Anda di halaman 1dari 63

KELOMPOK TIGA

MENERAPKAN PEMUATAN BARANG YANG

AKAN DIANGKUT MELALUI ANGKUTAN

DARAT

Disusun oleh :

1. Aisyah Nur Pratiwi (02)

2. Alma Nur Fadilah (26)

3. Marini Putri Cahaya .M (09)

4. Novita Anggraeni (13)

5. M. Ibnu Hajar .H (25)

6. Wahyu Nur Firdaus (21)

Kelas : XI MATIK

SMK INDUSTRI KREATIF

Jl. Mustikasari Gg. Barin RT.002/003 Bantargebang, Kota Bekasi 17151


Email : smkindustrikreatif@gmail.com Website : www.smkinkreatif.com

Tahun Pelajaran 2020/2021

1
LEMBAR PENGESAH MAKALAH

Telah diperiksa dan dinilai oleh Guru Manajemen Transportasi


SMK INDUSTRI KREATIF

Menyetujui/Mengesahkan :

Yulianawati, S.E, M.Pd


NIP.

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat-Nya berupa kesehatan dan pengetahuan sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas pada mata pelajaran MANAJEMEN
TRANSPORTASI. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk
menambah pengetahuan teman-teman khususnya, serta para pembaca pada
umumnya, dan mudah-mudahan makalah ini bisa dengan mudah dipahami oleh
siapapun yang membacanya.
Dalam proses penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan maupun penyusunan, oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Bekasi, 25 Maret 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi
iii
BAB I. PENGANGKUTAN SECARA UMUM
1.1 Definisi Pengangkutan 1
1.2 Asas-Asas Hukum Pengangkutan 2
BAB II. LANDASAN TEORI
2.1 Kewirausahaan 2
2.2 Produksi 2
2.3 Pemasaran 2
2.4 Distribusi 3
BAB III. PROFIL BADAN USAHA
3.1 Manajemen 4
3.2 Pemasaran 4
3.3 Keunikan Produk 4
3.4 Logo Hungry Help 5
3.5 Makna Logo 5
3.6 Proses Produksi 6
3.7 Anggaran Pengeluaran 7
3.8 Analisa SWOT
8 BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan 9
4.2 Saran 9
4.3 Foto Produk 10

i
BAB I
PENGANGKUTAN SECARA UMUM

1.1 Definisi Pengangkutan

Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang

dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hal ini

unsur-unsur pengangkutan adalah:

1) Ada sesuatu yang diangkut

2) Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutnya

3) Ada tempat yang dapat dilalui alat angkutan

dari pengertian di atas dapat penulis simpulkan

Berdasarkan ulasan tersebut dapat diartikan bahwa

pengangkutan mengandung pengertian suatu proses kegiatan

memuat barang atau mengangkut orang, membawa barang atau

penumpang ke tempat yang lain. Jika dirumuskan dalam suatu

kalimat yang dimaksud angkutan adalah proses kegiatan memuat

barang atau penumpang ke dalam alat tempat pemuatan yang

diangkut ke tempat tujuan dan diturunkan ke tempat yang telah

ditetapkan.

1
Abdulkadir Muhammad mendefinisikan pengangkutan

meliputi tiga dimensi pokok yaitu:

1) Pengangkutan sebagai usaha (business) yakni mempunyai ciri-

ciri sebagai berikut: berdasarkan perjanjian, kegiatan ekonomi di

bidang jasa, berbentuk perusahaan, menggunakan alat

pengangkut mekanik.

2) Pengangkutan sebagai perjanjian yakni pada umumnya bersifat

lisan tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan.

3) Pengangkutan sebagai proses yaitu serangkaian perbuatan mulai

dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa menuju

ke tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau

penurunan di tempat tujuan.

2.2 Asas-Asas Hukum Pengangkutan

Asas-asas hukum pengangkutan merupakan landasan dasar

filosofis yang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Bersifat Publik

1) Asas manfaat, yakni setiap pengangkutan harus dapat memberikan

nilai guna yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, kesejahteraan

rakyat.

2) Asas adil dan merata, yakni penyelenggaraan pengangkutan harus

dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada

segenap lapisan masyarakat, dengan biaya yang terjangkau oleh

2
masyarakat.

3) Asas keseimbangan, yakni pengangkutan harus dengan

keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara

kepentingan pengguna dan penyedia jasa.

b. Bersifat Perdata

1) Asas konsensual, yakni perjanjian pengangkutan tidak harus

dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan para

pihak. Tetapi untuk menyatakan bahwa perjanjian pengangkutan

itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan atau didukung

oleh dokumen angkutan.

2) Asas koordinatif, yakni pihak-pihak dalam pengangkutan

mempunyai kedudukan setara atau sejajar, tidak ada pihak yang

mengatasi atau membawahi yang lain.

3) Asas campuran, yakni perjanjanjian pengangkutan secara umum

merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian

kuasa, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari

pengirim kepada pengangkut.

3
2. Fungsi dan Tujuan Pengangkutan

Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari

suatu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya

guna dan nilai. Disini jelas meningkatnya daya guna dan nilai merupakan

tujuan dari pengangkutan, yang artinya apabila daya guna dan nilai di

tempat yang baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan,

sebab merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si

pedagang/penjual.

Menurut Sri Rejeki Hartono bahwa pada dasarnya pengangkutan

mempunyai dua nilai keguanaan, yaitu:53

a. Kegunaan Tempat (Place Utility)

Dengan adanya pengangkutan berati terjadi perpindahan barang

dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang

bermanfaat, ke tempat lain yang menyebabkan barang tadi

menjadi lebih bermanfaat.

b. Kegunaan Waktu (Time Utility)

Dengan adanya pengangkutan berati dapat dimungkinan

terjadinya suatu perpindahan suatu barang dari suatu tempat ke

tempat lain di mana barang itu lebih diperlukan tepat pada

waktunya.

