Anda di halaman 1dari 18

Karakteristik fisik

Struktur dalam

Artikel utama: Struktur dalam Bulan

Struktur Bulan
Komposisi kimia permukaan Bulan (berasal dari batuan kerak)[33]
Komposisi (wt %)
Senyawa Rumus
Mare Dataran tinggi
silika SiO2 45.4% 45.5%
alumina Al2O3 14.9% 24.0%
kapur CaO 11.8% 15.9%
besi(II) oksida FeO 14.1% 5.9%
magnesia MgO 9.2% 7.5%
titanium dioksida TiO2 3.9% 0.6%
sodium oksida Na2O 0.6% 0.6%
Total 99.9% 100.0%

Bulan tergolong benda langit diferensiasi, yang secara geokimia memiliki komposisi kerak,
mantel, dan inti yang berbeda dengan benda langit lainnya. Bulan kaya akan besi padat di
bagian inti dalam, dengan radius sekitar 240 km, dan fluida di bagian inti luar, terutama yang
terbuat dari besi cair, dengan radius sekitar 300 km. Di sekitar bagian inti Bulan terdapat
lapisan pembatas berbentuk cair dengan radius sekitar 500 km.[34] Struktur ini diperkirakan
terbentuk akibat kristalisasi fraksional pada lautan magma sesaat setelah pembentukan Bulan
4,5 miliar tahun yang lalu.[35] Kristalisasi lautan magma ini akan membentuk mantel mafik,
yang juga disebabkan oleh curah hujan dan peluruhan mineral olivin, klinopiroksen, dan
ortopiroksen; setelah tiga perempat lautan magma terkristalisasi, mineral plagioklas
berkepadatan rendah akan terbentuk dan mengapung ke bagian atas lapisan kerak.[36] Cairan
terakhir yang mengalami proses kristalisasi akan terjebak di antara kerak dan mantel, dengan
inkompabilitas dan unsur penghasil panas yang berlimpah.[1] Sesuai dengan proses ini,
pemetaan geokimia dari orbit menunjukkan bahwa sebagian besar kerak Bulan bersifat
anortosit,[6] dan pengujian yang dilakukan terhadap sampel batuan Bulan yang berasal dari
banjir lava di permukaan juga menjelaskan bahwa komposisi mantel mafik Bulan lebih kaya
akan besi jika dibandingkan dengan Bumi.[1] Teknik geofisika menjelaskan bahwa ketebalan
rata-rata kerak Bulan adalah ~50 km.[1]

Bulan adalah satelit terpadat kedua di Tata Surya setelah Io.[37] Akan tetapi, inti dalam Bulan
tergolong kecil, dengan radius sekitar 350 km atau kurang;[1] ukuran ini hanya ~20% dari
ukuran Bulan secara keseluruhan, berbeda dengan benda langit kebumian lainnya, yang
ukuran inti dalamnya hampir 50% dari ukuran keseluruhan. Komposisi Bulan belum
diketahui secara pasti, namun diduga perpaduan dari besi metalik dengan sejumlah kecil
sulfur dan nikel; analisis mengenai waktu rotasi variabel Bulan menunjukkan bahwa sebagian
inti Bulan berbentuk cair.[38]

Geologi permukaan

Artikel utama: Geologi Bulan dan Batuan Bulan


Lihat pula: Topografi Bulan

Sisi dekat Bulan

Sisi jauh Bulan, dengan mare gelap yang nyaris tidak ada.[39]

Topografi Bulan
Kutub utara Bulan

Kutub selatan Bulan

Topografi Bulan telah diukur dengan menggunakan metode altimetri laser dan analisis
gambar stereo.[40] Bentuk topografi yang paling jelas terlihat adalah basin Kutub Selatan
Aitken di sisi jauh, dengan diameter sekitar sekitar 2.240 km, yang merupakan kawah
terbesar di Bulan serta kawah terbesar yang pernah ditemukan di Tata Surya.[41][42] Titik
terendah pada permukaan Bulan berada pada kedalaman 13 km.[41][43] Sedangkan titik
tertinggi terdapat di bagian timur laut, yang diduga mengalami penebalan akibat
pembentukan basin Kutub Selatan Aitken.[44] Basin raksasa lainnya, seperti Imbrium,
Serenitatis, Crisium, Smythii, dan Orientale, memiliki lebar dan ketinggian yang lebih
rendah.[41] Ketinggian rata-rata sisi jauh Bulan kira-kira 1,9 km lebih tinggi jika dibandingkan
dengan sisi dekat.[1]

