Anda di halaman 1dari 12

MODERASI BERAGAMA SEBAGAI HARMONISASI BUDAYA

MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI INDONSIA

Oleh : Hasbunallah Haris

Iftitah

Indonesia dengan keanekaragaman suku, agama, budaya, ras, serta bahasa


merupakan kekuatan, keunikan, dan keunggulan yang tak tenilai harganya.
Keanekaragaman ini menandakan bahwa Indonesia sebagai negara multibudaya
dengan berbagai hirarki yang ada di dalamnya mampu bertahan dalam pesatnya
gelombang globalisai dan paham-paham baru yang merongrong generasi bangsa.
Hal tersebut dapat menguntungkan sekaligus menjadi kekuatan jika disikapi
dengan bijak, namun juga dapat merugikan dan menimbulkan perpecahan yang
bukan tidak mungkin akan mengoyak keharmonisan dan keamanan sosial.

Keberagaman budaya sendiri tidak selamanya menjadi jurang pemisah


antara satu etnis tertentu dengan etnis lainnya. Hal tersebut terjadi secara alami
karena bertemunya berbagai budaya di satu tempat. Konsep multibudaya di sini
tentu saja berbeda dengan konsep lintas budaya sebagaimana pengalaman bangsa
Amerika yang beragam budaya karena hadirnya pluralisme budaya dan berkumpul
dalam suatu negara. Dalam konsep multibudaya perbedaan individu meliputi
cakupan makna yang luas, sementara dalam konsep lintas budaya perbedaan etnis
yang menjadi fokus perhatian.1

Menurut data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010,
Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa, 652 bahasa, dan 6 agama yang berbeda.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 31 Desember 2021 lalu juga
mencatat, bahwa jumlah penduduk muslim yang ada di Indonesia mencapai
237,53 juta jiwa, sedangkan untuk agama Kristen menempati urutan kedua dengan
jumlah penganut 20,45 juta jiwa, porsi lainnya diisi oleh penduduk yang

1
Darlis (2017) Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural. Rausyan Fikr,
Vol.13 No.2
beragama Hindu dan Budha, dengan jumlah 4,67 juta jiwa, dan Konghucu dengan
jumlah 73.635 jiwa.2

Dengan sumber daya dan multibudaya tersebut, alangkah susahnya


membuat sebuah peraturan atau sebuah acuan yang dapat dipakai oleh seluruh
suku, agama, dan seluruh ras yang ada, sehingga tak jarang kesenjangan dan
gesekan-gesekan konflik terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik yang dipicu
oleh kelompok maupun individu. Namun umumnya konflik tersebut dipicu karena
sikap keberagamaan yang ekslusif, serta adanya kontestasi atau sikap etnosentris
antar klan dalam meraih dukungan yang tidak dilandasi sikap toleran.

Mulyana menyebut, benturan antar tradisi dan agama masih berlangsung


di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari sekedar stereotip dan prasangka antar
suku, olok-olokan terhadap kekolotan tradisi, hingga ke konflik terbuka dan
pembantaian antar suku yang memakan korban jiwa.3 Dengan beragam konflik
yang ditimbulkan, dapat dipahami betapa rentannya rasa kebersamaan yang
dibangun dalam diri bangsa Indonesia. Betapa kentalnya prasangka antara
kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar suku, bahkan konflik
berbasis kekerasan di Indonesia seringkali berakhir menjadi tragedi kemanusiaan
yang cenderung berkembang dan meluas, baik dari jenis maupun pelakunya. Hal
ini yang kemudian menjadikan proses penanganan konflik membutuhkan waktu
yang panjang dengan kerugian sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa.

