Tari Kabasaran adalah Tarian adat yang kebanyakan dibawakan oleh kamu pria,
lengkap dengan senjata tajam berupa pedang atau tombak, Tarian kabasaran
sangat identik dengan gerakan yang meniru perkelahian ayam jantan. Menurut
salah satu tokoh kebudayaan dari Minahasa, Jessy Wenas, Tarian Kabasaran
adalah tarian adat untuk perang atau tarian untuk mengawal salah satu tokoh adat
penting di Minahasa.
Tari Kabasaran sebenarnya merupakan tarian sakral yang ditarikan secara turun
temurun oleh generasi penari Kabasaran. Jika dalam upacara adat Minahasa.
Kabasaran adalah prajurit adat yang memiliki otoritas penuh dalam jalannya
sebuah upacara adat, mereka dulunya bisa membunuh atau mengusir si jahat yang
mengganggu upacara.
Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan
jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua
langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan. Setiap penari memiliki satu senjata
tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu, karena penari
Kabasaran adalah penari yang turun temurun.
Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul
seperti Gong, Tambur atau Kolintang disebut “Pa ‘ Wasalen” dan para penarinya
disebut Kawasalan, yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan
yang sedang bertarung, hampir mirip dengan tarian Cakalele dari Maluku.
Selanjutnya, hasil penelitian (tesis) yang disusun oleh Sunarmi (2004) dengan
judul “Tari Maengket: Perspektif Pemikiran di Balik Ritual Pergaulan di
Minahasa” pada Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Seni (STSI) Surakarta.
Di dalam tesis ini, Sunarmi menyatakan bahwa TM merupakan salah satu bentuk
tari pergaulan rakyat, yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi secara
berkelompok yang penyajiannya dilaksanakan dengan paduan gerak, nyanyi
sastra serta diiringi alat musik tambor. Penyajian terdiri dari tiga babak yang
menjadi tema serta disajikan sekaligus menjadi satu bentuk sajian berurutan. TM
merupakan ritus yang ada simbol-simbolnya sebagai pesan, sebagai penampakan
dari tiga lingkaran hidup manusia, yaitu pangan, papan, dan kembang biak. Di
dalamnya terkandung dua hal dalam komunikasinya, yaitu secara vertikal kepada
yang kuasa (dunia atas) dan horisontal sebagai tata kekerabatan hingga
membentuk suasana kejiwaan masyarakat Minahasa. Secara spasial penelitian ini
terfokus pada salah satu suku(bangsa) di Minahasa yaitu etnik Tombulu,
sedangkan fokus tematis pada latar belakang pemikiran-pemikiran yang menjadi
dasar konseptual sehingga membentuk proposisi artistik dalam penyajiannya.
Tesis ini menggunakan pendekatan fenomenologi, etno-art, hermeneutik, dan
simbolik, dengan sudut pandang (paradigma) kajian seni pertunjukan.
Selanjutnya karya Suoth (2005) dalam bentuk laporan penelitian dengan judul
“Kajian Nilai Budaya Tarian Maengket” dari Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado, menyatakan
bahwa TM telah menjadi alat hiburan dan menjadi budaya populer di kampung-
kampung di Minahasa dalam berbagai kegiatan masyarakat.
Dijelaskan pula adanya pembagian kelompok umur, dengan klasifikasi anak-
anak, remaja, dan kelompok dewasa dalam pelaksanaan TM. Penelitian ini
dengan pendekatan deskriptif, menggambarkan secara umum arti dan sejarah
singkat TM, di samping kajian nilai-nilai budayanya.
Maengket sekarang ini dikenal sebagai suatu tari dan nyanyian. Nyanyian-
nyanyian Maengket awalnya adalah bagian dari suatu upacara foso ritual, sakral
(suci), yang lahir dari suatu tradisi budaya mapalus (gotong-royong) masyarakat
agraris di Minahasa dalam kegiatan bercocok tanam, yang kemudian berkembang
sampai sekarang.
“Pada masa lampau para leluhur kita tidak menyebut Maengket itu sebagai tari
tetapi disebut Maengket saja, karena itu sebenarnya adalah nyanyian dan bahasa
syair yang dominan digunakan adalah bahasa Tombulu. Jadi sebenarnya
Maengket itu asalnya dari Tombulu. Dapat dikatakan bahwa pelopor Maengket
itu sebenarnya adalah dari suku Tombulu. Hal ini dapat kita ketahui dari fungsi
Maengket itu sendiri dalam tradisi budaya agraris masyarakat Minahasa tempo
dulu adalah untuk panen padi ladang, kebun kering, bukan sawah” (Wawancara,
Rumengan, 30 April 2009).
