Anda di halaman 1dari 203

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326436696

BUKU AJAR SARAF PERIFER (TEXTBOOK OF PERIPHERAL NERVE)

Book · July 2012

CITATIONS READS

0 3,100

1 author:

Shahdevi Nandar
Brawijaya University
65 PUBLICATIONS   62 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Dermatology and Neurology View project

mTOR and Epilepsy View project

All content following this page was uploaded by Shahdevi Nandar on 17 July 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BUKU AJAR
SARAF PERIFER

HOW TO CITE THIS BOOK :


Kurniawan S. N. 2012 . Buku Ajar Saraf
Perifer. Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya. UB Press, Malang. p1-197.

ii
iii
DAFTAR ISI

• ANATOMI SARAF PERIFER 1


• FISIOLOGI SARAF PERIFER 11
• TRANSPORT AKSONAL 17
• REGENERASI SARAF PERIFER 33
• CARPAL TUNNEL SYNDROME (CTS) 56
• GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS) 73
• HEMIFASIAL SPASME 85
• HERNIA NUKLEUS PULPOSUS 95
• MYASTHENIA GRAVIS 117
• OPTIC NEUROMYELITIS (DEVIC’S DISEASE) 141
• POLYNEUROPATHY 157
• BELL’S PALSY 171
• NYERI NEUROPATIK 189
• TRIGEMINAL NEURALGIA 207

iv
ANATOMI SARAF PERIFER

1.1 Anatomi Makros


Definisi dari sistem saraf perifer secara umum termasuk saraf perifer, saraf motorik primer dan saraf
sensorik, neuromuscular junction (NMJ), dan otot.1

Gambar 1. Bagian dari Sistem Saraf Perifer 1

Motorneuron primer, sel kornu anterior terletak di depan substansia grisea dari medulla spinalis. Akson
dari sel ini menjadi serat motor di saraf perifer. Proyeksinya berjalan melalui sustansia alba anterior medulla
spinalis sebelum keluar lewat depan sebagai akar saraf motorik. 1
Kontras dengan sel kornu anterior, bagaimanapun juga, dorsal root ganglion (DRG), tidak ditemukan
dalam substansi medulla spinalis itu sendiri tetapi terdapat diluar, dekat foramen intervertebralis. Dorsal root
ganglia (DRG) adalah sel bipolar dengan dua proyeksi aksonal yang terpisah. Proyeksi sentral mereka dari
sensori nerve root. Akar saraf sensorik masuk ke medulla spinalis pada sisi dorsal naik ke posterior column atau
sinap dengan saraf sensorik pada cornu posterior. Proyeksi perifer dari DRG menjadi saraf sensorik pada saraf
perifer. 1

Gambar 2. Spinal cord dan Akar Saraf2

1
Spinal cord dibagi menjadi 31 segmen (8 cervical, 12 thoracal, 5 lumbar, 5 sacral, dan 1 kogsigeal).
Dalam tiap segmen serabut motorik dan sensorik meninggalkan spinal cord sebagai akar saraf sebelum keluar dari
tulang kolumna spinalis. Pada dewasa spinal cord seringkali berakhir pada level vertebra L1. Konsekuensinya,
dibawah level ini hanya saraf motorik lumbosakral terdapat di dalam kolumna spinalis, disebut sebagai cauda
equine. 1
Ramus dorsalis berjalan secara posterior untuk menyuplai persarafan sensorik ke kulit. Ramus ventralis
berbeda tergantung pada segmen di dalam tubuh. Pada area thorak, setiap ramus ventral berlanjut sebagai saraf
interkostalis. Pada cervical bagian bawah (C5-T1), rami ventral bersatu membentuk pleksus brakhialis. Pada
segmen midlumbar sampai sacral, rami ventralis bercampur menjadi pleksus lumbosakralis. 1

Gambar 2. Akar Saraf dan Rami1

Semua otot disuplai oleh satu segmen spinal (seperti satu serabut saraf) disebut sebagai myotome, dimana
semua area kulit disuplai oleh satu segmen spinal disebut sebagai dermatome. Untuk kedua myotome dan
dermatome terdapat ketentuan bahwa terdapat overlap antara segmen yang berdekatan. Karena terdapat derajat
overlap yang tinggi antara segmen spinal, lesi serabut saraf tunggal kadang menyebabkan hilangnya sensoris yang
signifikan dan tidak pernah anestesi (hilang rasa). Pada sisi motorik, lesi akar saraf tunggal menyebabkan
kelemahan ringan atau sedang dan tidak pernah paralisis. 1
1.2 Anatomi Mikros
a. Lapisan Neuron
Pada level mikroskopis, serabut saraf dilindungi oleh tiga lapisan yang berbeda dari jaringan penghubung
: epineurium, perineurium, dan endoneurium. Epineurium yang tebal mengelilingi seluruh saraf dan berlanjut
dengan duramater pada level spinal cord. Di dalam epineurium, axon dikelompokkan menjadi fasikulus,
dikelilingi oleh perineurium. Lapisan terakhir dari jaringan penghubung, endoneurium, terdapat diantara masing-
masing akson. Secara efektif, blood-nerve barier dibentuk oleh kombinasi dari endotel vaskuler yang menyuplai
saraf dan jaringan penghubung perineurium. 1

2
Gambar 3. Pleksus Brachialis3

a. Axon dan Dendrit


Akson merupakan fungsi domain yang paling familiar dan merupakan proses seluler dimana neuron
membuat kontak dengan sel target untuk mengirim informasi, membuat struktur konduksi untuk mentransmisikan
aksi potensial ke sinap, subdomain tertentu untuk transmisi sinyal dari neuron ke sel target (neuron, otot, dll),
seringkali dengan pelepasan neurotransmiter yang sesuai. Konsekuensinya, sebagian besar akson berakhir pada
terminal presinap, meskipun satu akson mungkin memiliki banyak presinap. 4

Diameter aksonal juga cukup bervariasi, rentang dari 0,1 sampai 20 m untuk serabut dengan myelin besar
pada vertebra. Area dari badan sel dimana akson berasal memiliki beberapa gambaran khusus. Domain ini disebut
axon hillock. Sitoplasma di sekitar axon hillock mungkin memiliki beberapa polysome tetapi didominasi oleh
sitoskeleton dan membrane organel yang telah dikirim ke akson. Mikrotubul dan neurofilamen mulai berjajar
parallel satu dengan yang lain, membantu untuk mengatur organel membrane ditujukan untuk akson. Akson sangat
terorganisasi akan mengirim potensial aksi atau kereta dari spike jarak jauh. Karakteristik ini penting untuk
menjaga waktu dan koordinasi yang tepat di sirkuit neuron. 4

3
Gambar 4. Pleksus Lumbosakralis1

Gambar 5. Potongan Melintang Saraf Perifer 2

4
Sebagian besar vertebra memiliki dendrite multiple yang dibuat dari perikaryon. Tidak seperti akson,
dendrite secara kontinyu bercabang. Penjalaran dendrite mungkin kontak dengan banyak akson yang berbeda dan
neuron yang jauh atau diinervasi dengan akson tunggal membuat kontak sinap. Dasar dari dendrite berlanjut
dengan sitoplasma dari badan sel.4
Saraf terdiri atas soma, atau badan sel, dimana nucleus, dendrite dan akson. Saraf dengan badan sel dapat
dengan mudah menjaga akson hingga panjangnya beberapa mile. Bentuk unik dari masing-masing neuron hasil
dari hubungan kooperatif antara komponen membrane plasma (matriks lipid dan protein terkait dan elemen
sitoskeleton). Sebagian besar saraf besar pada vertebra dimyelinisasi oleh oligodendrosit di system saraf pusat
dan sel Schwann di system saraf perifer. Kompak myelin pada akson distal ke segmen awal Menghasilkan
konduksi cepat dari aksi potensial dengan proses yang disebut konduksi saltatory.(Gambar 6) 4

Tabel 1. Fungsi dan Morfologi Akson dan Dendrit 4

5
Gambar 6. Elemen Dasar Organisasi Subseluler Neuron4

b. Sitoskeleton
Sitoskeleton dari sel eukaryotic adalah structure agregasi yang dibentuk oleh tiga kelas struktur
sitoplasmik protein : mikrotubul (tubulin), mikrofilamen (aktin) dan filament intermediate. 4
Mikrotubul memiliki peran penting dalam transport intraseluler, determinan primer dari morfologi sel,
struktur yang terkait dengan spindle mitotic, dan membentuk inti fungsional dari silia dan flagella. Mikrotubul
sangat banyak dalam system saraf, dan subunit tubulin dari mikrotubul dapat berjumlah lebih dari 10% dari protein
otak total. Banyak properti dasar dari mikrotubul telah ditemukan dengan menggunakan protein mikrotubul yang
diambil dari ekstrak otak. Dari berbagai macam fungsi mikrotubul, transport intraseluler dan generasi dari
morfologi seluler adalah peran yang paling penting dari mikrotubul dalam sel system saraf. Mikrotubul memiliki
kemampuan untuk mengorganisasi polaritas sitoplasma. Mikrotubul in vitro adalah dinamik, struktur polar dengan

6
plus dan minus end yang berhubungan dengan fast dan slow-growing ends. Organisasi mikrotubul, stabilitas, dan
komposisi pada system saraf semuanya diregulasi dalam system saraf. 4
Dua kelas struktur sitoskeleton utama dalam semua komponen seluler dari sistem saraf adalah mikrotubul
dan mikrofilamen. Struktur ini menghasilkan substrat untuk berbagai macam sel protein motor. Dengan electron
mikrograf, mikrotubul tampak sebagai tabung lubang dengan dinding terbentuk dari 12-14 protofilamen. Tiap
protofilamen terdiri dari serangkaian α dan β tubulin dimer mengorganisasi polaritas, membentuk plus (fast-
growing) dan minus (slow-growing) end. Pada akson, mikrotubul memiliki plus end distal dari badan sel, dimana
mikrotubul dendrite memiliki kedua polaritas. Mikrotubul rata-rata memiliki diameter 24 nm dan mungkin
memiliki panjang lebih dari 100 μm. Polipeptida yang berbagai macam disebut microtubule-associated proteins
(MAPs) secara khas terkait dengan permukaan mikrotubul. MAP ini dapat membantu regulasi pembentukan dan
organisasi dari mikrotubul. Sebaliknya, mikrofilamen aktin dibentuk dari dua pasang subunit aktin yang
membentuk filament hanya memiliki diameter 4-6 nm. Panjang dari mikrofilamen bervariasi, tetapi sebagian besar
filament neuron pendek dalam rentang 20-50 nm. Banyak protein yang berbeda menunjukkan interaksi dengan
sel mikrofilamen, termasuk crosslinking, bundling, severing, dan capping protein. 4

Gambar 7. Dua Kelas Utama Struktur Sitoskeleton4

Sitoskeleton aktin secara umum berada di eukaryote meskipun mikrofilamen aktin yang paling sering
diketahui sebagai filament tipis dari otot skelet. Mikrofilamen memiliki peran penting dalam kontraktilitas baik
untuk sel otot maupun non otot. Aktin dan partner kontraktilnya myosin sangat banyak di system saraf relative
terhadap jaringan non otot lainnya. Pada saraf, mikrofilamen aktin paling banyak pada terminal presinap, spine
dendrite, kerucut pertumbuhan, dan kortek subplasmalemmal. Meskipun terkonsentrasi pada area ini,
mikrofilamen juga terdapat pada semua sitoplasma dari kedua neuron dan glia pada semua bentuk pendek filament
dari diameter 4 sampai 6 nm dan dari panjang 400 sampai 800. 4
Filamen intermediate dari system saraf tampak solid, fibril seperti tali dari diameter 8 sampai 12 nm dan
mungkin banyak pada panjang micrometer. Protein filamen intermediate terdiri dari superfamili pada lima kelas,
dimana terdapat perbedaan gambaran spesifik ekspresi tipe sel dan tahap perkembangan. 4

Tabel 2. Filamen Intermediate Protein pada Sistem Saraf4

7
Tabel 3. Protein Mikrofilamen Sitoskeleton pada Aktin Otak4

FISIOLOGI SARAF PERIFER

8
Membran aksonal dari tiap-tiap saraf aktif secara elektrik. Mekanisme ini hasil dari kombinasi dari
membrane khusus dan pompa sodium/potassium (Na+/K+). Membran aksonal secara khusus semipermeable
terhadap molekul aliran listrik (anion dan kation). Membran selalu impermeable terhadap anion muatan negatif
yang besar dan relatif impermeable terhadap sodium pada tahap istirahat. Membrane semipermeabel ini bersama-
sama dengan pompa aktif Na+/K+ dimana pompa sodium diluar masuk bertukar dengan potassium, menyebabkan
gradient konsentrasi melalui membrane. Konsentrasi sodium lebih besar di luar membrane dimana konsentrasi
potassium dan dan anion lebih besar di dalam. Kombinasi dari gradient elektik dan kimia ini menyebabkan
kekuatan yang membentuk resting ekuilibrium potensial. Pada saraf sel soma, resting membrane potential ini kira-
kira 70 mV negative di dalam dibandingkan diluar, distal akson kira-kira 90 mV negative.1

Gambar 8. Resting Membran Potential1

Pada gambar 8 saat istirahat, membrane aksonal polarisasinya negative, di dalam dibandingkan diluar.
Potensial istirahat hasil dari kombinasi membrane yang semipermeabel untuk merangsang partikel dan aktif
pompa Na+/K+. Pada istirahat, konsentrasi Na+ dan Cl- lebih tinggi pada ruang ekstraseluler, dengan konsentrasi
K+ dan lebih banyak anion (A-) dalam akson.1
Membran dari akson ini sejajar dengan voltage-gated sodium channel. Struktur ini merupakan pore
molekul yang penting dengan gate yang membuka dan menutup. Pada voltage gated sodium channel, gate
dikontrol oleh sensor voltage yang memberi respon terhadap level dari potensial membrane. Jika current
disuntikkan pada akson, terjadi depolarisasi (akson menjadi lebih positif di dalam). Sensor voltage dalam channel
sodium menuju ke akson dikendalikan oleh baik konsentrasi dan oleh gradient elektrik. 1

Gambar 9. Aksi Potensial1

9
Setiap kali depolarisasi 10 sampai 30 mV terjadi di atas resting membrane potential (disebut threshold),
hal tersebut dapat menyebabkan aksi potensial dan siklus feed back positif, depolarisasi yang lebih jauh terjadi
dan lebih banyak channel sodium yang terbuka. 1

Gambar 9 menunjukkan aksi potensial. Ketika resting membrane voltage terdepolarisasi sampai batas,
voltage gated sodium channel akan terbuka, meningkatkan konduktansi Na+ menghasilkan influx sodium dan
depolarisasi lebih jauh. Aksi potensial bagaimanapun juga, berlangsung pendek, terkait dengan inaktivasi channel
sodium dalam 1 sampai 2 ms dan peningkatan konduktansi K+.1
Aksi potensial selalu berifat respon all-or-none, dimana kemudian dipropagasi jauh dari tempat
depolarisai, seringkali pada kedua arah. Akson tidak terus menerus depolarisasi dalam jangka waktu yang lama,
karena pembukaan channel sodium terbatas waktu. Sodium channel memiliki gate kedua, disebut sebagai
inactivation gate. Inaktivasi dari chanel sodium terjadi dalam 1 sampai 2 ms. Dalam jangka waktu ini, membrane
tidak tereksitasi dan tidak bisa dibuka (disebut refractory period). Inaktivasi gate sodium chanel ini telah
dicontohkan seperti “hinged lid”.1
Sebagai tambahan terhadap inaktivasi channel sodium, depolarisasi juga menghasilkan pembukaan
channel potassium, dimana akan menyebabkan voltage membrane lebih negative. Faktor ini bersama-sama pompa
Na+/K+ mengembalikan resting membrane potensial. 1
Kecepatan konduksi aksi potensial tergantung pada diameter akson, lebih besar akson lebih cepat
kecepatan konduksi. Untuk akson unmyelinated yang tipikal,bagaimanapun juga kecepatan konduksi aksi
potensial mencapai 3 sampai 5 m/s. Kecepatan konduksi meningkat secara signifikan dengan penambahan myelin.
Myelin terdapat pada semua serabut konduksi cepat dan didapat dari sel Schwann, sel pendukung paling utama
pada system saraf perifer. Myelin terbentuk dari spiral konsentrik dari membrane sel Schwann. Membran aksonal
dieksposed hanya pada distal dekat NMJ dan pada gap kecil diantara dua sel Scwann terdekat disebut sebagai
nodus of Renvier.1

Gambar 10. Sel Schwann dan Selubung Myelin1

Gambar 10 menunjukkan sel Schwann dan selubung myelin. Pada gambar kiri gambaran electron
mikrograf dari sel Schwann tunggal dan akson bermyelin. Pada gambar kanan, isolasi myelin didapat dari sel
Schwann dan tampak pada semua serabut konduksi cepat, baik motor maupun sensor. Myelin terbentuk dari spiral
konsentris dari membrane sel Schwann., dimana setiap sel Scwann mendukung akson myelin tunggal. 1
Sebagian besar saraf secara efektif dilindungi oleh myelin dan depolarisasi terjadi dengan cara saltatory
conduction. Depolarisasi terjadi hanya pada tiap nodus of Renvier dimana aliran berloncatan dari nodus ke nodus.

10
Meskipun lebih banyak aliran diperlukan untuk saltatory conduction lebih sedikit membran saraf harus
depolarisasi, lebih sedikit waktu yang diperlukan, karena itu kecepatan konduksi tiba-tiba meningkat. Pada akson
yang bermyelin, densitas chanel sodium lebih tinggi pada area nodus, area yang melanjutkan terjadinya
depolarisasi. Myelin serabut saraf perifer manusia secara khas konduksinya dalam rentang 35 sampai 75 m/s, jauh
lebih cepat daripada yang dapat dicapai dengan meningkatkan diameter dari serabut saraf yang tidak bermyelin. 1
Tidak semua serabut saraf perifer manusia bermyelin. Serabut yang tidak bermyelin, dimana
konduksinya sangat lambat (<3 m/s), menghantarkan terutama nyeri, temperature, dan fungsi otonom. Sel
Schwann juga mendukung serabut tidak bermyelin ini, bagaimanapun juga, satu sel Schwann mengelilingi
beberapa serabut tidak bermyelin tetapi tanpa pembentukan spiral konsentris dari myelin. 1
Serabut saraf bermyelin mempropagasi aksi potensial dengan salutatory conduction. Depolarisasi hanya
terjadi pada area yang tidak terlapisi di antara nodus, dengan aksi potensial loncat dari satu nodus ke nodus
lainnya. Sebagian besar serabut myelin perifer manusia konduksi dengan rentang antara 35 sampai 75 m/s. 1
Ketika akson individu mengalami depolarisasi, aksi potensial propagasi turun pada saraf. Sebuah akson,
bersama-sama dengan sel cornu anterior dan semua serabut otot dimana saling berhubungan disebut sebagai motor
unit. Depolarisasi dari semua serabut otot dalam motor unit membuat potensial elektrik yang disebut motor unit
action potential (MUAP). Ketika aksi potensial dilakukan, semua serabut otot pada motor unit secara bersamaan
akan teraktivasi, sekali lagi respon all or none. 1

Gambar 11. Konduksi Saltatori1

11
Gambar 12. Motor Unit 1

Motor unit merupakan satu akson, sel kornu anteriornya, dan semua serabut otot yang terhubung dan
neuromuscular junction. Aksi potensial pada serabut otot secara normal selalu menghasilkan depolarisasi pada
semua serabut otot dari motor unit membuat potensial elektrik disebut sebagai Motor Unit Aksi Potensial (MUAP).
1

Sebelum serabut otot dapat diaktifkan, aksi potensial saraf harus dibawa sepanjang NMJ. NMJ
merupakan penghubung yang penting elektrik-kimiawi-elektrik dari saraf ke otot. Itu terbentuk dari dua
membrane khusus, satu di saraf dan satu di otot, dipisahkan oleh celah sinap yang tipis. Seiring dengan aksi
potensial berjalan ke sisi presinap dari NMJ, voltage-gated Ca channel akan teraktivasi, menyebabkan influx Ca.
Peningkatan Ca menghasilkan pelepasan asetilkolin, neurotransmitter dari NMJ. Asetilkolin terdifusi lewat celah
sinap untuk mengikat reseptor khusus asetilkolin pada membrane otot. Reseptor ini, ketika teraktivasi,
menyebabkan influks sodium dan depolarisasi serabut otot. Ketika threshold dicapai, aksi potensial serabut otot
dibuat dan menyebar melalui serabut otot. Mengikuti aksi potensial serabut otot, satu set interaksi molekuler
terjadi di dalam serabut otot, menghasilkan peningkatan overlap filament serabut otot : actin dan myosin, dengan
hasil akhir pemendekan otot, kontraksi, dan generasi kekuatan. 1

Gambar 13. Neuromuscular Junction1

12
Filamen actin terhubung dengan garis Z. Sarcomere, suatu unit otot, dibedakan dari satu Z ke berikutnya.
Gambaran overlapping dari filament actin dan myosin pada gambar 14. 1

Gambar 14. Actin dan Myosin1

13
TRANSPORT AKSONAL

Saraf memiliki struktur dengan polarisasi yang tinggi. Tipikal neuron terdiri dari badan sel, beberapa
pendek, tebal, dendrite dan satu panjang, akson yang tipis. Sebagian besar protein diperlukan pada akson dan
terminal sinap disintesa di badan sel dan ditransportasikan melalui akson dalam organel membrane atau kompleks
protein. Sebagian besar protein dendrite juga ditransport dari badan sel, tetapi beberapa mRNA spesifik
ditransportasikan ke dendrite untuk mendukung sintesis protein local. 5
Dalam akson dan dendrite microtubule berjalan dalam orientasi longitudinal dan berfungsi sebagai rel
dimana organel-organel membrane dan kompleks makromolekuler dapat ditransport. Mikrotubule ini panjang,
silinder yang berlubang yang terbuat dari α- dan β-tubulin dan memiliki diameter 25 nm. Memiliki polaritas
intrisik, dengan pertumbuhan cepat “plus end” dan sisi berlawanan pertumbuhan lambat “minus end”. Mikrotubul
pada akson dan dendrite distal sifatnya unipolar, dengan titik plus end jauh dari badan sel. Bagaimanapun juga,
microtubule pada dendrite proksimal adalah polarirtasnya campuran. Organisasi mikrotubul juga berbeda antara
akson dan dendrite.5

Gambar 15. Cytoplasmic Dynein and Kinesin Power Axonal Transport 6

Gambar 13 menunjukkan gambar skematik dari sitoplasma mikrotubul motor protein dynein dan kinesin.
Sitoplasma dynein transport kargo pada arah retrograde menuju minus end dari mikrotubul dimana kinesin
transport kargo pada arah antegrade menuju plus end. Sitoplasma dynein merupakan kompleks multimeric yang
besar terdiri dari subunit heavy chain (merah) yang dimiliki mikrotubul binding dan aktivitas ATP ase, dua
intermediate chain (kuning), dua light intermediate chain (nila), dan beragam light chain (merah muda, hijau,

14
orange). Dynactin, komplek besar protein multisubunit yang ukurannya sesuai untuk sitoplasma dynein, bertujuan
menghubungkan motor dynein dengan kargo/ meningkatkan kemampuan prosesnya. Subunit dynactin yang
terbesar p150Glued (turquoise), membentuk dimer yang memanjang yang berinteraksi dengan dynein intermediate
chain dan berikatan dengan mikrotubul melalui motif CAP-Gly dari kepala globular. Subunit dynactin p50 (merah
muda gelap) menghubungkan p150Glued dengan kargo. Kinesin-1 heterotetramer terdiri dari dua subunit KHC
(merah) dengan domain mikrotubul binding dan ATPase domain, sebuah sentral tankai koil, dan tail domain yang
berinteraksi dengan dua subunit Klc (hijau). Klc dapat memediasi cargo-binding melalui scaffold protein (biru)
yang mengikat protein kargo transmembran. 5

3.1 Molekuler Motor

Molekuler motor mendapatkan energi dari hidrolisis ATP untuk menggerakkan kargo melalui track
sitoskeleton. Mikrotubul utama adalah anggota dari superfamili kinesin (45 pada manusia) dan dynein
sitoplasma.7

Molekuler motor superfamili kinesin dan dynein berjalan sepanjang mikrotubul. Banyak Kinesin
superfamily protein (KIFs) bergerak menuju plus end dari mikrotubul (plus-end-directed motors) dan
berpartisipasi dalam transport anterograde, transport molekul yang selektif dari badan sel ke akson dan dendrite.
Sebaliknya, transport retrograde, dari aksonal atau dendrit ke badan sel, dibawa sebagian besar oleh dynein
sitoplasma, yang minus-end-directed motors.5

3.2 Kinesin Superfamily Proteins

Kinesin-1 (juga diketahui sebagai KIF5) adalah yang paling banyak dipelajari dan merupakan
heterotetramer dari dua Kinesin Heavy Chain (KHC) dan dan dua Kinesin Light chain (KLC). KHC dibentuk dari
domain motor katalitik, leher kecil penghubung, α-helical coiled-coil stalk yang dipisahkan oleh 2 daerah, dan
ekor. Motor domain mengikat mikrotubul, mengandung aktivitas ATP ase, dan bersama-sama dengan leher,
menentukan tingkat proses dan arah, stalk terlibat dalam dimerisasi; ekor, bersama-sama dengan KLC, berikatan
kargo dan meregulasi aktivitas motorik.5

Kinesin superfamily merupakan gen family microtubule-dependent motor yang besar dengan 45 anggota
pada mencit dan manusia. Gen KIF pada 45 murine dan manusia diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan posisi
domain motornya : amino (N) terminal motor, middle (M) motor dan carboxy (C)-terminal tipe motor (disebut
dengan N-kinesins, M-kinesins dan C-kinesins). 5

15
Gambar 16. Struktur N-kinesins, M-kinesins, dan C-kinesins5
Semua KIF memiliki domain motor globular yang menunjukkan derajat homologi yang tinggi dan mengandung
microtubule-binding sequence dan ATP-binding sequence. Berbagai macam domain ikatan kargo menjelaskan
bagaimana KIF dapat mentransport beberapa kargo yang berbeda. Banyak KIF diekspresikan terutama pada
system saraf, tetapi KIF juga diekspresikan pada jaringan lain dan berpartisipasi dalam berbagai tipe transport
intraseluler.5

16
Tabel 4 Nama Famili, Subfamili dan Anggota Superfamili Protein Kinesins 5

Secara in vitro, KIF menunjukkan aktivitas motor tergantung microtubule, dan tiap KIF memiliki kecepatan yang
khas. Kecepatan bervariasi dari 0,2 μms-1 sampai 1.5 μms-1, konsisten dengan kecepatan transport aksonal yang
cepat in vivo. N-kinesins dan M-kinesins secara umum bergerak menuju plus end mikrotubul, sedangkan C-
kinesins tampak bergerak menuju minus end. 5
3.3 Kargo Aksonal dan Motor

Pada akson, banyak organel-organel membrane ditransportasikan dari badan sel ke terminal sinap.
Kandungannya termasuk komponen sinap vesikel dan plasma membrane pada terminal sinap, ion channel,
molekul adhesi, mitokondria juga ditransportasikan. 5

Gambar 17. Anterograde dan Retrograde Aksonal Transport 8

17
KIF5 mentransport vesikel yang mengandung amyloid precursor protein (APP) sepanjang akson. Telah
dilaporkan bahwa vesikel ini mengandung β-secretase dan presinilin-1 yang berperan pada proses proteolitik APP
untuk memproduksi amyloid-β peptide plak amyloid ekstraseluler utama pada Alzheimer’s disease. 5
KIF5 juga mentransport kargo lain, termasuk vesikel yang mengandung apolipoprotein E receptor 2
(APOER2). APOER2 merupakan reseptor untuk Reelin, protein ekstraseluler yang terganggu pada reeler tikus,
yang memiliki ataxia, typical reeling gait, dan abnormal organisasi neuron. KIF5 juga mentransport mitokondria.
5

Tabel 5 Kinesin Superfamily Proteins (KIFs) dan Fungsinya5

18
Tabel 6 Motor dan Kargo pada Transport Aksonal5

Gambar 18. Kinesin Superfamily Proteins (KIFs) dan Kargo untuk Axonal

and Dendritic Transport 5

19
3.4 Sitoplasma Dynein dan Pengenalan Kargo

Sitoplasma dynein adalah kompleks multisubunit yang mengandung 2 rantai berat yang terhubung
dengan rantai intermediate, rantai light intermediate, dan rantai ringan (light). Heavy chain harbor aktivitas ATP
ase dan mengikat mikrotubul, dimana rantai lain terlibat pada ikatan kargo dan ikatan terhadap dynactin. Dynactin
merupakan factor processivitas untuk dynein dan mempunyai implikasi terhadap ikatan dengan kargo.7

Motor retrograde, sitoplasma dynein, membentuk kompleks multisubunit massif tersusun dari heavy
chain yang mengandung domain motor dan beberapa jumlah terkait intermediate dan light chain. Terkait dengan
kompleks protein dynactin, dimana mengandung filament pendek dari actin-related protein, ARP1, dan protein
terkait seperti p150, seperti halnya dynamitin, dimana menghubungkan interaksi sitoplasma dynein dan kargonya.
Sitoplasma dynein mentransport berbagai kargo secara retrograde dalam akson. 5

20
TRANSPORT AKSONAL DAN PENYAKIT NEURODEGENERATIF

4.1 Gangguan Transport Aksonal


Mekanisme dimana transport axonal terputus pada penyakit neurodegenerative bervariasi. Seperti
perjalanan kereta, kerusakan transport bisa terjadi melalui kerusakan pada mesin (kinesin atau sitoplasma dynein),
kerusakan pada rel (mikrotubul), kerusakan pada kargo (sebagai contoh untuk menghambat perlekatannya pada
motor), dan kerusakan pada suplai ATP untuk mesin (mitokondria). 7
Gambar 19 menunjukkan mekanisme gangguan pada transport aksonal, kerusakan terhadap motor
molekuler. (a) Kinesin dan sitoplasma dynein merupakan microtubule-based motor utama. (b) Mutasi pada kinesin
atau sitoplasma dynein yang menghambat aktivitasnya menyebabkan beberapa bentuk familial dari ALS
(p150Glued), hereditary spastic paralegia (HSP) (KIF5A), dan Charcot-Marie-Tooth disease (CMT) (KIF1Bβ).
Lebih jauh, tikus Loa dan Cra yang membawa mutasi dynein heavy chain (DHC) menunjukkan defek transport
aksonal dan menyebabkan MND. Fosforilasi kinesin 1 menghambat aktivitasnya pada berbagai level. (c)
Fosforilasi KLC oleh jalur p38-dependent menghambat aktivitas mitochondria-bound kinesin 1 tanpa
mempengaruhi ikatannya terhadap mikrotubul atau mitokondria. (d) sebaliknya, mutant presenilin-induced
phosphorylation of KLC by GSK3β inhibits kinesin 1–mediated transport dari vesikel oleh putusnya kinesin 1
terhadap vesikel. (e) Akhirnya, fosforilasi dari KHC oleh JNK inhibits kinesin 1–mediated vesicle transport
dengan menghambat interaksi dari KHC dengan mikrotubul; JNK diaktivasi oleh sinyal termasuk polyglutamine
(Poly-Q). Aktivitas sitoplasma dynein juga dapat diregulasi oleh fosforilasi. 5

21
Gambar 19 Mekanisme Gangguan Transport Aksonal, Kerusakan terhadap Motor Molekuler 5

Gambar 20 menunjukkan gangguan transport aksonal : kerusakan pada mikrotubul. Mikrotubul


merupakan struktur yang sangat dinamis yang memungkinkan periode perkembangan yang cepat dan penyusutan,
dan kebiasaannya yang dinamis diregulasi oleh beberapa mekanisme. Deregulasi dari property yang dinamis ini
dapat menyebabkan kerusakan transport kargo. (a) destabilisasi mikrotubul oleh penurunan ikatan GSK3β
dan/atau cdk5/p35-induced hyperphosphorylated tau dapat menyebabkan hilangnya rel mikrotubul untuk
transport (kiri). Hilangnya fungsi mutan spastin dan mutan VAPB menginduksi ikatan abnormal mikrotubul ke
transport yang arahnya salah (kanan). (b) karena mikrotubul pendek lebih ditransportasikan, mutan spastin/atlastin
dan VAPB dapat merusak transport aksonal dari mikrotubul itu sendiri. Hal ini dapat terjadi melalui inhibisi
mikrotubul diputus oleh mutan spastin atauikatan mikrotubul dengan VA)PB/Nir (c) FTDP tau dapat merusak
transport dengan interferensi dengan interaksi antara kinesin 1 dengan mikrotubul.(d) Akhirnya, mutan huntingtin
dapat menginduksi deasetilasi α-tubulin dan pelepasan motor dari mokrotubul. 5

22
Gambar 20. Mekanisme Gangguan Transport Aksonal Kerusakan pada Mikrotubul5

Gambar 21. Mekanisme Gangguan Transport Aksonal Kerusakan pada Kargo 5

23
Gambar 21 menunjukkan gambar gangguan transport aksonal kerusakan pada kargo.
Regulasi/pemutusan dari interaksi motor-kargo dapat memutus transport aksonal pada beberapa penyakit
neurodegenerative. Fosforilasi (bintang) dari neurofulamen (NF) oleh p38 dan/atau cdk5/p35 kinase
memperlambat transportnya, kemungkinan dengan mencegah perlekatan dari motor molekuler (kanan). Sebagai
alternative, kesalahan pembentukan dari NF oleh mutasi CMT mutan NFL atau NF chaperone HSP1B dapat
merusak interaksinya dengan molekuler motor dan menyebabkan defektif transport aksonal. (kiri) 5

Gambar 22 Mekanisme Gangguan Transport Aksonal Kerusakan pada Mitokondria5

Gambar 22 menunjukkan mekanisme gangguan transport aksonal kerusakan pada mitokondria.


Kerusakan pada mitokondria tampak pada banyak penyakit neurodeneratif. Disfungsi mitokondria
memperngaruhi transport aksonal pada paling sedikit 2 cara. Pertama, menghambat fungsi mitokondria
menurunkan transport anterograde baik pada mitokondria dan vesikel kemungkinan dengan aktivasi PKCδ.
Kedua, hasil pengecilan dari mitokondria pada akson akan menunrunkan suplai ATP ke motor molekul

24
menyebabkan penurunan gerakan anterograde dan retrograde dari kargo aksoplasmik. Disfungsi mitokondria juga
menurunkan produksi ATP, selanjutnya munghkin bagian dari mekanisme lingkaran setan yang menyebabkan
kematian akson.5

4.2 Gangguan Transport Aksonal pada Penyakit Neurodegeneratif


1. Gangguan Transport Aksonal pada Penyakit Motor Neuron (Motor Neuron Disease/MND)
Amyotrophic Lateral Sclerosis
a) Mutant SOD1
Mutation pada gen yang mengkode Cu/Zn superoxide dismutase-1 menyebabkan 20% kasus familial
ALS. Mutant SOD merusak baik transport aksonal cepat atau lambat. Pergerakan anterograde cytoskeleton
termasuk neurofilamen melambat, transport cepat dari vesikel dihambat baik pada arah anterograde maupun
retrograde, tetapi hambatan pada gerakan mitokondria khusus pada anterograde.5

Gambar 23. Mekanisme Superoxide Dismutase-1 Mengganggu Aktivitas


Motor Dynein-Dynactin8

Mutant SOD-1 menginduksi jalur yang menyebabkan kerusakan mitokondria dan penurunan ATP untuk
molekuler motor, sinyal pathogen yang mempengaruhi fosforilasi dari molekuler motor dan mempengaruhi
fosforilasi kargo seperti neurofilamen untuk merusak hubungannya dengan motor. 5

25
Gambar 24. Peran Potensial dari Dynein-dynactin pada Agregasi dan Degradasi Mutan Superoxide Dismutase
(SOD1)8

Gambar 24 menunjukkan peran potensial dari gregasi dynein-dynactin dan degradasi dari mutan
superoxide dismutase 1 (SOD1). Protein didegradasi melalui dua jalur, ubiquitin-proteasome system (UPS) dan
autophagy. Dynein dapat memiliki peran potensial dalam mentransport protein target dari sel perifwr ke
proteasome, sebagaimana degradasi UPS dipercaya terdapat pada badan sel. Autophagy mampu tidak hanya
mendegradasi monomerik SOD1, tetapi juga mamapu membersihkan agregat SOD1. Selama autophagy,
protein/agregat dibungkus oleh membrane dan membentuk autofagosom yang kemudian difusi ke lisosom yang
mengandung enzim hidrolitik. Dynein dipercaya terlibat dalam fusi autofagosom dan lisosom. Transport dynein
juga terlibat dalam pembentukan agregat protein perinuklear yang besar disebut agresom yang mungkin
didegradasi oleh autophagy. Mutan SOD1 juga diduga diagregasi pada atau dalam mitokondria dan menyebabkan
kerusakan mitokondria. Transport dynein dan dynein-dependent autophagy digunakan untuk degradasi
mitokondria yang rusak.5
b) Kerusakan pada Mitokondria
Kerusakan ini dipercaya sangat mengganggu rantai transfer electron mitokondria dan sintesis ATP.
Penghambatan gerakan anterograde transport mitokondria menyebabkan peningkatan net transport retrograde
menghasilkan penurunan mitokondria dari akson. Hal ini mempengaruhi transport aksonal dari kargo yang lain
karena penurunan level ATP. 5
c) Sinyal Inflamasi
Respon inflamasi terkait kuat dengan ALS dan mutan SOD 1 itu sendiri dapat disekresi dan aktivasi
microglia. Sel inflamasi dari sel tetangga dapat menyebabkan kerusakan tambahan terhadap transport aksonal.
Juga sinyal TNF-α menghambat fungsi kinesin melalui p38 stress-activated kinase-dependent phosphorilase of
kinesin, dan p38 diaktivasi pada mutan SOD-1 transgenic mice.5

26
d) Sinyal Eksitotoksik
Eksitotoksik memberikan kontribusi terjadinya ALS karena perubahan pada keterlibatan protein dan
metabolit dalam glutamate. SOD1 secara selektif merusak glial glutamate transporter EAAT2 (yang memindah
glutamate sinap) dan level EAAT2 turun pada mutan SOD1 transgenic mice. Mekanisme yang terlibat dapat
merusak baik motor dan kargo. Secara khusus, glutamate mengaktifkan JNKs, p38 dan cdk5/p35, dan semuanya
dengan kuat terkait dengan transport aksonal. JNKs dan p38 memfosforilasi kinesin heavy and light chain untuk
menghambat transport. JNK, p38 dan cdk5/p35 semua memfosforilasi neurofilamen medium chain sidearm,
proses yang terkait pada perlambatan transport neurofilamen. 5
e) Kerusakan pada Kargo
Mutan SOD-1 dapat merusak kargo untuk menghambat transportnya (kemungkinan dengan merangsang
pelepasan mereka dari motor). Akumulasi neurofilamen merupakan tanda patologis dari ALS dan overekspresi
protein neurofilament light (NFL) dan heavy (NFH) chain, peripherin (protein neuron intermediate filament), atau
mutan NFL, yang merusak pembentukan neurofilament menginduksi terjadinya MND pada transgenic mice.
Aksonal transport mengalami defek pada transgenic neurofilament ini.5
f) Mutan Dynactin dan Kerusakan terhadap Fungsi Sitoplasmik Dynein
Mutasi pada subunit dynactin p150Glued menyebabkan disfungsi molekuler motor pada ALS. Satu mutasi
menurunkan afinitas p150Glued untuk kedua mikrotubul dan EB1 dan dapat menyebabkan hilangnya fungsi
dynactin/dynein dan menyebabkan fungsi toksik. Mutasi pada tikus Loa dan Cra pada dynein heavy chain dan
terkait dengan defek pada transport retrograde.5
g) ALS2/Alsin dan VAPB
ALS2 dan VAPB mengalami mutasi pada beberapa bentuk yang jarang dari ALS dan keduanya terkait
dengan perjalnan vesikel dalam neuron. ALS2 adalah factor perubah nucleotide Guanin untuk Rab5 dan Rac.
Rab5 berfungsi pada retrograde transport endosome. VAPB diduga memiliki peran pada transport membrane,
terutama dari endoplasmic reticulum (ER)/Golgi ke sinap. VAPB juga terkait dengan pembentukan microtubule. 5

2. Gangguan Transport Aksonal pada Penyakit Alzheimer

Dua tanda patologis yang khas pada Penyakit Alzheimer adalah neurofibrillary tangles yang mengandung
paired helical filaments (PHFs) dan plak amyloid. PHF dibentuk dari hyperphosphorilated tau, suatu microtubule
associated protein; plak amyloid adalah area degenerasi neurit mengelilingi inti amyloid-β peptide (Aβ). Aβ
adalah 40-42 asam amino petide yang didapat dari pemecahan proteolisis dari precursor protein yang lebih besar,
APP. Aβ dan tau adalah pusat pathogenesis dari penyakit Alzheimer, dan beberapa terkait dengan frontotemporal
dementia with Parkinson (FTDP).5

Gambar 25 menunjukkan peran presenilin pada regulasi transport aksonal. Mutasi/inaktivasi pada
presenilin menyebabkan GSK 3β aktif yang akan merubah fosforilasi kinesin light chain. Fosforilasi kinesin light
chain melepas vesikel untuk kelangsungan transport aksonal cepat, akan menyebabkan penyumbatan dalam akson
oleh vesikel dan menyebabkan neurodegenerasi. 5

27
Gambar 25. Peran Presenilin pada Regulasi Transport Aksonal9

Aβ memutus transport bermacam-macam kargo termasuk mitokondria. Mutant APP dan presenilin-1
dapat merusak transport dengan mempengaruhi produksi Aβ neurotoksik. Mutan presenilin-1 mengganggu
transport melalui efek pada fungsi motor kinesin-1 karena aktivasi KLC2 kinase glycogen synthase kinase-3β
(GSK3β), yang menyebabkan pelepasan kargo dari motor. Hyperfosforilasi tau oleh GSK3β dan/atau cdk5/p35
pada Alzheimer dapat menyebabkan hilangnya rel mikrotubul untuk transport aksonal. 5

Pada penyakit Alzheimer, kerusakan transport aksonal termasuk kerusakan pada motor (mengubah
fosforilasi dari KLC2 melalui presenilin mutan untuk melepas kargo), blok ikatan kinesin dengan mikrotubul
(mutan tau), dan kerusakan mitokondria melalui Aβ toksik5

3. Gangguan Transport Aksonal pada Penyakit Huntington

Pada penyakit Huntington dan Kennedy, ekspansi terjadi dalam huntingtin dan reseptor protein androgen,
dan ekspresi mutan huntingtin dan reseptor protein androgen memutus transport aksonal dalam berbagai model.
Mekanisme bagaimana kerusakan pada transport aksonal belum sepenuhnya dimengerti, tetapi polyglutamine-
expanded androgen reseptor menyebabkan fosforilasi pada KHC oleh JNKs; fosforilase ini menurunkan ikatan
kinesin dengan mikrotubul untuk menghambat transport.5

Huntington berikatan dengan HAP1 (Huntingtin-associated protein), dan HAP1 dengan kuat
berimplikasi pada proses transport; dia berinteraksi dengan KLC1 dan p150 Glued subunit dari dynactin. Juga

28
huntingtin juga meningkatkan transport retrograde dari brain derived neurotrophic factor (BDNF), mutan
huntingtin mengalami defek dalam proses ini. 5

Mutan huntingtin juga terkait dengan transport aksonal melalui efek dari α-tubulin acetylation. Tubulin
acetylation menyebabkan ikatan kinesin 1 ke mikrotubul dan merangsang transport aksonal. Tubulin acetylation
berkurang pada otak penyakit Huntington, jadi mutan Huntingtin dapat merusak transport melalui efek pada
acetylation mikrotubul.5

4. Gangguan Transport Aksonal pada Penyakit Parkinson

α-synuclein yang mengandung Lewy bodies dan Lewy neurit dalam neuron dopaminergik substansia
nigra merupakan prinsip kelainan pada penyakit Parkinson. Mekanisme bagaimana α-synuclein terakumulasi
dalam Lewy bodies belum jelas dimengerti. Tetapi bukti menunjukkan bahwa defek transport aksonal dari α-
synuclein itu sendiri mungkin memberikan kontribusi dalam proses ini. 5

Mutant parkin, PINK1, DJ-1, dan LRRK2 adalah gen-gen tambahan yang terkait dengan bentuk familial
dari penyakit Parkinson. Parkin, PINK1, dan DJ-1 telah terkait dengan pemeliharaan mitokondria dan pertahanan
antioksidan, dan kerusakan mitokondria dan transport mitokondria melalui akson. Lebih jauh, hambatan pada
kompleks I dari rantai transport electron dengan 1-methyl-4-phenylpyridinium (MPP+), metabolit aktif dari
MPTP, dimana menginduksi parkinsonism, menurunkan anterograde dan meningkatkan retrograde transport
aksonal dari vesikel membrane pada aksoplasma cumi-cumi.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Preston DC, Shapiro BE, 2005, Electromyography and Neuromuscular Disorders, Elsevier Philadelphia,
Pennsylvania
2. Baehr M, Frotscher M, 2005, Duus Topical Diagnosis in Neurology, 4 th edition, Thieme, Stuttgart, New
York
3. Waxman, SG, 2010, Clinical Neuroanatomy, 26th edition, McGraw Hill, London
4. Byrne JH, Robert JR, 2004, From Molecules to Network : Introduction to Celluler and Molecular
Neuroscience, Elsevier, USA
5. Hirokawa N, Takemura R, 2005, Molecular Motors and Mechanisms of Directional Transport in
Neurons, www.nature.com/reviews/neuro
6. Duncan JE, Goldstein LSB, 2006, The Genetics of Axonal Transport and Axonal transport Disorders,
www.plosgenetics.org, September, 2006, Volume 2, Issue 9, e124
7. De Vos et al., Role of Axonal Transport in Neurodegenerative Disease, Annu. Rev. Neurosci. 2008.
31:151–173
8. Strom et al, 2008, Retrograde Axonal Transport and Motorneuron Diseases, Journal of Neurochemistry,
2008, 106, 495–505
9. Roy et al., 2005, Axonal Transport Defects: a Common Theme in Neurodegenerative Diseases, Acta
Neuropathol (2005) 109: 5–13

29
REGENERASI SARAF PERIFER

PENDAHULUAN

Regenerasi saraf perifer akhir-akhir ini mulai banyak penelitian yang dikembangkan. Penelitian yang
dikembangkan mengenai bagaimana lingkungan dan sel yang mensupport dari sistem saraf perifer berinteraksi
dengan neuron yang rusak. Sebagai contoh, lesi cabang aksonal sensoris yang tipis (axotomy: transeksi cabang
akson dari neuron) dapat cukup untuk mengirim informasi ke badan sel “parent” di (dorsal root ganglion/DRG)
sejauh semeter. Sebagai respons, sel satelit perineuronal di ganglion, yang tidak terlibat lesi secara dramatis
merubah fenotipnya. Sel satelit merupakan saudara dari sel Schwann, dan kedua jenis tipe sel ini terdapat di
ganglia sensoris. Sel satelit, merupakan sel “POOR”sitoplasma yang dekat dengan neuron sensori individual.
Mereka merupakan bentuk dinamik dari plastisitas hidup dan mati dengan proses apoptosis dan pembelahan di
dalam ganglia yang stabil. Plastisitas mereka berbeda dengan keabadian neuron tetangga. Dlam perjalanan waktu,
sel satelit melebar, dan proliferasi di sekitarnya. Bagaimana neuron berkomunikasi dengan sel tetangga yang
penting masih belum diketahui. Komunikasi antara neuron dan sel satelit bersifat resiprokal. Sebagai contoh, sel
satelit diketahui menyediakan CNTF (Cilliary Neurotrophic Factor) untuk mendukung neuron dan melindunginya
dari lesi.1

Lesi neuron motorik berbeda dengan lesi neuron sensorik. Lesi pada neuron motorik yang memiliki
badan sel yang merupakan pegawai negeri dari CNS, terletak di kornu anterior medula spinalis. Ketika akson
tipis/terjauh terluka, dendrit-dendrit pada gray matter medula spinalis tertarik kembali. Hal ini bersamaan dengan
“synaptic stripping” pada koneksinya dengan neuron-neuron medula spinalis. Bagaimana koneksi dendrit dengan
dendrit dan bagaimana mereka diperbaiki masih belum diketahui dengan jelas. 1

Sel Schwann merupakan tipe sel glia, termasuk sistem saraf perifer yang unik, mensupport semua jenis
akson, sensori, motorik, dan otonom. Perannya dapat dibedakan dengan oligodendrosit (bagian myelin dari CNS).
Setelah awal terluka, maka sel Schwann dapat melayani sel inflamasi lokal dengan memproduksi sitokin,
inducible nitric oxyde synthase (INOS: enzim inflamatori yang menghasilkan Nitric Oxyde) dan molekul
inflamasi yang lain. 1,2

I. STRUKTUR ANATOMI SARAF PERIFER

Struktur sistem saraf perifer kompleks. Trunkus saraf perifer terdiri dari ratusan sampai ribuan akson
yang melewatinya. Trunkus saraf perifer menghubungkan otak dan medula spinalis ke serabut otot di semua tubuh
melalui akson motorik. Trunkus saraf perifer juga berhubungan dengan seluruh organ sensoris ke otak dan medula
spinalis melalui akson sensorik. (gambar 1). Selain itu juga, sistem saraf perifer menghubungkan sistem saraf
pusat dengan otot polos, kelenjar keringat, pembuluh darah, dan struktur lainnya melalui akson sistem saraf
otonom. Akson berjalan melalui trunkus saraf yang berasal dari badan sel neuron (perikarion) di batang otak,
medula spinalis dan ganglia. Badan sel motor neuron ditemukan di nukleus kranialis motorik yang mensuplai
daerah kepala dan leher, dan di kornu motor anterior medula spinalis yang mensuplai badan dan ekstrimitas.

