Anda di halaman 1dari 11

PATOMEKANISME KERUSAKAN

SARAF
BAGIAN I
Vanaja Prabhakar Shetty

IAL, BAB 11: Hal:170-174

PENDAHULUAN

Kusta adalah penyakit infeksi kronis pada saraf perifer dan jaringan
lainnya, yang menimbulkan penyimpangan reaksi imun terhadap Mycobacterium
leprae. Selama perjalanan penyakit , terdapat ancaman tambahan pada saraf perifer
berupa kejadian yang dimediasi oleh imunitas intraneural akut, subakut atau
kronis yang dikenal sebagai ‘reaksi kusta’.

Pemeliharaan sistem saraf perifer merupakan hasil dari keseimbangan


kompleks antara dua fungsi sistem imunitas tubuh, yaitu. (1) pertahanan melawan
infeksi, (2) pemeliharaan regenerasi saraf dan fisiologisnya. Penyakit lepra
bersifat khas dimana adanya sifat berbahaya terhadap organisme penyebab (M.
leprae) dan predileksinya pada sel Schwann saraf perifer, dua fungsi sistem
kekebalan tubuh yang muncul bersamaan selama tahap awal kehidupan. Meskipun
peristiwa paling awal dalam interaksi antara organisme penyebab dan tubuh
manusia masih belum jelas, tidak ada perselisihan bahwa keterlibatan saraf perifer
tidak dapat dihindari setelah infeksi berkembang, bahkan sebelum penyakit
tersebut bermanifestasi secara klinis.

Dalam bab ini, membahas berbagai patomekanisme yang terlibat dalam


kerusakan saraf perifer pada kusta. Dalam hal yang sama menjelaskan, sejauh
mungkin, penemuan terdokumentasi yang terbaru dan relevan, baik pada manusia
maupun eksperimental. Selain itu, beberapa temuan lama yang terdokumentasi
yang tidak bernilai; juga menjadi rujukan.

1
Topik yang disajikan dan dibahas di sini adalah:

 Gambaran umum pada kerusakan saraf


 Masuknya M. leprae dan penyebarannya
 Infeksi sel Schwann yang signifikan oleh M. leprae
 Jenis degenerasi dan regenerasi saraf yang terlihat pada penderita
lepra
 Aspek imunologis pada kerusakan saraf
 Kerusakan saraf pada tipe autoimun
 Peran antigen mikobakteri pada kerusakan saraf
 Peran dari sitokin inflamasi pada kerusakan saraf
 Kerusakan saraf yang berbahaya
 Nyeri neuropatik
 Reaksi kusta dan kerusakan saraf.

GAMBARAN UMUM DARI KERUSAKAN SARAF PADA PENDERITA


LEPRA

Infeksi, respons host dan gangguan fungsi saraf kulit terlihat jelas pada
manusia dengan penyakit kusta. Beberapa penelitian yang terdokumentasi dengan
baik pada awal 1980-an menjelaskan bagaimana hal ini terjadi.

Carter, Profesor Anatomi dari Grant Medical College, Mumbai, India,


secara klinis mengobservasi dan melakukan studi histologis pada saraf perifer
yang terdapat di postmortem, yang menguraikan beberapa karakteristik penting
dari keterlibatan sistem saraf oleh M. leprae seperti:

 Tidak mempengaruhi Sistem saraf pusat (SSP).


 Keterlibatan serabut saraf sensorik merupakan gambaran penting.
 Kerusakan cutaneous dan pembesaran saraf yang diikuti pola
berupa penebalan yang maksimal pada bagian superfisial, yang
berakhir ketika saraf menembus fasia yang dalam.

2
 Interfunicular pleksus yang berada di saraf perifer, yang
memfasilitasi kerusakan saraf.
 'Nukleus' (yang sekarang dikenal dengan sel inflamasi) yang
terdapat pada saraf kusta dapat dilihat di bawah mikroskop.

