Anda di halaman 1dari 4

Pentingnya Beramal dengan Ikhlas

 
  Dalam rangka meningkatkan taqwa kita kepada Allah, kita perlu melakukan ibadah dengan
ikhlas, setulus hati. Tujuan kita diciptakan oleh Allah subhânau wa ta’âlâ tiada lain kecuali
untuk beribadah atau mempersembahkan semua gerak tubuh kita sepanjang hidup hanya
karena Allah subhânau wa ta’âlâ. Allah berfirman:

َ ‫ َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َواِإْل ْن‬ 


ِ ‫س ِإاَّل ِليَ ْعبُد‬
  ‫ُون‬
Artinya: “Dan saya tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
(QS Adz-Dzâriyât: 56)
  Bukan berarti selama 24 jam kita hanya boleh menghabiskan waktu untuk shalat dan
membaca Al-Quran saja. Namun sekolah, belajar di pesantren, bekerja mencari nafkah,
membantu orang tua, berbaik budi kepada teman, makan, minum dan sejenisnya bisa juga
bernilai ibadah tergantung niat kita. Semua itu merupakan bagian dari ibadah, persisnya
ibadah ghairu mahdlah.
    Ibadah baik mahdlah maupun ghairu mahdlah, masing-masing membutuhkan niat yang
ikhlas, murni karena Allah. Jika tidak mampu ikhlas secara penuh, seseorang hanya akan
diberi pahala dengan presentase sebesar mana ikhlasnya.
    Jika persentase ikhlas seseorang dalam hati hanya sebesar 40 persen, selebihnya dia berniat
bukan karena Allah—untuk tujuan supaya mendapatkan materi, misalnya—niscaya ia hanya
akan mendapatkan balasan dari 40 persen niatnya tersebut. Artinya kadar balasan keikhlasan
seseorang bergantung pada persentase ikhlasnya dalam hati. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits shahih Bukhari yang pertama kali disebut, riwayat dari Sayyidina Umar bin Khattab
radliyallâhu anh:
    ‫ َوِإنَّ َما ِل ُك ِّل ْام ِرٍئ َما ن ََوى‬،ِ‫ ِإنَّ َما اَأل ْع َما ُل بِال ِنّيَّات‬ 
Artinya: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang
tergantung atas apa yang ia niatkan.”
  Abdurrahman bin Abdussalam ash-Shafûriy dalam kitabnya Nuzhatul Majâlis mengisahkan
petuah Syekh Ma’ruf al-Karkhi sebagai berikut:
    ‫َّار‬ َ ‫وف ْالك َْر ِخي َم ْن‬
ِ ‫ع ِم َل ِللث َّ َوا‬
ِ ‫ب فَ ُه َو ِمنَ التُّج‬ ْ ‫وقَا َل َم ْع ُر‬ 
َ  
Artinya: “Barangsiapa beramal supaya dapat pahala, maka ia bagaikan orang yang sedang
berdagang.” (Maksudnya, ia beramal dengan angan-angan mendapatkan keuntungan itu
seolah-olah seperti sedang tukar-menukar, yakni amal dengan pahala)
  ‫ار فَ ُه َو ِمنَ ْالعَبِ ْي ِد‬
ِ َّ‫ع ِم َل خ َْوفا ً ِمنَ الن‬
َ ‫و َم ْن‬ 
َ  
“Barangsiapa melakukan sebuah tindakan karena takut neraka, ia termasuk hamba Allah.”
  ‫ع ِم َل هللِ فَ ُه َو ِمنَ اَأْلحْ َر ِار‬
َ ‫ َو َم ْن‬ 
“Dan barangsiapa yang bertindak karena Allah semata, ia merupakan orang yang merdeka.”
    Orang yang ikhlas, diibaratkan dalam hadits qudsiy seperti tangan kanan memberikan
sesuatu, namun tangan kirinya tidak sampai tahu. Maksudnya, amal-amal baik kita
seharusnya kita sembunyikan serapat mungkin hingga kepada orang terdekat pun.