30
Perikarion neuron sensoris ditemukan di ganglion sensoris kranial dan ganglia paraspinal dari T1 sampai L1.
Neuron otonom berada di berbagai tempat : kranial dan ganglia servikal, ganglia simpatik paraspinal, dan berbagai
ganglia di abdomen yang meliputi mesentrik, para aortik, hipogastrik dan lain-lain. Sistem neuron enterik meliputi
1,2,3
sebagian besar neuron di dinding sistem gastrointestinal.

Serabut saraf disusunoleh jaringan konektif dan komponen neural. Serabut saraf juga merupakan organ
sistem saraf perifer yang memiliki ciri tersendiri, dan disempurnakan dengan dikelilingi jaringan konektif stroma
dan disuplai oleh pembuluh darah. Serabut saraf bisa bermielin maupun tidak bermielin. Serabut yang tidak
bermielin disusun olah beberapa akson, dilapisi oleh grup sel Schwann yang single. Serabut yang bermielin terdiri
dari akson yang single, dilapisi oleh sel Schwann yang single secara individual. Selubung mielin yang multilamina
dibentuk oleh membran sel schwann yang mengelilingi serabut saraf yang bermielin. Jaringan konektif sistem
saraf perifer memiliki 3 lapisan, meliputi endoneurium, perineurium, dan epineurium. Struktur ini berfungsi untuk
malindungi serabut saraf dan akson. Epineurium mengelilingi seluruh trunkus saraf perifer. Perineurium
mengelilingi fasikel serabut saraf. Endoneurium lapisan paling dalam yang mengelilingi serabut saraf.
Perkembangan normal dari saraf perifer dan struktur morfologinya (akson, sel schwann, dan kompinen
epineurium, perineurium, dan endoneurium), merupakan komponen penting bagi fungsi integritas dari fungsi
tubuh yang mengkontrol berbagai jaringan, organ dan sistem secara homeostatsis.(gambar 1.1). 1,3

Trunkus saraf berasal dari pertemuan cabang-cabang yang mensuplainya. Motor neuron mengirimkan
akson pada trunkus saraf melewati radiks ventral medula spinalis dan cabang motorik dari saraf kranialis. Neuron
sensoris memiliki cabang single yang berasal dari badan sel dan terbagi menjadi 2 bagian (pseudounipolar).
Perkembangan sel schwann, termasuk marker molekul, respons signaling dan hubungan dengan jaringan, dari
awal stadium gliogenesis yang sudah sering diteliti (Woodhoo dan Sommer, 2008). Sel schwann berperan untuk
formasi dan pemeliharaan myelin saraf perifer dan menyelimuti akson yang tidak bermielin. Terdapat dua jenis
akson, yang menyelimuti akson yang bermielin yang berfungsi sama fungsi dan morfologi dengan oligodendrosit
di CNS; dan yang menyelimuti akson yang tidak bermielin berfungsi sebagai metabolik dan mensupport
mekanikal seperti halnya astrocyt di CNS. Sehingga, sel Schwann penting untuk survival neuron selama
perkembangan, dan kontrol regenerasi saraf yang sukses dan secara fungsional memperbaiki saraf yang
rusak.(Jessen, 2004). 1,2,3

Gambar 1.1 Ilustrasi dari trunkus Saraf Perifer (Ilustrasi oleh Scott Rogers)

31
II. Struktur dan karakter “nerve trunk”

Struktur trunkus saraf perifer berbeda dengan di otak, medula spinalis. Dikelilingi oleh struktur kolagen,
kekuatan tegangan dari trunkus saraf perifer sangat penting untuk pergerakan ekstrimitas dan melindungi dari
kompresi. Apabila terjadi peningkatan kompresi pada saraf perifer, maka struktur sarafnya menjadi kompliance.
Kompliance berarti peningkatan tekanan lokal terjadi tanpa okluding suplai dari vaskular lokal, dan terjadi
stretching tanpa kerusakan akson yang parah. 1,2,3

Suplai darah epineural dari trunkus saraf perifer memiliki kualitas fisiologis yang unik. Properti ini
menyebabkan kekurangan autoregulasi, membedakannya dengan aliran darah otak. Vasa nervorum memiliki
properti vasoaktif. Vasa ini kaya inervasi oleh ujung adrenergik simpatis dan akhir peptidergik, yang dapat
1,2
berpengaruh pada airan downstream dari pembuluh darah yang menginervasinya.

III. Arterialisasi Pembuluh Darah Perifer

Trunkus saraf perifer dan ganglia disuplai oleh pembuluh darah yang dinamakan vasa nervorum yang
memiliki fisiologis yang unik dan kualitas struktural. Kualitas struktural memiliki dampak yang penting terhadap
respons lesi saraf perifer. Untungnya, saraf perifer disuplai oleh banyak vaskular, kaya, dan sulit untuk
menimbulkan iskemik. Hampir sebagian besar lesi fokal pada saraf tidak sampai iskemia. Walaupun demikian,
lesi iskemik pada saraf perifer yang komplit dan memberikan blok konduksi aksonal yang akut di daerah lesi
saraf. Jika diperpanjang, degenerasi aksonal distal terjadi. Lesi trunkus saraf yang kronis berhubungan dengan
1,2
penurunan aliran darah lokal yang berkontribusi terhadap mkroenvironment dari regenerasi.(Gamba1.2.).

Gambar 1.2 Ilustrasi suplai mikrovaskular dari trunkus saraf perifer (Ilustrasi oleh Scott Rogers)

32
IV. REGENERASI SARAF PERIFER

Regenerasi saraf perifer menunjukkan kemampuan saraf perifer untuk memperbaiki dirinya sendiri,
termasuk membuat kembali koneksi yang dapat berfungsi lagi secara fungsional. (gambar 2.1). 1-3 hari setelah
akson dipotong, ujung dari bagian proksimal membesar, atau membentuk bentukan seperti kerucut yang tumbuh.
Bentukan kerucut ini mengeluarkan pseudopodia yang mirip dengan “axonal growth cones” terbentuk di
lingkungan yang normal. Masing-masing “axonal growth cones” mampu untuk membuat banyak cabang yang
melanjutkan jauh dari tempat saraf dipotong. Apabila cabang dipotong, dapat menyeberangi jaringan skar dan
4
masuk ke tunggul saraf bagian distal. Regenerasi yang sukses dengan restorasi fungsi terjadi.

Pentingnya regenerasi aksonal melalui tabung sel Schwann, yang dikelilingi oleh basal lamina
(Bungner’s bands) di distal dari tunggul saraf menjelaskan bahwa perbedaan derajat regenerasi dapat terlihat
setelah “nerve crush” dibandingkan dengan “nerve transection”. Setelah lesi/injury saraf perifer, akson mungkin
parah, tetapi sel Schwann di sekitar basal lamina, dan perineum memelihara kontinuitas saraf yang mengalami
lesi. Hal ini memfasilitasi regenerasi aksonal melalui saraf yang lesi. Sebaliknya, jika saraf dipotong, kontinuitas
jalur ini diganggu. Bahkan dengan operasi yang teliti dan cermat pun, ini sangat sulit untuk meluruskan bagian
4
dari distal dan proksimal akson. Sehingga sulit untuk dilakukan regenerasi aksonal.

Akson sistem perifer akan mengalami reinervasi baik pada otot maupun sensorisnya. Akan tetapi, akson
motorik tidak berhubungan dengan struktur sensorik, atau akson sensorik ke otot. Walaupun akson motorik
mengalami reinervasi dari otot yang denervasi, tetapi akson ini lebih menyukai berhubungan dengan otot yang
lebih original. Inervasi dari otot yang salah oleh akson motorik yang regenerasi merupakan reinervasi anomali,
yang bersamaan dengan gerakan yang tidak tepat dan tidak diinginkan. Sebagai contoh, “jaw winking”, dimana
akson motorik yang terluka mengalami reinervasi yang bertujuan pada otot pengunyah tetapi reinervasi dengan
sekitar mata. 4

Gambar 2.1 Perubahan yang terjadi pada neuron dan strukturnya menginervasinya ketika akson dipotong pada
titik point X (Modified from Ries D. Reproduced with permission, from Ganong WF: Review of Medical
Physiology, 22 nd ed. Mc Graw Hill, 2005).

33
V. MEKANISME PERBAIKAN SARAF: END TO SIDE NERVE REPAIR

Tiga mekanisme yang terlibat pada perbaikan saraf ETS menyebabkan reinnervasi.(1). Reinnervasi
dengan akhir sprouting dari trunkus proksimal dari saraf yang mengalami lesi. (2). Reinnervasi oleh “collateral
sprouting”, dimana akson yang tidak mengalami lesi dan sehat memberi cabang ekstra untuk meninggalkan tune
saraf dari saraf yang mengalami lesi. (3). Reinnervasi oleh elongasi dari akson yang mengalami lesi, dikenal
dengan “terminal/regenerating sprouting”. (Gambar 3.1). Mekanisme selain di atas, terdapat “pruning” yang
berperan pada plastisitas neuronal dan otak. 2

Gambar 3.1. Perbaikan Saraf: End to side Nerve Repair (A) dan tiga mekanisme dimana akson yang
direkruitmen didekatkan dengan saraf distal dan (B).kontaminasi, C : Sprouting kolateral D:
Regenerasi sprouting terminal

Mekanisme yang dapat diterapkan pada hewan coba dengan metode teknik elektrofisiologis (potensial
aksi, kecepatan hantar saraf, dan stimulasi elektrik otot (gaya kontraksi), metode histologis (morfometri,
pengukuran area saraf total, jumlah akson, ketebalan mielin, dan tanda-tanda degenerasi, immunohistokimia,
neurofilamen, S100, Pengecatan Growth Associated Protein 43 (GAP 43), dll), teknik morfologi yang lanjut
(visualisasi “growth cone, teknik mikrotease), pelabelan retrogade dari neuron sensori dan motorik (di”trace”
dengan Fast Blue (FB), diamidino yellow (DY), dll) dan ekspresi berbagai substansi sel dan signal (seperti
neuropeptida, cytokin, faktor transkripsi, gen, dll). 2

VI. REGENERASI SARAF

Regenerasi saraf meliputi berdasarkan waktu awal sprouting, elongasi aksonal, ‘regrowth kaliber
aksonal”, remielinasi dari kaliber akson, repopulasi trunkus saraf oleh akson yang matur, dan ekstensi ke target
jaringan tertentu. Selama regenerasi aksonal, perlu diketahui fase mana yang dialami oleh saraf yang mengalami
lesi tersebut. 1

Selama regenerasi, penggunaan plastik semithin yang ditempelkan sebagai contoh bagian sampel pada
jarak yang tetap dari lokasi tempat lesi saraf menjelaskan penilaian seberapa banyak dan seberapa matang akson
1
yang baru saja mengalami regenerasi, baik yang bermielin maupun yang tidak bermielin.

34
Spesimen harus dibuat lembab dengan cepat setelah reseksi dan sebelum difiksasi. Saraf dari tikus
dikeringkan dengan cepat. Selubung myelin akson bengkak, hilang kontras mereka dan sejalan waktu mengubah
profil akson yang bermielin. (gambar 4.1). Serabut saraf ini terdiri dari beberapa lingkaran konsentrik mirip donat
yang dicat dan tidak tampak akson di dalamnya. 1

Gambar 4.1. Diagram yang mengilustrasikan analisis untuk set up analisis regenerasi akson fase awal dengan
cara membuat gap transeksi saraf perifer dan manipulasi mikroenvironment regeneratif dengan akses tube
subkutan ( Ilustrasi oleh David McDonald)

VII. PROSES REGENERASI SARAF AWAL

Regenerasi saraf perifer awal merupakan proses awal yang meliputi proses anatomi, interaksi signaling,
dan bagaimana mereka saling mempengaruhi dan berkoordinasi dengan baiknya. Beberapa informasi lain
mengenai signaling pertumbuhan konus dan “guidance” nya tidak diperiksa pada kondisi tertentu saat
pertumbuhan kembali saraf perifer. 1

A. KEJADIAN AWAL AKSONAL

Respons cepat waktu terjadi “injury”

Akson yang mengalami lesi secara fisik, akan terjadi beberapa proses molekular yang berlangsung dalam
hitungan detik, menit, dan jam. Akson yang mengalami lesi akan berdepolarisasi secara cepat, menciptakan
propagasi retrogade potensial injury. Signal-signal yang kritis, berhubungan dengan gelombang kalsium, dari
akson distal sampai bagian proksimal neuron. Hal ini berhubungan dengan awal untuk menginisiasi pergeseran
dari bagian sarafnya. Jadi, neuron mulai melepaskan perannya sebagai transmitter stabil menjadi bagian yang
utama untuk regenerasi. 1

Akson yang mengalami transeksi secara cepat (dalam hitungan jam) berusaha untuk menutup akhir saraf
setelah transeksi. Tujuannya untuk mencegah aksoplasma yang akan keluar. Perbaikan akson yang cepat

35
membutuhkan sintesis membran baru baik melalui membran setempat maupun transpor sepanjang akson. Tidak
semua lesi pada saraf mengenai membran aksonal. Jelasnya, proses penutupan yang berlebihan dibutuhkan untuk
membalik kondisi akibat lesi dari saraf. Hal ini membutuhkan lattice yang mendukung untuk untuk akson, sebagai
contoh neurofilamen dan jaringan mikrotubulus. Protein sitoskeletal yang hancur kemungkinan merusak transpor
aksoplasmik dan aktivitas membran yang mempengaruhi proses pemulihan. Selama proses ini, akson dari tikus
transgenik yang kekurangan neurofilamen berusaha maksimal untuk hancur. Apabila terdapat proses transeksi
yang secara fisik atau merusak dari proses transeksi atau hancur, terjadi kerusakan yang irreversibel dan tidak
dapat diperbaiki lagi. Aksonal downstream akan mengalami degenerasi wallerian jika bagian tunnggul proksimal
dan distal dai akson individual masih tersambung. Pencetus dari kematian akson bersifat sementara, sebagai
contoh gelombang kalsium yang digambarkan, tetapi cukup untuk mengaktifkan mesin pengaktif degenerasi
Wallerian. 1

Apabila Trunkus saraf perifer mengalami transeksi, degenerasi retrograde ke nodus pertama dari Ranvier
di bagian proksimal akson terjadi. Reaksi retrogade berhubungan dengan berbagai perubahan yang dijelaskan oleh
degenerasi wallerian di bagian distal, meliputi akstivasi Sel Schwann (SC) dan invasi makrofag. Sehingga, akson
yang baru pertumbuhannya dari proksimal memerlukan waktu untuk sampai ke sisi lesi. 1

Bagian akhir distal dari akson yang mengalami transeksi mengalami reorganisasi awal ultrastruktural
saat awal terjadinya lesi. Pada awal jam-jam pertama setelah transeksi, mikrotubulus pertama kali dibongkar,
kemudian reorganisasi menjadi bentukan “traps”/jebakan dimana merupakan tempat akumulasi vesikel.
Mikrotubulus merupakan struktur longitudinal yang bersifat polar dengan akhiran yang bermuatan + dan -. Pada
akson yang intak, titik mikrotubulus selalu satu arah dengan akhiran + di bagian distalnya. Lesi yang terjadi,
mengubah orientasi arah. “Positive trap” merupakan salah satu perubahan orientasi tersebut dan berhubungan
dengan kumpulan vesikel yang transportasi secara anterograde. Vesikel-vesikel ini membantu untuk membentuk
“ Growth Cone Organizing Complex” (GCOC). Pertumbuhan tersebut selanjutnya, membutuhkan GCOC yang
berfusi dengan vesikel transpor anterograde untuk menyediakan material membran. Golgi yang berasal dari
vesikel juga berhubungan dengan GCOC. “Minus Trap” sebaliknya dari positif trap. Tabel berikut merupakan
beberapa protein yang berhubungan dengan regenerasi saraf perifer.1

Transeksi aksonal mengalami perubahan dramatis pada struktur proksimal aksonalnya.(gambar 5.1) .
Dalam 24-48 jam setelah didapatkan lesi di akhir proksimal dari akson yang rusak dan membengkak,
menghasilkan struktur yang disebut “axon endbulbs” atau “bouton”. Jika bagian akson endbulb berkembang dari
“plus trap”, kemudian terjadi perubahan mikrotubulus seperti yang disebut di atas. Endbulb berperan
menunjukkan kerusakan dari tanspor anterograde ke retrograde. Hal ini dideskripsikan oleh Cajal. 1

Endbulb merupakan proses patologis yang penuh dengan keanehan. Selain protein struktural, endbulb
juga merupakan peptida fungsional dan enzim. Cajal menduga bahwa endbulb mengalami putus lambat dan akson
bagian proksimal dari tunggul yang tampak tetap intak menjauh untuk saling kontak. Sehingga, neuropeptida
CGRP (calcitonin gene related protein) secara lambat dilepas melalui endbulb, dan ketika spasi ekstraselular
mengeluarkan vasodilator dari mikrovessel lokal. Hal ini dapat berperan sebagai mitogen bagi sel Schwann dan
beraksi sinergis dengan SP (substansi P), untuk memfasilitasi “discharge ektopik” lokal yang mengawali proses
nyeri neuropatik. Peptida lain yang dikeluarkan oleh endbulb aksonal meliputi SP, NPY, dan galanin. Lebih lanjut,

36
endbulb merupakan tempat akumulasi kanal natrium yang lain dari biasanya, yang berhubungan dengan generator
impuls akson ektopik, dan nyeri. Endbulb juga mengekspresikan reseptor μ opioid yan berfungsi sebagai
mengurangi signaling nyeri.(Gambar 5.2).1

Tabel 1 Beberapa regenerasi yang berhubungan dengan protein

37
Gambar 5.1. Ilustrasi kejadian selama proses regenerasi awal dari trunkus yang saraf yang mengalami transeksi.
Gambar dari atas sampai bawah menunjukkan transeksi yang diikuti oleh formasi end bulb aksonal, regenerasi
sprouting awal, dan bridging dari zona transesksi. (Ilustrasi oleh Scott Rogers).

Aksonal endbulb juga merupakan akumulasi isoform dari nitric oxyde synthase (NOS), baik endothelial
NOS (e NOS) maupun neuronal NOS (n NOS). Ketika nNOS berada di neuron dan diupregulasi setelah lesi.
eNOS secara eksklusif di sel endotel, baik di perikarion neuron CNS maupun perikarion neuron sensoris PNS.
Akumulasi NOS dalam endbulb aksonal berperan sebagai sumber enzim lokal dari nitric oxyde (NO), radikal
bebas yang berdifusi dan dapat menyebar dengan mudah di luar akson. NO lokal yang lepas berhubungan dengan
beberapa saraf yang mengalami lesi, termasuk fasilitasi “discharge” nyeri ektopik, dilatasi pembuluh darah lokal,
atau perubahan “gowth cone” lokal. Sebagai contoh, NO mampu untuk melipat “growth cone”. Akan tetapi,
beberapa waktu yang lain, signal akson juga tumbuh melalui cGMP. NO berpengaruh terhadap proses regenerasi
bergantung waktu dan seberapa jauh dilepaskan. Studi sebelumnya menyebutkan bahwa NOS inhibitor dapat
1
dimasukkan untuk memperbaiki regenerasi saraf pada tikus.

Gambar 5.2. Endbulb aksonal yang menggunakan imunohistokimia untuk dilabel. Bagian proksimal endbulb
yang lesi dan berisi reseptor opioid mu (panah) ( kiri atas), dilabel dengan neurofilamen (kiri tengah), bagian
saraf schiatica yang ditranseksi bagian aksona endbulb mengandung CGRP (kanan atas)

38
Sebagai kesimpulan, endbulb aksonal dapat mengubah mikroenvironment dari trunkus saraf perifer
dalam hitungan hari setelah terjadinya lesi. Interaksi awal dari akson-mikroenvironment berhubungan dengan
endbulb memepengaruhi komponen utama dari perbaikan saraf.: kontrol mikrovaskular, proliferasi selular lokal,
dan induksi nyeri. 1

B. SPROUTING

Pertumbuhan awal sprouting dari “growth cone” akson yang terjadi dalam beberapa jam setelah lesi,
bahkan ketika akson sudah tidak lagi berhubungan dengan badan selnya. Protrusi membran dari neuron
membentuk hasil pertumbuhan yang paling awal. Neurit merupakan awal hasil pertumbuhan akson atau dendrit,
yang pada fase ini sulit dibedakan. Protrudin merupakan molekul protein yang mempromosikan hasil tumbuh
neurit. Protudin yang berinteraksi dengan membran protein seperti Rab 11, dapat membantu untuk menentukan
arah penyortiran membran. Bagaimana akson membutuhkan lipid baru untuk membentuk membran merupakan
faktor penting dalam menentukan rerata hasil tumbuh. Lipid kemungkinan ditransportasikan melalui vesikel
secara transpor aksonal anterograde cepat (bergantung mikrotubulus, 400 mm/hari) atau ditransportasikan melalui
semacam rakit yang berisi kolesterol dan spingolipid. Tidak semua bagian dari hasil tumbuh akson dan “growth
cone” tidak diproduksi oleh badan sel. Sebagai gantinya, fosfatidilkolin, membran fosfolipid mayor secara lokal
disintesis untuk pertumbuhan akson. Lipid harus ditambahkan di sepanjang neuron dari badan sel,akson ke
“growth cone”. Sebaliknya, sintesis kolesterol kemungkinan di dalam perikarion atau bdan sel. Apolipoprotein E
memfasilitasi proses pengiriman lipid. 1,2

Setelah terdapat lesi in vivo, 1-2 hari dibutuhkan sebelum akson mengalami ekstensi dari tempat lesi
yang terdeteksi. Bentukan pertumbuhan ini tidak terjadi tanpa koneksi dengan badan sel. Hampir sebagian besar
sprout berasal dari akson yang bermielin dalam nodus of Ranvier awal, dan beberapa berasal dari node of ranvier
yang kedua. Friede dan Bischhausen menunjukkan bahwa analisis ultrastruktural dari 5 akson yang bermielin
ditranseksi setelah 72 jam, terjadi sprouting. Sproutin terjadi pada hai pertama. 3 dari 5 akson memiliki sprouting
yang ekstensif, sedangkan 2 akson lainnya mengalami endbulb aksonal yang besar tanpa sprouting. (Gambar 5.3).
1

Gambar 5.3. Respons dari bagian proksimal akson dari tikus setelah ditranseksi (72 jam awal) dengan analisa
ultrastruktural oleh Friede dan Bischhausen. Pola aksonal dengan warna hitam yang diblok. Berbagai varian
pola pertumbuhan dari akson yang mengalami multipel sprouting di bagian distal maupun proksimal dari node
of ranvier. Dua dari kanan yang memiliki endbulb aksonal yang besar tanpa sprouting (Friede dan Bischhausen)

39
C. REGENERASI SPROUTING DAN KOLATERAL DAN PRUNING

Sprouting akson bisa didapatkan pada berbegai jenis. Formasi regenerasi sprouting berasal dari akson
yang rusak secara transeksi ataupun “crush”. Sprout dapat terbentuk ketika saraf mengalami lesi di akhir akson,
atau lebih proksimal. Pada kasus sprouting akson yang bermielin cenderung membentuk node of ranvier intak di
bagian yang lebih proksimal. Sprout dapat berkembang dari akson yang intak ketika akson berdekatan dengan
jaringan target yang denervasi. Cabang akson yang intak tumbuh untuk melakukan reinervasi pada seluruh bagian,
atau bagian lain dari daerah yang engalami denervasi, proses ini dinamakan kolateral sprouting. Diamond dan
koleganya mengidentifikasi perbedaan yang berbeda dan penting untuk proses kolateral NGF, tetapi tidak untuk
regenerasi, untuk proses tumbuh kembali saraf sensori kutaneus. Walaupun penenmuan ini menkajubkan,
mekanismenya merupakan mekanisme tambahan dari kolaterall sprouting pada sistem saraf perifer. Pruning
merupakan proses pemindahan dari proses regenerasi sprouting yang berlebihan. Reinnervasi kolateral, pruning,
dan sprouting berimplikasi pada kelainan degeneratif yang kronis dari sistem saraf perifer dan kelainan seperti
Guillan-Barre Syndrome (GBS). Regenerasi saraf yang fungsional hampir tidak mungkin dijumpai pada
kerusakan perikarion/badan sel bagian proksimal yang berat. Akan tetapi, apabila terdapat akson residu yang
dapat melakukan sprouting, maka perkembangan saraf secara logis dapat terjadi. Hal ini sering didapatkan pada
kasus tikus yang dibuat diabetes dengan disuntikkan STZ, toksin yang merusak sel beta pankreas yang
memproduksi insulin. Tikus diabetik menjadi neuropathi dengan neuron sensoris yang mengalami kerusakan.
Kulit yang denervasi, dapat direinnervasi dengan akson sensoris residual melalui sprouting kolateral. Banyak
kelainan neuropathi kronis yang berhubungan dengan neuron yang irreversibel, tetapi dapat rekoveri dengan
1
sprouting kolateral. Secara alternatif, pruning yang tidak tepat membatasi proses rekoveri ini.

Respons Regenerasi Saraf spesifik selama terjadi lesi

Lesi “crush” mengalami regenerasi saraf yang lebih sukses apabila dibandingkan dengan lesi transeksi,
oleh karena akson baru mengalami sprouting dapat dengan mudah mengalami regenerasi pada tube membran
basal di luar tempat lesi (sisa dari jaringan serabut sebelumnya) (Gambar 5.4). 1

Gambar 5.4 Ilustrasi akson yang awal mengalami sprouting yang setelah terjadi lesi “crush” trunkus saraf
perifer. Setiap induk akson dapat mengirim berbagai sprouting (Ilustrasi oleh Scott Rogers).

40
Tube yang berhubungan dengan proliferasi sel Schwann pada bagian distal dari trunkus dan bagian yang
sebaliknya dikenal dengan nama Bands of Bungner. Lesi transeksi membutuhkan akson sprouting yang membuat
jalan melalui sebuah celah (saraf di bawah tegangan dan celah merupakan hasil dari lesi) untuk mencari tempat
yang tepat bagi tungkul saraf bagian distal. Sebagai masalah klinis, transeksi merupakan lesi saraf berat yang
sulit untuk pertumbuhan kembali. 1

Gambar 5.5. Sprouting aksonal setelah lesi “crush” pada nervus suralis pada tikus menggunakan
imunohistokimia dengan label CGRP. CGRP ditunjukkan secara jelas pada awal proses pertumbuhan kembali
aksonal

Pertumbuhan akson setelah lesi crush biasanya 1-3 mm/hari, berhubungan dengan transpor aksoplasmik.
Sprouting akson yang baru timbul dari batas proksimal di antara akson yang hidup dan akson yang degenerasi, di
nodus of Ranvier dan bisa dilabel dengan CGRP dengan imunohistokimia (gambar 5.5). Setelah transeksi saraf,
rerata regenerasi lebih lambat. Sebagai contoh, setelah saraf ditranseksi dan diperbaiki dengan jahitan,
pertumbuhan akson yang tercepat sepanjang 0,84 mm/hari. Pertumbuhan akson yang tidak diinginkan bisa terjadi
(gambar 5.6). Kejadian ini masih belum diketahui mengapa bisa terjadi. 1

Gambar 5.6. Mikrograf elektron pada lesi transeksi nervus sciatic pada tikus yang mengalami
regenerasi. Tampak pada gambar, berbagai variasi hasil pertumbuhan akson oleh karena regenerasi yang tidak
diinginkan dari bagian tungkul dari proksimal akson. Panah (kiri) : akson tidak bermielin yang dikelilingi oleh
sitoplasma sel Schwann dan membran basal. Panah (kanan) : regeneratif klaster yang berisi dua akson bermielin
dan sejumlah akson yang tidak bermielin.

41
“Growth cone” merupakan bagian akson yang mengeksplorasi dari sistem regenerasi saraf perifer.
(Gambar 5.7, gambar 5.8). Pada jaringan yang kompleks, “growth cone” secara kontinu menarik lingkungannya
melalui ekstensi dari filopodia, retraksi, dan “turning”. “Growth cone” yang klasik terdiri dari filopodia yang
bergerak menyerupai jari (motile finger like) yang dikelilingi oleh filamen aktin yang timbul dari “web like
lamellipodia” meluas dai area sentral atau “palm” dari tangan dimana mikrotubulus dan aksoplasma berakhir.
(Gambar 5.7 dan 5.8). Domain sentral (C) dari “growth cone” berisi akhir akhir mikrotubulus yang renggang, di
bagian distal disebuut area transisi perifer. Pada zona ini, motor myosin terlibat secara dinamik, dirakit, dan
depolimerasi mikrotubulus. Sehingga, mempengaruhi kelakuan “growth cone”. Zone transisi ditemukan di batas
perifer domain C yang berfungsi sebagai penghubung dinamik antara mikrotubulus dan aktin yang membentuk
polimer filamen (F Aktin). Domain P (perifer ) berperan sebagai penggerak pencari “growth cone”. Properti
sentral dari F-aktin dirakit dan dibongkar.Ukuran dan bentuk “Growth cone” bervariasi, bergantung pada
perubahan kalsium. Signal yang mengandung enzim yang bergantung kalsium seperti calmodulin dependent
protein kinase II (CaMKII). Mekanisme signaling sentral melibatkan jalur phosphatidilinositol-3 kinase (PI3K),
yang dapat meregulasi kelakuan “growth cone”. Signaling PI3K penting untk formasi akson dan perubahan akson.
Molekul yang terlibat jalur PI3K meliputi keluarga RHO GTP ase, dan protein-protein yang berinteraksi dengan
aktin dan mikrotubul. Growth factor ekstrinsik mempromosikan hasil tumbuh lebih lanjut, jika terdapat signal
1
yang dapat menarik kembali bergantung pada kaskade signaling yang dihasilkan.

Gambar 5.7 “Growth cone” dari neuron sensoris dewasa yang tumbuh in vitro (diambil dari
C.Webber, Zochodne laboratory).

Gambar 5.8. Ilustrasi sprouting aksonal dan “growth cone” dengan komponen utamanya yang dilabel
(Ilustrasi oleh Scott Rogers)

42
Gambar 5.9. Ilustrasi bagaimana growth cone merubah arah trayeknya sebagai respon utuk
melokalisasi gradien dari growth factor seperti NGF yang beraksi pada reseptor TrkA. RHOA GTP ase sebagai
mediator aktif penolakan dan diletakkan di membran growth cone yang kolaps, dan tidak menyebar, sedangkan
RAC1 memfasilitasi hasil tumbuh dan terletak di membran dari growth cone yang mengalami kemajuan.

VIII. SEL SCHWANN

Neurotrophin dan neuroproteksi memperbaiki regenerasi aksonal pada transplantasi sel Schwann yang
ditempatkan di medula spinalis tikus dewasa yang ditranseksi. 5. Konstruksi Sel Schwann pada manusia efektif
dalam mempromosikan regenerasi aksonal pada tikus. Pada kombinasi dengan sel Schwann tikus, transplantasi
sel Schwann dengan infus neurotropin, brain derived neurothropic factor, dan neurotrophin-3.pada graft atau agen
neuroprotektan, methylprednisolon, memperbaiki respon regeneratif, meliputi inisiasi regenerasi aksonal dari
neuron-neuron brain stem. (gambar 5.10).5

43
Gambar 5.10 Sel Schwann dipurifikasi dan diekspansi dengan kultur, dipadatkan di matrix gel, dan
ditempatkan pada kanal yang telah ditentukan. Setelah dismpan selama semalam, kanal ditempatkan pada
medula spinalis yang ditranseksi setinggi T8. Sebulan kemudian, jaringan diperiksa secara histologi (di antara 2
titik garis) dan secara histokimia (pada area yang diintervensi dan perbatasan medula spinalis). Hewan coba
menerima injeksi pada sel Schwann denagn East Blue untuk melabel neuron dimana terdapat regenerasi akson
pada “graft”.(Dari Xu, et al 1997, dengan seijin Chapmann and Hall)

Gambar 5.11 Perubahan SC (sel schwann) yang bermyelin setelah lesi saraf (Ilustrasi oleh Scott
Rogers).

44
-

Gambar 5.12 Ilustrasi hipotesis neurotropik. Neuron dari akson yang berasal dari sumber target pada Growth
Factor yang survive sedangkan yang lain gagal untuk tumbuh pada target yang salah

Gambar 5.13 Ilustrasi signaling jalur PI-3 kinase Akt neuron survival yang penting untuk proses sprouting,
diaktifkan oleh reseptor growth factor yang berisi domain reseptor signaling tyrosin kinase (RTK) intraselular
(Ilustrasi oleh Scott Rogers)

Interaksi yang berjalan harmonis saat terjadi respons regenerasi awal dari saraf perifer. Elemen mayor
melibatkan formasi membran dari spruting yang baru, reprogram dari ekspresi gen di seluruh neuron, sintesis
aksonal lokal, perubahan dinamik “growth cone”, dan perubahan fenotip dari sel Schwann (SC) yang
memfasilitasi akson saat pertumbuhan dan “guidance”. Semua elemen harus bersama dalam satu koordinasi untuk

45
proses regenerasi saraf lebih lanjut. Ide tentang proses signaling dan perubahan molekul yang baru, merupakan
faktor “growth cone” single. Kontrol dari polimerasi dan depolimerasi dari aktin dan mikrotubulus dan
hubungannya dengan Ras family GTP ase yang diketahui berhubungan dengan kelakuan “growth cone”. Jalur
survival seperti PI3K-Akt juga sangat penting dalam awal proses regenerasi sprouting. Sprouting kolateral dari
cabang aksonal dari neuron yang intact berbeda dengan regenerasi sprouting. Sprouting kolateral dari neuron
1,2
intact ini merupakan kunci alternatif bagi perbaikan saraf perifer yang rusak (gambar 5.12 dan 5.13).

SIGNALING AKSONAL LOKAL PADA REGENERASI

A. Sintesis protein aksonal

Sintesis protein berasal dari perikaryon dengan transpor aksoplasmik. Tetapi, beberapa waktu yang lalu,
beberapa peneliti menemukan bahwa akson mampu mensintesis protein sendiri. Terlebih, sintesis protein oleh
akson dipengaruhi oleh signal-signal dari sel Schwann. Sintesis protein lokal membantu mengarahkan ‘growth
cone’ dan regenerasi akson yang penting bagi proses regenerasi. Protein yang disintesis oleh akson meliputi p38
dan TOR (target of rapamycin), caspase 3 (secara ondependen bergantung pada perannya pada apoptosis),
ribosom-PO dan Eif-4e (awal translasi eukariotik factor 4E). 1,6

TROPHIC FACTORS DAN SARAF PERIFER 1,2

Trophic factors merupakan molekul protein yang beraksi pada reseptor sel yang spesifik, untuk
menginduksi perubahan sintesis protein, hasil tumbuh atau kesempatan hidupnya. Pada sistem saraf, Nerve
Growth Factor (NGF) menyebabkan pertumbuhan golongan growth factor yang dikenal dengan neurotrophins.
Neurotrophin merupakan protein endogen solubel yang meregulasi survival, pertumbuhan dan morfologi dari
plastisitas sintesis protein dari neuron-neuron yang berbeda fungsinya. NGF ditemukan oleh Rita-Levi Montalcini
tahun 1951 dan kemudian dikarakteristik oleh Stanley Cohen yang memenangkan nobel pada 1986. Levi
Montalcini dan Viktor Hamburger menyatakan bahwa NGF merupakan faktor solubel dari tumor sarkoma tikus
yang dapat menginduksi hiperplasia pada ganglia simpatetik.(gambar 6.1). Ganglia simpatetik terletak jauh dari
tumor dan tidak berhubungan dengan tumor. Ganglia simpatetik membesar merupakan hasil dari penambahan
jumlah sel dan ukuran. Pembesaran ganglia ini mengirimkan serabut saraf simpatis yang besar menuju organ
viseral. 1,2

46
Gambar 6.1 Iiustrasi NGF. Axon muncul dari ganglia simpatetik yang tumbuh pada sel sarkoma tikus yang
menyembunyikan gradien NGF (Oleh Levi Monalcini)

Growth factor mensupport neuron melalui beberapa mekanisme yang meliputi transportasi retrograde
dari berbagai jaringan, parakrin dengan berbagai neuron yang berdekatan, autokrin dengan neuronnya sendiri dan
dengan sel target organ yang lain. (gambar 6.2). Growth factor dielaborasi bebagai sel neuron yang meliputi
neuron, sel Schwann, sel satelit perineuronal, dan berbagai sel target organ.

Gambar 6.2 Ilustrasi sumber dari support growth factor

47
A. Famili neurotrophin

Famili neurotrophin terdiri dari BDNF, NT-3, NT-4/5, NT-6, NT-7. NGF mengikat TrkA, BDNF dan
NT4/5 mengikat TrkB, dan NT-3 mengikat TrkC. (gambar 6.3 ). Interaksi ini lebih kompleks, dan ekspresi
reseptor Trk dapat mengubah lesi selanjutnya. Beberapa neurotrophin dapat berinteraksi dengan Trk seperti NT-
3 dengan TrkB dan TrkA. Reseptor Trk memediasi diferensiasi, survival, dan hilangnya proliferasi melalui reaksi
kaskade intraselular. Reseptor TrkA secara tipikal berlokasi di neuron sensori yang kecil dengan akson yang tidak
bermielin, yang memediasi sensasi nosiseptif dan temperatur, berisi substansi P. TrkA juga ditemukan di neuron
simpatetik post ganglion yang responsif terhadap NGF. Reseptor TrkB berlokasi di neuron sensoris medium dan
neuron motorik, sedangkan TrkC berlokasi di neuron sensoris kaliber besar dan neuron motorik dengan akson
yang bermielin yang besar.(gambar 6.4).Reseptor Trk juga ditemukan di sisitem saraf pusat, dan distribusi dari
reseptor secara dramatik bervariasi selama perkembangannya. Pada berbagai stadium perkembangannya,
neurotrophin dan reseptornya memiliki tanggung jawab yang berbeda. Sebagai contoh, NT-3 dan TrkC
dibutuhkan untuk perkembangan aferens spindel otot dan neuron sensoris kaliber besar. Reseptor neurotrophin
dengan afinitas yang tinggi ditemukan di reseptor TrkA, sedangkan reseptor dengan afinitas rendah ditemukan di
p75. P75 mampu mengikat semua anggota famili neurotrophin dan ditemukan di DRG sebanyak 79%. (gambar
6.3). 1

BDNF merupakan neurotrophin disintesis di neuron sensoris DRG dan levelnya naik 1 hari setelah
terjadi lesi. Neuron motorik tidak mengekspresikan BDNF. Neurotrophin ini diinternalisasi oleh akson dan
ditraspor secara retrograde dari jaringan target. BDNF dapat menjalani transpor aksoplasmik anterograde dan
retrograde, sedangkan NGF hanya mampu menjalani transpor retrograde. Transpor BT-3 kontroversial, tetapi
sering berkaitan dengan lesi lokal pada otot. Selama proses regenerasi saraf, neuron berlomba untuk mencai
supportnya, dan akson yang gagal dalam menjalaninya mengalami apoptosis. (gambar 5.12). 1

Gambar 6.3 Ilustrasi anggota neurotrophin “growth factor family” dan reseptornya

48
Gambar 6.4 Ilustrasi sub tipe neuron perifer yang respons terhadap anggota “growth factor neurotrophin
family”

REINNERVASI YANG TERLAMBAT

Bagian distal dari trunkus saraf perifer dan target organ dapat kehilangan akson yang lama. Hal ini
merupakan masalah klinis yang terjadi pada lesi saraf perifer. Pertama, perbaikan tidak selalu berjalan dengan
cepat dan cerdas.Kedua, akson yang tumbuh butuh waktu untuk mencapai jarak yang jauh. Otot yang denervasi
pada jangka panjang mengalami perubahan struktur, elektrofisiologis, dan biokimia. Denervasi yang lama pada
kulit mengganggu proses penyembuhan yang berhubungan dengan hilangnya inflamasi neurogenik. Pada otot dan
kulit, Sel Schwann terminal yang khusus merupakan sumber “guidance” selama pertumbuhan kembali, akan tetapi
hilang dengan denervasi yang lama.

