Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PROSEDUR PENYUSUNAN TES BAHASA

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab

Dosen Pengampu: Dr. Abdul Basith, M.Pd.

Disusun oleh Kelompok 3:

1. Fatimatuzzahroh (2220054)
2. Yana Eka Afnani (2220081)

3. Heni Diah Widiyastuti (2220106)

4. Umi Salamah (2220156)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI K.H. ABDURRAHMAN WAHID

PEKALONGAN

2023

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt. Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan nikmat-Nya kepada para penulis, sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul PROSEDUR PENYUSUNAN TES BAHASA.
Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Dr. Abdul Basith, M.Pd, atas semua
yang telah diberikan kepada kami, sehingga kami mendapat pengetahuan dan wawasan
keilmuan yang luas. Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih
jauh dari kata sempurna baik materi maupun penulisannya. Namun, kami telah berupaya
membuat makalah ini dengan segala kemampuan yang kami miliki sehingga dapat selesai
dengan baik. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan masukan
guna memperbaiki makalah ini.

Pekalongan, 13 Maret 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...............................................................................................................4

C. Tujuan.................................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5

A. Prinsip-Prinsip Penyusunan Tes Bahasa............................................................................5


B. Prosedur Penyusunan Tes Bahasa.......................................................................................6

C. Hasil Analisis Tes Bahasa................................................................................................10


BAB III PENUTUP..................................................................................................................16
A. Kesimpulan........................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Fenomena yang terjadi saat ini, pembelajaran bahasa asing, khususnya bahasa
Arab banyak dianggap sulit oleh para murid. Hal ini tidak lain karena kita
dihadapkan pada bahasa ibu yang sudah dipergunakan sejak lahir serta lingkungan
sekitar yang kurang mendukung seseorang mahir dalam bahasa Arab. Tentunya ini
menjadi tantangan besar bagi guru bahasa Arab.
Seorang guru hendaknya dapat memberikan materi bahasa Arab yang mudah
dipahami oleh murid, agar dalam pembelajarannya sesuai dengan tujuan yang akan
dicapai. Dalam hal ini, guru memerlukan penilaian atau evaluasi mengenai sejauh
mana pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan, keefektifan metode,
strategi, media, dan yang lainnya yang digunakan oleh seorang guru. Pada evaluasi
sendiri memiliki prosedur-prosedur penyusunan tes bahasa. Salah satu alat
evaluasinya adalah tes. Seorang guru bahasa Arab harus benar-benar mengetahui
perencanaan pembuatan tes bahasa untuk muridnya demi tercapainya indikator
keberhasilan yang sudah ditentukan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip-prinsip penyusunan tes bahasa Arab?
2. Bagaimana prosedur penyusunan tes bahasa?
3. Bagaimana hasil analisis tes bahasa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui prinsip-prinsip penyusunan tes bahasa Arab
2. Untuk mengetahui karakteristik tes bahasa
3. Untuk mengetahui hasil analisis tes bahasa

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip-Prinsip dalam Penyusunan Tes Bahasa


Terdapat beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam penyusunan
tes bahasa agar tes tersebut dapat mengukur tujuan dari pembelajaran yang telah
diajarkan. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu:1
1. Tes bahasa harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar dari yang telah
ditetapkan sesuai dengan tujuan karena kejelasan mengenai pengukuran berupa
tes bahasa yang dikehendaki akan memudahkan bagi pendidik dalam menyusun
butir-butir soal.
2. Butir-butir soal tes harus merupakan sampel yang tepat dari populasi bahan
pembelajaran yang telah diajarkan sehingga dapat dianggap mewakili materi
pembelajaran yang telah diperoleh selama peserta didik mengikuti
pembelajaran.
3. Bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes bahasa harus dibuat bervariasi sehingga
benar- benar cocok untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan
tes itu sendiri.
4. Tes bahasa harus didesain sesuai dengan fungsinya untuk memperoleh hasil
yang diinginkan. Maksudnya, desain tes harus disusun relevan dengan
kegunaan yang dimiliki oleh masing-masing jenis tes. Desain dari placement
test (tes yang digunakan untuk menentukan penempatan siswa dalam suatu
jenjang atau jenis program pendidikan) pastinya akan berbeda dengan desain
dari formatif test (tes yang digunakan untuk mencari umpan balik guna
memperbaiki proses pembelajaran, baik bagi guru maupun siswa) dan sumatif
test (tes yang digunakan untuk mengukur sampai di mana pencapaian siswa
terhadap materi pembelajaran yang telah diajarkan dan selanjutnya untuk
menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan siswa yang bersangkutan).
5. Tes bahasa harus mempunyai reliabilitas atau konsistensi yang dapat
diandalkan. Artinya, setelah tes dilaksanakan berkali-berkali terhadap subjek
yang sama, hasilnya selalu sama atau relatif sama. Dengan demikian, tes bahasa
1
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 97-
99.

