Anda di halaman 1dari 13

Langkah-Langkah Menyusun Tes Bahasa Arab

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Model Penilaian Bahasa Arab”

Dosen Pengampu :
Miftakhul Maesaroh, S.S., M.Pd.

Disusun oleh :
Riyatus Sholikatin (202210083)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “Langkah-Langkah
Menyusun Tes Bahasa Arab”.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal
jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah
hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.

Ponorogo, September 2022

Penulis
BAB I
PEMBUKAAN

A. Latar Belakang
Tes Bahasa Arab merupakan salah satu dari alat evaluasi pembelajaran Bahasa
Arab, di mana evaluasi merupakan salah satu komponen penting dalam kurikulum
pembelajaran Bahasa Arab. Untuk mendapatkan hasil tes yang baik, bermakna, dan
bermutu, maka perlu adanya perencanaan tes Bahasa Arab sesuai dengan tahapan
penyusunannya, yaitu di antaranya: (Persiapan, Pemilihan materi tes, Menentukan
bentuk dan jenis tes, Menentukan jumlah butir tes, Menentukan skor, Membuat kisi-
kisi, Menyusun butir tes berdasarkan kisi-kisi, Uji coba tes yang telah disusun), dan
juga perlu adanya analisa terhadap tes Bahasa Arab yang sudah direncanakan dan
diujicobakan terhadap siswa baik itu menganalisa Tingkat kesukaran soal, Daya
Pembeda dan fungsi distractor, sehingga hasil tes bahasa Arab siswa yang kita
dapatkan itu valid dan reliabel.
Dalam pelaksanaan penyusunan tes bahasa Arab, tidak jarang dijumpai proses
penyusunannya yang “asal buat”, tanpa memperhatikan prosedur yang benar.
Penyusun tes membiasakan diri “mencomot” butir-butir soal dari “sana-sini”
kemudian merangkaikannya menjadi sebuat tes bahasa Arab, tanpa melihat apakah
butir-butir soal yang dikembangkan itu benar-benar mengukur kemampuan
ataukompetensi yang seharusnya diukur. Belum lagi instrumen dan cara penilaiannya
monoton. Model penyusunan tes seperti ini berdampak pada ketidaksahinan tes yang
dibuat. Implikasinya instrumen tes yang dibuat kurang atau tidak memenuhi
persyaratan tes yang baik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja langkah-langkah menyusun tes bahasa arab ?
2. Bagaimana karakteristik tes yang baik ?

C. Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui apa saja langkah-langkah menyusun tes bahasa arab
2. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik tes yang baik
BAB II
PEMBAHASAN