Dapat dipastikan bahwa nyanyian dan tarian yang kemudian dinamakan TM itu
berawal dari upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan panen padi. Apa yang
kemudian dikenal sebagai owey kamberu adalah berasal dari suatu foso, tarian
sakral yang mengagungkan panen berhasil, demikian pula tarian-tarian yang
kemudian dikenal sebagai maramba dan lalayaan yang berasal dari masyarakat
suku (tribal society) yang telah menetap di suatu wilayah tertentu (Leirissa, dalam
Anonim 2006: 197).
Penjelasan tentang Tari Maengket yang kami kutip dari : Website resmi Sulawesi
Utara, http://www.sulutprov.go.id/tari-maengket.html. sebagai berikut.
Tari Maengket adalah seni tarian rakyat Minahasa di Kota Manado yang
merupakan tarian dan disertai nyanyian dengan diiringi gendang atau tambur.
Asal – usul tari Maengket kala dulu Nenek Moyang di Minahasa hanya
dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang hanya
sederhana, maka Tari Maengket terdiri dari 3 babak, yaitu : – Maowey Kamberu
– Marambak – Lalayaan..
Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan
syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman
padi yang berlipat ganda/banyak. Marambak adalah tarian dengan semangat
kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu membantu membuat rumah yang
baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam
bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan semua
masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur. Lalayaan adalah tari
yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman dahulu
akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi
zaman dahulu kala di Minahasa. Saat ini tarian maengket telah berkembang
teristimewa membentuk kreasi barunya tanpa meninggalkan keasliannya
terutama syair atau sastra lagunya.
Tari Tatengesan merupakan tarian tradisional khas daerah Sulawesi Utara yang
berasal dari Minahasa yang diangkat dari ceritera rakyat tentang desa Tatengesan
yang oleh kelompok seni budaya di desa tersebut diciptakan sebuah tari dengan
judul tari Tatengesan.
Tari Tatengesan pertama kali ditampilkan pada tahun 1983 dalam rangka
memperingati terbentuknya desa Tatengesan di yang sekarang ini telah berada di
daerah pemerintahan kabupaten Minahasa tenggara.
Tata gerak dan pola garapan tarian ini mamadukan antara unsur-unsur nilai
sejarah dengan tradisi budaya Minahasa yang diekpresikan melalui tata gerak dan
karakteristik dalam 9 gerakan dengan paduan musik etnis Minahasa dengan pola
komposisi dasar 3 nada.
Tarian ini oleh Taman Budaya Sulawesi Utara telah diolah sehingga menjadi
suatu sendratari Tatengesan. Pemeran tarian ini ditarikan oleh pria dan wanita
secara kelompok dengan jumlah penari 9 orang atau lebih.
4. TARI MANE'E
http://www.seputarsulut.com/tari-manee/
Tari Mane’e marupakan tarian tradisional yang berasal dari Talaud Sulawesi
Utara. Tarian ini diangkat dari salah satu tradisi masyarakat Talaud dalam
menangkap ikan. Tradisi ini muncul sekitar abad ke 12 di lingkungan masyarakat
kepulauan ”Nanusa”, yang sampai sekarang ini masih dilaksanakan bahkan telah
menjadi agenda tetap prosesi Mane’e di Kabupaten Talaud.
Mane’e berasal dari kata ”See yang artinya Ya” atau setuju/sepakat, sehingga kata
Mane’e diartikan ” Penangkapan ikan secara tradisional melalui masyarakat yang
bermusyawarah dan bermufakat untuk menangkap ikan secara bersama – sama.
Adapun tari Mane’e terdiri dari 10 tema yaitu:
Inti penyajian Tari Mane’e adalah mengungkapkan tentang kerja secara bersama
atau gotong royong dalam masyarakat Talaud.
Tari Mane’e ditarikan kecara berkelompok pria dan wanita dengan musik
pengiring : Suling, Tagonggong, tambur dan alat musik bambu. Penyebaran
Tarian ini di Kabupaten Talaud.
5. TARI GUNDE
http://www.seputarsulut.com/tari-gunde/
Tari Gunde telah lama dimiliki masyarakat Sangihe Talaud sebagai tari
penyembahan kepada Genggona Langi (Allah Semesta Alam), kemudian menjadi
tari istana dan akhirnya menjadi milik rakyat atau tari tradisonal Sangihe Talaud.
Tari Gunde telah mentradisi bagi masyarakat Sangihe Talaud dimana berperan
dalam berbagai upacara adat, justru busananya pun menggunakan busana adat
yang disebut Laku Tepu. Berdasarkan hal tersebut maka tari Gunde belum dapat
dikembangkan dan masih dipertahankan keasliannya oleh masyarakat sebagai tari
sakral.