Hal ini dikemukakan lebih lanjut oleh Dehio pada tahun 1953 bahwa kusta
neuropati adalah proses sentripetal yang terus naik dan merusak struktur saraf
secara berurutan. Keterlibatan serabut motorik yang dihasilkan dari penyebaran
patologi secara lateral pada batang saraf campuran. Dehio berpendapat bahwa
infeksi tidak turun secara sentrifugal ke terminal saraf intramuskular, tetapi pada
tahun 1978 Dastur membantah pernyataan Dehio mengenai neuritis intramuskular

Studi histologis lanjutan dari sistem saraf pusat dan perifer oleh Ermakova
pada tahun 1936, lebih lanjut menegaskan bahwa tidak ada kerusakan patologi
atau invasi basiler pada saraf, dan kerusakan yang terjadi juga tidak sama. Saraf
ekstremitas diinvasi oleh basil di segmen distal, biasanya pada tingkat pleksus
brakialis dan lumbosakral, dengan basil muncul di ujung dorsal ganglia sensoris.
Pada tahun 1968 Job dan Desikan pada spesimen postmortem menunjukkan
bahwa distribusi basil, respon inflamasi, dan kerusakan serabut yang tidak merata
di sepanjang saraf perifer. Pada tahun 1984 di China dimana Tze-Chun dan Ju-Shi
melaporkan bahwa bahan autopsi 'Ganglionitis' berbentuk infiltrasi sel yang bulat.
Namun; studi ini tidak memberikan informasi tentang status neurologis pasien.
Studi terakhir mengeksplorasi keterlibatan SSP dalam 67 kasus otopsi pasien
kusta lepromatosa (LL) yang sembuh secara klinis. Sebanyak 67% kasus telah
dipelajari pada bagian parafin dari medula oblongata dan sumsum tulang belakang
serta adanya perubahan vakuolar dari neuron motorik. Dengan menggunakan
pendekatan pada reaksi rantai polimerase, DNA genomik spesifik M. leprae
terdeteksi dalam sebagian besar (23/27, 85.2%) dari kasus yang diteliti. Namun,
tidak ada basil asam cepat yang terdeteksi di bagian jaringan Fite-Faraco ini.
Kemungkinan hasil bakteri telah meresap ke dalam cavity SSP. Menariknya,
adanya perubahan vakuola di sumsum tulang belakang menunjukkan korelasi
yang baik dengan kelainan bentuk tangan dan kaki dalam penelitian ini.

3
Studi lesi kulit oleh Khanolkar, merupakan studi pertama yang
memfokuskan pada perubahan saraf dermal dan area berkembangnya basiler. Dia
menyimpulkan bahwa organisme ini lebih memilih berada di dalam akson, dan
dibawa secara sentripetal dalam aksoplasma seperti ' fish swimming upstream'.
Studi mikroskopis elektrik dari saraf kusta pada 1960-an oleh Nishiura, Weddell
dan Palmer11 dan Lumsden12 menunjukkan bahwa basil sel Schwann dari akson
lebih dominan dan merupakan gambaran karakteristiknya. Studi lebih lanjut yang
berfokus pada lesi saraf dini menggambarkan terdapatnya preferensi basil dalam
serabut tak bermyelin sel Schwann, dan signifikan terlihat pada keterlibatan awal.
Studi klinis terbaru menggunakan metode lebih canggih juga menegaskan bahwa
serabut yang tak bermielin atau 'C' sangat jelas terlibat dan menunjukkan
gangguan fungsi pada tahap yang sangat awal.14

Studi klinis korelatif dan operatif pada kelainan neuropatik yang dilakukan
oleh Thomas, menyatakan bahwa M. leprae berkembang di lingkungan mikro
yang sejuk, yang juga merupakan area pembesaran saraf. Pengukuran suhu saraf
oleh Sabin dan rekannya mengkonfirmasi bahwa suhu jaringan di sekitar saraf
ulnaris rendah di pergelangan tangan dan sepertiga distal lengan, yang juga
merupakan area invasi basiler maksimal. Merk merujuk pada fakta bahwa
neuropati tungkai pada kusta biasanya menunjukkan pola stereotip, yang
melibatkan saraf ulnaris di sekitar siku dan lengan bawah, saraf medial sekitar
pergelangan tangan dan lengan bawah, saraf tibialis di sekitar pergelangan kaki
dan saraf peroneal yang umum di sekitar lutut dan paha bagian distal, yang mana
merupakan saraf yang mensarafi otot di sekitar daerah pinggang.

