Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH ANTROPOLOGI

“TARAWANGSANG RANCAKALONG SUMEDANG”

NAMA:M.MAULIDIZ ZIKRI{03303921}

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

INSTITUT SENI INDONESIA PADANG PANJANG

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

PRODI SENI MUSIK

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Tarawangsa adalah jenis kesenian masyarakat agraris tradisional di Jawa


Barat secara etimologi,Tarawangsa berasal dari tiga gabungan kata yakni Ta – Ra –
Wangsa. Ta merupakan akronim dari kata ‘Meta’ berasal dari bahasa Sunda yang
berarti pergerakan, lalu ‘Ra’ berarti api yang agung sama dengan arti Ra dalam
bahasa Mesir analogi api yang agung adalah matahari. Dan yang terakhir ‘Wangsa’
sinonim dari kata Bangsa, manusia yang menempati satu wilayah dengan aturan
yang mengikatnya. Jadi Ta-Ra-Wangsa berarti ‘kisah kehidupan bangsa matahari’.
Dengan kata lain, Tarawangsa merupakan kesenian penyambutan bagi hasil panen
padi tumbuhan yang sangat bergantung pada matahari sebagai simbol rasa syukur
terhadap Tuhan YME. Tarawangsa merupakan ensemble kordofon (alat musik
dawai yang sumber bunyinya berupa ruang resonator) dua alat musik. Yang satu
dinamakan tarawangsa itu sendiri, dimainkan dengan cara digesek dan yang
satunya dinamakan jentreng dimainkan dengan cara dipetik.

Kata tarawangsa juga termuat dalam kitab-kitab kuno abad ke-10 yang
ditemukan di Bali. Kata tarawangsa dapat ditemukan dalam literatur tersebut
dengan kata lain “trewasa” dan “trewangsah”. Bahkan pada masa itu kesenian ini
sudah hidup pada masyarakat Sunda, Jawa dan Bali. Namun seiring perkembangan
jaman, kini bekas maupun artefak dari alat musik ini sudah tidak diketemukan lagi,
Bahkan masyarakatnya pun sudah tidak lagi mengenal alat musik tersebut. (Didi
Wiardi: 2008 dalam Ahmad, 19 Februari 2009), terutama di wilayah Jawa maupun
Bali. Argumen tersebut muncul dari catatan Jaap Kunst dalam bukunya Hindu-
Javanese Musical Instruments (1968).
sumber lain menyebutkan bahwa kata tarawangsa juga ditemukan dari kitab kuno
Sewaka Darma yang menyebutkan bahwa tarawangsa adalah alat musik.
Tarawangsa merupakan perkembangan dari alat musik rebab. Rebab muncul di
tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari
alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan
India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab
jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada
rebab (Kurnia, 2003).

Dilhat dari segi fungsinya, seni Tarawangsa selalu dipertunjukan dalam siklus
penanaman padi, yang dalam masyarakat agraris tradisional selalu diidentikan
dengan sosok Nyai Sri Pohaci/Nyi Pohaci Sanghyang Dangdayang Asri, Dewi Asri
(Dewi Sri) sebagai dewi padinya masyarakat Sunda.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Didi Wiardi (alm.) dan Asep
Saipul Ahmad pada 2008, kesenian Tarawangsa ternyata ditemukan pula di daerah
Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya. Dan satu
di Kabupaten Lebak Provinsi Banten tepatnya pada masyarakat Baduy. Walau setiap
tempat berbeda secara tekstual (Ahmad, 19 Februari 2009). Khusus untuk di
Kabupaten Bandung, kesenian Tarawangsa tepatnya terdapat di daerah Soreang
dengan nama Tarawangsa Pangguyangan Soreang. Hal ini diketahui berdasarkan
maestro tarawangsa yang masih terdapat di daerah tersebut yaitu, Aki Oyo sebagai
penggesek tarawangsa dan Emid (45 tahun) sebagai pemetik kacapi yang
merupakan anak kandungnya sendiri (Ahmad, 19 Februari 2009).