Fitur vulkanis

Artikel utama: Mare

Dataran Bulan yang berwarna gelap dan bisa diamati dengan mata telanjang disebut dengan
maria (bahasa Latin untuk "laut"; atau mare dalam bentuk tunggal), karena dahulu kala para
astronom mengira bahwa dataran ini dipenuhi oleh air.[45] Dataran ini berupa kolam besar
yang terbentuk dari lava basal. Meskipun serupa dengan basal kebumian, basal mare
memiliki kandungan besi yang lebih tinggi dan kandungan mineral yang kurang.[46][47]
Sebagian besar lava ini meletus atau mengalir melalui proses yang bersamaan dengan
pembentukan kawah tubrukan. Beberapa bentuk geologi permukaan Bulan seperti gunung
berapi perisai dan kubah vulkanis bisa ditemukan di maria di sisi dekat Bulan.[48]

Maria bisa ditemukan hampir di keseluruhan sisi dekat Bulan, mencakup 31% dari total
permukaan di sisi dekat,[49] jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan maria pada sisi jauh,
yang persentasenya hanya 2%.[50] Hal ini diperkirakan terjadi karena tingginya konsentrasi
unsur penghasil panas di bawah kerak di sisi dekat, sebagaimana yang terlihat pada peta
geokimia yang diperoleh dari spektrometer sinar gamma Lunar Prospector, yang
menyebabkan mantel mengalami pemanasan, meleleh, kemudian naik ke permukaan dan
meletus.[36][51][52] Sebagian besar basal mare Bulan meletus pada periode Imbrian, sekitar 3,0–
3,5 miliar tahun yang lalu, meskipun hasil penanggalan radiometri menjelaskan waktunya
lebih tua 4,2 miliar tahun yang lalu,[53] dan letusan terakhir, berdasarkan penanggalan
hitungan kawah, terjadi sekitar 1,2 miliar tahun yang lalu.[54]

Wilayah yang berwarna lebih terang pada Bulan disebut dengan terrae, atau dataran tinggi
secara umum, karena wilayah ini lebih tinggi dari kebanyakan maria. Berdasarkan
penanggalan radiometri, dataran tinggi Bulan terbentuk sekitar 4,4 miliar tahun yang lalu, dan
diduga merupakan kumulasi plagioklas dari lautan magma Bulan.[53][54] Berbeda dengan
Bumi, tak ada gunung di Bulan yang diyakini terbentuk akibat peristiwa tektonik.[55][56][57]

Kawah tubrukan

Kawah Daedalus di sisi jauh Bulan


Lihat pula: Daftar kawah di Bulan

Proses geologi lainnya yang memengaruhi bentuk permukaan Bulan adalah kawah tubrukan,
[58]
yaitu ketika kawah-kawah terbentuk akibat tubrukan antara asteroid dan komet dengan
pemukaan Bulan. Diperkirakan terdapat sekitar 300.000 kawah dengan luas lebih dari 1 km
di sisi dekat Bulan.[59] Beberapa kawah ini dinamakan menurut nama para pakar, ilmuwan,
seniman, dan penjelajah.[60] Skala waktu geologi Bulan didasarkan pada peristiwa tubrukan
yang paling hebat, termasuk Nectaris, Imbrium, dan Orientale, dengan struktur yang dicirikan
oleh lingkaran yang terbentuk dari materi yang menguap, biasanya berdiamater ratusan
hingga ribuan kilometer.[61] Kurangnya aktivitas atmosfer, cuaca, dan proses geologi terkini
membuktikan bahwa kawah-kawah ini masih dalam kondisi baik. Meskipun hanya sedikit
kawah yang diketahui asal usul pembentukannya, kawah-kawah ini tetap berguna untuk
menentukan usia relatif Bulan. Karena kawah tubrukan menumpuk pada tingkat yang hampir
konstan, menghitung jumlah kawah per satuan luas dapat digunakan untuk memperkirakan
usia permukaan Bulan.[61] Usia radiometrik batuan kawah yang dibawa oleh misi Apollo
berkisar dari 3,8 sampai 4,1 miliar tahun; ini digunakan untuk menjelaskan waktu terjadinya
tubrukan Pengeboman Berat Akhir.[62]