5
itu hendaknya mempunyai konsistensi hasil pengukuran yang tidak diragukan
lagi.
6. Selain menjadi alat pengukur keberhasilan belajar siswa, tes bahasa juga harus
dapat dijadikan alat untuk mencari informasi yang berguna untuk memperbaiki
cara belajar siswa dan cara mengajar guru itu sendiri.
B. Prosedur Penyusunan Tes Bahasa
Dalam menyusun tes bahasa, ada beberapa prosedur atau tahapan yang perlu
ditempuh agar tes yang disusun memiliki kualitas yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan. Tahapan-tahapan tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini, guru atau pembuat tes melakukan kajian terhadap
kurikulum bahasa (dalam hal ini Bahasa Arab) dan buku pedoman pelaksanaan
kurikulum untuk mata pelajaran bahasa. Apabila kurikulum yang dijadikan
sandaran adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang secara
substansial masih berbasis pada kompetensi, maka substansi yang dikaji
meliputi kompetensi dasar, indikator, hasil, topik-topik bahasan,penilaian, dan
alokasi waktu yang tersedia.2
2. Pemilihan Materi Tes
Untuk menetapkan materi tes bahasa yang benar-benar pasti dan
selektif, dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut.
a. Menentukan komponen dan keterampilan berbahasa yang akan diteskan,
misalnya tes kosakata, struktur, membaca, menulis, atau berbicara.
b. Menentukan pokok bahasan yang akan diteskan secara representatif (tidak
bias) dan tidak atas dasar subjektif penyusunan tes.3
3. Menentukan Bentuk dan Jenis Tes
Tes komponen dan kemampuan bahasa dapat disusun dalam bentuk
subjektif atau objektif dengan segala variasinya atau jenisnya (kecuali tes
keterampilan berbicara yang memiliki perlakuan khusus). Dengan kata lain, tes
yang disusun dapat berbentuk objektif berupa pilihan ganda atau benar salah,
atau subjektif berupa esai.

2
Gito Supriadi, Pengantar dan Teknik Evaluasi Pembelajaran, (Malang: Intimedia Press, 2011), hal.
35-38.
3
Yelfi Dewi, Evaluasi dan Tes Bahasa Arab Pedoman bagi Guru, Mahasisw,a dan Praktisi
Pendidikan Bahasa Arab, (Bukittinggi: STAIN Bukittinggi Press, 2013), hal. 45.

