Anda di halaman 1dari 11

31

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dikemukakan hasil dan pembahasan mengenai

gambaran kejadian abortus inkomplit di RSU Sawerigading Palopo. Penelitian ini

dilaksanakan dari tanggal 16 s/d 31 Agustus 2010.

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran umum lokasi penelitian

Rumah Sakit Umum Sawerigading adalah Rumah Sakit tipe C

milik pemerintah Kota Palopo Propinsi Sulawesi Selatan yang didirikan

pada masa pemerintahan Belanda tahun 1920. Rumah Sakit ini memiliki

luas lahan tanah ± 10.040 m2 dengan luas bangunan 5.605 m2 yang terletak

di dua wilayah kelurahan yaitu bangunan untuk fasilitas pelayanan rawat

inap, pelayanan rawat darurat, pelayanan ICU, kamar operasi, instalasi

gizi, laboratorium dan radiologi berada di Jl. Samiun Kelurahan

Amassangan, sedangkan bangunan untuk fasilitas rawat jalan dan pelayanan

administrasi/informasi berada di Jl. DR. Ratulangi Kelurahan Rampoang.

Rumah Sakit Umum Sawerigading Palopo merupakan unit

pelaksana teknik Dinas Kesehatan Kota Palopo yang memberikan

pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara menyeluruh dan terpadu

dalam satu wilayah kerja yang dipimpin oleh direktur. Jumlah tenaga

kesehatan di Rumah Sakit ini terdiri dari 32 orang tenaga dokter umum

dan spesialis, 179 orang tenaga perawat, 54 orang tenaga non-perawatan,

dan 57 orang tenaga non-medis.

31
32

2. Analisa univariat

Pada bagian ini akan diuraikan tentang distribusi kejadian

persalinan letak sungsang berdasarkan umur, usia kehamilan dan paritas

ibu. Dimana hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Distribusi Kejadian Abortus Inkomplit Berdasarkan Umur Ibu


di RSU Sawerigading Palopo Periode Januari 2008 s/d
Desember 2009

Jumlah
Umur
n %
< 20 tahun 18 31.0
20-25 tahun 16 27.6
> 35 tahun 24 41.4
Total 58 100
Sumber : Data sekunder

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, menunjukkan jumlah ibu yang

memiliki umur resiko tinggi mengalami kejadian abortus inkomplit yaitu

umur > 35 tahun sebanyak 24 orang (41.4%) dan umur < 20 tahun

sebanyak 18 orang (31%), sedangkan jumlah ibu yang memiliki umur

resiko rendah (20-35 tahun) mengalami kejadian abortus inkomplit

sebanyak 16 orang (27.6%).

Tabel 4.2 Distribusi Kejadian Abortus Inkomplit Berdasarkan Paritas Ibu


di RSU Sawerigading Palopo Periode Januari 2008 s/d
Desember 2009

Jumlah
Paritas
n %
Paritas < 2 20 34.5
Paritas 2-3 15 25.8
Paritas ≥ 4 23 39.7
Total 58 100
Sumber : Data primer
33

Berdasarkan tabel 4.2 di atas, menunjukkan jumlah ibu yang

memiliki paritas < 2 mengalami kejadian abortus inkomplit sebanyak 20

orang (34.5%), paritas 2-3 sebanyak 15 orang (25.8%) dan paritas ≥ 4

sebanyak 23 orang (39.7%).

Tabel 4.3 Distribusi Kejadian Abortus Inkomplit Berdasarkan Pendidikan


di RSU Sawerigading Palopo Periode Januari 2008 s/d
Desember 2009

Jumlah
Pendidikan
n %
SD 22 37.9
SMP 19 32.8
SMA 11 19.0
Akademi/PT 6 10.3

Total 58 100
Sumber : Data sekunder

Berdasarkan tabel 4.3 di atas, menunjukkan jumlah ibu yang

berpendidikan SD mengalami kejadian abortus inkomplit sebanyak 22 orang

(37.9%), SMP sebanyak 19 orang (32.8%), SMA sebanyak 11 orang (19%)

dan pendidikan Akademi/PT sebanyak 6 orang (10.3%).

