Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta merupakan infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang
menyerang kulit, saraf perifer, dan organ lain, kecuali sistem saraf pusat. 1 Dalam sejarah
merupakan penyakit dengan stigma yang tak tertandingi dan sangat ditakuti, sehingga
mendapat sebutan Kushtha. Menurut Vagbhata (600 AD), nama “Kushtha” berasal dari
“Kushnati” yang berarti “menggerogoti” dalam bahasa Sansekerta. Penyakit kusta pertama
kali dideskripsikan sekitar 600 SM, namun asal-usulnya masih belum diketahui. Sepanjang
sejarah, kusta telah ditakuti dan disalahpahami, karena kusta adalah penyebab utama
kecacatan yang menyebabkan kelumpuhan. Kusta adalah salah satu penyakit tertua umat
manusia yang kemungkinan besar berasal dari India.1
Menurut WHO pada tahun 2015, Indonesia merupakan negara urutan ketiga dalam
jumlah kasus kusta setelah India dan Brazil. Sampai saat ini kusta masih merupakan salah
satu masalah Kesehatan masyarakat di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, situasi
kusta di Indonesia tidak mengalami banyak perubahan. Angka prevalensi kusta di Indonesia
pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dengan angka penemuan kasus baru
sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk.1,2
Sebagian komplikasi penting dari kusta adalah keterlibatan langsung saraf perifer.3 M.
leprae adalah bakteri bersifat obligat intraseluler yang terdapat di dalam sel makrofag di
sekitar pembuluh darah superfisial atau Sel Schwann. Sel Schwann adalah sel target utama
pertumbuhan M.leprae, selain itu berfungsi juga sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
berperan sebagai fagositosis, sehingga bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
schwann, basil akan bermigrasi ke kulit dan menjadi aktif. Infiltrasi kuman pada kulit akan
menyebabkan terjadinya lesi yang dapat disertai perubahan pigmentasi pada kulit, dan bila
infiltrasi terjadi pada serabut saraf, akan menyebabkan kerusakan saraf sensoris, motoris dan
otonom. Beberapa kelainan saraf perifer seperti neuritis, silent neuritis, neuritis akibat reaksi
dapat ditemukan.2,3 Kelainan saraf ini memiliki prognosis yang baik jika penanganan dimulai
lebih awal, namun bervariasi dan kadang tidak dapat sembuh.4
Pada Tinjauan Pustaka ini akan dibahas mengenai berbagai jenis kerusakan saraf yang
disebabkan M.leprae.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Neuropati Kusta

2.1.1 Definisi

Kusta disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae, merupakan penyakit kronis


yang menyerang kulit, saraf dan menimbulkan disabilitas. Disabilitas merupakan komplikasi
kusta yang menimbulkan stigma pada pasien. 1,2 Neuropati adalah kerusakan fungsi dan
struktur saraf sensorik, otonom, dan motorik di sistem saraf perifer.3
Neuropati kusta adalah neuropati perifer kronis yang disebabkan oleh M.leprae.
Perbedaan gejala klinis disebabkan oleh kualitas respons kekebalan tubuh pejamu.3,4
2.1.2 Saraf Perifer Normal

2.1.2.1 Anatomi dan Fisiologi Saraf Perifer

Saraf perifer atau saraf tepi terdiri dari komponen jaringan pengikat (connective
tissue) dan komponen saraf. Unit fungsional terkecil pada saraf tepi adalah serat saraf, baik
unmyelinated ataupun myelinated. Serat saraf tidak bermyelin terdiri dari beberapa
akson yang terbungkus oleh sel Schwann, sedang yang bermielin hanya terdiri dari
satu akson. Membran dari sel Schwann ini membungkus serat saraf untuk
membentuk multilaminated myelin sheath.5

Gambar 1. Gambaran skematik saraf perifer dan bagian-bagian saraf.

Struktur dasar neural terdiri dari akson dan sel Schwann. Serabut saraf ada yang
bermielin dan yang tidak. Saraf sensoris dan motoris terdiri dari kedua tipe serabut dengan