Dataran yang menyelimuti bagian atas kerak Bulan adalah permukaan yang sangat
terkominusi (terpecah menjadi partikel yang lebih kecil) dan lapisan permukaan kebun kawah
bernama regolith, yang terbentuk akibat proses tubrukan. Regolith yang paling halus, yakni
tanah Bulan dari kaca silikon dioksida, memiliki tekstur seperti salju dan berbau seperti
mesiu.[63] Regolith di permukaan yang lebih tua umumnya lebih tebal daripada permukaan
yang lebih muda; ketebalannya bervariasi, dari 10–20 m di dataran tinggi dan 3–5 m di maria.
[64]
Di bawah lapisan regolith terdapat megaregolith, lapisan batuan fraktur dengan ketebalan
berkilo-kilometer.[65]

Ketersediaan air

Artikel utama: Air Bulan

Foto mozaik kutub selatan Bulan yang diambil oleh Clementine: perhatikan bagian gelap
permanen di kutub.

Air cair tidak bisa bertahan di permukaan Bulan. Saat terkena radiasi Matahari, air dengan
cepat akan terurai melalui proses yang dikenal dengan fotodisosiasi dan lenyap ke luar
angkasa. Namun, sejak tahun 1960-an, para ilmuwan memperkirakan bahwa air es yang
diangkut oleh komet saat terjadinya tubrukan atau yang dihasilkan oleh reaksi batuan Bulan
yang kaya oksigen, dan hidrogen dari angin surya, meninggalkan jejak air yang mungkin bisa
bertahan di kawah kutub selatan Bulan yang dingin dan gelap secara permanen.[66][67] Simulasi
komputer menunjukkan bahwa hampir 14.000 km2 permukaan Bulan berada pada bagian
kutub yang gelap permanen.[68] Ketersediaan air di Bulan dalam jumlah yang cukup adalah
faktor penting dalam merencanakan proses kolonisasi Bulan karena akan menghemat biaya;
rencana altenatif untuk mengangkut air dari Bumi akan menghabiskan biaya yang sangat
besar.[69]

Bertahun-tahun yang lalu, jejak air telah ditemukan di permukaan Bulan.[70] Pada tahun 1994,
eksperimen radar bistatik di wahana Clementine menunjukkan adanya kantong air beku di
sekitar permukaan Bulan. Namun, pengamatan radar setelahnya oleh Arecibo menunjukkan
bahwa penemuan tersebut mungkin adalah batuan yang terlontar dari kawah tubrukan muda.
[71]
Pada 1998, spektrometer neutron di wahana Lunar Prospector menemukan adanya
konsentrasi hidrogen yang tinggi di lapisan regolith dengan kedalaman satu meter di wilayah
kutub.[72] Pada 2008, analisis yang dilakukan terhadap batuan lava vulkanis yang dibawa ke
Bumi oleh Apollo 15 menunjukkan adanya kandungan air dalam jumlah kecil pada interior
batuan.[73]

Pada tahun 2008, wahana Chandrayaan-1 mengonfirmasi keberadaan air es di permukaan


Bulan dengan menggunakan Moon Mineralogy Mapper. Spektrometer mengamati adanya
garis penyerapan hidroksil di bawah sinar Matahari, yang membuktikan bahwa permukaan
Bulan mengandung air es dalam jumlah besar. Wahana tersebut menunjukkan bahwa
konsentrasi air es mungkin mencapai 1.000 ppm.[74] Pada tahun 2009, LCROSS mengirim
2.300 kg impaktor ke kawah kutub yang gelap permanen, dan mendeteksi sedikitnya terdapat
100 kg air dalam material ejektor.[75][76] Analisis data LCROSS lainnya menunjukkan bahwa
jumlah air yang terdeteksi mencapai 155 kg.[77] Pada bulan Mei 2011, Erik Hauri
melaporkan[78] adanya 615-1410 ppm inklusi leleh air pada sampel Bulan 74220, "tanah kaca
jingga" dengan kandungan titanium tinggi yang berasal dari peristiwa vulkanis yang
dikumpulkan dalam misi Apollo 17 pada tahun 1972. Inklusi ini tebentuk saat terjadinya
letusan besar di Bulan sekitar 3,7 miliar tahun yang lalu. Konsentrasi ini setara dengan
magma di mantel atas Bumi.