Keterlibatan saraf motorik terjadi sebagai hasil dari adanya kerusakan


saraf campuran dan bukan merupakan kejadian awal. Interfunicular pleksus
menyediakan jalur yang siap untuk penyebaran infeksi sentripetal dari funikuli
kulit ke funikuli sensorik-motorik. Misalnya di saraf ulnaris, cabang sensorik dan
muskular yang terdapat di funikuli terpisah di pergelangan tangan, menjalani
pengelompokkan kembali di lengan sehingga membentuk satu atau dua funikuli
besar di siku. Perkembangan gejala motorik pada saraf ulnaris yang terkena reaksi
kusta, tergantung pada level di lengan bawah karena gabungan sensorik dan

4
funikuli motorik yang terjadi pada kasus tertentu. Faktor yang berkontribusi
memaksimalkan kerusakan di daerah tertentu pada perubahan ditingkat
epineurium. Pada pergelangan tangan, di mana saraf ulnar yang memiliki funikuli
kecil dan banyak, terjadinya kompresi karena adanya edema inflamasi intraneural
dan dapat dikurangi karena jumlah epineurium yang luas dan banyak. Pada siku,
funikuli lebih sedikit dan besar dan epineurium relatif lebih keras; serabut saraf
lebih rentan rusak akibat kompresi. Palande, Dastur dan lainnya berspekulasi
bahwa edema saraf itu sendiri mungkin dikompresi ketika melintasi bagian
osseofibro yang keras seperti pada carpal dan cubital tunnel. Sebuah studi oleh
Carayon menunjukkan jaringan anoksia dari arteri perineurial terkompresi sebagai
faktor yang berkontribusi terhadap faktor kerusakan serabut saraf.

Lesi kulit cenderung terjadi di area kulit yang mempunyai suhu paling
rendah, misalnya pada bagian ekstensor lengan bawah, siku, tangan, paha, kaki,
lutut, kaki dan pipi. Sesuai dengan persarafan kulit yang dipersarafi oleh nervus
ulnaris, medianus, masing-masing saraf perineum, tibia dan trigeminal, yang
akhirnya berimplikasi pada batang saraf. Weddell dan Palmer menunjukkan
bahwa proses fisiologis seperti regenerasi akson terminal dan sel Schwann terjadi
terutama di area ini, yang mungkin mempengaruhi Schwann (tidak
berdiferensiasi) akibat infeksi oleh M. leprae. Studi in vitro menggunakan kultur
ujung ganglion dorsal tikus juga mengungkapkan kerentanan sel Schwann yang
tidak berdiferensiasi terhadap infeksi sesuai dengan pengamatan di atas.

Karakteristik patologis dan fungsional saraf yang terpengaruh karena kusta


di seluruh spektrum telah dipelajari secara ekstensif dan didokumentasikan.
Penelitian telah menunjukkan respons selullar terhadap infeksi pada saraf tepi
yang lebih besar mirip dengan yang diamati pada dermis. Namun, terdapat
perbedaan signifikan yang ditemukan antara lesi kulit dan saraf terutama di
wilayah batas spektrum. Perbedaannya adalah kuantitatif, yaitu sehubungan
dengan beban bakteri dan kualitatif dalam hubungannya terhadap respon
histopatologis, yang mengarah pada perbedaan dalam klasifikasi.

Berpengaruhnya serabut saraf kulit pada semua jenis kusta mengakibatkan


lesi kulit anestesi atau hipoestesi. Dalam sebuah penelitian yang menjelaskan

5
evolusi kerusakan saraf pada kusta, telah ditunjukkan bahwa serabut 'C' adalah
yang pertama menunjukkan struktur dan perubahan fungsional. Dalam sebuah
penelitian kohort multisentrik yang besar pada pasien multibasiler, serabut C tak
bermyelin ditemukan lebih sering terkena daripada serabut bermyelin A-delta
kecil. Nerve conduction studies (NCSs) dan pengukuran ambang yang hangat dan
dingin telah muncul sebagai alat yang paling menjanjikan untuk deteksi dini
kusta, dan pemantauan gangguan fungsi saraf. Dalam sebuah studi oleh Karanth et
al.it tercatat bahwa di antara 100 kulit lesi dipelajari di seluruh spektrum,
immunoreactivity neuropeptide hanya terlihat 14% dari spesimen kusta dan
benar-benar tidak ada dalam jenis kusta lainnya. Temuan ini menyoroti hilangnya
signifikansi diagnostik dini immunoreactivity neuropeptide pada lesi kusta.
Analisis biopsi kulit dari serabut saraf epidermis sebagai alat untuk meningkatkan
diagnosis, intervensi prediktif dan terapi yang dapat menjadi acuan.

FOKUS MASUKNYA M. LEPRAE KE DALAM SARAF

Kemampuan khas M. leprae yaitu menyerang saraf perifer dan sistem saraf
pusat. Pertanyaan dari bagaimana basil bisa masuk ke dalam tubuh, saraf dan Sel
Schwann khususnya, penting dalam penjelasan patomekanisme / kerusakan saraf.