1. Langkah-Langkah Menyusun Tes Bahasa Arab


Untuk menghasilkan suatu tes yang valid dan reliable, maka pembuat tes (guru) harus
menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini guru atau pembuat tes melakukan kajian terhadap kurikulum
bahasa Arab dan buku pedoman pelaksanaan kurikulum untuk mata pelajaran
bahasa Arab. Apabila kurikulum yang dijadikan sandaran adalah kurikulum 2004
Berbasis Kompetensi, maka substansi yang dikaji meliputi Kompetensi Dasar,
Indikator, hasil, topik-topik bahasan,penilaian, dan alokasi waktu yang tersedia.1
2. Pemilihan Materi Tes
Untuk menetapkan materi tes bahasa Arab yang benar-benar fixeddan selektif
dapat dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut :
a. Menentukan komponen dan keterampilan berbahasa yang akan diteskan,
misalnya tes kosakata, struktur, membaca, menulis atau tes berbicara.
b. Menentukan pokok bahasan yang kan diteskan secara representatif (tidak bias,
dan tidak atas dasar subjektif penyusunan tes.2
3. Menentukan Bentuk Dan Jenis Tes
Sebagaimana telah dikemukakan, tes komponen bahasa dan kemampuan
bahasa dapat disusun dalam bentuk subjektif atau objektif dengan segala
variasinya atau jenisnya (kecuali tes keterampilan berbicara yang memiliki
perlakuan khusus. Dengan ungkapan lain, tes yang disusun dapat berbentuk
objektif dengan jenis pilihan ganda atau salah benar, atau dapat pula berbentuk
subjektif (essay).
4. Menentukan Jumlah Butir Tes
Perihal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah butir tes
adalah alokasi waktu yang tersedia untuk penyelenggaraan tes. Untuk menentukan
berapa jumlah butir tes yang harus disusun sesuai dengan waktu yang tersedia
1
Yelfi Dewi, Evaluasi dan tes Bahasa Arab Pedoman bagi Guru, Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan Bahasa
Arab, (Bukittinggi : STAIN Bukittinggi Press, 2013), hal. 45
2
M. Ainin, Dkk, Evaluasi Dalam Pembelajaran Bahasa Arab, ...... hal. 95
memang tidak ada batasan yang pasti. Akan tetapi, guru dengan nalurinya yang
mengetahui kondisi objektif siswanya akan dapat menentukan jumlah butir tes
yang sesuai dengan waktu yang tersedia. Misalnya satu nomor soal dalam pilihan
ganda diberikan batas waktu satu menit.
Berkaitan dengan hubungan penentuan jumlah butir tes dan alokasi waktu
yang tersedia, seorang guru atau pembuat tes perlu juga memperhatikan bentuk
tesnya itu sendiri. Sudah barang tentu waktu yang digunakan untuk menjawab soal
dalam bentuk esai lebih banyak daripada untuk menjawab soal dalam bentuk
pilihan ganda atau salah benar.
Misalnya, jika jumlah butir tes itu 25, maka proporsi jumlah item untuk
masing-masing jenis tes adalah 10 item untuk tes pilihan ganda, 10 item untuk tes
salah benar, dan 5 item untuk tes esai. Demikian pula, proporsi jumlah butir tes
untuk masing-masing sub kemampuan juga perlu diperhatikan.
Dalam kaitannya dengan penentuan jumlah butir tes untuk masing-masing
aspek (kosakata, struktur, membaca, dan menulis), pembuat tes dapat
merumuskannya dengan pertimbangan tertentu. Diantaranya dengan menghitung
alokasi waktu yang tersedia untuk mata pelajaran bahasa Arab secara keseluruhan
dan alokasi waktu untuk masing-masing aspek. Jika dalam kurikulum tidak
disebutkan alokasi waktu untuk masing-masing komponen atau keterampilan,
maka jumlah butir tes dapat ditentukan melalui butir-butir tujuan pembelajaran
atau prioritas tujuan pembelajaran.3
5. Menentukan Skor
Apabila jumlah butir tes sebanyak 40 (pilihan ganda) dengan skor tertinggi
100, dan semua butir tes diberi bobot skor sama, maka skor untuk jawaban yang
benar pada setiap butir tes adalah 2,5.
Sementara itu, jawaban tes esay dapat di skor sesuai dengan pendapat dan
penilaian subjektif (berbasis keahlian profesional) seorang korektor. Jika
seandainya suatu pekerjaan tes subjektif diperiksa oleh dua orang atau lebih
korektor yang berbeda, maka hasil penilaiannya sangat mungkin akan berbeda
antara satu korektor dengan korektor lainnya. Perbedaan itu disebabkan oleh
pendapat penilaian masing-masing korektor yang subjektif terhadap pekerjaan
yang sama dari peserta tes yang sama.

3
Moh. Matsna HS, Pengembangan Evaluasi dan Tes Bahasa Arab, (Tanggerang : Alkitabah, 2012),
hal. 77-78
Apabila soal yang dibuat mempunyai tingkat kesukaran yang berbeda-beda,
maka pihak pembuat tes dapat memberikan bobot yang berbeda. Artinya, suatu
butir tes diberi bobot tinggi apabila butir tes tersebut lebih sulit dan lebih
kompleks bila dibandingkan dengan butir tes lain.
Dengan mengingat kedua jenis tes tersebut kita dapat menjelaskan perbedaan
pada pemberian skornya, yaitu sebagai berikut :
a. Untuk tes objektif dalam menentukan benar dan salahnya jawaban terhadap
suatu butir tes penilai hanya mencocokkan jawaban dengan kunci jawaban
yang tersedia. Sedangkan untuk tes subjektif penilai seringkali masih perlu
mempertimbangkan betul salahnya suatu jawaban yang tidak persis sama
dengan yang tertulis pada kuncinya.
b. Sebagai akibat dari perlunya pertimbangan penilai terhadap suatu jawaban,
maka otomatis proses pemberian skor untuk tes subjektif akan lebih lama
dibandingkan dengan proses pemberian skor pada tes objektif.
c. Jawaban terhadap tes objektif bersifat pasti, harus persis dengan kuncinya,
maka korektornya tidak harus seseorang yang ahli di bidang yang diteskan.
Sedangkan untuk tes subjektif, diperlukan korektor yang menguasai bidang
yang diteskan.
d. Siapapun yang mengoreksi tes objektif hasil skornya tidak akan bervariasi,
sedangkan pada tes subjektif berbeda korektor mungkin saja menghasilkan
skor yang berbeda.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian skor untuk tes
subjektif lebih kompleks dan lebih rumit, sedangkan untuk tes objektif lebih
mudah dan lebih sederhana.4

