Anda di halaman 1dari 5

Selain itu, ada pula informan yang menganggap bahwa teman, senior hingga konsulen dapat

memberi solusi ketika menghadapi kesulitan dalam belajar.

“Kalau untuk evaluasi sendiri sih saya tidak, saya lebih lihat pas ujian, kalau ujiannya lancar
ya berarti apa yang sudah saya pelajari saya bisa kuasai.” (Informan 1)

“Jadi saya pernah mengalami kegagalan dalam belajar, ada salah satu stase yang gagal, jadi
memang penyebabnya karena tidak belajar serius, terus hasil akhirnya tidak lulus, jadi lebih
ke introspeksi diri dulu, kenapa bisa tidak lulus, kemudian penyebabnya itu bisa karna kurang
belajar atau pikir susah gitu. Saya biasanya kalau mau ujiankan pikir gimana ni kalau nanti
tidak lulus. Nah, kalau saat saya tidak lulus saya harus bikin apa. Itu yang bikin saya lebih
termotivasi untuk ujian.” (Informan 3)

“Yang pertama mungkin saya murung dulu, sedih mungkin untuk beberapa jam bagitulah,
nanti kaya sudah tenang dulu lalu bangkit kembali, belajar ulang, sekalian belajar yang lain
lagi.” (Informan 4)

“Evaluasi hasil belajar itu biasanya mau bilang nilai tidak menentukan. Kadang kami belajar,
ujian betul-betul tapi nilai kaluar itu sesuai sama apa yang dosen mau, itu kan tidak bisa jadi
tolak ukur. Jadi kaya yang penting pas ini, misalnya saya sudah lewat bedah, saya jaga di
IGD terus ada pasien masuk, walaupun saya bukan lagi di stase bedah tapi kalau ada pasien
masuk dengan ciri-ciri pasien bedah, di dalam diri saya saya sudah bisa perkirakan kira-kira
diagnosisnya apa, bisa di DD dengan begini, begini. Itu sering jadi tolak ukur saya. Itu saja
sih, teru sama ini, habis ujian, saya evaluasi itu lebih kearah saya tadi bisa jawab atau tidak,
itu aja sih.” (Informan 9)

“Iya kalau saya selalu mentulis apa-apa yang ingin saya tau di catatan kecil, misalnya saya
dapa kasus CKD, wah saya tidak tau patofisiologinya, saya catat “patofisiologi CKD” di
buku, kalau ada kesempatan saya baca-baca di buku atau di jurnal, terus saya tulis-tulis poin-
poinnya, jadi kalau ada waktu, saya baca-baca” (Informan 2)

“Sebenarnya kalau saya sendiri, kalu mau belajar juga, memang su buat skema. Skema
misalnya kami masuk psikiatri, saya tu sebelum masuk harus buat misalnya kaya mindmap
nya, gitu. Apa yang harus saya pelajari, apa yang harus saya capai di stase ini. Jadi
setidaknya, saya keluar stase psikiatri ini, saya bisa menguasai atau misalnya bila ada pasien
dengan gangguan jiwa datang di UGD, itu saya sudah bisa tau apa yang harus saya lakukan.
Jadi kaya tujuan-tujuan pembelajarannya itu memang sudah harus dibuat sebelum masuk
stase. Supaya ketika masuk, saya sudah punya arah gitu, bagaimana yang harus saya lakukan
selama di stase ini,” (Informan 6)
“Sebenarnya kalau yang bikin bosan dulu lah, capek. Karna kan aktivitasnya banyak,

terus kalau misalnya habis jaga itu kan ngantuk, stressornya tinggi, jadi itu yang bikin
malas atau bosan belajar. Tapi kalau misalnya motivasi yang bikin rajin belajar,

kalau misalnya ada pasien datang, terus konsulen tanya, tidak tau jawab, tidak bisa

menangani sebuah kasus, atau tidak bisa memecahkan permasalahan yang ada, itu

sebenarnya salah satu stressor. Namun itu juga menjadi sebuah motivasi. Jadi kalau

misalnya nanti saya jadi dokter dengan kasus yang sama datang, saya bertanggung

jawab penuh. Apa yang harus saya lakukan. Jadi itu yang menjadi motivasi, saya

harus rajin belajar.” (Informan 5)

Selain itu, ada pula informan yang tidak menjadikan rasa bosan sebagai masalah

dalam proses belajarnya.

“Karna rasa bosan tu pasti ada saja, saya tidak terlalu masalahkan itu si, pokoknya

jangan sampe bosan itu bikin saya jadi tidak belajarlah. Saya kan biasanya rajin

belajar tu kalua su dapat teguran, kalau su dapa tegur itu kan yaa saya ingat ingat

terus teguran itu supaya tidak bikin salah lagi.” (Informan 1)

“Kalau saya pribadi sii saya tidak akan bosan belajar kalau saya tujuan atau apa

yang ingin saya tau ni saya belum dapa. Intinya saya tidak akan bosan sampe saya

tujuan terpenuhi.” (Informan 2)

“Kalau saya bukan bosan, biasa yang jadi masalah atau penyulit dalam belajar itu yaa kalau
ada gangguan gitu, contohnya dari hp, dari sosial media itu yang kadang harus dihindari, jadi
kalau belajar itu kadang hap itu dinonaktifkan supaya lebih focus.” (Informan 3)

“Sistem pembelajaran di koas, yang pertama menurut saya lebih mandiri atau lebih dewasa,
dalam artian jika dibandingkan dengan preklinik, dimana dosen yang lebih aktif mengajar
atau memberikan dong punya ilmu sedangkan kalau di klinik, kami lebih aktif. Contohnya
kami melihat suatu kasus yang ada di pasien, kami harus lebih aktif untuk bertanya mengenai
bagaimana kasus tersebut, contohnya pasien dengan suatu gejala, nah kalau ada yang kami
belum tau atau belum paham, bisa langsung tanyakan kepada konsulen. Jadi konsulen itu
tidak semena-mena langsung menjelaskan tentang penyakit tersebut. Kemudian yang kedua
kalau sistem pembelajaran di klinik ini, kami harus lebih aktif dalam hal mengejar konsulen,
dalam hal membaca jurnal ilmiah, kemudian bertanya mengenai apa saja yang kami temui
dari klinis pasien yang kami temui di rumah sakit.” (Informan 3)
“Kalau di preklinik itu, memang kaya rada-rada pamalas, jadi kaya semua itu kami

belajar teori saja, makanya kaya agak membosankan. Tapi kalau di klinik, kami susah

untuk bosan karna yang kami hadapi ini manusia, jadi misalnya kalau kami bosan

belajar, lalu kalau pasien tanya terus kami tidak tau kan jadi kami beban sendiri, jadi

itu yang bikin kami supaya se harus belajar, se harus tau.” (Informan 4)

“Sebenarnya kalau di koas sendiri, sistem pembelajarannya itu ee sedikit, bukan sedikit sih,
banyak perbedaanya dari waktu di preklinik. Karna disini kami betul-betul dituntut untuk eee
lebih mandiri belajar. Jadi su tidak kaya di preklinik dimana apa namanya, disuap. Disuap tu
artinya dari dosennya to. Jadi dosennya datang trus disuap materi-materinya. Tapi disini
kami betul-betul dituntut untuk belajar sendiri, jadi ilmunya kami cari sendiri. Dokter-
dokternya itu cuman kaya menjadi pembimbing untuk meluruskan kami punya ilmu yang kami
pelajari secara mandiri itu. Sistemnya itu bagus, karna di sini itu kami betul-betul langsung
berhadapan dengan pasien. Kalau di preklinik kan kami Cuma kaya dikasi teori misalnya
kalau pasien appendicitis dia datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah, tapi kami
tidak pernah tau, modelnya itu seperti apa. Di koas ini karna kami langsung berhadapan
dengan pasiennya, jadi kami bisa menilai langsung bahwa, oh kalau pasien appendicitis
selain nyeri perut kanan bawah pasti dia mengeluhkan ini, ini dan ini. Jadi, eee enaknya itu
kami bisa berinteraksi langsung dengan pasien.” (Informan 6)

“Sistem pembelajaran dikoas, sebenarnya kalau mau bilang beda dengan di pre klinik yaa
beda sekali. Kalau misalnya di preklinik kan kami datang kuliah, PBL, CSL, gitu-gitu sa.
Kalau di koas secara teori mungkin di koas tu lebih ke bedside teaching gitu, jadi tiap pagi
datang, kami harus follow up pasien. Terus follow up juga kami tidak bisa kaya bicara
sabarang-sabarang bagitu. Jadi kami kaya musti balajar dari rumah, trus musti ikut dokter
visite, ikut poli dan lain sebgainya. Poli juga tergantung, ada dokter yang kaya ‘kamu yang
anamnesis, kamu yang edukasi’ gitu-gitu. Kalau mau bilang sistem belajar di koas lebih ke
bed side teaching. Kalau mau bilang persiapan, memang lebih butuh persiapan gitu. Jadi
memang harus belajar, kalau datang kosong-kosong ya bahaya.” (Informan 9)
“Penyesuaian diri, kalau waktu preklinik kan, belajar nanti kaya mau ujian saja to,

kalau misalnya minggu depan mau integ, ya sudah mulai belajar, baca-baca ppt,

hafal-hapal soal. Tapi di klinik ini tidak bisa begitu sih, penyesuaiannya lebih ke tiap

hari musti belajar, baca-baca sah, walupun tidak banyak yang dibaca juga. Tapi

setidaknya satu hari itu musti blajar. Jadi kalau misalnya skarang di psikiatri, ya

sudah, hari ini belajar skizofrenia, nanti besok belajar apa gitu. Atau kalau misalnya

bedah, hari ini belajar Ca to, Cancer, semua tentang Ca, kan mirip-mirip sa to, Cuma
beda tempat-tempatnya. Jadi yah gitu, tapi kalau misalnya capek skali, ya sudah,

pulang sono.” (Informan 9)

STRATEGI SRL

“Tiap hari saya harus ada tujuan belajar, apa-apa saja yang mau saya pelajari hari

ini, apa yang jadi saya pung tujuan atau target untuk belajar ya harus saya

selesaikan, harus saya tau dihari itu juga. Lalu kalau saya pribadi, menulis dan

menghafal, apa yang jadi apa yang selalu saya catat-catat tu, kalau ada waktu

tidakgang saya hafal-hafal, biar sambal bajalan saya sambal hafal-hafal” (Informan

2)

“Saya biasa bikin poin-poin sa tentang definisi, etiologi, gitu-gitu kaya poin-poin

belajar di penyakit, terus kaya ditutup jawabannya lalu dicoba jawab sendiri, gitu.

minimal melewati satu bagian itu kami harus sudah lebih paham. Kaya contoh

barusan ni lewat anestesi, jadi kami tu harus lebih paham bagaimana terapi-terapi

pasien, bagaimana manajemen-manajemen di operasi, kaya gitu-gitu. Jadi kaya tidak

ada strategi khusus, Cuma dari sebelumnya yang tidak tau atau kurang tau di hal itu,

setelah lewat jadi lebih tau.” (Informan 3)

“Strategiii, mungkin kalau saya pribadi sih, lebih banyak nonton-nonton video sih.

Jadi lebih cepat memahami dibandingkan baca-baca di buku.” (Informan 8)

“Mungkin yang saya pung cara belajar sa. Kalau tidak jaga, pulang dinas tidur, sore

bangun, jam lima atau jam enam itu bangun mandi, baru belajar sampe malam, baru

makan baru tidur. Lalu besok, saya ulang akang. Jadi kaya selama dinas itu kalau lagi

kosong, saya ulang apa yang saya tulis atau apa yang saya pelajari kamareng. Kaya
gitu sa, trus saya tu baginya kaya per topik. Jadi kaya hari ini topik satu, besok topik

dua, begitu. Jadi bagi berdasarkan bagian-bagian besar, baru cari bagian-bagian

kecilnya. Yang paling sering saya lakukan itu, bata cari dia punya kesamaan, lalu dia

punya perbedaan. Jadi kalo yang sama saya kelompokkan jadi satu supaya lebih cepat

diingat. Trus nanti dari yang sama sama itu, yang membedakan dong apa. Soalnya

kan, kalau di koas lebih ke kaya penyakit-penyakitnya.” (Informan 9)

Selain menggunakan strategi Self-regulated learnig dalam belajar, ada pula informan

yang tidak menggunakan strategi apapun dalam belajar karena sulitnya mengatur waktu

belajar selama menjalani kepaniteraan klinik.

“Kalau saya sendiri selama di koas itu yaa lebih situasional, pokoknya tiap ada

kesempatan untuk balajar yaa sebisa mungkin belajar, kaya di sela-sela waktu jaga

itu saya manfaat kan untuk baca” (Informan 1)

“Kalau strategi belajar tidak ada sih, sebenarnya sama sa kaya waktu di preklinik.

Intinya selama proses ini berlangsung yaa belajar ikut arus saja to. Jadi kaya dapa

bimbingan, belajar-belajar sedikit. Nanti sum mau ujian baru kaya baca-baca buku

lebih intens. Jadi kurang lebih sama lah kaya waktu di preklinik.” (Informan 6)

“Sebenarnya saya sendiri, ketika belajar, memang lebih dulu membuat skema. Misalnya stase
psikiatri, sebelum masuk stase, saya sudah membuat skema, apa saja yang harus dipelajari
dan apa saja yang harus saya capai selama stase ini. Jadi setidaknya, ketika keluar stase ini,
saya bisa menguasai, misalnya ketika ada pasien dengan gangguan jiwa dating di UGD, saya
sudah bisa tau apa yang harus saya lakukan. Jadi tujuan-tujuan belajar sudah saya buat
dalam skema, supaya ketika masuk stase, saya punya arah, apa saja yang harus saya lakukan
selama stase ini. (DL, 22 tahun, Laki-laki)

Anda mungkin juga menyukai