Semua jalur seperti inhalasi, konsumsi, kontak kulit, dan inokulasi melalui
luka lecet dan gigitan serangga telah diterima selama bertahun-tahun. Bukti saat
ini berimplikasi pada jalur melalui hidung sebagai salah satu jalur masuk yang
penting dan tersebar di lebih dari satu cara. Pertanyaan tentang jalur masuk
penting karena juga dapat menentukan jenis penyakit yang berkembang pada
individu yang rentan. Telah diterima bahwa masuknya organisme melalui kulit
yang intak atau mukosa, merupakan faktor predisposisi yang dimediasi cell-
mediated immunity (CMI), sedangkan inokulasi ke aliran darah melalui mukosa
yang kemungkinan menaikkan tipe bacilliferous yang tinggi dengan CMI yang
lemah atau tidak adanya CMI. Namun, postulasi ini belum terdapat bukti atau
diuji dalam salah satu model eksperimental.

6
Pada dasarnya dengan masuknya ke saraf perifer ini merupakan langkah
pertama dalam menginduksi neuropati pada kusta. Terdapat dua jalur utama
dimana basil kusta bisa memasuki saraf perifer:

1.Jalur pertama adalah melalui aliran darah ke endoneurium melalui


monosit atau sel endotel vaskular. Dengan adanya bakteri di sel endotel yang
melapisi kapiler dan di sekitar saraf perifer ditemukan pada biopsi kasus
lepromatosa. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada LL terdapat basilemia
berkelanjutan dan bertahan selama beberapa waktu bahkan setelah pengobatan. Ini
adalah bukti dari penyebaran vaskular M.leprae. Studi terbaru tentang saraf
perifer pada Armadillo telah menunjukkan bahwa, lepasnya dari jalur infeksi,
dimana makrofag pertama kali berkumpul di sekitar limfatik epineurial dan
pembuluh darah yang kemudian masuk ke dalam kompartemen endoneurial
melalui suplai darah.
2. Jalur penyebaran kedua adalah melalui Schwannian relay, misalnya sel
Schwann sensorik distal dan penyebaran sel ke sel sepanjang kolumna sel
Schwann. Pada manusia, basil dapat terlihat di terminal sel Schwann dari lesi kulit
di seluruh klasifikasi Ridley-Jopling. Beberapa ultrastruktural studi saraf pada
kusta manusia di seluruh spektrum memastikan bahwa sel Schwann tidak
diragukan lagi adalah host yang paling disukai. Karakteristik lainnya berupa
temuan histopatologis yaitu keterlibatan longitudinal satu atau dua fasikula,
dengan melibatkan saraf yang lain dalam ikatan saraf, khususnya pada kusta
tuberkuloid yang mendukung adanya bukti penyebaran M. leprae di sepanjang
Kolumna sel Schwann. Adanya lesi kulit di atasnya batang saraf utama yang
secara signifikan menempatkan saraf dengan risiko adanya gangguan fungsi saraf
yang lebih besar, serta adanya pendapat yang sejalan dengan penyebaran infeksi
sentripental.41

Sebagian besar infeksi yang terjadi pada sel Schwann dari serabut saraf yang
tak bermielin; Shetty dan Antia telah membuktikan pada biopsi saraf dengan
mikroskopis elektron pada studi secara kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh
dari kasus kusta yang tidak diobati oleh (Gambar. 11.1).

7
Meskipun tidak jelas mengapa ditemukannya M. leprae di sel Schwann
dari serabut- serabut saraf yang tak bermielin, hal ini dimungkinkan karena
terjadi penyebaran secara longitudinal disepanjang sel Schwann pada serabut saraf
yang tak bermielin difasilitasi dengan adanya tumpang tindih dan sitoplasma yang
berkelanjutan. Masuknya makrofag dan ditemukannya basil di dalam makrofag
dan sel endotel yang melapisi kapiler pada endoneurium terjadi secara kronis dan
berlanjut dengan lesi pada saraf, sedangkan sel-sel yang melapisi limfatik di area
epineurial jarang menunjukkan adanya M. leprae. Studi tentang lesi kulit juga
tidak selalu menunjukkan terdapatnya M. Leprae di sel endotel limfatik.
Kemudian dapat disimpulkan bahwa pada manusia, dimana penyebaran infeksi
dari saraf ke bagian tubuh lain terjadi melalui aliran darah.