6. Membuat Kisi-kisi
Tujuan pembuatan kisi-kisi adalah membuat spesifikasi yang jelas tentang apa
yang akan ditanyakan. Tujuan membuat kisi-kisi adalah supaya apa yang akan kita
usahakan mengenai sasaran. Kisi-kisi yang baik harus mewakili isi kurikulum
suatu lembaga yang bersangkutan, komponen-komponen nya diuraikan dengan
jelas dan mudah dipahami serta memberikan indokator yang jelas pula.5
Selain itu juga harus memperhatikan hal-hal berikut :
4
Erta Mahyudin, Pengembangan Evaluasi dan Tes Bahasa Arab, (Tanggerang : Alkitabah, 2012),
hal. 78 & 210
5
Moh. Matsna HS, Pengembangan Evaluasi dan Tes Bahasa Arab....... hal. 79
a. Waktu untuk melaksanakan tes
b. Topik-topik yang akan ditanyakan
c. Jenis soal yang akan digunakan
d. Jumlah soal setiap soal secara keseluruhan maupun tiap-tiap topik
e. Persentase soal yang mudah dan yang sulit setelah diuji cobakan
Dalam membuat kisi-kisi soal, dapat dilakukan langkah-langkah berikut :
a. Menuliskan kompetensi dasar dan indikator capaian hasil belajar yang
terdapat dalam silabus/kurikulum
b. Menuliskan daftar pokok/sub pokok bahasan yang akan diujikan
c. Menentukan jumlah butir soal setiap pokok/sub pokok bahasan, jumlah
soal hendaknya representatif untuk untuk setiap pokok /sub pokok bahasan
yang diujikan dengan pertimbangan pentingnya pokok/sub pokok bahasan
tersebut. Selain itu, dalam menentukan jumlah soal juga perlu
mempertimbangkan waktu yang tersedia untuk pelaksanaan tes.
d. Menentukan bentuk soal tes, dalam menentukan bentuk tes, perlu
mempertimbangkan karakteristik materi yang hendak diukur. Jika tes itu
untuk mengukur pemahaman mufradat, qawaid, istima’, dan qiraah, maka
bisa digunakan bentuk tes pilihan ganda. Namun jika tes itu untuk
mengukur kemampuan menulis dan berbicara, maka lebih tepat jika
menggunakan bentuk tes uraian atau mengarang.6
7. Menyusun Butir Tes Berdasarkan Kisi-Kisi
Dalam penyusunan butir soal ini, ada rambu-rambu yang sebaiknya
diperhatikan oleh guru atau pembuat tes, yaitu :
a. Bahasa yang digunakan jelas dan lugas
b. Stem (pernyataan pokok) pada setiap butir tes (pilihan ganda) hanya berisi
satu permasalahan
c. Panjang jawaban untuk setiap option (khusus untuk pilihan ganda) relatif
sama
d. Letak jawaban yang benar disusun secra acak, artinya harus dihindari letak
jawaban benar yang berpola, misalnya berpola ab, ac, dan ad atau berpola
aa, bb, cc, dan dd.
8. Uji Coba Tes yang telah disusun