6
4. Menentukan Jumlah Butir Tes
Hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah butir tes
adalah alokasi waktu yang tersedia untuk penyelenggaraan tes. Untuk
menentukan berapa jumlah butir tes yang harus disusun sesuai dengan waktu
yang tersedia memang tidak ada batasan yang pasti.4 Akan tetapi, guru dengan
nalurinya yang mengetahui kondisi objektif siswanya akan dapat menentukan
jumlah butir tes yang sesuai dengan waktu yang tersedia. Misalnya, satu nomor
soal dalam pilihan ganda diberikan batas waktu satu menit.
Berkaitan dengan hubungan penentuan jumlah butir tes dan alokasi
waktu yang tersedia, seorang guru atau pembuat tes perlu juga memperhatikan
bentuk tesnya itu sendiri. Sudah tentu waktu yang digunakan untuk menjawab
soal dalam bentuk esai lebih banyak daripada soal dalam bentuk pilihan ganda
atau benar salah. Misalnya, jika jumlah butir tes itu 25, maka proporsi jumlah
item untuk masing-masing jenis tes adalah 10 item untuk tes pilihan ganda, 10
item untuk tes benar salah, dan 5 item untuk tes esai. Demikian pula proporsi
jumlah butir tes untuk masing-masing sub kemampuan juga perlu diperhatikan.
Dalam kaitannya dengan penentuan jumlah butir tes untuk masing-
masing aspek (kosakata, struktur, membaca, dan menulis), pembuat tes dapat
merumuskannya dengan pertimbangan tertentu. Di antaranya yaitu dengan
menghitung alokasi waktu yang tersedia untuk mata pelajaran bahasa secara
keseluruhan dan alokasi waktu untuk masing-masing aspek. Jika dalam
kurikulum tidak disebutkan alokasi waktu untuk masing-masing komponen atau
keterampilan, maka jumlah butir tes dapat ditentukan melalui butir-butir tujuan
pembelajaran atau prioritas tujuan pembelajaran.5
5. Menentukan Skor
Apabila jumlah butir tes sebanyak 40 (pilihan ganda) dengan skor
tertinggi 100 dan semua butir tes diberi bobot skor sama, maka skor untuk
jawaban yang benar pada setiap butir tes adalah 2,5. Sementara itu, jawaban tes
esai dapat di skor sesuai dengan pendapat dan penilaian subjektif (berbasis
keahlian profesional) seorang korektor. Jika seandainya suatu pekerjaan tes
subjektif diperiksa oleh dua orang atau lebih korektor yang berbeda, maka
hasil penilaiannya sangat mungkin akan berbeda antara satu
4
M. Ainin, dkk, Evaluasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang: MISYKAT, 2006), hal. 95.
5
Moh. Matsna HS, Pengembangan Evaluasi dan Tes Bahasa Arab, (Tangerang: Alkitabah, 2012), hal.
77-78.

7
korektor dengan korektor lainnya. Perbedaan itu disebabkan oleh pendapat
penilaian masing-masing korektor yang subjektif terhadap pekerjaan yang sama
dari peserta tes yang sama.
Apabila soal yang dibuat mempunyai tingkat kesukaran yang berbeda-
beda, maka pihak pembuat tes dapat memberikan bobot yang berbeda. Artinya,
suatu butir tes diberi bobot tinggi apabila butir tes tersebut lebih sulit dan lebih
kompleks jika dibandingkan dengan butir tes lain. Dengan mengingat kedua
jenis tes tersebut, kita dapat menjelaskan perbedaan pada pemberian skornya,
yaitu sebagai berikut.
a) Untuk tes objektif, dalam menentukan benar dan salahnya jawaban terhadap
suatu butir tes korektor hanya mencocokkan jawaban dengan kunci jawaban
yang tersedia. Sedangkan untuk tes subjektif, korektor seringkali masih
perlu mempertimbangkan benar salahnya suatu jawaban yang tidak persis
sama dengan yang tertulis pada kuncinya.
b) Sebagai akibat dari perlunya pertimbangan korektor terhadap suatu jawaban,
maka otomatis proses pemberian skor untuk tes subjektif akan lebih lama
dibandingkan dengan proses pemberian skor pada tes objektif.
c) Jawaban terhadap tes objektif bersifat pasti, harus persis dengan kuncinya,
maka korektornya tidak harus seseorang yang ahli di bidang yang diteskan.
Sedangkan untuk tes subjektif, diperlukan korektor yang menguasai bidang
yang diteskan.
d) Siapapun yang mengoreksi tes objektif, hasil skornya tidak akan bervariasi.
Sedangkan pada tes subjektif, berbeda korektor mungkin saja menghasilkan
skor yang berbeda.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian skor untuk tes
subjektif lebih kompleks dan lebih rumit, sedangkan untuk tes objektif lebih
mudah dan lebih sederhana.6
6. Membuat Kisi-Kisi
Tujuan pembuatan kisi-kisi adalah untuk membuat spesifikasi yang jelas
tentang apa yang akan ditanyakan dan supaya apa yang akan diusahakan
mengenai sasaran. Kisi-kisi yang baik harus mewakili isi kurikulum suatu
lembaga yang bersangkutan, komponen-komponennya diuraikan dengan jelas

6
Erta Mahyudin, Pengembangan Evaluasi dan Tes Bahasa Arab, (Tangerang: Alkitabah, 2012), hal.
78 & 210.

8
dan mudah dipahami, serta memberikan indokator yang jelas pula.
Dalam membuat kisi-kisi soal, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut.
i. Menuliskan kompetensi dasar dan indikator capaian hasil belajar yang
terdapat dalam silabus/kurikulum
ii. Menuliskan daftar pokok/sub pokok bahasan yang akan diujikan
iii. Menentukan jumlah butir soal setiap pokok/sub pokok bahasan
Jumlah soal hendaknya representatif untuk untuk setiap pokok /sub
pokok bahasan yang diujikan dengan pertimbangan pentingnya pokok/sub
pokok bahasan tersebut. Selain itu, dalam menentukan jumlah soal juga
perlu mempertimbangkan waktu yang tersedia untuk pelaksanaan tes.
iv. Menentukan bentuk soal tes
Dalam menentukan bentuk tes, perlu mempertimbangkan karakteristik
materi yang hendak diukur. Jika tes itu untuk mengukur pemahaman mufradat,
qawaid, istima’, dan qiraah, maka bisa digunakan bentuk tes pilihan ganda.
Namun, jika tes itu untuk mengukur kemampuan menulis dan berbicara, maka
lebih tepat jika menggunakan bentuk tes uraian atau mengarang.7
7. Menyusun Butir Tes Berdasarkan Kisi-Kisi
Dalam penyusunan butir soal ini, ada rambu-rambu yang sebaiknya
diperhatikan oleh guru atau pembuat tes, yaitu:
i) Bahasa yang digunakan jelas dan lugas.
ii) Stem (pernyataan pokok) pada setiap butir tes (pilihan ganda) hanya berisi
satu permasalahan.
iii) Panjang jawaban untuk setiap option (khusus untuk pilihan ganda) relatif
sama.
iv) Letak jawaban yang benar disusun secara acak, artinya harus dihindari letak
jawaban benar yang berpola, misalnya berpola ab, ac, dan ad atau berpola
aa, bb, cc, dan dd.
8. Uji Coba Tes yang Telah Disusun
Sebelum tes diberlakukan kepada siswa, idealnya perlu dilakukan uji
coba terlebih dahulu. Uji coba ini bertujuan untuk mengetahui apakah tes yang
disusun benar-benar tes yang baik atau memiliki tingkat kesulitan yang normal

7
Yelfi Dewi, Evaluasi dan Tes Bahasa Arab Pedoman bagi Guru, Mahasisw,a dan Praktisi
Pendidikan Bahasa Arab, hlm. 47-48.

9
dan benar-benar dapat membedakan kelompok tester yang memiliki
kemampuan tinggi dan rendah. Untuk mengetahui hal itu, maka setelah tes uji
coba dilakukanlah analisis terhadap jawaban siswa. Di antara variabel yang
dianalisis adalah analisis tingkat kesulitan, analisis daya beda, dan analisis
reliabilitas.8
C. Analisis Hasil Tes Bahasa
Analisis kualitas tes merupakan suatu tahap yang harus ditempuh untuk
mengetahui derajat kualitas suatu tes, baik tes secara keseluruhan maupun butir soal
yang menjadi bagian dari tes tersebut. Tes sebagai alat evaluasi diharapkan
menghasilkan nilai yang objektif dan akurat. Jika tes yang digunakan guru kurang
baik, maka hasil yang diperoleh pun tentunya kurang baik. Hal ini dapat merugikan
peserta didik itu sendiri. Artinya, hasil yang diperoleh peserta didik menjadi tidak
objektif dan tidak adil. Oleh sebab itu, tes yang digunakan guru harus memiliki
kualitas yang lebih baik dilihat dari berbagai segi. Tes hendaknya disusun sesuai
dengan prinsip dan prosedur penyusunan tes. Setelah digunakan, perlu diketahui
apakah tes tersebut berkualitas baik atau kurang baik. Untuk mengetahui apakah
suatu tes yang digunakan termasuk baik atau kurang baik, maka perlu dilakukan
analisis kualitas tes.9
Penganalisisan terhadap butir-butir item tes hasil belajar meliputi:
1. Tingkat Kesukaran/Kesulitan
Berkualitas atau tidaknya butir-butir item tes hasil belajar pertama-tama
dapat diketahui dari derajat kesukaran atau taraf kesulitan yang dimiliki oleh
masing-masing butir item tersebut. Butir-butir item tes hasil belajar dapat
dinyatakan sebagai butir- butir item yang baik apabila butir-butir item tersebut
tidak terlalu sukar dan tidak pula terlalu mudah. Dengan kata lain, derajat
kesukaran item tersebut adalah sedang atau cukup.
Bertitik tolak dari pernyataan tersebut, maka butir-butir item tes hasil
belajar dimana seluruh tester tidak dapat menjawab dengan betul (karena terlalu
sukar) tidak dapat disebut sebagai item yang baik. Demikian juga sebaliknya,
butir-butir item tes hasil belajar dimana seluruh tester dapat menjawab dengan
betul (karena terlalu mudah) juga tidak dapat digolongkan ke dalam kategori

8
M. Ainin, dkk, Evaluasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang :Misykat, 2006). Hlm.100-102
9
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Jakarta: 2009), hal. 311.

10
item yang baik.10
Analisis tingkat kesulitan butir tes dimaksudkan untuk mengetahui
seberapa sulit atau mudahnya tes yang telah diselenggarakan, baik tes secara
keseluruhan maupun masing-masing butir tesnya. Tingkat kesulitan itu
diperhitungkan dari perbandingan antara jumlah peserta tes yang dapat
menjawab dengan benar dan yang tidak mampu menjawab dengan benar.
Dasarnya adalah bahwa semakin banyak peserta tes yang menjawab dengan
benar, maka semakin mudah tes atau butir tes yang bersangkutan.
Oleh sebab itu, rumus sederhana untuk menghitung tingkat kesulitan
butir tes berupa:13
P = JJB : JPT x 100%
Keterangan:
P = tingkat kesulitan
butir tes JJB = jumlah
jawaban benar JPT =
jumlah peserta tes

Menurut Whiterington, angka indeks kesukaran item tersebut besarnya


berkisar antara 0,00 sampai dengan 0,01. Artinya, angka indeks kesukaran paling
rendah adalah 0,00 dan paling tinggi adalah 1,00. Angka indeks 0,00 merupakan
petunjuk bagi tester bahwa item butir-butir tes hasil belajar tersebut terlalu sukar.
Sebaliknya, jika angka indeks 0,01 merupakan bahwa butir item yang bersangkutan
terlalu mudah.11

Untuk memperoleh angka indeks tersebut menggunakan:


I = B/N

Keterangan:

I = Indeks kesukaran butir

B = Banyaknya siswa yang menjawab butir tersebut dengan

benar N = Jumlah siswa yang mengikuti tes

10
Dony Handriawan, Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab, (Nusa Tenggara Barat: Sanabil, 2021), cet
ke-1, hlm. 226
11
Soenardi Djiwandoro, Tes Bahasa : Pegangan bagi Pengajar Bahasa,(Jakarta : Indeks, 2008),
hlm.218-219.

11
Adapun kriteria tingkat kesukaran yang digunakan adalah butir dengan P
0.00 sampai 0.30 tergolong sukar, butir dengan P 0.31 sampai 0.70 tergolong
sedang, dan butir dengan P 0.71 sampai 1,00 tergolong mudah.