Berangkat dari sebuah kasus yang marak akhir-akhir ini tentang Ritual
Larung Saji yang menjadi perdebatan agamis dan budayawan karena dianggap
bertentangan. Larung Saji yang merupakan sebuah tradisi turun-temurun nelayan
di Maluku mendapat komentar kurang mengenakkan sebagai perlakuan sia-sia
karena telah membuang makanan ke lautan lepas. Padahal jika kita kaji dari sisi
budaya, ritual tersebut merupakan wujud syukur nelayan atas nikmat yang
diberikan Tuhan berupa hasil tangkapan sepanjang tahun yang melimpah, dengan
adanya Larung Saji berarti masyarakat berterima kasih terhadap anugerah yang
2
https://daraindonesia.id/ragam/detail/sebanyak/869-penduduk-indonesia-beragama-islam
3
Mulyana, 2008.
diberikan Tuhan.4 Tradisi ini bukan juga dilakukan pada masa sekarang atau
puluhan tahun silam, melainkan sudah mengakar dalam jati diri orang-orang
Maluku, bahkan tradisi ini bukan hanya ada di Maluku, namun juga ada di
Madura, beberapa daerah pesisir Jawa dan Nusa Tenggara, cara pandang
agamislah yang diperlukan keluesan dan memandang sesuatu tidak hanya dari
satu perspektif saja.

Sumatera Barat, juga tak lepas dari beragam bentrokan yang terjadi,
seperti adanya kalangan agama yang kurang membenarkan diadakannya perayaan
Arung Tabuik yang mana jika dikaji lebih jauh lagi dari sisi historis, budaya
tersebut bukanlah peninggalan dari Syi‟ah Qaramithah yang mengakar di
Minangkabau seperti yang dipahami kebanyakan orang, meliankan tabuik asli dari
Minangkabau, yaitu dipelopori oleh orang Cipai (dari kara Sipahi) namanya
Gaburan.5

Dari dua kasus yang telah dipaparkan dan kasus lainnya yang sering terjadi
dengan latar belakang bentrok budaya dan agama itulah, perlu adanya sebuah pola
revolusioner yang dipakai untuk meminimalisir konflik yang kian hari kian
menjamur. Masyarkat Indonesia yang multikultural harus betul-betul memahami
konsep moderasi yang ditawarkan sebagai solusi keberlangsungan kerukunan
antar umat beragama, antar suku dan bangsa.

Untuk itulah perlu adanya penanaman nila-nilai moderasi beragama dan


dikembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga kerukunan antar
sesama, baik dalam lingkungan kelompok, maupun dalam kehidupan
bermasyarakat secara umum.

Berdasarkan uraian latar belakang serta landasan yang telah dipaparkan di


atas, maka perlu rasanya untuk mengangkat permasalahan ini dengan judul

4
https://www.google.com/amp/s/www.cendananews.com/ritual-larung-sesaji-nelayan-masohi-
maluku.html
5
Hamka (1974) Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, Bantahan Terhadap Tulisan Mangaradja
Onggang Parlindungan. Jakarta: Republika Penerbit.
“Penerapan Nilai Moderasi Beragama Sebagai Solusi Budaya Masyarakat
Multikultural di Indonesia.”

Konsep Moderasi Beragama

Moderasi sendiri dapat diartikan sebagai kesedangan atau pertengahan.


Dalam bahasa Arab lebih dikenal dengan sebutan Al-Wasathiyah yang bermakna
terbaik, tidak terlalu berlebihan terhadap suatu paham dan mengantisipasi sebuah
pemahaman yang muncul dari banyak kalangan.6

Sikap moderat juga bisa ditafsirkan sebagai perwujudan dari sila ke-2
Pancasila, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Maka arti kata moderat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah menghindari prilaku atau
pengungkapan yang ekstrem, cenderung ke arah dimensi atau jalan tengah.
Singkatnya, moderat berarti tidak memihak kepada satu paham, namun berdiri di
tengah-tengah paham yang ada tapi tidak condong kepada salah satu dari
keduanya.7 Dengan kata lain, moderat merupakan bentuk wasathiyah yang berasal
dari bahasa Arab yaitu, wasat yang berarti sesuatu yang ada di tengah.