2
rasio 4:1 antara tidak termielinisasi dan termielinisasi. Serabut saraf yang tidak termielinisasi
tersusun atas beberapa sel Schwann yang mengelilingi akson. Pada kebanyakan kasus akson
yang tidak termielinisasi berukuran kecil dengan diameter berkisar antara 0.15 sampai 2.0
μm. Akson merupakan processus badan sel yang paling panjang menghantarkan impuls dari
segmen awal ke terminal sinaps. Segmen awal badan sel merupakan elevasi badan sel
berbentuk kerucut yang tidak mengandung granula Nissl dan disebut akson hillock. Neuron
memiliki kemampuan metabolisme yang sangat tinggi, tetapi tidak dapat menyimpan zat-zat
makanan dan oksigen. Oleh karena itu neuron perlu didukung oleh neuroglia yang menyuplai
zat makanan dan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Sel-sel pendukung yang sangat
penting antara lain adalah sel satelit dan sel Schwann. Sel Schwann pada susunan saraf tepi
bersifat seperti oligodendroglia pada sistem saraf perifer.5
Jaringan pengikat meliputi struktur endonerium, perinerium, dan epinerium yang
mengatur dan melindungi serat saraf dan akson. Jaringan pengikat endoneurium berupa serat
kolagen tipis membungkus serat saraf yang bermielin maupun yang tidak bermielin.
Sekelompok serat pembungkus endonerium, atau fasikel berjumlah 1 atau 2, terbungkus oleh
beberapa pembungkus jaringan pengikat yang disebut perinerium. Neuron menghasilkan dan
menghantarkan potensial aksi ke neuron lain melalui sinaps. Bentuk yang paling umum
adalah sinaps yang terjadi antara akson sebuah neuron dengan dendrit atau badan sel neuron
kedua. Ketika akson mendekati sinaps, maka dapat terjadi pelebaran terminal (bouton
terminal) atau perluasan serial yang membentuk hubungan sinaps. Transmisi impuls pada
sebagian besar sinaps melibatkan pelepasan dari neurotransmiter.5
Neurotransmiter yang digunakan untuk melanjutkan impuls ke otot skeletal adalah
asetilkolin. Asetilkolin dibentuk dalam mitokondria dari persenyawaan kolin dan asetil-koA,
dengan bantuan asetilkolin transferase. Asetilkolin disimpan dalam vesikel sinaptik pada
ujung-ujung saraf. Bila suatu impuls sampai pada membran presinaptik maka permeabilitas
dari membran tersebut akan bertambah untuk Ca++. Influks dari Ca++ ini menyebabkan
terlepasnya asetilkolin di dalam celah sinaptik. Dalam waktu singkat asetilkolin itu dapat
sampai pada membran postsinaptik dan diterima oleh reseptor tertentu. Tertangkapnya
asetilkolin oleh membran postsinap itu menyebabkan permeabilitas dari membran itu
bertambah untuk ion Natrium dan Kalium. Meningkatnya ion Natrium di dalam otot akan
menimbulkan depolarisasi yang kemudian meluas keseluruh otot dan terjadilah kontraksi
otot. Asetilkolin kemudian diuraikan oleh asetilkolinesterase menjadi kolin dan asetat,
sehingga membran post sinaptik itu menjadi sensitif kembali terhadap rangsang yang
3
berikutnya. Selain neurotransmiter utama, dari membran pra-sinaps ke celah sinaps juga
dikeluarkan zat-zat yang mampu memodulasi dan memodifikasi aktivitas neuron postsinaps
dan disebut neuromodulator, seperti: asetilkolin (muskarinik), serotonin, histamin,
neuropeptida, dan adenosin. Fungsi neuromodulator ini menguatkan, memperpanjang,
menghambat atau membatasi efek neurotransmiter utama di membran post-sinaps.5
Inhibisi presinaptik dan postsinaptik biasanya disebabkan oleh adanya perangsangan
pada sistem tertentu yang bersinap konvergen pada suatu neuron post sinaptik (inhibisi
aferen). Neuron-neuron juga dapat menghambat dirinya sendiri dalam bentuk umpan balik
negatif (inhibisi umpan balik negatif). Setiap neuron motorik spinal biasanya memberikan
satu cabang kolateral yang bersinap dengan interneuron inhibisi yang bersinap di badan sel
neuron spinal itu dan neuron motorik spinal lain. Neuron inhibisi itu dinamakan sel Renshaw,
sesuai nama penemunya. Neurotransmiter yang digunakan dalam sinaps sel Renshaw dengan
sel motoneuron adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). GABA ini dibentuk di dalam
mitokondria dari sel Renshaw dan disimpan dalam vesikel sinaptik pada ujung-ujung akson
sel itu. Bila ada impuls yang sampai pada ujung akson, maka GABA dilepas pada celah
sinaps dan menyebrang ke membran postsinaps. GABA menambah permeabilitas dari
membran postsinaptik, tapi hanya bagi ion kalium dan tidak bagi ion natrium. Kadar kalium
dalam sel otot akan menurun sehingga potensial membran dari otot itu akan meningkat
(hiperpolarisasi). Impuls yang berasal dari neuron motorik menggiatkan interneuron inhibisi
untuk melepaskan mediator inhibisi, yang memperlambat atau menghentikan pelepasan
impuls dari neu ron motorik. Inhibisi presinaptik yang disebabkan oleh adanya jalur desenden
yang berakhir di jalur aferen kornu dorsalis mungkin berperan dalam pengaturan gerbang
pada transmisi nyeri.5
2.1.3 Patogenesis
M. leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah. Bakteri ini masuk
ke dalam tubuh melalui sistem pernapasan. Patogenisitas yang rendah menyebabkan hanya
sebagian kecil orang yang terinfeksi yang menimbulkan tanda-tanda penyakit. Setelah
memasuki tubuh, bakteri bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke dalam sel Schwann. Pada
stadium awal, bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot, dan sel-sel endotel
pembuluh darah.4,6
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Peningkatan jumlah bakteri dalam tubuh dan infeksi
akan memicu sistem imun berupa limfosit dan histiosit (makrofag) untuk menyerang jaringan
4
yang terinfeksi. Pada tahap ini, manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf
disertai dengan penurunan sensasi.7,8 Mycobacterium leprae memiliki afinitas khusus untuk
sel Schwann. Basil tahan asam yang utuh ditemukan dalam sel Schwann yang membengkak
dari serabut saraf tak bermielin pada pasien kusta lepromatosa (LL). Kemajuan terbaru dalam
pemahaman tentang patogenesis kusta telah menjadi identifikasi protein sel Schwann inang
yang mengikat M. leprae. Protein pengikat ini memediasi masuknya organisme ke dalam
saraf sebagai langkah pertama dalam patogenesis penyakit. Telah ditunjukkan bahwa
organisme mengikat domain G dari rantai laminin alfa-2 yang diekspresikan pada permukaan
unit akson sel Schwann melalui reseptor pada M. leprae yang ditunjukkan sebagai histone 21
kDa protein. Protein ini mengikat laminin, dikodekan oleh gen ML1683, adalah antigen
utama yang terpapar permukaan pada M. leprae, dan mungkin berfungsi sebagai adhesin
untuk interaksinya dengan saraf perifer. Selain itu, glikoprotein terfosforilasi 25 kDa saraf
perifer manusia telah diidentifikasi untuk mengikat M. leprae. Demikian pula, trisakarida
terminal glikolipid phenolyc 1 (PGL-1) yang merupakan antigen spesifik M. leprae yang
terpapar permukaan terbukti mengikat laminin-2, hal menunjukkan bahwa PGL-1 juga
berperan dalam invasi M. leprae ke dalam sel Schwann. Lebih lanjut, terdapat bukti bahwa
demielinasi yang diinduksi M. leprae adalah hasil dari ligasi bakteri langsung dan aktivasi
reseptor ErbB2 dari neuregulin-1 yang mengatur mielinisasi normal. Sel Schwann juga
ditemukan aktif fagosit dan mampu menelan M. leprae. Basil tahan asam utuh ditemukan di
dalam sel Schwann yang membengkak dari serabut saraf tak bermielin pasien LL. Namun,
tidak jelas apakah sel Schwann terlibat dalam menyajikan antigen M. leprae ke sel T in vivo,
meskipun ada saran bahwa mereka mungkin dapat melakukannya secara in vitro.3,8
Dalam semua bentuk neuropati kusta, basil pertama kali terlihat tergeletak di sel
Schwann tanpa menghasilkan respons seluler apa pun. Selanjutnya, m.leprae mengubah
lingkungan interior sel yang menghasilkan perubahan metabolik dan fungsional. Peristiwa
yang mengikuti saraf yang berkembang menjadi bentuk penyakit yang parah adalah;
Proliferasi sel Schwann, demielinasi segmental saraf dan akhirnya degenerasi aksonal. Urutan
patomekanisme kerusakan saraf pada kusta adalah sebagai berikut:
 Infeksi M. leprae pada sel Schwann memicu sistem kekebalan yang mengakibatkan
perekrutan limfosit dan makrofag ke dalam saraf.
 Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya serta edema inflamasi yang menyertai
menyebabkan demielinasi segmental saraf.