PENDEKATAN FARMAKOLOGI PADA SEL SCHWANN SEBAGAI AGEN NEUROPROTEKTIF


BAGI REGENERASI SARAF PERIFER 2

Beberapa agen farmakologis yang mempromosikan sel schwann yang berperan pada regenerasi saraf
perifer. Mekanisme selular yang mengkontrol interaksi neuron-glia, neurotransmitter dan steroid neuroaktif dan
neurohormon sangat berperan pada regenerasi saraf perifer. Sel schwann pada sistem saraf perifer melapisi akson,
membentuk mielin, dan menyebabkan propagasi potensial aksi yang lebih cepat. (Jessen dan Mirsky, 1997).
Selaput myelin terdiri dari beberapa lapis dari membran sel schwann yang berisi protein-protein dengan
karakteristik tipikal, meliputi glikoprotein Po (Po) dan protein myelin perifer 22 (PMP 22), yang bersama-sama
membentuk myelin protein lebih dari 55% dan berperan penting pada struktur myelin multilamellar. Beberapa
mutasi pada ekspresi gen Po dan PMP22 berhubungan dengan kelainan neuropathi herediter. (seperti Charcot-
Marie Tooth type IA, IB). Sel Schwann penting pada perkembangan, pemeliharaan dan regenerasi saraf perifer.

49
Proses ini dikontrol oleh mekanisme molekular. Setelah lesi saraf perifer, terjadi degenerasi Wallerian, sel
schwann bagian proksimal dedifferensiasi. , proses reenter menjadi stadium proliferasi. Apabila akson mengalami
pertumbuhan kembali, sel schwann yang baru mempromosikan hasil tumbuh neurit dari trunkus proksimal
dengan mensekresikan substansi seperti laminin, molekul neuron-glia cell adhesion molekul (NgCAM), integrin
dan growth factor.(Fu dan Gordon, 1997). Sehingga, akson dari motor neuron dan neuron sensori primer dari
sistem saraf perifer memiliki kapasitas regenerasi. (Donnerer, 2003). Regenerasi saraf bagian distal, merupakan
awal untuk diterapi. Beberapa dekade terakhir, mekanisme regulatori selama terjadi kerusakan saraf, beberapa
substansi yang meliputi laminin, neurotrophin (NTs), atau modulator cAMP diinvestigasi selama proses
regenerasi saraf.(Chen,2007).

Sistem GABA-ergik

GABA merupakan neurotransmitter inhibitori utama pada CNA. Walaupun tidak dipungkiri GABA juga
didapatkan di sistem saraf perifer., terutama di sel schwann. Reseptor GABA dan karrier GABA juga ditemukan
di serabut saraf perifer baik yang bermielin maupun yang tidak bermielin. (Brown and Marsh, 1978). GABA
berinteraksi dengan reseptor GABA-A ionotropik dan GABA-B metabotropik. GABA-A merupakan kanal ion
“ligand gated”, menyebabkan influks chlorida.sedangkan GABA-B merupakan domain reseptor trans membran
(TMS) coupled to protein G dan berhubungan dengan sistem adenilat siklase. Reseptor GABA A terdapat secara
normal di akson sensoris mamalia dan dipunyai setelah regenerasi.(Bhisitkul, 1987). Sel schwann
mengekspresikan sub unit yang berbeda dari reseptor GABA A, seperti alfa2, alfa 3, dan beta1-3 (Magnaghi,
2001,1006). Reseptor GABA B ditemukan di DRG tikus, pada akson perifer, ujung saraf otonom, dan sel
ganglion.(Bowery, 1981,199,2002). Sel schwann juga ditemukan di reseptor GABA B dalam berbagai isoform,
1a, 1b,1c, dan 2. Sel schwann aktif berada pada reseptor GABA A dan GABA B, dan merespon aktif terhadap
ligand. Pemaparan terhadap sel schwann pada reseptor agonis GABA A menstimulasi level PMP22, protein ini di
bawah kontrol GABA-A. GABA-B agonis, baclofen, mengurangi proliferasi sel dan persentase Schwann sel
imunopositif BrdUrd, mengurangi level beberapa protein myelin (PM;22 dan PO). GABA B memediasi kontrol
sel schwann untuk mengaktivasi sistem signal siklus cAMP intraselular. Akan tetapi, mekanisme yang paling
mungkin untuk menjelaskan bagaimana reseptor GABA-A ionotropik teraktivasi dan butuh kontrol aktivitas
influks Ca2+, MAPK (mitogen activated protein kinase), CREB (cAMP response element binding protein).
Penemuan terbaru bahwa sintesis GABA di sel Schwann (gambar 7), yang secara otokrin mengaktifkan reseptor
GABA-A dan downstreamnya sistem signaling MAPK-CREB.

50
Gambar 7 Reseptor GABA A GABA B dan steroid THP neuroaktif berinteraksi silang dengan Sistem Saraf
Perifer (Magnaghi, 2007). GABA berasal dari neuron yang diproduksi oleh sel Schwann, mengekspresikan
enzim GAD (efek parakrin). GABA ekstraselular berinteraksi dengan reseptor GABA B pada sel Schwann,
mengurangi proliferasi, menginduksi proses differensiasi. Steroid neuroaktif THP (diproduksi oleh se schwann)
memodulasi ekspresi dan responsivitas reseptor GABA B, dan terjadi desensitisasi. THP kemudian mengurangi
proliferasi sel Schwann dan secara simultan differensiasinya. Bersamaan dengan interaksinya bersama reseptor
GABA-A THP meningkatkan ekspresi protein myelin, dan myelinasi. Oleh karena itu, GABA yang memediasi
kontrol dari proliferasi dan diferensaisi sel Schwann berhubungan dengan mekanisme biologi sel Schwann, baik
kondisi normal maupun patologis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Zochodone D.W. Neurobiology of Peripheral Nerve Regeneration. Cambridge University Press.
Cambridge:2008.
2. Geuna S, Tos P, Battiston B. International Review Neurobiology. Essay On Peripheral Nerve Regeneration.
Volume 87.Elseiver, London: 2009.
3. Ribak, C.E, Sahid Larriva J.A. From Development to Degeneration and Regeneration of the Nervous System.
Oxford University Press:2009.
4. Stephen G. Waxman. Clinical Neuroanatomy. 26 th edition. Mc Graw Hill. Lange:2010.
5.Tuszynski M.H, Kordower J. CNS Regeneration. Basic Science and Clinical Advances. California USA :1999
6. Herskovitz S, Scelsa S, Schaumburg H. Peripheral Neuropathies in Cinical Practice. Oxford University Press
: 2010.

51
CARPAL TUNNEL SYNDROME CTS

Definisi/ Batasan

Carpal Tunnel Syndrome CTS adalah kumpulan gejala akibat penekanan pada nervus medianus ketika
melalui terowongan carpal Carpal Tunnel di pergelangan tangan. Manifestasi dari sindroma ini adalah rasa nyeri
dan kesemutan parastesia.1,8 Terowongan carpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana tulang
dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus.
Tulang-tulang carpal membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk
oleh flexor retinakulum transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament yang kuat dan melengkung di atas
tulang-tulang carpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan
pada struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus.1,2

Epidemiologi

Carpal Tunnel Syndrome CTS sering ditemukan pada wanita di bandingkan pria dimana pada wanita
sering terjadi pada usia 40-60 tahun. Insiden CTS secara umum lebih dari 10% dari populasi dewasa dan
berdasarkan hasil penelitian di Amerika pada tahun 2003 ditemukan CTS sebanyak 3% dari populasi dewasa.8

Etiologi

Pada dasarnya setiap keadaan yang menyebabkan tekanan/kompresi pada nervus medianus dalam lorong
carpal dapat merupakan etiologi CTS. CTS dapat disebabkan oleh :
1 Idiopatik
2 Penebalan jaringan ikat seperti Rematik RA, OA
3 Gangguan metabolisme
4 Trauma, dapat bersifat kronik pada pergelangan tangan karena overuse
5 Herediter berupa sempitnya terowongan carpal.
Karakteristik dari CTS yaitu adanya peningkatan rasa baal pada jari-jari waktu bangun pagi hari disertai
kesemutan/rasa terbakar, gangguan motorik jari-jari, nyeri pada sendi-sendi interphalangeal serta hipotropi otot-
otot thenar pada kondisi lebih lanjut.1,5

Patofisiologi

CTS dapat terjadi oleh faktor mekanik dan faktor vaskuler. Sebagian besar CTS terjadi secara perlahan-
lahan kronis , dimana terjadinya penebalan fleksor retinaculum oleh karena artritis rematoid sehingga menekan
saraf medianus yang akan menyebabkan tekanan infrasikuler meninggi. Keadaan ini menyebabkan perlambatan
aliran vena infrafasikuler dan terjadi gangguan nutrisi infrafasikuler. Kemudian terjadi anoksia yang akan merusak
endotil dan menimbulkan kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural, keluhan yang sering dirasakan
berupa nyeri dan bengkak terutama pada malam hari yang akan menghilang atau berkurang setelah tangan
digerakan atau diurut.7

52
Pada kondisi yang akut akan terjadi penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler, sehingga terjadi
gangguan mikrosirkulasi saraf dan saraf menjadi iskemik. Peninggian pada tekanan fasikuler juga akan
memperberat keadaan iskemik, selanjutnya terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan edema sehingga
terjadi gangguan aliran darah pada saraf dan akan merusak saraf tersebut. Selain dari faktor mekanik dan vaskuler
ada keadaan lain yang membuat saraf medianus menderita dalam terowongan karpal maka akan timbul nyeri yang
mengganggu fungsi tangan, terutama fungsi menggenggam.3
Kontraksi otot secara berulang-ulang atau terus-menerus dan statik akan menimbulkan spasme, sehingga
sirkulasi darah menjadi tidak lancar. Hal ini akan menyebabkan penumpukan asam laktat dan zat-zat kimia seperti
bradikinin dan histamin. Dengan penumpukan zat-zat tersebut akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris atau
saraf nyeri nosiseptor dan akan dihantarkan ke medulla spinalis selanjutnya oleh saraf ascenden disampaikan ke
otak dan akan diinterprestasikan yaitu rasa nyeri. Dengan adanya rasa nyeri tadi bisa mengakibatkan spasme otot
yang merupakan perlindungan dari adanya nyeri, dan penderita akan membatasi pergerakkannya terutama yang
menimbulkan rasa nyeri. Selanjutnya dalam jangka waktu lama dapat timbul kelemahan otot yang akhirnya
menimbulkan gangguan fungsi dan gerak yang berhubungan dengan fungsi tangan kiri.6,7
CTS terjadi bila saraf medianus mengalami kompresi dalam struktur anatomis terowongan karpal.
Kompresi dapat disebabkan oleh meningkatnya volume dalam terowongan karpal, pembesaran saraf medianus,
atau berkurangnya area cross-sectional dalam terowongan karpal. Dari ketiga penyebab ini, yang menjadi
penyebab terbanyak adalah meningkatnya volume terowongan karpal, namun apa yang menjadi penyebab
peningkatan volume ini masih belum jelas hingga saat ini. Diduga salah satu penyebab adalah tenosinovitis akibat
trauma berulang.2,3
Gerakan flexi-extensi berulang dan terus menerus pada pergelangan tangan dan jari-jari akan
meningkatkan tekanan pada tendon yang mengakibatkan terjadinya tenosinovitis dan selanjutnya menyebabkan
kompresi pada saraf medianus. Kompresi ringan pada saraf tepi akan menurunkan aliran darah epineural.
Transport aksonal akan terganggu, akibat kompresi aksonal tekanan dalam endoneural akan meningkatkan dan
menyebabkan parestesia. Kelainan saraf ini dikategorikan menjadi dua stadium, yaitu :
a. Stadium I
Distensi kapiler intrafasikuler akan meningkatkan tekanan intrafasikuler sehingga menimbulkan konstriksi
kapiler. Selanjutnya terjadi gangguan nutrisi dan hipereksitabilitas serabut saraf. Jika tekanan terus menerus
hingga mengganggu sirkulasi vena, akan terjadi oedema sehingga terjadi gangguan saraf lebih lanjut.
b. Stadium II
Terjadi kompresi kapiler sehingga menyebabkan anoksia dan berakibat kerusakan endotel kapiler. Protein
masuk ke dalam jaringan dan menyebabkan terjadinya oedem lebih lanjut. Protein tidak dapat keluar melalui
perineurium sehingga terjadi akumulasi cairan dalam endoneurial yang akan menghambat metabolisme dan nutrisi
aksonal. Proliferasi fibroblas terjadi akibat iskemia ini dan terbentuk jaringan parut yang akan menyebabkan
kontriksi jaringan lunak sekitarnya. Pada stadium akhir ini, lesi saraf dapat menjadi ireversibel dan menyebabkan
gannguan sensorik dan motorik permanen.9,10

Pembagian/ Klasifikasi

53
Kriteria diagnostik dibuat berdasarkan pengalaman klinis, banyak gejala pasien ditemukan pada
perbatasan dari kelas klasifikasi yang satu dengan yang lainnya.
1. Derajad 0 asimtomatik :
- Tidak ada gejala dan tanda CTS
- Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik mungkin ditemukan kelainan pada sekitar 20 %
populasi
- Tidak memerlukan terapi
2. Derajat 1 simtomatik intermiten :
- Parastesia tangan intermiten
- Tidak ada defisit neurologis
- Salah satu tes provokasi mungkin positif
- Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik mungkin tidak normal
- Terapi konservatif
3. Derajat 2 simtomatik persisten :
- Defisit neurologis sesuai dengan distribusi saraf medianus
- Tes provokasi positif
- Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik tidak normal
- Terapi konservatif atau operatif
4. Derajat 3 berat :
- Atrofi otot thenar
- Pemeriksaan elektromiografi: fibrilasi atau neuropati unit motorik
- Terapi operatif.4,8

Tanda dan Gejala Klinis

- Rasa nyeri di tangan yang biasanya timbul di malam atau pagi hari dan penderita sering terbangun
karena nyeri ini. Penderita sering berusaha sendiri mengatasi keluhannya dengan meninggikan letak
tangannya, dengan menggerak-gerakkan tangan atau mengurut, ternyata rasa nyeri dapat dikurangi.
Keluhan juga berkurang bila tangan/ pergelangan lebih banyak istirahat dan sebaliknya.
- Rasa kebas, semutan, kurang berasa, tingling seperti kena strom biasanya jari 1, 2, 3 dan ½ jari ke
4 tapi tak pernah keluhan pada jari 5.
- Kadang-kadang rasa nyeri dapat terasa sampai lengan atas dan leher, tapi rasa kebas, semutan hanya
terbatas distal pergelangan tangan saja.
- Jari-jari, tangan dan pergelangan bengkak dan kaku terutama pagi hari dan menghilang setelah
mengerjakan sesuatu.
- Gerakan jari kurang terampil seperti menyulam/memungut benda kecil.3,5
Tanda-tanda yang dapat ditemukan secara umum:
- Test tinnel positif
- Nyeri di sendi-sendi interphalangeal
- Kelemahan otot-otot yang disarafi nervus medianus tahap lanjut

54
- Hipotropi otot-otot thenar merupakan manifestasi lebih lanjut. 7
a Gangguan sensorik
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja. Gejala awal biasanya adalah parestesia,
kurang merasa numbness atau rasa jari seperti terkena aliran listrik tingling pada jari dan setengah sisi radial
jari, walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari, keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di
malam hari. Gejala lainya adalah nyeri ditangan yang juga dirasakan lebih memberat di malam hari sehingga
sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri umunya agak berkurang bila penderita memijat atau
menggerak-gerakan tanganya atau dengan meletakan tanganya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan
berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya. Bila penyakit berlanjut rasa nyeri dapat
bertambah berat dengan frekuensi serangan yang semakin sering bahkan dapat menetap. Kadang-kadang nyeri
dapat terasa sampai kelengan atas dan leher, sedangkan parestesia umumnya terbatas di daerah distal pergelangan
tangan. Dapat pula dijumpai pembengkakan dan kekakuan pada jari-jari tangan dan pergalangan tangan terutama
di pagi hari. Gejala ini akan berkurang setelah penderita menggunakan tanganya. Hiperetesia dapat dijumpai pada
7,8
daerah yang implus sensoriknya diinervasi oleh nevus medianus.
b Gangguan motoris
Pada tahap lebih lanjut penderita mengeluh jari-jarinya menjadi kurang terampil misalnya saat atau
memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan
yang penderita sewaktu menggenggam. Pada penderita CTS ini pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot
6,9
thenar dan otot-otot lainya yang diinervasi oleh nervus medianus.
CTS juga dapat terjadi akibat penyakit lain sebagai salah satu bentuk komplikasi. Kondisi-kondisi medis
penyebab CST adalah; obesitas, diabetes, gangguan kelenjar tiroid, kebiasaan merokok serta mengonsumsi
alkohol dan kopi. Orang yang tidak berolahraga secara teratur juga terancam karena tubuh yang kurang terlatih
4,5
menyebabkan sirkulasi darah dan otot kurang bisa bertoleransi dengan stres.

Techio, 2006

Pemeriksaan Fisik

55
Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa CTS adalah :
a Flick's sign. Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan jari-jarinya. Bila
keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat
dijumpai pada penyakit Raynaud.9
b Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar.
c Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan alat dinamometer.
Penderita diminta untuk melakukan abduksi maksimal palmar lalu ujung jari dipertemukan dengan ujung jari
lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung jari-jari tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta
10
penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis atau menyulam.
d Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya dilakukan
serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS,
maka tes ini menyokong diagnosis CTS.
e Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul
gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk
menegakkan diagnosis CTS.
f Torniquet test. Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan
tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong
diagnosis.9,10
g Tinel's sign. Tes ini mendukung diagnosa hila timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus
medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
h Pressure test. Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu jari. Bila dalam
waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosis.
i Luthy's sign bottle's sign . Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau
gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan
10
mendukung diagnosis.
j Pemeriksaan sensibilitas. Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik two-point discrimination
pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosis.
k Pemeriksaan fungsi otonom. Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin
9,10
yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnosis CTS.

Pemeriksaan Penunjang

1. Elektromiografi - Elektroda ditempatkan pada lengan bawah dan arus listrik dilewatkan melalui pasien.
Pengukuran pada seberapa cepat dan seberapa baik saraf medianus mengirimkan pesan ke otot dapat
mengindikasikan jika ada kerusakan pada saraf ini.
2. USG pencitraan dapat menunjukkan gerakan gangguan saraf medianus.
3. Pencitraan resonansi magnetik dapat menunjukkan anatomi pergelangan tangan, tetapi sampai saat ini
3,5
belum sangat berguna dalam mendiagnosis CTS.

Diagnosis

56
Diagnosis CTS ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Gejala klinis:
CTS dapat menyebabkan kumpulan berbagai gejala klinis seperti nyeri, rasa tebal, mati rasa, rasa tertusuk, rasa
terbakar, rasa bengkak, dingin dan kadang-kadang lemas dan kaku jika menggunakan jari terutama ujung ibu jari,
jari telunjuk dan jari tengah, biasanya bilateral dan berlangsung 6-12 bulan. Gejala bertambah hebat pada malam
hari, pada saat bangun tidur, pada waktu mengangkat tangan atau setelah mengerjakan sesuatu seperti mengetik
7
atau menjahit.
Gejala klasik yang sering ditemukan adalah nyeri dan parestesia/hipestesia pada bagian yang dipersarafi
oleh nervus medianus, meskipun sering ditemukan rasa tebal pada seluruh jari. Rasa nyeri yang sangat pada malam
hari sering membangunkan penderita dari tidur dan untuk mengurangi gejala ini biasanya penderita secara cepat
menggoyangkan tangannya seperti menggoyang termometer. Pada penderita CTS rasa nyeri dan
parestesia/hipestesia dapat menyebar kelengan, siku dan bahu. Pada keadaan yang lebih berat dapat ditemukan
penurunan kekuatan menggenggam, kemampuan ketangkasan dan terjadi atrofi muskulus tenar. Jika satu tangan
6,8
mengalami gejala yang berat hal ini dapat mempengaruhi kedua tangan.
Pada pemeriksaan fisik: gambaran fisik adalah pengurangan sensitivitas dan keringat diatas ibu jari
tangan, jari telunjuk, jari tengah dan setengah radialis jari manis, atropi tenar, kelemahan abduksi dan aposisi ibu
jari tangan. Sensitivitas normal ada ditelapak tangan proksimal yang dipersarafi oleh ramus kutaneus palmaris
nervi medianus berjalan superfisial terhadap retinaculum fleksorum manus. Tes sensorik pada CTS dapat juga
4,8
dilakukan dengan pemeriksaan two point discrimination, vibrasi dan monofilament testing.
Tes klinik yang penting dalam CTS adalah Phalen dan tanda Tinel. Phalen positif jika penderita diminta
untuk mengangkat lengan bawah secara vertikal dan melakukan fleksi pada pergelangan tangan secara maksimal
dan jari-jari ektensi selama 1 menit timbul rasa tebal dan kesemutan pada daerah distribusi nervus medianus.
Tanda positif jika perkusi positif diatas nervus medianus pada pergelangan tangan. Caranya mengetuk dengan
menggunakan hammer reflek pada nervus medianus dengan posisi pergelangan tangan sedikit dorsi fleksi, maka
8,9
timbul rasa tebal pada daerah distribusi nervus medianus.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada CTS adalah kondisi-kondisi seperti Cervical Spondylosis, ditandai adanya : a
Kerusakan radiks multiple, kadang asimetris, mengenai anggota gerak atas disertai atropi otot dan hiporeflexi
pada daerah persyarafan radiks terkait, b Penekanan medulla spinalis daerah cervical, terlihat hiperrefleksi
anggota gerak bawah, reflek patologis dan selanjutnya kelemahan anggota gerak bawah. Perlu diingat bahwa
gejala gangguan sensorik pada tangan disertai spastisitas anggota gerak bawah terjadi pada penderita diatas 50
tahun dapat disebabkan oleh spondilasis cervicalis dengan mielopati, sempat dapat dibuktikan bahwa bukan
karena itu periksa kadar vitamib B12 . Gejala serupa dapat juga disebabkan oleh tumor pada foramen magnum
7,8
atau kelainan fossa posterior yang dikenal sebagai malformasi chiari terutama pada penderita usia muda.
Sindrom “ Thorachic outlet” ini merupakan gejala dan tanda yang terjadi akibat penekanan arteri subclavia
dan plexus brakhialis pada pintu atas rongga dada antara costa pertama dengan klavikula. Sindroma ini terdiri dari
rasa nyeri dan paresthesia pada leher, bahu, lengan dan tangan C8-T1 , kelemahan tangan, perubahan warna kulit
tangan yaitu jari-jari menjadi pucat, dan pada penggunaan anggota gerak atas gejala- gejala tersebut makin jelas.
6,9

57
Komplikasi/ Penyulit

Komplikasi yang mungkin timbul pada Carpal Tunnel Sindroma CTS oleh karena kompresi antara lain :
1 . Atrofi otot-otot thenar
2 . Gangguan sensorik yang mengenai bagian radial telapak tangan serta sisi palmar dari tiga jari tangan
yang pertama. 1
3 . Deformitas “ape hand” ibu jari sebidang dengan tangan dan athropi otot-otot thenar , tidak mampu
menjauhkan atau memflexikan ibu jari/melakukan abduksi dalam bidangnya sendiri, gengggaman tangan
melemah, terutama ibu jari dan telunjuk, dan jari-jari ini cenderung mengadakan hyperextensi dan ibu jari abduksi,
1,5
tidak mampu memfleksikan phalank distal ibu jari dan jari telunjuk.

Terapi

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, masalah dari CTS adalah:


1. Impairment
Nyeri, spasme otot, penurunan kekuatan otot, tropic change.
2. Functional Limitation
Keterbatasan fungsional berupa gangguan aktifitas saat berkendara sepeda motor, memasak, mencuci,
menyapu dan gangguan menggenggam.
3. Disability / Participation Restriction
Merupakan ketidakmampuan pasien dalam melakukan aktifitas yang berhubungan dengan pekerjaan,
hobi dan interaksi sosial. Pada kasus carpal tunnel syndrome tidak mengganggu aktifitas bekerja, hobi dan
4,6
interaksi sosialnya.
Intervensi Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus carpal tunnel syndrome untuk mengurangi nyeri sangat beragam,
tetapi disini penulis hanya menggunakan Microwave diathermi, ultrasonik, dan mobilisasi saraf tepi.
1. Microwave Diathermi MWD
Seperti layaknya shortwave diathermy, pada microwave diathermy masih terjadi perdebatan mengenai
efek terapeutik secara spesifik, tidak ada bukti jelas yang mendukung selain efek panas/termal1 .
Pada pemberian MWD terjadi peningkatan temperatur intramuskular diikuti peningkatan aliran darah
sebesar 85% pada anjing setelah paparan MWD selama 15 menit, yang hanya terjadi setelah mencapai ambang
rangsang temperatur kritis.2
2. Ultrasonik
Efek biofisika ultrasonik terbagi menjadi efek termal dan non-termal. Efek termal yang menghasilkan
panas dapat meningkatkan aktifitas metabolik, aliran darah dan efek analgesik pada saraf, serta juga meningkatkan
ekstensibilitas jaringan kolagen 4 . Tidak ada bukti langsung ultrasonik bermanfaat terhadap permeabilitas
membran, tetapi adanya perubahan sintesis protein, degranulasi mast sel, produksi growth factor, uptake kalsium
dan mobilitas fibroblast.5

58
Adapun pengaruh gelombang ultrasonik yang diharapkan terhadap proses peradangan dan perbaikan
jaringan seperti pada sindroma lorong karpal adalah : 1 untuk dapat mempercepat proses inflamasi normal dengan
meningkatkan produksi dan pelepasan wound-healing factors, 2 dapat meningkatkan proses sintesa kolagen dan
meningkatkan permeabilitas membran sel, hal tersebut akan menyebabkan lebih banyak kolagen yang terbentuk
dan juga meningkatkan tensile strength pada ligamen, 3 dapat memperbaiki extensibilitas jaringan collagen yang
telah terbentuk setelah proses inflamasi, 4 dapat terjadi capillary hyperaemia dengan pelepasan histamine-like
substances yang akan membantu pengangkutan dan mengurangi pengaruh algogenic chemicals yang dihasilkan
selama proses inflamasi, sehingga dapat mengurangi nyeri.7,8
3. Median Nerve Mobilisation ULTT 1
Mobilisasi saraf medianus menggunakan 5 gerakan sekuensi, yaitu : depresi shoulder girdle dengan
fleksi siku hingga 90°, abduksi bahu dengan fleksi siku hingga 90°, eksorotasi bahu, pergelangan tangan dan jari
ekstensi dengan lengan bawah supinasi dan siku ekstensi. Setiap gerakan dilakukan sampai titik uncomfortable
melalui feedback dari pasien dan kemudian release hanya pada titik dimana tekanan uncomfortable terasa.
Mobilisasi dilakukan secara gentle, ekstensi siku selama 2 detik hingga pasien merasakan tekanan tetapi tidak
nyeri, kemudian fleksi siku hingga titik dimana pasien tidak merasakan tekanan, ulangi sebanyak 6 – 7 gerakan
mobilisasi.3,9

Prognosis
Prognosis penderita CTS secara konservatif 80% baik jika dapat menghilangkan faktor penyebab atau
mempengaruhi. Namun hal ini dapat berulang 1 tahun kemudian.
Prognosis penderita CTS ditentukan oleh berbagai faktor antara lain :
1. Gejala yang terjadi lebih dari 10 bulan
2. Adanya parestesis yang bersifat konstan atau terus menerus
3. Adanya flexor tenosinvitis atau triggering of the digit
4. Manuver phalen positif
3
5. Usia lebih dari 50 tahun.
Penilaian prognosa:
- Jika tidak ada faktor 65% baik dengan terapi konservatif
- Jika 1 faktor 41,4% baik dengan terapi konservatif
- Jika 2 faktor 16,7% baik dengan terapi konservatif
- Jika 3 faktor 6,8% baik dengan terapi konservatif
2
- Jika 4 atau 5 faktor 0% baik dengan terapi konservatif.
Prognosis penderita CTS dengan terapi konservatif 90% baik khususnya dengan cara operasi endoskopi
2 7
, . Mayoritas para penderita CTS mengeluh tentang nyeri disendi-sendi interphalangeal. Hypertrophy otot-otot
thenar merupakan manifestasi lanjut dari CTS. Pada kasus CTS ringan dengan terapi konservatif umumnya
prognosa baik, secara umum prognosa post operasi juga baik 18 bulan . Adapun komplikasi yang timbul setelah
operasi dijumpai adanya kelemahan dan hilangnya sensibilitas yang persisten di daerah disribusi nervus medianus.
Komplikasi yang paling berat adalah reflex sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia,
disestesia dan gangguan tropik. Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif cukup baik, tetapi resiko untuk

59
kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat
diulangi kembali.7,10

Algoritme

Parastesia Tangan

Lengan, siku, ke Pergelangan tangan


arah bahu dan ujung jari

Tes tinnel + , Atrofi thenar, tes Tidak didapatkan


ketukan pada tinnel dan phalen atrofi thenar
daerah triceps, positif maupun tes tinnel
nyeri menjalar ke dan phalen
arah bahu negatif

Cervical Root Carpal Tunnel Polineuropati


Syndrome Syndrome

Ringkasan
Carpal Tunnel Syndrome CTS adalah kumpulan gejala akibat penekanan pada nervus medianus ketika
melalui terowongan carpal Carpal Tunnel di pergelangan tangan. Manifestasi dari sindroma ini adalah rasa nyeri
dan kesemutan parastesia. 1,8
Carpal Tunnel Syndrome CTS sering ditemukan pada wanita di bandingkan pria dimana pada wanita
sering terjadi pada usia 40-60 tahun. Insiden CTS secara umum lebih dari 10% dari populasi dewasa dan
berdasarkan hasil penelitian di Amerika pada tahun 2003 ditemukan CTS sebanyak 3% dari populasi dewasa.8
Pada dasarnya setiap keadaan yang menyebabkan tekanan/kompresi pada nervus medianus dalam lorong
carpal dapat merupakan etiologi CTS. CTS dapat disebabkan oleh :
1 Idiopatik
2 Penebalan jaringan ikat seperti Rematik RA, OA
3 Gangguan metabolisme,
4 Trauma, dapat bersifat kronik pada pergelangan tangan karena overuse
5 Herediter berupa sempitnya terowongan carpal.1,5
CTS dapat terjadi oleh faktor mekanik dan faktor vaskuler. Sebagian besar CTS terjadi secara perlahan-
lahan kronis , dimana terjadinya penebalan fleksor retinaculum sehingga menekan saraf medianus.7 Pada kondisi
yang akut akan terjadi penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler, sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi
saraf dan saraf menjadi iskemik.3

60
Kontraksi otot secara berulang-ulang atau terus-menerus dan statik akan menimbulkan spasme, sehingga
sirkulasi darah menjadi tidak lancar. Hal ini akan menyebabkan penumpukan asam laktat dan zat-zat kimia seperti
bradikinin dan histamin. Dengan penumpukan zat-zat tersebut akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris atau
saraf nyeri nosiseptor dan akan dihantarkan ke medulla spinalis selanjutnya oleh saraf ascenden disampaikan ke
otak dan akan diinterprestasikan yaitu rasa nyeri.7
CTS terjadi bila saraf medianus mengalami kompresi dalam struktur anatomis terowongan karpal.
Kompresi dapat disebabkan oleh meningkatnya volume dalam terowongan karpal, pembesaran saraf medianus,
atau berkurangnya area cross-sectional dalam terowongan karpal.2
Tanda-tanda yang dapat ditemukan secara umum:
- Test tinnel positif
- Nyeri di sendi-sendi interphalangeal
- Kelemahan otot-otot yang disarafi nervus medianus tahap lanjut
- Hipotropi otot-otot thenar merupakan manifestasi lebih lanjut.7
Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa CTS adalah : Flick's
sign, thenar wasting, menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan alat
dinamometer, wrist extension test, phalen's test, tinel's sign, pemeriksaan sensibilitas, pemeriksaan fungsi otonom.
8,9

Komplikasi yang mungkin timbul pada Carpal Tunnel Syndrome CTS oleh karena kompresi antara lain:
1 . Atrofi otot-otot thenar
2 . Gangguan sensorik yang mengenai bagian radial telapak tangan serta sisi palmar dari tiga jari tangan
yang pertama
3 . Deformitas “ape hand” ibu jari sebidang dengan tangan dan athropi otot-otot thenar , tidak mampu
menjauhkan atau memflexikan ibu jari/melakukan abduksi dalam bidangnya sendiri, gengggaman tangan
melemah, terutama ibu jari dan telunjuk, dan jari-jari ini cenderung mengadakan hyperextensi dan ibu jari abduksi,
tidak mampu memfleksikan phalank distal ibu jari dan jari telunjuk.1,5
Prognosis penderita CTS secara konservatif 80% baik jika dapat menghilangkan faktor penyebab atau
mempengaruhi. Namun hal ini dapat berulang 1 tahun kemudian.
Prognosis penderita CTS ditentukan oleh berbagai faktor antara lain :
1. Gejala yang terjadi lebih dari 10 bulan
2. Adanya parestesis yang bersifat konstan atau terus menerus
3. Adanya flexor tenosinvitis
4. Manuver phalen positif
5. Usia lebih dari 50 tahun. 3

Referensi

61
1. Ashworth, NL. 2007. Carpal Tunnel Syndrome. http://www.emedicine.com/pmr/topic21.htm .
2. Baldwin, Nancy. 2009. Predisposing Factor of Carpal Tunnel Syndrome. Brain 2007: 119: 429–37.
3. Buchthal F, Rosenfalck A. 2006. Sensory conduction from digit to palmand from palm to wrist in the
carpal tunnel syndrome. J Neurosurg Psychiatry 2004; 34: 243–52.
4. Feuerstein M, Burrell LM, Miller VI, Lincoln A, Huang GD, Berger R. 2008. Clinical management of
carpal tunnel syndrome: a 12 year review of outcomes. Am J Ind Med 1999;35:232–245.
5. Katz JN, Stirrat CR. 2007. Diagnosis of Carpal Tunnel Syndrome. J Hand Surg Am 2002; 15: 360–3.
6. Lee D, van Holsbeeck MT, Janevski PK, Ganos DL, Ditmars DM, Darian VB. 2009. Diagnosis of carpal
tunnel syndrome: ultrasound versus electromyography. Radiol Clin North Am 2004;37(4):859–872.
7. Monsivais JJ, Bucher PA, Monsivais DB. 2007. Nonsurgically Treated Carpal Tunnel Syndrome in the
Manual Worker. Plast. Reconstr. Surg. 2008;94 : 695.
8. Staud R. 2008. Future Perspectives: Pathogenesis of Chronic Muscle Pain. Best Pract Res Clin
Rheumatol 2007; 21: 581–96.
9. Tecchio F, Padua L, Aprile I, Rossini PM. 2006. Carpal Tunnel Syndrome Modifies Sensory Hand
Cortical Somatotopy. Human Brain Mapping 2002; 17: 28–36.
10. Watkins L, Maier S. 2009. Neuropathic Pain: The Immune Connection. Pain Clinical Updated 2004; 13:
1–4.

GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS)

62
PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barre (SGB) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy
(AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah
suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf
tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi.8
Manifestasi klinis utama dari Sindrom Guillain-Barre adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower
motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan terkadang mengenai wajah. Penyakit ini merupakan penyakit
dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf. Kelumpuhan dimulai pada bagian distal ekstremitas bawah
dan dapat naik ke arah kranial (Ascending Paralysis) dengan karakteristik adanya kelemahan arefleksia yang
bersifat progresif dan perubahan sensasi sensorik. 7
Sindrom Guillain-Barre terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. Insidensi
Sindrom Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42
tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.5
Pada umumnya penderita Sindrom Guillain-Barre mempunyai prognosa yang baik, sekitar 95% pasien
Sindrom Guillain-Barre terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan tetapi pada sebagian kecil
penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 1

DEFINISI
Parry mengatakan bahwa, Sindrom Guillain-Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending
dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, Sindrom Guillain-
Barre merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan
dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. 1
Sindrom Guillain-Barre adalah suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan berbagai nama
lain, yaitu : polineuritis idiopatik, paralisis asenden Landry, polineuropati inflamasi akut 2, acute febrile
polyneuritis, polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry ascending paralysis, dan Landry
Guillain Barre syndrome.1

EPIDEMIOLOGI
Sindrom Guillain-Barre terdapat di seluruh dunia pada setiap musim sehingga bersifat mirip dengan
penyakit endemik dan menyerang laki-laki maupun perempuan dalam semua kelompok usia. Insidensinya sekitar
1 hingga 2 kasus per 100.000 orang per tahun atau 0,001% hingga 0,002% dari populasi. 2 Di Amerika Serikat,
insiden terjadinya Sindrom Guillain-Barre berkisar pada angka 0,6-1,7 per 100.000 dengan distribusi usia
berkisara antara 15 tahun - 35 tahun dan 50 tahun - 75 tahun, sedangkan di Cina distribusi usia antara 2 tahun -
12 tahun.3
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi Sindrom Guillain-Barre belum banyak diteliti. Pada
penelitian Chandra disebutkan bahwa indikasi terbanyak penderita Sindrom Guillain-Barre di Indonesia adalah
kelompok usia di bawah 35 tahun dengan jumlah penderita laki-laki dan perempuan hamper sama. Insiden
terjadinya Sindrom Guillain –Barre tertinggi di Indonesia didapatkan pada bulan April hingga Mei di mana terjadi
pergantian dari musim hujan ke musim kemarau (musim pancaroba). 1

63
Angka kematian rata-rata pada Sindrom Guillain-Barre adalah 2% - 6% yang secara umum disebabkan
akibat dari komplikasi ventilasi, henti jantung, emboli paru, sepsis, bronkospasme, dan pneumotoraks. Lebih dari
75% penderita mengalami perbaikan sempurna atau hamper sempurna tanpa defisit neurologi atau hanya
kelelahan dan kelemahan distal yang minimal, sedangkan 15% penderita lainnya berakhir dengan gejala sisa
defisit neurologi yang dapat berupa bantuan ventilasi akibat kelemahan distal yang berat . 4

ETIOLOGI
Penyebab Sindrom Guillain-Barre belum diketahui secaara pasti, tapi sering dihubungkan dengan
penyakit infeksi seperti infeksi saluran nafas dan infeksi saluran cerna. 2 Virus yang paling sering menyebabkan
penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles, dan Herpes Simplex, sedangkan untuk penyebab
bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni.5 Kondisi lain yang memungkinkan terjadinya Sindrom Guillain-
Barre adalah vaksinasi, pembedahan, dan beberapa penyakit sistemik seperti keganasan, Systemic Lupus
Erythematosus (SLE), tiroiditis, dan penyakit Addison. 1

PATOFISIOLOGI
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya
demielinisasi akut pada Sindrom Guillain-Barre masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat
kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-
bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah
:1
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen
infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi
yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi. 1
Pada Sindrom Guillain-Barre, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem
imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut
mielin ini menjadi target dari system imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida
yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan
terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi
oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini
menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang
sama.6,7
Bedasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral, maka sel T merespon dengan
adanya inflitrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer, kemudian terbentuklah makrofag di daerah kerusakan dan
menyebabkan timbulnya proses demielinisasi dan penghambatan impuls saraf. 7
KLASIFIKASI
Beberapa varian Sindrom Guillain-Barre dapat diklasifikasikan menjadi 5 kriteria yang berbeda,
7,8,9
yaitu:

64
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk.
Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan
adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti,
GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe
demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi
elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi
‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama
lebih kurang 1 tahun.
3. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari Sindrom Guillain-Barre yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus Sindrom Guillain-
Barre. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan
dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan
sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.
4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik.
Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe Sindrom Guillain-Barre yang jarang terjadi. Disfungsi dari
sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran
kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

GEJALA KLINIS
Sindrom Guillain-Barre merupakan penyebab paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia
pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke-empat ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia
ini biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. 6
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada
yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial
diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan
ventilator dalam bernafas.3,6 Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest, facial
flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. 3,5,8
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam
berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy.3 Gejala-gejala tambahan yang biasanya
menyertai SGB adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).5,8

65
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks
tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya
kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin
ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan. 8

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu penegakkan diagnosis dari Sindrom Guillain-
Barre, beberapa pemeriksaan penunjang tersebut terdiri dari : 10
1. Cairan serebrospinal (CSS)
Hasil pemeriksaan cairan serebrospina yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung
sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari,
jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap
naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak
berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm.
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari Sindrom Guillain-Barre terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau
absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik,
serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
3. EMG
Pada pemeriksaan EMG dapat menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit , selain itu didapatkan
pula degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo
CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan
tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien Sindrom Guillain-Barre, akibat
fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan
yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
4. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang
imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi
limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara
anemia bukanlah salah satu gejala. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang
akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi
CMV ataupun EBV.
5. Elektrokardiografi (EKG)

66
Pemeriksaan elektrokardiografi dapat menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus
takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang
dijumpai, namun tidak sering.
6. Tes Fungsi Respirasi
Tes fungsi respirasi bertujuan untuk mengukur kapasitas vital paru akan menunjukkan adanya
insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
7. Pemeriksaan patologi anatomi
Pada umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik
mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan
demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam
berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf
motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal,
dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada
pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:1
1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
a. Terjadinya kelemahan yang progresif
b. Hiporefleksi
2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
• Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50%
mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
• Relatif simetris
• Gejala gangguan sensibilitas ringan
• Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat
terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
• Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai
beberapa bulan.
• Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor.
• Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
• Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial
• Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
• Varian:
o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

67
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar
kurang 60% dari normal.

DIAGNOSIS BANDING
Gejala klinis Sindrom Guillain-Barre biasanya jelas dan mudah dikenali sesuai dengan criteria diagnostic
dari NINCDS tetapi ada beberapa penyakit yang merupakan diagnosis banding, antara lain sebagai berikut : 1,10
1. Miastenia gravis akut
Tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot
mandibula penderita Sindrom Guillain-Barre tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan
melemah setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
2. Thrombosis arteri basilaris
Dapat dibedakan dari Sindrom Guillain-Barre dimana pada Sindrom Guillain-Barre, pupil masih reaktif,
adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks
serta refleks patologis Babinski
3. Paralisis periodic
Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.
4. Tick paralysis
Paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya
kutu (tick) yang menempel pada kulit.
5. Botulisme
didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang terinfeksi.13 Gejala dimulai
dengan diplopia13 disertai dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang
jarang terjadi pada pasien Sindrom Guillain-Barre.
6. Porfiria intermiten akut
terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen
dan peningkatan serum asam aminolevulinik delta.
7. Neuropati akibat logam berat
umumnya terjadi pada pekerja industri dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih
lambat daripada Sindrom Guillain-Barre.
8. Cedera medulla spinalis
Pada Sindrom Guillain-Barre ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi dan paralisis
sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks tendon akan menghilang.
9. Mielopati servikalis
Pada Sindrom Guillain-Barre didapatkan keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika muncul paralisis,
defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang
dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.

KOMPLIKASI

68
Komplikasi yang sering terjadi adalah gagal dalam sitem pernafasan, aspirasi makanan atau cairan ke
dalam paru-paru, pneumonia, thrombosis vena paralisis pada beberapa tubuh, kontraktur pada senid, serta
meningkatkan terjadinya infeksi.5, 6

TERAPI
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk Sindrom Guillain-Barre, pengobatan terutama
secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,
mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. 5 Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan
adalah :
1. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar.
Pemakaian plasmaparesis pada Sindrom Guillain-Barre memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan
yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah
munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10
hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.5,6
2. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang
ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang
kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. 6
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena
efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis awalan 0,4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan
dosis maintenance 0,4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. 1
3. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak
bermanfaat untuk terapi Sindrom Guillain-Barre.9,11

PROGNOSIS
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat
meninggal atau mempunyai gejala sisa.11 Penderita Sindrom Guillain-Barre dapat sembuh sempurna (75-90%)
atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor postural (25-36%).6
Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu samapai beberapa tahun. Menurut National
Institute of Neurological Disorders and Stroke sekitar 30% penderita masih mengalami gejala sisa setelah 3 tahun
(gejala sisa ringan dapat menetap pada penderita). Keluaran penderita akan menjadi sangat baik bila gejala-gejala
dapat hilang dalam waktu 3 minggu sejak muncul gejala tersebut muncul. 20
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan
aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 %
penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan Sindrom Guillain-Barre
dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama.2,7,10 Bila terjadi kekambuhan

69
atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic Inflammantory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (CIDP).6

ALGORITME

RINGKASAN
Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan
menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh
infeksi akut non spesifik seperti infeksi saluran nafas dan saluran cerna. Penyebab infeksi yang paling sering
adalah Campylobacter jejuni. Adapun gejala utama dari Sindrom Guillain-Barre adalah kelemahan yang bersifat
progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxiadan arefleksia atau hiporefleksia yang
bersifat general.
Diagnosa Sindrom Guillain-Barre terutama ditegakkan secara klinis, yaitu dari kriteria diagnostik SGB
menurut The National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS), yaitu
terjadinya kelemahan yang progresif, hiporefleksi, relatif simetris, gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII
dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan,
kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain, disfungsi otonom. Takikardi dan
aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor., tidak ada demam saat onset gejala neurologis. Dari
pemeriksaan LCS didapatkan peningkatan protein tanpa peningkatan jumlah sel (MN < 10 /ul). Dari pemeriksaan
elektrodiagnostik terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf.
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk Sindrom Guillain-Barre, pengobatan terutama
secara simptomatis. Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil
penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa, sedangkan kemungkinan terjadinya kematian pada
Sindrom Guillain-Barre disebabkan oleh gagal nafas dan aritmia.

