Pendidikan Aswaja
dan Ke-NU-an
untuk MA/SMA Islam
Kelas
XI
Semester Ganjil
Keunggulan Buku
Curriculum
"Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan ayat Al-Qur'an, Hadis, dan huruf Arab lainnya
yang tidak kami sengaja dalam buku ini."
Mind Mapping
Perhatikan mind mapping berikut guna memudahkan pembelajaran pada materi ini!
Ijtihad sebagai
Istinbath Hukum
Mengetahui arti ijtihad sebagai istinbath Islam
hukum Islam.
Mengetahui arti taqlid sebagai pengamalan
hukum Islam.
Indikator Capaian
Pembelajaran Mengetahui istinbath hukum di lingkungan 1. Pengerian Taqlid
Nahdlatul Ulama. dikaji melalui 2. Hakikat Bermazhab
Mengetahui cara bertaqlid yang benar Taqlid sebagai 3. Bermazhab Memelihara Kemurnian Ajaran
(ittiba', tarjih, dan talfiq). Pengamalan Islam
Hukum Islam 4. Sistem Bermazhab Menurut Ahlussunnah
diharapkan Materi wal Jamaah
memiliki Pembelajaran
Istinbath Hukum
di Lingkungan 1. Tradisi Bahtsul Masail
Taat dan patuh Nahdlatul Ulama 2. Tata Cara Pengambilan Keputusan Dalam
Kreatif-inovatif Kerangka Bermazhab
Muqadimah
Al-Qur'an dan As-Sunnah merupakan dua sumber
utama dalam hukum Islam. Apabila di dalam Al-Qur'an
ditemukan ketentuan hukum yang jelas dan tegas, maka
hukum itulah yang harus diambil. Namun, bila tidak
ditemukan di dalamnya, maka dicari dalam As-Sunnah.
Jika di dalam keduanya tidak terdapat ketentuan
hukum, atau masih mengundang banyak penafsiran
Nash-Zanni dilalah, maka pencarian hukumnya
dilakukan oleh para ulama melalui ijtihad. Zanni al-
Dilalah adalah suatu nash yang mengundang suatu
arti yang memungkinkan untuk ditakwilkan dengan
berbagai arti dan diinterpretasikan dengan selain arti
tektualnya. Pembelajaran kali ini akan membahas
tentang ijtihad dan taqlid. Ayo simak pejelasan gurumu
dengan saksama! Kerjakan tugas-tugas yang diberikan!
Sumber: https://nu.or.id/
Pertanyaan:
1. Siapa saja penyebar Islam awal di Nusantara?
........................................................................................................................................................
2. Bagaimana proses dakwah yang dilakukan?
........................................................................................................................................................
3. Paham keislaman apa yang kali pertama masuk ke Indonesia?
........................................................................................................................................................
“Pengerahan segala kemampuan oleh seorang mujtahid dalam mendapatkan ilmu tentang
hukum syarak.”
Sebagai sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-
orang yang berbuat baik." (QS. Al-'Ankabut: 69)
Selain ijtihad, juga ada kata jihad dan mujahadah, yang memiliki makna sama karena
keduanya satu akar kata, yaitu bentuk mashdar dari kata jahada. Keduanya memiliki arti
pengerahan kemampuan. Dalam pengertian secara khusus, mujahadah secara fisik disebut
jihad, sementara mujahadah dengan akal disebut ijtihad.
“Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zanni dari hukum-hukum
syarak.”
Dalam definisi yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syaukani di atas, digunakan kata badzlul
wus’i untuk menjelaskan bahwa ijtihad adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan
kemampuan. Artinya, jika usaha tersebut tidak dilakukan dengan kesungguhan dan tidak sepenuh
hati, maka itu bukan ijtihad. Penggunaan kata syar’i mengindikasikan bahwa yang dihasilkan
dalam usaha ijtihad adalah hukum syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah aku manusia.
Penggunaan kata ini untuk membedakan pengertian ijtihad sebagai usaha menemukan sesuatu
yang bersifat aqli, lughawi, dan hissi. Pengerahan kemampuan untuk kategori tiga hal tersebut
tidak dinamakan ijtihad.