5
 Sel-sel inflamasi berusaha membentuk granuloma. Volume granuloma serta edema
intra dan perineural memainkan peran penting dalam menyebabkan tekanan pada akson
dan menghasilkan kerusakan aksonal.
 Kerusakan aksonal awal terutama disebabkan oleh pembentukan granuloma di dalam
saraf dan selanjutnya karena pelepasan mediator farmakologis yang dihasilkan oleh sel-
sel inflamasi. Rekrutmen sel inflamasi ke tempat infeksi M. leprae ini, pembentukan
granuloma dan edema yang menyertainya berkontribusi pada proses dan tingkat
keparahan kerusakan saraf.
Mekanisme yang tepat dari kerusakan aksonal pada ujung tuberkuloid mungkin
berbeda dari pada ujung lepromatosa kusta. Lebih jauh lagi, perubahan-perubahan ini
dipertegas oleh reaksi kusta ketika terjadi.3,33
Sistem imun seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita kusta. Ketika
SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara
spontan atau menimbulkan kusta dengan tipe pausibasiler (PB). Apabila SIS rendah, infeksi
menyebar tidak terkendali dan menimbulkan kusta dengan tipe multibasiler (MB). Dalam
perjalanan kronis penyakit dapat timbul peningkatan respon imun secara tiba-tiba karena efek
pengobatan atau perubahan status imunitas sehingga menghasilkan peradangan kulit dan atau
saraf serta jaringan lainnya. Hal ini disebut sebagai reaksi kusta (reversal dan ENL).7,20
Respon imunologi terhadap M. leprae tidak hanya menentukan perjalanan penyakit,
tetapi juga menentukan tipe kusta yang akan bermanifestasi. Pasien-pasien kusta tuberkuloid
mampu membatasi pertumbuhan patogen dan memiliki respon sel T yang kuat terhadap M.
leprae. Hal ini ditandai dengan produksi sitokin-sitokin sel Th1 yang membentuk granuloma
tuberkuloid terkait dengan imunitas protektif dan destruktif M. leprae. Sebaliknya, pasien-
pasien kusta lepromatosa menunjukkan respons sel T yang lemah terhadap M. leprae. Lesi-
lesi pada kusta lepromatosa mengekspresikan sitokin-sitokin sel Th2 (IL-4, IL-5, IL-6, IL-9,
dan IL-10), yang berperan untuk produksi antibodi, inhibisi fungsi makrofag (terbentuk
granuloma makrofag), dan supresi SIS, sehingga memungkinkan bakteri intraseluler
bermultiplikasi.7,24
Dinamika respon imun alamiah pada kusta dapat dipahami dengan mengetahui
hubungan antibodi spesifik M. leprae dan sekresi berbagai sitokin (IFN-ϒ, IL-2, IL-5, IL-10,
IL-6, TNF-α, dan granulocyte macrophage colony-stimulating factor [GM-CSF]) pada pasien
kusta. Sitokin IFN-γ dan TNF-α bersifat imunoprotektif, sedangkan IL-2 dan IL-10 bersifat
imunosupresif terhadap M. leprae.7,25
6
Pada tahap proteksi awal, mekanisme nonspesifik terutama dilakukan oleh monosit
yang berperan sebagai sel fagosit. Selain monosit, respon terhadap infeksi juga meningkatkan
produksi neutrofil dari sumsum tulang. Produksi neutrofil diinduksi oleh sitokin CSF.
Neutrofil memfagosit mikroba yang ada di dalam sirkulasi maupun mikroba di dalam
jaringan ekstravaskular dan menghasilkan lisis parsial. Neutrofil hanya bertahan beberapa
jam, sementara monosit dalam sirkulasi bertahan hingga lima hari. Namun, sel-sel monosit
dapat bermigrasi ke jaringan ikat dan bertahan selama beberapa bulan sebagai histiosit.7,10,26
Sebagian bakteri yang lolos akan ikut bersama monosit di dalam aliran darah. Selama
berada dalam monosit, bakteri tersebut bahkan dapat bereplikasi (Trojan horse phenomenon)
dan masuk ke berbagai organ. Monosit yang terstimulasi ini berdiferensiasi menjadi
makrofag dengan aktifitas energetik yang tinggi, dan mampu membentuk sel-sel epiteloid
pada kusta tipe TT dan sel-sel lepra (sel Virchow) pada kusta tipe LL. Makrofag-makrofag
yang teraktivasi pada kusta tipe TT juga mampu memfagositosis basil intraneural. Makrofag
juga berperan sebagai antigen presenting cell (APC) baik pada respon imunitas selular
maupun humoral.7,27
Bakteri yang keluar dari monosit yang mati dan pecah akan menginvasi sel-sel
Schwann dan masuk ke dalam vakuola-vakuola fagositik (fagosom), sehingga dapat
bermultiplikasi dan terlindungi dari antibodi maupun makrofag. Namun, M. leprae juga dapat
meninggalkan tempat persembunyiannya dan masuk ke jaringan perineural, sehingga
akhirnya terbentuk granuloma epiteloid. Sel-sel Schwann tidak memiliki enzim lisosomal
untuk menghancurkan bakteri, sehingga basil M. leprae dapat bertahan untuk waktu yang
lama.25-27
Neuropati kusta melibatkan proses patologis kompleks yang ditentukan oleh
keseimbangan respons imun terhadap infeksi M. leprae, yang dimodifikasi oleh faktor
genetik pejamu. Oleh karena itu, neuropati asimetris yang terjadi dijelaskan dengan derajat
keterlibatan saraf akibat penyebaran inflamasi fokal yang mencapai beberapa fasikulus
terisolasi pada saraf yang berbeda. Pola klinis kerusakan saraf yang paling umum berupa
mononeuropati multipleks.6,20
Afinitas M. Leprae terhadap sel Schwann dan predileksinya di bagian tubuh yang
lebih dingin membuat segmen batang saraf tertentu menjadi rentan. Saraf yang paling
mungkin terlibat berbentuk batang saraf campuran dari ekstremitas atas dan bawah, terutama
pada segmen saraf yang terletak di subkutan dan suhu yang lebih dingin. Ini meliputi nervus
ulnaris di siku, nervus medianus di atas carpal tunnel, nervus radialis pada spiral groove,
7
nervus radialis kutan di lengan bawah, nervus peroneus di atas kaput fibula, nervus tibialis di
atas pergelangan kaki, dan nervus fasialis di regio zygomaticus.9,12
Menurut Srinivasan, saraf perifer yang terkena akan mengalami beberapa tingkat
kerusakan, yaitu:6,15,20
1. Stage of involvement
Pada tingkat ini, saraf menjadi lebih tebal dari normal dan mungkin disertai nyeri tekan dan
nyeri spontan pada saraf perifer tersebut, tetapi belum disertai gangguan fungsi saraf
misalnya anestesi atau kelemahan otot.6,20
2. Stage of damage
Pada tingkat ini, saraf telah rusak dan fungsi saraf terganggu. Diagnosis stage of damage
ditegakkan bila saraf telah mengalami paralisis yang tidak lengkap atau lengkap lebih dari 6-
9 bulan. Pengobatan dini pada tingkat ini dapat mencegah kerusakan saraf yang permanen.6,20
3. Stage of destruction
Pada tingkat ini, saraf telah rusak secara lengkap. Diagnosis stage of destruction dapat
ditegakkan bila terjadi kerusakan atau paralisis saraf secara lengkap selama lebih dari satu
tahun. Pada tingkat ini, fungsi saraf tidak dapat diperbaiki walaupun dengan pengobatan.6,20

Jalur masuk M. leprae pada saraf dapat melalui empat jalur yang berbeda. Diyakini
bahwa M. leprae masuk saraf melalui filamen polos di epidermis dan menyebar secara
sentripetal di sepanjang akson.7 Pergerakan basil ke atas sepanjang aliran aksonal
dibandingkan dengan ikan yang berenang melawan arus. Basil intra-akson telah ditunjukkan
oleh beberapa pekerja dalam studi mikroskop elektron, tetapi jarang terjadi.7,15
Dugaan kedua adalah bahwa M. leprae, saat memasuki kulit, M.leprae difagositosis
oleh sel Schwann di dermis bagian atas. Dengan demikian terlindung dari sel-sel imun,
bakteri berkembang biak di dalam sel Schwann dan berjalan di sepanjang saraf dari satu sel
Schwann ke sel Schwann lainnya secara berdekatan. Banyak pekerja menganggap bahwa M.
leprae memiliki predileksi khusus untuk sel Schwann dan tetap sebagai sel inang penting M.
leprae.7,16
Kemungkinan ketiga adalah bahwa makrofag di dermis atas awalnya mengambil basil
dan sel-sel yang sarat basil ini berkumpul di sekitar struktur adneksa kulit, termasuk bundel
saraf. Basil yang dilepaskan dari makrofag ini dicerna oleh sel perincurial, yang
meneruskannya ke sel Schwann, atau makrofag yang mengandung basil menginfiltrasi
perineurium dan menyerang saraf. Pada tikus yang ditimektomi iradiasi, atau tikus atimik
yaitu tikus telanjang yang terinfeksi M. leprae, keterlibatan saraf mengikuti pembentukan
8
granuloma lepromatous dermal yang tumbuh dengan ukuran yang wajar sebelum ada bukti
invasi saraf oleh basil. Makrofag berisi basil menginvasi perineurium dan kemudian
memasuki parenkim saraf.7,16