    Uwais al-Qarni, salah satu orang shalih yang hidup pada zaman Nabi walupun beliau tidak
pernah bertemu secara fisik dengan Nabi mengatakan, “Orang yang mendoakan saudaranya
atas tanpa sepengetahuan yang didoakan itu lebih baik daripada mengunjungi rumahnya,
silaturahim, dan bertemu secara langsung.
    Bagaimana bisa demikian?
    Iya, karena orang yang bertemu secara langsung, mengunjungi secara langsung, terdapat
kemungkinan unsur riya’ (pamer) menyelinap pada hati orang yang mendoakan. Namun jika
mendoakan tanpa sepengetahuan saudara yang kita doakan, itu ibadah yang benar-benar
ikhlas. Ada orang di tengah keheningan malam, dalam kamar sendirian, menyebut nama-
nama saudaranya kemudian mendoakan mereka. Inilah di antara contoh ikhlas yang betul-
betul ikhlas.
    Bahkan dalam hadits dikisahkan, orang yang mendoakan saudaranya seperti demikian,
akan mendapatkan doa balik yang sama sebagaimana yang ia panjatkan, ia didoakan serupa
dari malaikat. Malaikat mendoakan dengan kalimat ‫ولَكَ بِ ِمثْ ٍل‬ 
َ (kamu juga akan mendapatkan
sebagaimana yang kamu panjatkan)
    Ada sebuah kisah isrâîliyyat dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Imam al-Ghazali bercerita,
terdapat satu kaum penyembah pohon. Salah seorang ahli ibadah yang mengetahui fenomena
ini hendak menghancurkan tempat peribadatan penyembahan pohon tersebut.
    Pada hari pertama saat hamba tersebut datang, iblis menghadang. “Sudahlah, kamu jangan
potong ini pohon. Andai saja kamu potong, penyembah-penyembahnya akan bisa mencari
tuhan sejenis. Percuma kamu potong. Sudahlah, kamu beribadah sendiri saja sana!” goda iblis
pada ahli ibadah.
    Mendapat penghadangan demikian, ahli ibadah ini marah. Ia kemudian menghantam tubuh
iblis yang datang menjelma sebagai sosok orang tua. Iblis pingsan seketika. Iblis tak patah
arang. Iblis mencoba melanjutkan godaannya bisikannya yang kedua.    “Begini saja, Kamu
ini hamba yang melarat. Kamu beribadah saja sana kepada Allah, setiap malam kamu akan
aku kasih uang dua dinar. Kamu ini bukan rasul. Kamu bukan utusan Tuhan. Biarkan rasul
saja yang bertugas memotong pohon ini!” rayu Iblis.
    Ahli ibadah terbujuk rayu. Ia terbuai dengan bujuk rayu setan. Ia membayangkan,
bagaimana ini tidak solusi yang indah. Pohon aka nada yang motong. Ia tetap bisa beribadah
kepada Allah, Sedangkan kemelaratannya akan segera berakhir. Ia tinggalkan lokasi. Ia
beribadah di malam harinya. Pagi harinya, ia temukan dua dinar secara tiba-tiba.
  Pada hari ketiga, iblis ternyata tidak menunaikan janjinya. Sekarang, iblis tidak lagi
mengirim uang dua dinar. Atas tipuan ini, karena merasa kesal atas perilaku iblis yang
berbohong, hamba yang ahli ibadah menjadi naik pitam. Darahnya mendidih. Ia kembali
tergerak untuk meruntuhkan pohon yang disembah masyarakat sekitar yang baru saja ia
urungkan kemarin hari.
    Saat akan memotong, ia kembali dihalangi iblis. Kemarin lusa, pada hari pertama, saat
terjadi duel, ia yang menang. Iblisnya jatuh pingsan. Kali ini, ia justru yang pingsan, iblis