70
PERTANYAAN
1. Apakah penderita Sindrom Guillain-Barre dapat sembuh?
Penderita Sindrom Guillain-Barre dapat sembuh total dengan beberapa syarat seperti pemeriksaan NCV
dan EMG relative normal, penderita mendapatkan plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset,
progresifitas penyakit lambat dan dalam jangka waktu singkat, serta pada penderita dengan usia antara
30-60 tahun.
2. Bagaimana gambaran pemeriksaan patologis pada Sindrom Guillain-Barre?
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan
mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada
hari ke-tiga atau keempat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada hari
ke-lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke-sembilan dan makrofag pada hari ke-sebelas, poliferasi
sel schwan pada hari ke-tigabelas. Perubahan pada mielin, akson, dan selubung schwan berjalan secara
progresif, sehingga pada hari ke-enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
3. Komplikasi apa yang sering terjadi pada penderita Sindrom Guillain-Barre?
Konstipasi (40%), aritmia (30%), hipertensi (10-30%), pnemonia ortostatik, Syndrome inappropriate
antidiuretic hormone (SIADH) (3%), dekubitus, kontraktur.
4. Kondisi apa yang dapat memudahkan terjadinya Sindrom Guillain-Barre?
Infeksi, Vaksinasi, Pembedahan, Penyakit sistematik (keganasan, systemic lupus erythematosus,
tiroiditis, penyakit Addison), dan kehamilan atau dalam masa nifas.
5. Gejala klinis seperti apa yang dapat dijadikan kata kunci diagnosis Sindrom Guillain-Barre?
Kelemahan bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia, arefleksia
atau hiporefleksia yang bersifat general, ada riwayat infeksi akut dalam rentang 4 minggu yang lalu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Japardi, I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from : URL :


http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf. Diakses 15 Juli 2011
2. Price, Sylvia A. 2006. Pathophysiolgy : Clinical Concepts of Disease Processes, 6th. Diterjemahkan oleh
tim Penerjemah EGC. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
3. Ramachandran, TS. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy. Available from URL :
http:/emedicine.medscape.com/article/1169959-overview. Diakses 15 Juli 2011.

71
4. Miller, AC. Guillain-Barre Syndrome. Available from : URL:
http://emedicine.medscape.com/article/792008-overview. diakses 14 Juli 2011.
5. Mayo Clinic Staff. Guillain Barre Syndrome.. Available From :
URL:http://www.mayoclinic.com/healt?guillainbarresyndrome/DS00413/. Diakses 14 Juli 2011.
6. Saharso, D. Sindroma Guillain-Barre (SGB). Divisi Neuropediatri Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya. Available from :
URL:http://www.pediatrik.com?isi03.php?page=html&hkstegori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=
&htm=061214-mvib207.htm. Diakses 15 Juli 2011.
7. Menkes JH, Sarnat HB, Moser FG. Child Neurology 6th Ed. London : Williams &Wilkins.2000.
8. Davids HR. Guillain-Barre Syndeome. Available from : URL:
http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview. Diakses 16 Juli 2011
9. Lewis RA. Chronic InflammatoryDemyelinating Polyradiculoneuropathy. Available from :
URL:http://emedicine
10. .medscape.com?article?1172965-overview. Diakses 16 Juli 2011.
11. Judarwanto, W. Sindroma Guillain Barre (GBS): Patofisiologi dan Diagnosis. Available from :
http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/14/guillain-barre-syndrome-gbs-patofisiologi-
manifestasi-klinis-dan-diagnosis/. Diakses 16 Juli 2011.
12. Wilkinson I, LennoG. Essential Neurology 4th Ed. UK : Blacwell Publishing. 2005.

HEMIFASIAL SPASME

Latar belakang

Hemifasial Spasme termasuk dalam golongan movement disorders yang secara karakteristik ditandai
dengan adanya kontraksi involunter otot wajah yang dipersarafi oleh saraf kranialis VII (N.facialis). Bersifat
paroksismal, timbul secara sinkron dan intermitten pada satu sisi wajah. Kontraksi bersifat tonik klonik dengan

72
variasi derajat keparahannya. Umumnya kontraksi dimulai di daerah sekitar mata (musculus orbicularis oculi),
menjalar secara bertahap ke otot daerah pipi dan akhirnya ke daerah mulut ( musculus orbicularis oris ).1,4,9

Data evidence menunjukkan bahwa hemifasial spasme primer paling banyak disebabkan oleh vascular
dekompresi. Prevalensi spasme hemifasial dilaporkan oleh Auger dan Whisnat ( 1990 ) adalah 14,5 per 100.000
populasi wanita dan 7,4 per 100.000 populasi pria. Hemifasial spasme ini timbul pada usia dekade limapuluhan
dan lebih banyak dijumpai pada wanita. Di Indonesia belum ada data yang pasti tentang penderita spasme
hiemifasial. Pada penelitian oleh Jusuf Misbach ( agt 1999 – 31 jan 2001) tentang penggunaan injeksi toksin
botulinum pada hemifasial spasme dari 20 pasien yang ada terdapat 19 pasien laki-laki ( 95%) dan 1 pasien wanita
(5%).8

Definisi

Suatu kondisi yang dikarakteristikkan sebagai spasme klonik unilateral yang di mulai dari musculus
orbicularis oculi dan menyebar ke otot-otot fasial lainnya. Otot stapedius dapat mengalami spasme juga yang
ditandai dengan ada bunyi clicking ipsilateral. Kontraksinya irregular, intermittent dan bisa memburuk apabila
ada faktor pemicu berupa stress emosi dan kelelahan. 11

Gambar pasien hemifasial Spasme

Epidemiologi

Secara umum berdasarkan data di Amerika, prevalensi hemifasial spasme mencapai 9,8-11 per 100.000 jiwa
dari total populasi. Tapi tidak diketahui secara pasti data populasi di Asia, walaupun prevalensi Hemifasial spasme
di Asia lebih banyak daripada trigeminal neuralgia. 7

Adapun beberapa epidemiologi berdasarkan kelompok tertentu. 3

73
1. Berdasarkan persebaran ras: semua ras mempunyai prevalensi yang seimbang atau sama

2. Berdasarkan persebaran gender: wanita lebih banyak daripada pria (2:1)

3. Berdasarkan persebaran umur:

- Hemifasial idiopatik typical mulai pada decade ke-5 atau ke-6 kehidupan
- Onset hemifasial spasme pada pasien yang lebih muda dari 40 thn jarang terjadi dan biasanya karena
penyakit sekunder seperti multiple sclerosis
Etiologi

Pada dasarnya etiologi dari hemifasial spasme masih belum bisa diketahui secara pasti, tetapi gejala tersebut
muncul karena terjadinya iritasi atau kompresi pada pembuluh darah yang terkait dengan persarafan pada nervus
kranial tujuh. Hal tersebut menyebabkan demyelinisasi dan “short circuiting” diantara saraf-saraf tersebut.
Adapun beberapa mekanisme yang bisa menyebabkan terjadinya hemifasial spasme: 3

• Idiopatik
• Vascular compression
• Facial nerve compression oleh massa
• Lesi batang otak seperti stroke atau plak multiple sclerosis
• Trauma atau bells palsy.

Patofisiologi

Pertama kali dideskripsikan oleh Gowers pada tahun 1884, hemifasial spasme menunjukkan myoclonus
segmental pada otot yang di inervasi oleh saraf fasial. Kelainan ini umumnya tampak pada decade 5 atau 6 dari
kehidupan. Kebanyakan secara unilateral meskipun dapat terjadi secara bilateral namun sangat jarang dijumpai
kasus seperti itu. Hemifasial spasme secara umum dimulai dengan gerakan clonus pada musculus orbicularis oculi
dan menyebar ke beberapa otot-otot wajah yang lainnya (corrugator, frontalis, orbicularis oris, platysma,
zygomaticus). 3

Iritasi yang terjadi secra kronis pada nervus fasialis atau nucleus merupakan penyebab secara universal
3
hemifasial spasme, dan hal tersebut bisa disebakan oleh beberapa faktor penyebab.

Iritasi pada nucleus nervus fasialis dipercaya memacu terjadinya reaksi hipereksitasi dari nucleus nervus
fasialis, sehingga iritasi pada segment proksimal nervus tersebut menyebabkan gangguan transmisi diantara
nervus-nervus fasialis. Maka kemungkinan besar akan menyebabkan short circuiting diantara saraf tersebut. Pada
tampakan klinis akan muncul sebagai rhythmic involuntary myoclonic contractions yang di observasi sebagai
hemifacial spasm.3

Lesi-lesi compresive (sebagai contoh: tumor, arteriovenous malformation, Paget disease) dan lesi-lesi
noncompressive (sebagai contoh: stroke, multiple sclerosis plaque, basilar meningitis) akan tampak dengan
manifestasi klinis berupa hemifacial spasm. Secara singkat penyebab hemifasial spasme adalah idiopatik tetapi

74
beberapa mekanisme juga bisa disebabkan oleh kelainan pembuluh darah (sebagai contoh,, distal branches of the
3
anterior inferior cerebellar artery or vertebral artery) menekan nervus fasialis pada cerebellopontine angle.

Klasifikasi

Hemifasial spasme di bedakan atau diklasifikasikan berdasarkan jalur kontraksinya. Sehingga di bagi
menjadi 6:

• Hemifasial spasme tipe typical: yaitu kontraksi dimulai pada musculus orbicularis oculi dan menjalar
secara bertahap ke otot daerah pipi dan menyebar ke daerah mulut, meliputi musculus orbicularis
oris,buccinator dan platysma.
• Hemifasial spasme tipe atypical: yaitu dimana kontraksi otot tidak selalu dimulai dari musculus
orbicularis oculi. Untuk atypical hemifasial spasme lebih jarang ditemukan. Madjid Samii dkk
menemukan dari 143 pasien spasme hemifasial kasus typical ditemukan pada 95,9% dan atypical 4,1%.

Tanda dan Gejala Klinis

Gejala klinis:

• Kedutan pada kelopak mata secra intermittent


• Kesulitan untuk menutup mata
• Terjadi spasme otot-otot wajah bawah
• Mulut tertarik pada salah satu sisi wajah
• Terjadi spasme yang terus-menerus atau berkelanjutan di seluruh otot wajah pada salah satu sisi
wajah.2

Tanda klinis:

Hemifasial spasme secara karakteristik ditandai adanya kontraksi involunter otot wajah yang dipersarafi
N.VII ( N. facialis ) , bersifat paroksismal, timbul secara sinkron dan intermitten pada satu sisi wajah. 2

Pemeriksaan fisik

Yang dapat kita evaluasi pada pemeriksaan secara fisik adalah munculnya gerakan involunter pada otot-otot
wajah secara intermittent pada salah satu sisi wajah. 3

Pemeriksaan penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat menunjukkan karakteristik dan sekaligus etiologi dari
hemifasial spasme.

• Electromyography (EMG)

75
Merupakan sebuah test yang mengukur dan merekam aktivitas elekrik yang berasal dari aktivitas otot
saat istirahat (relaksasi) maupun saat aktif (kontraksi). Pada EMG akan menunjukkan frekwensi yang
irregular, tajam, dang frekwensi tinggi (150-400 Hz) pada motor unit yang potensial yang mana
berhubungan dengan klinis dari gerakan wajah. 3,7

• Magnetic resonance imaging (MRI)

Merupakan sebuah test yang menggunakan gelombang magnet untuk membuat dan melihat gambaran
struktur yang terdapat di dalam kepala. Merupakan pemeriksaan pilihan khususnya jika di duga terdapat
underlying compressive lesion. 3,7

• Computed tomography (CT) scan

Merupakan salah satu tipe dari X-y yang digunakan untuk membuat gambaran dari struktur yang
terdapat dalam kepala.3

• Angiography

76
Merupakan pemeriksaan X-ray pada pembuluh darah dengan cara di isi dengan pemberian material
kontras. Imaging yang berfunsi sebagai penunjang apabila terdapat aneurysme atau vascular
decompressions. Tetapi untuk mengklarifikasi hasil tersebut adalah dengan tindakan pembedahan. 3

Diagnosis

Spasme hemifasial harus dibedakan dengan tics, blepharospasm dan facial myokimia. Secara klinis
karakteristik facial myokimia berupa suatu gerakan menyerupai getaran otot muka yang menetap dan berlanjut.
Gambaran EMG berupa salah satu cetusan (discharge) spontan yang asinkron dari motor unit yang berdekatan. 1,4,
9

Pada tic”s gerakan biasanya bersifat tiba-tiba, sesaat,stereotipik dan terkoordinasi serta berulang dengan
interval yang tidak teratur. Penderita biasanya merasakan keinginan untuk melakukan gerakan-gerakan tersebut.
Dengan demikian penderita merasa lega. Penderita tic”s biasanya berhubungan dengan penyakit obsesive
compulsive.9
Pemeriksaan EMG pada hemifasial spasm secara karakteristik ditandai timbulnya irama gelombang frekuensi
tinggi ( 150-400 Hz ), dengan sinkronisasi. Sedangkan pada blink refleks dengan perekaman elektrofisiologis
dapat terlihat sinkinesis dari otot-otot yang dipersarafi oleh cabang-cabang N.VII secara jelas. Pada pasien ini
1,9
hasil ENMG menunjukkan adanya spasme otot wajah kanan ( spasme hemifasial )
Diagnosa pasti penyebab spasme hemifasial sulit ditegakkan. Ada beberapa penyebab yang dapat
menimbulkan spasme hemifasial, yaitu tumor, malformasi pembuluh darah dan proses infeksi lokal yang
semuanya dapat menimbulkan penekanan pada nervus VII. 1,4, 9
Sebagai penyebab terbanyak dan telah dibuktikan yaitu adanya penekanan oleh pembuluh darah . Dari 143
kasus spasme hemifasial yang dilakukan tindakan mikrovaskular dekompresi didapatkan copressing vessel yang
paling sering adalah Anterior Inferior Cerebellar Artery ( AICA) pada 73 kasus ( Madjid S.dkk,1998). 10

Diagnosis banding

Gerakan otot wajah hanya merupakan sebuah gejala. Kecemasan, Kelelahan serta membaca mungkin juga bisa
menyebabkan atau memicu gerakan tersebut. Berikut ini beberapa diagnosis banding gejala gerakan otot wajah
yang involunter.2, 3, 7

• Hemimasticatory spasm
o Hemimasticatory spasm merupakan analog dari hemifasial spasme dan terjadi karena iritasi dari
nervus trigeminal.
o Kondisi ini jarang ada, merupakan segmental myoclonus dan nampak sebagai kontraksi
unilateral involunter pada otot yang dipersarafi oleh nervus trigeminus untuk mengunyah
(biasanya m. masseter)
o Mirip dengan hemifacial spasm, hemimasticatory spasm berespon terhadap pengobatan dengan
botulinum toxin.
• Myoclonic movements

77
o Myoclonic movements juga merupakan gangguan pada otot-oto fasial yang disebabkan oleh
lesi pada otak atau level batang otak.
o Kondisi ini dibedakan dari hemifasial spasm berdasarkan distribusi ke abnormalan gerakan
(lebih menyeluruh dan memungkinkan bilateral) dan bisa di evaluasi dengan electrodiagnostic.
o Imaging studies mampu mendeteksi underlying cause.
o Central myoclonus berespon terhadap terapi anticonvulsan.
• Oromandibular dystonia
o Oromandibular dystonia (OMD) merupakan dystonia yang menyerang lower facial
musculature, dominan pada rahang, pharynx, dan lidah.
o Ketika oromandibular dystonia terjadi dan bersamaan dengan blepharospasm, kelainan ini
disebut sebagai Meige syndrome.
o Jaw-opening forms dari oromandibular dystonia merupakan indikasi keterkaitan dari digastric
dan lateral pterygoid. Jaw-closing oromandibular dystonia termasuk adalah masseter,
temporalis, dan medial pterygoid.
o Jaw deviation, meg indikasikan jarang nha keterkaitan dari lateral pterygoid
o Botulinum toxin merupakan terapi pilihan pada oromandibular dystonia dan paling efektif pada
the jaw-closure type.
o Karena pada treatment terdapat resiko aspirasi maka tidak pernah dilakukan inject botulinum
toxin pada lidah.
• Craniofacial tremor
o Craniofacial tremor mungkin berhubungan dengan adanya with essential tremor, Parkinson
disease, thyroid dysfunction atau electrolyte disturbance.
o Sangat jarang terjadi.
o Merupakan Focal motor seizures yang harus dibedakan dengan facial movement disorders,
khususnya hemifasial spasme.
• Facial chorea
o Facial chore terjadi dalam konteks systemic movement disorder (seperti, Huntington disease,
Sydenham chorea).
o Chorea merupakan kumpulan gerakan yang random, mengalir, dan tak berpola.
o Kelainan yang berhubungan spontaneous orofacial dyskinesia pada orang tua.
• Tics
o Facial tics merupakan gerakan yang jelas, berulang, dan terkoordinasi serta gerakan yang sedikit
disadari pada kelompok otot di wajah dan leher.
o Tics terjadi secara fisiologis atau berhubungan dengan diffuse encephalopathy.
o Beberaa pilihan pengobatan adalah (contoh, anticonvulsants, caffeine, methylphenidate,
antiparkinsonian agents) dihubungkan dengan produksi tics.
o Gerakan tungal, berulang dan stereotyped (contoh, repetitive grimacing, throat clearing,
vocalizations) disebut sebagai a simple tic disorder.
• Facial myokymia

78
o Facial myokymia tampak sebagi vermicular twitching dibawah kulit, sering tampak seperti
wavelike spread.
o Dibedakan dari abnormal facial movements dilihat dari karakteristik electromyogram
discharges yang tampak jelas/tajam, berulang pada potesial motor unit dengan frekwensi 2-60
Hz dan di interupsi beberapa detik dengan frekwensi yang diam.
o Facial myokymia mungkin terjadi karena kelainan brainstem process. Kasus yang berat
berespon terhadap terapi botulinum toxin.
o Kasus terbanyak adalah idiopatik dan sembuh sendiri dalam beberapa minggu.

Terapi

Terdapat beberapa pilihan pengobatan sesuai dengan patofisiologi penyakitnya serta berat ringannya gejala
hemifasial spasme. 3,7

-Injeksi Botulinum

• Pilihan terapi yaitu dengan injeksi toksin botulinum dengan panduan berdasarkan hasil EMG. Akan
menghilangkan spasme dalam waktu sekitar 3-5 hari setelah injeksi dan di terapi kurang lebih selama 6
bulan.
• Efek samping yang timbul dari injek toksin botulinum adalah munculnya facial asymmetry, ptosis, facial
weaknes tetapi biasanya hanya transient saja.

79
• Berdasarkan laporan yang ada, kebanyakan pasien mempunyai respon yang baik terhadap pengobatan
ini.

Pengobatan

• Digunakan pada pasien dengan lesi yang non kompresif dang idiopatik hemifasial spasme.
• Respon terhadah pengobatan bervariasi, tetapi sangat memuaskan pada derajat kasus yang ringan sampai
sedang.
• Agent yang menjadi pilihan adalah carbamazepine dan benzodiazepines (contoh, clonazepam).
• Sebaiknya pengobatan ini dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan jika derajat kasusnya ringan
atau pada pasien yang menolak injeksi botulinum.

Surgical Care

• Sebagai terapi definitive lesi yang kompresif.


o Pembuluh darah yang ektasis bisa menyebabkan hemifasial spasme oleh karena adanya
kompresi nervus fasialis yang terdapat pada batang otak.
o Surgical decompression pada penbuluh darah tersebut akan menunjukkan hasil yang baik dan
memuaskan.
o Pasien yang mempunyai kelainan idiopatik mungkin menguntungkan apabila dilakukan
eksplorasi padavposterior fossa dan microvascular decompression.
o Myectomy sangat jarang dilakukan.

Medication Summary

80
Tujuan dari terapi adalah me-reduksi kontraksi otot yang abnormal. Pilihan terapinya adalah botulinum toksin
tipe A. Carbamazepin, benzodiazepine dan baclofen juga digunakan sebagai pengobatan pada pasien yang
menolak terapi toksin botulinum dan bukan kandidat terapi pembedahan.

Prognosis

Hemifasial spasme merupakan penyakit yang progresif tetapi tidak fatal. Sebagian besar berespon terhadap
pilihan terapi sesuai etiologinya.3

Referensi

1.Adams RD, victor.M and Ropper A.H.Principles of neurology. Sixth ed,McGraw Hill:
Alexander.Carbamazepin for hemifacial spasm.Neurology 1990;40:286-287.

2.Anonim.2010. http://medicastore.com/penyakit/3160/Kejang_hemifacial_Hemifacial_Spasm.html. diakses: 10


juni 2011.

3.Gulevich, steven, et al. 2010. Medscape. http://emedicine.medscape.com/article. Hemifacial spasme. diakses:


10 juni 2011. American Academy of Neurology and Colorado Medical Society.

4.Hanson MR, Disturbance of lower cranial nerve In : Bradley et al.Neurology in clinic

5.Hitshi et al. Cerebellopontine Angle Epidermoids.Presenting with Cranial nerve Dysfunction: Pathogenesis
and Long term surgical results in 30 patients. Neurosurgery 2002;50:276-286.

6.Istiana. 2005. Laporan kasus: SPASME HEMIFASIAL. Residen Neurologi FKUI

7.J Korean, et al. 2007. Journal Neurosurg Soc Hemifacial Spasm : A Neurosurgical Perspective Hemifacial
spasm. Department of Neurosurgery,Samsung Medical Center: Sungkyunkwan University School of
Medicine, Seoul, Korea

8.Jusuf Misbach, penggunaan injeksi toksin botulinum pada spasme hemifasial.Neurona vol 18 no 2 januari
2001 :51-54.

81
9.Lang A.E. Approach to common neurological problems. In: Bradley et al.Neurology

10.Maadjid et al. Microvascular Decompression to treat hemifacial spasm : long term results for a consecutive
series of 143 patients.Neurosurgery 2002 ;50:712-719.

11.Kenneth W. Lindsay, et al. 2004. Neurology and Neurosurgery Illustrated. Philadelphia: Churchill
livingstone

HERNIA NUKLEUS PULPOSUS

PENDAHULUAN

Dalam bahasa kedokteran Inggris, pinggang dikenal sebagai “low back”. Secara anatomik pinggang
adalah daerah tulang belakang L-1 sampai seluruh tulang sakrum dan otot-otot sekitarnya. Tulang belakang
1
lumbal sebagai unit struktural dalam berbagai sikap tubuh dan gerakan ditinjau dari sudut mekanika.

Daerah pinggang mempunyai fungsi yang sangat penting pada tubuh manusia. Fungsi penting tersebut
antara lain, membuat tubuh berdiri tegak, pergerakan, dan melindungi beberapa organ penting. Peranan otot-otot
erektor trunksi adalah memberikan tenaga imbangan ketika mengangkat benda. Dengan menggunakan alat
petunjuk tekanan yang ditempatkan di dalam nukleus pulposus manusia, tekanan intradiskal dapat diselidiki pada
berbagai sikap tubuh dan keadaan. Sebagai standar dipakai tekanan intradiskal ketika berdiri tegak.

Tekanan intradiskal yang meningkat pada berbagai sikap dan keadaan itu diimbangi oleh tenaga otot
abdominal dan torakal. Hal ini dapat diungkapkan oleh penyelidikan yang menggunakan korset toraks atau
abdomen yang bisa dikembungkempiskan yang dikombinasi dengan penempatan alat penunjuk tekanan di dalam
lambung. Hasil penyelidikan tersebut mengungkapkan bahwa 30% sampai 50% dari tekanan intradiskal torakal

82
dan lumbal dapat dikurangi dengan mengencangkan otot-otot torakal dan abdominal sewaktu melakukan
pekerjaan dan dalam berbagai posisi. 1

Kontraksi otot-otot torakal dan abdominal yang sesuai dan tepat dapat meringankan beban tulang
belakang sehingga tenaga otot yang relevan merupakan mekanisme yang melindungi tulang belakang. Secara
sederhana, kolumna vertebralis torakolumbal dapat dianggap sebagai tong dan otot-otot torakal serta lumbal
sebagai simpai tongnya.

Hernia Nukleus Pulposus merupakan salah satu dari sekian banyak “Low Back Pain” akibat proses
degeneratif. Penyakit ini banyak ditemukan di masyarakat, dan biasanya dikenal sebagai ‘loro boyok’. Biasanya
mereka mengobatinya dengan pijat urat dan obat-obatan gosok, karena anggapan yang salah bahwa penyakit ini
hanya sakit otot biasa atau karena capek bekerja. Penderita penyakit ini sering mengeluh sakit pinggang yang
menjalar ke tungkai bawah terutama pada saat aktifitas membungkuk (sholat, mencangkul). Penderita mayoritas
1,2
melakukan suatu aktifitas mengangkat beban yang berat dan sering membungkuk.

ANATOMI DAN FISIOLOGI VERTEBRAE 1,2

Anatomi tulang belakang perlu diketahui agar dapat ditentukan elemen yang terganggu pada timbulnya
keluhan nyeri punggung bawah. Columna vertebralis adalah pilar utama tubuh. Merupakan struktur fleksibel yang
dibentuk oleh tulang-tulang tak beraturan, disebut vertebrae.

Vertebrae dikelompokkan sebagai berikut :

- Cervicales (7)

- Thoracicae (12)

- Lumbales (5)

- Sacroles (5, menyatu membentuk sacrum)

- Coccygeae (4, 3 yang bawah biasanya menyatu)

83
Tulang vertebrae merupakan struktur kompleks yang secara garis besar terbagi atas 2 bagian. Bagian
anterior tersusun atas korpus vertebra, diskus intervertebralis (sebagai artikulasi), dan ditopang oleh ligamentum
longitudinale anterior dan posterior. Sedangkan bagian posterior tersusun atas pedikel, lamina, kanalis vertebralis,
serta prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi tempat otot penyokong dan pelindung kolumna vertebrale.
Bagian posterior vertebrae antara satu dan lain dihubungkan dengan sendi apofisial (fascet joint).

Tulang vertebrae ini dihubungkan satu sama lainnya oleh ligamentum dan tulang rawan. Bagian anterior
columna vertebralis terdiri dari corpus vertebrae yang dihubungkan satu sama lain oleh diskus fibrokartilago yang
disebut discus invertebralis dan diperkuat oleh ligamentum longitudinalis anterior dan ligamentum longitudinalis
posterior.

84
Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah
cervical dan lumbal, tempat dimana banyak terjadi gerakan columna vertebralis, dan berfungsi sebagai sendi dan
shock absorber agar kolumna vertebralis tidak cedera bila terjadi trauma.

Discus intervertebralis terdiri dari lempeng rawan hyalin (Hyalin Cartilage Plate), nukleus pulposus (gel),
dan annulus fibrosus. Sifat setengah cair dari nukleus pulposus, memungkinkannya berubah bentuk dan vertebrae
dapat mengjungkit kedepan dan kebelakang diatas yang lain, seperti pada flexi dan ekstensi columna vertebralis.

Diskus intervertebralis, baik anulus fibrosus maupun nukleus pulposusnya adalah bangunan yang tidak
peka nyeri. Bagian yang merupakan bagian peka nyeri adalah:

• Lig. Longitudinale anterior


• Lig. Longitudinale posterior
• Corpus vertebra dan periosteumnya
• Articulatio zygoapophyseal
• Lig. Supraspinosum
• Fasia dan otot
Stabilitas vertebrae tergantung pada integritas korpus vertebra dan diskus intervertebralis serta dua jenis
jaringan penyokong yaitu ligamentum (pasif) dan otot (aktif). Untuk menahan beban yang besar terhadap kolumna

85
vertebrale ini stabilitas daerah pinggang sangat bergantung pada gerak kontraksi volunter dan refleks otot-otot
sakrospinalis, abdominal, gluteus maksimus, dan hamstring.

Dengan bertambahnya usia, kadar air nukleus pulposus menurun dan diganti oleh fibrokartilago.
Sehingga pada usia lanjut, diskus ini tipis dan kurang lentur, dan sukar dibedakan dari anulus. Ligamen
longitudinalis posterior di bagian L5-S1 sangat lemah, sehingga HNP sering terjadi di bagian postero lateral.

DEFINISI 3

HNP (Hernia Nukleus Pulposus) yaitu keluarnya nukleus pulposus dari discus melalui robekan annulus
fibrosus hingga keluar ke belakang/dorsal menekan medulla spinalis atau mengarah ke dorsolateral menekan radix
spinalis sehingga menimbulkan gangguan.

EPIDEMIOLOGI 3

HNP paling sering terjadi pada pria dewasa, dengan insiden puncak pada dekade ke-4 dan ke-5. HNP
lebih banyak terjadi pada individu dengan pekerjaan yang banyak membungkuk dan mengangkat.

Karena ligamentum longitudinalis posterior pada daerah lumbal lebih kuat pada bagian tengahnya, maka
protrusi discus cenderung terjadi ke arah postero lateral, dengan kompresi radiks saraf.

86
PATOFISIOLOGI 1,2,3

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya HNP :

1. Aliran darah ke discus berkurang

2. Beban berat

3. Ligamentum longitudinalis posterior menyempit

Jika beban pada discus bertambah, annulus fibrosus tidak kuat menahan nukleus pulposus (gel) akan
keluar, akan timbul rasa nyeri oleh karena gel yang berada di canalis vertebralis menekan radiks.

Bangunan peka nyeri mengandung reseptor nosiseptif (nyeri) yang terangsang oleh berbagai stimulus
lokal (mekanis, termal, kimiawi). Stimulus ini akan direspon dengan pengeluaran berbagai mediator inflamasi
yang akan menimbulkan persepsi nyeri. Mekanisme nyeri merupakan proteksi yang bertujuan untuk mencegah
pergerakan sehingga proses penyembuhan dimungkinkan. Salah satu bentuk proteksi adalah spasme otot, yang
selanjutnya dapat menimbulkan iskemia.

Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri inflamasi pada jaringan dengan terlibatnya berbagai mediator
inflamasi; atau nyeri neuropatik yang diakibatkan lesi primer pada sistem saraf.

Iritasi neuropatik pada serabut saraf dapat menyebabkan 2 kemungkinan. Pertama, penekanan hanya
terjadi pada selaput pembungkus saraf yang kaya nosiseptor dari nervi nevorum yang menimbulkan nyeri
inflamasi.

Nyeri dirasakan sepanjang serabut saraf dan bertambah dengan peregangan serabut saraf misalnya karena
pergerakan. Kemungkinan kedua, penekanan mengenai serabut saraf. Pada kondisi ini terjadi perubahan
biomolekuler di mana terjadi akumulasi saluran ion Na dan ion lainnya. Penumpukan ini menyebabkan timbulnya
mechano-hot spot yang sangat peka terhadap rangsang mekanikal dan termal. Hal ini merupakan dasar
pemeriksaan Laseque.

87
88
ETIOLOGI 4,5

Hernia nukleus pulposus dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut :

• Degenerasi diskus intervertebralis


• Trauma minor pada pasien tua dengan degenerasi
• Trauma berat atau terjatuh
• Mengangkat atau menarik benda berat

KLASIFIKASI

Hernia Lumbosacralis

Penyebab terjadinya lumbal menonjol keluar, bisanya oleh kejadian luka posisi fleksi, tapi perbandingan
yang sesungguhnya pada pasien non trauma adalah kejadian yang berulang. Proses penyusutan nukleus
pulposus pada ligamentum longitudinal posterior dan annulus fibrosus dapat diam di tempat atau
ditunjukkan/dimanifestasikan dengan ringan, penyakit lumbal yang sering kambuh. Bersin, gerakan tiba-
tiba, biasa dapat menyebabkan nucleus pulposus prolaps, mendorong ujungnya/jumbainya dan
melemahkan anulus posterior. Pada kasus berat penyakit sendi, nucleus menonjol keluar sampai anulus
atau menjadi “extruded” dan melintang sebagai potongan bebas pada canalis vertebralis. Lebih sering,
fragmen dari nucleus pulposus menonjol sampai pada celah anulus, biasanya pada satu sisi atau lainnya
(kadang-kadang ditengah), dimana mereka mengenai menimpa sebuah serabut atau beberapa serabut
syaraf. Tonjolan yang besar dapat menekan serabut-serabut saraf melawan apophysis artikuler.

Hernia Servikalis

89
Keluhan utama nyeri radikuler pleksus servikobrakhialis. Penggerakan kolumma vertebralis servikal
menjadi terbatas, sedang kurvatural yang normal menghilang. Otot-otot leher spastik, kaku kuduk,
refleks biseps yang menurun atau menghilang Hernia ini melibatkan sendi antara tulang belakang dari
C5 dan C6 dan diikuti C4 dan C5 atau C6 dan C7. Hernia ini menonjol keluar posterolateral
mengakibatkan tekanan pada pangkal syaraf. Hal ini menghasilkan nyeri radikal yang mana selalu
diawali gejala-gejala dan mengacu pada kerusakan kulit.

Hernia Thorakalis

Hernia ini jarang terjadi dan selalu berada digaris tengah hernia. Gejala-gejalannya terdiri dari nyeri
radikal pada tingkat lesi yang parastesis. Hernia dapat menyebabkan melemahnya anggota tubuh bagian
bawah, membuat kejang paraparese kadang-kadang serangannya mendadak dengan paraparese.

Penonjolan pada sendi intervertebral toracal masih jarang terjadi(menurut love dan schorm 0,5 % dari
semua operasi menunjukkan penonjolan sendi). Pada empat thoracal paling bawah atau tempat yang
paling sering mengalami trauma jatuh dengan posisi tumit atau bokong adalah faktor penyebab yang
paling utama.

GEJALA KLINIS11

Manifestasi klinis yang timbul tergantung lokasi lumbal yang terkena. HNP dapat terjadi kesegala arah,
tetapi kenyataannya lebih sering hanya pada 2 arah, yang pertama ke arah postero-lateral yang menyebabkan nyeri
pinggang, sciatica, dan gejala dan tanda-tanda sesuai dengan radiks dan saraf mana yang terkena. Berikutnya ke
arah postero-sentral menyebabkan nyeri pinggang dan sindroma kauda equina. 2,3,5

Kedua saraf sciatic (N. Ischiadicus) adalah saraf terbesar dan terpanjang pada tubuh. masing-masing
hampir sebesar jari. Pada setiap sisi tubuh, saraf sciatic menjalar dari tulang punggung bawah ,di belakang
persendian pinggul, turun ke bokong dan dibelakang lutut. Di sana saraf sciatic terbagi dalam beberapa cabang
dan terus menuju kaki. 5

Ketika saraf sciatic terjepit, meradang, atau rusak, nyeri sciatica bisa menyebarsepanjang panjang saraf
sciatic menuju kaki. Sciatica terjadi sekitar 5% pada orang Ischialgia, yaitu suatu kondisi dimana saraf Ischiadikus

90
yang mempersarafi daerah bokong sampai kaki terjepit. Penyebab terjepitnya saraf ini ada beberapa faktor, yaitu
antara lain kontraksi atau radang otot-otot daerah bokong, adanya perkapuran tulang belakang atau adanya
Herniasi Nukleus Pulposus (HNP), dan lain sebagainya. 6

Sciatica merupakan nyeri yang terasa sepanjang perjalanan nervus ischiadicus sampai ke tungkai,
biasanya mengenai hanya salah satu sisi. Nyeri dirasakan seperti ditusuk jarum, sakit nagging, atau nyeri seperti
ditembak. Kekakuan kemungkinan dirasakan pada kaki. Berjalan, berlari, menaiki tangga, dan meluruskan kaki
memperburuk nyeri tersebut, yang diringankan dengan menekuk punggung atau duduk.
Gejala yang sering ditimbulkan akibat ischialgia adalah : 2,3,5,7

• Nyeri punggung bawah.


• Nyeri daerah bokong.
• Rasa kaku/ tertarik pada punggung bawah.
• Nyeri yang menjalar atau seperti rasa kesetrum dan dapat disertai baal, yang dirasakan dari bokong
menjalar ke daerah paha, betis bahkan sampai kaki, tergantung bagian saraf mana yang terjepit.
• Rasa nyeri sering ditimbulkan setelah melakukan aktifitas yang berlebihan, terutama banyak
membungkukkan badan atau banyak berdiri dan berjalan.
• Rasa nyeri juga sering diprovokasi karena mengangkat barang yang berat, batuk, bersin akibat
bertambahnya tekanan intratekal.
• Jika dibiarkan maka lama kelamaan akan mengakibatkan kelemahan anggota badan bawah/ tungkai
bawah yang disertai dengan mengecilnya otot-otot tungkai bawah dan hilangnya refleks tendon patella
(KPR) dan achilles (APR).
• Bila mengenai konus atau kauda ekuina dapat terjadi gangguan defekasi, miksi dan fungsi seksual.
Keadaan ini merupakan kegawatan neurologis yang memerlukan tindakan pembedahan untuk mencegah
kerusakan fungsi permanen.
• Kebiasaan penderita perlu diamati, bila duduk maka lebih nyaman duduk pada sisi yang sehat.

DIAGNOSA

❖ Anamnesa 1,2,7,8

91
Adanya nyeri di pinggang bagian bawah yang menjalar ke bawah (mulai dari bokong, paha bagian
belakang, tungkai bawah bagian atas). Hal ini dikarenakan mengikuti jalannya N. Ischiadicus yang mempersarafi
tungkai bagian belakang.

• Nyeri mulai dari pantat, menjalar kebagian belakang lutut, kemudian ke tungkai bawah (sifat nyeri
radikuler).
• Nyeri semakin hebat bila penderita mengejan, batuk, mengangkat barang berat.
• Nyeri bertambah bila ditekan antara daerah disebelah L5 – S1 (garis antara dua krista iliaka).
• Nyeri Spontan
• Sifat nyeri adalah khas, yaitu dari posisi berbaring ke duduk nyeri bertambah hebat, sedangkan bila
berbaring nyeri berkurang atau hilang.
❖ Pemeriksaan Motoris 6
• Gaya jalan yang khas, membungkuk dan miring ke sisi tungkai yang nyeri dengan fleksi di sendi panggul
dan lutut, serta kaki yang berjingkat.
• Motilitas tulang belakang lumbal yang terbatas.
❖ Pemeriksaan Sensoris
• Lipatan bokong sisi yang sakit lebih rendah dari sisi yang sehat.
• Skoliosis dengan konkavitas ke sisi tungkai yang nyeri, sifat sementara.
❖ Tes-tes Khusus 5,6
1. Tes Laseque (Straight Leg Raising Test = SLRT)

Tungkai penderita diangkat perlahan tanpa fleksi di lutut sampai sudut 90°.

2. Gangguan sensibilitas, pada bagian lateral jari ke 5 (S1), atau bagian medial dari

ibu jari kaki (L5).

3. Gangguan motoris, penderita tidak dapat dorsofleksi, terutama ibu jari kaki (L5),

atau plantarfleksi (S1).

• Tes dorsofleksi : penderita jalan diatas tumit


• Tes plantarfleksi : penderita jalan diatas jari kaki
4. Kadang-kadang terdapat gangguan autonom, yaitu retensi urine, merupakan

indikasi untuk segera operasi.

5. Kadang-kadang terdapat anestesia di perineum, juga merupakan indikasi untuk

operasi.

6. Tes provokasi : tes valsava dan naffziger untuk menaikkan tekanan intratekal.

7. Tes kernique

92
❖ Tes Refleks
Refleks tendon achilles menurun atau menghilang jika radiks antara L5 – S1 terkena.

❖ Penunjang 7,8,9
• Darah rutin : tidak spesifik
• Urine rutin : tidak spesifik
• Liquor cerebrospinalis : biasanya normal. Jika terjadi blok akan didapatkan peningkatan kadar
protein ringan dengan adanya penyakit diskus. Kecil manfaatnya untuk diagnosis.
• Myelogram mungkin disarankan untuk menjelaskan ukuran dan lokasi dari hernia. Bila operasi
dipertimbangkan maka myelogram dilakukan untuk menentukan tingkat protrusi diskus.
• MRI tulang belakang bermanfaat untuk diagnosis kompresi medula spinalis atau kauda ekuina.
Alat ini sedikit kurang teliti daripada CT scan dalam hal mengevaluasi gangguan radiks saraf.
• Foto : foto rontgen tulang belakang. Pada penyakit diskus, foto ini normal atau memperlihatkan
perubahan degeneratif dengan penyempitan sela invertebrata dan pembentukan osteofit.

93
• EMG : untuk membedakan kompresi radiks dari neuropati perifer
• Myelo-CT untuk melihat lokasi HNP

KOMPLIKASI

1.RU

2.Infeksi luka

3.Kerusakan penanaman tulang setelah fusi spinal.

PENATALAKSANAAN 2,4,5.6,9

Terapi Konservatif

Tujuan terapi konservatif adalah mengurangi iritasi saraf, memperbaiki kondisi fisik pasien dan
melindungi dan meningkatkan fungsi tulang punggung secara keseluruhan. Perawatan utama untuk diskus hernia
adalah diawali dengan istirahat dengan obat-obatan untuk nyeri dan anti inflamasi, diikuti dengan terapi fisik.
Dengan cara ini, lebih dari 95 % penderita akan sembuh dan kembali pada aktivitas normalnya. Beberapa persen
dari penderita butuh untuk terus mendapat perawatan lebih lanjut yang meliputi injeksi steroid atau pembedahan.

Terapi konservatif meliputi:

1. Tirah baring
Tujuan tirah baring untuk mengurangi nyeri mekanik dan tekanan intradiskal, lama yang dianjurkan
adalah 2-4 hari. Tirah baring terlalu lama akan menyebabkan otot melemah. Pasien dilatih secara bertahap untuk
kembali ke aktifitas biasa.

Posisi tirah baring yang dianjurkan adalah dengan menyandarkan punggung, lutut dan punggung bawah
pada posisi sedikit fleksi. Fleksi ringan dari vertebra lumbosakral akan memisahkan permukaan sendi dan
memisahkan aproksimasi jaringan yang meradang.

2. Medikamentosa

1. Analgetik dan NSAID


2. Pelemas otot: digunakan untuk mengatasi spasme otot
3. Opioid: tidak terbukti lebih efektif dari analgetik biasa. Pemakaian jangka panjang dapat
menyebabkan ketergantungan
4. Kortikosteroid oral: pemakaian masih menjadi kontroversi namun dapat dipertimbangkan pada
kasus HNP berat untuk mengurangi inflamasi.
5. Analgetik ajuvan: dipakai pada HNP kronis
3. Terapi fisik

• Traksi pelvis

94
Menurut panel penelitian di Amerika dan Inggris traksi pelvis tidak terbukti bermanfaat. Penelitian yang
membandingkan tirah baring, korset dan traksi dengan tirah baring dan korset saja tidak menunjukkan perbedaan
dalam kecepatan penyembuhan.

• Diatermi/kompres panas/dingin
Tujuannya adalah mengatasi nyeri dengan mengatasi inflamasi dan spasme otot. keadaan akut biasanya
dapat digunakan kompres dingin, termasuk bila terdapat edema. Untuk nyeri kronik dapat digunakan kompres
panas maupun dingin.

• Korset lumbal
Korset lumbal tidak bermanfaat pada HNP akut namun dapat digunakan untuk mencegah timbulnya
eksaserbasi akut atau nyeri HNP kronis. Sebagai penyangga korset dapat mengurangi beban diskus serta dapat
mengurangi spasme.

• Latihan
Direkomendasikan melakukan latihan dengan stres minimal punggung seperti jalan kaki, naik sepeda
atau berenang. Latihan lain berupa kelenturan dan penguatan. Latihan bertujuan untuk memelihara fleksibilitas
fisiologik, kekuatan otot, mobilitas sendi dan jaringan lunak. Dengan latihan dapat terjadi pemanjangan otot,
ligamen dan tendon sehingga aliran darah semakin meningkat.