1. Masuk pentas :
2. Penghormatan :
4. Salaing Saloha :
a. Makna Gerakan : Bersuka-ria.
b. Gerakan tari :
Tangan kiri diangkat keatas dan tangan kanan diturunkan secara bergantian
mengikuti irama duruhang dalam 3 irama. Sedangkan tangan kiri
diturunkan perlahan 1 irama. Gerakan badan mengikuti irama.
Kedua belah tangan kiri dan kanan diangkat setinggi bahu dalam 1 irama,
kemudia dibuka 1 irama seperti biasa lalu ditutup kembali 1 irama.
Sama dengan gerakan permulaan Salaing Duruhang (sama dengan 1
gerakan diatas ini)
6. TARI TUMATENDEN
Tari Tumatenden adalah sebuah nama tari yang diangkat dari cerita rakyat yang
berhubungan dengan sejarah (legenda) yang berlokasi di Airmadidi Kabupaten
Minahasa Utara, dimana berdiam orang pertama yang bermukim ditempat itu
yang dikenal sangat rajin mengolah perkebunannya.
Saat itu pula timbul niatnya untuk mencuri salah satu bayu (sayap) dari seorang
bidadari yang ternyata adalah milik bungsu dari semblan bidadari, Mamanua
membujuk Lumalundung untuk kawin dengannya tapi ada perjanjian kalau tidak
boleh satupun dari rambut lumalundung yang jatuh. Dengan perasaan gembira
mereka dikaruniai anak bernama “Walansendau”” tidak diduga rambut
lumalundung jatuh maka sesuai perjanjian Lumalundung pun meniggalkan
“Mawanua dan Walansendouw” Diperkebunannya atau sekarang disebut
Tumatenden.
Menurut fungsinya, jenis tari Tumatenden termasuk seni tari pertunjukan/seni
tomtonasia hiburan sosial bisa juga dipakai pada upacara perkawinan (adat
Minahasa). Tari Tumatenden terdiri dari 9 putri dan 1 putra.
Musik dan lagu : Suling, Tambur, Lagu Tumatenden dalam gaya : purtamento,
Sumber lagu: M.W Umboh, dialek : Minut-Tonsea.
7. TARI UWELA
Tari Uwela merupakan suatu tari yang dilaksanakan oleh rakyat Bolaang
Mongondow dimana biasanya tari ini hanya dilakukan apabila ada acara-acara
khusus, misalnya pada saat mengerjakan kebun yang memerlukan tenaga yang
banyak untuk melaksanakan tugas tersebut, penjemputan tamu dan lain-lain.
Tari ini lahir dimana pada zaman dahulu penduduk di daerah Bolaang
Mongondow diperintahkan untuk mengadakan kerja bakti (gotong royong) untuk
membuat suatu jembatan merupakan kayu yang berbentuk sangat besar maka
mustahil kalau hanya dapat diangkat oleh beberapa orang saja. Maka pada
kesempatan itu pula diadakan suatu kerja sama ( gotong royong) untuk
mengangkat bahan-bahan keperluan untuk pembangunan jembatan itu (dalam hal
ini kayu).
Pada saat pelaksanaan maka semua penduduk yang ada atau hadir dalam
pekerjaan itu segera mengambil inisiatif untuk mengangkat bahan bangunan
tersebut dimana dari sekian banyak penduduk itu dipilih seorang untuk menjadi
komandan dalam mengangkat kayu yang besar itu. Komandan ini berfungsi
sebagai pemimpin pekerjaan dan yang memberi semangat kepada yang lain
supaya pada saat mengangkat itu semua yang ada secara bersama megangkat
kayu tersebut, karena kalau pekerjaan yang berat dilaksanakan secara bersamaan
maka pekerjaan itu tidak lagi dianggap berat.
Sementara pekerjaan akan dimulai maka si komandan segera naik ke atas kayu
yang akan diangkat dengan posisi berdiri kemudian si komandan memerintahkan
kepada anak buahnya sambil mengatakan helaan, setelah aba-aba itu diberikan
dan didengar oleh anak buahnya maka serentak mereka menghela (menarik) kayu
yang besar itu secara bersama-sama.