Tabel 4.4 Distribusi Kejadian Abortus Inkomplit Berdasarkan Status


Ekonomi di RSU Sawerigading Palopo Periode Januari 2008 s/d
Desember 2009

Jumlah
Status Ekonomi
n %
Rendah 24 41.4
Sedang 20 34.5
Tinggi 14 24.1

Total 58 100
Sumber : Data sekunder
34

Berdasarkan tabel 4.4 di atas, menunjukkan jumlah ibu dengan

status ekonomi rendah mengalami kejadian abortus inkomplit sebanyak 24

orang (41.4%), status ekonomi sedang sebanyak 20 orang (34.5%) dan status

ekonomi tinggi sebanyak 14 orang (24.1%).

Tabel 4.5 Distribusi Kejadian Abortus Inkomplit Berdasarkan Status


Perkawinan di RSU Sawerigading Palopo Periode Januari 2008
s/d Desember 2009

Jumlah
Status Perkawinan
n %
Kawin 54 93.1
Tidak kawin 4 6.9

Total 58 100
Sumber : Data sekunder

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, menunjukkan jumlah ibu yang

memiliki status kawin mengalami kejadian abortus inkomplit sebanyak 54

orang (93.1%) dan status tidak kawin hanya terdapat 4 orang (6.9%).

B. Pembahasan

1. Kejadian abortus inkomplit berdasarkan umur

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSU

Sawerigading Palopo diktehui menunjukkan umur resiko tinggi lebih

banyak mengalami kejadian abortus inkomplit dibanding umur resiko

rendah. Hal ini dapat dilihat, dari 58 orang ibu yang mengalami abortus

inkomplit sebagian besar memiliki umur resiko tinggi yaitu umur > 35

tahun sebanyak 24 orang (41.4%) dan umur < 20 tahun sebanyak 18 orang

(31%), sedangkan jumlah ibu yang memiliki umur resiko rendah (20-35

tahun) mengalami kejadian abortus inkomplit sebanyak 16 orang (27.6%).


35

Risiko terjadinya abortus spontan meningkat bersamaan dengan

peningkatan usia ibu. Abortus meningkat sebesar 12% pada wanita usia

kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar 26% pada usia lebih dari 35

tahun (Yudiayuzt, 2008).

Bia dilihat dari hasil penelitian tersebut di atas, tidak menunjukkan

adanya kesenjangan. Banyak ibu yang berumur < 20 tahun mengalami

kejadian abortus inkomplit dipengaruhi oleh alat reproduksi ibu belum siap

untuk hamil disebabkan karena perkembangan sel-sel belum optimal dan

status mental ibu belum matang, sedangkan umur > 35 tahun lebih banyak

mengalami kejadian abortus inkomplit dipengeruhi oleh alat- alat reporoduksi

ibu sudah mulai mengalami deneratif sehingga beresiko untuk hamil dan

melahirkan. Berbeda dengan dengan ibu yang memiliki umur 20-35 tahun,

pada umur ini perkembangan sel-sel reproduksi ibu sudah matang dan siap

bereproduksi sehingga biasa disebut masa usia subur.

Wanita usia lebih dari 35 tahun sering kali mengalami kondisi

kesehatan yang kronik (resiko tinggi) sehingga berpengaruh jika wanita

tersebut hamil. Resiko keguguran spontan tampak meningkat dengan

bertambahnya usia terutama setelah usia 35 tahun. Dimana, semakin lanjut

umur wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada, indung telur juga

semakin kurang peka terhadap rangsangan gonadotropin. Makin lanjut usia

wanita, maka resiko terjadi abortus makin meningkat karena menurunnya

kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya resiko kejadian kelainan

kromosom. Selain itu, dengan usia > 35 akan terjadi penurunan fungsi
36

endometrium karena mengalami atrofi yang menyebabkan vaskularisasi

endometrium terganggu (Ariyanto, 2009).

Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu

maupun pertumbuhan dan perkembangan janin karena belum matangnya

alat reproduksi untuk hamil. Penyulit pada kehamilan remaja (<20 tahun)

lebih tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi sehat antara 20-30

tahun. Umur ibu yang terlalu muda (< 20 tahun), uterusnya belum siap

menerima zigot dikarenakan fungsi endometrium belum optima. Keadaan

tersebut makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan psikologis, sosial

ekonomi, sehingga memudahkan terjadi keguguran (Ariyanto, 2009).