Dalam definisi yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani juga disebutkan cara menemukan
hukum syarak yaitu dengan metode istinbath ( ) artinya mengeluarkan sesuatu dari
kandungan lafal. Jadi, ijtihad adalah usaha memahami lafal dan mengeluarkan hukum dari lafal
tersebut. Kata istinbath maksudnya adalah mengeluarkan hukum fikih dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul sehingga kata istinbath identik
dengan ijtihad.
Imam Syafi’i memiliki dua pendapat terkenal yang disebut sebagai qaul qadim (pendapat
lama) dan qaul jadid (pendapat baru). Qaul qadim adalah pendapat (mazhab) yang beliau
bangun ketika masih di Iraq, sedangkan qaul jadid adalah mazhab yang beliau bangun ketika
beliau berada di Mesir. Adanya qaul qadim dan qaul jadid, bukan karena beliau tidak konsisten
dalam keilmuannya, namun lebih menunjukkan fleksibelitas fikih dan menggambarkan perjalanan
intelektual beliau sekaligus rasa rendah hati beliau.
Adanya dua qaul tersebut terbukti bahwa produk fikih itu tidak bersifat statis, namun bersifat
dinamis. Perjalanan hidup beliau tidak pernah berhenti untuk mencari ilmu. Kerendahan hati beliau
ditunjukkan dengan tidak merasa "gengsi" untuk mengubah pendapatnya jika didapatkan ada dalil
lain yang lebih kuat.
“Kalam (perkataan) Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui
perantara malaikat Jibril dengan bahasa Arab, yang diriwayatkan secara mutawatir,
dan membacanya merupakan ibadah.”
Kedudukan Al-Qur’an adalah sebagai sumber rujukan utama hukum Islam dan memiliki
ketetapan hukum yang qat’i (pasti). Allah swt. berfirman:
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang
rukuk.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 43)
2) Ketentuan dalam berwudu
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki......” (Q.S. Al-Mä’idah/5: 6)
3) Keharaman minuman keras dan judi
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala...” (Q.S. Al-Mä’idah/5: 3)
5) Kewajiban berbakti dan berbuat baik kepada orang tua
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.” (Q.S. Al-Isrä’/17: 23)
“Setiap perkataan, pebuatan, dan taqrir (persetujuan) yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw.”
Kata sunnah memiliki padanan kata dengan kata hadis. Ulama bersepakat tentang kedudukan
sunnah sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an dalam pengambilan keputusan hukum.
Allah swt. berfirman:
“Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah; dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” (Q.S. Al-Hasyr/59: 7)
Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Aku meninggalkan untuk kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh dengannya
kalian tidak akan pernah tersesat; yaitu kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.” (H.R. Malik)
Sunnah atau hadis memiliki beberapa fungsi di antaranya:
1) Menjelaskan ayat Al-Qur’an. Penjelasan tersebut berupa taqyid (batasan) terhadap
ayat-ayat yang masih mujmal (global), dan takhsis (pengkhususan) terhadap ayat yang
masih umum. Contoh:
“Diharamkan bagi kalian: bangkai, darah, dan daging babi ... (Q.S. Al-Mä’idah ayat 3)
Ayat di atas menunjukkan keharaman atas semua jenis bangkai dan darah. Kemudian
ayat tersebut dibatasi oleh sabda Nabi saw.:
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah: dua bangkai maksudnya ikan dan
belalang, dua darah maksudnya hati dan limpa.” (H.R. Ahmad)
2) Menguatkan peristiwa yang terjadi di dalam Al-Qur’an. Contoh tentang kewajiban salat,
zakat, dan puasa.
3) Membuat ketentuan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Contoh tentang
keharaman memakai emas dan sutra bagi laki-laki.
“Emas dan sutra dihalalkan bagi para wanita dari umatku dan diharamkan bagi para
lelakinya.” (H.R. Ahmad)
4) Menjelaskan tentang hukum-hukum yang telah dinaskh (dihapus/ diganti).
Sunnah dibagi menjadi beberapa macam:
1) Berdasarkan jenisnya:
a) Sunnah qauliyah, adalah perkataan Nabi Muhammad saw. yang diucapkan dalam
berbagai kesempatan dan kejadian. Contoh: Hadis tentang niat.
b) Sunnah fi’liyah, adalah perbuatan dan tindakan Nabi Muhammad saw.
Contoh: tata cara salat Nabi Muhammad saw.
Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an 8 untuk MI/SD Islam Kelas 11 Semester 1
c) Sunnah taqririyah, adalah persetujuan Nabi Muhammad saw. atas perkataan atau
perbuatan sahabat, dengan cara diam atau tidak membantahnya.
Contoh: Hadis tentang para sahabat yang sedang makan daging dhab (biawak
gurun) di hadapan Rasulullah, beliau hanya diam dan tidak melarangnya.
2) Berdasarkan sumbernya:
a) Sunnah nabawiyah, yaitu setiap perkataan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw.
b) Sunnah qudsiyah, yaitu setiap perkataan yang disandarkan kepada firman Allah
swt. namun bukan merupakan Al-Qur’an.
3) Berdasarkan proses periwayatannya:
a) Mutawatir yaitu diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak akan mungkin
bersepakat pada kebohongan. Sunnah yang diriwayatkan secara mutawatir
memiliki ketetapan hukum yang mutlak.
b) Ahad yaitu diriwayatkan oleh beberapa orang yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Sunnah yang diriwayatkan secara ahad memiliki ketetapan hukum yang dapat
diperdebatkan.
4) Berdasarkan tingkatannya:
a) Sahih yaitu sunnah yang mempunyai sanad yang bersambung, diriwayatkan oleh
perawi yang adil dan dabit (kuat ingatan).
b) Hasan yaitu sunnah yang mempunyai sanad yang bersambung, diriwayatkan oleh
perawi yang adil, tetapi kurang dabit (kurang kuat ingatannya).
c) Daif yaitu sunnah yang sanadnya tidak bersambung dan atau diriwayatkan perawi
yang lemah.
d) Maudu’ yaitu sunnah palsu (bukan berasal dari Nabi Muhammad saw.)
“Dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda: Tidak sah sebuah
pernikahan tanpa adanya wali.” (H.R. Tirmizi)
2) Niat dalam ibadah
“Dari Umar bin Khattab ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya.” (H.R. Bukhari)
c. Ijma’
Kata ijma’ secara etimologi memiliki dua cakupan makna, yaitu al-ittifaq (kesepakatan) dan
al-‘azmu (keinginan melaksanakan sesuatu). Sedangkan secara terminologi, Abu Zuhrah
mendefinisikan ijma’ dengan:
“Kesepakatan para mujtahid dari umat Islam dalam suatu masa setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw. terhadap hukum syarak.”
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu ....” (Q.S. An-Nisä’/4: 59)
1) Rukun Ijma’
Ijma’ dapat terlaksana dengan memenuhi empat rukun, yaitu:
a) Adanya sejumlah mujahid yang hidup pada masa munculnya permasalahan.
b) Ketetapan hukum yang telah menjadi ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh mujtahid.
c) Suatu ketetapan dinamakan ijma’ kalau disepakati oleh seluruh mujtahid yang ada
pada suatu zaman walaupun berbeda tempat.
d) Suatu masalah hukum yang ditetapkan kemudian menjadi ijma’ bermula dari fatwa
para mujtahid, baik fatwa dari golongan ulama tertentu atau dari seorang mujtahid.
2) Macam-macam ijma’
a) Ijma’ sarih, yaitu kesepakatan para mujtahid atas kedudukan hukum suatu masalah
tertentu yang berawal dari fatwa setiap mujtahid yang dinyatakan dengan lisan ataupun
perbuatan, kemudian menjadi sebuah Ijma’ setelah adanya kesepakatan bersama.
b) Ijma sukuti, yaitu kesepakatan sebagian ulama pada suatu zaman dalam satu
permasalahan tertentu. Sedangkan sebagian yang lain tidak mengemukakan
pertentangan ataupun persetujuannya.
3) Contoh pelaksanaan ijma’ dalam penetapan hukum
a) Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah
b) Kodifikasi (pengumpulan) mushaf Al-Qur’an
c) Pembagian harta wasiat dilaksanakan setelah pembayaran utang mayit, dan lain-lain.
d. Qiyas
Secara etimologi, kata qiyas berarti memperkirakan sesuatu. Sedangkan secara terminologi, yaitu:
“Menjelaskan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya (tidak dijelaskan dalam
AlQur’an dan sunnah) dengan hukum suatu telah ada nashnya karena adanya persamaan
dalam illatul hukum (sebab hukum) di antara keduanya.”
Kedudukan qiyas adalah sebagai hukum Islam yang ke empat. Apabila tidak terdapat nash dari
Al-Qur’an dan sunnah dengan ketentuan keputusan hukum qiyas tidak boleh bertentangan
dengan sumber hukum yang lebih baku (Al-Qur’an, sunnah, ijma’).
Alah swt. berfirman: “... Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (sunnah), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
takwilnya.” (Q.S. An-Nisä’/4: 59)
Rukun Qiyas ada 4 macam, di antaranya:
1) Asl, yaitu permasalahan yang telah ada nashnya yang dijadikan rujukan qiyas.
2) Fara’, yaitu permasalahan yang belum ada nashnya dan sedang dicari persamaan
hukumnya dengan aÃl.
3) Illatul hukmi, yaitu sifat yang terdapat pada permasalahan asl.
4) Hukmul Asl, yaitu hukum syarak yang terdapat dalam nash dalam hukum aÃl-nya.
1. Pengerian Taqlid
Taqlid berasal dari kata qallada yang berarti mengulangi, meniru, mengikat, atau
mengikuti. Secara istilah taklid artinya mengamalkan ucapan orang lain tanpa mengetahui
landasan dan basis argumentasi yang digunakan.
Dalam istilah ushul fikih, taqlid adalah:
“Menerima perkataan seseorang, sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal
pengetahuan itu.
Berkaitan dengan hal ini (taqlid), di Nahdlatul Ulama (NU) terdapat kajian keagamaan
yang disebut dengan Bahtsul Masail. Bahtsul Masail adalah salah satu sarana untuk
meningkatkan kualitas keilmuan seseorang agar lebih tinggi lagi. Harapannya agar mereka
tidak menjadi muqallid a’ma yaitu orang yang mengikut pendapat orang lain tanpa didasari
pengetahuan terhadap argumen yang digunakan oleh orang tersebut. Akan tetapi, bukan berarti
bahwa orang yang sudah mengetahui sekilas dalil-dalil dalam agama itu sudah bisa dikatakan
tidak bertaklid. Sebab bagaimana pun juga dia belum memenuhi syarat untuk menjadi mujtahid.
Pengertian tersebut memiliki maksud bahwa bertaqlid itu mempercayai pendapat
seorang ulama untuk diikuti, meskipun tidak mengerti bagaimana ulama tersebut berijtihad,
atau bagaimana mengistinbath-nya dari ayat Al-Qur’an atau hadis.
K.H. Achmad Siddiq dalam Khitthah Nahdliyyah mengatakan bahwa bertaqlid berarti
“Mengikuti pendapat orang lain yang diyakini kebenarannya sesuai dengan Al-Qur’an dan
hadis.” Mengapa taqlid terjadi?
Dalam kehidupan beragama, taklid memang tidak bisa dihindari. Seorang anak kecil
yang sedang belajar agama seperti tata cara berwudu, salat, puasa, dan ibadah-ibadah
mahdah lainnya tentu akan mengikuti begitu saja apa yang dikatakan oleh guru atau ustaznya
tanpa membantah atau menanyakan argumen atau dalil yang digunakan. Namun, semakin
meningkatnya pengetahuan keagamaan seseorang, ia akan terus mempelajari dalil-dalil dari
suatu pendapat yang lain, atau terus mencari dari mana sumber pendapat tersebut.