Sementara itu para pekerja mengikuti ucapan yang telah diberikan oleh
komandannya yang mengatakan hela, tapi diikuti dengan cara menyanyikan
ucapan tersebut sehigga menjadi uwela (disesuaikan dengan lafal daerah Bolaang
Mongondow). Karena pekerjaan ini memakan waktu begitu lama maka selama
melaksanakan tugas, mereka terus menyanyikan Uwela sampai pekerjaan itu
selesai. Jadi Uwela asal kata dari hela yang disesuaikan dengan lafal daerah
bolmong yang artinya Tarik dalam bahasa Indonesia.
Bentuk dan Fungsi Tari Uwela
Tari Uwela ini adalah bentuk Tari tradisional Daerah Bolaang Mongondouw. Tari
Uwela sering digunakan pada saat acara penjemputan dan acara kerja bakti
(gotong royong). Tari Uwela ini terdapat di Desa Lolak Kecamatan Lolak
Kabupaten Bolaang Mongondow.
Pendukung-pendukung tari Uwela antara lain :
1. Penari. Penari pada tari Uwela ini biasanya ganjil yakrni terdiri dari 5
pasang atau lebih ditambah 1 orang yang bertindak sebagai komandan.
2. Alat Pengiring. Alat pengiring tarian ini terdiri dari seperangkat alat musik
tradisional daerah Bolaang Mongondow yakni : Bonsing, Tantabua,
Dadalo, Tababo, Gong/ Galantung, Tambor.
Posisi penari :
Setelah naik pentas dengan jalan biasa kemudian berbaris berdua (berpasangan)
dan komandan menempati posisi tengah paling depan sejajar dengan barisan
paling depan.
Komandan (kapel):
Posisi I ini masih tetap langka biasa, kemudian hormat, Selesai hormat maka
kapel mulai membawakan sastranya, setelah selesainya kapel mengungkapkan
sastranya maka disambut secara bersama dengan menyanyikan Uwela – Aina
Uwela.
Setelah selesai 1 bait maka pada bait 2 posisi penari berubah dimana penari yang
berada di kiri dan kanan berputar – putar kemudian kembali pada posisi semula
disamping itu kapel tetap membawakan sastranya dan di ikuti oleh penari lainnya
secara bersama- sama melagukan Uwela – Aina Uwela.
Sementara para penari berputar kekiri dan ke kanan, Si kapel mengambil posisi
ke depan, setelah para penari kembali ke tempat semula maka si kapel terus
menjemput mereka kemudian berdiri pada posisi semula. Gerakan ini dilakukan
terus-menerus sampai sastra yang akan dibawakan selesai. Selesai koor Aina
Uwela oleh penari di iringi pula oleh berhentinya gerakan tari tersebut.
8. TARI MESALAI
Tari Mesalai adalah salah satu tarian daerah Sulawesi Utara yang berasal dari
kelompok budaya daerah Sangihe Talaud. Sejak abad ke 15 sampai dengan masa
penjajahan Belanda, sistem pemerintahan di kepulauan Sangihe Talaud berada
dibawah kekuasaan Raja-raja.
Tari Mesalai atau lasimnya disebut Mesalai, termasuk salah satu tarian yang
diangkat ke istana. Tarian yang dulunya oleh masyarakat dijadikan sebagai sarana
pemujaan dalam upacara penyembahan kepada Ghenggona (Tuhan) menjadi
tarian istana dan diberi nama Tari Gunde. Penari-penari gunde terdiri dari putri-
putri kaum bangsawan. Sedangkan Mesalai yang lahir di lingkungan rakyat biasa
tetap menjadi milik rakyat.
Itu sebabnya mereka wajib bersyukur dan menyembah. Dan Tari Mesalai
merupakan bagian dari upacara penyembahan seperti:
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Tari Mesalai merupakan bagian dari
upacara penyembahan lewat upacara syukuran atas keberhasilan/ keberuntungan
mereka dalam kehidupannya. Dengan demikian maka Tari Mesalai berfungsi
sebagai pengungkapan atas berkat dan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa.
Hal ini lebih jelas lagi dimana dalam Tari Mesalai diungkapkan petunjuk-
petunjuk, nasehat-nasehat, petuah/ajaran tentang kehidupan manusia dalam
hubungannya dengan sang Pencipta, manusia dengan sesamanya, dan manusia
dengan lingkungannya melalui lirik lagu Sasambo. Dari segi geraknya, tari ini
menggambarkan pula beberapa sikap hidup yang harus dipantuhi yakni:
Tarian ini merupakan tarian bebas dalam arti tidak terikat oleh komposisi tertentu
sebagaimana yang diinginkan dalam suatu bentuk pertunjukan yang sudah
dipersiapkan terlebih dahulu. Hal ini terjadi karena secara spontan semua peserta
upacara dapat menari bersama-sama dalam formasi yang bebas sesuai gerakan
yang terdapat pada tari Mesalai. Jika pada gambar terlihat formasi yang teratur,
itu hanya dipersiapkan untuk kepentingan penyusunan Naskah atau ditata untuk
kepentingan suatu pertunjukan. Tetapi dalam bentuk asli Tari Mesali ditarikan
secara bebas tanpa formasi yang teratur.
2. Gerak Tari
3.1.Instrumen: – Tagonggeng
– Ulintang
– Nanaungang
3.2.Vokal: SASAMBO, yang terdiri dari:
– Lagung Bawine
– Lagung Sonda
– Sasahola
– Lagung Balang
– Lagung Duruhang
3.3.Pola irama Tagonggong dengan tengkelu Bawine atau lagung Bawine:
Not….
3.4.Pola irama Tagonggong dengan tengkelu Sonda atau lagung Sonda:
Not….
3.5.Pola irama Tangonggong dengan tengkelu Sahola atau Sasahola:
Not….
3.6.Pola irama Tangonggong dengan tengkelu Balang atau lagung Balang:
Not…..
3.7.Pola irama Tangonggong dengan tengkelu Duruhang atau lagung Duruhang:
Not….
3.8.Pola irama Ulintang (sama untuk semua jenis Sasambo):
Not…
3.9.Pola irama Nanaungang (sama untuk semua jenis Sasambo):
Not…
3.10.Dasar Melodi Sasambo:
Not…….
Melodi ini tidak tepat benar penulisannya karena sistem penulisan yang belum
ditemukan untuk penotasian lagu Sasambo.
3.11.Lirik Sasambo:
Lirik Sasambo sangat banyak jenisnya sesuai dengan tema yang diungkapkan
dalam situasi kehidupan dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia dan manusia dengan alam. Biasanya tema-tema yang dibawakan
seperti keagamaan, pujian, nasehat, perjuangan, pergaulan dan lain-lain.
Di bawah ini diberikan lirik Sasambo yang dipakai pada saat peragaan Tari
Mesalai dengan bertemakan pujian atau sanjungan atas ketrampila para penari.
1. Kawasang ana gunde,
Kumondang Kapetuilang.
Artinya : Keanggunan penari wanita
Kerdipan matanya seperti disangga.
2. Supedimpolongang
Salaing ese mang ene
Artinya : Dalam setiap pertemuan, penari pria tetap ada.
3. Sengkalintu Sengkarangeng, Sengkapemedi Limbene.
Artinya : Serempak turun serempak naik, serempak mengayunkan tangan.
4. Basalipe mapia, Salai megegunena.
Artinya : Berbalaslah lagu dengan baik, penari semakin halus dan mantap.
Pakaian Tari Mesalai aslinya mengenakan pakaian adat yang disebut Laku Tepu.
Namun dalam perkembangannya, laku tepu sudah jarang dipakai. Dan kini
masyarakat telah menggunakan kain tenunan modern hanya masih menyesuaikan
dengan bentuk asli
9. TARI MOKOSAMBE
Tari Mokosambe adalah sebuah tarian tradisional yang berasal dari Bolaang
Mongondow Sulawesi Utara. Tari ini diangkat dari ceritera rakyat Bolaang
Mongondow yang mengisahkan tentang tujuh puteri/bidadari yang turun dari
khayangan untuk mandi di suatu tempat pemandian yaitu disebuah lereng gunung
Kamasaan Kec. Sang Tombolang Bolaang Mongondow.
Penghuni goa ini mempunyai niat yang sama dengan mokosambe yaitu ingin
mempersunting Putri Bungsu. Akhir kisah penghuni goa ini menyerah kalah atas
kesaktian dari pangeran Mokosambe. Kisah Mokosambe sebenarnya masih
memiliki kelanjutan namun dalam penggarapan tari tidak dilanjutkan. Tarian ini
dalam garapan berfungsi sebagai tari hiburan.
Gendang panjang
Gulantung Molaben (Gong besar)
Gulantung Mointok (Gong kecil)
Bansi ( Suling )
Selendang
Keris
Oleh sebab itu dalam garapan Tari Pasasanggarroma unsur kebersamaan menjadi
inti / tema pengungkapan ekspresi para penari melalui gerak dan alunan musik
pengiring tari. Pasasanggarroma sendiri memiliki arti yaitu saling memberi
tumpangan satu sama lainnya.
Pemeran Tari Pasasanggarroma adalah Penari terdiri dari 24 pasang (pria dan
Wanita), memainkan alat musik : Keroncong 5 Orang, Gitar 3 Orang Tambur 4
Orang dengan menggunakan busana Pakaian daerah Talaud