• Proper body mechanics


Pasien perlu mendapat pengetahuan mengenai sikap tubuh yang baik untuk mencegah terjadinya cedera
maupun nyeri. Beberapa prinsip dalam menjaga posisi punggung adalah sebagai berikut:

• Dalam posisi duduk dan berdiri, otot perut ditegangkan, punggung tegak dan lurus. Hal ini akan menjaga
kelurusan tulang punggung.
• Ketika akan turun dari tempat tidur posisi punggung didekatkan ke pinggir tempat tidur. Gunakan tangan
dan lengan untuk mengangkat panggul dan berubah ke posisi duduk. Pada saat akan berdiri tumpukan
tangan pada paha untuk membantu posisi berdiri.
• Posisi tidur gunakan tangan untuk membantu mengangkat dan menggeser posisi panggul.
• Saat duduk, lengan membantu menyangga badan. Saat akan berdiri badan diangkat dengan bantuan
tangan sebagai tumpuan.
• Saat mengangkat sesuatu dari lantai, posisi lutut ditekuk seperti hendak jongkok, punggung tetap dalam
keadaan lurus dengan mengencangkan otot perut. Dengan punggung lurus, beban diangkat dengan cara
meluruskan kaki. Beban yang diangkat dengan tangan diletakkan sedekat mungkin dengan dada.
• Jika hendak berubah posisi, jangan memutar badan. Kepala, punggung dan kaki harus berubah posisi
secara bersamaan.
• Hindari gerakan yang memutar vertebra. Bila perlu, ganti wc jongkok dengan wc duduk sehingga
memudahkan gerakan dan tidak membebani punggung saat bangkit.

Terapi Operatif

95
Terapi bedah berguna untuk menghilangkan penekanan dan iritasi saraf sehingga nyeri dan gangguan
fungsi akan hilang. Tindakan operatif HNP harus berdasarkan alasan yang kuat yaitu berupa:

• Defisit neurologik memburuk.


• Gangguan otonom (miksi, defekasi, seksual).
• Paresis otot tungkai bawah.
✓ Laminectomy
Laminectomy, yaitu tindakan operatif membuang lamina vertebralis, dapat dilakukan sebagai
dekompresi terhadap radix spinalis yang tertekan atau terjepit oleh protrusi nukleus pulposus.

✓ Discectomy
Pada discectomy, sebagian dari discus intervertebralis diangkat untuk mengurangi tekanan terhadap
nervus. Discectomy dilakukan untuk memindahkan bagian yang menonjol dengan general anesthesia. Hanya
sekitar 2 – 3 hari tinggal di rumah sakit. Akan diajurkan untuk berjalan pada hari pertama setelah operasi untuk
mengurangi resiko pengumpulan darah. Untuk sembuh total memakan waktu beberapa minggu. Jika lebih dari
satu diskus yang harus ditangani jika ada masalah lain selain herniasi diskus. Operasi yang lebih ekstensif mungkin
diperlukan dan mungkin memerlukan waktu yang lebih lama untuk sembuh (recovery).

✓ Mikrodiskectomy
Pilihan operasi lainnya meliputi mikrodiskectomy, prosedur memindahkan fragmen of nucleated disk
melalui irisan yang sangat kecil dengan menggunakan – ray dan chemonucleosis. Chemonucleosis meliputi injeksi
enzim (yang disebut chymopapain) ke dalam herniasi diskus untuk melarutkan substansi gelatin yang menonjol.
Prosedur ini merupakan salah satu alternatif disectomy pada kasus-kasus tertentu.

96
Larangan

Peregangan yang mendadak pada punggung. Jangan sekali-kali mengangkat benda atau sesuatu dengan
tubuh dalam keadaan fleksi atau dalam keadaan membungkuk. Hindari kerja dan aktifitas fisik yang berat untuk
mengurangi kambuhnya gejala setelah episode awal.

97
BENAR

Saran

Istirahat mutlak di tempat tidur, kasur harus yang padat. Diantara kasur dan tempat tidur harus dipasang
papan atau “plywood” agar kasur jangan melengkung. Sikap berbaring terlentang tidak membantu lordosis lumbal
yang lazim, maka bantal sebaiknya ditaruh di bawah pinggang. Penderita diperbolehkan untuk tidur miring dengan
kedua tungkai sedikit ditekuk pada sendi lutut.

Istirahat mutlak di tempat tidur berarti bahwa penderita tidak boleh bangun untuk mandi dan makan.
Namun untuk keperluan buang air kecil dan besar orang sakit diperbolehkan meninggalkan tempat tidur. Oleh
karena buang air besar dan kecil di pot sambil berbaring terlentang justru membebani tulang belakang lumbal
lebih berat lagi.

Analgetika yang non adiktif perlu diberikan untuk menghilangkan nyeri. Selama nyeri belum hilang
fisioterapi untuk mencegah atrofi otot dan dekalsifikasi sebaiknya jangan dimulai, setelah nyeri sudah hilang
latihan gerakan sambil berbaring terlentang atau miring harus diajurkan.

Traksi dapat dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang sesuai dapat dilakukan “pelvic traction”,
alat-alat untuk itu sudah automatik. Cara “pelvic traction”, sederhana kedua tungkai bebas untuk bergerak dan
karena itu tidak menjemukan penderita. Maka pelvic traction dapat dilakukan dalam masa yang cukup lama
bahkan terus-menerus. Latihan bisa dengan melakukan flexion excersise dan abdominal excersise.

Masa istirahat mutlak dapat ditentukan sesuai dengan tercapainya perbaikan. Bila iskhilagia sudah
banyak hilang tanpa menggunakan analgetika, maka orang sakit diperbolehkan untuk makan dan mandi seperti
biasa. Korset pinggang atau griddle support sebaiknya dipakai untuk masa peralihan ke mobilisasi penuh.

98
Penderita dapat ditolong dengan istirahat dan analegtika serta nasehat untuk jangan sekali-kali
mengangkat benda berat, terutama dalam sikap membungkuk. Anjuran untuk segera kembali ke dokter bilamana
terasa nyeri radikuler penting artinya. Dengan demikian ia datang kembali dan “sakit pinggang” yang lebih jelas
mengarah ke lesi diskogenik.

PROGNOSIS 9

• Sebagian besar pasien akan membaik dalam 6 minggu dengan terapi konservatif.
• Sebagian kecil → berkembang menjadi kronik meskipun sudah diterapi.
• Pada pasien yang dioperasi : 90% → membaik terutama nyeri tungkai, kemungkinan terjadinya
kekambuhan adalah 5%

ALGORITME 10

99
Algoritme Low Back pain (New Zealand Guidelines Group, 2002)

RESUME

100
HNP (Hernia Nukleus Pulposus) yaitu keluarnya nukleus pulposus dari discus melalui robekan annulus
fibrosus hingga keluar ke belakang/dorsal menekan medulla spinalis atau mengarah ke dorsolateral menekan radix
spinalis sehingga menimbulkan gangguan.

HNP paling sering terjadi pada pria dewasa, dengan insiden puncak pada dekade ke-4 dan ke-5. HNP
lebih banyak terjadi pada individu dengan pekerjaan yang banyak membungkuk dan mengangkat.

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya HNP :

1. Aliran darah ke discus berkurang

2. Beban berat

3. Ligamentum longitudinalis posterior menyempit

Jika beban pada discus bertambah, annulus fibrosus tidak kuat menahan nukleus pulposus (gel) akan
keluar, akan timbul rasa nyeri oleh karena gel yang berada di canalis vertebralis menekan radiks.

Bangunan peka nyeri mengandung reseptor nosiseptif (nyeri) yang terangsang oleh berbagai stimulus
lokal (mekanis, termal, kimiawi). Stimulus ini akan direspon dengan pengeluaran berbagai mediator inflamasi
yang akan menimbulkan persepsi nyeri. Mekanisme nyeri merupakan proteksi yang bertujuan untuk mencegah
pergerakan sehingga proses penyembuhan dimungkinkan. Salah satu bentuk proteksi adalah spasme otot, yang
selanjutnya dapat menimbulkan iskemia.

Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri inflamasi pada jaringan dengan terlibatnya berbagai mediator
inflamasi; atau nyeri neuropatik yang diakibatkan lesi primer pada sistem saraf.

Iritasi neuropatik pada serabut saraf dapat menyebabkan 2 kemungkinan. Pertama, penekanan hanya
terjadi pada selaput pembungkus saraf yang kaya nosiseptor dari nervi nevorum yang menimbulkan nyeri
inflamasi.

Nyeri dirasakan sepanjang serabut saraf dan bertambah dengan peregangan serabut saraf misalnya karena
pergerakan. Kemungkinan kedua, penekanan mengenai serabut saraf. Pada kondisi ini terjadi perubahan
biomolekuler di mana terjadi akumulasi saluran ion Na dan ion lainnya. Penumpukan ini menyebabkan timbulnya
mechano-hot spot yang sangat peka terhadap rangsang mekanikal dan termal. Hal ini merupakan dasar
pemeriksaan Laseque.

Hernia nukleus pulposus dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut :

• Degenerasi diskus intervertebralis


• Trauma minor pada pasien tua dengan degenerasi
• Trauma berat atau terjatuh
• Mengangkat atau menarik benda berat
Manifestasi klinis yang timbul tergantung lokasi lumbal yang terkena. HNP dapat terjadi kesegala arah,
tetapi kenyataannya lebih sering hanya pada 2 arah, yang pertama ke arah postero-lateral yang menyebabkan nyeri

101
pinggang, sciatica, dan gejala dan tanda-tanda sesuai dengan radiks dan saraf mana yang terkena. Berikutnya ke
arah postero-sentral menyebabkan nyeri pinggang dan sindroma kauda equina. 2,3,5

Kedua saraf sciatic (N. Ischiadicus) adalah saraf terbesar dan terpanjang pada tubuh. masing-masing hampir
sebesar jari. Pada setiap sisi tubuh, saraf sciatic menjalar dari tulang punggung bawah ,di belakang persendian
pinggul, turun ke bokong dan dibelakang lutut. Di sana saraf sciatic terbagi dalam beberapa cabang dan terus
menuju kaki. 5

Ketika saraf sciatic terjepit, meradang, atau rusak, nyeri sciatica bisa menyebarsepanjang panjang saraf
sciatic menuju kaki. Sciatica terjadi sekitar 5% pada orang Ischialgia, yaitu suatu kondisi dimana saraf Ischiadikus
yang mempersarafi daerah bokong sampai kaki terjepit. Penyebab terjepitnya saraf ini ada beberapa faktor, yaitu
antara lain kontraksi atau radang otot-otot daerah bokong, adanya perkapuran tulang belakang atau adanya
Herniasi Nukleus Pulposus (HNP), dan lain sebagainya. 6

Diagnosa dari HNP sendiri bisa melalui beberapa pemeriksaan, diantaranya anamnesa, pemeriksaan
motoris, pemeriksaan sensoris, pemeriksaan khusus, pemeriksaan reflek, serta pemeriksaan penunjang.

Sedangkan planing terapi dari HNP dibagi menjadi terapi konservatif (tirh baring, medikamentosa dan
terapi fisik) serta terapi operatif (laminectomy, discectomy dan mikrodiscectomy)

Larangan bagi penderita HNp yaitu peregangan yang mendadak pada punggung. Jangan sekali-kali
mengangkat benda atau sesuatu dengan tubuh dalam keadaan fleksi atau dalam keadaan membungkuk. Hindari
kerja dan aktifitas fisik yang berat untuk mengurangi kambuhnya gejala setelah episode awal.

Pada penderita HNP disarankan untuk Istirahat mutlak di tempat tidur, kasur harus yang padat. Diantara
kasur dan tempat tidur harus dipasang papan atau “plywood” agar kasur jangan melengkung. Sikap berbaring
terlentang tidak membantu lordosis lumbal yang lazim, maka bantal sebaiknya ditaruh di bawah pinggang.
Penderita diperbolehkan untuk tidur miring dengan kedua tungkai sedikit ditekuk pada sendi lutut. Analgetika
yang non adiktif perlu diberikan untuk menghilangkan nyeri. Selama nyeri belum hilang fisioterapi untuk
mencegah atrofi otot dan dekalsifikasi sebaiknya jangan dimulai, setelah nyeri sudah hilang latihan gerakan sambil
berbaring terlentang atau miring harus diajurkan. Traksi dapat dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang
sesuai dapat dilakukan “pelvic traction”, alat-alat untuk itu sudah automatik. Cara “pelvic traction”, sederhana
kedua tungkai bebas untuk bergerak dan karena itu tidak menjemukan penderita. Maka pelvic traction dapat
dilakukan dalam masa yang cukup lama bahkan terus-menerus. Latihan bisa dengan melakukan flexion excersise
dan abdominal excersise.

Untuk prognosis nya Sebagian besar pasien akan membaik dalam 6 minggu dengan terapi konservatif,
namun sebagian kecil berkembang menjadi kronik meskipun sudah diterapi. Pada pasien yang dioperasi : 90%
akan membaik terutama nyeri tungkai, kemungkinan terjadinya kekambuhan adalah 5%.

DAFTAR PUSTAKA

102
1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar, edisi IV, cetakan kelima. Jakarta : PT Dian Rakyat. 87-95.
1999
2. Sidharta, Priguna. Sakit Neuromuskuloskeletal Dalam Praktek Umum. Jakarta : PT Dian Rakyat. 182-
212.
3. Purwanto ET. Hernia Nukleus Pulposus. Jakarta: Perdossi
4. Nuarta, Bagus. Ilmu Penyakit Saraf. In: Kapita Selekta Kedokteran, edisi III, jilid kedua, cetakan
keenam. Jakarta : Media Aesculapius. 54-59. 2004
5. Sakit Pinggang. In: Neurologi Klinis Dalam Praktik Umum, edisi III, cetakan kelima. Jakarta : PT Dian
Rakyat. 203-205
6. Partono M. Mengenal Nyeri pinggang. http://mukipartono.com/mengenal-nyeri-pinggang-hnp/ [diakses
16 Juni 2011]
7. Anonim. Hernia Nukleus Pulposus (HNP). http://kliniksehat.wordpress.com/2008/10/02/hernia-
nukleus-pulposus-hnp/ [diakses 16 Juni 2011]
8. Beberapa Segi Klinik dan Penatalaksanaan Nyeri Pinggang Bawah. In : http://www.kalbe.co.id Sidharta,
Priguna., 2004.
9. http://www.inna-ppni.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=130 Mansjoer, Arif, et all., 2007.
10. New Zealand Guidelines Group. 2002. New Zealand Acute Low Back Pain Guide. Algorithm:
Management of Acute Low Back Pain. (online)
http://www.chiro.org/LINKS/GUIDELINES/FULL/NEW_ZEALAND/Acute_LBP/algorithm.html
Diakses tanggal 18 Juni 2011
11. Bluemorri. 2008. Hernia Nukleus Pulposus (HNP). (online)
http://kliniksehat.wordpress.com/2008/10/02/hernia-nukleus-pulposus-hnp/ diakses tanggal 19 juni
2011
12. Claudio Dora, MD., Marius R. Schmid, MD., Achim Elfering, PhD., Marco., Zanetti, MD., Juerg Hodler,
MD, MBA., Norbert Boos, MD. Lumbar Disk Herniation: Do MR Imaging Findings Predict Recurrence
after Surgical Diskectomy?. 2005
13. John-David Kato, DC, MSc, ACSM-RCEP, CSEP-CEP. 2008. Low Back Pain: “Herniated Disc”.
14. MICHAEL D. MARTIN, M.D., CHRISTOPHER M. BOXELL, M.D., F.A.C.S.,AND DAVID G.
MALONE, M.D. 2002. Pathophysiology of lumbar disc degeneration: a review of the literature.
Neurosurg Focus 13 (2):Article 1, 2002
15. Mulier S, Debois V. Thoracic disc herniations: transthoracic, lateral, or posterolateral approach? A
review. Surg Neurol 1998;49:599–608.
16. NMS Chapter 25 dics herniation, 2008.

MYASTHENIA GRAVIS

103
PENDAHULUAN
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot. Penyakit ini merupakan penyakit neuromuscular
yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan.
Sebelumnya kematian akibat dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan
tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi1.
Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan pada akhir tahun 1800 Miastenia gravis
dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis burbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita penyakit
Miastenia gravis merasa lebih baik setelah minum obat efidrin yang sebenarnya obat ini ditujukan untuk mengatasi
kram menstruasi. Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari Inggris bernama Mary Walker melihat adanya gejala-
gejala yang serupa antara Miastenia gravis dengan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare
yaitu fisiotigmin untuk mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam penyembuhan
penyakit ini2.
Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan antara wanita dan pria yang menderita
penyakit ini adalah 3:1. Sedangkan pada tingkatan usia yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria
dewasa yang lebih tua2.
Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan, tetapi dapat
dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif untuk pertahanan sehingga komplikasi yang timbul dapat
ditangani dengan lebih baik.

DEFINISI
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan
progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di
bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial 3.
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan
oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis
merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada
hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan4.

Epidemiologi Myasthenia Gravis3


Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya
penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan

1
Engel, A. G. MD. 2004, Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16: Page: 40.
2
Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/2008/07/12/ miastenia-gravis. Diakses: 15 Juni 2011
3
Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/2008/07/12/ miastenia-gravis. Diakses: 15 Juni 2011
4
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, hal: 869-871

104
pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini
tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada
usia 40 tahun. Pada bayi, sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia gravis akan memiliki
miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen).

Anatomi Neuromuscular junction


Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari
neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan
merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang
disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuscular 5.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang
terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf),
membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular
junction5.

Gambar 2.1. Anatomi neuromuscular junction

Fisiologi Neuromuscular Junction


Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang otak mempersarafi
otot rangka atau otot lurik. Saraf- saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial
menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut
otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik.
Meskipun setiap neuron mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersarafi oleh
hanya satu neuron motorik 6.
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps
neuromuskular atau neuromuscular junction. Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara
saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang
mempunyai lebar sekitar 200Å. Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi
asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal (bouton).

5
Ngoerah, I. G. N. G, 2001, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.
6
Ngoerah, I. G. N. G, 2001, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.

105
Membran plasma akson terminal disebut membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membran postsinaps
atau lempeng akhir motorik serabut otot. Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk ke dalamnya. Bagian
ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat menambah luas permukaan. Membran
postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang
selanjutnya dapat mencetuskan potensial aksi otot. Pada membran postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat
menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membran
presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat gelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat
berdifusi6.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuscular, maka membran akson terminal presinaps
mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui
celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini
menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion
natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai
potensial motor end plate. Jika motor end plate ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam
membrane otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial ini
memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan
neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase 7.

Etiologi Myasthenia Gravis


Etiologi dari myasthenia gravis ada bermacam-macam. Berikut adalah etiologi dari myasthenia gravis8:
• Autoimun -> Direct mediated antibody
• Virus
• Obat-obatan :
o Antibiotik (aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin)
o B-blocker (propranolol)
o Lithium
o Magnesium
o Procainamide
o Verapamil
o Chloroquine
o Prednisone

Patofisiologi Myasthenia Gravis


Terjadinya myasthenia gravis dikarenakan kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh
hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis

7
Ngoerah, I. G. N. G, 2001, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.
8
Anonim, 2008, Myasthenia Gravis. http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd. Diakses: 14 Juni 2011

106
merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada
hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan 9.
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor(AChR). Kondisi ini
mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan
potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah
normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah yang
kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien9.

Gambar 2.1. Perjalanan impuls saraf pada myasthenia gravis 10

Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang
memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut
Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis10.

Gambar 2.2. Gambaran asetylcholin dan receptornya pada normal neuromuscular junction dan pada
myasthenia gravis11

9
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, hal: 869-871
10
Howard, J. F. 2008, Myasthenia Gravis, a Summary.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm. Diakses: 17 Juni 2011.
11
Howard, J. F. 2008, Myasthenia Gravis, a Summary.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm. Diakses: 17 Juni 2011.

107
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan toleransi terhadap AChR
sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang
disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru
menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit
Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita Myasthenic mengalami
hiperplasia thymic dan thymoma11.
Pada pasien dengan Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi,
maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi
limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten11.
Gambaran patofisiologi Miastenia gravis dapat dilihat dari skema yang ada dibawah ini:

Gambar 2.3. Skema patofisiologi myasthenia gravis12

Gejala Klinis Myasthenia Gravis


Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan
kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada

12
Mubarak, Husnul. 2008. Miastenia gravis. http://cetrione.blogspot.com/ 2008/06/miastenia-gravis.html. Diakses: 18 Juni 2011

108
siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat 13.

Gambar 2.4. Ptosis pada Myasthenia Gravis


Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian
proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada
dalam batas normal14.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot
wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang
horizontal14.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada pemeriksaan
fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal
twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita
miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi
aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Otot-otot leher juga mengalami
kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher 14.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota
tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot
anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering
kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah,
sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki14.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan
suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta
diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap
fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan14.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali
mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu
nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear

13
C. E. Thomas, S. A. Mayer, Y. Gungor, R. Swarup, E. A. Webster, I. Chang, T. H. Brannagan, M. E. Fink and L. P. Rowland,
2010, Myasthenic crisis: Clinical features, mortality, complications, and risk factors for prolonged intubation, Neurology Journal,
American Academy of Neurology
14
C. E. Thomas, S. A. Mayer, Y. Gungor, R. Swarup, E. A. Webster, I. Chang, T. H. Brannagan, M. E. Fink and L. P. Rowland,
2010, Myasthenic crisis: Clinical features, mortality, complications, and risk factors for prolonged intubation, Neurology Journal,
American Academy of Neurology

109
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus
pada mata yang melakukan abduksi. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga
mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle,
dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan
suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya 15.

Gambar 2.5. Otot-otot wajah yang menjadi lemah pada Myasthenia Gravis15

Berikut adalah kelemahan-kelemahan otot yang ditemukan pada myasthenia gravis15:


• Kelemahan otot mata & wajah yang hampir selalu ditemukan:
o Ptosis
o Diplopia
o Otot mimik
• Kelemahan otot bulbar:
o Otot-otot lidah
o “suara nasal”, regurgitasi nasal
o Kesulitan dalam mengunyah
o Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka
o Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan -> batuk dan tercekik saat minum
• Otot-otot leher:
o Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor
• Kelemahan otot anggota gerak:
o Anggota gerak atas lebih sering dibandingkan anggota gerak bawah
Extrimitas Atas Extrimitas Bawah

15
Newton, E. 2007, Myasthenia Gravis. http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis. Diakses: 17 Juni 2011.

110
Deltoid Hip flexor

Finger extensor Quadriceps

Wrist extensor Hamstrings

Triceps > Biceps Foot dorsoflexsors

Plantar flexors

Tabel 2.1. Otot-otot Ekstrimitas Yang Terkena Efek Dari Myasthenia Gravis16
• Kelemahan otot pernafasan:
o Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi CO2à hipoventilasi
▪ Menyebabkan kedaruratan neuromuscular
o Kelemahan otot pharyng dapat menyebabkan gagal saluran nafas atas
▪ Monitor negative inspiratory force, kapasitas vital dan tidal volume
• Penyakit autoimun yang mengikuti:
o Hypertiroidisme
▪ Sering terdapat pada 10-15% pasien myasthenia gravis
• Exopthalmus dan takikardi
• Kelemahan tidak dapat diperbaiki dengan pengobatan tunggal myasthenia
gravis bila didapatkan hipertiroidisme
o Thymoma (10%)
o Artritis Rheumatoid
o Skleroderma
o Lupus

Klasifikasi Myasthenia Gravis


Klasifikasi myasthenia gravis ada bermacam-macam yang paling sering digunakan ada dua yaitu
klassifikasi osserman dan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation
of America (MGFA)17.
Klasifikasi Miastenia Gravis menurut Osserman:
1. Miastenia Okuler
2. A. Miastenia umum derajat ringan
B. Miastenia umum derajat sedang
3. Miastenia fulminasi akut
4. Miastenia berat yang berkembang lamban

16
Newton, E. 2007, Myasthenia Gravis. http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis. Diakses: 17 Juni 2011
17
Jaretzki A, Barohn RJ, Ernstoff RM, et al. (2008). "Myasthenia gravis: recommendations for clinical research standards. Task
Force of the Medical Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation of America"

111
Berikut adalah klasifikasi myasthenia gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board
(MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)18:

• Class I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain
normal.
• Class II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot- otot lain
selain otot okular.
• Class IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot
orofaringeal yang ringan.
• Class IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota
tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan Class IIa.
• Class III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular
mengalami kelemahan tingkat sedang.
• Class IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat
kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
• Class IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat
kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
• Class IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot
okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
• Class IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal
mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
• Class IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga
terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
• Class V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu
pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada

18
Jaretzki A, Barohn RJ, Ernstoff RM, et al. 2008. "Myasthenia gravis: recommendations for clinical research standards. Task
Force of the Medical Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation of America"

112
pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.
• Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini:
o Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
o Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan,
dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
o Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar.
Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia

Diagnosis Myasthenia Gravis

Myasthenia gravis bisa menjadi suatu diagnosis yang sulit, gejala-gejalanya sangat halus dan sulit untuk
membedakan dari myasthenia gravis dan gangguan neurologis lainnya. Sebuah pemeriksaan fisik secara
menyeluruh dapat melihat kelemahan otot dengan mudah, tetapi kelemahan membaik setelah istirahat
dan memburuk lagi pada pengujian tenaga berikutnya. Pemeriksaan fisik tambahan yang juga harus dilakukan,
selain itu, respon yang baik terhadap obat-obatan juga dapat dianggap sebagai tanda patologi autoimun19.

Pemeriksaan Fisik19
Kelelahan otot harus diuji pada penderita myasthenia gravis:
• Melihat ke atas dan ke samping selama 30 detik: ptosis dan diplopia
• Menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah
lemah dan menjadi kurang terang(menjadi anartris dan afonis)
• Melihat kaki sambil berbaring selama 60 detik
• Lengan direntangkan ke depan selama 60 detik
• Berlutut selama 10 detik
• Berjalan 30 langkah dengan dua cara, dengan jinjit dan menggunakan tumit
• Lima situps, berbaring sampai benar-benar duduk
• Mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis
• "Peek tanda": dengan posisi awal mata tertutup dengan kuat dan cepat setelah 60 detik akan terlihat
otot orbikularis okuli mulai melemah sehingga mata akan terlihat mengintip

Blood Test19
• Anti-asetilkolin reseptor antibodi
• Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana
terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50%
dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi
yang positif.
• Dalam situasi tertentu (penurunan refleks yang meningkatkan saraf-saraf otonom,
kecurigaan neoplasma, khususnya paru-paru, adanya peningkatan pada pengujian berulang EMG) dapat

19
Howard, J.F. 2008, Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider, Myasthenia Gravis Foundation of America

113
dilakukan untuk uji Lambert-Eaton syndrome, di mana antibodi lainnya (melawan stimulus-
gated calcium channel) dapat ditemukan.
• Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody
Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh
Tidall, di sampaikan pada tabel berikut:
Osserman Mean Antibody Percent
Class Titer Positive

R 0,79 24

I 2,17 55

IIA 49,8 80

IIB 57,9 100

III 78,5 100

IV 205,3 89

Class : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe,
IV = chronic severe
Tabel 2.2. Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody20

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang
parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.
• Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif
pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma
dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
• Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia
gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab
• Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan
dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada
reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan
adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.

Elektro Myelograf (EMG)21

20
Howard, J.F. 2008, Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider, Myasthenia Gravis Foundation of America
21
Howard, J.F. 2008, Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider, Myasthenia Gravis Foundation of America

114
Dengan menggunakan EMG otot dapat diperiksa dengan 2 teknik:
• Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak
terdapat adanya suatu potensial aksi. Otot-otot dari pasien dengan myasthenia gravis mudah lelah, dan
dengan demikian otot yang terkena myasthenia gravis terlihat lebih lemah daripada otot yang sehat apabila
distimulus berulang-ulang. Dengan cara berulang-ulang merangsang otot dengan impuls listrik, fatiguability
dari suatu otot dapat diukur. Ini disebut tes stimulasi saraf berulang.

Gambar 2.6. Sebuah rekaman khas senyawa potensial aksi otot dengan stimulasi saraf berulang pada
frekuensi rendah pada pasien dengan myasthenia gravis.

• Single-fiber Electromyography (SFEMG)


Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.
SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat
otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.
Tes elektromyelograf ini yang dianggap paling sensitive (meskipun bukan yang paling spesifik) untuk
tes myasthenia gravis.

Endhophronium Test21
"Tes edrophonium" jarang dilakukan untuk mengidentifikasi myasthenia gravis karena aplikasinya
terbatas dan dilakukan situasi ketika pemeriksaan lain tidak menghasilkan diagnosis yang pasti. Tes ini
memerlukan pemberian intravena kloridaedrophonium (Edrophonium, Reversol) atau (Neostigmin) neostigmine,
obat yang menghambat pemecahan asetilkolin oleh cholinesterase (inhibitor kolinesterase) dan untuk beberapa
saat meningkatkan kadar asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang dengan myasthenia gravis dengan
kelemahan okuler, klorida edrophonium akan melemahkan otot okuler untuk beberapa saat. Untuk uji tensilon,
disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg
tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan
sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat

115
Prostigmin Test22
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu,
diberikan pula atropin 1⁄4 atau 1⁄2 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-
gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

Kinin Test23
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing
200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar
gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat

Imaging24
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat
diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu
dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.

Gambar 2.7. CT Scan Dada Menunjukkan Massa Mediastinum Anterior (Thymoma) Pada Pasien
Dengan Myasthenia Gravis24

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan
apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk
mencari penyebab defisit pada saraf otak.

Tes Fungsi Paru24


Spirometri (pengujian fungsi paru-paru) dapat dilakukan untuk menilai fungsi pernafasan jika ada
kekhawatiran tentang kemampuan pasien untuk bernafas secara spontan. Kapasitas vital dapat dimonitor pada
interval agar tidak ketinggalan bertahap memburuk kelemahan otot. Akut, kekuatan inspirasi negatif dapat
digunakan untuk menentukan kecukupan ventilasi. Miastenia parah dapat menyebabkan kegagalan pernafasan
karena kelelahan otot-otot pernapasan.

22
Howard, J.F. 2008, Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider, Myasthenia Gravis Foundation of America
23
Howard, J. F. 2008, Myasthenia Gravis, a Summary.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm. Diakses: 17 Juni 2011
24
Newton, E. 2007, Myasthenia Gravis. http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis. Diakses: 17 Juni 2011

116
Temuan Patologis24
Biopsi otot hanya dilakukan jika diagnosis diragukan dan pada kondisi otot yang diduga terkena.
Imunofluoresensi akan menunjukkan adanya antibody IgG pada neuromuscular junction. Mikroskop electron akan
menunjukkan adanya reseptor infolding dan hilangnya ujung lipatan otot, bersama dengan pelebaran celah
sinaptik. Kedua teknik ini saat ini digunakan untuk penelitian bukan diagnosa.

Diagnosis Banding24
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain:
• Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit elain
miastenia gravis, antara lain:
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofarin
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisiio
o Paralisis pasca difteri
o Pseudoptosis pada trachoma
• Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multipleks
• Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian
proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS,
terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut
kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru25.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada transmisi
neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi
yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan
kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan
dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak
mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi25.

Tata Laksana Myasthenia Gravis26


Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia gravis
merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan
terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya
digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada psien dengn miastenia gravis generalisata, perlu
dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan
penunjang ventilasi, mapu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita
miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara

25
Mubarak, Husnul. 2008. Miastenia gravis. http://cetrione.blogspot.com/ 2008/06/miastenia-gravis.html. Diakses: 18 Juni 2011
26
Howard, J. F. 2008, Myasthenia Gravis, a Summary.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm. Diakses: 17 Juni 2011

117
cepat dan terpai yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan2.

Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut 27


• Plasma Exchange (PE)
Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta
trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan
anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi
prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode
postoperative.Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar
satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada
24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung.
Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia
dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan
merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen
plasma tidak diperlukan.
• Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman
untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis,
karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat
muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki
onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data,
tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak
menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama
2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti- asetilkolin reseptor yang dimulai
sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual
selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam,
menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
• Intravenous Methylprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat

27
Howard, J.F. 2008, Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider, Myasthenia Gravis Foundation of America

118
diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.
Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya
menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang 28


• Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia
gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap
miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper
dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki
peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak
dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari
kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya,
aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
• Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi
menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu
analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis
awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
dengan obat imunosupresif lainnya.
Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan.
Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan
obat imunomodulasi yang lain.
• Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi
sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
• Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat
menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi

28
Howard, J.F. 2008, Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider, Myasthenia Gravis Foundation of America

119
dibandingkan obat lainnya.
Thymectomy (Surgical Care) 29
Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan
untuk pengobatan thymoma dengan atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan
penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia
timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian
terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap
perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis.

Gambar 2.8. Kelenjar Thymus30

Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan
pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen
dari pasien.
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting
untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat
dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi
kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara
20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung
dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.

Komplikasi Myasthenia Gravis


Kelemahan-kelemahan yang terjadi pada otot akan berkembang apabila tidak diobati dan akan timbul
komplikasi-komplikasi yang fatal seperti gagal nafas maupun disfagia yang dapat menimbulkan kematian.

Prognonsis Myasthenia Gravis31


Gejala-gejala myasthenia gravis sebanyak 40% hanya menunjukkan gejala pada okuler saja tetapi,
myasthenia gravis akan menjadi fatal apabila tidak diobati dimana angka kematian akan menjadi 25%-31%. Suatu

29
Anonim, 2009, Thymectomy, http://www.myasthenia.org/amg_treatments.cfm. Diakses:19 Juni 2011.
30
Anonim, 2009, Thymectomy, http://www.myasthenia.org/amg_treatments.cfm. Diakses:19 Juni 2011
31
Howard, J.F. 2008, Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider, Myasthenia Gravis Foundation of America

120
myasthenia gravis harus diobati dan prognosis kematian akibat obat-obatan myasthenia gravis sangatlah kecil
hanya 4%.

RINGKASAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan
progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di
bawah kesadaran seseorang (volunter).
Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit
ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 3:1.
Etiologi dari myasthenia gravis ada bermacam-macam ada autoimun(direct mediated antibody), Virus,
Obat-obatan.
Terjadinya myasthenia gravis dikarenakan kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh
hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis
merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada
hampir semua pasien.
Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak
dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang
tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls
tertentu. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang
memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic
Secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain,
tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.

Gejala klinis dari pasien myasthenia gravis adalah:


• Kelemahan otot mata & wajah yang hampir selalu ditemukan
o Ptosis
o Diplopia
o Otot mimik
• Kelemahan otot bulbar:
o Otot-otot lidah
o “suara nasal”, regurgitasi nasal
o Kesulitan dalam mengunyah
o Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka
o Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan -> batuk dan tercekik saat minum
• Otot-otot leher:
o Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor
• Kelemahan otot anggota gerak:

121
o Anggota gerak atas lebih sering dibandingkan anggota gerak bawah
• Kelemahan otot pernafasan:
o Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi CO2à hipoventilasi
▪ Menyebabkan kedaruratan neuromuscular
o Kelemahan otot pharyng dapat menyebabkan gagal saluran nafas atas
▪ Monitor negative inspiratory force, kapasitas vital dan tidal volume
• Penyakit autoimun yang mengikuti:
o Hypertiroidisme
▪ Sering terdapat pada 10-15% pasien myasthenia gravis
• Exopthalmus dan takikardi
• Kelemahan tidak dapat diperbaiki dengan pengobatan tunggal myasthenia
gravis bila didapatkan hipertiroidisme
o Thymoma (10%)
o Artritis Rheumatoid
o Skleroderma
o Lupus
Klasifikasi dari myasthenia gravis ada dua klasifikasi osserman dan Myasthenia Gravis Foundation of
America (MGFA).
Myasthenia gravis bisa menjadi suatu diagnosis yang sulit, gejala-gejalanya sangat halus dan sulit untuk
membedakan dari myasthenia gravis dan gangguan neurologis lainnya.
Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan kelemahan2 dari beberapa otot. Untuk pemeriksaan darah
akan diperiksa antibody-antibodinya mulai dari Anti-asetilkolin reseptor antibody, Antistriated muscle (anti-SM)
antibody, Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies sampai Antistriational antibodies. Lalu untuk
pemeriksaan elektromyelograf sangat dibutuhkan pemeriksaan karena paling sensitive akan dilakukan dengan dua
cara yaitu repetitive nerve stimulation dan single-fiber elektromyelograf. Tes-tes lainnya untuk myasthenia gravis
juga dilakukan apabila perlu seperti endophoronium test, prostigmin test, kinin test, tes fungsi paru, dan temuan
patologis. Selain pemeriksaan tersebut chest X-ray juga dibutuhkan untuk mengetahui ada tidaknya thymoma
untuk menyingkirkan diagnosis dugaan.
Ada beberapa diagnosis banding untuk myasthenia gravis seperti lesi pada nervus III, diplopia yang
transient dikarenakan adanya multiple sklerosis, dan juga sindrom eaton lambert.
Pada tata laksana myasthenia gravis dapat dilakukan dengan janga panjang dan jangka pendek tergantung
dari situasi penderita. Pengobatan jangka pendek untuk Intervensi Keadaan Akut menggunakan Plasma Exchange
(PE), Intravenous Immunoglobulin (IVIG), Intravenous Methylprednisolone (IVMp). Lalu untuk pengobatan
jangka panjang menggunakan Kortikosteroid, Azathioprine Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Operasi
thymectomi pun dapat dilakukan apabila perlu.
Apabila myasthenia gravis tidak diobati dapat menimbulkan kematian pada penderita apabila penyakit
berkembang menjadi gagal nafas karena paralysis otot-otot pernafasan. Untuk prognosis pada myasthenia gravis
biasanya baik apabila diobati secepatnya dan biasanya 40% terdapat kelemahan ocular saja.

122
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 2008, Myasthenia Gravis. http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd.
Diakses: 14 Juni 2011
2. Anonim, 2009, Thymectomy, http://www.myasthenia.org/amg_treatments.cfm. Diakses:19 Juni 2011
3. C. E. Thomas, S. A. Mayer, Y. Gungor, R. Swarup, E. A. Webster, I. Chang, T. H. Brannagan,
M. E. Fink and L. P. Rowland, 2010, Myasthenic crisis: Clinical features, mortality,
complications, and risk factors for prolonged intubation, Neurology Journal, American Academy of
Neurology
4. Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871
5. Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/2008/07/12/ miastenia-gravis. Diakses:
15 Juni 2011
6. Engel, A. G. MD. 2004. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurology 16: Page:
40.
7. Howard, J. F.,2008, Myasthenia Gravis, a Summary,
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm. Diakses: 17 Juni
2011
8. Howard, J.F. 2008, Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider, Myasthenia
Gravis Foundation of America
9. Jaretzki A, Barohn RJ, Ernstoff RM, et al.,2008. Myasthenia gravis: recommendations for
clinical research standards., Task Force of the Medical Scientific Advisory Board of the Myasthenia
Gravis Foundation of America
10. Mubarak, Husnul. 2008. Miastenia gravis. http://cetrione.blogspot.com/ 2008/06/miastenia-
gravis.html. Diakses: 18 Juni 2011
11. Newton, E. 2007, Myasthenia Gravis. http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis. Diakses: 17
Juni 2011.
12. Ngoerah, I. G. N. G, 2001, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.

123
OPTIC NEUROMYELITIS

(DEVIC’S DISEASE)

DEFINISI

Optic Neuromyelitis (ONM) atau yang disebut Devic’s disease merupakan penyakit demyelinisasi
inflamasi pada sistem saraf pusat yang target utamanya adalah nervus opticus (N.II) dan bagian tertentu medulla
spinalis1.

EPIDEMIOLOGI

Rasio ONM yang terjadi antara wanita dengan laki-laki adalah 5:1. Optic neuromyelitis monofasik secara
kontras mempengaruhi baik laki-laki maupun wanita. Waktu onset rata-rata pada ras Kaukasia muncul pada
dekade ke empat, yang mana hal ini menunjukkan onset penyakit ini lebih lama dibandingkan penyakit
demyelinisasi Multiple Sclerosis (MS). Kasus pediatric pernah dilaporkan dan keduanya bisa monofasik atau
relaps. Pada ras non-Kaukasian (Afrika, Hispanik, dan Asia) lebih sering ditemukan kejadian ONM dibandingkan
MS, bagaimanapun juga ras Kaukasia tetap mendominasi kasus ONM secara keseluruhan. Di Jepang, 15-40%
kasus penyakit demyelinisasi merupakan jenis opticospinal. Tapi terminology optico spinal multiple sclerosis
(OSMS) sering didefinisikan dengan lengkap, tapi tidak identik pada kelompok pasien. Banyak peneliti Asia
mengadaptasi terminology OSMS pada pasien optic neuritis dan myelitis tanpa lesi panjang pada medulla spinalis,
yang mana kasus ini akan diklasifikasikan sebagai pasien yang memiliki prototype MS; para peneliti melihat
bahwa NMO merupakan bagian kecil dari OSMS di Asia. Hal inilah yang menjadi kebingungan dalam
penggabungan data di Amerika dan Eropa dengan Asia. Insidensi dan prevalensi ONM menjadi sulit diperkirakan
karena masih dalam tahap pengenalan klinis dan teknik diagnosis seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI)
pada medulla spinalis dan ketersediaan tes ONM-IgG yang tidak tersedia di semua wilayah geografis 1.

Sehingga dapat disimpulkan ONN tipe relaps sebagian besar mengenai wanita usia muda. Tapi pada
ONN tipe monofasik dapat berkembang baik laki-laki maupun wanita. ONM sangat jarang terjadi pada anak-
anak. Perbedaan prinsip antara ONM dan MS adalah jarang ditemukannya lesi pada otak, terutama pada fase awal
berkembangnya penyakit2.

Variasi genetic menimbulkan kecenderungan yang berbeda terhadap ONM. ONM familial dilaporkan
terjadi pada anak wanita kembar identik yang perkembangan penyakitnya dimulai pada usia 24 dan 26 tahun; dua
bersaudara wanita dengan optic neuritis diikuti myelitis pada usia 2 dan 3 tahun; 2 bersaudara wanita asal Jepang
onsetnya muncul pada 62 dan 67 tahun; 2 bersaudara wanita keturunan Spanyol-Amerika yang perkembangan
ONM pada usia 26 dan 28 tahun1.

Pada populasi orang Eropa dan orang Jepang kerentanan terhadap ONM berkaitan dengan HLA-DRB
1*1501 haplotipe. Beberapa studi menunjukkan bahwa orang Jepang dengan OSMS, walaupun berkaitan kuat
dengan HLA-DPB 1*0501: alel DPB1 yang paling sering ditemukan di Asia tapi jarang ditemukan pada ras

124
Kaukasia. Studi terkahir menunjukkan tidak ada perbedaan prevalensi DRB1*1501 antara opticospinal dan bentuk
tipikal MS3.

ETIOLOGI

Etiologi yang mendasari ONM antara lain infeksi virus, tuberculosis, kelainan autoimun seperti Sindrom
Sjorgen, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), dan Anti-Phospolipid Syndrome (APS). ONM juga dapat terjadi
akibat pemberian vaksin whole, live attenuated seperti pertusis, influenza dan tetanus juga dapat menyebabkan
ONM7.

ONM berkaitan dengan APS apabila sel LE (+), pemanjangan PT dengan adanya antibodi IgM
kardiolipin. APS merupakan sindrom kelainan autoimun dengan autoantibody yang mempengaruhi berbagai
macam organ tubuh termasuk medulla spinalis. Pada OMN, antibodi antinuclear positif tanpa adanya kejadian
penyakit jaringan konektif sistemik. Beberapa berspekulasi bahwa ini merupakan representasi autoantibodi positif
yang terjadi sebagai hasil proses autoimun. Bahkan ada pula kasus tidak ditemukannya auto antibodi pada onset
penyakit, tapi baru mencul beberapa tahun ke depan dengan klinis pasien mirip SLE dan APS 7.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi ONM secara lengkap tidak diketahui. Pada individu yang rentan diketahui adanya stimulus
antigen yang memicu produksi immunoglobulin di sirkulasi (ONM IgG). Kondisi lemahnya blood brain barrier
atau sawar otak menyebabkan antibodi dapat menjangkau area AQP4 (aquaporin) pada sel glia. Saat ekspresi gen
AQP4 dominan, maka terjadi aktivasi komplemen yang menginisiasi proses inflamasi. Fragmen komplemen
kemotaktik memicu munculnya neutrofil dan eusinofil serta IL-17 dan IL-8, yang mana kadarnya juga tinggi pada
kasus OSMS. Reaksi silang antara molekul AQP4 dengan ONM-IgG memicu endositosis dan penutupan kanal,
yang membatasi proses inflamasi. Mekanisme ini memicul disrupsi selular dari mekanisme transpor air, yang
berkontribusi terhadap beberapa lesi yang terjadi pada beberapa pasien NMO. Sintesis perifer ONM-IgG konsisten
dengan kurangnya oligoklonal pada carian serebrospinal. ONM-IgG tidak diproduksi oleh sintesis intratheca, hal
ini sangat kontras pada MS yang ditandai dengan sintesis imunoglobulin oligoklonal dalam sistem saraf pusat
oleh sel B yang berasal dari perifer. Sumber perifer ONM-IgG menjelaskan respon klinis yang bagus pada
plasmaparesis pasien ONM1.