Setelah berhasil diidentifikasi butir-butir item mana yang derajat


kesukarannya termasuk dalam kategori cukup, terlalu sukar, dan terlalu mudah,
maka tindak lanjut yang perlu dilakukan oleh tester adalah sebagai berikut:

Pertama, untuk butir-butir item yang berdasarkan hasil analisis


termasuk dalam kategori baik, sebaiknya butir item tersebut segera dicatat
dalam buku bank soal. Selanjutnya butir-butir soal tersebut dapat dikeluarkan
lagi dalam tes-tes hasil belajar pada waktu-waktu yang akan datang.

Kedua, untuk butir-butir item yang termasuk dalam kategori terlalu


sukar, ada tiga kemungkinan tidak lanjut, yaitu:

i. Butir item tersebut dibuang atau didrop dan tidak akan dikeluarkan lagi
dalam tes- tes hasil belajar yang akan datang.
ii. Diteliti ulang, dilacak, dan ditelusuri sehingga dapat diketahui faktor yang
menyebabkan butir item yang bersangkutan sulit dijawab oleh tester; apakah
kalimat soalnya kurang jelas, apakah petunjuk cara mengerjakan atau
menjawab soalnya sulit dipahami, atau dalam soal terdapat istilah-istilah
yang tidak jelas. Setelah dilakukan perbaikan kembali, butir-butir item
tersebut dikeluarkan lagi dalam tes hasil belajar yang akan datang.
iii. Haruslah dipahami bahwa tidak setiap butir item yang termasuk dalam
kategori terlalu sukar itu sama sekali tidak memiliki kegunaan. Butir-butir
item yang terlalu
sukar itu sewaktu-waktu masih dapat diambil manfaatnya, yaitu dapat
digunakan dalam tes-tes (terutama tes seleksi) yang sifatnya sangat ketat.
Ketiga, untuk butir-butir item yang termasuk dalam kategori terlalu
mudah, juga ada tiga kemungkinan tindak lanjut, yaitu:
i) Butir item tersebut dibuang atau didrop dan tidak akan dikeluarkan lagi
dalam tes- tes hasil belajar yang akan datang.
ii) Diteliti ulang, dilacak, dan ditelusuri secara cermat guna mengetahui faktor
yang menyebabkan butir item tersebut dapat dijawab betul oleh hampir
seluruh tester. Ada kemungkinan option atau alternatif yang dipasangkan

12
pada butir-butir item yang bersangkutan terlalu mudah diketahui oleh tester,
mana item yang merupakan kunci jawaban item dan mana option yang
berfungsi sebagai pengecoh atau distraktor. Di sini, tester harus berusaha
memperbaiki atau menggantinya dengan option yang lain sedemikian rupa
sehingga antara kunci jawaban dengan pengecoh sulit dibedakan oleh tester.
Setelah dilakukan perbaikan, item yang bersangkutan dicoba untuk
dikeluarkan lagi pada tes hasil belajar selanjutnya. Tujuannya adalah untuk
mengetahui apakah derajat kesukaran item itu menjadi lebih baik atau tidak
daripada yang sebelumnya.
iii) Seperti halnya butir-butir item yang terlalu sukar, butir-butir item yang
terlalu mudah juga masih mengandung manfaat, yaitu bahwa butir-butir
item yang termasuk dalam kategori ini dapat dimanfaatkan pada tes-tes yang
sifatnya longgar, dalam arti bahwa sebagian besar dari tester akan
dinyatakan lulus dalam tes seleksi tersebut.12
2. Daya Pembeda
Daya pembeda item adalah kemampuan suatu butir item tes hasil belajar
untuk dapat membedakan antara tester yang berkembang tinggi (pandai) dengan
tester yang berkembang rendah (bodoh) sedemikian rupa sehingga sebagian
besar tester dapat menjawab soal dengan betul sementara tester yang memiliki
kemampuan rendah tersebut sebagian besar tidak dapat menjawab item dengan
betul. Mengetahui daya pembeda itu penting sekali, sebab salah satu dasar yang
dipegangi untuk menyusun butir-butir item tes hasil belajar adalah adanya
anggapan bahwa kemampuan antara
tester yang satu dengan tester yang lain itu berbeda-beda, dan bahwa butir-butir
item tes hasil belajar itu haruslah mampu memberikan hasil tes yang
mencerminkan adanya perbedaan-perbedaan kemampuan yang terdapat
dikalangan tester tersebut.
Jika jawaban atas pertanyaan itu adalah “ya”, maka butir item yang
bersangkutan dapat kita anggap sebagai butir item yang baik, dalam arti bahwa
butir item tersebut telah menunjukkan kemampuanya didalam membedakan
antara testee yang termasuk dalam kategori pandai dengan testee yang termasuk
dalam kategori bodoh. Sebaliknya, jika jawaban atas pertanyaan tersebut adalah
12
Dony Handriawan, Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab, (Nusa Tenggara Barat: Sanabil, 2021),
hlm. 227-229.

