Anda di halaman 1dari 6

Kajian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999

tentang Pers

Nama

Univ

Abstrak

Undang-Undang yang ada di Indonesia hampir seluruh pelaksanaannya diatur dan dijalankan
oleh pemerintah, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 199 tentang Pers (selanjutnya disebut
dengan UU Pers) ini merupakan satu-satunya Undang-Undang di Indonesia yang sama sekali
tidak memberikan ruang pemerintah untuk andil dalam masalah pengelolaan kemerdekaan pers.
UU Pers dilahirkan dari latar belakang reformasi yang menutup peluang “peraturan pemerintah”
sebagai jabatan pelaksanaan Undang-Undang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengangkat sejarah lahirnya UU Pers, perkembangannya hingga beberapa kekurangan dan
kelebihan yang dimiliki UU Pers. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis historis.
Hasil dari penelitian ini adalah munculnya kebebasan pers di Indonesia setelah berakhirnya Orde
Baru pada tahun 1998 dan munculnya Pasal 28F UUD 1945. Sejarah perkembangan UU Pers
dilatarbelakangi oleh perasaan traumatik masyarakat pers yang begitu mendalam terhadap
kooptasi, intervensi dan bahkan pemasungan oleh pemerintah kepada pers.

Kata Kunci : Pers, Sejarah, UU Pers

A. Pendahuluan

UU Pers merupakan salah satu Undang-Undang yang paling unik dalam sejarah
Indonesia. Dilatarbelakangi dengan semangat reformasi, Undang-Undang ini sama sekali tidak
memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk ikut campur dalam masalah pengelolaan
kemerdekaan pers. Inilah satu-satunya Undang-Undang yang tidak memberikan peluang
munculnya “peraturan pemerintah” sebagai jabaran pelaksanaan Undang-Undang. Padahal
hampir seluruh Undang-Undang untuk pelaksanaannya diatur oleh peraturan pemerintah.
Perasaan traumatik masyarakat pers yang begitu mendalam dan panjang terhadap kooptasi,
intervensi dan bahkan pemasungan oleh pemerintah kepada pers sebelumnya, membuat para
perancang Undang-Undang ini tegas memilih “politik hukum” sekurangkurangnya lima :

1) Pemerintah tidak boleh turut campur tangan sama sekali dalam pengelolaan kemerdekaan
pers. Oleh karena itu pintu pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan
di bidang pers ditutup rapat-rapat.
2) Kemerdekaan pers merupakan hak-hak asasi warga negara yang harus dilindungi dan
karena itu tidak boleh diatur dengan peraturan-peraturan yang tidak cocok dengan “roh”
kemerdekaan pers. Untuk itu tidak lagi diperlukan izin khusus dalam mendirikan
perusahaan pers.
3) Diterapkan ketentuan “self regulation” atau mengatur diri sendiri. Kepada masyarakat
pers diberikan kewenangan untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan kebutuhan. Dengan
difasilitasi oleh Dewan Pers, masyarakat pers dapat membuat peraturan-peraturan di
bidang pers.
4) Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menjadi mahkota dalam profesi wartawan, sehingga
wartawan wajib memiliki dan tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik.
5) Undang-Undang Pers merupakan lex primaat atau lex priviil atau Undang-Undang yang
diutamakan dalam bidang pers, sepanjang telah diatur atau ada dalam mekanisme di
dalam Undang-Undang Pers.

“Politik hukum” terhadap kemerdekaan pers seperti ini langsung membalikan keadaan
pers Indonesia dari pers yang diatur secara represif menjadi pers yang diatur secara demokratis.
Dari pers yang tersentralisasikan di kota-kota besar menjadi pers yang memiliki sebaran ke
daerah-daerah. Dari pers yang “malumalu kucing” menjadi pers “seganas harimau.” Undang-
Undang Pers benar-benar mampu mentransformasikan kedalam pers yang sebelumnya serba
kelam menjadi pers yang sangat terbuka dengan segala kemungkinan.

Undang-Undang ini walaupun bukan lagi bernama “ undangundang pokok” ternyata


isinya masihlah tetap merupakan pengaturan pokok-pokok. Tidak disebutnya Undang-Undang
ini sebagai Undang-Undang pokok, karena dikhawatirkan kelak kalau disebut Undang-Undang
pokok, pihak pemerintah (yang manapun) merasa pelaksanaannya harus dengan campur tangan
pemerintah melalui berbagai perangkatnya seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri dan
seterusnya. Tentu saja hal seperti itu membuka peluang untuk pemerintah merongrong kembali
kemerdekaan pers. Oleh sebab itu, kemungkinan ini harus ditutup rapat-rapat dalam Undang-
Undang, sehinggga tidak dipakai nama Undang-Undang pokok.

Memang sebagai produk Undang-Undang yang dibuat dengan rentang waktu yang sangat
cepat dan lebih mengutamakan semangat, perlindungan dan kepentingan publik, haruslah diakui,
Undang-Undang ini bukanlah sesuatu yang sempurna benar. Disanasini masih mengandung
ketidakjelasan, kalau tidak mau dikatakan kelemahan. Hal ini menimbulkan perdebatan,
bagaimana dari sebagian ketentuan dari Undang-Undang Pers ini harus dilaksanakan. Tetapi
setelah dilaksanakan sepuluh tahun, terungkap pula Undangundang Pers memiliki dua sifat:
Undang-Undang Pers dalam posisi diam atau statis dan Undang-Undang Pers dalam posisi
dinamis. Undang-Undang Pers dalam posisi diam ialah Undang-Undang Pers yang belum
dijalankan. Undang-Undang Pers dalam posisi ini memang terlihat mengandung berbagai
kelemahan. Misalnya, bagaimana melaksanakan hak jawab, apa makna perlindungan hukum
terhadap pers, sistem pertanggungjawaban hukum apa yang dipakai dan siapa yang harus
melaksanakan law inforcementnya dan sebagainya.

B. Sejarah UU Pers Indonesia

1
Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998  dan
munculnya Pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua. Pasal tersebut berbunyi, ”setiap
orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran  yang
tersedia.”

Pers berperan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Sebagai konsekuensinya,


melalui pers rakyat berhak mengetahui informasi yang berkaitan dengan publik atau rakyat. Hal
ini akan menciptakan keterbukaan pada pemerintahan sekaligus dimungkinkan adanya alternatif
pemikiran, saran, kritik dan pengawasan kepada pemerintah dan para pihak yang terkait yang
berujung pada terciptanya tatanan bernegara dan berbangsa yang demokratis.
1
Jakob Oetama, Kebebasan Pers dalam Masyarakat Transisi, makalah disampaikan dalam diskusi Kebebasan Pers
dalam Masyarakat Transisi, 7 Agustus 2000, di Jakarta, hal 3.
Kelahiran Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sangat cepat, bahkan super
cepat sehingga tercatat sebagai salah satu pembahasan sebuah Undang-Undang tercepat di
Indonesia, yaitu hanya dua minggu. Mulai dibahas pertama kali 20 Agustus 1999, Undang-
Undang selesai dibahas dan disetujui 13 September 1999. Kemudian tanggal 23 September 1999
disahkan sebagai Undang-Undang dan pada hari itu juga sudah diundang pada Lembaran Negara
Tahun 1999 No. 1666. Bahkan menurut Muhammad Yunus Yosfiah, yang kala itu menjadi
menteri penerangan dan memimpin pembahasan proses pembuatan Undang-Undang ini dari
pihak pemerintah, sebenarnya waktu yang efektif untuk pembahasan RUU hanyalah sepuluh hari
saja.

Undang-Undang ini merupakan hasil dari usul pemerintah. Semula Undang-Undang No.
40 Tahun 1999 tentang Pers hanyalah salah satu dari materi muatan Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang Media Massa, yaitu materi muatan tentang penyiaran, perfilman dan pers. Tetapi
karena penggabungan itu dinilai tidak tepat, akhirnya ketiga materi muatan dalam RUU tentang
Media Massa dipisahkan satu persatu dan diajukan ke DPR secara terpisah menjadi tiga
Rancangan Undang-Undang (RUU), yaitu RUU tentang Pers, RUU tentang Penyiaran dan RUU
tentang Perfilman. Ketiga RUU itu sekarang sudah menjadi Undang-Undang, tetapi RUU
tentang Pers yang paling dulu diajukan dan disahkan sebagai Undang-Undang.