Gambar . Patofisiologi ONM (Optic Neuro Myelitis) 1

125
Antibodi AQP4 diproduksi sel B pada sirkulasi perifer dan mencapai target antigenik, kanal air pada
membran astrosit. Regio dengan ekspresi AQP4 seperti prosesus astrosit yang menempel pada dinding kapiler
sawar otak, nervus optikus, medulla spinalis, dan area yang tidak dilindungi oleh sawar otak memiliki kerentanan
yang tinggi terjadinya injury. Setelah melewati sawar otak, ikatan terjadi hanya pada agregat molekular dari
AQP4. AQP4 dan EAAT2 (Sodium-dependent excitatory amino acid transporter-2) membentuk komplek pada
membran plasma. EAAT2 merupakan tranporter untuk memasukkan kembali glutamat. Ikatan antibodi AQP4 dan
AQP4 pada astrosit akan memicu AQP4 mengalami internalisasi oleh sel yang mengandung vesikel endosom,
dengan kemungkinan degradasi bersama-sama dengan EAAT2, menghasilkan gangguan pemasukan gluatamat
dan memicu penumpukan glutamato di luar sel. Hal ini memicu kerusakan neuron dan olilgodendrosit. Transpor
air yang melintasi membran astrosit mengalami gangguan fungsional. Granulosit yang ditarik oleh komplemen,
Sel NK (Natural Killer), dan antibodi sitotoksisk, semua berkontribusi terhadap kerusakan jeringan. Kerusakan
jeringan pada ONM dengan IgG negatif disebabkan karena antibodi tidak teridentifikasi atau dimediasi oleh
mekanisme selain autoantibodi, seperti antibodi sitotoksik4.

KLASIFIKASI

1. ONM Relaps
Terdapat serangan awal yanga berupa neuritis optic dan myelitis transversum, dan serangan
berulang pada periode beberapa tahun. Kadang pasien tidak dapat pulih secara sempurna dari serangan
defisit neurologi yang memicu kerusakan permanent nervus optikus dan medulla spinalis. Tipe ONM ini
lebih sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki.

2. ONM Monofasik
Beberapa kasus, serangan muncul pada periode beberapa hari hingga beberapa minggu. Tidak
terdapat fase serangan setelah pemulihan. Bentuk ONM ini angka kejadiannya sama baik pada wanita
atau laki-laki8.

TANDA DAN GEJALA KLINIS

Tanda dan gejala klinis neuritis optic meliputi :

1) Inflamasi nervus optikus


2) Penurunan penglihatan, yang akan mempengaruhi paling tidak pada satu mata. Pada sebagian besar kasus
hal ini bersifat sementara; tapi bagaimanapun juga masih terdapat resiko kehilangan daya penglihatan
secara permanent, yang akan diperburuk dengan panas atau aktivitas berlebih
3) Pembengkakan diskus optikus
4) Nyeri bulbar yang akan semakin bertambah dengan pergerakan. Nyeri semakin sering terjadi setelah satu
minggu, dan menghilang setelah beberapa hari kemudian
5) Penurunan sensitivitas mata terhadap warna
Pasien yang mengalami neuritis optikus yang berkembang akan mengalami masalah dalam mengendarai
kendaraan bermotor. Sehingga pasien tidak diperkenankan beraktivitas mengemudi.

126
Tanda dan gejala myelitis transversum:

1) Inflamasi medulla spinalis


2) Nyeri punggung
3) Nyeri leher (cervical)
4) Sensasi menembak pada tungkai dan abdomen
5) Area di bawah lesi medulla spinalis pada pasien akan mengalami perubahan sensasi panas/dingin,
kesemutan, sensasi dingin atau terbakar
6) Kelemahan tungkai atas dan bawah. Beberapa pasien menjelaskan tungkainya terasa berat saat
digerakkan, bahkan yang lain ada yang berkembang hingga paralisis total
7) Inkontinensia urin
8) Frekuensi (peningkatan kuantitas miksi)
9) Inkontinensia fekal
10) Sulit berkemih/ Hescitation
11) Konstipasi
12) Kesulitan pengosongan kandung kemih8

PEMERIKSAAN FISIK

1) Pemeriksaan tanda-tanda vital (TTV): tensi, denyut nadi, frekuensi pernafasan, suhu tubuh. Catatan penting
untuk suhu tubuh perlu diperhatikan sebagai salah satu cara untuk mendeteksi adanya suatu infeksi.
2) Pemeriksaan status interna : pemeriksaan thorax (jantung dan paru), abdomen
3) Status mental pasien
4) Pemeriksaan neurologis terkait
• Pemeriksaan N.Kranialis → diutamakan N.II (apakah terdapat gangguan penglihatan yaitu penurunan
visual acuity), N.III (ukuran pupil, simetris), N.V (refleks kornea).
• Pemeriksaan Motorik → untuk menilai tonus (pada kasus ONM biasanya hipertonus yang meliputi
spastisitas, rigiditas, klonus) dan kekuatan otot (menilai adanya plegia/parese).
• Pemeriksaan Sensoris Umum → untuk memeriksa adanya gangguan protopatik (nyeri, suhu, raba) atau
gangguan proprioseptif (posisi, getar, nyeri dalam).
• Pemeriksaan Sensoris Khusus → terutama Tes Lhermitte untuk mendeteksi nyeri radikuler di vertebrae
cervicalis, lalu dilanjutkan identifikasi penyebaran nyeri berdasarkan dematome.
• Pemeriksaan dermatom dan myotom untuk menentukan topis7

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jika MRI medulla spinalis dilakukan pada interval yang tepat setelah serangan akut (dalam beberapa hari
hingga beberapa minggu) akan menunjukkan lesi medulla spinalis yang meluas hingga lebih dari 3 segmen
vertebrae. MRI medulla spinalis merupakan tes diagnostic paling spesifik untuk ONM selain dengan pemeriksaan
serologi terhadap ONM-IgG. Gambaran MRI fase akut biasanya menunjukkan edema dan penebalan gadolinium
yang akan terus bertahan selama beberapa bulan ke depan. Evaluasi MRI, atrofi medulla spinalis dan kavitas yang

127
menyerupai siring akan tampak; lesi dapat berubah secara keseluruhan, atau hanya meninggalkan atrofi. MRI
cerebri sering menunjukkan gadolinium (Gd) penebalan saraf optic saat episode akut neuritis optik. Pada masa
onset ONM, parenkim otak biasanya normal atau menunjukkan perubahan menjadi keputihan yang non-spesifik
pada subkortikal yang tidak memenuhi criteria radiologi Barkhof untuk diagnosis MS. Pittock et al mengevaluasi
60 pasien ONM dan menemukan lesi cerebri pada 36 pasien, tapi 6 pasien memiliki lesi seperti MS yang biasanya
asimptomatik. 5 pasien lainnya yang sebagian besar anak-anak memiliki lesi diensefalon, batang otak, dan
hemisfer yang bersifat atipikal terhadap MS1.

MRI medulla spinalis merupakan tes diagnostik yang sangat disarankan untuk ONM. Episode myelitis
akut sering berkaitan dengan lesi masif medulla spinalis lebih dari 3 segmen vertebrae. Lesi biasanya terdapat
pada bagian tengah medulla spinalis dan dapat diperkuat dengan Gadolinium (Gd)3.

Gambar. Potongan sagital vertebrae cervikalis menunjukkan lesi dari batas cervical dan medulla terhadap batas
superior korpus C4. Lesi ini berkaitan dengan pasien myelitis eksaserbasi3

Gambar Potongan aksial T-1 MRI dengan tampilan orbita dengan penebalan Gd pada nervus optikus kiri. Neuritis
optik ini menyerang secara simultan dengan myelitis seperti gambar sebelumnya 3.

128
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada saat fase relaps akan menunjukkan peningkatan protein total dan
beberapa kasus menunjukkan pleositosis hingga 50-1000 x 106 sel darah putih/L, yang mana komposisinya
sebagian besar terdiri dari neutrofil. Ketika muncul, hal ini penting untuk membedakan tampilan pemeriksaan
ONM dengan MS. Pleositosis pada cairan serebrospinal pada relaps MS jarang mencapai 50 x 10 6 sel darah
putih/L. Oligoklonal yang muncul pada 90% pasien dengan diagnosis MS akan muncul 20% pada pasien ONM.
Eusinofil muncul pada pemeriksaan cairan serebrospinal pasien ONM. Matrix metalloproteinase-9 pada cairan
serebrospinal lebih tinggi pada MS dari pada ONM. Walaupun konsentrasi total IgG meningkat pada cairan
serebrospinal pasien ONM dan MS, total IgG1 meningkat hanya pada pasien MS dan tidak pada pasien ONM.
Rendahnya IgG1 yang rendah pada ONM diinterpretasikan kurangnya respon autoimun Th1 dari pada MS ONM1.

Pasien OSMS terjadi peningkatan IL-17 dan IL-8 yang menjelaskan peningkatan neutrofil pada sistem
saraf pusat pada ONM. Lebih jauh lagi, baik panjang lesi medulla spinalis dan rasio cairan serebrospinal dan
serum albumin berkaitan dengan kadar sitokin. Korelasi yang dilaporkan adalah peningkatan jumlah kadar IL-5,
IL-6, IgG, dan IgM. Kadar kemokine (CXCL10/IP-10, CCL17/TARC, CCL2/MCP-1 dan CCL11/Eotaxin) pada
cairan serebrospinal tidak berbeda antara pasien ONM dan MS. Tidak ditemukan adanya perbedaan hasil terhadap
kadar CD 26 (dipeptidyl peptidase-IV yang sebagian besar diekspresikan pada sel Th1) dan CD 30 ( anggota
Tumor Necrosis Factor/ nerve growth superfamily preferentially pada sel Th2). Bagaimanapun juga, penelitian
terhadap Eotaxin (eosinofil kemoatraktan dan aktivator) pada cairan serebrospinal, Eo-2, Eo-3 dan ECP
(Eosinophil Cationic Protein) secara signifikan lebih tinggi pada pasien ONM1.

DIAGNOSIS

Penggalian riwayat ONM terdiagnosa pada pasien yang mengalami onset kebutaan yang cepat baik satu
ataupun dua mata, diikuti beberapa hari hingga beberapa minggu oleh paralisis di tungkai atas dan bawah. Pada
sebagian besar kasus, interval antara neuritis optik dan myelitis transversum secara signifikan lebih lama, bahkan
ada yang mencapai beberapa tahun. Setelah serangan awal, ONM diikuti oleh fase yang tidak bisa diprediksi.
Sebagian besar pasien dengan sindrom mengalami serangan kluster dalam beberapa bulan hingga tahunan, diikuti
pemulihan parsial pada saat episode remisi. Relaps dari ONM biasanya dialami oleh wanita yang rasionya 4:1
dengan laki-laki. Bentuk lain ONM, yang mana seorang pasien mengalami serangan berat dalam jangka waktu
beberapa bulan biasanya menyerang baik laki-laki maupun wanita dengan rasio sama besar. Onset ONM
bervariasi dari anak-anak hingga dewasa dengan dua masa puncak onset pada remaja dan pada orang dewasa
berusia ± 40 tahun9.

Sebelumnya, ONM sempat diperdebatkan mirip dengan MS karena keduanya dapat menyebabkan
neuritis optik dan myelitis. Tapi dari penelitian terakhir ONM dapat dibedakan dari MS yaitu derajat keparahan
serangannya dan kecenderungannya untuk menyerang nervus optikus dan medulla spinalis pada awal perjalanan
penyakit ini. Gejala di luar nervus optikus dan medulla spinalis jarang terjadi, sekalipun ada beberapa gejala
seperti muntah dan hiccups yang sekarang dikenali sebagai gejala spesifik ONM karena adanya keterlibatan
batang otak9.

129
Penelitian sebelumnya mengatakan antibodi dalam sirkulasi pasien ONM menunjukkan biomarker yang
tepat untuk membedakan ONM dengan MS. Antibodi tersebut diketahui sebagai ONM-IgG yang 70% muncul
pada pasien ONM dan tidak ditemukan pada pasien dengan MS atau kondisi yang mirip dengan MS lainnya 9.

Gambar, Tabel Kriteria Diagnostik ONM tahun 19993.

DIAGNOSIS BANDING

ONM tipikal sangat sulit dibedakan dengan episode neuritis optikus dan myelitis yang disertai dengan
perluasan longitudinal (lebih dari tiga segmen vertebrae) medulla spinalis dan tidak adanya sekelompok
oligoklonal. Kejadian paling sering adalah misdiagnosis dengan MS yang hanya dapat dibedakan oleh gambar
MRI otak, lesi pendek medulla spinalis, dan adanya kumpulan oligoklonal dan pemulihan yang baik dari fase
relaps. Penyakit lainnya adalah tampaknya optikospinal akut meliputi ensefalomyelitis diseminata akut, limfoma,
SLE (Systemic Lupus Eritematosus), sindrom Sjogrgen, dan Herpes Zooster. Antibodi CRMP-5/antiCV-2
berkaitan dengan kanker sistemik yang ditemukan pada pasien yang tampilan klinisnya sama dengan ONM 4.

130
Gambar. Tabel Perbandingan MS dengan ONM10

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat timbul antara lain kebuataan baik mata sesisi maupun bilateral. Kehilangan
kekuatan dan sensasi di tangan. Serta tidak dapat mengontrol fungsi berkemih dan buang air besar. Pada beberapa
kasus pasien mengalami spasme, yang mana spasme ini terjadi juga pada MS tapi lebih sering pada ONM. Dengan
spasme ini, pasien merasa tangan menjadi ketat selama 15 detik hingga 2 menit. Pasien merasakan nyeri hebat
beberapa kali sehari. Pada beberapa kasus hal ini dapat diatasi dengan pemberian terapi anti konvulsan5.

Berikut ini beberapa komplikasi yang mungkin dialami oleh pasien ONM akibat perjalanan penyakit,
atau akibat pemberian obat :

1) Masalah pernafasan → pada kasus berat, kelemahan otot pernafasan dapat terjadi, sehingga pasien
membutuhkan ventilasi artifisial.
2) Depresi → gangguan mental akibat menderita ONM, terutama apabila pasien mengeluh gejala yang berat
dapat memicu depresi secara klinis pada pasien.
3) Disfungsi ereksi dan disfungsi seksual → beberapa laki-laki mengalami masalah memulai dan
mempertahankan ereksi. Baik laki-laki maupun wanita mengalami gangguan orgasme.
4) Fraktur → diakibatkan terapi steroid dalam jangka panjang yang memicu osteroporosis
5) Paralisis → jika terjadi kerusakan berat pada struktur medulla spinalis. 8

131
TERAPI

Melihat mekanisme antibody-mediated sebagai penyebab dasar ONM, merupakan hal yang logis apabila
mengobati penyakit ini dengan terapi imunosuppresan. Bagaimanapun juga, tingkat kejadian yang tinggi akan
mendukung keberhasilan terapi imunosuppresan yang diberikan. ONM merupakan penyakit yang jarang terjadi,
keparahan dan relaps serta onset awal morbiditas dan mortalitas membuat kontrol terapi dan placebo sulit
dilakukan4.

Terapi ONM meliputi terapi relaps akut, pencegahan relaps, manajemen gejala dan rehabilitasi.
Manajemen relaps pada awalnya adalah terapi steroid yang biasanya diberikan metilprednisolon 1 gr iv selama 5
hari yang kemudian diikuti oleh prednisolon oral yang dimulai 1 mg/kg BB dan di pertahankan selama 6-12 bulan.
Relaps yang tidak berespon dengan steroid iv harus dilakukan plasma exchanges, paling tidak dilakukan 7 kali
dalam periode 2 minggu. Diharapkan dengan cara ini terjadi perbaikan klinis 4.

Imunosupresan steroid-sparing sebaiknya diberikan segera setelah relaps, biasanya di rumah sakit pada
awal minggu pertama. Azathioprine biasanya paling sering digunakan karena paling efektif digunakan pada
sebagian besar kasus ONM. Steroid dosis rendah seperti methotrexate, siklofosfamide, mitoxantrone, dan
siklosporin bisa dijadikan obat pilihan jika pasien tidak mampu membeli Azathioprine 4.

Rituximab, merupakan anti-CD20 antibodi monoclonal yang menunjukkan keuntungan pada terapi
agresif pasien ONM. Penelitian terakhir dengan 25 pasien ONM (2 pasien anak) diterapi dengan rituximab
membaik secara klinis dalam waktu rata-rata 19 bulan. Efek yang sama ditunjukkan dengan pemberian
Mycophenolate pada 24 pasien dengan dosis 2000 mg/hari dan dievaluasi 28 bulan. Hasilnya 22 pasien membaik
secara klinis, dan efek samping obat hanya terjadi pada 6 pasien. Seperti sebagian besar imunosuppresan memiliki
efek menguntungkan pada ONM, ada juga keuntungan pada steroid dosis rendah yang harganya lebih murah
seperti methotrexate dan lainnya yang digunakan ketika rituximab atau mycophenolate tidak tersedia dapat
dijadikan alternatif terapi4.

Kesimpulannya adalah penyakit ONM dimulai dnegan steroid intravena kemudian dilanjutkan steroid
oral. Jika steroid tidak efektif maka terapi dilanjutkan dengan plasma exchange atau plasmaparesis yang bertujuan
untuk membersihkan antibodi dalam sirkulasi darah lewat sebuah mesin yang mekanisme kerjanya sama dengan
dialysis. Terapi jangka panjang ONM antara lain meliputi steroid, obat imunosuppresan (eg. Azathioprine),
kemoterapi (eg. Mitoxantrone, merk dagang: Novantrone), dan imunosuppresan lainnya (eg. Rituximab). ONM
tidak bisa membaik dengan terapi konvensional untuk MS, sehingga diagnosis harus ditegakkan untuk efektifitas
terapi ONM6.

PROGNOSIS

Prognosis ONM sangat bervariasi dan semuanya tergantung dari adanya kecenderungan untuk terjadinya
relaps setelah ditegakkannya diagnosis. Pada umumnya serangan ONM cenderung lebih sering terjadi dan
semakin berat dibandingkan pasien MS. Resiko utama pada pasien adalah kerusakan berat pada segmen atas
medulla spinalis yang mana dapat memicu kesulitan bernafas yang merupakan hal fatal pada pasien.

132
Bagaimanapun pasien ONM akan menjalani fase penyakit yang panjang. ONM tidak dipelajari secara luas oleh
beberapa peneliti sehingga sulit untuk memprediksi prognosis pasien dengan ONM 5.

Pada dasarnya pasien komplikasi pada pasien ONM tidak dapat diprediksi karena waktu relaps yang
sangat bervariasi. Disabilitas merupakan hasil kumulatif dari setiap serangan pada area kerusakan myelin.
Beberapa pasien dipengaruhi oleh ONM dan dapat kehilangan pandangan dan kehilangan fungsi menggerakkan
tungkai atas maupun bawah. Sebagian besar mengalami kelemahan permanen pada kedua tungkai akibat proses
myelitis. Kematian pada individu dengan ONM sering disebabkan karena komplikasi pernafasan akibat serangan
myelitis pada segment thorakal8.

133
ALGORITME

Penyakit demyelinisasi

• Melihat Onset
• Keluhan
• Hasil MRI
• Serologis AQP4

• Onset: anak-anak, • Onset: sejak lahir


dewasa ± 40 thn • Keluhan: defisit
• Keluhan: neurologis general
pandangan kabur • MRI: tidak spesifik
• MRI: tidak spesifik • AQP4 (-)
• AQP4 (+)

Optic Neuro Myelitis/ • MS


Devic’s Disease • Sindrom Sjorgen
• Limfoma
• SLE
• Herpes Zooster

Kekambuhan: Tidak ada


beberapa tahun kekambuhan setelah
setelah remisi serangan

ONM Relaps ONM Monofasik

Terapi:

• Kortikosteroid injeksi,(5 hari)


diikuti kortikosteroid oral
• Azathioprine → mencegah
kekambuhan
• Plasmapharesis jika terapi
kortikosteroid tidak berespon
baik
• Terapi simptomatik

134
RINGKASAN

Optic Neuromyelitis (ONM) atau yang disebut Devic’s disease merupakan penyakit demyelinisasi
inflamasi pada sistem saraf pusat yang target utamanya adalah nervus opticus (N.II) dan bagian tertentu medulla
spinalis. Rasio ONM yang terjadi antara wanita dengan laki-laki adalah 5:1. Optic neuromyelitis monofasik secara
kontras mempengaruhi baik laki-laki maupun wanita. Waktu onset rata-rata pada ras Kaukasia muncul pada
dekade ke empat, yang mana hal ini menunjukkan onset penyakit ini lebih lama dibandingkan penyakit
demyelinisasi Multiple Sclerosis (MS). Kasus pediatric pernah dilaporkan dan keduanya bisa monofasik atau
relaps.

Etiologi yang mendasari ONM antara lain infeksi virus, tuberculosis, kelainan autoimun seperti Sindrom
Sjorgen, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), dan Anti-Phospolipid Syndrome (APS). ONM juga dapat terjadi
akibat pemberian vaksin whole, live attenuated seperti pertusis, influenza dan tetanus juga dapat menyebabkan
ONM. Antibodi AQP4 diproduksi sel B pada sirkulasi perifer dan mencapai target antigenik, kanal air pada
membran astrosit. Regio dengan ekspresi AQP4 seperti prosesus astrosit yang menempel pada dinding kapiler
sawar otak, nervus optikus, medulla spinalis, dan area yang tidak dilindungi oleh sawar otak memiliki kerentanan
yang tinggi terjadinya injury. Setelah melewati sawar otak, ikatan terjadi hanya pada agregat molekular dari
AQP4. AQP4 dan EAAT2 (Sodium-dependent excitatory amino acid transporter-2) membentuk komplek pada
membran plasma. EAAT2 merupakan tranporter untuk memasukkan kembali glutamat. Ikatan antibodi AQP4 dan
AQP4 pada astrosit akan memicu AQP4 mengalami internalisasi oleh sel yang mengandung vesikel endosom,
dengan kemungkinan degradasi bersama-sama dengan EAAT2, menghasilkan gangguan pemasukan gluatamat
dan memicu penumpukan glutamato di luar sel. Hal ini memicu kerusakan neuron dan olilgodendrosit. Transpor
air yang melintasi membran astrosit mengalami gangguan fungsional. Granulosit yang ditarik oleh komplemen,
Sel NK (Natural Killer), dan antibodi sitotoksisk, semua berkontribusi terhadap kerusakan jeringan. Kerusakan
jeringan pada ONM dengan IgG negatif disebabkan karena antibodi tidak teridentifikasi atau dimediasi oleh
mekanisme selain autoantibodi, seperti antibodi sitotoksik.

Klasifikasi ONM terbagi menjadi 2 yaitu ONM relaps dan ONM monofasik. ONM Relaps ditandai
serangan awal yang berupa neuritis optic dan myelitis transversum, dan serangan berulang pada periode beberapa
tahun. Kadang pasien tidak dapat pulih secara sempurna dari serangan defisit neurologi yang memicu kerusakan
permanent nervus optikus dan medulla spinalis. Tipe ONM ini lebih sering terjadi pada wanita dibanding laki-
laki. Sedangkan ONM Monofasik pada beberapa kasus, serangan muncul pada periode beberapa hari hingga
beberapa minggu. Tidak terdapat fase serangan setelah pemulihan. Bentuk ONM ini angka kejadiannya sama baik
pada wanita atau laki-laki.

Pasien dengan ONM akan terjadi peradangan nervus optikus, yang menyebabkan nyeri mata dan
menurunnya kemampuan melihat. Sedangkan myelitis transversum menyebabkan kelumpuhan, kesemutan dan
kadang ada paralisis otot ekstremitas, selain gangguan sensoris dan hilangnya kontrol miksi dan buang air besar.
ONM memicu hilangnya serabut myelin, yang mana substansi lemak di sekitar serabut saraf membantu
perpindahan signal dari sel ke sel yang lain. Sehingga pada pemeriksaan fisik yang diutamakan adalah
pemeriksaan visus penderita yang biasanya menurun pada kedua mata, selain itu pasien juga harus diperiksa
sensoris dan motoris untuk mendeteksi lesi tertinggi di segmen medulla spinalis. Pemeriksaan penunjang yang

135
disarankan adalah MRI medulla spinalis. Episode myelitis akut sering berkaitan dengan lesi masif medulla spinalis
lebih dari 3 segmen vertebrae. Lesi biasanya terdapat pada bagian tengah medulla spinalis dan dapat diperkuat
dengan Gadolinium (Gd). Pemeriksaan cairan serebrospinal juga dapat dijadikan alat bantu menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada saat fase relaps akan menunjukkan peningkatan protein total dan beberapa
kasus menunjukkan pleositosis hingga 50-1000 x 106 sel darah putih/L, yang mana komposisinya sebagian besar
terdiri dari neutrofil. Ketika muncul, hal ini penting untuk membedakan tampilan pemeriksaan ONM dengan MS.
Pleositosis pada cairan serebrospinal pada relaps MS jarang mencapai 50 x 10 6 sel darah putih/L. Oligoklonal
yang muncul pada 90% pasien dengan diagnosis MS akan muncul 20% pada pasien ONM.

Penggalian riwayat ONM terdiagnosa pada pasien yang mengalami onset kebutaan yang cepat baik satu
ataupun dua mata, diikuti beberapa hari hingga beberapa minggu oleh paralisis di tungkai atas dan bawah. Pada
sebagian besar kasus, interval antara neuritis optik dan myelitis transversum secara signifikan lebih lama, bahkan
ada yang mencapai beberapa tahun. Setelah serangan awal, ONM diikuti oleh fase yang tidak bisa diprediksi.
Sebagian besar pasien dengan sindrom mengalami serangan kluster dalam beberapa bulan hingga tahunan, diikuti
pemulihan parsial pada saat episode remisi. Relaps dari ONM biasanya dialami oleh wanita yang rasionya 4:1
dengan laki-laki. Bentuk lain ONM, yang mana seorang pasien mengalami serangan berat dalam jangka waktu
beberapa bulan biasanya menyerang baik laki-laki maupun wanita dengan rasio sama besar. Onset ONM
bervariasi dari anak-anak hingga dewasa dengan dua masa puncak onset pada remaja dan pada orang dewasa
berusia ± 40 tahun.

Sebelumnya, ONM sempat diperdebatkan mirip dengan MS karena keduanya dapat menyebabkan
neuritis optik dan myelitis. Tapi dari penelitian terakhir ONM dapat dibedakan dari MS yaitu derajat keparahan
serangannya dan kecenderungannya untuk menyerang nervus optikus dan medulla spinalis pada awal perjalanan
penyakit ini. Gejala di luar nervus optikus dan medulla spinalis jarang terjadi, sekalipun ada beberapa gejala
seperti muntah dan hiccups yang sekarang dikenali sebagai gejala spesifik ONM karena adanya keterlibatan
batang otak. Selain MS penyakit ONM ini mirip dengan penyakit lainnya seperti optikospinal akut meliputi
ensefalomyelitis diseminata akut, limfoma, SLE (Systemic Lupus Eritematosus), sindrom Sjogrgen, dan Herpes
Zooster.

Komplikasi yang dapat timbul antara lain kebuataan baik mata sesisi maupun bilateral. Kehilangan
kekuatan dan sensasi di tangan. Serta tidak dapat mengontrol fungsi berkemih dan buang air besar. Pada beberapa
kasus pasien mengalami spasme, yang mana spasme ini terjadi juga pada MS tapi lebih sering pada ONM. Dengan
spasme ini, pasien merasa tangan menjadi ketat selama 15 detik hingga 2 menit. Pasien merasakan nyeri hebat
beberapa kali sehari. Prognosis ONM sangat bervariasi dan semuanya tergantung dari adanya kecenderungan
untuk terjadinya relaps setelah ditegakkannya diagnosis. Pada umumnya serangan ONM cenderung lebih sering
terjadi dan semakin berat dibandingkan pasien MS. Resiko utama pada pasien adalah kerusakan berat pada
segmen atas medulla spinalis yang mana dapat memicu kesulitan bernafas yang merupakan hal fatal pada pasien.

Dokter akan memulai pengobatan pada serangan awal dengan kombinasi obat kortikosteroid (eg.
Metilprednisolone) untuk menghentikan serangan dan obat imunosupresan (eg. Azathioprine) untuk pencegahan
serangan berulang. Jika terjadi relaps, beberapa individu harus melanjutkan terapi steroid dengan dosis lebih
rendah dan dalam jangka waktu yang lebih lama. Plasmaparesis digunakan untuk memisahkan antibodi keluar

136
REFRENSI

1. Jacob, Anu et al. Neuromyelitis Optica : Changing Concepts. Elseviere Journal of Neuroimmunology, 2007 :
126-138
2. Graber, David J et al. Neuromyelitis optica pathogenesis and aquaporin 4. Journal of Neuroinflammation,
2008, 5:22.
3. Wingerchuck, DM. Neuromyelitis Optica. The International MS Journal, 2006; 13: 42-50
4. Jacob, Anu. Neuromyelitis Optica. Journal of Indian Academy of Neurology; 2009; 12: 4(231-237)
5. Wingerchuck. 2009. Devic’s Disease. http:// www.advocacyforpatients.orgpdfnmodevics.pdf. Diakses
tanggal 10 Juni 2011 pukul 15.20.
6. Claveland Clinic. 2008. Health Information: Devic’s Disease.
http://my.clevelandclinic.orgDocumentsMultiple_sclerosis_centerdevics_disease.pdf. Diakses tanggal 12
Juni 2011 pukul 19.00
7. Komolafe, Morenikeji A. New onset neuromyelitis optica in a young Nigerian woman with possible
antiphospholipid syndrome: a case report. Journal of Medical Case Report;2008; 2:348
8. Medical News Today. 2009. What Is Devic's Disease? What Is Neuromyelitis Optica? What Causes Devic's
Disease?. Diakses 13 Juni 2011 pukul 18.15
9. Medicine Net. 2011. Neuromyelitis Optica (Devic’s Syndrome).
http://www.medicinenet.comdevics_syndromearticle.htm.htm. Diakses 13 Juni 2011 pukul 19.20
10. Wingerchuck, Dean M et al. The Spectrum of Neuromyelitis Optica. The Lancet Neurology; 2007; 6: 805-
815
11. Karceski, Steven. 2009. Neuromyelitis Optica. http:// www.neurology.orgcontent728e40.full.htm. Diakses
14 Juni 2011 pukul 20.00

POLINEUROPATI

DEFINISI

137
Sistem saraf perifer terdiri dari bermacam-macam tipe sel dan elemen yang membentuk saraf motor, saraf
sensor, dan saraf autonom. Polineuropati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sindroma yang terjadi
dari lesi yang mengenai saraf-saraf, dimana dimanifestasikan sebagai kelemahan, kehilangan kemampuan sensor,
dan disfungsi autonom 7

Menurut Mattle et all, polineuropati adalah kondisi yang mengenai saraf-saraf perifer. Gambaran klinis dari
polineuropati biasa nya terdistribusi secara simetris dan lambat progresif. Gejala awalan dari polineuropati dalam
praktek klinis sering dimulai dari kedua kaki. Penyebab dari polineuropati bermacam-macam. Dalam penelitian
secara Consensus-based principles, polineuropati harus bermula dari kaki dan simetris pada kedua sisi tubuh.
Polineuropati dapat muncul pada umur berapapun, meski ada beberapa sindroma yang menyerang pada anggota
umur tertentu.

EPIDEMIOLOGI

Polineuropati muncul sebagai salah satu komponen dari beberapa penyakit yang sering muncul dan tidak
sedikit pula dari penyakit-penyakit yang langka. Polineuropati memiliki etiologi yang heterogen, berbeda-beda
dalam patologinya, dan bermacam-macam pula tingkat keparahannya. Insiden kasus dari polineuropati didunia
ini juga tergolong tidak sedikit 8, hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

ETIOLOGI

Berikut adalah beberapa penyebab polineuropati yang sering terjadi 9

1. Polineuropati Herediter
• Hereditary motor and sensory neuropathies
• Neuropathy with tendency to pressure palsy
• Prophyria
• Primary amyloidosis
2. Polineuropati karena kelainan metabolik
• Diabetic neuropathy
• Uremia
• Cirrhosis

138
• Gout
• Hypothyroidism
3. Polineuropati karena penyakit infeksi
• Leprosy
• Mumps
• Typhus
• HIV infection
4. Polineuropati karena penyakit arteri
• Polyarteritis nodosa
• Atherosclerosis
5. Polineuropati karena kurang gizi
6. Polineuropati karena malabsorbsi vitamin B12
7. Polineuropati karena disproteinemia atau paraproteinemia
8. Polineuropati karena zat-zat toksik eksogen

PATOFISIOLOGI

Berbagai macam pencetus dan kondisi dapat mengakibatkan polineuropati dengan caranya masing-masing.
Kerusakan pada neuronal nuclei seperti pada diabetes melitus, mengakibatkan ke degenerasi tipe axonal retrogade
sekunder distal. Di lain pihak kerusakan langsung pada segmen axon mengakibatkan degenerasi tipe Wallerian
pada segmen axon bagian distal. Berbeda pula pada polineuropati karena zat toksik, sel schwann menjadi target
serangan, sehingga menyebabkan demyelinisasi 6. Lebih jelasnya diperlihatkan pada gambar dibawah ini

KLASIFIKASI
Ada beberapa klasifikasi untuk polineuropati
1. Menurut onsetnya: akut, subakut, kronik

139
2. Menurut fungsi yang terganggu: motor, sensor, autonom, campuran
3. Menurut perjalan patologisnya: axonal, demyelinisasi
4. Berdasar penyebabnya: vaskuler, infeksi, toksin, tumor, metabolik

Dalam praktek klinis, biasanya diklasifikasikan berdasar onsetnya, yaitu akut, subakut, atau kronik 6. Berikut akan
lebih dijelaskan seperti dalam tabel dibawah ini.

140
TANDA DAN GEJALA KLINIS

Gejala dari polineuropati meliputi nyeri didaerah distal, parastesi, kelemahan, dan gangguan fungsi sensoris.
Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh stimulasi pada daerah kulit dan nyerinya tajam
atau terbakar. Parastesi biasanya digambarkan dengan rasa tebal, gringgingen, terbakar, atau kesemutan.
Hilangnya persepsi rasa nyeri mengakibatkan trauma berulang dengan degenerasi dari sendi-sendi 7.
Kelemahan dirasakan paling hebat pada otot-otot kaki pada kebanyakan polineuropati, memungkinkan juga
paralisa dari otot-otot intrinsik pada kaki dan tangan yang mengakibatkan footdrop atau wristdrop. Refleks tendon
biasanya hilang, terutama pada neuropati demyelinisasi. Pada kasus polineuropati yang berat, pasien bisa
quadriplegi atau mengalami kelumpuhan pada ke semua alat gerak dan mengalami respirator-dependent. Saraf-
saraf kranialis juga bisa terkena, biasanya pada SGB dan difteri. Kemampuan sensor kutan hilang pada distribusi
kasus stocking-and-glove. Segala macam mode sensor perasa tersebut akan bermasalah 7.
Kerusakan pada sistem saraf-saraf autonom dapat menyebabkan miosis (mengecilnya pupil), anhidrosis
(tidak bisa berkeringat), hipotensi ortostatik, impotensi, dan keabnormalan vasomotor. Gejala-gejala tersebut
dapat muncul tanpa gejala lain yang sering menyertai polineuropati, tapi gangguan pada sistem autonom tersebut

141
sering menyertai polineuropati distal yang simetris. Di negara Amerika Serikat, penyebab tersering gangguan
saraf-saraf autonom tersebut adalah penyakit diabetes melitus. Penyebab lainnya adalah amyloidosis. Takikardi,
perubahan tekanan darah yang cepat, kulit kemerah-merahan dan berkeringat, dan gangguan pada sistem
gastrointestinal biasanya disebabkan karena keracunan thallium, prophyria, atau SGB 7.
Saraf-saraf kutan superfisial bisa menjadi tebal dan terlihat karena kolagen berproliferasi dan dideposisi pada
sel schwann karena pengulangan episode demyelinisasi dan remyelinisasi atau deposisi dari amyloid atau
polisakarida pada saraf-saraf tersebut. Fasikulasi atau kontraksi spontan dari unit motor dapat terlihat berkejut-
kejut dibawah kulit dan bisa juga terlihat di lidah pasien. Gejala tersebut merupakan karakteristik dari penyakit
yang menyerang cornu anterior tapi juga bisa terlihat pada neuropati motoric dengan multifokal blok pada
konduksi motoricnya dan juga pada neuropati kronis yang menyertai kerusakan dari axon 7.
Tanda dan gejala klinis dari polineuropati merupakan refleksi dari saraf apa yang terkena. Gangguan dari tiap
tipe saraf menghasilkan tanda dan gejala yang “positif” atau “negatif” seperti yang terlihat pada tabel berikut

Mumenthaler dan Mattle 9 menjelaskan tanda dan gejala klinis polineuropati sebagai berikut

• Tanda awal biasanya bermula dari distal, kedua kaki


• Parastesi di jempol kaki atau di telapak kaki, terutama pada malam hari
• Kesemutan
• Perasaan tebal dikaki, seperti memakai kaos kaki
• Hilangnya refleks Achiles
• Menurun dan hilangnya sense getaran, dimulai didistal
• Seiring berjalannya progres dari penyakit, timbul paresis pada muskulus ekstensor halocist brevis dan
juga muskulus interossei
• Kemudian, paresis pada muskulus ekstensor halocist longus dan ekstensor kaki
• Menghasilkan bilateral footdrop
• Pada akhirnya, gangguan sensorik dan kelemahan motorik menyebar hingga eksterimitas bagian atas
juga.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan neurologis sangat penting untuk dilakukan, memeriksa saraf kranialis, kemampuan motorik dan
sensorik, tonus otot apakah normal atau menurun. Pola dari kelemahan membantu dalam mengkerucutkan

142
diagnosis: apakah simetris atau asimetris, distal atau proksimal. Pasien dengan neuropati sensorimotor simetris
distal, pemeriksaan sensoriknya menunjukkan penurunan sensitifitas terhadap sentuhan ringan, tusukan jarum,
dan suhu pada kasus stocking-and-glove. Kemampuan mengenali fibrasi dan posisi juga terganggu, pasien dengan
tingkat keparahan yang tinggi dapat menunjukkan tanda positif dari pseudoathetosis atau tes Romberg. Refleks
tendon juga menurun ataupun hilang 10.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Apabila menemukan temuan gejala klinis yang tipikal menunjukkan bahwa hal tersebut mengindikasikan
adanya polineuropati, serangkaian tes laboratorium dapat dilakukan untuk menentukan etiologinya (antara lain
darah lengkap, elektrolit, gula darah, elektroforesis, tes toleransi gula, HBA1c, faal ginjal dan hepar, serum vitamin
B12 dan asam folat, parameter vaskulitis, TSH, dan mungkin pula dilakukan tes endokrin lebih jauh dan marker
tumor. Elektroneurografi dapat menunjukan tingkat gangguan dari konduksi impuls, bergantung dari etiologi
penyebabnya. Jika penyebab primernya adalah axonal, EMG akan menunjukkan sebuah denervasi atau secara
neurologis ptoensial yang terganggu. Konsentrasi protein CSF bisa juga terganggu pada berbagai macam
polineuropati (e.g diabetik polineuropati), pada kasus langka, pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukan
suatu proses infeksi. Pemeriksaan tambahan biopsi saraf betis dapat menyingkirkan polineuropati tipe axonal dari
tipe demyelinisasi 9. Pasien dengan polineuropati sensoris simetris distal memiliki prevalensi tinggi terkena
diabetes atau prediabetes, dimana dapat diketahui dengan mengukur kadar gula darah dari pasien tersebut.

Elektromyografi (EMG) memiliki cara kerja dengan menggunakan jarum ditusukkan kepada otot tertentu dan
aktifitas dari otot tersebut ditampilkan pada oscilloscope. EMG biasanya digunakan untuk mengevaluasi penyakit
otot tapi secara tidak langsung juga bisa digunakan untuk mengetahui proses neuropatik. Apabila terdapat

denervasi kronis, reinervasi mungkin muncul dengan durasi lebih lama dengan amplitudo tinggi 6.

NCS (Nerve Conduction Studies) adalah suatu tes dengan memberikan stimulis pada saraf (20-100 V selama
0.05-0.1 milidetik) dan respons dari pergerakan otot yang terstimulasi direkam 6.

EMG dan NCS seringkali digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan neuropati. Tes tersebut dapat
mengetahui apabila terdapat neuropati dan memberikan informasi juga tipe saraf apa yang terkena (motorik,

143
sensorik, atau kedua-duanya), perjalanan patologi yang seperti apa (axonal atau demyelinisasi), dan apakah dia
simetris atau tidak simetris 10.

Biopsi saraf secara luas sudah diterima untuk digunakan dalam mendiagnosis penyakit inflamasi saraf oleh
karena vaskulitis, sarkoidosis, CIDP, penyakit infeksi seperti lepra, atau kelainan yang infiltratif seperti tumor dan
amyloidosis. Biopsi saraf sangat berguna pada mononeuropathy multiplex atau kecurigaan neuropati vaskulitis.
Biopsi kulit mengalami peningkatan untuk penggunaannya untuk mengevaluasi pasien dengan polineuropati.
Tekhnik yang paling sering adalah dengan mengambil jaringan kulit pada kaki sebesar 3mm. Setelah memotong
nya dengan microtome, jaringan tersebut kemudian diberi antibodi anti-protein-geneproduct 9.5 (PGP 9.5) dan di
periksa dengan metode immunohistochemical atau immunofluorescent 2.

DIGNOSIS DAN DIAGNOSIS PENUNJANG

Untuk menentukan diagnosis dari polineuropati, secara signifikan dikecurutkan oleh kemampuan anamnesis,
tanda dan gejala klinis, dan mengintrepetasikan hasil pemeriksaan penunjang 9.

Distal Symmetric Sensorimotor Polyneuropathies

Endocrine diseases Carcinomatous axonal sensorimotor polyneuropathy


Diabetes mellitus Lymphomatous axonal sensorimotor polyneuropathy
Hypothyroidism Infectious diseases
Acromegaly Acquired immunodeficiency syndrome
Nutritional diseases Lyme disease
Alcoholism Sarcoidosis
Vitamin B12 deficiency Toxic neuropathy
Folate deficiency Acrylamide
Whipple's disease Carbon disulfide
Postgastrectomy syndrome Dichlorophenoxyacetic acid
Gastric restriction surgery for obesity Ethylene oxide
Thiamine deficiency Hexacarbons
Hypophosphatemia Carbon monoxide
Critical illness polyneuropathy Organophosphorus esters
Connective tissue diseases Glue sniffing
Rheumatoid arthritis Metal neuropathy
Polyarteritis nodosa Chronic arsenic intoxication
Systemic lupus erythematosus Mercury
Churg-Strauss vasculitis Gold
Cryoglobulinemia Thallium
Amyloidosis
Gouty neuropathy

144
Adapted with permission from Donofrio PD, Albers JW. AAEM minimonograph #34. Polyneuropathy:
classification by nerve conduction studies and electromyography. Muscle Nerve 1990;13:889-903
Differential Diagnosis of Neuropathies by Clinical Course

Acute onset Subacute onset Chronic course/ Relapsing/


(within days) (weeks to months) insidious onset remitting course

Guillain-Barré syndrome Maintained exposure to toxic Hereditary motor Guillain-Barré


agents/medications sensory neuropathies syndrome

Acute intermittent porphyria Persisting nutritional deficiency Dominantly inherited CIDP


sensory neuropathy

Critical illness Abnormal metabolic state CIDP HIV/AIDS


polyneuropathy

Diphtheric neuropathy Paraneoplastic syndrome Toxic

Thallium toxicity CIDP Porphyria

Neuropathies with Less Common Patterns of


Proximal Symmetric Motor Polyneuropathies Involvement

Guillain-Barré syndrome Neuropathies with cranial nerve involvement


Chronic inflammatory demyelinating Diabetes mellitus
polyradiculoneuropathy Guillain-Barré syndrome
Diabetes mellitus HIV/AIDS
Porphyria Lyme disease
Osteosclerotic myeloma Sarcoidosis Neoplastic invasion of skull base or
Waldenstrom's macroglobulinemia meninges
Monoclonal gammopathy of undetermined Diphtheria
significance
Acute arsenic polyneuropathy Neuropathies predominant in upper limbs

Lymphoma Guillain-Barré syndrome

Diphtheria Diabetes mellitus

HIV/AIDS Porphyria

Lyme disease Hereditary motor sensory neuropathy

Hypothyroidism Vitamin B12 deficiency

Vincristine (Oncovin, Vincosar PFS) toxicity Hereditary amyloid neuropathy type II*
Lead neuropathy

145
HIV=human immunodeficiency virus; HIV=human immunodeficiency virus; AIDS=acquired
AIDS=acquired immunodeficiency syndrome. immunodeficiency syndrome.