Pertunjukan tarawangsa di setiap wilayah memiliki perbedaan bentuk dan struktur.


Pertunjukan tarawangsa di wilayah Rancakalong, pertunjukannya tidak dilengkapi
oleh vokal, hanya dua instrumen saja, yaitu jentreng dan tarawangsa, sedangkan
seni tarawangsa di wilayah Cibalong Tasikmalaya, dipengkapi dengan instrumen
lainnya, seperti calung rantay,
BAB II

PEMBAHASAN

Sumedang-Tarawangsa instrumen gesek yang berdawai dua yang terbuat


dari kayu atau disebut Rebab. Dalam penyajiannya tarawangsa selalu diiringi
dengan sebuah kacapi, kacapi adalah instumen yang berdawai tujuh yang digunakan
sebagai pengiring, Tarawangsa di Rancakalong lazim disebut Jentreng. Awal
mulanya Tarawangsa di Rancakalong hanya digunakan untuk acara syukuran Panen
atau di Rancakalong disebut Rubuh Jarami Entep Pare. Sebagaimana telah
dikatakan, masyarakat Sunda dengan latar belakang kehidupannya sebagai petani,
kesenian ini diciptakan dan digunakan untuk melengkapi upacara yang berkaitan
dengan kegiatan pertanian.

Awal mulanya Tarawangsa di Rancakalong hanya digunakan untuk acara


syukuran Panen atau di Rancakalong disebut Rubuh Jarami Entep Pare.
Sebagaimana telah dikatakan, masyarakat Sunda dengan latar belakang
kehidupannya sebagai petani, kesenian ini diciptakan dan digunakan untuk
melengkapi upacara yang berkaitan dengan kegiatan pertanian.

Dalam setiap upacara, tarawangsa menyandang peran vital sebagai pengiring


upacara ritual untuk medatangkan Dewi Sri atau disebut juga Nyi Pohaci serta
arwah-arwah leluhur (karuhun).

Di Tarawangsa sendiri 3 susunan pokok acara yang wajib ada yaitu


Ngalungsurkeun atau disebut proses memulai acara dengan 7 orang peribuan yang
menurunkan pangkonan (berbagai macam alat make up dan gabah) dan
ngalungsurkeun ini dimulai dari jam 21.00 wib sampai dengan jam 00.00 wib. 
Kemudian dilanjutkan dengan acara selanjutnya yaitu Nyumpingkeun atau disebut
proses menjemput Dewi Sri atau Nyi Pohaci disini 7 orang peribuan membentuk
formasi lingkaran dengan di dalam lingkaran tersebut ada satu orang ibu-ibu
biasanya yang mempunyai maksud dan dimulai dari 02.30 wib sampai dengan jam
03.00 langsung di lanjutkan ke acara terakhir yaitu Nginebkeun atau disebut proses
dimana pangkonan yang di acara sebelumnya yaitu ngalungsurkeun di kebalikan ke
tempat semula.

Adapun lagu-lagu yang terdapat dalam Tarawangsa yaitu kurang lebih 42 lagu
diantaranya adalah Saur, Pangepung, Limbangan, Pamapag, Jemplang, Ayun Ambing,
Panimbang, Engket-engket, Mataraman, Jemplang Panimbang, Degung, Karatonan,
Guar Bumi, Pagelaran dll. Dan 7 lagu utama yang dimainkan tanpa henti di awal
acara adalah Saur, Pangepung, Pamapag, Mataraman, Engket-engket, Ayun Ambing,
dan Jemplang. 

Kemudian juga ada beberapa peralatan yang wajib ada dalam Tarawangsa ini yaitu
Satu Set Alat Tarawangsa yaitu Kacapi dan Rebab dengan ketentuan Kacapi
tingginya 1 m dan Lebarnya 17 cm, begitupun rebab ukurannya sama dan dua alat
tersebut terbuat dari kayu Jengkol. 