2. Kejadian abortus inkomplit berdasarkan paritas

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSU

Sawerigading Palopo diketahui jumlah ibu yang memiliki paritas < 2

mengalami kejadian abortus inkomplit sebanyak 20 orang (34.5%), paritas

2-3 sebanyak 15 orang (25.8%) dan paritas ≥ 4 sebanyak 23 orang

(39.7%). Hal ini menunjukkan bahwa paritas ≥ 4 lebih banyak mengalami

kejadian abortus inkomplit dibanding paritas < 2 dan paritas 2-3.

Paritas adalah pengelompokan wanita yang telah melahirkan

sejumlah anak hidup atau pernah punya anak yang meninggal saat

dilahirkan. Resiko abortus meningkat seiring dengan bertambahnya paritas

serta umur ibu atau ayah. Kehamilan menjadi sangat beresiko tinggi pada

wanita yang mempunyai paritas ≥ 4, dan insiden terjadinya abortus


37

meningkat jika jarak persalinan dengan kehamilan berikutnya berjarak 3

bulan (Hartanto dikutip Yudiayuzt, 2008).

Bila dilihat dari hasil penelitian di atas, tidak menunjukkan adanya

kesenjangan antara teori dengan hasil penelitian yang dilakukan. Banyak

ibu dengan paritas ≥ 4 mengalami kejadian abortus inkomplit disebabkan

karena otot-otot rahim ibu akan menjadi sangat elastis bila sudah beberapa

kali melahirkan sehingga janin yang dikandung berpeluang besar

mengalami keguguguran.

Pada kehamilan rahim ibu teregang oleh adanya janin, bila terlalu

sering melahirkan rahim akan semakin lemah. Bila ibu telah melahirkan 4

anak atau lebih, maka perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu

kehamilan seperti kasus perdarahan atau abortus (Masdanang, 2007).

3. Kejadian abortus inkomplit berdasarkan pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSU

Sawerigading Palopo diketehui jumlah ibu yang berpendidikan SD

mengalami abortus inkomplit sebanyak 22 orang (37.9%), menyusul

pendidikan SMP sebanyak 19 orang (32.8%), SMA sebanyak 11 orang

(19%) dan pendidikan Akademi/PT sebanyak 6 orang (10.3%). Hal ini

menunjukkkan bahwa semakin rendah pendidikan ibu semakin besar

peluang mengalami kejadian abortus inkomplit.

Bila dilihat dari hasil penelitian di atas, tidak menunjukkan adanya

kesenjangan dengan teori yang ada, dimana semakin rendah pendidikan

ibu semakin banyak melakukan aborsi dan sebaliknya. Banyaknya ibu


38

yang melakukan aborsi dapat dihubungkan dengan tingkat pengetahuan

mereka. Dimana, ibu yang berpendidikan rendah memiliki pengetahuan

kurang tentang dampak yang ditimbulkan akibat dari tindakan oborsi

tersebut. Berbeda dengan ibu yang berpendidikan tinggi, jika mereka

hendak melakukan aborsi butuh pertimbangan akan dampak yang

ditimbulkan tindakan tersebut.

Umumnya ibu yang mengalami abortus mempunyai pendidikan

1-9 tahun dan memungkinkan abortus pada pendidikan terendah lebih

besar dibanding kelompok yang berpendidikan lebih tinggi. Menurut

Prawirohardjo, bahwa kejadian abortus pada wanita yang berpendidikan

lebih rendah lebih banyak. Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Saifudin,

dkk (2002) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan makin rendah

kejadian abortus. Secara teoritis, wanita yang berpendidikan lebih tinggi

cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya

(Yudiayuzt, 2008).

4. Kejadian abortus inkomplit berdasarkan status ekonomi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSU

Sawerigading Palopo diketahui jumlah ibu dengan status ekonomi rendah

mengalami kejadian abortus inkomplit sebanyak 24 orang (41.4%), status

ekonomi sedang sebanyak 20 orang (34.5%) dan status ekonomi tinggi

sebanyak 14 orang (24.1%). Hal ini menunjukkan bahwa ibu dengan status

ekonomi rendah lebih banyak mengalami abortus inkomplit dibanding ibu

dengan status ekonomi tinggi.