Information from Thomas PK, Ochoa J. *--Carpal tunnel syndrome resulting from amyloid
Symptomatology and differential diagnosis of deposits in the flexor retinaculum.
peripheral neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PK, eds.
Peripheral neuropathy. Philadelphia: Saunders, Information from Thomas PK, Ochoa J.

1993:749-74. Symptomatology and differential diagnosis of


peripheral neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PK, eds.
Peripheral neuropathy. Philadelphia: Saunders,
1993:749-74.

TERAPI

Terapi pasien dengan polineuropati dapat dibagi menjadi tiga cara: terapi spesifik dilakukan bergantung
kepada etiologi penyebab dari pasien tersebut, terapi simptomatis, dan meningkatkan kemampuan pasien self-
care. Terapi simptomatis dari polineuropati terdiri dari mengurangi atau menghilangkan dari nyeri yang diderita
dan fisioterapi. Intubasi trakhea dan suport pernafasan mungkin dibutuhkan untuk pasien SGB. Proteksi kornea
diberikan apabila terdapat kelemahan untuk menutup mata. Kasur tidur tempat pasien selalu dibersihkan dan
penutupnya dibuat halus untuk mencegah cedera kulit pada kasus anesthetic skin. Fisioterapi termasuk pijat untuk
otot yang lemah dan melakukan pergerakan pasif terhadap semua sendi. Ketika pasien sudah bisa untuk bergerak
lagi, latihan otot dapat dilakukan setiap hari. Pasien mungkin tidak diperbolehkan untuk jalan terlebih dahulu
sebelum tes otot mengindikasikan bahwa otot-otot tersebut sudah siap untuk digunakan. Pada kasus polineuropati
dengan footdrop, sebuah orthosis untuk kaki dapat digunakan untuk membantu pasien berjalan. Pasien-pasien
dengan hipotensi postural, disuruh untuk bangun secara bertahap 7.

Terapi spesifik sebagai contoh pada kasus SGB, pemberian intravenous immunoglobulins (IVIG) 0,4g/kg
untuk 5 hari diketahui memiliki output yang bagus. Pada kasus CIDP, terapi bergantung pada tingkat keparahan
yang diderita pasien. Pada pasien dengan diabetes, mengkontrol kadar gula darah sangat penting.

PROGNOSIS

Prognosis dari penyakit polineuropati bergantung kepada jenis dan penyebabnya, tingkat keparahan dari saraf
yang terkena, dan komplikasi-komplikasi yang ditimbulkan. Pada SGB, kerusakan saraf berhenti dalam 8 minggu
atau kurang. Tanpa pengobatan, sebagian besar orang membaik dengan waktu yang lebih lama. Bagaimanapun,
dengan terapi yang segera, kebanyakan orang membaik dengan sangat cepat, dalam hitungan hari atau beberapa
minggu saja. Hanya kurang dari 2% dapat mengakibatkan kematian. Setelah membaik secara bertahap, 3 – 10%

146
orang menjadi kelainan yang mengarah ke CIDP. Pada CIDP yang tertangani dengan baik 30% bisa sembuh dan
tidak terdapat gangguan, 45% dengan tetap ada gangguan yang ringan, dan 25% tetap mengalami gangguan saraf
yang buruk (neurology and neurosurgery 425). Pada diabetik polineuropati, komplikasi biasanya baik apabila
kontrol diabetesnya baik, tetapi akan memburuk apabila terjadi komplikasi neuropati autonom 1.

ALGORITME

Berikut adalah algoritme dalam mendiagnosis suatu polineuropati 10

147
148
149
RINGKASAN

Polineuropati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sindroma yang terjadi dari lesi yang mengenai
saraf-saraf, dimana dimanifestasikan sebagai kelemahan, kehilangan kemampuan sensor, dan disfungsi autonom.
Polineuropati memiliki etiologi yang heterogen, berbeda-beda dalam patologinya, dan bermacam-macam pula
tingkat keparahannya. Insiden kasus dari polineuropati didunia ini juga tergolong tidak sedikit, Polineuropati bisa
didapatkan secara herediter, kelainan metabolik, penyakit infeksi, dan lain-lain. Polineuropati disebabkan
kerusakan pada axon atau pada sel schwann yang menghasilkan demyelinisasi.

Polineuropati diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok antaranya menurut onset, dapat terbagi menjadi
tipe akut, sub akut, dan kronis. Pengklasifikasian menurut onset lebih banyak digunakan dalam praktek klinis
sehari-hari. Selain onset terdapat pula menurut fungsinya, menurut perjalanan patologisnya, atau berdasarkan
penyebabnya. Polineuropati menimbulkan tanda dan gejala klinis yang tergantung dari tipe saraf apa yang terkena,
apakah motorik, sensorik, atau autonom. Tanda awal dari polineuropati biasanya bermula dari kedua kaki, bagian
jempol kaki mengalami parastesi, kemudian timbul kesemutan dan rasa tebal, hingga akhirnya mengenai anggota
gerak bagian atas juga. Pemeriksaan untuk menentukan suatu polineuropati yang sering dilakukan adalah EMG.

Terapi pada pasien polineuropati berdasarkan etiologi penyebabnya, komplikasi simptom yang terjadi, dan
meningkatkan self-care dari pasien. Terapi yang biasa digunakan adalah terapi simptomatis. Terapi yang lebih
spesifik dapat digunakan apabila telah mengetahui etiologi penyebabnya. Prognosis polineuropati biasanya baik,
tapi tergantung oleh penyebab yang mendasari, tingkat keparahan komplikasi, dan cepatnya penanganan pada
kasus polineuropati.

150
REFERENSI

1. Darisan Anwar, et al. 2001. Pengelolaan Nyeri Diabetika. Berkala Neurosains Vol 2, No 3, Juni 2001:
153-161.

2. England JD,et al. 2008. Practice Parameter: Evaluation of distal symmetric polyneuropathy: Role of
autonomic testing, nerve biopsy, and skin biopsy (an evidence-based review): Report of the American
Academy of Neurology, the American Association of Electrodiagnostic Medicine, and the American
Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Neurology 2009; 72;177-84
3. Gronseth G.S, Franklin G, et al. 2005. Distal symmetric polyneuropathy: A definition for clinical
research: Report of the American Academy of Neurology, the American Association of Electrodiagnostic
Medicine, and the American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Neurology 2005
England: 199-207
4. Hadden, et al. 2006. European Federation of Neurological Societies/Peripheral Nerve Society guideline
on management of paraproteinaemic demyelinating neuropathies: report of a joint task force of the
European Federation of Neurological Societies and the Peripheral Nerve Society. European Journal of
Neurology 2006; 13: 809-818
5. Hughes RAC, et al. 2006. European Federation of Neurological Societies/Peripheral Nerve Society
guideline on management of chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy: report of a
joint task force of the European Federation of Neurological Societies and the Peripheral Nerve Society.
European Journal of Neurology 2006; 13: 326-332.
6. Kenneth W. Lindsay. 1997. The Polyneuropathies. Neurology and Neurosurgery Illustrated P414-428
7. Latov Norman. 2000. Peripheral Neuropathies. Lippincott Textbook of Neurology Chapter 103.

8. Martyn CN, Hughes RAC. 1997. Epidemiology of Peripheral Neuropathy. Journal of Neurology,
Neurosurgery, and Psychiatry; 62: 310-318.

9. Mattle, Mumenthaler. 2006. Polyneuropathy. Fundamentals of Neurology p176-179.

10. Poncelet, MD. 2000. An Algorithm for the Evaluation of Peripheral Neuropathy.
http://www.aafp.org/afp/980215ap/poncelet.html

11. Schaik IN, et al. 2006. European Federation of Neurological Societies/Peripheral Nerve Society
guideline on management of multifocal motor neuropathy. European Journal of Neurology 2006; 13:
802-808.

151
BELL’S PALSY

DEFINISI

Bell’s palsy adalah kelumpuhan wajah sebelah yang timbul mendadak akibat lesi saraf fasialis,dan
mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan kata lain bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah
yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot disatu sisi wajah. Sir Charles Bell (1821)
seorang ahli bedah dari Skotlandia yang pertama kali menemukan penyakit ini pada abad ke-19 dengan meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik.Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan
patologi anatomi menunjukkan bahwa bell's palsy bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan
banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa,
jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin.12

Banyak orang mengira bahwa bell’s palsy merupakan stroke, tetapi pada hakikatnya bell’s palsy berbeda
dengan serangan stroke. Yang menjadi pembeda paling mendasar adalah pada bell’s palsy tidak disertai dengan
kelemahan pada anggota gerak. Hal ini disebabkan oleh letak kerusakan saraf yang berbeda. Pada serangan stroke
saraf yang rusak adalah pada saraf otak yang mengatur pergerakan salah satu sisi tubuh, termasuk wajah.
Sedangkan pada kasus bell’s palsy,kerusakan yang terjadi langsung pada saraf yang mengurus persarafan wajah
yaitu saraf fasialis. Bell’s palsy telah digunakan untuk menjelaskan paralisis pada wajah dengan onsetyang akut
dan terjadi secara cepat, dimana etiologinya belum diketahui secara pasti. Diagnosis BP dapat ditegakkan
dengan adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikutipemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain
kelumpuhan n. fasialis perifer.1

EPIDEMIOLOGI

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia,insiden
tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di
Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi
kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Di Belanda (1987) 1 penderita per 5000
orang dewasa & 1 penderita per 20,000 anak per tahun. BP pada orang dewasa lebihbanyak dijumpai pada pria,
sedangkan pada anak tidak terdapat perbedaan yang menyolok antarakedua jenis kelamin. Penderita diabetes
mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun
lebih sering terjadipada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisamencapai 10 kali lipat. 12

ETIOLOGI

Penyebab kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya kelumpuhan
saraf fasialis bisa disebabkan oleh sebagai berikut:

1. Kongenital : Kelumpuhan yang didapat sejak lahir ( kongenital ) bersifat irreversible dan terdapat bersamaan
dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran. Pada kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi

152
karena adanya gangguan perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular
(sindrom Moibeus).1

2. Infeksi : Proses infeksi di intracranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis.
Infeksi intracranial yang menyebabkan kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes optikus.
Infeksi Telinga tengah yang dapat menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik (
OMSK ) yang telahmerusak Kanal Fallopi. 7

3. Tumor : Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling sering ditemukan.
Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari
tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang
akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang sangat
jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara
ipsilateral.9

4. Trauma : Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi fraktur basis cranii,
khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir
juga bisa menjadi penyebab. Saraf fasialis pun dapatcedera pada operasi mastoid, operasi neuroma
akustik/neuralgia trigeminal dan operasikelenjar parotis. 9

5. Gangguan Pembuluh Darah : Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf
fasialis diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri media. 1

6. Idiopatik : Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau tidak menyertai
penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema fasialis. Karena terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy. 1

7. Penyakit-penyakit tertentu : Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya DM,hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah, sindrom Guillian
Barre.Bell’s palsy dapat terjadi pada pria atau wanita segala usia dan disebabkan oleh kerusakan saraf fasialis
yang disebabkan oleh radang, penekanan atau pembengkakan. Penyebab kerusakan ini tidak diketahui dengan
pasti, kendati demikian para ahli meyakini infeksi virus Herpes Simpleks sebagai penyebabnya. Sehingga terjadi
proses radang dan pembengkakan saraf.Pada kasus yang ringan, kerusakan yang terjadi hanya pada selubung saraf
saja sehingga proses penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada kasus yang lebih berat dapat terjadi jeratan
pada kanalis falopia yang dapat menyebabkan kerusakan permanen serabut saraf.11

Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsi antara lain : sesudah bepergian jauh
dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi,diabetes mellitus,
penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik.11

PATOFISIOLOGI

Hingga kini mekanisme terjadinya Bell’s palsi belum ada pesesuaian pendapat. Teori yang dianut saat
ini yaitu teori vaskuler/pembuluh darah. Pada Bell’s palsi terjadi akibat berkurangnya asupan darah ke saraf

153
fasialis yang disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah yang terletak antara saraf fasialis dan dinding kanalis
fasialis. Sebab pelebaran pembuluh darah ini bermacam-macam, antara lain : infeksi virus, proses imunologik dll.
Terjepitnya saraf fasialis di daerah foramen stilomastoideus, pada Bell’s palsi bersifat akut oleh karena foramen
stilomastoideus merupakan Neuron Lesion bangunan tulang keras. Kurangnya asupan darah yang terjadi
menyebabkan gangguan mikrosirkulasi di dalam saraf fasialis sehingga saraf kekurangan oksigen yang
mengakibatkan gangguan fungsi saraf fasialis. 1

Selain itu terdapat proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan
atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi edema dan permeabilitas kapiler meningkat,
sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi
gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini
mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan
kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.

Perubahan patologik yang ditemukan pada saraf fasialis sbb


1)Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema
2)Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3)Terdapat degenerasi akson
4)Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak
12
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap saraf fasialis.

KLASIFIKASI

Grade Penjelasan Karakteristik: 9

154
GEJALA KLINIK

Saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks, kerusakan atau gangguan fungsi pada
saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak masalah. Penyakit ini seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis
yang beragam akan tetapi gejala-gejala yang sering terjadi yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak
bisa menutup dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada salah satu bagian wajah.
Pada kasus yang lain juga terkadang disertai dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang berlebihan),
telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut terjadi mendadak dan mencapai puncaknya
dalam dua hari. Keluhan yang terjadi diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai
infeksi.13
Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu, pada awalnya, penderita

155
merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara.
Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu
penderita menutup kelopak matanya maka bola mata akan tampak berputar ke atas, fenomena ini disebut Bell‘s
sign. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut
1
yang lumpuh. Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi:

1. Lesi di luar foramen stilomastoideus : mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di
antara pipi dan gusi.Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau tidak dilindungi
maka air mata akan keluar terus menerus.

2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) : gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.
Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya saraf intermedius, sekaligus menunjukkan
lesi di antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan saraf fasialis di kanalis fasialis.

3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius) : gejala dan tanda klinik seperti (1)
dan (2) di tambah dengan hiperakusis.

4. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) : gejala dan tanda kilinik seperti pada
(1),(2),(3) disertai dengan nyeri di belakang dandidalam liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti ini
dapat terjadi pascaherpesdi membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah kelumpuhan
fasialisperifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Tanda-tandanyaadalah herpes
zoster otikus , dengan nyeri dan pembentukan vesikel dalam kanalisauditorius dan dibelakang aurikel (saraf
aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalanpendengaran, gangguan pengecapan, pengeluaran air mata dan
salivasi.

5. Lesi di meatus akustikus internus : gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya
nervusakustikus.

6. Lesi ditempat keluarnya saraf fasialis dari pons : gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala
dan tanda terlibatnya saraf trigeminus, saraf akustikus dan kadang – kadang juga saraf abdusen, saraf aksesorius
dansaraf hipoglossus.

Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik : terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya
mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior adalah sebagai
berikut :

a. M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas

b. M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis

c. M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkanhidung ke atas

156
d. M. Orbikularis Okuli : diperiks dengan cara memejamkan kedua mata kuat-kuat

e. M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi

f. M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut kedepan sambil memperlihatkan gigi

g. M. Businator : diperiksadengan cara menggembungkan kedua pipi

h. M. Orbikularis Oris : diperiksadengan cara menyuruh penderita bersiul

i. M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir kebawah

j. M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan.

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri :a. Untuk gerakan yang
normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )c.
Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )Seluruh
otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tigapuluh ( 30 ). 7

2. Tonus : pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap kesempurnaan mimic /
ekspresi muka. Fungsi tonus sangat penting sehingga diadakan penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot
muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikangambaran
prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15)yaitu seluruhnya terdapat lima
tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabilaterdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1)
sampai minus dua (-2) padasetiap tingkatan tergantung dari gradasinya. 7

3. Gustometri : sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda timpani,salah satu cabang
saraf fasialis.Kerusakan pada N VII sebelum percabangan kordatimpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan).Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,kemudian pemeriksa
menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidahpenderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan
diselingi istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk
akantersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yangpersarafannya diurus oleh saraf
lain. Penderita disuruh untuk menyatakan pengecapanyang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa
manis, 2 untuk rasa pahit, 3untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. 10

4. Salivasi : Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar submandibularis.
Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no 50 kedalamduktus Wharton. Sepotong kapas yang telah
dicelupkan kedalam jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada
keduatabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludahsebesar 25 % dianggap
abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur inidan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi
oleh saraf korda timpani.14

5. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex :Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi
serabut-serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosussuperfisialis mayor setinggi
ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya

157
produksi air mata.Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Carapemeriksaan dengan
meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-10cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit,
panjang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan bahwa kalau
ada bedakanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis. 14

6. Refleks Stapedius : untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter, yaitu dengan cara
memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang
N.VII.14

7. Uji audiologik : setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalanipemeriksaan audiogram
lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantarantulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf
cranial kedelapan dapat dinilaidengan menggunakan uji respon auditorik yang dibangkitkan dari batang otak. Uji
ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan
kesan suatu kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandangsyaraf fasialis yang terpapar pada daerah ini,
perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi kelumpuhan saraf ketujuh pada waktu otitis media akut,
makamungkin gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat dilakukan padatelinga ipsilateral atau
kontralateral dengan menggunakan suatu nada yang keras, yangakan membangkitkan respon suatu gerakan reflek
dari otot stapedius. Gerakan inimengubah tegangan membrane timpani dan menyebabkan perubahan impedansi
rantaiosikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada
perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagianaferen saraf kranialis.10

8. Sinkinesis : sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis yang sering kita jumpai. Cara
mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut :

a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada daerah
sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau pergerakan pada
sisi paresis lebih(hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2),tergantung dari
gradasinya.

b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian kita melihat pergerakan otot-otot
pada sudut mata bawah. Penilaian seperti pada (a).

c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi) dengan memperhatikan
pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak
simetris.12

Pemeriksaan Penunjang

Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui kelumpuhan saraf fasialis adalah
dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersediaantara lain Elektromiografi (EMG),
Elektroneuronografi (ENOG).2

1. Elektromiografi (EMG) sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola

158
denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun,
nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak
bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif
yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut.Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.2

2. Elektroneuronografi (ENOG) memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan
stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran
saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam
sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu
penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara
77 persen pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal
saraf fasialis.10

DIAGNOSA

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n.fasialis perifer diikuti
pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dari kelumpuhan n.fasialis perifer.Beberapa pemeriksaan
penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajatkerusakan n. Fasialis. Diagnosa ditegakkan
berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik, dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis. 3

Anamnesa :

• Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala
awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara mendadak
• Gangguan atau kehilangan pengecapan.
• Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di
luar ruangan.
• Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes,
dan lain-lain.

Pemeriksaan :

• Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer.


• Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :

1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5. Bersiul
6. Mengencangkan kedua bibir3

159
Diagnosa Klinis : Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer dan bukan sentral. Umumnya unilateral

Diagnosa Topik :

Kelainan Gangguan Gangguan Hiposekresi Hiposekresi


Letak Lesi
motorik pengecapan pendengaran saliva lakrimalis

Pons-meatus akustikus
+ + + tuli/hiperakusis + +
internus

Meatus akustikus
+
internus-ganglion + + + +
genikulatum Hiperakusis

Ganglion genikulatum-N. +
+ + + -
Stapedius
Hiperakusis
N.stapedius-chorda
+ + + + -
tympani

Chorda tympani + + - + -

Infra chorda tympani-


sekitar foramen
stilomastoideus
+ - - - -

Diagnosa etiologi : Sampai saat ini etiologi Bell’s palsi yang jelas tidak diketahui.

160
DIAGNOSA BANDING 5

KOMPLIKASI

1. Crocodile tear phenomenon : yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa
bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang
seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.3
2. Synkinesis : dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri; selalu timbul gerakan
bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut
mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang
mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.3
3. Hemifacial spasm : timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali)
dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan.1,4 Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi
kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.
Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun
kemudian.3
4. Kontraktur : hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas terlihat pada
sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur
tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak. 11

161
TERAPI

1) Terapi medikamentosa :

a. Golongan kortikosteroid :Glukokortikoid berperan dalam menghambat tiap fase dari respon inflamasi, obat-
obat ini juga memainkan peran penting dalam parahnya inflamasi dan kelainan “immune-immediate” .
Penggunaan steroid lebih diarahkan ke fase aku saat serangan tapi tidak berefek penuh pada pemulihan
total.Respon inflamasi di mediasi oleh beberapa bahan-bahan intermediate dan tipe-tipe sel. Efek anti inflamasi
umum dari kortikosteroid antara lain adalah efek dari denyutpembuluh darah, permiabilitas, dan penekanan dari
produksi leukosit dan biosintesis kolagen. Hasil evaluasi dari Stankewicz, steroid diberikan pada pasien Bells
Palsy dengan alasan stetroid dapat:2

•Mengurangi resiko denervasi jika diberikan secara dini

•Mencegah atau mengurangi sinkinesis

•Mencegah dari perkembangan inkompit menjadi komplit paralisis

•Mencegah sinkinesis autonomic

b.Terapi Antivirus : berdasarkan spectrum dari aktivitasnya, toksisitas yangrendah, asiklovir (acycloguanosine),
analog nukleosida purin sintetik, telah digunakanuntuk mencegah HS tipe I dan II, VZ, dan Epstein Barr virus dan
cytomegalovirus.Asiklovir mencegah DNA polymerase dan replikasi DNA virus dengan bentuk yangdikonversi
(difosforilasi) , itulah asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida.Dickens, Smith, dan Graham menyarankan
pemberian asiklovir pada deficitneurologic yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah asiklovir intravena
(10mg/kgBBsetiap 8 jam selama 7 hari). Pemberian antivirus secara dini ini telah dibuktikan olehGiven mencegah
degenerasi dari saraf yang dapat menyebab hilangnya pendengaran. 2

2) Terapi operatif

Pembedahan dekompresi dari saraf fasial untuk Bells Palsy pernah dilakukan Balance dan Duel pada
tahun 1932. Kemudian penggunaan stimulasi listrik nervus fasial mulai ditinggalkan. Yang terpenting, segmen
vertical telah didekompresi, lalu dekompresi dari seluruh segmen mastoid direkomendasi (prosedur yang
dilakukan adalah termasuk timpani dan segmen mastoid), dan akhir-akhir ini segmen labirin termasuk foramen
meatal.Menggunakan pendekatan transmastoid untuk dekompesi saraf, May menemukan bahwa dekompresi
meningkatkan penyembuhan pada pasien yang stimulasi nervusnya telah berkurang 75%atau lebih.
Bagaimanapun, prosedur ini tidak menampakkan buktisignifikan antara yang mendapatkan operasi yang sembuh
(87% dari 273pasien) denganpasien yang sembuh dengan sendirinya.14

3) Rehabilitasi Medik

Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik, sosial dan
kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bells Palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi

162
bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan
aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial
medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak
berperan.4

Program Fisioterapi

1. Pemanasan

a) Pemanasan superfisial dengan infra red.


b) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy

2. Stimulasi listrik

Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil
menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta
mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.4

1. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik,
mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan
kaca dengan konsentrasi penuh).

Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan.
Pada fase akut, Bells Palsy diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. 1,3 Setelah lewat fase akut diberi
Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek
mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat,
mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga
melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua
gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.4

PROGNOSIS

Prognosis pada kelumpuhan total adalah bervariasi, tetapi sebagian besar mengalami penyembuhan
sempurna. Hal tersebut sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis umumnya
baik oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah onset penyakit
dan pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa. Untuk menentukan kemungkinan terjadinya
penyembuhan total, bisa dilakukan pemeriksaan untuk menguji saraf wajah dengan menggunakan rangsangan
listrik. Jika kelumpuhannya parsial (sebagian), maka penyembuhan total terjadi dalam waktu 1-2 bulan.Jika

163
dengan prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan akan
terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik-fasialis dan sindrom air mata buaya. Kadang
saraf wajah membaik, tetapi membentuk hubungan yang abnormal yang menyebabkan timbulnya gerakan yang
tidak dikehendaki pada beberapa otot wajah atau keluarnya air mata secara spontan. 13

ALGORITME 6

164
RESUME

Bell’s palsy adalah kelumpuhan wajah sebelah yang timbul mendadak akibat lesi saraf fasialis,dan
mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan kata lain bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf
wajah yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot disatu sisi wajah. Bell’s palsy
menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.

Penyebab kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya
kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh :kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah,
idiopatik dan penyakit-penyakit tertentu.

Perubahan patologik yang ditemukan pada saraf fasialis sbb


1)Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema
2)Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3)Terdapat degenerasi akson
4)Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap saraf fasialis.

165
Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi. Gejala-gejala yang sering terjadi yaitu
wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta
sensasi mati rasa pada salah satu bagian wajah, terkadang disertai dengan adanya hiperakusis (sensasi
pendengaran yang berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut terjadi
mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari. Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh
penyakit ini salah satunya terdapat Bell‘s sign.

Pada pemeriksaan bell’s palsy dilakukan: Pemeriksaan fungsi saraf motorik, tonus, Gustometri, Salivasi,
Schimer Test atau Naso-Lacrymal reflex, refleks stapedius, uji audiologik, sinkinesis. Salah satu pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf.
Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersediaantara lain Elektromiografi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG).

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n.fasialis perifer
diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dari kelumpuhan n.fasialis perifer.Beberapa pemeriksaan
penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajatkerusakan n. Fasialis. Diagnosa ditegakkan
berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik, dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis.

Komplikasi yang sering terjadi pada bell’s palsy : crocodile tear phenomenon, synkinesis, hemifacial
spasm, dan kontraktur. Untuk mencegah hal tersebut maka diberikan terapi secara dini. Terapi bells palsy
meliputi:

1)Terapi medikamentosa : Golongan kortikosteroid , Terapi Antivirus

2)Terapi operatif

3)Rehabilitasi Medik

Prognosis pada kelumpuhan total adalah bervariasi, tetapi sebagian besar mengalami penyembuhan
sempurna.

166
DAFTAR PUSTAKA

1. Bailey.J.Byron. B e l l ’ s P a l s . Dalam H e a d a n d N e c k S u r g e r y O t o l a r y l o n g o g y .
I I I r d E d iti on, V ol um e T wo . C hapt e r 14 4: Ac ut e Par a lys is o f Fa c ia l N e r ve.
P h i l a d e l p i a : Lippincot William & Wilkins.2001.

2. Finsterer J. “Management of peripheral facial nerve palsy.” Eur Arch Otorhinolaryngol 2008 July;
265(7):743-752.

3. Hanoko, Seiri. 2010. Laporan kasus, medis, neurology, saraf.


http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell%E2%80%99s-palsy-case-report/. Diakses tanggal 16
juni 2011

4. H. Jacqueline Diels, OTR, Facial Rehabilitation Specialist. New Concepts in Non-Surgical Facial
Nerve Rehabilitation. Neuromuscular Retraining Clinic, Dept. of Rehabilitation Medicine University
of Wisconsin Hospital and Clinics. www.bellspalsy.ws/retrain. Diakses15 juni 2011

5. Jeffray D. Tiemsra, MD, Nandini Khatikhate, MD. 2007.Bell’s Palsy: Diagnosis and Management.
University of Illinois at Chicago College of Medicine, Chicago, Illinois. www.aafp.org/afp. Diakses
pada tanggal 14 juni 2011

6. Lippincott Williams and Wilkins.2008. Practical Neurology.


http://books.google.co.id/books?id=_NxpAwgSyoEC&pg=RA6-PA17-IA3&lpg=RA6-PA17-
IA3&dq=algoritme+diagnosis+bell%27s+palsy&source=bl&ots=ri1g58spDR&sig=0JmuUjWabcInaB
p2XrA4lICuU5k&hl=id&ei=4xj8TdTfE4ryrQelkfXxDw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=
9&ved=0CFQQ6AEwCA#v=onepage&q&f=false. Diakses pada tanggal 18 juni 2011

7. Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit
THTedisi 6. Jakarta : EGC, 1997.

8. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2008. “Bell’s Palsy”.


www.ninds.nih.gov/disorders/bells/bells. Diakses 15 juni 2011

9. Patricia J Ohtake; Michelle L Zafron; Lakshmi G Poranki; Dale R Fish. 2006. Evidence in Practice.
Physical Therapy; 86, 11; ProQuest Medical Library.

10. Sjar ifuddin, Bashiruddin J, Bramant yo B.Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer.


DalamBuku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher . 6th ed.
Jakart a :Balai Penerbit FK-UI, 2007: Hal. 114-117

11. SM. Lumbant obing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental . J a k a r t a :
B a l a i Penerbit FK-UI, 2006.

12. Sukardi dr, Nara P dr. 2008. Subdivisi Nerologi, Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit Umum Ujung Pandang, Ujung Pandang.
http://binhasyim.wordpress.com/2008/04/05/bells-palsy/. Diakses pada tanggal 15 juni 2011

13. Taufiq dr. 2009. bellspalsy. http://praktekku.blogspot.com/2009/02/bells-palsy.html. Diakses pada


tanggal 15b juni 2011

14. Tiemstra, J. D and Nandini Khatkhate. 2007. B e l l ’ s P a l y : Diagnosis and Management. American
Family Physician Volume 76, Page: 997-1002, 1004

167
NYERI NEUROPATIK

DEFINISI/BATASAN

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang dapat memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kualitas hidup seseorang. Nyeri neuropatik telah didefinisikan oleh
International Association for Study of Pain (IASP) sebagai ”Nyeri yang dicetuskan atau disebabkan oleh lesi
primer atau disfungsi dari sistem saraf". 1 Beberapa berpendapat bahwa penggunaan istilah disfungsi membuat
definisi ini tidak jelas dan tidak dapat diterima luas. mungkin lebih tepat untuk mendefinisikan nyeri neuropatik
sebagai nyeri yang disebabkan oleh lesi dari sistem saraf perifer atau pusat (atau keduanya), dengan adanya gejala
sensorik yang menyertainya.2 Hal ini berbeda dengan tipe nyeri yang lain yaitu nyeri nosiseptif, di mana rasa sakit
merupakan suatu informasi yang berasal dari sumber nyeri pada tubuh kita misalnya jika ada jaringan tubuh yang
sakit atau cedera. Gejala atau gambaran umum yang dapat menunjukkan adanya nyeri neuropatik meliputi rasa
tajam, terbakar, sakit, rasa ditusuk, kejang, dan paroksismal, sering juga dirasakan mati rasa di sekitar daerah yang
mengalami kerusakan. Gejala tersebut akan terjadi jika terjadi cedera saraf dan sering tidak memberikan respon
yang memadai terhadap pemberian opioid.1

EPIDEMIOLOGI

Nyeri neuropatik diperkirakan telah dialami oleh 7% penduduk di seluruh dunia. Diperkirakan 15-20 %
penduduk Australia menderita nyeri kronis (17% laki-laki dan 20% wanita).1 Di Amerika Serikat dengan total
penduduk 270.000.000 jiwa, diperkirakan penderita nyeri neuropatik sebanyak 3.781.000 orang atau sebanyak 1,4
%.3 Nyeri berulang dan terus-menerus mulai dari sakit punggung dan nyeri wajah dilaporkan oleh 45% dari
pendaftar dalam satu organisasi pemeliharaan kesehatan di Amerika Serikat, dan di Inggris hingga 25% pasien
yang mendatangi klinik nyeri dilaporkan mengalami sindroma nyeri neuropatik. 4

ETIOLOGI

Nyeri neuropatik yang berhubungan dengan diabetes melitus dan herpes zooster adalah yang paling sering
dipelajari. Walaupun dua penyakit ini bukan merupakan penyebab terseringnya nyeri neuropatik. Radikulopatik
yang merupakan penyebab dari lower back pain juga merupakan nyeri saraf perifer tersering. Berikut ini adalah
etiologi dari nyeri neuropatik.4

Tabel .Penyebab Nyeri Neuropatik


Penyebab Contoh
Cancer-related Compressive
Iatrogenic

168
Infiltrative
Paraneoplastic
Compression/ entrapment Carpal tunnel syndrome Chronic radiculopathy Plexus disorders Spinal
syndromes stenosis Tarsal tunnel
Congenital Fabry disease
Hereditary sensory neuropathies
Immune-mediated Guillain-Barr Syndrome
Multiple sclerosis
Infection Herpes zoster
HIV or AIDS
Infectious mononucleosis
Leprosy
Syphilis
Metabolic disturbance Amyloidosis
Diabetes mellitus
Hypothyroidism
Porphyria
Uremia
Nutritional deficiency Folic acid deficiency
Niacin deficiency
Pyridoxine deficiency
Thiamine deficiency
Toxins Alcohol
Arsenic
Chemotherapy agents, especially vincristine, cisplatin, oxaliplatin, and
taxanes
Glue sniffing
Gold
Lead
Mercury
Other drugs including hydralazine, isoniazid, nitrofurantoin, phenytoin,
thalidomide
Trauma Amputation (phantom limb pain/stump pain)
CRPS type II
Crush injuries
Spinal cord injury
Surgery
Vasculitis/ connective tissue Cryoglobulinemia
disorders Lupus erythematosus

169
Polyarteritis nodosa
Rheumatoid arthritis Sjogren syndrome
PATOFISIOLOGI

Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan-rangsangan yang merugikan dari sistem saraf tepi ke
sistem saraf pusat yang menimbulkan perasaan nyeri. Dengan demikian, lesi di system saraf tepi atau pusat dapat
menyebabkan gangguan atau hilangnya sensasi nyeri yang masing-masing disebut hipoalgesia dan analgesia.
Secara paradoks, kerusakan atau disfungsi system saraf pusat atau saraf perifer dapat menyebabkan nyeri. Jenis
nyeri ini disebut nyeri neuropatik, atau deaferentasi (deaferentation). Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer
di sepanjang perjalanannya atau dari system saraf pusat karena gangguan fungsi, tanpa melibatkan eksitasi
reseptor nyeri spesifik (nosiseptor).5
Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi perifer, ectopic discharge,
sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium
terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang
bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan. 6
Trauma atau penyakit yang mengenai serabut saraf aferen dapat memacu terjadinya remodeling dan
hipereksitabilitas dari membran. Di bagian proksimal lesi yang masih berhubungan dengan badan sel dalam
beberapa jam atau hari akan tumbuh tunas-tunas baru (sprouting) dimana sebagian dari tunas-tunas tersebut akan
tumbuh mencapai organ target dan sebagian lagi tidak mencapai organ target dan membentuk bunderan
(pentolan). Bentuk ini dinamakan neuroma. Di neuroma ini berakumulasi kanal natrium dan kanal ion lainnya.
Akumulasi kanal natrium menyebabkan munculnya ectopic pacemaker. Disamping kanal ion juga terlihat adanya
molekul-molekul transducer dan reseptor ini akan menyebabkan terjadinya ectopic discharge, abnormal
mechanosensitivity, thermosensitivity, dan chemosensitivity.6
Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat, dan bila lesi sembuh nyeri akan hilang. Akan tetapi, lesi yang
berlanjut menyebabkan neuron-neuron di kornu dorsalis dibanjiri potensial aksi yang mungkin mengakibatkan
terjadinya sensisitasi neuron-neuron tersebut. Sensitisasi neuron di kornu dorsalis menjadi penyebab timbulnya
alodinia dan hiperalgesia sekunder. Dari keterangan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa nyeri
timbul karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif baik perifer maupun sentral. Disamping itu ada
kemungkinan, lesi di serabut saraf aferen akan menyebabkan munculnya mediator inflamasi yang menyebabkan
sensitisasi serabut saraf aferen yang akan menyebabkan hiperalgesia. 5
Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron sebagai stimulus noksious
melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus
(struktur somatik) dan kolum dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks prefrontal
dan korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas neuron; rendahnya
ambang batas stimulus terhadap aktivitas neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang nonnoksious, dan
luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan peningkatan letupan-letupan dari
berbagai neuron.6
Sensitisasi ini pada umumnya berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat lesi ditambah
dengan stimulasi yang terus menerus dan inpuls aferen baik yang berasal dari perifer maupun sentral dan juga
bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang berkaitan dengan reseptor AMPA/kainat dan NMDA. Sejalan

170
dengan berkembangnya penelitian secara molekuler maka ditemukan beberapa kebersamaan antara nyeri
neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya tentang keterlibatan reseptor misalnya NMDA dan AMPA dan
plastisitas disinapsis, immediate early gene changes. Yang berbeda hanyalah dalam hal burst discharge secara
paroksismal pada epilepsi sementara pada neuropatik yang terjadi adalah ectopic discharge.6
Nyeri neuropatik muncul akibat proses patologi yang berlangsung berupa perubahan sensitisasi baik perifer
maupun sentral yang berdampak pada fungsi sistem inhibitorik serta gangguan interaksi antara somatik dan
simpatetik. Keadaan ini memberikan gambaran umum berupa alodinia dan hiperalgesia. Permasalahan pada nyeri
neuropatik adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan kerusakan neuron dan sifatnya ireversibel. Pada
umumnya hal ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik melalui modulasi intrinsik kalsium di neuron
sendiri maupun akibat proses inflamasi sebagai faktor ekstrinsik. Kejadian inilah yang mendasari konsep nyeri
kronik yang ireversibel pada sistem saraf. Atas dasar ini jugalah maka nyeri neuropatik harus secepat mungkin di
terapi untuk menghindari proses mengarah ke plastisitas sebagai nyeri kronik. 6
Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada bagian lamina paling superfisial dari medula spinalis. Sebaliknya,
serabut sensorik dengan ambang rendah (raba, tekanan, vibrasi, dan gerakan sendi) berakhir pada lapisan yang
dalam. Penelitian eksperimental pada tikus menunjukkan adanya perubahan fisik sirkuit ini setelah cedera pada
saraf. Pada beberapa minggu setelah cedera, terjadi pertumbuhan baru atau sprouting aferen dengan non noksious
ke daerah-daerah akhiran nosiseptor. Sampai saat ini belum diketahui benar apakah hal yang serupa juga terjadi
pada pasien dengan nyeri neuropati. Hal ini menjelaskan mengapa banyak kasus nyeri tidak respon terhadap terapi.
Rasa nyeri akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri neuropati disebabkan oleh karena respon sentral abnormal
serabut sensorik non noksious. Reaksi sentral yang abnormal ini dapat disebabkan oleh faktor sensitisasi sentral,
reorganisasi struktural, dan hilangnya inhibisi. 6
Seperti diketahui, timbulnya impuls sensorik oleh karena adanya stimuli. Stimuli akan merubah
permeabilitas membran terhadap berbagai macam ion terutama natrium. Pada reseptor mekanis, perangsangan
akan membuka kanal ion dan ion akan masuk, yang akan menyebabkan depolarisasi membran parsial. Hal yang
sama juga terjadi dengan stimuli berbentuk termal maupun kemikal. Di akhiran-akhiran saraf juga terdapat voltage
sensitive ion channel yang peka terhadap transmembrane voltage. Adanya depolarisasi akan memacu terbukanya
voltage sensitive Na channel yang akhirnya akan menyebabkan munculnya potensial aksi yang akan mengalir ke
kornu dorsalis. Setelah itu, Na channel tertutup kembali ke posisi istirahat. Telah dikatakan bahwa lesi serabut
saraf aferen apapun penyebabnya akan menyebabkan munculnya ectopic pacemaker, molekul-molekul transducer
maupun molekul-molekul reseptor. Sebagai contoh, misalnya pada sindroma terowongan karpal, dimana penderita
oleh karena pekerjaannya yang selalu menggunakan pergelangan tangan sehingga terjadi jeratan pada n.
Medianus, yang akan menyebabkan timbulnya mekanosensitif hot spot yang sangat peka terhadap rangsang
mekanis. Dengan sedikit ketukan, penderita merasa nyeri (Tinnel sign). Dari berbagai penelitian, selain di daerah
lesi ternyata ectopic pacemaker juga terdapat di sepanjang akson dan ganglio radiks sorsalis dari saraf yang kena
lesi. Adanya ectopic pacemaker di ganglion radiks dorsalis merupakan dasar pemeriksaan Laseque pada penderita
Hernia Nukleus Pulposus (HNP).3
Sensitisasi sentral dapat terjadi pada nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Pada lesi serabut saraf aferen
seperti yang sudah diketahui akan menyebabkan munculnya ectopic discharge pada serabut C yang akan terus
menerus memberikan impuls ke neuron di kornu dorsalis. Rangkaian impuls yang terus menerus datang ini, akan
menyebabkan neuron di kornu dorsalis tersebut menjadi sangat peka (wind up). Neurotransmiter yang sangat

171
berperan disini adalah glutamat dengan reseptor AMPA dan NMDA, serta substansia P dengan reseptor NKI.
Akibat peningkatan kepekaan neuron di kornu dorsalis tersebut, maka impuls yang datang dari luar, misalnya
tusukan, akan disalurkan melalui serabut saraf C. Sehingga akan terjadi nyeri yang berlebihan, yang sering disebut
Punctate Hyperalgesia. Akan tetapi jika impuls yang datang berupa sentuhan, maka umpuls tersebut akan
disalurkan melalui serabut Aβ. Impuls ini, yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri, juga akan
dirasakan sebagai nyeri.3
Serabut-serabut saraf aferen C biasanya bersinapsis di lamina I dan II kornu dorsalis terutama lamina II.
Pada beberapa keadaan dimana lesi serabut saraf aferen akan menyebabkan serabut saraf C di lamina I dan II
hilang. Hilangnya serabut saraf C di lamina tersebut akan memicu sprouting Aβ (sentuhan) yang ditermia oleh
lamina I dan II adalah impuls nyeri.3
Di samping itu terlihat juga ada perubahan fenotip dari A sehingga serabut ini juga akan mengeluarkan
substansi P di kornu dorsalis yang dalam keadaan normal tidak mengeluarkan substansia P. Semua hal tersebut di
atas akan meneyebabkan allodinia taktil dimana stimuli yang berasal dari A (taktil) diiterpretasikan sebagai nyeri. 3
Menghilangnya serabut saraf C juga mengakibatkan hilangnya reseptor µ-opioid yang sebagian besar
terdapat di presinaptik (akhiran serabut saraf C). Keadaan ini dapat menerangkan mengapa obat-obatan morphin
kurang berkhasiat terhadap allodinia.3
Impuls yang sampai di kornu dorsalis biasanya berupa eksitator. Impuls tersebut sebelum disampaikan ke
otak selalu dimodulasi oleh serabut saraf intersegmental atau yang turun dari atas yang bersifat inhibisi.
Neurotransmiter inhibisi biasanya GABA atau sejenisnya. Neurotransmiter inhibisi disini berfungsi untuk
mempertahankan potensial membran mendekati potensial istirahat atau menyebabkan hiperpolarisasi. Bila ada
lesi saraf aferen, maka ada kemungkinan terjadinya kematian sel-sel inhibisi tersebut di kornu dorsalis oleh karena
eksitotoksik. Kematian sel-sel inhibisi akan menyebabkan inhibisi hilang dan ini berarti eksitasi. Keadaan ini
dapat menyebabkan allodinia.3
Parestesia terjadi oleh karena adanya ectopic discharge yang spontan di sepanjang axon serabut saraf Aβ.
Oleh karena itu pengobatan ditujukan untuk menstabilkan membran yang sering disebut membrane stabilizing
agent. Ketidakstabilan membran ini terutama disebabkan oleh karena akumulasi Na channel di membran axon
akibat adanya lesi di saraf aferen. Sebenarnya selain kanal natrium masih ada kanal ion lainnya maupun molekul
transduser, molekul-molekul reseptor yang menumpuk di daerah lesi tersebut. Hal inilah yang diperkirakan
bertanggung jawab terhadap terjadinya peningkatan sensitivitas terhadap mekanis, termal maupun kimiawi. 3

PEMBAGIAN/KLASIFIKASI

Ada berbagai macam klasifikasi untuk nyeri neuropatik. Ada yang menggolongkannya atas lokasi nyeri
neuropatik, apakah simetris atau tidak. Nyeri yang lokasinya simetris adalah nyeri neuropatik pada diabetes
mellitus. Nyeri neuropatik yang lokasinya asimetris adalah neuralgia kranial, carpal tunnel syndrome, HNP. 3
Ada juga yang menggolongkan nyeri neuropatik berdasarkan gejala dan manifestasi klinis, yaitu :
1. Nyeri dengan stimulus (stimulus evoked pain)
- Hiperalgesia, baik mekanik maupun termal
- Allodinia, baik mekanik maupun termal.
2. Nyeri tanpa stimulus atau nyeri spontan (stimulus independent pain)