Di antara ayat yang relevan dengan kajian ini adalah surat Al-Baqarah
ayat 143 yang artinya :
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.
Sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan

6
Fahrudin (2019) Pentingnya Moderasi Beragama bagi Penyuluh Agama. Republika.
7
Gilang, Moderat Adalah Sebuah Sikap, www.Gramedia.com.
imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia.” (Q.S. Al-Baqarah; 143)
Kata wasatha dan derivasinya disebutkan dua kali di dalam Al-Qur‟an.
Asy-Syaukani mengartikannya dengan adil (Al-„Adl) dan pilihan (Al-Khiyar). Lalu
ia juga menambahkan dengan moderat, sikap pertengahan alias tidak ekstrim.
Beberapa karakter yang melekat pada ummatan wasatan ialah : Pertama, ummatan
wasatan merupakan golongan yang tidak formalistik dalam beragama dan tidak
mencampur adukkan antara keagamaan dengan kepentingan-kepentingan lain.
Kedua, ummatan wasatan juga tidak memiliki arogansi kelompok sebagaimana
dimiliki oleh sebagian besar golongan lain yang sama-sama mengaku sebagai
penerus Nabi Ibrahim AS, dan merasa hanya kelompok merekalah yang paling
benar dan menyediakan tempat keselamatan. Kaum Yahudi menyatakan bahwa
hanya dengan menjadi Yahudi maka seseorang akan mendapatkan keselamatan,
begitu juga dengan kelompok lainnya. Namun, agama Islam datang untuk
mengeliminasi fanatisme kelompok tersebut.8
Ummatan wasathan yang telah disematkan oleh Al-Qur‟an perlu untuk
dihayati dan diterjemahkan kedalam kehidupan nyata. Sebagai umat Islam sangat
diharapkan mampu menjadi teladan sekaligus model yang bisa ditiru di tengah
gempuran perubahan peradaban yang senantiasa tidak mampu menghindarkan diri
dari aksesakses negatif disamping berkah positif yang dibawanya.
Di dalam kehidupan, penanaman nilai-nilai moderasi beragama dimulai
sejak lingkungan hirarki paling dasar, yaitu keluarga dalam sebuah suku atau
etnis. Seorang ayah yang terpapar paham intoleran bukan berarti tidak mungkin
akan melibatkan istri dan anaknya juga ikut terpapar. Seorang anak yang sekolah
keluar dan terpapar radikalisme bukan tidak mungkin mengajak kawan lainnya,
anggota keluarga yang dia miliki untuk ikut ke dalam ajaran yang dia telah
terpengaruh di dalamnya.
Dengan begitu rasanya sangatlah penting penerapan moderasi beragama
dipahami sejak dini dalam keluarga, sebab indikator moderasi beragama

8
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Moderasi Islam (Tafsir al-Qur‟an Tematik), (Jakarta :
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an 2012)
melingkupi komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan atau
terakomodasi dengan budaya lokal.9 Sebuah budaya yang sudah puluhan bahkan
ratusan tahun adanya akan bisa terkoneksi dengan moderasi beragama, seperti
yang dilakukan oleh Wali Songo dahulu saat menyebarkan ajaran Islam. Salah
seorang Wali, yakni Sunan Kalijaga, menggunakan kesenian wayang yang
merupakan tradisi leluhur masyarakat Jawa sebagai media penyampaian ajaran
Islam. Hal ini tentu memberikan bukti nyata bahwa ada relevansi dan kecocokan
yang saling mengisi antara agama dengan budaya.
Moderasi beragama tidak berarti bahwa mencampuradukkan kebenaran
dan menghilangkan jati diri masing-masing. Sikap moderasi tidak menistakan
kebenaran, namun tetap memiliki sikap yang jelas dalam suatu persoalan, tentang
kebenaran, tentang hukum suatu masalah. Namun dalam moderasi beragama, kita
lebih pada sikap keterbukaan menerima bahwa diluar diri kita ada saudara
sebangsa yang juga memiliki hak yang sama dengan kita sebagai masyarakat yang
berdaulat dalam bingkai kebangsaan.10 Masing-masing orang memiliki keyakinan
di luar keyakinan atau agama yang selayaknya kita hormati dan akui
keberadaannya, untuk itu kita perlu terus-menerus bertindak dan beragama dengan
cara moderat.
Moderasi dalam Islam telah dicontohkan oleh para pendahulu kita,
mulai dari Nabi kita Muhammad SAW ketika terjadinya perpecahan di kalangan
suku Quraisy, pada masa sahabat pun demikian, ketika peperangan terjadi dan
kemenangan diperoleh oleh umat Islam, mereka tidak merusak budaya yang sudah
ada. Bahkan dalam ranah peperangan yang terjadi antara orang-orang Romawi
dan dan umat Islam yang dikomandoi Khalid bin Walid dalam perang Yarmuk,
beberapa konsep perang Romawi diadopsi dan dijadikan sebagai terobosan baru
dalam strategi penyebaran agama.
Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah
di tengah keberagaman agama di Indonesia. Bisa dikatakan konsep budaya
Nusantara sudah berjalan seayun dan tidak saling menegasikan antara agama dan
9
Tim Penyusun, 2019, Moderasi Beragama. Jakarta, Kementerian Agama RI
10
Faiqah, N., & Pransiska, T. (2018). Radikalisme Islam vs Moderasi Islam: Upaya Membangun
Wajah Islam Indonesia yang Damai.
kearifan lokal atau local wisdom. Tidak saling mempertentangkan namun mencari
penyelesaian dengan toleran. Dalam konteks beragama, memahami teks agama
saat ini terjadi kecenderungan terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub
ekstrem. Satu kutub terlalu mendewakan teks tanpa menghiraukan sama sekali
kemampuan akal/nalar. Teks Kitab Suci dipahami lalu kemudian diamalkan tanpa
memahami konteks. Beberapa kalangan menyebut kutub ini sebagai golongan
konservatif. Kutub ekstrem yang lain sebaliknya, yang sering disebut kelompok
liberal, terlalu mendewakan akal pikiran sehingga mengabaikan teks itu sendiri.11

Budaya Mendukung Moderasi Beragama dan Sebaliknya

Disadari atau tidak, culture Indonesia asli sejak dulunya sudah mendukung
pola moderasi beragama. Tak hanya dalam Islam saja, dalam berbagai agama dan
bangsa lainpun menerapkan pola ini, seperti yang dipahatkan inskripsi patung
Apollo di Yunani dengan tulisan Meden Aden yang berarti „tidak berlebih-
lebihan.‟ Maksudnya adalah tidak terlalu fanatik terhadap sesuatu dan
menghormati kepercayaan dan pendapat orang lain, bukan malah menjadikannya
pangkal perselisihan yang bisa jadi menyebar hingga perang antar suku dan ras.

Di Indonesia sendiri konsep ini hanya tinggal pengembangan saja, budaya


dan seluruh instruktur pendukungnya sudah tersedia. Katakan saja dalam Islam
yang dikenal dengan istilah Wasathiyah, di Kristen dikenal dengan Golden Mean,
di Hindu dikenal dengan Madyhamika, dan di Konghucu dikenal dengan sebutan
Zhong Yong. Semua agama tersebut mengacu dan terfokus kepada satu tujan yang
sama, yakni memilih di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebihan darinya.12
Itu artinya, dalam enam agama yang ada di Indonesia sudah mendukung hal

11
Casram 2016, Membangun Sikap Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Plural. Jurnal Ilmiah
Sosial, Agama, dan Budaya
12
Fahri, Muhammad, Ahmad Zainuri, 2019. Moderasi Beragama di Indonesia, Intizar, Volume
25, Nomor 2
tersebut secara nyata, akan ada banyak kasus yang bisa terselesaikan jika konsep
ini menjadi acuan bagi masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, moderasi beragama adalah bagian dari strategi


bangsa ini dalam merawat Indonesia, yang sudah sejak dulunya disepakati bukan
sebagai negara agama, tapi juga tidak bisa memisahkan agama dari kehidupan
sehari-hari. Dengan kata lain, nilai agama tetap dijaga, pun dipadukan dengan
kearifan dan adat-istiadat lokal.13 Misalnya dapat kita lihat budaya memandikan
mayat di masyarakat Kuranji, Kota Padang, yang memadukan antara konteks
agama dengan budaya lokal. Saat acara kematian, orang yang datang
menyelenggarakan jenazah sebagaimana ketetapan ajaran Islam, namun juga
ditambah dengam embel-embel seperti mendirikan payung di depan rumah yang
wafat, pun ketika jenazah hendak dilepas, terlebih dahulu ada upacara kematian
yang harus dipenuhi, ada ceramah adat yang harus dilakukan dan ini merupakan
konsep budaya yang sudah menyatu dengan agama, tidak saling merusak antara
yang satu dengan yang lainnya.

Pun sebaliknya, ketika budaya lokal mendukung moderasi beragama,


seperti yang terjadi di Papua yang disebut sebagai Pegang Tangan pada hari-hari
besar seperti idul adha dan idul fitri. Pegang Tangan sendiri adalah mengunjungi
sanak kerabat di hari yang bahagia sambil membawakan oleh-oleh sekedarnya
sebagai bentuk jalinan keluarga yang tidak terputus. Konsep ini dalam agama
disebut sebagai silaturahmi, di mana antara satu orang muslim tidak boleh
memutus hubungan dengan muslim lainnya. Inilah yang terjadi ketika budaya
mendukung konsep moderasi beragama dalam tatanan peleburan budaya lokal.

Belum lama ini juga digelar Festival Penguatan Moderasi Beragama


Berbasis Budaya yang diadakan di plataran Garuda Mandala komplek Candi
Prambanan yang diikuti oleh 61 kelompok seniman, 514 peserta dari 34 Provinsi

13
Akhmadi, Agus. 2019. Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia, Jurnal Diklat
Keagamaan, Volume 13 Nomor 2
yang ada di seluruh Indonesia.14 Hal tersebut membuktikan bahwa dua unsur
tersebut bila berpadu akan menciptakan konsep yang sangat menenangkan dan
terciptanya baldatun thayyibatun warabbun ghafur seperti yang dicita-citakan.
Tidak akan ada lagi paham etnosentris, tidak akan ada lagi ujaran kebencian
seperti „agama yang merusak budaya‟ atau „budaya yang luntur dengan
kedatangan agama‟ justru dengan adanya hal ini menyebabkan keunggulan bagi
Indonesia dengan bonus multikulturalnya.

Itulah jati diri Indonesia yang sebenarnya. Sebuah negeri yang agamis,
rukun, berkarekter, toleran dan santun. Yang dalam hal ini unsur moderasi
beragama menjadi strategi kebudayaan jitu untuk merawat dan mempertahankan
ciri khas lokal tanpa merendahkan atau menghapusnya.

Harmonisasi Agama dan Budaya Sebagai Jalan Tol Persatuan

Dalam upaya mengantisipasi terjadinya ketegangan dan konflik di tengah


masyarakat, maka perlu pendekatan kultural dengan cara memperkuat falsafah
lokal atau kearifan budaya yang mimiliki pesan-pesan luhur tentang kedamaian.
Namun, solusi dengan pendekatan tersebut juga tidak selalu berhasil digunakan
tanpa dibarengi dengan paham keagamaan yang tepat dan bijak, karena
masyarakat Indonesia bukan hanya terdiri dari satu etnis, maka perlu adanya
kesepakatan dengan banyak kalangan untuk mencapai persatuan. Yang dalam hal
ini moderasi beragama tidak berarti bahwa mencampuradukkan kebenaran dan
menghilangkan jati diri masing-masing. Sikap moderasi tidak menistakan
kebenaran, dengan kata lain tetap memiliki sikap yang jelas dalam suatu
persoalan.

14
https://jateng.kemenag.go.id/2022/12/mendukung-kearifan-lokal-menaikkan-nilai-budaya-dan-
meningkatkan-pemberdayaan-umat/
Namun dalam moderasi beragama, kita lebih pada sikap keterbukaan
menerima bahwa diluar diri kita ada saudara sebangsa yang juga memiliki hak
yang sama dengan kita sebagai masyarakat yang berdaulat dalam bingkai
kebangsaan. Masing-masing orang memiliki keyakinan di luar keyakinan atau
agama yang mesti kita hormati dan akui keberadaannya, untuk itu kita perlu terus-
menerus bertindak dan beragama dengan cara moderat.

Lalu yang akan tercapai bila keduanya sudah menjadi bagian yang tidak
saling merendahkan antara yang satu dengan lainnya? Tentu saja konsep yang
diusung moderasi beragama ketika terakomodasi dengan budaya lokal keduanya
akan saling mengisi dan menciptakan keharmonisan yang dapat menjunjung
tinggi rasa kebersamaan dan kesatuan dalam negeri Indonesia ini. Ujung tombak
dari moderasi menjadikan budaya sebagai salah satu metode yang jitu dalam
penerapan konsep kebhinekaan, menjadikan masyarakat multikultural sebagai
momentum untuk menciptakan generasi emas, serta meredam konflik-konflik
yang sudah terjadi disebabkan gesekan antar suku dan ras, antar agama dan
budaya, dan antar sesama manusia, sehingga sikap yang diusung moderasi seperti
toleransi, saling menolong tanpa memandang suku, saling menghargai akan
muncul dengan sendirinya.

Bukti nyata keharmonisan antara agama dan budaya dapat kita temukan
dalam masyarakat Minangkabau, salah-satunya adalah budaya basurau. Di mana
surau menjadi sentral pendidikan agama sekaligus adat, di sana anak-anak
Minangkabau belajar tatanan warisan adat dan budaya, diajarkan beladiri,
diajarkan ilmu agama yang mumpuni. Ini adalah sinkronisasi yang terjadi antara
budaya dan agama Islam dalam bingkai moderasi.

Tak hanya di Minangkabau saja, di daerah-daerah lain pun demikian, kita


mengenal budaya Batak dengan nama perayaan ulang tahun opung atau nenek,
yang mana pada perayaan ulang tahun tersebut seluruh cucu dan anak wajib untuk
menghadirinya, di sana dijelaskan ranji keluarga, sekaligus tatanan agama yang
harus diketahui, di samping menjadi ajang silaturahmi antar keluarga juga menjadi
tonggak adat dan budaya dalam ranah moderasi.

Jadi, jelas bahwa moderasi beragama sangat erat kaitannya dengan


menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap tenggang rasa, sebuah warisan
leluhur yang mengajarkan kita untuk saling memahami satu sama lain yang
berbeda dengan kita. Konsep yang dimulai dari budaya ini kemudian akan
merambat pada sikap toleransi, anti kekerasan dan sikap merasa paling benar.
Kebersamaan dalam budaya musyawarah Indonesia akan kembali, dengan begitu
pondasi yang kokoh sudah terbentuk untuk membentuk sebuah peradaban besar
yang menjunjung tinggi nilai-nilai bhineka tunggal ika. Kekuatan yang dimulai
dari budaya akan melahirkan ide-ide besar yang menopang kemajuan Indonesia
tanpa pernah membahas lagi hal–hal suku, kultur dan itu ditawarkan sepenuhnya
dalam konsep moderasi beragama demi tercapainya keharmonisan dalam berbagai
aspek kehidupan.
DARTAR KEPUSTAKAAN

Darlis (2017) Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural.


Rausyan Fikr, Vol.13 No.2

Tim Penyusun, 2019, Moderasi Beragama. Jakarta, Kementerian Agama RI

Hamka (1974) Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, Bantahan Terhadap
Tulisan Mangaradja Onggang Parlindungan. Jakarta: Republika Penerbit.

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Moderasi Islam (Tafsir al-Qur‟an


Tematik), (Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an 2012)

Casram 2016, Membangun Sikap Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Plural.


Jurnal Ilmiah Sosial, Agama, dan Budaya

Faiqah, N., & Pransiska, T. (2018). Radikalisme Islam vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.

Fahri, Muhammad, Ahmad Zainuri, 2019. Moderasi Beragama di Indonesia,


Intizar, Volume 25, Nomor 2.

Akhmadi, Agus. 2019. Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia, Jurnal


Diklat Keagamaan, Volume 13 Nomor 2.

Fahrudin (2019) Pentingnya Moderasi Beragama bagi Penyuluh Agama.


Republika.

Gilang, Moderat Adalah Sebuah Sikap, www.Gramedia.com.

https://daraindonesia.id/ragam/detail/sebanyak/869-penduduk-indonesia-
beragama-islam

https://jateng.kemenag.go.id/2022/12/mendukung-kearifan-lokal-menaikkan-nilai-
budaya-dan-meningkatkan-pemberdayaan-umat/
https://www.google.com/amp/s/www.cendananews.com/ritual-larung-sesaji-
nelayan-masohi- maluku.html

Anda mungkin juga menyukai