4
3. Jenis-Jenis Pengangkutan dan Pengaturannya

a. Pengangkutan Darat

Pengangkutan di darat pengaturannya terdapat dalam

Ordonansi Lalu Lintas di Jalan Umum atau Wegverkeersordonnantie

(Lembaran Negara 1933-86). Pada peraturan tersebut memberikan

peraturan-peraturan untuk lalu lintas di jalan umum, yakni

sepertimengenai tanggung jawab pengangkut ditetapkan dalam Pasal

28 ayat (1) bahwa “seorang pemilik atau pengusaha sebuah

kendaraan umum bertanggung jawab untuk tiap kerugian yang

diderita oleh seorang penumpang atau kerusakan pada barang yang

diangkutnya, keculai jika ia dapat membuktikan bahwa kerugian atau

kerusakan itu tidak dapat disebabkan karena kesalahan pengangkut

atau bukan disebabkan oleh orang-orang yang bekerja padanya”.

Dengan demikian setiap kerugian atau kerusakan pada barang yang

ditimbulkan dalam pengangkutan, oleh undang-undang dianggap

sebagai akibat dari kelalaian pihak pengangkut, sehingga

memberikan hak pada penumpang atau pengirim barang untuk

menuntut ganti rugi

4. Subjek dan Objek Hukum dalam Pengangkutan

Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban yang disebut

orang. Orang menurut konsep hukum terdiri atas manusia dan badan

hukum.

Manusia adalah subjek hukum menurut konsep biologis, sebagai

mahluk ciptaan tuhan yang dilengkapi dengan akal, perasaan dan

5
kehendak. Badan hukum adalah subjek hukum menurut konsep yuridis,

sebagai badan ciptaan manusia berdasar pada hukum, memiliki hak dan

kewajiban seperti

manusia.65 Subjek hukum adalah segala sesuatu yang memiliki hak dan

kewajiban dalam lalu lintas hukum. Subjek hukum merupakan peraturan

hukum yang dihubungkan dengan seseorang berdasarkan hak dan

kewajiban dalam lalu lintas hukum.66

Subjek hukum dalam pengangkutan niaga adalah pendukung

kewajiban dan hak dalam hubungan hukum pengangkutan niaga, yaitu

pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan niaga itu sendiri

maupun dalam perjanjian pengangkutannya. Pihak-pihak tersebut adalah

pengangkut, penumpang, pengirim, penerima, ekspeditur, agen perjalanan,

pengusaha bongkar muat, dan pengusaha pergudangan. Subjek hukum

pengangkutan niaga ini dapat berstatus sebagai persekutuan berbadan

hukum, tidak berbadan hukum, maupun perseorangan.67

Subjek hukum pengangkutan atau biasa disebut dengan pihak-

pihak dalam pengangkutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:68

1. Pengangkut adalah pihak yang menyelenggarakan pengangkutan

barang dam/atau penumpang.

2. Penumpang adalah pihak yang menggunakan jasa angkutan dan

berkewajiban membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut.

6
7
pengangkut, dan biaya yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum

pengangkutan niaga, yaitu dapat terpenuhinya kewajiban dan hak para

pihak secara benar, adil, dan bermanfaat.70

Objek hukum pengangkutan tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Barang muatan adalah barang yang sah dilindungi oleh undang-undang.

2. Alat pengangkut adalah alat yang diguanakan untung mengangkut barang

atau penumpang. Alat angkut misalnya seperti kapal, kereta api, bus,

mobil barang, pesawat.

3. Biaya angkutan adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan kepada

pengangkut atas jasanya yang telah mengangkut barang atau penumpang.

8
B. PERJANJIAN PENGANGKUTAN

1. Definisi Perjanjian Pengangkutan

Dalam perspektif hukum perjanjian, pengangkutan merupakan

perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang dan/atau

penumpang dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang kesuatu tempat

tujuan tertentu, dan pihak-pihak pengirim barang dan/atau penumpang

mengikatkan dirinya pula untuk membayar ongkos angkutannya.71

Perjanjian pengangkutan merupakan suatu perjanjian dimana satu

pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang

dari satu tempat ke lain tempat, sedangkan pihak lainnya menyanggupi

membayar ongkosnya.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa pihak dalam

2. Terjadinya Perjanjian Pengangkutan

Terjadinya perjanjian pengangkutan didahului oleh serangkaian

perbuatan penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) yang

dilakukan oleh pengangkut dan pengirim/penumpang secara timbal balik.

Cara terjadinya perjanjian pengangkutan dapat secara langsung antara

penggangkut dan pengirim/penumpang, yakni dengan adanya penawaran

dari salah satu pihak baik pengangkut maupun pengirim/penumpang.

Selain itu dapat secara tidak langsung dengan menggunakan jasa

perantara yaitu ekspeditur atau agen perjalanan.75

Tentang bagaimana terjadinya perjanjian pengangkutan ini tidak

diatur dalam bagian III buku I KUHD, tetapi diatur dalam bagian II buku

9
I KUHD. Mengenai saat kapan perjanjian pengangkutan itu terjadi dan

mengikat pihak-pihak, tidak ada ketentuan dalam undang-undang, yang

ada ialah bahwa pihak mengadakan persetujuan kehendak Pasal 1320

KUHPer yang dibuktikan oleh dokumen angkutan. Melalui dokumen

angkutan tersebut dapat diketahui saat terjadi perjanjian pengangkutan

yakni bedasarkan tempat, tanggal, dan tanda tangan yang tertulis pada

dokumen angkutan.76

Pada angkutan kendaraan umum, karcis penumpang atau surat

angkutan barang merupakan tanda bukti telah terjadinya perjanjian

pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan. Dalam hal biaya

angkutan dibayar terlebih dahulu maka dokumen angkutan berfungsi

sebagai bukti bahwa perjanjian sudah terjadi dan biaya angkutan sudah

dibayar. Dengan demikian perjanjian sudah terjadi dan mengikat sejak

tanggal yang tertera pada dokumen angkutan. Dalam hal biaya angkutan

dibayar kemudian, maka perjanjian sudah terjadi dan mengikat sejak

barang dimuat dalam truk, atau penumpang berada dalam kendaraan

umum.77

75
Ibid., hlm 90.
76
Ibid., hlm 91.
77
Ibid., hlm 92.

1
Setelah perjanjian itu terjadi maka hal yang terpenting adalah

keabsahan suatu perjanjian. Perjanjian dapat dikatan sah apabila telah

memenuhi syarat sah perjanjian. Syarat sah perjanjian tersebut di dalam

sistem hukum Indonesia ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPer. Pasal

1320 KUHPer menentukan adanya 4 syarat sahnya suatu perjanjian,

yaitu:78

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (de toesteming van

degemen die zich verbinden)

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om

eene verbintenis aan te gaan)

3. suatu hal tertentu (een bepald onderwerp)

4. kausa hukum yang halal (eene goorloofde oorzaak)

Kesepakatan merupakan pertemuan atau persesuaian kehendak

antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dapat dikatakan telah

memberikan persetujuannya atau kesepakatannya apabila telah

menghendaki apa yang disepakati.79 Persesuaian kehendak para pihak

dalam perjanjian harus diutarakan dengan pernyataan. Kehendak atau

keinginan yang disimpan dalam hati, tidak dapat diketahui oleh pihak

lain dan karenanya tidak dapat melahirkan kesepakatan.80 Pernyataan

kehendak itu harus disampaikan kepada pihak lawannya, kemudian jika

78
Ridwan Khairandi, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif
Perbandingan, Bagian Pertama, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), hlm 168.
79
Ibid., hlm 168.
80
Firman F. Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju,
2014), hlm
76.
1
pihak lawan menyatakan menerima atau menyetujui kehendak, baru

terjadi kata sepakat.81 Dengan demikian yang akan menjadi tolak ukur

tercapainya persesuaian persesuaian kehendak adalah pernyataan-

pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.82

Syarat sahnya perjanjian yang kedua adalah kecakapan.

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk

melakukan perbuatan hukum. Pada dasarnya setiap orang sepanjang tidak

ditentukan lain oleh undang-undang, dianggap cakap atau mampu

membuat perjanjian.83 Dalam Pasal 1329 KUHPer menyatakan bahwa

setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila

menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Selanjutnya dalam

Pasal 1330 KUHPer menetukan siapa saja yang tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian, yaitu:84

1. orang yang belum dewasa (anak diibawah umur);

2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan

undang-undang.

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal

tertentu. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu. Objek tertentu

dalam perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi terdiri atas

81
Ridwan Khairandi, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif
Perbandingan, Bagian Pertama, op. cit., hlm 169.
82
Firman F. Adonara, op. cit., hlm 76.
83
Ibid., hlm 84.
84
Ridwan Khairandi, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif
Perbandingan, Bagian Pertama, op. cit., hlm 176.

1
memberikan sesuatu, berbuat sesuati, atau tidak berbuat sesuatu. Prestasi

harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan.85

Syarat sah keempat adalah kausa hukum yang halah. Kausa yang

halal adalah kausa hukum yang tidak bertentangan degan peraturan

perudang-undangan, ketertiban umum, atau kesusilaan. Jika objek dalam

suatu perjanjian adalah illegal atau bertentangan dengan kesusilaan, atau

bertentangan dengan ketertiban umum, maka perjanjian tersebut tidak sah

dan menjadi batal.86

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena

kedua syarat tersebut yakni kesepakatan dan kecakapan adalah mengenai

subjek dari perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat

objektif, karena syarat suatu hal tertentu dan kausa hukum yang halal

adalah mengenai objek dari perjanjian.87 Apabila syarat pertama dan

syarat kedua tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan

pada pengadilan, tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan dan

tidak membatalkannya maka perjanjian tersebut tetap dianggap sah

mengikat para pihak. Adapun jika syarat ketiga dan keempat tidak

dipenuhi oleh para pihak maka perjanjian tersebut batal demi hukum,

artinya perjanjian tersebut dianggap tidak ada dari awal.88

85
Ibid., hlm 186.
86
Ibid., hlm 186.
87
Mariam Darus Badrulzaman, et. al., Kompilasi Hukum Perikatan,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm 73.
88
Firman F. Adonara, op. cit., hlm 87.

1
3. Dokumen dalam Pengangkutan

Pada dasarnya dokumen pengangkutan terbentuk karena adanya

perjanjian pengangkutan. Meskipun perjanjian pengangkutan itu sendiri

tidak mengharuskan dalam bentuk tertulis (dokumen angkutan), namun

dalam praktik perjanjian pengangkutan selalu dibuat dalam bentuk

tertulis, yaitu dokumen angkutan.89 Dokumen angkutan dibagi menjadi

dua jenis yaitu:

a. Dokumen angkutan penumpang yang disebut karcis penumpang

untuk angkutan darat dan perairan, tiket penumpang untuk

angkutan udara dan angkutan laut.

b. Dokumen angkutan barang yang disebut surat angkutan barang

untuk angkutan darat, dokumen muatan (konosemen) untuk

angkutan laut dan perairan darat, surat muatan udara dan tiket

bagasi untuk angkutan udara.

Pengaturan mengenai dokumen angkutan secara umum tidak

tercantum di dalam KUHD. Dalam KUHD terdapat aturan mengenai

dokumen angkutan untuk pengangkutan laut yang tercantum pada pasal

454 KUHD tentang perjanjian charter kapal, pasal 504 dan 506 KUHD

tentang konosemen, serta Pasal 90 KUHD tentang dokumen dalam

perjanjian pengangkutan darat yang disebut surat muatan.

89
H. M. Hudi Asrori S., Mengenal Hukum Pengangkutan Udara, (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2010), hlm. 41.
1
Pada Pasal 90 KUHD ditentukan bahwa surat angkutan merupakan

perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dan pengangkut atau nakhoda.

Sebenarnya tanpa surat angkutan suatu perjanjian telah terjadi apabila

tercapai persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, sehingga surat

angkutan hanya merupakan surat bukti saja mengenai adanya perjanjian

angkutan. Surat angkutan dinyatakan telah mengikat bukan hanya ketika

dokumen/surat angkutan tersebut telah ditandatangani pengirim atau

ekspeditur, melainkan juga ketika pengangkut/nakhoda telah menerima

barang angkutan beserta dokumen/surat angkutan tersebut.90

4. Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan

Untuk mengetahui kapan dan dimana perjanjian pengangkutan

berakhir perlu dibedakan dua keadaan yaitu:91

1) Keadaan dimana proses pengangkutan berjalan dengan lancar dan

selamat, maka perbuatan yang dijadikan ukuran berakhirnya

perjanjian pengangkutan adalah pada saat penyerahan dan

pembayaran biaya angkutan di tempat tujuan yang disepakati.

2) Keadaan dimana terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian,

maka perbuatan yang dijadikan ukuran berakhirnya perjanjian

pengangkutan adalah pada saat pemberesan kewajiban membayar

ganti kerugian.

90
Sution Usman Adji, et. al., op. cit., hlm. 16.
1
91
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, op.
cit., hlm 107

1
Berakhirnya perjanjian pengangkutan tidak sama dengan

berakhirnya pengangkutan, hal ini tergangtung dari isi kesepakatan yang

ditulis dalam surat muatan. Pengertian tempat tujuan tidak selalu sama

dengan terminal, stasiun, pelabuhan laut, dan bandara.92 Dalam perjanjian

pengangkutan memungkinkan tempat tujuan bukan hanya pada tempat-

tempat tersebut, tetapi ada tempat lain yang disepakati sebagai tempat

tujuan pengangkutan, sehingga tujuan tersebut yang menjadi ukuran

berakhirnya perjanjian pengangkutan.

5. Perjanjian Dalam Hukum Islam

Perjanjian dalam bahasa arab disebut dengan akad. Akad atau al-

‘akd secara bahasa berarti al-rabth atau ikatan atau mengikat. Al-rabth

adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan

salah satu pada yang lainnya sehingga keduanya saling bersambung dan

menjadi seperti seutas tali yang satu.93

Dalam Al-Quran terdapat beberapa surat yang menjelaskan

mengenai akad atau janji yaitu antara lain sebagai berikut; QS. Al-Maidah

ayat 1 “Hai orang-orang yang beriman penuhilah aqad (perjanjian atau

perikatan) di antara kamu”. Selain itu dalam QS. Ali Imran ayat 76 “Ya,

siapa saja menepati janjinya dan takut kepada Allah, sesungguhnya Allah

mengasihi orang-orang yang taqwa”.

92
Ibid., hlm 108.
93
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002), hlm 75.

1
Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh

syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Ijab dalam

definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan kehendak melakukan

perikatan oleh satu pihak yang biasanya disebut sebagai pihak pertama.

Qabul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan kehendak

pihak lain (pihak kedua) untuk menyetujui atau menerima pernyataan

ijab.94 Akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut

dengan tasharruf. Tasharruf adalah segala yang keluar dari seseorang

manusia dengan kehendaknya dan sesuai syara’, yang menetapkan

beberapa

haknya.95 Tasharruf terbagi dua yaitu sebagi berikut:96

1. Tasharruf fi’li adalah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga

dan badanya, selain lidah. Misalnya memanfaatkan tanah yang

tandus, menerima barang dalam jual beli.

2. Tasharruf qauli adalah tasharruf yang keluar dari lidah manusia.

Tasharruf qauli terbagi dua yaitu aqdi dan bukan aqdi. Aqdi

merupakan pernyataan dan bukan aqdi merupakan perwujudannya.

Setelah diketahui bahwa akad adalah suatu perbuatan yang sengaja

dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing,

maka timbil bagi kedua belah pihak haq dan iltijam yang diwujudkan oleh

akad. Akad memiliki beberapa rukun akad. Terdapat perbedaan pandangan

94
Ibid., hlm 76-77.
95
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cetakan Kesembilan (Jakarta: PT.

1
RajaGrafindo Persada, 2014), hlm 43.
96
Ibid., hlm 43-44.

1
di kalangan fuqaha berkenaan dengan rukum akad. Secara umunya rukun

akad adalah sebagai berikut: 97

1. Aqid adalah orang yang berakad.

2. Ma’qud adalah benda-benda yang diakadkan, seperti benda

yang dijual belikan dalam akad jual beli.

3. Maudhu al aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad.

4. Shighat al aqd adalah ijab dan qabul

C. PENGANGKUTAN BARANG MELALUI ANGKUTAN DARAT

1. Definisi Pengangkutan Barang

Pengangkutan (barang) adalah proses pemindahan barang dari

tempat pengiriman ke tempat tujuan. Dengan demikian, terdapat tiga

komponen dasar dalam pengangkutan barang yaitu: Pengirim, Jasa angkut

(alat angkutan), dan Penerima. Pengangkutan sebagai sebuah proses atau

kegiatan memerlukan alat angkutan untuk mengangkut barang atau

penumpang, atau membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan

ke tempat tujuan dan menurunkan barang atau penumpang dari alat

pengangkutan ke tempat yang ditentukan.98

Angkutan barang bersifat atau berurusan dengan benda, dimana

pengirim menyerahkan suatu benda ke pengangkut, yang akhirnya si

pengangkut itulah yang bertanggung jawab. Jadi dapat dikatakan bahwa

hal ini bersifat pasif. Sebaliknya pada perjanian pengangkutan orang, tidak

ada

97
Ibid., hlm 46.
2
98
Zainal Asikin, op. cit. hlm 154.

2
penyerahan subjek hukum itu kepada pengangkut. Mereka memiliki

kehendak sendiri dan mampu untuk bergerak sendiri.99

2. Jenis Angkutan di Darat

Dalam kegiatan pengangkutan barang melalui darat, terdapat dua

jenis pengangkutan, yakni melalui pengangkutan jalan raya dan

pengangkutan kereta api.

a. Pengangkutan Jalan Raya

Pasal 137 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 menyatakan bahwa

“angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan kendaraan

bermotor dan tidak bermotor. Berdasarkan pasal tersebut dapat

dikatakan bahwa pengangkutan barang melalui jalan raya dapat

dilakukan mengunakan kendaraan bermotor dan tidak bermotor.