6
Yelfi Dewi, Evaluasi dan tes Bahasa Arab Pedoman bagi Guru, Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan
Bahasa Arab.......hal. 47-48
Idealnya sebelum tes diberlakukan kepada siswa, perlu dilakukan uji coba
terlebih dahulu. Uji coba ini bertujuan untuk mengetahui apakah tes yang disusun
benar-benar tes yang baik atau apakah tes yang disusun itu memiliki tingkat
kesulitan yang normal dan benar-benar dapat membedakan kelompok teste yang
memiliki kemampuan tinggi dan rendah. Untuk mengetahui hal itu, maka setelah
tes uji coba dilakukanlah analisis terhadap jawaban siswa. Diantara variabel yang
dianalisis adalah analisis tingkat kesulitan, analisis daya beda, dan analisis
reliabilitas.7

2. Karakteristik Tes Yang Baik

Penyusunan tes bahasa, khususnya tes bahasa Arab seharusnya


memperhatikan standar tes yang baik. Standar tes yang baik itu meliputi standar
validitas atau kesahihan (Ash-shidqu), reliabilitas (Ats-tsabat), dan memiliki tingkat
kesulitan (darajatush shu’ubah) dan daya beda (darajatut tamyiz) yang baik. Dari
keempat standar ini, yang lebih prinsip dan lebih aplikatif pelaksanaannya bagi
pendidik adalah standar validitas. Hal ini karena standar kesahihan ini (kesahihan
logis) lebih pada proses penyelarasan antara tujuan tes dengan substansi butir-butir
soal yang disusun dan untuk menentukan tingkat kesahihan ini dapat dilaksanakan
sebelum tes diberlakukan. Sementara itu, ketiga standar yang terkahir ini
pelaksanaannya setelah tes diberlakukan dan masih diperlukan tahapan-tahapan
berikutnya.
Kesahihan atau validitas sebuah tes terkait dengan apakah butir-butir tes yang
disusun mengukur yang seharusnya diukur. Gunning memberikan batasan kesahihan
sebagai berikut “validity means that a device measure what it says itu measured”.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Duwaidari, tes dikatakan sahih manakala
tes itu mengukur sesuai dengan yang seharusnya diukur. 8 Dalam tes bahasa arab
misalnya, apabila tujuan tesnya ingin mengukur kemampuan membaca, maka tes yang
disusun benar-benar mengukur kemampuan membaca, apakah membaca keras atau
dan memahami isi bacaan dengan berbagai indikator yang ditetapkan. Demikian pula,
apabila tujuan tes itu mengukur maharah kalam, maka tes yang disusun dan
dilaksanakan adalah menuntut teste memformansikan maharah kalam, baik dalam
bentuk monolog maupun dialog, bukan menulis dan membaca. Al-Khuli juga
7
M. Ainin, Dkk, Evaluasi Dalam Pembelajaran Bahasa Arab, ............ hal. 100-102
8
Duwaidari, Roja’ Wahid. Al-bahtsul Ilmi: Asaasiyyatuhu An-Nadzariyyah wa mumarasatul amaliyyah.
Lubnan: Darul Fikri, 2000.
memberikan gambaran bahwa tes imla’ harus mengukur hanya kemampuan imla’, tes
qawa’id harus mengukur kemampuan hanya kemampuan qawa’id, demikian pula tes
kosa kata juga harus hanya mengukur kemampuan kosa kata. 9 Apabila tujuan tes itu
lebih dari satu, maka tes yang disusun itu juga mengacu ke tujuan tersebut, tanpa
mengabaikan salah satu dari tujuan tes.
Keterpecayaan atau reliabilitas dapat dimaknai sebagai suatu keajegan tes.
Artinya suatu tes dikatakan reliabel manakala tes itu diberlakukan pada kelompok
yang sama secara berulang dengan menghasilkan skor yang relatif sama. Gunning
mendefinisikannya “A reliable device is one that yield consistent resuluts”. Menurut
Saukah, istilah reliabilitas berkaitan dengan istilah keajegan (consistency),
keterandalan (dependability), kestabilan (stability), ketepatan (accuracy), dan
keterdugaan (predictibility). Sebagai contoh, apabila suatu tes bahasa Arab diteskan
kepada individu-individu atau kelompok yang sama berulang kali (misalnya dua kali)
dalam situasi yang sama kemudian skor yang diperoleh juga relatif sama atau dalam
bahasa statistiknya tingkat keajegannya itu signifikan, maka tes tersebut memiliki
daya reliabilitas. Untuk mengetahui tingkat signifikansi keajegan suatu tes digunakan
teknik analisis korelasi. Artinya, hasil tes pertama pada subjek yang sama
dikorelasikan dengan hasil tes yang kedua. Apabila hasil dari kedua tes tersebut
menunjukkan taraf signifikansi, maka dapat dikakatan, bahwa tes tersebut memiliki
daya reliabel.
Karakteristik tes yang ketiga adalah tingkat kesulitan (darajatush shu’ubah
atau mustawa shu’ubatil ikhtibar). Karakteristik ketiga ini mengacu pada pengertian
bahwa tes itu tingkat kesulitannya tidak terlalu ekstrim. Ekstrimitas tingkat kesulitan
ini berada pada apa yang disebut dengan “terlalu mudah” dan terlalu sulit”. Tes
dikatakan terlalu mudah manakalah setiap butir soal dalam suatu tes dijawab benar
oleh hampir semua teste, sebaliknya, tes dikatakan terlalu sulit, manakala setiap butir
soal dalam suatu tes dijawab salah oleh hampir semua teste. Menurut Djiwandono,
tingkat kesulitan yang dalam penghitungan sering diberi tanda p, dapat dinyatakan
dengan persentase (%). Cara penghitungan angka tingkat kesulitan dapat diperoleh
melalui penghitungan sederhana,10 yaitu dengan rumus :
P = (JJB:JPT) x 100%.
P = Tingkat kesulitan butir tes

