SARAF
BAGIAN I
Vanaja Prabhakar Shetty
PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit infeksi kronis pada saraf perifer dan jaringan
lainnya, yang menimbulkan penyimpangan reaksi imun terhadap Mycobacterium
leprae. Selama perjalanan penyakit , terdapat ancaman tambahan pada saraf perifer
berupa kejadian yang dimediasi oleh imunitas intraneural akut, subakut atau
kronis yang dikenal sebagai ‘reaksi kusta’.
1
Topik yang disajikan dan dibahas di sini adalah:
Infeksi, respons host dan gangguan fungsi saraf kulit terlihat jelas pada
manusia dengan penyakit kusta. Beberapa penelitian yang terdokumentasi dengan
baik pada awal 1980-an menjelaskan bagaimana hal ini terjadi.
2
Interfunicular pleksus yang berada di saraf perifer, yang
memfasilitasi kerusakan saraf.
'Nukleus' (yang sekarang dikenal dengan sel inflamasi) yang
terdapat pada saraf kusta dapat dilihat di bawah mikroskop.
Hal ini dikemukakan lebih lanjut oleh Dehio pada tahun 1953 bahwa kusta
neuropati adalah proses sentripetal yang terus naik dan merusak struktur saraf
secara berurutan. Keterlibatan serabut motorik yang dihasilkan dari penyebaran
patologi secara lateral pada batang saraf campuran. Dehio berpendapat bahwa
infeksi tidak turun secara sentrifugal ke terminal saraf intramuskular, tetapi pada
tahun 1978 Dastur membantah pernyataan Dehio mengenai neuritis intramuskular
Studi histologis lanjutan dari sistem saraf pusat dan perifer oleh Ermakova
pada tahun 1936, lebih lanjut menegaskan bahwa tidak ada kerusakan patologi
atau invasi basiler pada saraf, dan kerusakan yang terjadi juga tidak sama. Saraf
ekstremitas diinvasi oleh basil di segmen distal, biasanya pada tingkat pleksus
brakialis dan lumbosakral, dengan basil muncul di ujung dorsal ganglia sensoris.
Pada tahun 1968 Job dan Desikan pada spesimen postmortem menunjukkan
bahwa distribusi basil, respon inflamasi, dan kerusakan serabut yang tidak merata
di sepanjang saraf perifer. Pada tahun 1984 di China dimana Tze-Chun dan Ju-Shi
melaporkan bahwa bahan autopsi 'Ganglionitis' berbentuk infiltrasi sel yang bulat.
Namun; studi ini tidak memberikan informasi tentang status neurologis pasien.
Studi terakhir mengeksplorasi keterlibatan SSP dalam 67 kasus otopsi pasien
kusta lepromatosa (LL) yang sembuh secara klinis. Sebanyak 67% kasus telah
dipelajari pada bagian parafin dari medula oblongata dan sumsum tulang belakang
serta adanya perubahan vakuolar dari neuron motorik. Dengan menggunakan
pendekatan pada reaksi rantai polimerase, DNA genomik spesifik M. leprae
terdeteksi dalam sebagian besar (23/27, 85.2%) dari kasus yang diteliti. Namun,
tidak ada basil asam cepat yang terdeteksi di bagian jaringan Fite-Faraco ini.
Kemungkinan hasil bakteri telah meresap ke dalam cavity SSP. Menariknya,
adanya perubahan vakuola di sumsum tulang belakang menunjukkan korelasi
yang baik dengan kelainan bentuk tangan dan kaki dalam penelitian ini.
3
Studi lesi kulit oleh Khanolkar, merupakan studi pertama yang
memfokuskan pada perubahan saraf dermal dan area berkembangnya basiler. Dia
menyimpulkan bahwa organisme ini lebih memilih berada di dalam akson, dan
dibawa secara sentripetal dalam aksoplasma seperti ' fish swimming upstream'.
Studi mikroskopis elektrik dari saraf kusta pada 1960-an oleh Nishiura, Weddell
dan Palmer11 dan Lumsden12 menunjukkan bahwa basil sel Schwann dari akson
lebih dominan dan merupakan gambaran karakteristiknya. Studi lebih lanjut yang
berfokus pada lesi saraf dini menggambarkan terdapatnya preferensi basil dalam
serabut tak bermyelin sel Schwann, dan signifikan terlihat pada keterlibatan awal.
Studi klinis terbaru menggunakan metode lebih canggih juga menegaskan bahwa
serabut yang tak bermielin atau 'C' sangat jelas terlibat dan menunjukkan
gangguan fungsi pada tahap yang sangat awal.14
Studi klinis korelatif dan operatif pada kelainan neuropatik yang dilakukan
oleh Thomas, menyatakan bahwa M. leprae berkembang di lingkungan mikro
yang sejuk, yang juga merupakan area pembesaran saraf. Pengukuran suhu saraf
oleh Sabin dan rekannya mengkonfirmasi bahwa suhu jaringan di sekitar saraf
ulnaris rendah di pergelangan tangan dan sepertiga distal lengan, yang juga
merupakan area invasi basiler maksimal. Merk merujuk pada fakta bahwa
neuropati tungkai pada kusta biasanya menunjukkan pola stereotip, yang
melibatkan saraf ulnaris di sekitar siku dan lengan bawah, saraf medial sekitar
pergelangan tangan dan lengan bawah, saraf tibialis di sekitar pergelangan kaki
dan saraf peroneal yang umum di sekitar lutut dan paha bagian distal, yang mana
merupakan saraf yang mensarafi otot di sekitar daerah pinggang.