Kemungkinan keempat, dan yang mungkin merupakan rute masuk yang paling
sering ke dalam saraf, adalah melalui aliran darah melalui kapiler intraneural. Bukti
bacillemia terlihat pada semua bentuk kusta. Oleh karena itu, organisme dapat dengan
mudah diangkut ke dalam saraf melalui aliran darah. Cedera minimal pada saraf dapat
meningkatkan kelengketan sel endotel kapiler intraneural dan juga dapat membahayakan
sawar darah-saraf. Sel Schwann akan secara aktif memfagosit M. leprae yang dibawa ke
dalam saraf melalui peredaran darah. Granuloma intraneural perivaskular bukanlah temuan
yang tidak biasa pada neuritis tuberkuloid.7,19

Gambar 2. Patofisiologi kerusakan saraf33

2.1.4 Manifestasi klinis kerusakan saraf pada kusta

Neuropati Perifer
Presentasi klinis khas kusta meliputi manifestasi dermatologis dengan kerusakan saraf
perifer. Lesi kulit yang umum termasuk makula atau plak, sering terletak di batang tubuh dan
perut, tetapi dapat timbul di lokasi mana pun. Lesi tipikal memiliki tepi meninggi,
hipopigmentasi sentral, dan sensasi yang berkurang.10,13 Awalnya lesi berkembang secara

9
diam-diam. Keterlibatan cabang sensorik kutaneus kecil dengan area terbatas yang dihasilkan
dari kehilangan sensorik adalah manifestasi neurologis awal yang paling umum. Mungkin ada
anhidrosis pada bercak kulit anestesi jika ada keterlibatan serabut otonom kecil yang tidak
bermielin. Evolusi selanjutnya dari penyakit neurologis cukup bervariasi dan tergantung pada
jenis respon imun. Seorang pasien dengan respon seluler yang baik, seperti yang terlihat pada
kusta tuberkuloid, biasanya akan memiliki mononeuropati atau multipleks mononeuritis,
karena basil terbatas pada beberapa saraf sebagai akibat dari respon imun yang lebih efisien
dan intens. Saraf yang biasanya terlibat dalam kusta tuberkuloid adalah saraf yang terletak di
superfisial, seperti saraf ulnaris dan saraf peroneus communis, di mana diperkirakan bahwa
suhu yang dingin di daerah ini mendukung proliferasi bakteri. Penderita dengan kusta
lepromatosa dan beban bakteri berat yang sesuai memiliki keterlibatan yang lebih difus dari
saraf perifer dan sering bermanifestasi polineuropati simetris. Penderita dengan tipe
borderline bermanifestasi dengan mononeuritis multipleks, yang dapat berkembang menjadi
polineuropati konfluen jika ada penurunan respon imun.3,6
Penilaian klinis harus mencakup pemeriksaan teliti pada kulit untuk daerah
hipopigmentasi dan saraf yang terletak di permukaan untuk pembesaran dan nyeri tekan.
Saraf yang biasanya membesar meliputi saraf supraorbital, saraf aurikularis, saraf ulnaris
termasuk cabang ulnaris dalam, saraf radial superfisial, dan saraf peroneal. Pemeriksaan
sensorik yang rinci dan hati-hati juga sangat penting, karena kebanyakan pasien selama tahap
awal penyakit mungkin tidak menyadari kehilangan sensorik mereka. Gejala seperti
parestesia, nyeri, dan hiperhidrosis lebih jarang terjadi. Sensasi dalam distribusi dermatomal
dari masing-masing saraf perifer baik di ekstremitas atas dan bawah harus dievaluasi.
Manifestasi motorik sering terjadi pada pasien kusta dan terjadi lebih lambat dari gejala
sensorik. Pola disfungsi motorik tergantung pada saraf perifer yang terlibat, dengan
kelemahan terbatas pada otot-otot yang terkena saraf yang sakit. Namun, dengan
perkembangan penyakit pasien akan memiliki keterlibatan yang lebih menyebar dari
beberapa ekstremitas. Nervus ulnaris dan medianus biasanya terlibat, yang dapat
mengakibatkan sebagian atau seluruh clawing hand. Keterlibatan nervus peroneus pada caput
fibula dapat menyebabkan foot drop dan keterlibatan tibialis posterior menyebabkan
kelemahan ekstensi plantar. Namun, otot-otot proksimal ekstremitas cenderung terhindar.4,12

Neuritis Akut
Neuritis akut pada kusta cenderung terjadi selama reaksi kusta. Sebuah studi klinis
besar menemukan bahwa 6,9% neuritis terjadi tanpa tanda-tanda reaksi lain.16 Perubahan
10
status imunologis pasien sebelum memulai pengobatan, selama pengobatan, atau setelah
selesai pengobatan dapat menyebabkan memburuknya manifestasi neurologis. Manifestasi
neurologis ini terjadi pada 30% pasien multibasiler, terutama pada tipe borderline.17
Kerusakan saraf cenderung lebih sering terjadi pada reaksi reversal, yang lebih sering pada
borderline. Peningkatan reaktivitas sel T terhadap antigen m. leprae dikaitkan dengan
infiltrasi interferon gamma (IFN-γ) dan TNF-α yang mensekresi limfosit positif CD-4 ke
dalam kulit dan saraf, mengakibatkan edema dan peradangan yang menyakitkan serta
peningkatan konsentrasi sitokin serum.18 Tingkat sitokin menurun dengan kortikosteroid,
sehingga respon yang buruk terhadap kortikosteroid akan berarti tingkat sitokin yang terus-
menerus tinggi dan kemungkinan peningkatan kekambuhan neuritis setelah penghentian
steroid. Onset neuritis akut sering dimulai dengan nyeri saraf spontan, parestesia, dan nyeri
tekan saraf. Gejala-gejala ini diikuti oleh gangguan fungsi saraf dengan hilangnya sensori-
motorik objektif. Pengenalan gejala saat onset sangat penting, karena inisiasi steroid
mengurangi kerusakan jangka panjang.19, 20
Silent Neuritis
Kondisi ini ditandai dengan gangguan fungsi sensorik dan motorik tanpa gejala pada
kulit, nyeri saraf, atau salah satu gejala positif yang terkait dengan proses neuropatik. Proses
terjadinya silent neuritis (SN) belum diketahui. Fenomena ini lebih sering terjadi pada reaksi
kusta, baik reversal maupun ENL. Kurangnya kerusakan saraf subjektif spontan membuat
kondisi ini hanya dapat dideteksi jika dinilai secara spesifik. Penilaian ini dicapai dengan
menggunakan pengujian monofilamen standar untuk gangguan sensorik dan kekuatan otot
sukarela untuk gangguan motorik. Van Brakel dkk. memperkirakan bahwa SN terjadi pada
sebanyak 7% pasien yang baru datang pada pemeriksaan awal mereka, dengan tingkat
kejadian 4,1 per 100 orang-tahun pada risiko kunjungan tindak lanjut. Hingga 75% dari silent
neuropathy terjadi selama tahun pertama setelah inisiasi kemoterapi.19 Berhubungan dengan
histopatologi, SN ditandai dengan peningkatan reaksi imun yang diperantarai sel dan fibrosis
saraf. Karena pasien dengan SN tidak mengeluhkan gejala klinis, penilaian fungsi saraf yang
teratur dan teliti diperlukan pada tindak lanjut untuk mendeteksi kondisi klinis ini.
Penggunaan steroid dapat meningkatkan kondisi secara signifikan.3,4
Neuropati Otonom
Disfungsi otonom biasanya terlihat pada pasien kusta dan disebabkan oleh
keterlibatan serabut saraf kecil yang tidak bermielin. Saraf otonom yang mempersarafi
beberapa sistem di dalam tubuh dapat terpengaruh, menyebabkan disotonomia yang meluas.
11
Tapi tidak seperti penyakit lain, gangguan otonom unik karena cenderung cukup regional
pada awalnya. Keterlibatan saraf perifer individu atau cabang yang lebih besar dapat
menyebabkan hilangnya fungsi vasomotor atau pseudomotor, terbatas pada wilayah
persarafan. Pola difus dapat terlihat pada stadium lanjut penyakit ketika sebagian besar saraf
perifer terlibat. Gangguan otonom pada stadium lanjut dapat menyebabkan kulit kering dan
pecah-pecah yang khas, yang rentan terhadap infeksi dan ulserasi. Identifikasi dini disfungsi
ini penting, karena institusi perawatan kulit memiliki implikasi penting berkaitan dengan
perawatan luka yang lebih baik dan menghindari deformitas. Di akhir penyakit, mungkin ada
disotonomia jantung dan pernapasan. Telah dikemukakan bahwa keterlibatan otonom
subklinis yang sering kontak antara orang sehat dan pasien kusta sebanding dengan intensitas
kontak dengan M. leprae dan mewakili sisa interaksi imun yang bertahan lama mirip dengan
fokus Gohn pada M. Tuberculosis.4,12
Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial sering terjadi pada kusta, pada 10-17% pasien, dengan saraf
wajah dan trigeminal yang paling sering terlibat. Mirip dengan keterlibatan saraf perifer,
penyakit ini cenderung melibatkan salah satu cabang saraf. Cabang-cabang ini terlibat dalam
pola yang tersebar, dengan cabang zygomatic dari area wajah dan rahang atas dari saraf
trigeminal sering terpengaruh. Secara klinis, pasien ini bermanifestasi dengan lagophthalmos,
xerosis kornea, dan anestesi dengan borok dan kelemahan otot wajah. Pembesaran superfisial
dari saraf supraorbital dan saraf auricular yang lebih besar dapat berfungsi sebagai petunjuk
dalam diagnosis awal kusta. Saraf kranial lain yang kurang umum terlibat termasuk saraf
vestibulocochlear, glossofaringeal, vagus, dan saraf hipoglosus. Ada juga laporan dari
beberapa saraf kranial yang terlibat, menyajikan dengan multipleks polineuritis kranial.4,7