yang menang. Sebab apa? Ia keheranan. Setelah siuman dari pingsan, hamba ini bertanya
kepada iblis. “Bagaimana saya yang kemarin menang, pada hari ini berubah menjadi kalah?”
tanyanya.
    Iblis menjelaskan, “Iya, kalau kemarin kamu marah sebab niat hatimu murni, ikhlas karena
Allah. Namun pada hari ini kamu marah bukan karena Allah. Hari ini kamu marah sebab tadi
malam tidak aku kasih dua dinar. Marahmu bukan karena Allah. Oleh karena itu, aku bisa
mengalahkanmu.”
    Dalam sebuah hadits dikisahkan, ada orang yang dikasih kekayaan oleh Allah subhânahu
wa ta’âlâ. Pada hari kiamat, ia ditanya oleh Allah, “Apa yang kamu lakukan atas semua
kenikmatan yang telah aku berikan?”
    “Ya Tuhan, aku telah menyedekahkan harta-hartaku sepanjang siang-malam.” Jawab
hamba ini.
    Kemudian Allah menjawab balik “kamu berbohong.”
  Tidak hanya Allah saja yang menjawab, malaikatpun mengatakan demikian. “Kamu
berbohong. Kamu melakukan hal demikian hanya supaya akan kebanjiran komentar
masyarakat ‘oh, si Fulan ini orang yang tajir, murah hati, suka menolong’.”
    Akhirnya, amal Fulan tersebut menjadi hangus, tidak berbuah sama sekali.
  Kata ikhlas dalam Al-Qur’an di antaranya disebut untuk menggambarkan susu yang murni.
Susu keluar dari perut hewan yang mana dalam perut hewan terdapat darah dan kotoran,
namun susu sama sekali tidak tercampur kedua kotor tersebut. Susu keluar murni sebagai
susu.
    Kita di dunia ini, atas kekotoran-kekotoran yang ada, kita perlu memurnikan segala
perilaku kita, kita persembahkan kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ.
    َ‫ار ِبين‬
ِ ‫ش‬َّ ‫ساِئغًا ِلل‬ ً ‫ث َودَ ٍم لَبَنًا خَا ِل‬
َ ‫صا‬ ُ ُ‫وِإ َّن لَ ُك ْم ِفي اَأْل ْنعَ ِام لَ ِعب َْرة ً نُ ْس ِقي ُك ْم ِم َّما ِفي ب‬ 
ٍ ‫طو ِن ِه ِم ْن بَي ِْن فَ ْر‬ َ  
Artinya: “Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu.
Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara
kotoran kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.” (QS Al
An’am: 66)
  Ahli hikmah mengatakan:
    َ‫ص† ْون‬ ُ ‫ َو ْال ُم ْخ ِل‬، َ‫ص ْون‬
ُ ‫املُ ْونَ ُكلُّ ُه ْم ه َْلكَى ِااَّل ْال ُم ْخ ِل‬
ِ َ‫ َو ْالع‬، َ‫املُ ْون‬
ِ َ‫ َو ْالعَا ِل ُم ْونَ ُكلُّ ُه ْم ه َْلكَى اِالَّ ْالع‬، َ‫اس ُكلُّ ُه ْم ه َْلكَى اِالَّ ْالعَا ِل ُم ْون‬
ُ َّ‫اَلن‬
َ َ
‫فِ ْى خط ٍر َع ِظي ٍْم‬.   
Artinya: “Semua manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu. Semua orang berilmu
akan binasa kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmunya
akan binasa kecuali orang yang ikhlas. Mereka yang ikhlas masih dalam kekhawatiran yang
agung.”
Dengan demikian, perlu kita ketahui, ikhlas mempunyai definisi sebagai berikut:
 ‫ب‬ َّ ‫ب اِلَى هللاِ تَعَالَى َع ْن َج ِمي ِْع ال‬
ِ ‫ش َوا ِه‬ ِ ‫ص ِد التَّقَ ُّر‬ ُ َ‫ اَِإْل ْخال‬ 
ْ َ‫ص ه َُو تَجْ ِر ْيدُ ق‬
Artinya: Ikhlas adalah memurnikan tujuan taqarrub kepada Allah ta’âlâ dari segala hal yang
mencampurinya.

Anda mungkin juga menyukai