4
funikuli motorik yang terjadi pada kasus tertentu. Faktor yang berkontribusi
memaksimalkan kerusakan di daerah tertentu pada perubahan ditingkat
epineurium. Pada pergelangan tangan, di mana saraf ulnar yang memiliki funikuli
kecil dan banyak, terjadinya kompresi karena adanya edema inflamasi intraneural
dan dapat dikurangi karena jumlah epineurium yang luas dan banyak. Pada siku,
funikuli lebih sedikit dan besar dan epineurium relatif lebih keras; serabut saraf
lebih rentan rusak akibat kompresi. Palande, Dastur dan lainnya berspekulasi
bahwa edema saraf itu sendiri mungkin dikompresi ketika melintasi bagian
osseofibro yang keras seperti pada carpal dan cubital tunnel. Sebuah studi oleh
Carayon menunjukkan jaringan anoksia dari arteri perineurial terkompresi sebagai
faktor yang berkontribusi terhadap faktor kerusakan serabut saraf.
Lesi kulit cenderung terjadi di area kulit yang mempunyai suhu paling
rendah, misalnya pada bagian ekstensor lengan bawah, siku, tangan, paha, kaki,
lutut, kaki dan pipi. Sesuai dengan persarafan kulit yang dipersarafi oleh nervus
ulnaris, medianus, masing-masing saraf perineum, tibia dan trigeminal, yang
akhirnya berimplikasi pada batang saraf. Weddell dan Palmer menunjukkan
bahwa proses fisiologis seperti regenerasi akson terminal dan sel Schwann terjadi
terutama di area ini, yang mungkin mempengaruhi Schwann (tidak
berdiferensiasi) akibat infeksi oleh M. leprae. Studi in vitro menggunakan kultur
ujung ganglion dorsal tikus juga mengungkapkan kerentanan sel Schwann yang
tidak berdiferensiasi terhadap infeksi sesuai dengan pengamatan di atas.
5
evolusi kerusakan saraf pada kusta, telah ditunjukkan bahwa serabut 'C' adalah
yang pertama menunjukkan struktur dan perubahan fungsional. Dalam sebuah
penelitian kohort multisentrik yang besar pada pasien multibasiler, serabut C tak
bermyelin ditemukan lebih sering terkena daripada serabut bermyelin A-delta
kecil. Nerve conduction studies (NCSs) dan pengukuran ambang yang hangat dan
dingin telah muncul sebagai alat yang paling menjanjikan untuk deteksi dini
kusta, dan pemantauan gangguan fungsi saraf. Dalam sebuah studi oleh Karanth et
al.it tercatat bahwa di antara 100 kulit lesi dipelajari di seluruh spektrum,
immunoreactivity neuropeptide hanya terlihat 14% dari spesimen kusta dan
benar-benar tidak ada dalam jenis kusta lainnya. Temuan ini menyoroti hilangnya
signifikansi diagnostik dini immunoreactivity neuropeptide pada lesi kusta.
Analisis biopsi kulit dari serabut saraf epidermis sebagai alat untuk meningkatkan
diagnosis, intervensi prediktif dan terapi yang dapat menjadi acuan.
Kemampuan khas M. leprae yaitu menyerang saraf perifer dan sistem saraf
pusat. Pertanyaan dari bagaimana basil bisa masuk ke dalam tubuh, saraf dan Sel
Schwann khususnya, penting dalam penjelasan patomekanisme / kerusakan saraf.
Semua jalur seperti inhalasi, konsumsi, kontak kulit, dan inokulasi melalui
luka lecet dan gigitan serangga telah diterima selama bertahun-tahun. Bukti saat
ini berimplikasi pada jalur melalui hidung sebagai salah satu jalur masuk yang
penting dan tersebar di lebih dari satu cara. Pertanyaan tentang jalur masuk
penting karena juga dapat menentukan jenis penyakit yang berkembang pada
individu yang rentan. Telah diterima bahwa masuknya organisme melalui kulit
yang intak atau mukosa, merupakan faktor predisposisi yang dimediasi cell-
mediated immunity (CMI), sedangkan inokulasi ke aliran darah melalui mukosa
yang kemungkinan menaikkan tipe bacilliferous yang tinggi dengan CMI yang
lemah atau tidak adanya CMI. Namun, postulasi ini belum terdapat bukti atau
diuji dalam salah satu model eksperimental.
6
Pada dasarnya dengan masuknya ke saraf perifer ini merupakan langkah
pertama dalam menginduksi neuropati pada kusta. Terdapat dua jalur utama
dimana basil kusta bisa memasuki saraf perifer:
Sebagian besar infeksi yang terjadi pada sel Schwann dari serabut saraf yang
tak bermielin; Shetty dan Antia telah membuktikan pada biopsi saraf dengan
mikroskopis elektron pada studi secara kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh
dari kasus kusta yang tidak diobati oleh (Gambar. 11.1).