Predileksi saraf M. leprae diakibatkan adanya supresi imunitas tubuh


karena suhu yang rendah, trauma pada saraf yang menyebabkan kerusakan kapiler
dan lengketnya bakteri. Faktor yang melindungi basil pada saraf yaitu tidak
adanya limfatik di endoneurial dan terdapat dua hambatan khusus yaitu,
persimpangan yang kecil pada sel endotel dan sel perineural, yang menyediakan
tingkat perlindungan dan pengasingan yang lebih tinggi dari pengamatan imunitas
tubuh. Hambatan itu juga bisa menghambat penetrasi obat ke saraf sehingga
membuat pengobatan kurang efektif. Kemampuan sel Schwann yang buruk untuk
menghadirkan antigen untuk limfosit juga bisa menjadi salah satu penentu. Sel
Schwann berumur panjang dan serabut sel tak bermielin tidak dilengkapi dengan
enzim pembunuh. Sehingga membuat host untuk bertahan hidup, multiplikasi dan
repositori yang baik untuk M. leprae yang persisten.

8
INFEKSI SEL SCHWANN OLEH M. LEPRAE

Sel Schwann tidak seperti oligodendrosit yang dapat berdiferensiasi,


proliferasi dan berdiferensiasi yang respon terhadap Ras / Raf / MEK / yang
memberikan sinyal setelah terjadinya kerusakan saraf.

Dasar dari kerusakan saraf pada kusta adalah kemampuan khas M. leprae
untuk menyerang, berkembang biak dan tetap tidak berbahaya dalam sel Schwann.
Beberapa studi in vitro telah mencoba menggambarkan langkah yang terjadi
dalam adhesi, invasi dan penyebaran. Berdasarkan penelitian menggunakan
murine pada kultur sel Schwann, dengan masuknya kuman pada awal (dalam 6
jam) yang diamati dengan jumlah bakteri yang cukup. Dalam penelitian lain,
dilakukan kultur pada dorsal ujung ganglion yang terinfeksi M Leprae yang baru;
masuknya M. leprae hanya terlihat di sel Schwann dan neurofibroblas tetapi tidak
ke dalam sel tubuh atau akson. Temuan penting lainnya adalah, sel Schwann lebih
rentan terhadap infeksi M. leprae di sekretori pre-myelin. Pada infeksi M.
leprae,dimana sel Schwann kehilangan kemampuannya untuk memperbanyak dan
mensintesis DNA, yang pada intinya membatasi proliferasi sel Schwann dan
rusaknya respon regenerasi.

Pengamatan secara klinis bahwa biopsi saraf yang normal pada pasien
kusta tidak menghasilkan pembentukan neuroma, sesuai dengan temuan ini
(Antia, komunikasi yang personil).

Telah dibuktikan bahwa pentingnya permukaan lipid pada bakteri dan


polisakarida dalam memediasi sitoadhesi yang selektif. Relevansinya adalah
meningkatnya respon bakteri dengan pengobatan sel Schwann menggunakan
trypsin.

Sebuah penelitian terbaru mengemukakan bahwa domain ‘G ’dari laminin


Rantai alfa-2 adalah molekul penghubung yang diturunkan oleh host. Hal ini
menunjukkan bahwa basil lepra berinteraksi dengan host sel Schwann dengan
adanya pengikatan terhadap integrin alfa-6 beta-4 (dystroglycan) yang bertindak

9
sebagai reseptor laminin pada permukaan sel Schwann. Para penulis mengira
bahwa terdapatnya kedua alfa-2 laminin dan dystroglycan yang bertanggung
jawab untuk membatasi infeksi kusta ke sistem saraf perifer seperti molekul-
molekul yang tidak dijumpai di SSP. Pengamatan mereka menunjukkan bahwa
predileksi M. leprae pada sel Schwann diantara serabut saraf yang bermyelin dan
serabut saraf yang tak bermielin. Temuan ini masuk akal tetapi tidak dapat
menjelaskan pengamatan terhadap masuknya preferensial M. leprae ke dalam sel
Schwann pada serabut saraf yang tidak mengandung mielin pada pasien kusta.
Laminin, kolagen tipe IV yang berhubungan dengan glikoprotein secara in vivo,
merupakan komponen dari lamina basalis pada sel Schwann dari kedua saraf yang
bermyelin dan serabut- serabut yang tidak bermyelin. Selain itu, pemblokiran
dystroglycan yang komplek tidak dapat menghambat M. leprae / Schwann
beradhesi sepenuhnya, menunjukkan bahwa ada lebih dari satu molekul yang
terlibat dalam proses ini.

Dalam studi in vitro dan in vivo lainnya menggunakan Rag-1 tikus, yang
kekurangan limfosit B dan T yang matur, kelompok pekerja yang sama
menunjukkan bahwa myelin Sel Schwann resisten terhadap invasi tetapi
mengalami demielinasi pada perlekatan bakteri, sedangkan sel Schwann yang tak
bermyelin memakan M. leprae dalam jumlah besar. Dan juga telah diamati bahwa
selama M. leprae menginduksi demielinasi, sel Schwann yang tidak terinfeksi
membelah dan menghasilkan lebih banyak fenotipe tak bermyelin, pada pendapat
mereka, lebih jauh memfasilitasi penyebaran infeksi M. leprae.

Studi terbaru yang dilakukan di Universitas Edinburgh, oleh kelompok


yang sama dan diketuai oleh Anura Rambukana menemukan bahwa M. leprae
mampu mengubah sel Schwann. Menggunakan serangkaian eksperimen
kompleks, mereka menunjukkan bahwa sel Schwann yang terinfeksi pada tikus in
vitro menampilkan property of progenitor/stem cell like cells (pSLC) dari sifat
mesenkim. Selanjutnya mereka memberikan bukti bahwa akuisisi sifat-sifat ini
oleh pSLC menghasilkan penyebaran bakteri dengan dua mekanisme yang
berbeda: diferensiasi langsung ke jaringan mesenkimal termasuk otot rangka dan
otot polos, dan pembentukan granuloma seperti struktur dan pelepasan makrofag

10
yang disebabkan bakteri. Jika dikonfirmasi pada manusia, dapat memberikan
sudut tambahan terhadap cara M. leprae menyebar pada kasus lepromatosa, tetapi
tidak banyak membantu dalam memahami patofisiologi penyakit yang melintasi
spektrum dan keadaan reaksioner. Selain itu, secara in vivo terdapat dua hambatan
khusus, yaitu pembuluh darah dan hambatan perineurial yang berperan dalam
pemisahan kompartemen saraf.

Sebuah studi oleh Tapinos menunjukkan bahwa keadaan intrasellullar M.


leprae dapat mengaktifkan ERK langsung melalui jalur independen dan
tergantung p56lck MEK sedangkan keadaan extracellullar M. leprae mencapai ini
melalui pensinyalan Ras-Raf MEK-ERK konvensional melalui ErbB2, reseptor
tyrosine kinase yang dihasilkan oleh faktor reseptor pertumbuhan epidermal.
Demielinisasi yang diinduksi oleh M. leprae dapat dimediasi oleh ErbB2 melalui
pensinyalan tirosin kinase. ErbB2, protein transportatif diduga hanya terlibat
dalam invasi awal oleh M. leprae, persuasif terutama karena kedekatannya dengan
domain resistan terhadap obat yang penting secara evolusi.

Nerve Growth Factor (NGF) berperan penting terhadap kelangsungan


hidup ganglia simpatik dan merupakan pengatur sensasi nyeri. Pengaturan
regulasi NGF pada lesi kulit kusta ditunjukkan oleh Karanth et al. dan Anand et
al. yang menghasilkan pertimbangan yang cukup besar dalam kemungkinan
terapinya. Singh dan rekannya mempelajari produksi NGF dan ekspresi p75 oleh
sel Schwann dan neurofibroblas sebagai respons terhadap infeksi M. leprae dan
produk sekretor makrofag dalam dua strain tikus. Hasil menunjukkan keterlibatan
NGF dalam respon neuroregenerative serta peran nonsuportif untuk makrofag
dalam perbaikan saraf pada kusta. Menurut pendapat mereka, mekanisme yang
berbeda dari perbaikan saraf dapat beroperasi pada Swiss White (SW) dan strain
C57BL / 6 tikus yang mewakili spektrum lepromatosa dan tuberkuloid masing-
masing pada pasien kusta. Temuan penelitian terbaru ini menunjukkan bahwa
regulasi NGF di lokasi lesi dapat menyebabkan gangguan pada jalur mitogen-
activated protein kinase (MAPK) dan dengan demikian kerusakan saraf dapat
terjadi tanpa diketahui (vide infra).

11

Anda mungkin juga menyukai