Medan gravitasi

Artikel utama: Gravitasi Bulan

Medan gravitasi Bulan telah diukur dengan menggunakan pelacakan pergeseran Doppler
pada sinyal radio yang dipancarkan oleh pesawat ruang angkasa yang mengorbit Bulan.
Bentuk gravitasi Bulan yang utama adalah konmas, anomali gravitasi positif yang terkait
dengan beberapa basin tubrukan besar, sebagian disebabkan oleh aliran lava basaltik mare
padat yang memenuhi basin tersebut.[79][80] Anomali ini sangat memengaruhi orbit pesawat
luar angkasa di sekitar Bulan. Terdapat beberapa perdebatan mengenai gravitasi Bulan: lava
yang mengalir dengan sendirinya tidak bisa menjelaskan bentuk gravitasi Bulan, dan
beberapa konmas yang ada sama sekali tidak terkait dengan vulkanisme mare.[81]

Medan magnet

Artikel utama: Medan magnet Bulan

Bulan memiliki medan magnet eksternal sekitar 1–100 nanotesla, kurang dari seperseratus
medan magnet Bumi. Bulan tidak memiliki medan magnet dipolar global, melainkan
dihasilkan oleh geodinamo inti logam cair, dan hanya memiliki magnetisasi kerak, yang
mungkin sudah ada pada awal sejarah Bulan ketika geodinamo masih beroperasi.[82][83] Selain
itu, beberapa sisa magnetisasi berasal dari medan magnet sementara yang dihasilkan ketika
terjadinya peristiwa tubrukan hebat, dengan melalui perluasan plasma yang dihasilkan oleh
tubrukan. Hipotesis ini didukung oleh magnetisasi kerak yang berlokasi di dekat antipode
basin tubrukan besar.[84]

Atmosfer
Saat matahari terbit dan terbenam, banyak awak Apollo yang melihat cahaya terang di
permukaan Bulan.[85]
Artikel utama: Atmosfer Bulan

Bulan memiliki atmosfer yang sangat renggang, bahkan hampir hampa, dengan massa total
kurang dari 10 ton metrik.[86] Tekanan permukaannya adalah sekitar 3 × 10−15 atm (0,3 nPa);
ukurannya bervariasi menurut hari Bulan. Sumber atmosfer Bulan meliputi pelepasan gas dan
pelepasan atom akibat bombardemen tanah Bulan oleh ion angin surya.[6][87] Unsur-unsur
yang terkandung pada atmosfer Bulan adalah sodium dan potasium, yang dihasilkan oleh
pelepasan atom; unsur ini juga ditemukan pada atmosfer Merkurius dan Io. Unsur lainnya
termasuk helium-4 yang dihasilkan dari angin surya; serta argon-40, radon-222, dan
polonium-210, yang dilepaskan ke angkasa setelah dihasilkan melalui proses peluruhan
radioaktif di dalam kerak dan mantel.[88][89] Tidak adanya keberadaan spesies netral (atom atau
molekul) di atmosfer seperti oksigen, nitrogen, karbon, hidrogen dan magnesium, yang
terdapat pada regolith, masih belum terjelaskan.[88] Uap air terdeteksi oleh Chandrayaan-1
dan kandungannya bervariasi menurut garis lintang, dengan titik maksimum ~60–70 derajat;
uap air ini diduga dihasilkan melalui proses sublimasi air es di regolith.[90] Gas-gas ini bisa
kembali ke regolith akibat gravitasi Bulan atau lenyap ke luar angkasa, baik melalui tekanan
radiasi surya atau, jika terionisasi, tersapu oleh medan magnet angin surya.[88]

Musim

Kemiringan sumbu Bulan terhadap ekliptika hanya 1,5424°,[91] jauh lebih kecil dari Bumi
(23,44°). Karena hal ini, variasi iluminasi surya pada Bulan memiliki musim yang jauh lebih
sedikit, dan detail topografi memiliki peran penting dalam efek perubahan musim.[92]
Berdasarkan foto yang diambil oleh wahana Clementine pada tahun 1994, terdapat empat
wilayah pegunungan di pinggiran kawah Peary di kutub utara Bulan, yang diduga tetap
disinari oleh Matahari di sepanjang hari Bulan, menciptakan puncak cahaya abadi. Tidak ada
wilayah seperti itu yang terdapat di kutub selatan Bulan. Selain itu, juga terdapat wilayah
yang tidak menerima cahaya secara permanen di bagian bawah kawah kutub,[68] dan kawah-
kawah gelap ini suhunya sangat dingin; Lunar Reconnaissance Orbiter mencatat suhu musim
panas terendah di kawah kutub selatan mencapai 35 K (−238 °C)[93] dan hampir 26 K saat
terjadinya titik balik matahari musim dingin di kawah Hermite di kutub utara. Ini adalah suhu
terdingin di Tata Surya yang pernah diukur oleh wahana antariksa, bahkan lebih dingin dari
suhu permukaan Pluto.[92]