7
Meskipun tidak jelas mengapa ditemukannya M. leprae di sel Schwann
dari serabut- serabut saraf yang tak bermielin, hal ini dimungkinkan karena
terjadi penyebaran secara longitudinal disepanjang sel Schwann pada serabut saraf
yang tak bermielin difasilitasi dengan adanya tumpang tindih dan sitoplasma yang
berkelanjutan. Masuknya makrofag dan ditemukannya basil di dalam makrofag
dan sel endotel yang melapisi kapiler pada endoneurium terjadi secara kronis dan
berlanjut dengan lesi pada saraf, sedangkan sel-sel yang melapisi limfatik di area
epineurial jarang menunjukkan adanya M. leprae. Studi tentang lesi kulit juga
tidak selalu menunjukkan terdapatnya M. Leprae di sel endotel limfatik.
Kemudian dapat disimpulkan bahwa pada manusia, dimana penyebaran infeksi
dari saraf ke bagian tubuh lain terjadi melalui aliran darah.
8
INFEKSI SEL SCHWANN OLEH M. LEPRAE
Dasar dari kerusakan saraf pada kusta adalah kemampuan khas M. leprae
untuk menyerang, berkembang biak dan tetap tidak berbahaya dalam sel Schwann.
Beberapa studi in vitro telah mencoba menggambarkan langkah yang terjadi
dalam adhesi, invasi dan penyebaran. Berdasarkan penelitian menggunakan
murine pada kultur sel Schwann, dengan masuknya kuman pada awal (dalam 6
jam) yang diamati dengan jumlah bakteri yang cukup. Dalam penelitian lain,
dilakukan kultur pada dorsal ujung ganglion yang terinfeksi M Leprae yang baru;
masuknya M. leprae hanya terlihat di sel Schwann dan neurofibroblas tetapi tidak
ke dalam sel tubuh atau akson. Temuan penting lainnya adalah, sel Schwann lebih
rentan terhadap infeksi M. leprae di sekretori pre-myelin. Pada infeksi M.
leprae,dimana sel Schwann kehilangan kemampuannya untuk memperbanyak dan
mensintesis DNA, yang pada intinya membatasi proliferasi sel Schwann dan
rusaknya respon regenerasi.
Pengamatan secara klinis bahwa biopsi saraf yang normal pada pasien
kusta tidak menghasilkan pembentukan neuroma, sesuai dengan temuan ini
(Antia, komunikasi yang personil).
9
sebagai reseptor laminin pada permukaan sel Schwann. Para penulis mengira
bahwa terdapatnya kedua alfa-2 laminin dan dystroglycan yang bertanggung
jawab untuk membatasi infeksi kusta ke sistem saraf perifer seperti molekul-
molekul yang tidak dijumpai di SSP. Pengamatan mereka menunjukkan bahwa
predileksi M. leprae pada sel Schwann diantara serabut saraf yang bermyelin dan
serabut saraf yang tak bermielin. Temuan ini masuk akal tetapi tidak dapat
menjelaskan pengamatan terhadap masuknya preferensial M. leprae ke dalam sel
Schwann pada serabut saraf yang tidak mengandung mielin pada pasien kusta.
Laminin, kolagen tipe IV yang berhubungan dengan glikoprotein secara in vivo,
merupakan komponen dari lamina basalis pada sel Schwann dari kedua saraf yang
bermyelin dan serabut- serabut yang tidak bermyelin. Selain itu, pemblokiran
dystroglycan yang komplek tidak dapat menghambat M. leprae / Schwann
beradhesi sepenuhnya, menunjukkan bahwa ada lebih dari satu molekul yang
terlibat dalam proses ini.
Dalam studi in vitro dan in vivo lainnya menggunakan Rag-1 tikus, yang
kekurangan limfosit B dan T yang matur, kelompok pekerja yang sama
menunjukkan bahwa myelin Sel Schwann resisten terhadap invasi tetapi
mengalami demielinasi pada perlekatan bakteri, sedangkan sel Schwann yang tak
bermyelin memakan M. leprae dalam jumlah besar. Dan juga telah diamati bahwa
selama M. leprae menginduksi demielinasi, sel Schwann yang tidak terinfeksi
membelah dan menghasilkan lebih banyak fenotipe tak bermyelin, pada pendapat
mereka, lebih jauh memfasilitasi penyebaran infeksi M. leprae.
10
yang disebabkan bakteri. Jika dikonfirmasi pada manusia, dapat memberikan
sudut tambahan terhadap cara M. leprae menyebar pada kasus lepromatosa, tetapi
tidak banyak membantu dalam memahami patofisiologi penyakit yang melintasi
spektrum dan keadaan reaksioner. Selain itu, secara in vivo terdapat dua hambatan
khusus, yaitu pembuluh darah dan hambatan perineurial yang berperan dalam
pemisahan kompartemen saraf.
11