9
Al-khuli, Al-ikhtbarat Al-Lughawiyyah. Shuwailih (Al-Urdun): Darul Falah, thn 2000.
10
Djiwandono, Tes Bahasa dalam Pengajaran. (Bandung: ITB, 1996).
JJB = Jumlah jawaban benar
JPT = Jumlah peserta tes.
Berkaitan dengan hal ini, Oller menyatakan bahwa suatu butir tes dinyatakan
layak jika indeks tingkat kesulitannya berkisar antara 0,15 sampai dengan 0,85. Ada
pendapat lain yang mengatakan bahwa suatu butir tes dianggap baik bila mempunyai
p antara 10% sampai 90%.11 Hal ini berarti, bahwa apabila indeks suatu butir tes di
bawah 0,15 atau 0,10, maka butir tes tersebut tergolong terlalu sulit. Sebaliknya,
apabila indeks suatu butir tes lebih dari 0,85 atau 0,90, maka butir tes tersebut
tergolong terlalu mudah sehingga butir tes tersebut perlu direvisi atau tidak
digunakan. Sebagai contoh, apabila suatu butir tes dijawab benar oleh tujuh peserta
tes dari jumlah keseluruhan peserta sebanyak 30, maka tingkat kesulitan butir tes
terebut adalah 23%, atau 0,23. Apabila suatu butir tes dijawab benar oleh dua peserta
tes dari jumlah keseluruhan peserta sebanyak 30, maka tingkat kesulitan butir tes
tersebut adalah 6,67% atau 0,067. Berdasarkan indeks tersebut (0,23), maka butir tes
dengan angka tergolong baik. Sementara itu, tingkat kesukaran sebesar 6,67%
menunjukkan bahwa butir tes tersebut tergolong sulit. Implikasinya, butir tes ini harus
direvisi atau tidak digunakan.
Karakteristik yang keempat adalah daya beda (darajatut tamyiz). Sebuah tes
dikatakan memiliki daya beda yang baik manakalah tes tersebut dapat membedakan
antara siswa kelompok tinggi dan kelompok rendah. Menurut Joni, suatu soal
dikatakan mempunyai kemampuan diskriminasi (daya beda) yang benar apabila soal
tersebut dijawab benar oleh lebih banyak anggota kelompok pintar (upper group) bila
dibandingkan dengan anggota kelompok tidak pintar (lower group). Sebagai
gambaran, apabila satu kelas terdiri dari 30 teste, maka diambil 27% sebagai
kelompok atas dan 27% sebagai kelompok bawah. Dengan demikian ada 8 teste
(dibulatkan) berdasarkan urutan skor sebagai kelompok atas (upper group), yaitu teste
peringkat 1 sampai 8 dan 8 teste dari bawah berdasarkan urutan skor sebagai
kelompok bawah (lower group), yaitu teste peringkat 23 sampai 30. Semakin tinggi
295 tingkat daya beda atau diskriminasi suatu butir tes, semakin tinggi pula
kemampuannya untuk membedakan peserta yang pandai dari yang kurang pandai.
Kemampuan diksriminasi atau daya beda dapat dinyatakan dengan % dengan
mempergunakan simbul D.
Untuk menentukan daya beda suatu butir tes dapat digunakan rumus berikut.
11
Joni, T. Raka. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. (Surabaya: Karya Anda 1986).
∑ benar upper - ∑ benar lower
D= ─────────────── x 100%
∑ kelompok (upper atau lower)
Dalam menentukan rentangan indeks daya beda dari suatu tes, dapat
digunakan rumus yang dikemukakan oleh Djiwandono sebagai berikut.
0,50 atau lebih : baik
antara 0,20 dan 0,50 : sedang
di bawah 0,20 : kurang
0 : tidak ada deskriminasi
- (negatif) : negatif
Sebagai contoh, apabila suatu butir soal dijawab benar oleh enam teste dari
kelompok atas dan seorang teste dari kelompok bawah, maka cara penghitungannya
adalah sebagai berikut.
6−1
D= ×100=0 , 63
8
Dengan demikian, butir soal tersebut memiliki daya beda yang baik, karena
indeks daya beda menunjukkan angka 0,63 (> 0,50). Ini berarti, bahwa butir tes ini
dilihat dari D-nya dapat membedakan kelompok atas dan bawah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun Tahapan –tahapan yang dilalui dalam penyusunan tes bahasa, yaitu:
Persiapan, Pemilihan materi tes, Menentukan bentuk dan jenis tes, Menentukan
jumlah butir tes, Menentukan skor, Membuat kisi-kisi, Menyusun butir tes
berdasarkan kisi-kisi, Uji coba tes yang telah disusun.
Penyusunan tes bahasa, khususnya tes bahasa Arab seharusnya
memperhatikan standar tes yang baik. Standar tes yang baik itu meliputi standar
validitas atau kesahihan (Ash-shidqu), reliabilitas (Ats-tsabat), dan memiliki tingkat
kesulitan (darajatush shu’ubah) dan daya beda (darajatut tamyiz) yang baik. Dari
keempat standar ini, yang lebih prinsip dan lebih aplikatif pelaksanaannya bagi
pendidik adalah standar validitas. Hal ini karena standar kesahihan ini (kesahihan
logis) lebih pada proses penyelarasan antara tujuan tes dengan substansi butir-butir
soal yang disusun dan untuk menentukan tingkat kesahihan ini dapat dilaksanakan
sebelum tes diberlakukan. Sementara itu, ketiga standar yang terkahir ini
pelaksanaannya setelah tes diberlakukan dan masih diperlukan tahapan-tahapan
berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-khuli, 2000. Al-ikhtbarat Al-Lughawiyyah. Shuwailih (Al-Urdun): Darul Falah.


Djiwandono, 1996. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: ITB.
Duwaidari, Roja’ Wahid. 2000. Al-bahtsul Ilmi: Asaasiyyatuhu An-Nadzariyyah wa
mumarasatul amaliyyah. Lubnan: Darul Fikri.
Erta Mahyudin, 2012, Pengembangan Evaluasi dan Tes Bahasa Arab, Tanggerang:
Alkitabah.
Joni, T. Raka. 1986. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Surabaya: Karya Anda.
M. Ainin, dkk. 2006, Evaluasi Dalam Pembelajaran Bahasa Arab, Malang: MISYKAT.
Moh. Matsna HS., Pengembangan Evaluasi dan Tes Bahasa Arab, Tanggerang: Alkitabah.
Yelfi Dewi, 2013, Evaluasi dan Tes Bahasa Arab Pedoman bagi Guru, Mahasiswa dan
Praktisi Pendidikan Bahasa Arab, Bukittinggi : STAIN Bukittinggi Press.

Anda mungkin juga menyukai