Hubungan dengan Bumi

Skema sistem Bumi-Bulan (tanpa skala konsisten)

Orbit

Artikel utama: Orbit Bulan dan Teori Bulan

Bulan menyelesaikan orbit lengkap mengelilingi Bumi setiap 27,3 hari sekali[g] (periode
sideris). Akan tetapi, karena Bumi bergerak pada orbitnya mengelilingi Matahari pada waktu
yang bersamaan, dibutuhkan waktu yang sedikit lebih lama bagi Bulan untuk memperlihatkan
fase yang sama ke Bumi, yaitu sekitar 29,5 hari[h] (periode sinodik).[49] Tidak seperti
kebanyakan satelit planet lainnya, orbit Bulan lebih dekat ke bidang ekliptika daripada ke
bidang khatulistiwa planet. Orbit Bulan diperturbasi oleh Matahari dan Bumi dalam cara
yang halus dan kompleks. Misalnya, bidang pergerakan orbit Bulan secara bertahap
mengalami pergeseran, yang memengaruhi aspek pergerakan Bulan lainnya. Fenomena ini
secara matematis dijelaskan oleh Hukum Cassini.[94]

Skala perbandingan ukuran dan jarak Bumi-Bulan. Garis kuning merupakan perjalanan
cahaya dari Bumi ke Bulan (sekitar 400.000 km atau 250.000 mil) dalam 1,26 detik.

Ukuran relatif

Ukuran Bulan relatif besar jika dibandingkan dengan ukuran Bumi, yakni seperempat dari
diameter dan 1/81 dari massa Bumi.[49] Bulan adalah satelit alami terbesar di Tata Surya
menurut ukuran relatif planet yang diorbitnya, meskipun Charon lebih besar untuk ukuran
planet katai Pluto, yakni sekitar 1/9 dari massa Pluto.[95] Meskipun demikian, Bumi dan Bulan
masih dianggap sebagai sistem planet-satelit, bukannya sistem planet ganda, karena
barisentrum kedua benda langit ini berlokasi 1.700 km (sekitar seperempat radius Bumi) di
bawah permukaan Bumi.[96]
Penampakan dari Bumi

Penampakan Bulan di langit barat High Desert (California)

Terkadang bulan bisa dilihat dari pagi hari


Lihat pula: Fase Bulan, Pengamatan Bulan, dan Cahaya bulan

Bulan berada pada rotasi sinkron; waktu yang dibutuhkan oleh Bulan untuk berputar pada
porosnya kira-kira sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengorbit Bumi. Oleh sebab
itu, Bulan selalu memperlihatkan sisi yang sama pada Bumi. Pada awal sejarahnya,
perputaran Bulan lebih lambat dan terjadi penguncian pasang surut pada orientasi ini,
terutama karena efek friksional deformasi pasang surut yang dipicu oleh Bumi.[97] Sisi Bulan
yang menghadap Bumi disebut dengan sisi dekat, sedangkan sisi yang membelakangi Bumi
disebut dengan sisi jauh. Sisi jauh sering kali disalah artikan sebagai "sisi gelap", meskipun
pada kenyataannya sisi ini diterangi oleh cahaya sebagaimana halnya sisi dekat. Sekali dalam
sebulan, sisi dekat yang gelap bisa disaksikan dari Bumi ketika terjadinya fase bulan baru.[98]