Kemudian Kukus/Parukuyan, Pakaian Sesepuh Laki-laki yaitu Totopong dan


Pangsi, Pakaian Peribuan yaitu Kebaya, Samping, dan Sanggul, Keris, Selendang 5
warna, 2 buah Gelang Kuningan dan 2 buah koin, 1 pasang Topeng yang di
pasangkan dengan 2 geugeus Padi Ranggeuyan dan di bentuk menjadi Dewi Sri dan
Dewa Wisnu (Nu geulis dan Nu kasep), serta yang terakhir adalah Hasil bumi atau
sesaji biasanya sesaji di Rancakalong sangat Kumplit yaitu rurujakan (rujak nanas,
rujak kelapa, rujak roti, rujak bunga ros dan sebagainya), selain rurujakan sesaji
yang lain adalah bubur merah (bubur yang dicampur dengan gula merah), bubur
putih (bubur yang polos hanya menggunakan garam), duwegan (kelapa yang masih
muda), seupaheun (daun sirih, kapol, gambir, bah pinang, dan cengkeh), rokok, bako
tampan, cerutu, bakakak( seekor ayam utuh yang di bakar, dan dalemanya di pepes),
puncak manik ( nasi yang dibungkus daun pisang di atasnya di letakkan sebutir
telur rebus), kopi pahit dan manis, the manis dan pahit, air putih, berbagai buah-
buahan, dan berbagai makanan ringan yang terbuat dari beras atau ketan, seperti
Kupat (beras yang di bungkus daun kelapa lalu di kukus), leupeut (semacam
lontong), tangtangagin (semacam lontong yang dibentuk segitiga), papais tipung
merah dan putih ( sama beras di bungkus daun pisang namun memakai gula dan
tidak), gulampok (tape ketan di bungkus daun jambu), wajit, opak, ranginang,
kelepon, kolontong, angling, dan lain-lain.

Sementara, Nalakasa adalah acara terbesar di Rancakalong, seperti halnya


bubur suro seluruh rangkaian acara ngalaksa juga di iringi oleh tarawangsa. Maka
para pemain Tarwasngsa memainkan Tarwangsa secara bergliran siang dan malam
tanpa henti selama seminggu. Dan Masyarakat Rancakalong Pun terus menari
(Ngibing) selama seminggu siang malam (kecuali waktu sembahyang lima kali)
puncak acara adalah pembuatan laksa yang dilaksanakan di hari terakhir, laksa
adalah beras merah dan putih yang telah di basahi air combrang selam beberapa
hari yang ditumbuk menjadi tepung dan kemudian dibungkus dengan daun congkok
lalu di rebus.

 Menurut Tedi Kurniadi Seniman Tarawangsa asal Sumedang "sekarang


Tarawangsa perkembangannya sudah pesat, kalau dulu hanya digunakan dalam
ritual panen oleh petani sekarang berkembang yaitu untuk acara lain seperti
Pernikahan, Khitanan, dan Pagelaran/pentas, dan musiknya yang dulu itu masih
musik buhun sekarang sudah ada yang dikolaborasikan menjadi lebih modern. Lalu
pada tahun 2017 Tarawangsa telah mendapat Penghargaan yaitu Rekor Muri degan
jumlah 20 pasang Panabeuh Tarawangsa yang di adakan di Gedung Negara
Kabupaten Sumedang"
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN :

TARAWANGSANG RANCAKALONG SUMEDANG

dulu hanya digunakan dalam ritual panen oleh petani sekarang berkembang yaitu
untuk acara lain seperti Pernikahan, Khitanan, dan Pagelaran/pentas, dan musiknya
yang dulu itu masih musik buhun sekarang sudah ada yang dikolaborasikan menjadi
lebih modern.

Anda mungkin juga menyukai