C. Kelemahan dan Kelebihan UU Pers

Undang-Undang Pers bukan saja merupakan “anak dari reformasi,” tetapi juga sekaligus
melahirkan arah pers yang merdeka, yang kemudian menjaga proses demokrasi itu sendiri di
Indonesia. Dalam pergaulan seharihari sering disebut Undang-Undang Pers, merupakan salah
satu peninggalan reformasi yang masih paling “berharga dan murni.” Disebut paling berharga
karena dengan kehadiran Undang-Undang Pers, sampai kini partisipasi publik dalam menjaga
demokrasi melalui pers masih terus berlangsung. Bahkan sebuah survei di tahun 2011 menyebut,
justru lembaga pers sebagai lembaga yang paling dipercaya oleh masyarakat, jauh di atas
lembaga-lembaga resmi negara lainnya. Ini menunjukan, terlepas dari celah kelemahan-
kelemahan yang terus terang memang terdapat dalam Undang-Undang Pers, Undangundang Pers
sendiri memberikan makna penting dalam perjalanan sejarah Indonesia mutahir.
Undang-undang Pers disebut “murni” karena sejak kelahirannya sampai kini, undang-
undang ini belum “dirasuki” atau dipengaruhi lagi oleh unsur unsur setelah reformasi yang
sebagian justru bertentangan dengan cita-cita kelahiran reformasi. Dengan kata lain, Undang-
undang Pers masih murni produk reformasi dan masih mengandung semangat reformasi.

Salah seorang anggota tim yang mewakili pihak pemerintah, G. Sihombing, yang waktu
itu berasal dari biro hukum Departemen Penerangan, mengakui terus terang pembuatan Undang-
undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers memang disusun sangat terburuDengan alasan itu,
menurut G. Sihombing, Undang-undang No. 40 tahun 1999 mengandung berbagai kelemahan,
yaitu tidak lengkap dan terdapat beberapa rumusan ketentuan yang multi tafsir yang menyalahi
teori legal drafting.2

Pengaturan soal hak koreksi dan kewajiban koreksi yang diatur dalam UU No. 40 tahun
1999 tentang Pers dapat dinilai memiliki kelemahan, yakni tidak memiliki sanksi hukum. Artinya
apabila pers melanggar atau tidak mematuhi hak koreksi dan kewajiban koreksi, tidak dapat
dikenakan sanksi hukum apapun. Inilah yang biasanya di dalam hukum disebut bersifat
deklaratif. Maksudnya suatu masalah diatur dalam hukum tetapi apabila tidak dipatuhi atau
dilanggar, pers tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Padahal jika sudah diatur dalam suatu
kewajiban hukum (perundang-undangan) jika dilanggar mestinya dapat dikenakan sanksi hukum.
Itulah sebabnya seringkali pengaturan hak koreksi dan kewajiban koreksi dipandang
mengandung kelemahan.

Kehadiran Undang-undang Pers yang mampu menjadikan benteng perlindungan


kemerdekaan pers dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menunjukan betapa pentingnya
kedudukan dan peranan Undang-undang Pers. Itulah sebabnya pemahaman terhadap undang-
undang ini, paling tidak dasar-dasarnya, menjadi sesuatu yang bukan saja perlu, tetapi juga
penting.

Walaupun Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengandung berbagai


kekurangan dan masalah, tetapi dalam kenyataan undang-undang ini masih efektif untuk
mendukung kemerdekaan pers. Di balik berbagai kekurangan dan masalah yang ada dalam

2
G. Sihombing, Beberapa Cacatan Mengenai Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, makalah di Forum
Peninjauan Kembali Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, 13 September 2001, di Solo, hal 2.
praktek undangundang ini telah mampu membangun paradigma baru di dunia pers Indonesia dan
sejauh ini masih dapat mengatasi berbagai kekurangan dan masalah yang ada.

Anda mungkin juga menyukai