172
- Parestesia
- Disestesia
- Continous burning pain (panas seperti terbakar terus menerus)
- Shooting (seperti hentakan) atau Lancinating (seperti tikaman)
Stimulus independent pain ini dapat bersifat continous misalnya pada parestesia, disestesia atau burning. Dan
dapat juga bersifat paroksismal, misalnya pada shooting dan lancinating.3

TANDA DAN GEJALA KLINIS

Banyak pasien dengan nyeri neuropatik menunjukkan gejala nyeri yang menetap (persistent) atau nyeri yang
hilang timbul (paroxysmal) dimana nyeri tersebut tanpa disertai adanya stimulus. Nyeri yang seperti ini disebut
stimulus-independent pain. Stimulus-independent pain dapat berupa shooting (hentakan), lancintaing (tikaman)
dan burning (terbakar).6 Stimulus-independent pain tersebut mungkin bergantung pada aktivitas system saraf.
Dengan demikian nyeri dapat bertambah parah oleh stress emosi atau fisik (dingin dan kelelahan) dan mereda
oleh relaksasi. Oleh karena itu pasien mungkin tidur secara normal walaupun merasa nyeri. simpatis dari
seseorang.5
Aktivitas spontan dari nosiseptor C adalah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya nyeri rasa terbakar.
Dalam hal yang sama, aktivitas spontan pada jumlah besar serat myelinated A terkait dengan terjadinya
paraesthesia dan untuk dysaesthesias.6
Selain itu nyeri dapat dicetuskan karena suatu stimulus atau yang disebut dengan stimulus-evoked pain.
Stimulus-evoked pain adalah hal yang umum terjadi pada lesi saraf perifer. Nyeri ini memiliki dua gambaran yaitu
hiperalgesia dan allodinia Hiperalgesia merupakan respon nyeri yang meningkat yang merupakan hasil abnormal
dari proses pengolahan informasi dari nosiseptor. Allodinia adalah sensasi nyeri yang ditimbulkan oleh stimulus
yang pada keadaan normal tidak merugikan dan tidak berbahaya. 6

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan pada pasien dengan keluhan nyeri bertujuan untuk mengklarifikasi penyakit yang mendasari
dan mengetahui apakah nyeri merupakan nyeri neuropatik, nosiseptif, psikogenik atau kombinasi dari keduanya.
Pada nyeri neuropatik, temuan pemeriksaan sensorik yang abnormal harus sesuai dengan neuroanatomi lokasi
yang mengalami lesi.7 Lokasi, kualitas dan intensitas dari nyeri harus dinilai terlebih dahulu. Pemahaman yang
jelas terhadap tanda dan gejala negative (misal, hilangnya sensorik) serta tanda dan gejala positif (misal,
parestesia) sangat diperlukan.7

Bedside Examination
Pemeriksaan neurologis pada kasus yang dicurigai sebagai nyeri neuropatik harus meliputi kuantifikasi dan
pemetaan dari gejala motorik, sensorik dan otonom untuk mengetahui semua tanda dan gejala dari disfungsi
neurologis. Hal ini akan sangat membantu untuk pencatatan yang detail dan pembuatan diagram dari kelainan
sensorik pada pasien.7

173
Pemeriksaan Sensorik Kuantitatif
Pemeriksaan sensorik kuantitatif didefinisikan sebagai analisis dari persepsi pasien yang merespon terhadap
stimulus dari luar dengan intensitas terkontrol. Ambang nyeri ditentukan dengan memberikan stimulus di kulit
dengan intensitas yang berbeda-beda.7
Tabel pemeriksaan nyeri khusus pada allodinia
Jenis Allodinia Cara Periksa Respon
Mekanis statis Tekanan ringan dengan benda Rasa nyeri tumpul
tumpul
Mekanis pungtat Beberapa tusukan ringan dengan Rasa nyeri tajam
jarum superficial
Mekanis dinamis Usapan ringan dengan kapas, jari Rasa nyeri tajam terbakar,
tangan supefisial
Mekanis somatic Tekanan ringan pada sendi Rasa nyeri dalam
dalam
Termal panas Tabung air hangat (40O C) Rasa nyeri terbakar
Termal dingin Tabung air dingin (20OC), batang Rasa nyeri terbakar
reflex hammer

Tabel pemeriksaan nyeri khusus pada hiperalgesia


Jenis Hiperalgesia Cara Periksa Respon
Mekanis tusukan Tusukan dengan jarum Rasa nyeri tajam
superfisial
Termal panas Kontak dengan tabung air hangat Rasa nyeri terbakar
(40O C)
Termal dingin Kontak dengan pendingin Rasa nyeri terbakar
(aseton, alcohol)

Pemeriksaan sensorik kuantitatif digunakan untuk diagnosis awal dari neuropati serat kecil yang tidak dapat
dinilai dengan pemeriksaan konduksi saraf standar. Ini sangat berguna sekali untuk diagnosis awal dari neuropati
diabetikum. Pemeriksaan sensorik kuantitatif juga digunakan untuk menentukan allodinia mekanik dan termal
yang mungkin membantu dalam menentukan sindroma nyeri neuropatik dan mengklarifikasi mekanisme
patofisiogisnya7
Bagaimanapun juga, metode ini tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis banding antara neuropati
dan non-neuropati. Hasil dari pemeriksaan ini juga akan sama pada nyeri non neuropatik seperti rematoid artritis.
Pemeriksaan ini mungkin akan sangat membantu untuk melihat perkembangan dari efek terapi pada alodinia dan
hiperalgesia.7

Skala Intensitas dan Kualitas Nyeri

174
Intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan visual analogous scale (VAS), numerical rating scale
(NRS), verbal rating scale (VRS) atau faces pain rating scale yang digunakan untuk anak-anak. VAS adalah
metode yang paling lama, paling mudah dan paling baik untuk menentukan nyeri. Di antara skala numeric, skala
Likert (0 = tidak nyeri, 10 = nyeri yang paling buruk) telah banyak digunakan pada studi nyeri neuropatik. Pasien
memilih angka yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga ada McGill Pain
Questionnare yang digunakan untuk mengumpulkan data sensori pasien dan juga berbagai macam dimensi nyeri.
Tetapi kuesioner ini tidak didesain untuk menilai nyeri neuropatik dan terjemahannya ke dalam bahasa lain
membutuhkan validasi. 8

Gambar Visual Analogue Scale

Gambar Numerical Rating Scale

Gambar Faces Pain Rating Scale (untuk anak-anak)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Karena nyeri adalah suatu yang kompleks, dipengaruhi oleh factor social, budaya, dan emosional. Maka
akan sangat penting untuk menentukan diagnose dengan mengandalkan tehnik yang ada dalam pemeriksaan di
laboratorium tertentu.4

Tabel pemeriksaan penunjang pada nyeri neuropatik


Type of neurologic test Functions evaluated Fibers examined Anticipated findings
Motor System
Electromyography (EMG) Motor nerve Efferent large myelinated Velocity and amplitude
and motor nerve conduction conduction velocity; motor axons decreased with reduction in
studies (NCS) compound muscle number of large myelinated
action potential motor axons or with
amplitude interruption in myelination

175
Sensory NCS Sensory nerve Afferent large myelinated Velocity and amplitude
conduction velocity sensory axons (Aβ fibers) decreased with reduction in
and action potential number of large myelinated
amplitude sensory axons
Sensory System
Algometer Mechanical pressure Aδ and C fiber activity Lower threshold tolerance or
and threshold arising from nociceptors and suprathreshold response to
tolerance Aβ fiber activity arising stimuli
from mechanoreceptors
Microneurography Presence of ectopic Single fiber activity arising Ectopic impulse generation
impulses velocity and from nociceptors (Aδ and C along sensory axons
action potential fibers) and
amplitude mechanoreceptors (Aβ
fibers)
Quantitative sensory testing Sensory and pain Aδ and C fiber activity Lower threshold and
(Peltier device) threshold after arising from nociceptors and suprathreshold response to
stimulus with cool mechanoreceptors stimuli
and warm temperature
Vibrometer (QST) Vibration perception Aβ fiber activity arising Increase thresholds
thresholds from mechanoreceptors
Von Frey hairs Mechanical pressure Aδ and C fiber activity Lower threshold and tolerance
and threshold arising from nociceptors and or suprathreshold response to
tolerance Aβ fiber activity from stimuli
mechanoreceptors
Autonomic System
Heart rate Heart rate variation in Autonomic efferent Less variation seen with
response to deep parasympathetic axons (eg, polyneuropathy affecting
breathing vagus nerve) vagal function
Quantitative sudomotor Sweat gland response Sympathetic postganglionic Excess or persistent sweat
axon reflex test (QSART) to stimulation sudomotor axons with reduced latency or
reduced sweat volume
consistent with peripheral
neuropathy
Skin temperature and blood Comparison of skin Sympathetic postganglionic Early, warmer skin on
flow measurements with temperature of vasoconstrictor axons involved side from
thermistor, thermography, involved extremity to vasodilatation; later, cooler
and laser Doppler asymptomatic skin from vasoconstriction
extremity

176
DIAGNOSIS

Saat ini pendekatan diagnosis untuk nyeri neuropatik bergantung pada sistem klasifikasi kuno yaitu dari
etiologi nyeri dan distribusi anatominya. Hal ini tidak cukup ideal untuk beberapa alasan. Pertama, sebagian besar
penyakit neuropatik diasosiasikan pada lebih dari satu mekanisme nyeri dimana mekanisme tersebut dapat
berubah setiap waktu. Kedua, perbedaan sindrom dapat menghasilkan nyeri neuropatik yang identik. Yang
terakhir, gejala yang muncul dan tanda-tandanya serta tes diagnostik sering beragam, dalam satu sindrom nyeri
neuropatik. Semua masalah ini menghambat diagnosis yang akurat dan efisien dari nyeri neuropatik.4
Neuralgia pasca herpes dapat digunakan untuk mengilustrasikan jebakan dalam mendiagnosa nyeri
neuropatik berdasarkan mekanismenya. Pada neuralgia pasca herpes, kurang lebih tiga mekanisme berbeda untuk
nyeri dapat diidentifikasi, kesemua hal tersebut dapat diasosiasikan dengan kerusakan neuronal secara langsung
pada kedua siste saraf perifer dan sentral (ex: infeksi, inflamasi, dan iskemia). Masing-masing mekanisme ini
dapat diasosiasikan dengan gejala yang berbeda. Secara singkat, beberapa pasien menunjukkan kehilanagan
sensori pada area yang nyeri. Pasien lainnya mengalami pengucapan jenis allodynia dan hiperalgesia dengan
kehilangan sensoris yang minimal atau bahkan tidak ada. Yang lainnya justru kehilangan sensori dan allodynia.
Keberagaman mekanisme potensial, tanda, dan gejala meningkatkan potensi kesalahan diagnosis dan dapat
menyebabkan komplikasi atau diagnostik mekanik yang bertentangan.4
Oleh karena itu, respon pada treatment tidak dapat diprediksi dan dua pasien pasca herpes yang berbeda
dapat memiliki respon yang berbeda pada satu treatment yang sama. Dengan pandangan yang menuju pada
mekanisme biologis yang mendasari nyeri neuropatik, pendekatan tentang nyeri neuropatik yang lebih berharga,
tidak hanya diperoleh melalui kerangka klinis seperti etiologi dan bagian tubuh mana yang terpengaruh tetapi juga
melalui tanda, gejala, elektrodiagnostik, dan tes sensori yang quantitatif. Dengan menggunakan kombinasi ini
penegakan diagnosis dapat semakin baik.4
Nyeri neuropatik mengacu pada nyeri yang disebabkan oleh kumpulan kelainan yang heterogen yang
etiologinya luas dan bervariasi. Hal tersebut termasuk tanda dan gejala yang berasal dari lesi primer pada sistem
saraf perifer atau dari disfungsi sistem saraf pusat yang terjadi tanpa stimulus nosiseptor, seperti neuralgia pasca
herpes.4
Kategori biner ini memiliki signifikansi klinis tertentu; nyeri neuropatik tidak berespon baik pada opioid
maupun NSAID sedangkan nyeri nosiseptif biasanya mudah pengobatannya dengan obat-obatan diatas bahkan
hanya digunakan dalam waktu yang singkat. Nyeri neuropatik dapat diterapi lebih efektif oleh obat yang mampu
menstabilkan atau memodulasi fungsi sistem saraf (ex: obat yang diindikasikan untuk kejang atau depresi) atau
dengan obat anti-aritmia (ex: sodium channel blocker). Walaupun alasan diagnosis nyeri neuropatik sudah jelas,
namun metode penegakan diagnosisnya masih belum efektif. 4
Sebuah anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik, dan penggunaan tes yang benar sepenuhnya akan dapat
menentukan dugaan mekanisme yang terlibat dalam sindrom nyeri neuropatik. Riwayat sakit dan pembedahan
sebelumnya adalah langkah pertama yang penting dalam memahami etiologi nyeri. Pemeriksaan fisik yang
lengkap memungkinkan dokter untuk mengintegrasikan gejala pasien yang muncul dan untuk mulai menentukan

177
lokasi elemen saraf yang terlibat. Penting sekali untuk mengidentifikasi lokasi, kualitas, intensitas, dan pola nyeri.
Pemeriksaan neurologis menggunakan bedside test sederhana untuk menilai pasien ada tidaknya stimulus tertentu
yang membangkitkan nyeri. Perhatian khusus harus diberikan pada pemeriksaan sensorik, terutama hypoesthesia
(mati rasa) atau hyperesthesia (hyperpathia atau allodynia atau keduanya). Perbedaan antara allodynia mekanik
dan termal mungkin memiliki relevansi klinis. 4
Pengujian refleks, pemeriksaan motorik yang komprehensif, dan pemeriksaan otonom semua penting untuk
neuropati. Pengujian dapat melengkapi dan menguatkan anamnesa dan pemeriksaan fisik dan memiliki
keuntungan yang kuantitatif, meskipun semua tes memiliki keterbatasan masing-masing. Beberapa tes yang sangat
teknis dan invasif mungkin diperlukan, seperti pewarnaan imunohistokimia spesimen biopsi dengan
menggunakan antibodi spesifik untuk diameter kecil saraf perifer myelinated dan unmyelinated yang dapat
digunakan untuk menghitung kepadatan serat saraf pada pasien dengan neuropati perifer. 4
Dokter juga harus menyadari setiap kondisi komorbiditas mempengaruhi pengalaman nyeri pasien dan
kualitas hidup, seperti gangguan tidur, kecemasan, atau depresi, yang dapat membantu keputusan dalam
pengobatan. 4

DIAGNOSIS BANDING

Nyeri telah dikategorikan dalam berbagai cara yang berbeda, dan satu divisi yang telah sangat sering terjadi
adalah nyeri nosiseptif dibandingkan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif merupakan hasil dari aktivitas di jalur
saraf disebabkan oleh kerusakan jaringan aktual atau rangsangan yang potensial merusak jaringan. Contoh nyeri
nosiseptif adalah nyeri setelah operasi, nyeri artritis, nyeri punggung bawah mekanik, dan rasa sakit yang terkait
dengan cedera olahraga. Sebaliknya, nyeri neuropatik adalah nyeri kronis yang dimulai oleh lesi atau disfungsi
sistem saraf dan dapat dipertahankan oleh sejumlah mekanisme yang berbeda. Misalnya, kelebihan stimulasi jalur
nosiseptif atau kerusakan jalur penghambatan dapat mengubah keseimbangan antara input sensorik sehingga
muncul tanpa adanya stimulasi dari nosiseptor. Jadi, nyeri neuropatik mungkin ditemukan tanpa adanya temuan
kelainan dari pemeriksaan fisik. Nyeri neuropatik juga tidak berespon terhadap pemberian analgesik ataupun
opioid.8

KOMPLIKASI/PENYULIT

Penyulit pada nyeri neuropatik mungkin bergantung pada seberapa berat kerusakan pada saraf. Selain itu
juga ada atau tidaknya penyakit sistemik yang mendasari. Seseorang yang mengalami nyeri neuropatik sekaligus
juga menderita penyakit diabetes mellitus dalam jangka waktu yang lama tentunya akan lebih sulit untuk sembuh
karena diabetes mellitus dapat mengganggu regenerasi dari sel saraf. Akibatnya kerusakan pada sel saraf akan
menjadi kerusakan yang ireversibel. 8

TERAPI
Terapi Non Farmakologis
Terapi nyeri juga perlu dengan intervensi terapi fisik dan okupasional. Tenaga medis harus menjamin
keamanan dan efektivitas dari terapi non farmakologi ini. Hal ini sangat penting karena penyebab dari nyeri sangat

178
kompleks. Psikolog juga berperan dalam terapi pada pasien yang mengalami nyeri neuropatik. Psikolog
menyediakan jasa edukasi, konseling masalah kejiwaan pasien. Karena pada pasien dengan nyeri akan memiliki
tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi. Terapi komprehensif selain terapi farmakologi akan semakin
meningkatkan peluang kesembuhan pasien.4

Terapi Farmakologis
Pendekatan klinis yang terbaik untuk melakukan terapi farmakologis harus didasarkan pada mekanisme yang
menyebabkan lesi neuropatik. Walaupun monoterapi merupakan pendekatan yang ideal tetapi polifarmasi yang
rasional juga sering dilakukan. Kombinasi obat yang rasional dengan menggunakan obat yang bekerja pada
mekanisme yang berbeda sehingga dapat saling memperkuat efek dari obat dalam menghilangkan nyeri. Dua dasar
pengobatan yang harus dipertimbangkan adalah pengobatan profilaktik (digunakan sehari-hari) untuk mencegah
terjadinya nyeri dan pengobatan abortif (digunakan jika perlu) pada saat terjadi nyeri atau munculnya gejala. 4

Antidepresan
Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk terapi nyeri neuropati adalah golongan
trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin, maprotilin, desipramin. Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA)
terutama mampu memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik menghambat
pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor presineptik. Disamping itu, anti depresan
trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor 5-HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu
meningkatkan konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi
norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan
jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi. Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini
akan mengurangi siklik adenosum monofosfat dan mengurangi pembukaan kanal Natrium. Penurunan kanal
natrium yang membuka berarti depolarisasi menurun dan nyeri berkurang. 6

Anti Konvulsan
Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang dimasukkan kedalam satu golongan yang
mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Seperti
diketahui nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf. Nyeri neuropati dipicu oleh
hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor NMDA
dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan nyeri
neuropati adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok kanal Natrium atau pencegahan
sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi. 4

• Karbamasepin dan Okskarbasepin


Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels (VSSC). Efek ini mampu
mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari neuron. Okskarbasepin merupakan anti konvulsan yang struktur
kimianya mirip karbamasepin maupun amitriptilin. Dari berbagai uji coba klinik, pengobatan dengan
okskarbasepin pada berbagai jenis nyeri neuropati menunjukkan hasil yang memuaskan, sama, atau sedikit diatas
karbamazepin, hanya saja okskarbasepin mempunyai efek samping yang minimal. 4

179
• Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui VSCC, merubah atau mengurangi
pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus
untuk nyeri neuropati penderita HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari. Hasilnya, efektivitas
lamotrigin lebih baik dari plasebo, tetapi 11 dari 20 penderita dilakukan penghentian obat karena efek samping.
Efek samping utama lamotrigin adalah skin rash, terutama bila dosis ditingkatkan dengan cepat. 4
• Gabapentin
Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup populer mengingat efek yang cukup
baik dengan efek samping minimal. Khusus mengenai gabapentin, telah banyak publikasi mengenai obat ini
diantaranya untuk nyeri neuropati diabetika, nyeri pasca herpes, nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi HIV,
nyeri neuropati sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati deafferentasi. Gabapentin cukup efektif dalam
mengurangi intensitas nyeri pada nyeri neuropati yang disebabkan oleh neuropati diabetik, neuralgia pasca herpes,
sklerosis multipel dan lainnya. Dalochio, Nicholson mengatakan bahwa gabapentin dapat digunakan sebagai
terapi berbagai jenis neuropati sesuai denngan kemampuan gabapentin yang dapat masuk kedalam sel untuk
berinteraksi dengan reseptor α2β yang merupakan subunit dari Ca2+ channel. 4

Studi saat ini menunjukkan bahwa plester lidocaine 5% dapat efektif dalam mengurangi allodinia dan nyeri
pada pasien neuralgia pasca herpes. Reseptor antagonis NMDA seperti ketamin memiliki peran yang penting pada
pasien yang tidak berespon pada analgesic. Krim capsaicin topical mengurangi nyeri neuropatik pada penderita
diabetic dan pasca operasi.
Tabel Obat Nyeri Neuropatik Sesuai Gejala
Symptom Drug
Allodynia Gabapentin
Ketamine IV or IM
Lidocaine IV Morphine IV
Tramadol
Burning pain Amitriptyline
Gabapentin
Phenytoin IV
Hyperalgesia EMLA cream
Gabapentin
Lidocaine IV
Shooting, lancinating pain Amitriptyline
Carbamazepine
Gabapentin
Imipramine
Lamotrigine

180
Phenytoin IV
Venlafaxine

Tabel Obat Nyeri Neuropatik Berdasarkan Golongan


Drug Total daily dose Frequency
Antikonvulsan
Carbamazepine 100-1000 mg/d bid to qid
Gabapentin 900-3600 mg/d Tid
Lamotrigine 150-500 mg/d Bid
Antidepresan
Amitriptyline 10-200 mg/d Qd
Imipramine 10-200 mg/d qd to bid
Venlafaxine 37.5-340 mg/d bid to tid
Lain-lain
Lidocaine 0.25-2 mg/kg/d Continuous IV
Ketamine 0.25-0.5 mg/kg/ q3h(IV or IM)

PROGNOSIS

Secara umum prognosis nyeri neuropatik lebih buruk dibandingkan dengan nyeri nosiseptif. Nyeri
neuropatik lebih sulit diobati jika dibandingkan dengan nyeri nosiseptif. Prognosis dari nyeri neuropatik
tergantung dari seberapa berat kerusakan saraf dan penyebab dari nyeri neuropatik tersebut. Prognosis nyeri
neuropatik semakin buruk jika kerusakan sudah bersifat ireversibel.

181
ALGORITME

182
183
184
RINGKASAN
Nyeri neuropatik telah didefinisikan oleh International Association for Study of Pain (IASP) sebagai ”Nyeri
yang dicetuskan atau disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi dari sistem saraf". 1 Nyeri neuropatik diperkirakan
telah dialami oleh 7% penduduk di seluruh dunia. Diperkirakan 15-20 % penduduk Australia menderita nyeri
kronis (17% laki-laki dan 20% wanita).1 Di Amerika Serikat dengan total penduduk 270.000.000 jiwa,
diperkirakan penderita nyeri neuropatik sebanyak 3.781.000 orang atau sebanyak 1,4 %. 3
Nyeri neuropatik yang berhubungan dengan diabetes melitus dan herpes zooster adalah yang paling sering
dipelajari. Walaupun dua penyakit ini bukan merupakan penyebab terseringnya nyeri neuropatik. Radikulopatik
yang merupakan penyebab dari lower back pain juga merupakan nyeri saraf perifer tersering.
Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi perifer, ectopic discharge,
sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium
terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang
bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan.6
Ada berbagai macam klasifikasi untuk nyeri neuropatik. Ada yang menggolongkannya atas lokasi nyeri
neuropatik, apakah simetris atau tidak. Nyeri yang lokasinya simetris adalah nyeri neuropatik pada diabetes
mellitus. Nyeri neuropatik yang lokasinya asimetris adalah neuralgia kranial, carpal tunnel syndrome, HNP.3 Ada
juga yang menggolongkan nyeri neuropatik berdasarkan gejala dan manifestasi klinis, yaitu nyeri dengan stimulus
(stimulus evoked pain) seperti hiperalgesia, baik mekanik maupun termal dan Allodinia, baik mekanik maupun
termal serta nyeri tanpa stimulus atau nyeri spontan (stimulus independent pain) seperti parestesia, disestesia,
continous burning pain (panas seperti terbakar terus menerus), shooting (seperti hentakan) atau Lancinating
(seperti tikaman).
Sebuah anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik, dan penggunaan tes yang benar sepenuhnya akan dapat
menentukan dugaan mekanisme yang terlibat dalam sindrom nyeri neuropatik. Riwayat sakit dan pembedahan
sebelumnya adalah langkah pertama yang penting dalam memahami etiologi nyeri. Pemeriksaan fisik yang
lengkap memungkinkan dokter untuk mengintegrasikan gejala pasien yang muncul dan untuk mulai menentukan
lokasi elemen saraf yang terlibat. Penting sekali untuk mengidentifikasi lokasi, kualitas, intensitas, dan pola nyeri.
Pemeriksaan neurologis menggunakan bedside tes sederhana untuk menilai pasien ada tidaknya stimulus tertentu
yang membangkitkan nyeri. Perhatian khusus harus diberikan pada pemeriksaan sensorik, terutama hypoesthesia
(mati rasa) atau hyperesthesia (hyperpathia atau allodynia atau keduanya). Perbedaan antara allodynia mekanik
dan termal mungkin memiliki relevansi klinis. 4
Ada beberapa cara dari terapi nyeri neuropatik termasuk farmakoterapi dan non farmakoterapi. Terapi non
farmakologis antara lain TENS, CNS stimulation, stimulasi saraf tepi, akupunktur, terapi fisik, psikoterapi, dan
lain-lain. Terapi farmakologis nyeri neuropatik dengan obat golongan antidepresan, antikonvulsan dan bisa juga
dengan antagonis dari NMDA.

185
REFERENSI
1. Australian Pain Society. 2008. Evidence-based Recommendations for the Pharmacological
Management of Neuropathic Pain. Australia
2. Schneider, John F. 2006. Neuropathic Pain. Resolution 528, A-05
3. Meliala, Lucas. 2001. Nyeri Neuropatik : Mekanisme Simptom sebagai Dasar Farmakoterapi. Berkala
Neurosains.
4. Harden, Norman. 2006. Neuropathic Pain. McGraw Hill.
5. Hartwig, Mary. 2006. Nyeri. Patofisiologi. Jakarta. EGC
6. Woolf, Clifford. 1999. Neuropathic pain: aetiology, symptoms, mechanisms, and management.
7. Gruccu, C. 2003. EFNS guidelines on neuropathic pain assessment. European Journal of Neurology.
11: 153–162
8. Nicholson, Bruce. 2006. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain. The American
Journal of Managed Care.
9. NICE. 2010. The pharmacological management of neuropathic pain in adults in non-specialist
settings. www.nice.org.uk/guidance/CG96. London
10. LMSG. 2009. Guideline for Treating Patients with Neuropathic Pain. Leicester.

186
TRIGEMINAL NEURALGIA

DEFINISI/BATASAN

Neuralgia trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang. Disebut
trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi padasatu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf trigeminal,
saraf yang cukup besar ini terletak di otak dan membawa sensasi dari wajah ke otak. Rasa nyeri disebabkan oleh
terganggunya fungsi saraf trigeminal sesuai dengan daerah distribusi persarafan salah satu cabang saraf trigeminal
yang diakibatkan oleh pelbagai penyebab. Serangan neuralgia trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa detik
sampai seminit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain
merasakan nyeri saat kena setrum listrik. Biasanya pada satu sis rahang atau pipi. Pada beberapa penderita, mata,
telinga, atau langit-langit mulut dapat pula terserang. Pada kebanyakan penderita, nyeri berkurang saat malam
hari, atau pada saat penderita berbaring.7

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi penyakit ini diperkirakan sekitar 107.5 pada pria dan 200.2 pada wanita per satu juta populasi.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah dibandingkan dengan sis kiri dengan rasio 3:2, dan
merupakan penyakit pada kelompok usia dewasa decade enam sampai tujuh. Hanya 10% kasus yang terjadi
sebelum usia empat puluh tahun. Sumber lain menyebutkan, penyakit ini lebih umum dijumpai pada mereka yang
berusia di atas 50 tahun, meskipun terdapat pula penderita berusia muda dan anak-anak. Neuralgia trigeminal
merupakan penyakit yang relative jarang, tetapi sangat menganggu kenyamanan hidup penderita, namun
sebenarnya pemberian obat untuk mengatasi trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini akan

187
memblokade sinyal nyeri yang dikirm ke otak, sehingga nyeri berkurang, hanya saja banyak orang yang tidak
mengetahui dan menyalah artikan neuralgia trigeminal sebagai nyeri yang ditimbulkan karena kelainan pada gigi,
sehingga pengobatan yang dilakukan tidaklah tuntas. 5

ETIOLOGI

Mekanisme patofisiologis yang mendasari neuralgia trigeminal belum begitu pasti, walau sudah sangat
banyak penelitian dilakukan. Kesimpulan Wilkins, semua teori tentang mekanisme harus konsisten dengan :

1. Sifat nyeri yang paroksismal, dengan interval bebas nyeri yang lama.

2. Umumnya ada stimulus trigger yang dibawa melalui aferen berdiameter besar (bukan serabut nyeri) dan
sering melalui divisi saraf kelima diluar divisi untuk nyeri.

3. Kenyataan bahwa suatu lesi kecil atau parsial pada ganglion gasserian atau akar saraf sering
menghilangkan nyeri.

4. Terjadinya neuralgia trigeminal pada pasien yang mempunyai kelainan demielinasi sentral.

Kenyataan ini tampaknya memastikan bahwa etiologinya adalah sentral dibandingkan saraf tepi. Paroksime
nyeri analog dengan bangkitan dan yang menarik adalah sering dapat dikontrol dengan obat-obatan anti kejang
(karbamazepin dan fenitoin). Tampaknya sangat mungkin bahwa serangan nyeri mungkin menunjukan suatu
cetusan aberrant dari aktivitas neuronal yang mungkin dimulai dengan memasukkan input melalui saraf kelima,
berasal dari sepanjang traktus sentral saraf kelima.

PATOFISIOLOGI

Neuralgia trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang melibatkan system persarafan trigeminus
ipsilateral. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu
arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangakal tempat
keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna
pada sudut serebelo-pontine seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma akustik. Kira-kira 2-3%
2
kasus karena sklerosis multiple. Ada sebahagian kasus yang tidak diketahui sebabnya.

188
Menurut Fromm, neuralgia trigeminal bisa mempunyai penyebab perifer maupun sentral. Sebagai contoh
diketemukan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini, apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada
inhibisi segmental pada nucleus/intisaraf ini yang menimbulkan produksi ectopic action potential pada saraf
trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur
sensorik yang hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri. Aksi potensial
antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri trigeminal yang paroksismal. Stimulus yang
6
sederhana pada daerah pencetus mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.

PEMBAGIAN/KLASIFIKASI

Neuralgia trigeminal (NT) dapat dibedakan menjadi :

1. NT tipikal

2. NT atipikal

3. NT karena sklerosis multiple

4. NT sekunder

5. NT paska trauma

6. Failed neuralgia trigeminal.

Bentuk-bentuk neuralgia ini harus dibedakan dari nyeri wajah idiopatik (atipikal) serta kelainan lain yang
menyebabkan nyeri kranio-fasial. 5

Neuralgia trigeminal (nyeri


Karekteristik Nyeri atipikal facial
tipikal)
Prevalansi Jarang Sering

Lokasi utama Trigeminal area Muka, hidung, telinga

Durasi nyeri Beberapa saat – dua minit Berjam-jam-berhari-hari

Tipe nyeri Stoma listrik dan ditusuk tusuk Tumpul dan berdenyut

Intensitas nyeri Berat Ringan – sedang

Faktor provokasi sentuhan, cuci muka, shaving, Stress dan sejuk


makan, ngomong
Simptom asosiasi Tidah ada Kelainan sensoris

TANDA DAN GEJALA KLINIS

Serangan neuralgia trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai seminit. Beberapa orang
merasakn sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakn nyeri yang cukup kerap,
berat, seperti nyeri saat kena setrum listrik. Penderita neuralgia trigeminal yang berat menggambarkan rasa

189
sakitnya seperti ditembak, kena pukulan jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya, serangan ini hilang timbul
dan bisa jadi dalam sehari tidak ada rasa sakit. Namun bisa juga sakit menyerang setiap hari atau sepanjang minggu
kemudian, tidak sakit lagi selama beberapa waktu. Neuralgia trigeminal biasanya hanya terasa di satu sisi wajah,
tetapi bisa juga menyebar dengan pola yang lebih luas. Jarang sekali terasa dikedua sisi wajah dalam waktu
bersamaan. Harus bedakan nyeri muka yang disebabkan oleh neuralgia trigeminal dan nyeri muka yang
disebabkan oleh factor factor lain. 5

Sumber : Kenneth W.Lindsay et.al. ‘’Neurology and Neurosurgery Illustrated 4 th edition’’ 2004.

190
PEMERIKSAAN FISIK

Menginspeksi rahang penderita apakah ada deviasi, lihat oklusi gigi atas dan bawah untuk mengeliminasikan
nyeri yang disebabkan oleh caries gigi. Menyuruh pasien membuka dan menutup mulut untuk melihat adakah
deviasi. Menyuruh pasien menggerakkan rahang bawah kiri kanan dengan tekanan untuk melihat adakah
kelumpuhan. Memeriksa reflek masseter. Menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus bilateral (
termasuk reflek kornea). Pemeriksaan sensoris dengan jarum bundle pada daerah dermatome V1-optalmikus, V2-
maksilaris, V3-mandibularis. Menentukan tipe lesi central atau perifer. Menilai fungsi mengunyah (masseter) dan
fungsi pterygoideus (membuka mulut, deviasi dagu). Menilai EOM (kepaniteraan klinik umum-modul
pemeriksaan neurologi) .

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang diagnostic seperti CT-scan kepala atau MRI dilakukan untuk mencari etiologi
primer di daerah posterior atau sudut serebelo-pontine.

DIAGNOSIS

Kunci diagnosis adalah riwayat. Umumnya, pemeriksaan dan tes meurologis misalnya CT scan tak begitu
jelas. Faktor riwayat paling penting adalah, distribusi nyeri dan terjadinya ‘serangan’ nyeri dengan interval bebas
nyeri relative lama. Nyeri mulai pada distrubusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya.
Biasanya serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang dari satu menit), dan dirasakan
pada satu bagian dari saraf trigeminal, misalnya bagian 3 rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terpacing bila
suatu daerah tertentu dirangsang (trigger zone). Trigger zone sering dijumpai sekitar cuping hidung atau sudut
mulut. Yang unik dari trigger zone ini adalah rangsangannya harus beruap sentuhan atau tekanan pada kulit atau
rambut di daerah tersebut. Rangsangan dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan panas, walaupaun
menyebabkan nyeri pasa tempat itu, tidak dapat memancing terjadinya serangan neuralgi. Pemeriksaan neurologis
pada neuralgia trigeminal hamper selalu normal. Suatu varian neuralgia trigeminal yang dinamakan tic convulsive
ditandai dengan kontaksi sesisi dari otot muka yang disertai nyeri yang hebat. Keadaan ini perlu dibedakan dengan
gerak otot muka yang bisa menyertai neuralgia biasa, yang dinamakan tic douloureux. Tic convulsive yang sering
8
nyeri hebat lebih sering di daerah sekitar mata dan lebih sering pada wanita.

DIAGNOSIS BANDING

1. Post herpetic neuralgia – nyeri hebat, unilateral biasanya cabanng 1, kontinu, diprovokasi oleh raba
ringan, tidak ada factor yang dapat mengurangkan nyeri, terdapat gangguan sensoris dan berasosiasi
dengan allodyna.

2. Cluster headache – sakit kepala yang hebat seperti menusuk dan rasa bakar, unilateral, seringkali malam
hari, mata merah, hidung buntu, muka merah, dan kebanyakan pada orang muda.

3. Sinusitis – rasa sakit sedang dan berdenyut, sering timbul nasal discharge, memberat dengan gerakan,
nyeri kontinu dan dekompresi akan mengurangi sakitnya.

191
4. Migraine – nyeri hebat dan berdenyut, unilateral, sembuh sendiri, disertai aura, sering dapat
mengidentifikasi factor pencetus dan nyeri berlangsung beberapa jam. 8

KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering adalah disebabkan oleh penggunaan obat anti-konvulsi dalam jangka waktu
yang lama yang mengakibatkan toksisitas dan efek samping yang tidak diinginkan. Selain itu penggunaan obat
anti-konvulsi yang berlebihan untuk efikasi yang maksimal akan menyebabkan reaksi adverse dari obat tersebut.
Selain ini, kegagalan mendiagnosa suatu tumor otak atau aplasia sum sum tulang akan menyebabkan efek yang
membahayakan dengan penggunaan obat carbamazepin. Ada juga karena kegagalan operasi dalam kasus
neuralgia trigeminal yang kronis. Seperti ulserasi kornea disebabkan oleh kegangguan tropis dari diaferentsasi
saraf. 4

TERAPI

TERAPI MEDIS

Dasar penggunaan obat pada terapi neuralgia trigeminal dan meuralgia saraf lain adalah kemampuan obat
untuk menghentikan hantaran impuls aferen yang menimbulkan serangan nyeri.

Carbamazepine

Obat yang hingga kini dianggap merupakan pilihan utama adalah carbamazepine. Bila efektif maka obat ini
sudah mulai tamapk hasilnya setelah 4 hingga 24 jam pemberian, bahkan secara cukup dramatis. Dosis awal

192
adalah 3x100 hingga 200mg. Bila toleransi pasien terhadap obat ini baik, terapi dilanjutkan hingga beberapa
minggu atau bulan. Dosisnya hendaknya disesuaikan dengan respons pengurangan nyeri yang dirasakan oleh
pasien. Dosis maksimal adalah 1200mg/hari. Karena diketahui bahwa pasien bisa mengalami remisi maka dosis
dan lama pengobatan bisa disesuaikan. Bila terapa berhasil dan pemantauan dari efek sampingnya negative, maka
obat ini sebaiknya diteruskan hingga sedikitnya 6 bulan sebelum dicoba untuk dikurangi. Bila nyeri menetap harus
periksa kadar obat dalam darah. Jika kadar sudah mencukupi tetapi nyeri masih ada, jadi bisa pertimbangkan
untuk menambahkan obat lain, misalnya baclofen. Dosis awal 10mg/hari yang bertahap tahap bisa dinaikkan
hingga 60 hingga 80 mg/hari.

Gabapentin

Gabapentin adalah suatu antikonvulsan baru yang terbukti dari beberapa uji coba sebagai obat anti nyeri pada
nyeri neuropatik. Dosis awal 300mg, malam hari, selama 2 hari. Bila tidak terjadi efek samping yang menggangu
seperti pusing, ngantuk, gatal, dan binggung, obat dinaikkan dosisnya setiap 2 hari dengan 300mg hingga nyeri
hilang atau hingga tercapai dosis 1800mg/hari. Obat ini meningkatkan sintesis GABA dan menghambat degradasi
GABA. Maka pemberian obat ini dapat meningkatkan kadar GABA di dalam otak. 3

TERAPI NON-MEDIS

Pilihan terapi non-medis (bedah) dipikirkan bilamana kombinasi lebih dari dua obat
belum membawa hasil seperti yang diharapkan. Microvascular Decompression Dasar dari prosedur ini adalah
anggapan bahwa adanya penekanan vascular merupakan penyebab semua keluhan ini. Neuralgia adalah suatu
compressivecranial. Stereotactic radiosurgeryde nga n gamma knife Merupakan perkembangan yang masih
relatif baru. Gamma Knife merupakan alat yang menggunakan stereotactic radiosurgery. Tekniknya dengan cara
memfokuskan sinar Gamma sehingga berlaku seperti prosedur bedah, namun tanpa membuka kranium. Gamma
Knife pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Lars Leksell dari Stockholm, Swedia pada 1950. Cara ini hanya
memerlukan anestesi local dan hasilnya konon cukup baik. Sekitar 80-90% dari pasien dapat mengharapkan
kesembuhan setelah 3-6 bulan setelah terapi. Cara kerja terapi adalah lewat desentisisasi pada saraf trigeminal
setelah radiasi yang ditujukan pada saraf ini dengan bantuan komputer. 1

193
Sumber : Kenneth W.Lindsay et.al. ‘’Neurology and Neurosurgery Illustrated 4 th edition’’ 2004.

PROGNOSIS
Prognosis untuk penyembuhan neuralgia trigeminal adalah 80% setelah terapi dengan obat sahaja. Tetapi
dalam kasus dimana obat tidak bisa mengurangkan nyeri fasial, jadi harus lakukan terapi alternative yang lain
seperti operasi untuk membaiki saraf atau pembuluh yang terkena. 6

194
ALGORITME 5

Severe unilateral intermittent lancinating facial pain?

-Pain triggered by known trigger factors e.g wind,


cold, having, cleaning teeth
-Patient or doctor demonstrates trigger zones
-Check for neurological symptoms or signs

CHECK FOR NEUROLOGICAL SYMPTOMS OR SIGNS

Refer for MRI scan


• State if neurological
Abnormal scan Normal scan
symptoms and/or
considering vascular
loop in
Refer to Probably idiopathic
cerebellopontine
Neurosurgery angle. trigeminal neuralgia
• State if Multiple Sclerosis
is suspected

Drugs used in the treatment plan may include the following:


• Carbamazepine
• Lamotrigine
• Gabapentin
• Pregabalin (see drug table)
• TCA e.g. amitriptyline, nortriptyline
• Baclofen (maybe in combination with TCA)

IF INEFFECTIVE AT ADEQUATE DOSAGE OR IN


COMBINATION, DRUGS SHOULD BE STOPPED.
Prescribers should be fully aware of drug pharmacology, side
effects & interactions.

RINGKASAN
Trigeminal neuralgia merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang, disebut
Trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal.
Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf trigeminal sesuai dengan daerah distribusi persarafan salah
satu cabang saraf trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang
menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring
dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak. Kunci diagnosis adalah
riwayat. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi nyeri dan terjadinya 'serangan' nyeri dengan interval bebas
nyeri relatif lama.

195
Nyeri mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya. Beberapa
kasus mulai pada divisi 1. Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang
dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf trigeminal, misalnya bagian rahang atau sekitar pipi.
Nyeri seringkali terpancing bila suatu daerah tertentu dirangsang (trigger area atau trigger zone). Trigger zones
sering dijumpai di sekitar cuping hidung atau sudut mulut.
Obat untuk mengatasi Trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini akan memblokade sinyal nyeri
yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang. Bila ada efek samping, obat lain bisa digunakan sesuai petunjuk
dokter tentunya. Beberapa obat yang biasa diresepkan antara lain Carbamazepine (Tegretol, Carbatrol), Baclofen.
Ada pula obat Phenytoin (Dilantin, Phenytek), atau Oxcarbazepine (Trileptal). Dokter mungkin akan memberi
Lamotrignine (Lamictal) atau Gabapentin (Neurontin). Pasien Trigeminal neuralgia yang tidak cocok dengan
obat-obatan bisa memilih tindakan operasi.

196
REFERENSI

1. Azar M, Yahyavi ST, Bitaraf MA, Gazik FK, Allahverdi M, Shahbazi S, et.al:Gamma knife surgery
in patients with trigeminal neuralgia : quality of life, outcomes and complications. Clin Neurology
Neurosurgery 111:174-178, 2009.
2. Bennetto L, Patel NK, Fuller G. Trigeminal neuralgia and it’s management. BMJ 2007 jan
27:334:201-205.
3. Cheshire, W.P (2002) Defining the role of gabapentine in the treatment of trigeminal neuralgia : a
retrospective study. Journal of pain 3(2), 137-142.
4. Dedhia HD, Tordoff S, Sivakumar G. Trigeminal neuralgia-pathophysiology and management
Journal Anaesthesia Clinical Pharmacology 2009;25(1):3-8.
5. Finnerup NB, Otto M, McQuay HJ, et al. Algorithm for Neuropathic Pain treatment: An evidence
based proposal. Pain 2005; 118:289-305.
6. Goetz CG, ed. Textbook of Clinical Neurology. 3rd ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders; 2007.
7. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th edition. Publisher McGraw-Hill. Philadelphia.2008.
8. Nurmikko TJ. Eldringe PR. Trigeminal Neuralgia-pathophysiology, diagnosis and current treatment.
BRJ anesth 2007;87:117-32.
9. Suhardi, D. 2007. ‘’Trigeminal Neuralgia, Rasa Nyeri di Wajah’’. Dalam http://www.harian-
global.com/.
10. Zakrzewska JM. Diagnosis and differential diagnosis of Trigeminal Neuralgia. Clin J Pain
2006;18:14-21.
11. Guyton, AC, Hall JE. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC.

197
198

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai