosedural, misalnya hukum

perdata (substantif) berpasangan dengan hukum acara perdata

(prosedural).39

Dalam mengukur sebuah keadilan, menurut Fence M. Wantu

mengatakan, “adil pada hakikatnya menempatkan sesuatu pada tempatnya

dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang

39
Periksa, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.
77-78
32

didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di

muka hukum (equality before the law).”40

1.3 Teori Penyelesaian sengketa

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) proses.

Proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam

pengadilan. Kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui

kerjasama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan

kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul

kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat

dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif,

dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa.

Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan

yang bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak,

menghindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan

administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam

kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Penyelesaian sengketa di

luar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute

Resolution (ADR).

Ada yang mengatakan kalau Alternative Dispute Resolution (ADR)


ini merupakan siklus gelombang ketiga penyelesaian sengketa
bisnis. Penyelesaian sengketa bisnis pada era globalisasi dengan
ciri “moving quickly” menuntut cara-cara yang “informal
procedure and be put in motion quickly”. Sejak tahun 1980, di
berbagai negara Alternative Dispute Resolution (ADR)
dikembangkan sebagai jalan terobosan alternative atas kelemahan
40
Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam
Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, (Gorontalo) Vol. 12 Nomor 3,
September 2012, hlm. 484
33

penyelesaian litigasi, mengakibatkan terkuras sumber daya, dana,


waktu, pikiran dan tenaga eksekutif, malahan menjerumuskan
usaha kearah kehancuran.41

Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan istilah yang

pertama kali dimunculkan di Amerika Serikat. Konsep ini merupakan

jawaban atas ketidakpuasan (dissatisfaction) yang muncul di masyarakat

Amerika Serikat terhadap sistem pengadilan mereka. Ketidakpuasan

tersebut bersumber pada persoalan-persoalan waktu yang dibutuhkan

sangat lama dan biaya mahal, serta diragukan kemampuannya

menyelesaikan secara memuaskan kasus-kasus yang bersifat rumit.

Kerumitan dapat disebabkan oleh substansi kasus yang sarat


dengan persoalan-persoalan ilmiah (scientifically complicated) atau
dapat juga disebabkan banyaknya serta luasnya stake holder yang
harus terlibat. Pada intinya Alternative Dispute Resolution (ADR)
dikembangkan oleh para praktisi hukum maupun para akademisi
sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses pada
keadilan.42

Proses litigasi merupakan pilihan terakhir menyelesaikan sengketa.

Sebelumnya dilakukan perundingan di antara para pihak yang bersengketa,

baik secara langsung maupun dengan menunjuk kuasa hukumnya, guna

menghasilkan kesepakatan bersama yang menguntungkan kedua belah

pihak. Jika proses perundingan ini tidak menghasilkan kesepakatan, baru

para pihak akan menyerahkan kepada arbitrase atau pengadilan untuk

menyelesaikan atau memutuskannya.

41
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 280-281.
42
Mas Achmad Santosa, Alternative Dispute Resolution (ADR) di Bidang Lingkungan
Hidup, Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation, Jakarta, 1995, hlm.1.
34

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alernatif Penyelesaian Sengketa telah memberikan suatu

harapan baru untuk masyarakat. Bila sebelum berlakunya Undang-Undang

Nomor 30 tahun 1999, sengketa tanah banyak menimbulkan kerugian baik

waktu maupun biaya yang dikeluarkan, maka melalui Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 ini didapatkan solusi yang saling menguntungkan

dan sudah bisa diselesaikan dalam tempo tidak lebih dari 140 hari.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, di samping mengatur


secara panjang lebar tentang arbitrase, memperlihatkan bahwa
sebenarnya undang-undang tersebut juga menekankan kepada
penyelesaian sengketa alternatif berbentuk mediasi (dan pemakaian
tenaga ahli). Bahkan, tidak menutup kemungkinan penyelesaian
sengketa melalui alternatif-alternatif lain.43

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur mengenai

pilihan dalam penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah para pihak

yang bersengketa, di bawah titel “Alternatif Penyelesaian Sengketa”, yang

merupakan terjemahan dari Alternative Dispute Resolution (ADR).

Pengertian Alternative Dispute Resolution (ADR) di sini adalah lembaga

penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang

disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Dengan

demikian, jelaslah yang dimaksud dengan Alternative Dispute Resolution

(ADR) dalam perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 itu suatu

pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan

43
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian sengketa Bisnis, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 3.
35

para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi

di pengadilan.