Begitu pula orang yang sudah tua dan baru belajar agama atau orang yang
kecerdasannya kurang. Tentu orang yang demikian tidak bisa dibebani hal-hal yang berat.
Jika mereka harus dipaksa untuk mengetahui semuanya secara detail hingga kepada dalil-
dalilnya maka mereka akan merasa keberatan dan justru enggan beribadah. Jadi, bertaklid
tidak selalu identik dengan mengikut secara sembarangan atau dalam bahasa Arab disebut
dengan taqlidul a’ma (tanpa sama sekali mempertimbangkan apakah pendapat yang diikuti
itu benar ataukah sesat).
Jumhur Ulama Ushul Fikih bersepakat bahwa orang awam wajib mengikuti pendapat
para mujtahid dan mengambil fatwanya. Sebab dalam kenyataannya, orang awam pada zaman
Sahabat dan Tabi'in selalu meminta fatwa sahabat yang lebih mengerti atau mampu berijtihad,
dan mengikuti hukum-hukum yang telah difatwakannya. Dengan demikian, muqallid (orang
yang bertaqlid) adalah orang yang bisa memahami kitab-kitab fikih, namun tidak memilih
mana pendapat yang berbobot dan yang tidak. Apa yang terdapat dalam kitab itu diambilnya
lalu ia menyebutkan hukum suatu masalah. Ia menyebutkan bahwa hukum ini diterangkan
dalam kitab tertentu menurut ulama tertentu. Hal yang seperti ini sudah lazim berlaku di kalangan
mereka yang mengaku terkait dengan mazhab, maupun mereka yang tak terkait sama sekali.
Orang yang bertaqlid itu tetap mempunyai dalil, tetapi dalilnya adalah pendapat atau
perkataan gurunya. Hal seperti ini sebenarnya tidak akan bisa dihilangkan dari masyarakat
manapun, sehingga praktik semacam ini dalam syari’at Islam tetap dibenarkan, sejauh mana
ajaran dalam kitab itu atau perkataan gurunya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
hadis.
".... Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui." (QS. An-Nahl: 43)
Ayat di atas menunjukkan perintah kepada orang-orang yang tidak mengetahui untuk taklid
kepada para mujtahid.
2. Tidak semua sahabat menjadi mufti atau tempat bertanya para sahabat yang lain. Banyak juga
sahabat yang masih awam. Mereka juga bertanya dan mengikut para sahabat yang menjadi
mujtahid. Dan jumlah orang awam itu jauh lebih banyak daripada orang yang pandai.
"Ia telah berjalan, ia telah berlalu, ia telah pergi, ia telah mati dan lain-lain yang serupa itu.
Tetapi umumnya dalam bahasa Arab terpakai dengan arti “berjalan” atau “pergi”. Maka kata
“mazhab” itu biasa diartikan dengan jalan atau tempat yang dilalui. Adapun arti mazhab
menurut istilah yang telah berlaku di sisi para ulama ahli fikih ialah mengikuti sesuatu yang
dipercayai, misalnya:
“Mazhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh
para imam mujtahid.”
Singkatnya, mazhab adalah hasil ijtihad seorang imam tentang hukum sesuatu masalah
agama, khususnya dalam masalah fikih, misalnya; menyentuh wanita yang tidak mahram
hukumnya membatalkan wudu’ menurut Imam Syafi’i. Maka dengan sendirinya mazhab
hanya terdapat dalam masalah-masalah “dzanniyah” atau “ijtihadiyah”, sehingga tidak benar
jika dikatakan bahwa hukum salat lima waktu adalah wajib menurut mazhab Syafi’i, sebab
hukum wajibnya salat adalah wajib yang bersifat qath’iyyah.
Dalam praktiknya, bermazhab itu dapat dibedakan dalam dua hal:
a. Bermazhab secara manhaji (metodologis), artinya mengikuti mazhab sebagai metode
beristinbath/berijtihad untuk menemukan suatu hukum. Bermazhab dengan cara ini
hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sudah memenuhi persyaratan untuk beritihad
sendiri, akan tetapi belum mencapai level mujtahid mutlaq. Bermazhab secara manhaji
juga bisa dilakukan dengan cara istinbath jama’i, artinya upaya mendaptkan suatu
hukum secara bersamaan oleh beberapa orang.
b. Bermazhab secara qauli, yaitu mengikuti qaul (pendapat) atau hasil ijtihad para mujtahid.
Semua qaul dari para mujtahid itu dapat ditemukan dalam kitab-kitab fikih yang mu’tabar
(representatif/dapat dipertanggungjawabkan), ataupun didengar dari keterangan para
ulama yang mu’tabar.
“... Maka bertanyalah kepada orang-orang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.
Ayat ini merupakan perintah kepada orang-orang yang tidak mengerti hukum dan dalil-
dalilnya agar mengikuti orang lain yang mengetahui. Sehingga bertaqlid kepada para
mujtahid, bagi kaum awam adalah suatu keharusann.
b. Sahabat Nabi banyak yang mengikuti petunjuk yang diberikan oleh sahabat lain yang lebih pandai.
Tingkat keilmuan para sahabat tidaklah sama. Tidaklah semua sahabat ahli hukum, bahkan
sangat sedikit bila dibandingkan dengan yang awam. Berarti telah terjadi taqlid atau ittiba’ di
antara para sahabat Nabi. Kenyataan semacam itu terus berlangsung pada zaman tabi’in
dan sesudahnya, bahkan samapai sekarang.
c. Secara akal, bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan ijtihad, apabila menghadapi
suatu masalah hukum maka akan ada dua kemungkinan yang dilakukan, yaitu mungkin
ia tidak melakukan apa-apa, atau akan mencari dalil dengan kemampuannya sendiri.
Usaha mencari dalil sendiri merupakan sesuatu yang sulit bagi mereka. Usaha mencari
dalil ini akan menghambat kegiatan mereka sehari-hari, dan mempersulit pelaksanaan
perintah agama. Oleh sebab itu bermazhab dan bertaqlid merupakan jalan yang terbaik.
“Mengikuti orang awam atau orang-orang yang tidak mencapai kemampuan ijtihad kepada
pendapat atau ajaran seorang imam mujtahid baik secara terus menerus atau berpindah-
pindah dari seorang mujtahid kepada seorang mujtahid yang lain.”
Dari pengertian tersebut diketahui bahwa dalam bermazhab terdapat dua pihak, yaitu:
pihak-pihak yang diikuti pendapatnya atau diikuti hasil ijtihadnya, yaitu para imam mujtahid dan
pihak yang mengikuti pendapat atau hasil ijtihad imam mujtahid. Mereka adalah orang awam
yang tidak mempunyai keahlian di bidang agama yang justru merupakan mayoritas masyarakat
muslim di seluruh dunia.
Bermazhab itu pada hakikatnya tidak berarti meninggalkan Al-Qur’an dan As Sunnah, karena
pengambilan sumber-sumber hukum yang digali oleh imam-imam mazhab itu tidak lain adalah
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan dengan pemikiran para Imam mazhab itulah Al-Qur’an dan
As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam terselamatkan dari berbagai bentuk penyelewengan
dan kesalahan.
Imam Abu Hanifah pada waktu menunaikan ibadah haji sempat bertemu dengan
Imam Malik di Madinah. Hal itu merupakan pertemuan dua tokoh besar dari
dua aliran yang berbeda. Imam Abu Hanifah sebagai tokoh aliran Ahlu Al-Ra’yi,
sedang Imam Malik merupakan tokoh aliran Ahlu Al-Hadis. Kedua tokoh ini
sempat melakukan dialog ilmiah interaktif di Madinah, yang terakhir dengan sikap
saling memuji dan mengakui kepakaran masing-masing di hadapan pengikutnya.
Peristiwa itu kemudian mendorong salah seorang murid senior Imam Abu Hanifah,
yakni Imam Muhammad bin Hasan, belajar kepada Imam Malik di Madinah selama
dua tahun.
Imam Sya•’i yang cukup lama menjadi murid Imam Malik dan selama sembilan
tahun mengikuti mazhab Maliki, tertarik mempelajari mazhab Hana•. Ia berguru
kepada Imam Muhammad bin Hassan, yang waktu itu menggantikan Abu Hanifah
yang sudah wafat.
Ternyata Imam Muhammad bin Hasan ini sudah pernah bertemu akrab dengan
Imam Sya•’i sewaktu bersama-sama belajar kepada Imam Malik di Madinah. Di
antara keduanya saling tertarik dan mengagumi. Ini terbukti, waktu Imam Sya•’i
ditangkap oleh pemerintah Abbasiyah karena di•tnah terlibat gerakan Alawiyah
di Yaman, yang membela dan memberikan jaminan adalah Imam Muhammad bin
Hasan.
Selama Imam Sya•’i berada di Baghdad yang kedua, Imam Ahmad bin Hambal
cukup lama belajar kepada Imam Sya•’i. Kalau diperhatikan, ternyata keempat
imam mazhab tersebut mempunyai sikap tawaduk dan saling menghormati.
Kebesaran dan popularitas masing-masing tidak mempengaruhi sikap dan perilaku
akhlaqul karimahnya, itu merupakan citra terpuji dari para pemegang amanah
keilmuan yang luar biasa.
“Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik.”
d. Toleransi dalam perbedaan pendapat sesuai ketentuan dalam sebuah hadis:
"Barang siapa yang berpendapat (ijtihad) dan benar, maka ia mendapat dua pahala.
Tetapi bagi yang salah (dianggap salah) maka mendapat satu pahala.”
e. Moderasi (tasawuth) artinya tengah-tengah dalam sikap dan pandangannya.
f. Solidaritas dan kesatuan umat Islam dalam jamaah.
1. Pendiri Mazhab
2. Lahir/Wafat Imam
3. Guru/Murid
Karakteristik Mazhab
5. (perbadingan dengan mazhab
lain)
1. Ittiba’
Kata “Ittiba’” berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il ”Ittaba’”, yang
artinya adalah mengikut atau menurun.” Ittiba’ menurut istilah adalah :
“Menerima perkataan orang lain dan (kamu) mengetahui dari mana sumber alasan tersebut.”
Jadi, ittiba’ berdasarkan definisi di atas adalah diterimanya fatwa atau perkataan oleh
seseorang yang mana perkataan tersebut dapat dipertanggung jawabkan karena sesuai dengan
sumber yang jelas yakni dari Al-Qur’an, As-Sunnah, serta hasil ijtihad ulama-ulama.
Muttabi’ adalah seseorang yang menerima perkataan atau fatwa oleh seseorang
Muttaba’ yang bersumber dari Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama. Sedangkan
Muttaba’ adalah orang yang memberikan fatwa atau perkataan kepada Muttabi’. Seorang
Muttabi’ harus mengetahui bahasa Arab atau dalilnya tetapi tidak harus tahu mengetahui sah
atau tidaknya sebuah fatwa atau Hadis dikarenakan seorang Muttaba’ sudah mengatakan
sah maka sah-lah fatwa tersebut dan seorang Muttaba’ harus bertanggung jawab atas
perkataannya tersebut dikarenakan berdosalah dia jika berdusta atau mengesahkan sesuatu
Hadis tanpa mengecek kebenaran Hadis tersebut. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk
Muttabi’ maka jika seorang Muttaba’ berdusta seorang Muttabi’ tidak berdosa.
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan,
yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah saw. Dengan kata lain ialah melaksanakan
ajaranajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad saw.
"Dan apa yang diberikan rasul kepadamu, terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu,
tinggalkan-lah. Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat keras hukumnya.
(Q.S. Al-Hasyr:7)
Dari ayat diatas Allah swt. telah memerintahkan bahwa seorang hamba harus mengikuti
perintah-Nya. Dan perintah-perintah tersebut merupakan wajib bagi setiap muslim. Dengan kata
lain ittiba’ adalah mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalil atau argumennya.