13
“tidak”, maka butir item yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagai butir item
jelek, sebab hasil yang dicapai dalam tes itu justru bertentangan atau
berlawanan dengan tujuan tes itu sendiri. Daya pembeda dapat diketahui dengan
melihat besar kecilnya angka indeks diskriminasi item. Angka indeks
diskriminasi item adalah sebuah angka atau bilangan yang menunjukkan besar
kecilnya daya pembeda yang dimiliki oleh sebutir item. Daya pembeda pada
dasarnya dihitung atas dasar pembagian tester ke dalam dua kelompok, yaitu
kelompok atas (kelompok yang tergolong pandai) dan kelompok bawah
(kelompok yang tergolong bodoh).
Daya pembeda adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dan yang rendah. Angka yang
menunjukkan besarnya daya beda disebut indeks daya beda (indeks
diskriminasi).16 Selain tingkat kesulitan, aspek lain dari butir tes yang dijadikan
sasaran analisis adalah kemampuan butir tes untuk membedakan peserta tes
yang mampu dan yang kurang mampu dalam menjawab pertanyaan tes atau
mengerjakan tugas tes dengan benar. Kemampuan butir tes untuk membedakan
peserta tes tersebut dikenal dengan daya pembeda. Daya pembeda soal
berkaitan dengan kemampuan soal untuk mengetahuidan membedakan antara
siswa yang pandai (menguasai materi) dan siswa yang kurang pandai
(tidak/kurang menguasai materi). Cara untuk mengetahui daya pembeda ini
adalah dengan mengurutkan skor tertinggi paling atas sampai skor terendah, lalu
dibagi dua.13
3. Fungsi Distraktor
Dalam tes objektif selalu digunakan alternatif jawaban yang
mengandung dua unsur sekaligus, yaitu jawaban yang tepat dan jawaban yang
salah sebagai penyesat (distraktor). Tujuannya adalah sebagai pengecoh bagi
yang kurang mampu untuk dapat dibedakan dengan yang mampu. Jika sebuah
distraktor dipiih oleh 5% lebih dari semua peserta tes,maka sebuah distraktor
yang bersangkutan berfungsi, dan jika sebuah distraktor dipilih kurang dari 5%
dari semua peserta tes maka distraktor yang bersangkutan tidak berfungsi.14
13
Indah Rahmi Nur Fauziyah, dkk. 2020. Analisis Kualitas Tes Bahasa Arab Berbasis Higher Order
Thinking Skill (Hots, LISANUNA, Vol. 10, No. 1.