G. Metode Penelitian

Bahwa metode penelitian dalam proposal tesis ini menggunakan

penelitian khas ilmu hukum yang disebut Penelitian yuridis normatif, dengan

demikian dalam penelitian pengaturan mediasi penyelesaian sengketa bisnis

pengelolaan perkebunan sawit dalam perspektif peraturan perundang-

undangan di Indonesia, metode yang digunakan adalah Metode Penelitian

Yuridis Normatif yang merupakan penelitian khas ilmu hukum, yakni:

1. Tipe Penelitian.

Penelitian hukum normatif dalam proposal tesis ini digunakan tipe

penelitian tentang “Sinkronisasi Hukum” yang diteliti adalah sampai

sejauh mana hukum positif tertulis yang ada serasi dan apakah perundang-

undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling

bertentangan44, yakni dalam hal:

a. Pengaturan mediasi pada penyelesaian sengketa perkebunan kelapa

sawit telah cukup jelas dan tegaskah diatur mengenai kaukus dan sifat

persidangan mediasi termasuk persyaratan mediator selaku pihak yang

berperan dalam mediasi berdasarkan perundang-undangan adakah

sinkron dalam konteks kesempatan yang sama bagi setiap warga

Negara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

44
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006, hlm. 17.
36

b. Kekuatan hukum hasil mediasi berupa perjanjian bersama yang harus

didaftar pada pengadilan negeri adakah memberikan perlindungan

hukum kepada para pihak dan tidakkah sinkron dalam hubungan

kesepakatan yang berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak

sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan proposal tesis ini

adalah menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan

pendekatan perundang-undangan (normative approach), dalam hal ini

istilah konseptual atau konsepsional adalah merupakan hal yang di

mengerti, dalam kerangka konsepsional ini diungkapkan beberapa konsep

yang perlu penulis jelaskan dan uraikan dalam penulisan Tesis ini, yakni

pengaturan dan perspektif, sengketa perkebunan kelapa sawit, pihak-pihak

terlibat sengketa perkebunan kelapa sawit serta mediasi dan mediator.

3. Pengumpulan Bahan Hukum.

Jenis bahan-bahan hukum yang penulis gunakan dalam penulisan proposal

Tesis ini yakni:

a. Bahan Hukum Primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan masalah yang dibahas, yaitu:

1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2). Undang-Undang (KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 39 Tahun

2014 Tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999


37

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

3). Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem

Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia

4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan

5) Permentan Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan

Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu:

1). Buku-Buku Kalangan Hukum.

2). Jurnal dan Makalah Hukum.

c. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, yaitu meliputi Black,s Law Dictionary dan Kamus Hukum.

4. Analisis Bahan Hukum.

Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan analisa hukum

yaitu pengkajian terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder dengan menggunakan analisis bahan

hukum yang dilakukan dengan beberapa cara antara lain yaitu:

a. Menginventarisasi semua aturan-aturan dan norma-norma yang sudah

diidentifikasi berkaitan dengan permasalahan yang penulis teliti, yaitu

berhubungan dengan pengaturan mediasi penyelesaian sengketa bisnis

pengelolaan perkebunan sawit dalam perspektif peraturan perundang-


38

undangan di Indonesia.

b. Mensistematisasi bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan

masalah yang dibahas untuk memaparkan isi dan struktur atau

hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum. Dalam kegiatan

sistematisasi ini, dilakukan analisis korelasi antara aturan-aturan

hukum yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik.

c. Menginterpretasi semua peraturan perundang-undangan ssuai dngan

masalah yang dibahas dengan menghimpun dan mengelola tatanan

aturan yang ada, yang di dalamnya berlangsung interpretasi,

pembentukan dan penjabaran pengertian-pengertian dalam hukum dari

solusi masalah dapat dirancang dan ditawarkan

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap tesis ini, penulis menyusun

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Menguraikan latar belakang permasalahan penelitian dan

pengkajian ini perlu dilakukan serta perumusan masalahnya.

Kemudian diuraikan pula tujuan dan manfaat yang diharapkan,

kerangka konseptual, landasan teoretis, metode penelitian dan

sistematika penulisannya.

Bab II Tinjauan Umum Mengenai Peraturan Perundang-Undangan

Mengenai Usaha Perkebunan, Mediasi Sebagai Alternatif

Penyelesaian Sengketa Perkebunan Kelapa Sawit


39

Menguraikan tentang tinjauan umum mengenai hukum

perkebunan kelapa sawit, mediasi sebagai alternatif penyelesaian

sengketa perkebunan kelapa sawit.

Bab III Pembahasan. Bab ini merupakan pembahasan yang khusus

mengkaji permasalahan yang terdapat pada bab pertama sub

perumusan masalah pertama dengan menggunakan teori-teori

yang ada pada bab kedua. Bab ketiga pembahasan mengenai

pengaturan mediasi dalam penyelesaian sengketa perkebunan

kelapa sawit.

Bab IV Pembahasan. Merupakan pembahasan mengenai kekuatan

hukum hasil mediasi penyelesaian sengketa perkebunan kelapa

sawit menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bab

ini merupakan pembahasan yang khusus mengkaji permasalahan

kedua yang terdapat pada bab pertama dengan menggunakan

teori-teori yang ada pada bab kedua guna mendapatkan atau

memperoleh kesimpulan pada bab kelima.

Bab V Penutup, Berisi kesimpulan sebagai intisari dari hasil penelitian

dan pengkajian yang dilakukan sekaligus sebagai jawaban atas

permasalahan pokok yang dirumuskan dalam penulisan tesis

ini. Di samping itu dikemukakan saran yang perlu dilakukan

berkaitan pengaturan mediasi penyelesaian sengketa bisnis

pengelolaan perkebunan sawit dalam perspektif peraturan

perundang-undangan di Indonesia.
40

Anda mungkin juga menyukai