39

Bila dilihat dari hasil penelitian penelitian di atas, menunjukkan

sejalan dengan teori yang ada. Banyaknya wanita yang mengalami abortus

dengan alasan status ekonomi rendah. Dengan status ekonomi rendah akan

mempengaruhi status nutrisi ibu dan janinnya. Wanita yang sedang hamil

dengan status nutrisi kurang, akan beresiko mengalami keguguran karena

mempengaruhi perkembangan janinnya. Selain mempengaruhi status

nutrisi ibu dan janin, kebayakan wanita menggugurkan kandungannya

disebabkan karena merasa tidak mampu mencukupi kebutuhan bayinya

setelah lahir.

Alasan yang paling sering muncul pada wanita yang

menggugurkan kandungannya adalah status ekonomi rendah. Wanita

menggugurkan kandungannya karena merasa tidak mampu untuk

mencukupi kebutuhan bayinya setelah lahir. Selain itu, dengan status

ekonomi yang rendah akan mempengaruhi status gizi ibu dan janinnya.

Malnutrisi bukan hanya melemahkan fisik dan membahayakan jiwa ibu,

tetapi juga mengancam keselamatan janin. Wanita yang bersikeras hamil

dikala status gizinya buruk, mempunyai resiko abortus sebesar 1,5 kali

dibanding dengan ibu yang mempunyai status gizi yang baik

(Ariyanto, 2009).

5. Kejadian abortus inkomplit berdasarkan status perkawinan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSU

Sawerigading Palopo diketahui jumlah ibu yang memiliki status kawin

mengalami kejadian abortus inkomplit sebanyak 54 orang (93.1%) dan status


40

tidak kawin hanya terdapat 4 orang (6.9%). Hal ini menunjukkan bahwa

sebagian besar wanita hamil dengan status kawin mengalami kejadian abortus

inkomplit.

Wanita dengan status tidak kawin lebih banyak melakukan abortus

dibanding wanita dengan status kawin karena alasan untuk menutupi rasa

malu keluaga. Akan tetapi kejadian tersebut tidak dapat dideteksi dengan

baik karena kebanyakan dari mereka yang melakukan praktek abortus

bukan diunit pelayanan kesehatan. Sementara, wanita dengan status kawin

banyak melakukan abortus dengan alasan karena sudah tidak ingin punya

anak lagi (Ariyanto, 2009).

Bila dilihat dari hasil penelitian tersebut di atas, tidak menunjukkkan

adanya kesenjangan. Alasan wanita dengan status kawin lebih banyak

mengalami kejadian abortus inkomplit di RSU Sawerigading Palopo

disebabkan karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi. Berbeda dengan

wanita dengan status tidak kawin, sebagian kecil ditemukan mengalami

abortus inkomplit disebabkan karena malu terhadap aib keluarga yang dapat

diketahui orang banyak. Wanita dengan status tidak kawin kebanyakan tidak

memeriksakan kejadian abortus yang dialaminya karena merasa khawatir jika

diketahui bahwa dirinya hamil di luar nikah sehingga mereka lebih banyak

melakukan praktek aborsi di dukun atau orang yang dianggap pintar.

Hasil studi di Bali menemukan bahwa 71% perempuan melakukan

aborsi adalah perempuan menikah, juga studi yang dilakukan oleh

Population Council, 98,8% perempuan yang melakukan aborsi di sebuah

klinik swasta di Jakarta, telah menikah dan rata-rata sudah memiliki anak,
41

alasan yang umum adalah karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi,

seperti survei yang dilakukan Biro Pusat Statistik, 75% wanita usia

reproduksi berstatus kawin tidak menginginkan tambahan anak. Aborsi

mungkin sudah menjadi kebutuhan karena alasan di atas, namun karena

adanya larangan baik hukum maupun atas nama agama, menimbulkan

praktek aborsi tidak aman meluas (Subiayanto, 2009)

Anda mungkin juga menyukai