14
Sri Suharti, 2017, Kualitas Tes Bahasa Arab dan Prestasi Peserta Didik Madrasah Tsanawiyah

14
Tujuan utama dari pemasangan distraktor pada setiap butir item yaitu agar dari
sekian banyak tester yang mengikuti tes hasil belajar ada yang tertarik untuk
memilihnya sebab mereka akan mengira bahwa jawaban yang mereka pilih
adalah jawaban betul. Jadi mereka akan terkecoh, menganggap bahwa distraktor
yang terpasang pada item itu sebagai kunci jawaban, padahal bukan. Dengan
kata lain, distraktor baru dapat menjalankan fungsinya dengan baik jika
distraktor telah memiliki daya rangsang yang membuat tester terkecoh.
Menganalisis fungsi distraktor sering dikenal dengan istilah menganalisis pola
penyebaran jawaban item. Adapun yang dimaksud dengan pola penyebaran
jawaban item adalah suatu pola yang dapat menggambarkan bagaimana tester
menentukan pilihan jawabannya terhadap kemungkinan-kemungkinan jawaban
yang telah dipasangkan pada setiap butir item.

BAB III
PENUTUP

Kabupaten Bantul(Analisis Butir Soal UAMBN Tahun Ajaran2013/2014), Jurnal Pendidikan Madrasah,
Volume 2, Nomor 1, Mei, P-ISSN: 2527-4287-E-ISSN: 2527-6794.

15
A. Kesimpulan
Terdapat beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tes
bahasa agar tes tersebut dapat mengukur tujuan dari pembelajaran yang telah
diajarkan. Tahapan-tahapan penyusunan tes yaitu tahap persiapan, materi tes, bentuk
dan jenis tes, dan menentukan jumlah butir tes, menentukan skor, membuat kisi-kisi,
menyusun tes berdasarkan butir kisi-kisi, dan uji coba tes yang telah disusun.
Analisis kualitas tes merupakan suatu tahap yang harus ditempuh untuk
mengetahui derajat kualitas suatu tes, baik tes secara keseluruhan maupun butir soal
yang menjadi bagian dari tes tersebut. Tes sebagai alat evaluasi diharapkan
menghasilkan nilai yang objektif dan akurat. Jika tes yang digunakan guru kurang
baik, maka hasil yang diperoleh pun tentunya kurang baik. Hal ini dapat merugikan
peserta didik itu sendiri. Artinya, hasil yang diperoleh peserta didik menjadi tidak
objektif dan tidak adil. Oleh sebab itu, tes yang digunakan guru harus memiliki
kualitas yang lebih baik dilihat dari berbagai segi.

DAFTAR PUSTAKA

16
Ainin, M, dkk. 2006. Evaluasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab. Malang: MISYKAT.

Dewi, Yelfi. 2008. Evaluasi dan Tes Bahasa Arab Pedoman bagi Guru, Mahasiswa dan
Praktisi Pendidikan Bahasa Arab. Bukittinggi: STAIN Bukittinggi Press.

Fauziah, Indah Rahmi Nur, dkk. 2020. Analisis Kualitas Tes Bahasa Arab Berbasis Higher
Order Thinking Skill (Hots, LISANUNA, Vol. 10, No. 1.

Handriawan, Dony. 2021. Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab. Nusa Tenggara Barat:
Sanabil.

HS, Moh. Matsna. 2012. Pengembangan Evaluasi dan Tes Bahasa Arab. Tangerang:
Alkitabah.
Mahyudin, Erta. 2012, Pengembangan Evaluasi dan Tes Bahasa Arab. Tangerang:
Alkitabah.
Rezi, Melisa dan Annisa Aulia. 2020. Tahapan Penyusunan dan Analisis Tes Bahasa Arab,
Jurnal Ilmiah Al-Furqan, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember.

Sudijono, Anas. 2011. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.


Suharti, Sri. 2017. Kualitas Tes Bahasa Arab dan Prestasi Peserta Didik Madrasah
Tsanawiyah Kabupaten Bantul(Analisis Butir Soal UAMBN Tahun
Ajaran2013/2014), Jurnal Pendidikan Madrasah, Volume 2, Nomor 1, Mei, P-
ISSN: 2527-4287-E-ISSN: 2527-6794.

Supriadi, Gito. 2011. Pengantar dan Teknik Evaluasi Pembelajaran. Malang: Intimedia

Press.
Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: MISYKAT

17

Anda mungkin juga menyukai