Misalnya seseorang mengikuti pendapat Imam Syafi'i tentang wajibnya membaca Surah Al-
Fatihah dalam salat, maka ia harus mengetahui juga dalil-dalil yang mewajibkan membaca
Al-Fatihah dalam salat. Begitu pula dalam masalah-masalah fikih yang lain.
2. Tarjih
Kata “tarjih” yakni menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan
berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendukungnya. Apabila salah satu dari dua
dalil tersebut berlawanan itu tidak diketahui mana yang datangnya kemudian, maka tidak
akan terjadi nasikh-mansukh dalam menghadapi keadaan yang demikian ini seorang mujathid
hendaklah meneliti diantara 2 dalil tersebut yang lebih kuat.
Contoh tarjih:
Terdapat hadis dari Abu Hurairah bahwa orang yang pada waktu Subuh masih
dalam keadaan junub (belum mandi besar) maka tidak sah puasanya. Akan tetapi, di sisi
lain ada hadis dari Aisyah bahwa pada bulan puasa Nabi dalam keadaan junub (belum
mandi besar) dan Nabi tetap melanjutkan puasanya. Kedua dalil itu bertentangan,
keduanya kuat, tidak ada keterangan nasikh dan mansukh. Maka hadis Aisyah lebih
dikuatkan karena Aisyah adalah istri Nabi yang jauh lebih mengetahui seluk beluk
kehidupan rumah tangga beliau daripada Abu Hurairah, termasuk dalam hal junub dan
mandinya. Menguatkan salah satu Hadis inilah yang disebut sebagai tarjih.
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih”
Berdasar definsii ini talfiq memiliki arti yaitu mencampurkan pendapat dua mujahid atau
lebih akan satu masalah yang sama atapun berbeda. Jadi, Talfiq adalah menggunakan dua
mazhab dalam satu amal perbuatan.
Contoh:
Sesorang mengikuti mazhab Imam Syafi’i dalam hal mengusap sebagian kepala,
namun ia menggunakan mazhab Imam Maliki seperti tidak wajib membaca basmalah dalam
salat. Dan menggunakan mazhab Hanafi dalam hal tidak batalnya bersentuhan antara laki-
laki dan perempuan. Maka, orang yang demikian tidak sah shalatnya. Sebab wudunya tidak
sah menurut Imam Maliki karena hanya mengusap sebagian kepala dan tidak seluruhnya.
Sedangkan salatnya tidak sah menurut Imam Syafii karena tidak membaca basmalah dalam
Al-Fatihah. Dan wudunya juga batal menurut Imam Syafii karena ia bersentuhan dengan
perempuan dewasa yang bukan muhrimnya.
Evaluasi Siswa
I. Berilah tanda silang (x) huruf a, b, c, d, atau e pada jawaban yang tepat!
Jawab: ......................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
3. Jelaskan pengertian mazhab, secara bahasa maupun istilah!
Jawab: ......................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
4. Jelaskan perbedaan antara mujtahid mustaqil dengan mujtahid muntashib!
Jawab: ......................................................................................................................................................
.................................................................................................................................................................
5. Sebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid!
Jawab: ......................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
6. Jelaskan perbedaan antara bermazhab secara qauli dengan bermazhab secara manhaji!
Jawab: ......................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
7. Sebutkan 3 alasan NU menetapkan bermazhab hanya pada 4 mazhab!
Jawab: ......................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan talfiq, tarjih, dan ittiba'!
Jawab: ......................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
9. Apakah talfiq dibolehkan?Jelaskan!
Jawab: ......................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
10. Apa yang kalian pahami tentang Bahtsul Masail?
Jawab: ......................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
Penilaian Penugasan
► Kunjungilah website (laman) https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail
atau scan kode QR di samping!
Tugas:
1. Cari 1 (satu) kasus aktual yang sedang dibahas di rubrik Bahtsul Masail!
2. Tuliskan poin-poin permasalahan!
3. Jelaskan solusi atas masalah tersebut!
4. Berikan ulasan Anda terhadap permasalah tersebut pada buku tugasmu!