Kendaraan bermotor dan tidak bermotor tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1) Kendaraan Bermotor

Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh

peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di

atas rel.100 Kendaraan bermotor umum adalah setiap kendaraan

yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan

dipungut biaya. Dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada

Pasal 47 Ayat (2), kendaraan bermotor terbagi atas:

99
Sution Usman Adji, et. al., op. cit., hlm. 80.

5
Lihat Pasal 1 Angka (8) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
100

Angkutan Jalan.

5
a) Sepeda motor

Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua

dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta

samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-

rumah.101

b) Mobil penumpang

Mobil penumpang adalah kendaraan bermotor angkutan

orang yang memiliki tempat duduk maksimal delapan orang,

termasuk untuk pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari

3500 kilogram.102

c) Mobil bus

Mobil bus adalah kendaraan bermotor angkutan orang

yang memiliki tempat duduk lebih dari delapan orang, termasuk

untuk pengemudi atau yang beratnya lebih dari 3.500

kilogram.103

d) Mobil barang

Mobil barang adalah kendaraan bermotor yang

dirancang sebagian atau seluruhnya untuk mengangkut

barang.104

Lihat Pasal 1 Angka (20) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
101

Angkutan Jalan.
5
102
Lihat Pasal 1 Angka (10) PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
103
Lihat Pasal 1 Angka (11) PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
104
Lihat Pasal 1 Angka (12) PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.

5
e) Kendaraan khusus

Kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor yang

dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun

tertentu, antara lain: 105

- Kendaraan bermotor Tentara Nasional Indonesia.

- Kendaraan bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia.

- Alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin gilas

(stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane.

- Kendaraan khusus penyandang cacat.

2) Kendaraan tidak Bermotor

Kendaraan tidak bermotor adalah setiap kendaraan yang

digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.106

b. Pengangkutan Kereta Api

Telah diketahui bahwa kereta api dapat mengangkut orang dan

barang. Pengangkutan barang dengan kereta api itu dapat dilakukan

dengan beberapa jenis pengangkutan yakni:107

1) Pengangkutan barang kiriman : barang-barang yang beratnya tidak

lebih dari 50 kg akan diangkut sebagai barang kiriman, kecuali

apabila pengirim menghendakin lain.

105
Lihat Penjelasan Pasal 47 Ayat (2) huruf e UU No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
106
Lihat Pasal 1 Angka (9) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Linta dan
5
Angkutan Jalan.
107
H.M.N Purowsujipto, op. cit., hlm 77-78.

5
3) Pengangkutan barang muatan : barang-barang yang beratnya lebih

dari 500kg atau barang-barang lain yang diminta pengirim agar

barangnya dikirim sebagai barang muatan.

4) Pengangkutan barang kilat : barang-barang yang diinginkan agar

dapat dikirim dengan cepat, pelaksanaannya lebih cepat daripada

pengangkutan sebagai barang kiriman atau barang muatan.

5) Pengangkutan barang sebagai bagasi : barang-barang keperluan

dalam perjalanan, kalau tidak bisa dibawa sebagai barang bawaan

maka harus dibagasikan dan disimpan dalam gerbong bagasi.

Pemilik barang bagasi harus memiliki surat bukti bagasi.

Saat ini berdasarkan Undang-Undang Perkeretaapian yakni UU

No. 23 Tahun 2007, pengangkutan barang dengan kereta api dilakukan

dengan gerbong atau kereta bagasi. Angkutan barang tersebut terdiri

dari barang umum, barang khusus, bahan berbahaya dan beracun,

limbah bahan berbahaya dan beracun.108 Dalam kegiatan

pengangkutan barang dengan kereta api, penyelenggara sarana

perkeretaapian berwenang untuk:

a) memeriksa kesesuaian barang dengan surat angkutan barang;

b) menolak barang angkutan yang tidak sesuai dengan surat

angkutan barang; dan

5
Lihat Pasal 139 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2007 tentang
108

Perkeretaapian.

5
c) melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila barang yang

akan diangkut merupakan barang terlarang.

3. Para Pihak dalam Pengangkutan Barang di Darat

a. Pengangkut

Pihak pengangkut dalam perjanjian pengangkutan barang yakni

pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan, barang

dan berhak atas penerimaan pembayaran tarif angkutan sesuai yang

telah diperjanjikan.109 Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri

untuk menyelenggarakan pengangkutan barang. Singkatnya,

pengangkut adalah penyelenggara pengangkutan niaga.110 Pihak

pengangkut adalah sebagai pihak yang bertugas dan berkewajiban

mengangkut dan yang bertanggung jawab terhadap semua kerugian

yang diderita dalam pengangkutan barang.111

Pengangkut pada pengangkutan darat adalah perusahaan

pengangkutan umum yang mendapat izin operasi dari pemerintah

menggunakan kendaraan umum dengan memungut bayaran.112

Kegiatan Pengangkutan barang dilakukan dengan menggunakan

kendaraan bermotor yang khusus mengangkut barang, kendaraan

bermotor khusus

109
Zainal Asikin, op. cit. hlm 163

5
110
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit. hlm 46.
111
Achmad Insani, Hukum Dagang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1984), hlm.
407.
112
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Cetakan ke IV, op.
cit., hlm 64.

5
mengangkut barang yang dimaksud adalah kendaraan bermotor umum

yakni seperti truk dan truk gandeng.113

b. Pengirim

Pengirim adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Jika

kita lihat dalam KUHD tidak mengatur definisi pengirim secara umum.

Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan,

pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar

pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh

pelayanan pengangkutan barang dari pengangkut. Dalam bahasa

inggris pengirim disebut consigner, khusus pada pengangkutan

perairan pengirim disebut shipper.114

Status pengirim dapat sebagai pemilik barang, dalam

perdagangan pemilik barang juga berfungsi sebagai penjual (ekportir).

Pemilik barang dapat berupa manusia pribadi atau badan hukum yang

menjalankan perusahaan. Pemilik barang yang berstatus penjual dalam

perdagangan dapat berupa badan hukum atau persekutuan bukan badan

hukum, akan tetapi penjual yang berstatus sebagai eksportir dapat

dipastikan sebagai badan hukum. Status eksportir ini lebih dikenal

dalam perdagangan internasional. 115

113
Ibid., hlm 64.
114
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, op.
5
cit. hlm 35.
115
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit. hlm 49-50.