Gambar 3. Pola kerusakan saraf berdasarkan spektrum imun. A. Penebalan saraf difus pada kusta
lepromatosa. B. Pola kerusakan saraf pada borderline yang tidak merata dan asimetris. C. Pola
12
kerusakan saraf pada tuberkuloid yang menunjukkan pembatasan penyakit pada daerah kulit dan saraf
yang terisolasi.

Nyeri Neuropatik
Pentingnya neuropatik atau nyeri saraf pada kusta baru diakui dalam dua dekade
terakhir. Nyeri neuropatik didefinisikan sebagai "nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi
atau disfungsi primer pada saraf perifer atau SSP." Karena kusta diketahui menyebabkan
kehilangan sensorik yang parah yang mengarah ke hipoestesi/anestesi, umumnya
diasumsikan bahwa nyeri jarang terjadi pada kusta. Namun, nyeri saraf tepi dapat
mempersulit kusta baik selama dan setelah perawatan. Selama penyakit aktif, pasien yang
biasanya mengeluhkan nyeri neuropatik adalah pasien kusta neuritik murni dan pasien di
ujung spektrum kusta tuberkuloid dengan reaksi tipe 1, meskipun pasien LL dengan reaksi
ENL berulang dan parah dapat mengalami nyeri saraf hebat yang melibatkan beberapa batang
saraf yang terkait dengan gejala lain.4,10-11

Gambar 4. A. Pembesaran nervus auricularis, B. Pembesaran nervus sural.

Gambar 5. Kulit telapak kaki kering berfisura menggambarkan keterlibatan saraf otonom

13
2.1.5 Diagnosis
Penegakkan diagnosis neuropati kusta berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan fisik. Pembesaran saraf yang teraba merupakan temuan fisik paling umum pada
kusta. Di antara tes klinis lainnya, tes palpasi saraf paling sering abnormal dengan 85%
pasien menunjukkan satu atau lebih pembesaran saraf perifer, namun spesifisitas rendah.
Sensitivitas palpasi saraf secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan reaksi dan/atau
neuritis dibandingkan pada pasien tanpa reaksi. Palpasi saraf berperan sebagai tes skrining
dalam diagnosis kusta. Saraf yang membesar terbukti menjadi faktor risiko kerusakan fungsi
saraf berikutnya.14
Beberapa metode uji sensorik yang umum digunakan yaitu uji pulpen, uji pilinan
kapas, dan uji tusuk jarum yang direkomendasikan oleh WHO (1970) merupakan metode
yang murah dan mudah digunakan, namun tidak cukup sensitif. Penilaian tekanan
menggunakan barograf, penilaian sensitivitas pasien terhadap suhu menggunakan tabung uji
panas dan dingin. Demikian pula, uji fungsi keringat dan pola arteriografi juga dipraktikkan
untuk menilai gangguan saraf otonom namun terbukti tidak praktis untuk digunakan di
lapangan.18

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang untuk menguji fungsi saraf dapat dilakukan meliputi
penggunaan monofilamen, voluntary muscle testing (VMT), nerve conduction study (NCS),
quantitative sensory testing (QST), ultrasonografi saraf hingga biopsi saraf.7
Monofilamen
Monofilamen Semmes-Weinstein (SW) digunakan untuk mengukur sensasi kulit yang
berkurang dan kembali. Ini adalah monofilamen nilon yang terbuat dari polyhexamethylene
dodecandiamide, lebih dikenal sebagai nilon 612, yang menyerap sangat sedikit air (kurang
dari 3% dalam kelembaban 100%) dan dapat dibersihkan dengan alkohol dengan waktu
penggunaan yang terbatas. Monofilamen SW memberikan stimulus instrumen berulang
dengan standar deviasi kecil berbeda dengan instrumen tes genggam lainnya, menjadikannya
pilihan optimal untuk pengujian sensorik objektif gangguan fungsi saraf pada pasien kusta.
Gangguan fungsi saraf sensorik biasanya diuji menggunakan satu set standar monofilamen
SW. Monofilamen nilon ini dikalibrasi untuk menghasilkan gaya 0,05 gm (hijau), 0,2 gm
(biru), 2 gm (ungu), 4 gm (merah), 10 gm (oranye) dan 300 gm (merah muda) tekanan pada
permukaan kulit pada aplikasi. Satu set enam-monofilamen berkode warna digunakan untuk
menguji normal, sentuhan ringan yang berkurang, sensasi perlindungan yang berkurang,
14
hilangnya sensasi pelindung untuk tangan, hilangnya sensasi pelindung untuk kaki dan untuk
sensasi tekanan dalam, dalam urutan itu. Setiap filamen dipasang pada pemegang (seperti
dasar jarum atau alas plastik kecil) dan mereka harus diterapkan secara tegak lurus ke setiap
situs tertentu dengan tekanan ringan sampai filamen membentuk kurva "C".3,28
Lokasi standar yang diuji adalah; di tangan, masing-masing tiga tempat untuk saraf
ulnaris dan medianus, dan satu untuk saraf radialis; pada kaki, tujuh situs di telapak untuk
saraf tibialis posterior, dan satu situs di punggung kaki untuk saraf peroneal dalam (Gambar
7). Aplikasi harus dimulai dengan filamen terbaik (hijau) dan dibangun hingga filamen
oranye. Rincian skor harus dicatat pada kartu pemeriksaan tangan dan kaki pasien. Pengujian
harus dilakukan sebulan sekali selama 6 bulan pertama dan selanjutnya sekali dalam 3
bulan.28

Gambar 6. Berbagai filamen SW

Gambar 7. Lokasi penggunaan monofilamen SW

Voluntary muscle testing


Gangguan fungsi saraf motorik dinilai oleh VMT menggunakan skala Medical
Research Council (MRC) yang dimodifikasi dari 0–5. Skor VMT dicatat menggunakan versi
modifikasi dari skala yang pertama kali diperkenalkan oleh MRC Inggris pada tahun 1940-an
dan dikenal sebagai skala MRC. Ini memiliki enam tingkat yang mudah dinilai selama

15
pemeriksaan klinis. Skor penilaian MRC yang dimodifikasi yang digunakan untuk VMT
diberikan pada Tabel 1. Otot yang berbeda diuji untuk masing-masing saraf motorik yang
biasa terkena kusta. Gerakan-gerakan yang diuji untuk otot-otot untuk masing-masing saraf
adalah:3,29
•Nervus ulnaris: Abductor digiti minimi—abduksi jari kelingking
•Nervus medianus: Abductor pollicis brevis—abduksi ibu jari
•Saraf radial: Otot ekstensor pergelangan tangan (pergelangan tangan ekstensi), ekstensor
polisis brevis dan longus menyebabkan ekstensi ibu jari.
•Nervus poplitea lateral: Tibialis anterior, peroneus longus dan brevis-dorsofleksi kaki dan
jempol kaki
• Nervus fasialis: Orbicularis occuli—penutupan paksa mata.
VMT Skor Deskripsi kekuatan motorik
Grade 5 Kekuatan biasa. Kekuatan penuh dalam semua gerakan melawan tingkat
resistensi normal
Grade 4 Rentang gerakan penuh tetapi kurang dari kekuatan normal Gerakan
melawan gravitasi ada, tetapi tidak dalam derajat normal
Grade 3 Ada berbagai gerakan yang cukup untuk mengatasi gravitasi, tetapi tidak
melawan resistensi tambahan
Grade 2 Ada beberapa kontraksi otot, rentang gerakan aktif tidak lengkap, tidak
efektif melawan gravitasi maupun resistensi
Grade 1 Kontraksi otot yang terlihat tidak memungkinkan gerakan sendi
Grade 0 Tidak ada gerakan atau kekuatan yang mewakili kelumpuhan total
Tabel 1. Deskripsi grade dari voluntary muscle testing pada otot volunter
Nerve conduction study
Studi tentang aktivitas elektrofisiologi otot rangka yang istirahat dan berkontraksi
dengan bantuan Elektromiografi (EMG) dan konduksi impuls saraf di sepanjang saraf perifer,
juga disebut Nerve Conduction Study (NCS) telah menjadi alat diagnostik yang paling
berguna dalam penilaian fungsi saraf pada kusta.30 Namun, instrumen ini masih belum
digunakan secara rutin dan tes semacam itu sebagian besar dilakukan di laboratorium ilmu
saraf. Kelainan dalam studi konduksi saraf meliputi: 3,30
• Perlambatan segmental konduksi di tempat umum kerusakan

16
• Latensi distal yang memanjang dan penurunan kecepatan konduksi saraf sensorik atau
motorik

• SNAP dengan amplitudo rendah atau tidak ada, penurunan amplitudo potensial aksi otot
majemuk, dan kelainan pada studi konduksi saraf yang menunjukkan mononeuropati,
neuropati jebakan, atau polineuropati umum juga dapat diamati.

Gambar 8. Studi konduksi saraf dengan EMG

Quantitative sensory testing


Profil somatosensori dari kontrol sehat dan pasien kusta diukur menggunakan
protokol QST, yang telah digunakan untuk profil pasien dengan sejumlah kondisi nyeri
neuropatik dan fibromialgia. Singkatnya, protokol terdiri dari 7 tes yang mengukur 13
parameter sensorik dalam urutan standar berikut: ambang deteksi dingin (CDT), ambang
deteksi hangat (WDT), kapur sensorik termal (TSL), adanya sensasi panas paradoks, ambang
nyeri dingin, ambang nyeri panas, ambang deteksi mekanis (MDT), ambang nyeri mekanis,
fungsi stimulus-respons untuk sensitivitas nyeri mekanis, alodinia mekanis dinamis, rasio
angin, ambang deteksi getaran (VDT), dan ambang nyeri tekanan. Pengukuran pengujian
sensorik kuantitatif dilakukan untuk semua peserta dalam saraf ulnaris mempersarafi dorsum
tangan secara bilateral karena ini telah dilaporkan sebagai tempat yang paling sering
mengalami kerusakan saraf terkait kusta.31
Ultrasonografi saraf
Ultrasonografi saraf (12-18 MHz) menunjukkan pencitraan resolusi tinggi untuk
evaluasi gangguan saraf perifer. Ini memberikan penilaian morfologi yang baik dari segmen
panjang dari semua saraf perifer utama di ekstremitas atas dan bawah. Saraf yang terletak

17
superfisial, yang sangat rentan terhadap kusta, dapat dievaluasi secara lebih rinci untuk
penebalan, edema saraf, mikroabses, dan perubahan arsitektur fasikular. Keuntungan
tambahan USG saraf termasuk kapasitas untuk menilai saraf yang lebih dalam yang tidak
teraba, metode pengukuran pembesaran saraf yang lebih tepat dengan variabilitas antar
pengamat yang lebih sedikit, dan alat tindak lanjut yang baik untuk menilai perubahan
morfologi dengan pengobatan. Saraf yang dapat dinilai antara lain nervus ulnaris, nervus
medianus, dan nervus radialis pada ekstremitas atas. Saraf lain yang tervisualisasi dengan
baik di ekstremitas atas termasuk saraf kulit radial superfisial, saraf kulit ulnaris dorsal, dan
saraf antebrachial medial. Saraf sciatic distal, dan bifurkasi terminalnya menjadi saraf
peroneal umum dan saraf tibialis posterior di fossa poplitea, dan saraf sural di ekstremitas
bawah distal juga dapat divisualisasikan dengan baik. Penelitian telah menunjukkan korelasi
yang baik antara kelemahan klinis otot yang dipersarafi ulnaris dan konduksi motorik yang
melambat di siku, dengan tingkat pembesaran saraf maksimum di atas sulkus ulnaris
(Gambar 9).4,32

Gambar 9. Gambaran USG menunjukkan pembesaran nervus ulnaris. Pada gambar kiri adalah
gambaran USG normal dari saraf ulnaris. Pada kanan adalah nervus ulnaris yang membesar yang
ditunjukkan tepat di atas sulkus ulnaris.

Biopsi saraf
Secara historis, biopsi saraf digunakan untuk menilai etiologi, lokalisasi patologis,
dan tingkat keparahan kerusakan saraf. Dalam dua dekade terakhir, biopsi saraf menjadi
kurang penting karena kemajuan dalam tes elektrodiagnostik, laboratorium, dan genetik. Saat
ini, pencarian etiologi merupakan indikasi utama untuk biopsi. Evaluasi biopsi saraf tidak

18
boleh dilakukan sebelum penilaian klinis, elektrofisiologis, dan laboratorium yang memadai.
Hasil biopsi saraf tergantung pada sejumlah faktor, termasuk pemilihan pasien, sampel saraf,
pengalaman laboratorium, dan teknik evaluasi.12

Gambar 10. Biopsi cabang superfisial nervus ulnaris di tangan kiri. Pasien yang sebelumnya
sepenuhnya diobati dengan MDT untuk "kusta kulit" yang muncul dua tahun kemudian neuropati
multifokal yang menyakitkan: Kiri, infiltrat perivaskular inflamasi di endoneurium (H&E x 40); dan
kanan, bagian setengah tipis menunjukkan sel busa makrofag yang mengandung basil yang
terfragmentasi di dinding pembuluh darah dan di endoneurium.

2.1.7 Tatalaksana

Medikamentosa
Studi observasional memperkirakan bahwa steroid dapat memperbaiki fungsi saraf
pada 60-70% pasien, namun fungsi saraf dapat tetap buruk bila sarafnya sudah terganggu
sebelumnya atau berulang.16 Berdasarkan rekomendasi WHO, dosis diawali dengan
kortikosteroid pada pasien neuropati kusta dengan awitan kurang dari 6 bulan, dosis 40-
60mg/hari. Dosis ini diturunkan setelah 12 minggu.11
Berdasarkan penanganan umum nyeri neuropatik dan rekomendasi di Brasil untuk
pengobatan nyeri neuropatik pada kusta, terapi medis yang mungkin bermanfaat meliputi
amitriptilin 10-150 mg/hari, nortriptilin 10-150 mg/hari, gabapentin 900-3600 mg/hari yang
terbagi dalam 3 dosis, atau karbamazepin 200-600 mg/hari yang terbagi dalam 2-3 dosis.
Pengobatan dengan amitriptilin atau nortriptilin dapat digunakan sebagai lini pertama jika
tidak ada kontraindikasi. Pasien dengan glaukoma sudut-sempit, hiperplasia prostat, dan
penyakit jantung harus ditangani dengan hati-hati. Obat ini dimulai dengan dosis rendah, 10-
25 mg di malam hari, dan dosisnya meningkat bertahap 10-25 mg setelah 3-7 hari hingga
tercapai tingkat pereda nyeri yang sesuai dengan dosis maksimum 150 mg/hari.17

19
Non-medikamentosa
Rendahnya harga diri dan depresi pada pasien dapat mencegah pemulihan dengan
menghalangi kepatuhan pasien berobat. Konseling dan pembentukan kelompok perawatan
mandiri dibutuhkan untuk penderita neuropati kusta.21,22
Selain konseling, penanganan non medikamentosa lain adalah dengan melakukan
rehabilitasi fisik. Intervensi fisioterapi dianjurkan segera pada orang dengan neuropati kusta
karena terapi kusta yang efektif mencakup rehabilitasi fisik dan pencegahan ketidakmampuan
fisik.21
Beberapa contoh program rehabilitasi fisik pada pasien berupa penggunaan proteksi
tangan dan kaki yang telah kehilangan fungsi sensorik. Pasien harus berhati-hati saat
memasak, menggunakan alat dapur, dan menjaga jarak dengan api. Pasien dapat melakukan
latihan khusus untuk mencegah kontraktur atau kelumpuhan. Pasien yang mengalami
paralisis otot kelopak mata perlu membiasakan diri untuk menutup mata rutin. Pasien juga
perlu memperbaiki kulit keringnya dengan berendam dan menggunakan pelembap.22
Pencegahan
Saraf perifer terpengaruh sejak awal perjalanan penyakit kusta segera setelah terjadi
infeksi oleh M. leprae. Bahkan kerusakan saraf yang sedang berlangsung dapat terjadi tanpa
gejala.3,7 Mencegah terjadinya neuropati pada kusta artinya sama dengan mencegah infeksi
M. leprae itu sendiri pada tubuh.15
Neuropati yang sudah terjadi dapat reversibel bila terjadi kurang dari 6 bulan. Oleh
karena itu, diperlukan pemeriksaan rutin fungsi saraf selama pengobatan kusta sebagai bentuk
deteksi dini terhadap neuropati yang sudah terjadi, yaitu berupa pelaksanaan prevention of
disability (POD), dan penanganan segera supaya neuropati tetap reversibel.18
Penelitian terbaru oleh Wagenaar pada tahun 2017, berupa penelitian multisenter
triple-blind, uji klinik ter-kontrol, yang disebut TENLEP (treatment of early neuro-pathy in
leprosy), mengevaluasi apakah terapi prednisolon selama 32 minggu lebih efektif daripada
terapi prednisolon selama 20 minggu dalam mengembalikan dan meningkatkan fungsi
saraf.3,18 Pada studi tersebut selama evaluasi 1,5 tahun didapatkan bahwa terapi prednisolon
20 minggu sama efektifnya dengan 32 minggu, sehingga disimpulkan prednisolon 20 minggu
disimpulkan cukup untuk menangani neuropati dini pada sebagian besar pasien kusta,
meskipun terapi ini tidak efektif pada 15% pasien.23

20
2.1.8 Prognosis
Neuropati yang tidak diterapi atau terlambat diterapi dapat menyebabkan disabilitas.
Pada kasus neuropati kusta, waktu deteksi dan penanganan merupakan hal yang penting.
Penanganan neuropati kusta yang tepat membutuhkan pengetahuan tentang patogenesisnya
secara mendalam. Keberhasilan terapi kusta seharusnya mencakup pencegahan atau terapi
deformitas dan disabilitas juga. Namun, terapi MDT yang merupakan pengobatan efektif
untuk kusta, tidak mengobati kerusakan saraf yang sebagian besar tidak reversibel.
Pengobatan dengan amitriptilin atau nortriptilin dapat digunakan sebagai lini pertama jika
tidak ada kontraindikasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai tatalaksana untuk
mengatasi neuropati kusta.6,12

21
BAB III
PENUTUP

Kerusakan saraf merupakan komplikasi serius yang selalu ada pada semua bentuk
kusta. Patogenesisnya terkait erat dengan fase reaktif kusta yang hanya sedikit diketahui.

Lokalisasi M. leprae ke saraf, infeksi & respons sel Schwann, mekanisme kerusakan
yang belum diketahui, atrofi aksonal, dan akhirnya demielinasi. Langkah-langkah ini, dan
mekanisme yang bertanggung jawab untuk itu, terjadi dengan cepat dalam perjalanan
penyakit ini (seperti yang dicatat, bahkan lesi diagnostik paling awal memiliki kelainan
sensorik), juga merupakan proses kronis yang dapat berkontribusi pada cedera saraf progresif
selama beberapa tahun kecuali dihentikan oleh pengobatan, dan bahkan setelah penyembuhan
infeksi m.leprae pada beberapa pasien. Karakteristik umum dari seluruh patogenesis ini
adalah peradangan – di dalam dan di sekitar saraf. Peradangan tidak hanya ditentukan oleh
mediator kimianya seperti sitokin dan kemokin, tetapi oleh salah satu fenomena peradangan
yang paling mendasar yaitu edema. Sejauh mana edema dapat berkontribusi terhadap cedera
saraf pada kusta belum ditinjau karena belum diteliti pada saraf yang terkena kusta.