6
c. Penerima

Penerima barang dalam kerangka perjanjian pengangkutan

tidak menjadi para pihak. Penerima merupakan pihak ketiga yang

berkepentingan atas penyerahan barang.116 Pihak penerima barang

yakni sama dengan pihak pengirim dalam hal pihak pengirim dan

penerima merupakan subjek yang berbeda. Namun adakalanya pihak

pengirim barang juga adalah sebagai pihak yang menerima barang

yang diangkut di tempat tujuan. Dalam perjanjian pengangkutan,

penerima mungkin pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang

berkepentingan.117 Ada beberapa pendapapat mengenai kedudukan

penerima: 118

1) Penerima sebagai pihak ketiga yang berkepentingan

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1317 KUHPer.

2) Penerima sebagai cessionaris (orang yang menerima cessie)

yakni secara diam-diam mengenai hak menagih pengirim

terhadap pengangkut.

3) Penerima sebagai pemegang kuasa atau penyelenggara urusan

si pengirim

5
116
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang, op. cit., hlm 376.
117
Zainal Asikin, op. cit., hlm 164.
118
H.M.N Purwosujipto, op. cit., hlm 5-6.

5
4. Penyerahan Barang Muatan

Penyerahan barang yang dimaksud adalah meliputi dua jenis

penyerahan yang merupakan perwujudan dari suatu perjanjian

pengangkutan, yaitu sebagai berikut:119

a. Penyerahan barang dari pengirim kepada pengangkut untuk diangkut

ke tempat tujuan yang ditentukan dalam dokumen pengangkutan

barang.

Konsep penyerahan barang ini terjadi antara pengirim dengan

pengangkut. Dalam konsep ini terdapat hubungan hukum dimana

pengirim berstatus sebagai pemilik barang yang bertujuan agar

barang miliknya diangkut dan diserahkkan kepada penerima yang

ditunjuk dalam dokumen pengangkutan. Penerima dalam hal ini dapat

berstatus pengirim sendiri sebagai pemilik barang atau orang lain

yang bertindak atas nama pengirim. Pada posisi tersebut pengirim

hanya memanfaatkan jasa pengangkutan guna memindahkan barang

miliknya dari suatu tempat ke tempat lain. Jadi pihak-pihak dalam

perjanjian pengangkutan pada konsep penyerahan barang ini adalah

pengirim dan pengangkut.

b. Penyerahan barang muatan dari pengangkut kepada penerima untuk

mengakhiri proses pengangkutan di tempat tujuan yang ditentukan

dalam dokumen pengangkutan.

119
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, laut, dan Udara,

5
op. cit., hlm 223- 224.

6
Konsep penyerahan barang muatan ini terjadi antara

pengangkut dan penerima dengan tujuan untuk mengakhiri proses

pengangkutan di tempat tujuan yang telah disepakati dalam

perjanjian pengangkutan. Dalam konsep ini terdapat hubungan

hukum dimana pengangkut berstatus sebagai penyedia jasa

pengangkutan baik untuk kepentingan pengirim maupun kepentingan

penerima. Penerima yang ditunjuk dalam dokumen pengangkutan

tidak sama statusya dengan pengirim. Hubungan hukum antara

pengirim dan penerima biasanya didasari perjanjian jual beli atau

kontrak perdagangan lain yang merupakan perjanjian utamanya,

sedangkan perjanjian pengangkutan hanyalah sebagai perjanjian

pelengkap.

D. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Pengangkutan Barang

Hubungan hukum adalah suatu wewenang yang dimiliki oleh

seseorang sehingga dapat menguasai sesuatu dari orang lain, dan kewajiban

dari orang lain untuk berperilaku sesuai dengan wewenang yang ada. Isi dari

wewenang dan kewajiban tersebut ditentukan oleh hukum.120 Hubungan

hukum adalah hubungan kewajiban dan hak secara bertimbal balik, yang

timbul karena dilakukannya peristiwa hukum berupa perbuatan, kejadian, atau

keadaan. Peristiwa hukum tersebut dapat berasal dari perjanjian atau ketentuan

undang- undang.121

61
5
120
Neng Yani Nurhayani, op. cit., hlm 75.
121
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit. hlm 107.