Peradangan di dalam dan di sekitar saraf tidak diragukan lagi didorong, sebagian, oleh
respons imunologis di setiap bagian dari spektrum imunologi kusta, tetapi beberapa fenomena
inflamasi mungkin peradangan non-spesifik yang berhubungan dengan infeksi dan bahan
asing (yaitu, komponen mikobakteri). Bila ada, asosiasi tetap yang dapat dibuat antara
langkah-langkah yang digariskan dalam kerangka konseptual peristiwa ini; bahkan urutan
yang digambarkan dari peristiwa-peristiwa ini tidak pasti. Data tambahan yang cukup besar
diperlukan untuk menentukan hubungan antara proses-proses ini dan mekanisme yang
mendasarinya. Selain itu, meskipun banyak penekanan diberikan pada serabut bermielin (dan
tidak mielinasi) dalam studi biologi neuropati kusta, serat sensorik kecil di kulit tidak
bermielin. Diperlukan studi tambahan tentang mekanisme kerusakan pada saraf ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2015:H. 87-102.
2. Kumar KH, Chauhan A. Leprosy reactions: Pathogenesis and clinical features. Dalam:
Kumar KH, Kumar B, editor. IAL Textbook of Leprosy. Edisi ke-2. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers; 2016. H. 416-437.
3. Rao PN, Suneetha SK, Ebenezer GJ. Neuritis: Definition, Clinicopathological
Manifestations and Proforma to Record Nerve Impairment in Leprosy. Dalam: Kumar
KH, Kumar B, editor. IAL Textbook of Leprosy. Edisi ke-2. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2016. H. 397-413.
4. Vijayan J, Wilder-Smith EP. Neurological Manifestations of Leprosy. Dalam: Scollard
D, Gillis T, editor. International Textbook of Leprosy. 2016. H. 1-15.
5. Samatra D. Anatomi dan fisiologi Sistem Saraf Tepi. Dalam: Mahadewa T, editor.
Saraf Perifer: Masalah dan Penanganannya. Edisi ke-1. Jakarta: PT Indeks; 2013. H. 5-
22.
6. Putri NU, Widasmara D. Neuropati Kusta. Dalam: Media Dermatovenereologi
Indonesia Edisi 1. Vol 47. 2020. H. 106-110
7. Kumar V. Emerging Concept on Peripheral Nerve damage in Leprosy. International
Journal of Research Studies in Medical and Health Sciences vol. 2. 2017;7 :8-18.
8. Garbino JA, Marques Jr W, Barreto JA. Primary neural leprosy: systematic review.
Arq Neuropsiquiatr. 2013;71:397-40.
9. World Health Organization. Global leprosy update, 2017: reducing the disease burden
due to leprosy. Weekly epidemiological record. 2017;445-56.
10. Bhat RM, Prakash C. Leprosy: an overview of pathophysiology. Interdiscip
Perspect Infect Dis 2012; Vol 2012(181089):1-6.
11. World Health Organization. Guidelines for the diagnosis, treatment and
prevention of leprosy. New Delhi: WHO, Regional Office for South East Asia; 2018.
12. Nascimento O. Leprosy neuropathy: Clinical presentations. Arq Neuropsiquiatry.
2013;71:661-6.
13. Salgado CG, Brito AC, Salgado UI, Spencer JS. Leprosy. Dalam: Kang S, Amagai M,
Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS, penyunting.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-9. New York: McGraw Hill
Companies;2019.h.2892-2919.
14. James WD, Berger T, Elston D. Hansen’s disease. Dalam: Berger T, Elston D,
penyunting. Andrews’ diseases of the skin. Edisi ke-12. San Fransisco: Elsevier;
2015.h.337-8.
23
15. Ooi WW, Srinivasan J. Leprosy and the peripheral nervous system: basic and clinical
aspects. Muscle & nerve.2004;30:393-409.
16. Scollard DM, Truman RW, Ebenezer GJ. Mechanisms of nerve injury in leprosy. Clin
Dermatol.2015;33:46-54.
17. Prasad S, Misra R, Aggarwal A. Leprosy revealed in a rheumatology clinic: a case
series. Int J Rheum Dis. 2013;16:129-33.
18. Zoulba E, Sjamsoe ES, Menaldi SL, Marissa M, Irawan Y. Failure to use routine
prevention of disability (POD) assess-ment resulting in permanent disability. JDVI.
2016;1:31-5
19. Nascimento O, de Freitas MRG, Escada T, et al. Leprosy late-onset neuropathy: an
uncommon presentation of leprosy. Arq Neuropsiquiatry 2012;70:404-406.
20. Darmaputra IGN, Ganerwari PAD. Peran sitokin dalam kerusakan saraf pada penyakit
kusta: Tinjauan Pustaka. Intisari Sains Medis 2018; 9(3): 92-100. DOI:
10.15562/ism.v9i3.328
21. Brandsma JW. Rehabilitation of leprosy-affected people: An overview. Clin in
Dermatol.2016;34:66-9.
22. Kaut V, Singh G. Nursing Care in Leprosy. Dalam: Kumar KH, Kumar B, editor. IAL
Textbook of Leprosy. Edisi ke-2. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers;
2016. H. 506-16
23. Wagenaar I, Post E, Brandsma W, Bowers B, Alam K, Shetty V. Effectiveness of 32
versus 20 weeks of prednisolone in leprosy patients with recent nerve function
impairment: A randomized controlled trial. PLoS Negl Trop Dis 2017; 11(10):
e0005952. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0005952
24. Madan NK, Agarwal K, Chander R. Serum cytokine profile in leprosy and its
correlation clinic-histopathological profile. Lep Rev. 2011; 82: 371-382.
25. Prameswari R, Listiawan MY, Rosita C. Peran TNF-α pada imunopatogenesis ENL
dan Kontribusinya pada Penatalaksanaan ENL. FK Unair. 2012; 24(1): 43-48.
26. Sari N, Amiruddin MD, Amin S. Peran Interleukin-2 (IL- 2), Interleukin-10 (IL-10),
dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF- α) pada Penyakit Kusta. MDVI. 2013; 40(1): 35-
40.
27. Illarramendi X, Rangel E, Miranda AM, et al., Cutaneous lesions sensory impairment
recovery and nerve regeneration in leprosy patients. Mem. Inst. Oswaldo Cruz. 2012;
107: 68-73.
28. Wimoolchart S, Chayangsu O, Iamtharachai P, Pattanaprichakul P, dkk. Comparison
between Different Methods of Monofilament Test in Multibacillary Leprosy. J Med
Assoc Thai 2015; 98 (11): 1124-32

24
29. Suresh M, Nicholls P, Das L, Van Brakel W. Voluntary muscle testing and
dynamometry in diagnosis of motor impairment in leprosy: acomparative study within
the INFIR Cohort Study. Lepr Rev 2008;79, 277 — 294
30. Gupta P, Mainra A, Dhanta A. Nerve Conduction Study in Leprosy. IOSR Journal of
Dental and Medical Sciences Volume 17, Issue 4 . 2018; 27-32
31. Haroun O, Vollert J, Lockwood, Bennett D, dkk. Clinical characteristics of
neuropathic pain in leprosy and associated somatosensory profiles:a deep phenotyping
study in India. Pain Reports Research paper 4; 2019; e743.
32. Sreejith K, Sasidharanpillai S, Ajithkumar K, Mani RM, Chathoth AT, Menon PS, et
al. High-resolution ultrasound in the assessment of peripheral nerves in leprosy: A
comparative cross-sectional study. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2021;87:199-
206.
33. Madigan C, Cambier C, Kelly-Scumpia K, Scumpia P, Cheng T, Zailaa J,
Ramakrishnan L. A Macrophage Response to Mycobacterium leprae Phenolic
Glycolipid Initiates Nerve Damage in Leprosy. Cell, 170(5),2017, 973–985.e10.

25

Anda mungkin juga menyukai