62
5
Hubungan hukum dalam pengangkutan adalah hubungan hak dan

kewajiban secara timbal balik yang timbul karena adanya perbuatan, keadaan,

atau kejadian dalam proses pengangkutan. Hak dan kewajiban yang dimaksud

dalam kegiatan pengangkutan adalah hak dan kewajiban para pihaknya yakni

hak dan kewajiban pengangkut, pengirim, maupun penerima. Dalam

perjanjian pengangkutan, pada umumnya hak dan kewajiban para pihak telah

dirumuskan dalam perjanjian yang mereka buat. Namun dalam praktik, hak

dan kewajiban para pihak biasanya tertulis pada dokumen angkutan. Apabila

dalam dokumen angkutan tidak dirumuskan, maka yang diikuti adalah

ketentuan yang ada pada undang-undang pengangkutan terkait. Namun jika

dalam undang-undang pengangkutan juga tidak dapat ditemukan, maka

mengikuti kebiasaan umum dalam pengangkutan.122

1. Hak dan Kewajiban Pengangkut

Pengangkut sebagai pihak dalam kegiatan pengangkutan umumnya

memiliki hak untuk mendapatkan bayaran dari pengirim atas kegiatan

angkutan yang dilaksanakannya, juga termasuk haknya untuk menuntut

pemenuhan pembayaran apabila pengirim belum melaksanakan

sepenuhnya kewajibannya. Pengangkut juga berhak untuk menolak

mengangkut barang yang diserahkan kepadanya, misalanya barang yang

diminta untuk diangkut adalah barang berbahaya atau termasuk sebagai

barang yang dilarang menurut undang-undang. Penolakan oleh pengangkut

harus beralasan yang jelas, karena jika alasan penolakan tidak jelas maka

penolakan pengangkut

6
122
Ibid., hlm 107-108

6
tersebut sudah merupakan wanprestasi. Dengan perjanjian yang dibuat

pengangkut dengan pengirim maka pengangkut mengikatkan diri untuk

mengangkut muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya

menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima serta menjaga

keselamatan barang muatan tersebut.123

Dalam Pasal 91 KUHD dinyatakan bahwa pengangkut

berkewajiban mengangkut barang-barang yang diserahkan kepadanya ke

tempat tujuan yang telah ditentukan. Selain itu, pengangkut juga

berkewajiban menyerahkan kepada penerima tepat pada waktunya dan

dalam keadaan seperti pada waktu diterimanya barang tersebut.124

2. Hak dan Kewajiban Pengirim

Pengirim yang juga merupakan pihak dalam pengangkutan berhak

untuk mendapatkan pelayanan pengangkutan barang oleh pengangkut

yakni diangkut barang-barangnya ke tempat tujuan yang ditentukan. Hak

lain yang dimiliki pengirim adalah menuntut ganti rugi apabila terjadi

kehilangan atau kerusakan terhadap barangnya selama dalam

pengangkutan tersebut. Selain hak, pengirim juga merupakan pihak yang

menyandang kewajiban. Kewajiban pengirim adalah membayar biaya

angkutan kepada pengangkut atas dilaksanakannya angkutan barang milik

pengirim. Namun dalam praktek, terkadang pembayaran ini dilakukan di

tempat tujuan yakni penerimalah yang akan membayarnya, hal ini sesuai

dengan pasal 491

6
123
H.M.N Purwosujipto, op. cit., hlm 4.
124
Lihat Pasal 91 KUHD

6
KUHD, kewajiban membayar uang angkutan ada pada penerima, setelah

barang-barang diterimanya. Terkait metode pembayaran ini dapat

diperjanjikan sebelumnya sesuai kesepakan para pihak. Selain kewajiban

tersebut, pengirim juga berkewajiban untuk memberikan informasi atau

keterangan yang benar dalam dokumen angutan terkait barang yang

dikirimnya.

3. Hak dan Kewajiban Penerima

Menurut pasal 1317 ayat (2) KUHPer, sejak penerima menyatakan

kehendaknya untuk menerima barang-brang yang dikirim oleh pengirim,

maka sejak saat itulah penerima mulai mendapatkan haknya sesuai dengan

janji khusus dalam perjanjian pengangkutan yang dibuat oleh pengirim

dengan pengangkut. Pada saat penerima mulai mendapatkan haknya maka

pengirim tidak berwenang lagi mengubah tujuan pengirimannya.125

Kewajiban penerima akan timbul setelah penerima mendapatkan

haknya untuk menerima barang angkutan, oleh karena itu penerima adalah

sebagai pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan. Akibatnya

berlakulah ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pengangkutan, misalnya

kewajiban membayar biaya angkutan, kecuali diperjanjikan lain dalam

perjanjian pengangutannya.126

125
Ibid., hlm 6
6
126
Ibid., hlm 6

6
E. TANGGUNG JAWAB DALAM PENGANGKUTAN BARANG

1. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab dalam Pengangkutan

Titik sentral setiap pembahasan mengenai tanggung jawab

pengangkut pada umumnya adalah tentang prinsip tanggung jawab

(Liability Principle) yang diterapkan. Penggunaan suatu prinsip tanggung

jawab tertentu bergantung kepada keadaan tertentu, baik ditinjau secara

makro (sesuai dengan perkembangan masyarakat), maupun ditinjau secara

mikro (sesuai dengan perkembangan dunia angkutan yang bersangkutan,

baik darat, laut, atau udara). 127

Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) prinsip atau teori mengenai tanggung

jawab yang dikenal, ialah: prinsip tanggung jawab berdasarkan atas

adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle),

prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption

of liability principle), prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability,

absolute atau strict liability principle). 128

Cara membedakan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut pada

dasarnya diletakkan pada masalah pembuktian, yaitu mengenai ada

tidaknya kewajiban pembuktian, dan kepada siapa beban pembuktian

dibebankan dalam proses penuntutan.129

127
E. Saefullah Wiradipradja, op. cit., hlm 19.
128
Ibid., hlm 19.
6
129
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, op. cit., hlm 184-185.

6
a. Prinsip Tanggung Jawab berdasarkan Kesalahan (Liability based

on Fault Principle)

Menurut sejarahnya, tanggung jawab berdasarkan kesalahan

pada mulanya dikenal dalam kebudayaan Babylonia kuno. Dalam

bentuknya yang lebih moderen, prinsip ini dikenal pada tahap awal

pertumbuhan hukum Romawi termasuk dalam doktrin “culpa” dalam

lex aquila. Lex aquila menentukan bahwa kerugian baik disengaja

ataupun tidak harus selalu diberikan santunan.130

Menurut prinsip ini, setiap pengangkut yang melakukan

kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung

jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya

itu. Pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan kesalahan

pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan,

bukan pada pengangkut.131

Dalam prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan,

pembuktian kesalahan tergugat harus dilakukan oleh penggugat (yang

dirugikan). Sebagai contoh prinsip ini di Indonesia dianut dalam

pasal 1365 KUHPerdata,132 yakni bunyinya adalah tiap perbuatan

melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain,

mewajibkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.133 Pasal ini

mengharuskan

130
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, op. cit., hlm
377-378.
131
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hlm 37.
6
132
Toto T. Suriaatmadja, op. cit., hlm 25.
133
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., hlm 346.

6
pemenuhan unsur-unsur untuk menjadikan suatu perbuatan melanggar

hukum dapat dituntut ganti rugi, yaitu:134

1) Adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat.

2) Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya

3) Adanya kerugian yang diderita akibat kesalahan tersebut

Menurut Pasal 1367 KItab Undang-Undang Hukum Perdata,

tanggung jawab hukum kepada seseorang yang menderita kerugian

tidak hanya terkait akibat perbuatan perusahaan pengangkutan itu

sendiri, melainkan juga terhadap perbuatan karyawan, pegawai,

agen, dan perwakilannya apabila menimbulkan kerugian pada orang

lain. Tanggung jawab atas dasar kesalahan harus memenuhi unsur-

unsur adanya kesalahan, ada suatu kerugian dan kerugian tersebut

berhubungan dengan kesalahan, beban pembuktiannya dibebankan

pada korban, namun pada dasarnya kedudukan para pihaknya sama

yakni dalam arti dapat saling membuktikan.135

b. Prinsip Tanggung Jawab berdasarkan Praduga (Presumption of

Liability Principle)

Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung

jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang

diselenggarakan. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa

ia

134
Toto T. Suriaatmadja, loc. cit.
6
135
H.K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional
dan Nasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 11.

6
tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti

kerugian. Yang dimaksud dengan “tidak bersalah” adalah tidak

melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk

menghindari kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu

tidak mungkin dihindari.136

Pada dasarnya prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga

adalah juga prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan

(liability based on fault), tetapi dengan pembalikan beban

pembuktian (omkering van de bewijslaast, shifting of the burden of

proof) kepada pihak tergugat.137 Perbedaan yang utama antara prinsip

tanggung jawab yang didasarkan semata-mata pada adanya unsur

kesalahan dan “presumption of liability” adalah bahwa di dalam

prinsip yang kedua beban pembuktian beralih dari penggugat

(korban) kepada tergugat (pengangkut).138 Pengangkut harus

membuktikan sebaliknya atas gugatan penggugat, yakni

membuktikan bahwa pengangkut tidak bersalah.

Unsur-unsur dari tanggung jawab atas dasar praduga adalah

sebagai berikut:139

1) beban pembuktiannnya terbalik yakni yang harus

membuktikan adalah pengangkut,

136
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hlm 28.
137
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, op. cit., hlm 188.
138
E. Saefullah Wiradipradja, op. cit., hlm 30.
139
H.K. Martono dan Agus Pramono, op. cit., hlm 14.

7
2) tanggung jawab terbatas yakni yang dibebankan pada

pengangkut hanya sejumlah yang diatur dalam konvensi

internasional atau pertauran perundang-undangan yang

berlaku,

3) adanya perlindungan hukum bagi perusahaan pengangkutan

yakni bebas bertanggung jawab apabila dapat membuktukan

bahwa pihkanya tidak bersalah,

4) Pihak pengirim atau penumpang juga dapat ikut bersalah

apabila pengangkut dapat membuktikannya sehingga

tanggung jawab tidak sepenuhnya ada pada pengangkut,

5) tanggung jawab tidak terbatas yakni tanggung jawab yang

terbatas dapat menjadi tidak terbatas apabila pengirim atau

penumpang dapat membuktikan bahwa kesalahan yang

dilakukan oleh pengangkut adalah kesalahan yang disengaja.

c. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Liability Principle)

Di dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability atau

absolute liability) tergugat atau pengangkut selalu bertanggung jawab

tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa

yang bersalah.140 Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur

kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas

dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan

kerugian itu. Prinsip ini dapat dirumuskan dengan kalimat:

140
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, op. cit., hlm
7
382-383.

7
“pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul

karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan

ini”.141 Terkait prinsip tanggung jawab mutlak ini biasa disebut

(absolute liability) dan (strict liability). Kedua istilah tersebut

beberapa pakar ada yang membedakannya,

tetapi ada juga yang mempersamakannya.

Menurut Bin Cheng sebagaimana yang dikutip oleh E. Saefullah,

meskipun baik secara teoritis maupun praktis sulit mengadakan

pembedaan yang tegas di antara kedua istilah tersebut, namun Bin

Cheng menunjukan adanya perbedaan pokok antara kedua

istilah tersebut.

Pada “strict liability” terdapat hubungan kausalitas antara

orang yang benar-benar bertanggung jawab dengan kerugian. Semua

hal yang biasanya dapat membebaskan tanggung jawab tetap diakui

kecuali hal-hal yang mengarah pada pernyataan tidak bersalah.

Sedangkan “absolute liability” akan timbul kapan saja keadaan yang

menimbulkan tanggung jawab tersebut ada tanpa mempermasalahkan

oleh siapa atau bagaimana terjadinya kerugian tersebut. 142 Dengan

demikian dalam absolute liability tidak diperlukan hubungan

kausalitas dan hal-hal yang dapat membebaskan dari tanggung jawab

hanya yang dinyatakan secara tegas dalam perundang-undangan.143

141
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, op. cit., hlm 41.

7
142
E. Saefullah Wiradipradja, op. cit., hlm 37.
143
Toto T. Suriaatmadja, op. cit., hlm 30.

7
2. Tanggung Jawab Pengangkut

Menurut ajaran hukum yang berlaku pada sistem Common Law

maupun sistem Continental Law, perusahaan pengangkutan sebagai

perusahaan yang menyediakan jasa transportasi umum harus bertanggung

jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim

barang. Perusahaan transportasi umum tidak hanya bertanggung jawab

atas perbuatannya sendiri, melainkan juga bertanggung jawab atas

perbuatan yang diakibatkan oleh karyawan, pegawai, agen, atau

perwakilannya, atau orang yang bertindak untuk dan atas nama

perusahaan tersebut.144

Pengangkut merupakan penyelenggara pengangkutan barang mulai

dari tempat pemuatan sampai tempat tujuan dengan selamat. Ada dua

kemungkinan yang akan terjadi apabila barang yang dikirm tidak selamat

yaitu barang sampai pada tujuan dalam keadaan musnah atau barang

sampai pada tujuan dalam keadaan rusak. Barang musnah artinya barang

telah terbakar, tenggelam, atau dicuri. Barang rusak artinya meskipun

barangnya ada tetapi barang tersebut tidak dapat digunakan sebagai

mestinya. Keadaan tidak selamat ini menjadi tanggung jawab pengangkut

sehingga harus memberikan ganti rugi atas barang yang musnah atau

rusak. Hal tersebut dikecualikan apabila kerugian tersebut terjadi atas

sebab-sebab seperti cacat pada barang itu sendiri, karena kesalahan atau

kelalaian pengirim sendiri, keadaan memaksa.145

7
144
H.K. Martono dan Eka Budi Tjahjono, op. cit., hlm 167

7
7

Anda mungkin juga menyukai