Bulan memiliki albedo yang sangat rendah, dengan tingkat kecerahan yang sedikit lebih
terang dari aspal hitam. Meskipun demikian, Bulan adalah benda langit yang paling terang di
langit setelah Matahari.[49][i] Hal ini antara lain disebabkan oleh peningkatan kecerahan akibat
efek oposisi; pada fase bulan seperempat, hanya sepersepuluh bagian Bulan yang terang,
bukannya seperempat.[99] Selain itu, konstansi warna pada sistem visual Bulan mengkalibrasi
hubungan antara warna objek dan sekitarnya; karena langit di sekitar Bulan relatif gelap,
Bulan yang diterangi Matahari tampak sebagai benda langit yang terang. Bagian pinggir
bulan purnama tampak sama terang dengan bagian tengahnya, tanpa pengelaman tungkai,
karena sifat reflektif dari tanah Bulan, yang merefleksikan lebih banyak cahaya ke arah
Matahari daripada ke arah lainnya. Bulan terlihat lebih besar saat berada dekat dengan
cakrawala, tetapi hal ini hanyalah efek psikologis semata, yang dikenal dengan ilusi Bulan
(pertama kali dijelaskan pada abad ke-7 SM).[100] Besaran busur rata-rata bulan purnama
adalah sekitar 0,52° di langit, kira-kira sama dengan ukuran Matahari yang terlihat dari Bumi
(lihat gerhana).
Perubahan sudut antara arah pencahayaan oleh Matahari dan penampakan dari Bumi dalam
waktu sebulan, dan fase Bulan yang dihasilkannya.

Ketinggian Bulan di langit bervariasi; meskipun memiliki batas yang hampir sama dengan
Matahari, ketinggiannya berubah seiring dengan fase Bulan dan perubahan musim dalam
setahun, dengan ketinggian tertinggi terjadi saat bulan purnama pada waktu musim dingin.
Siklus simpul Bulan selama 18,6 tahun juga memiliki pengaruh; ketika simpul naik orbit
Bulan berada pada ekuinoks vernal, deklinasi Bulan bisa bergerak sejauh 28° setiap bulannya.
Ini berarti Bulan bisa bergerak melintasi garis lintang hingga 28° dari khatulistiwa, bukannya
18°. Orientasi bulan sabit juga bergantung pada garis lintang; di dekat khatulistiwa, bulan
sabit bisa diamati dengan teropong bintang.[101]

Jarak antara Bulan dengan Bumi bervariasi, berkisar dari 356.400 km hingga 406.700 km
pada perige (titik terdekat) dan apoge (titik terjauh). Pada tanggal 19 Maret 2011, Bulan saat
fase penuh berada pada jarak terdekat dengan Bumi, terdekat sejak tahun 1993, yakni 14%
lebih dekat dari posisi terjauhnya di apoge.[102] Fenomena ini disebut dengan "bulan super",
yang berlangsung selama satu jam pada saat bulan purnama, dan 30% lebih terang daripada
biasanya akibat diameter sudutnya 14% lebih besar, karena .[103][104][105] Pada tingkat
terendahnya, kecerahan Bulan dari Bumi akan berkurang jika dilihat dengan mata telanjang.
Persentase tingkat kecerahan Bulan ditentukan oleh rumus berikut: [106][107]

Ketika reduksi aktual adalah 1,00 / 1,30, atau sekitar 0,770, reduksi terasa kira-kira 0,877,
atau 1,00 / 1,14. Hal ini menyebabkan meningkatnya reduksi terasa hingga 14% antara apoge
dan perige Bulan pada fase yang sama.[108]

Terdapat perdebatan mengenai apakah permukaan Bulan berubah dari waktu ke waktu. Saat
ini, fenomena tersebut dianggap sebagai ilusi semata, yang diakibatkan oleh pengamatan
Bulan dalam kondisi pencahayaan yang berbeda, penglihatan astronomi yang buruk, atau
gambar yang tidak memadai. Akan tetapi, pelepasan gas kadang-kadang juga terjadi, dan
diduga merupakan peristiwa yang menyebabkan fenomena Bulan sementara. Baru-baru ini,
muncul pendapat yang menyatakan bahwa sekitar 3 km diameter permukaan Bulan
dimodifikasi oleh peristiwa pelepasan gas, yang terjadi sekitar satu juta tahun yang lalu.[109]
[110]
Penampakan Bulan, seperti halnya Matahari, dipengaruhi oleh atmosfer Bumi; efek
umumnya adalah cincin halo 22° yang terbentuk saat cahaya Bulan dibiaskan oleh kristal es
di awan cirrostratus, dan terbentuknya cincin korona yang lebih kecil saat Bulan ditutupi oleh
awan tipis.[111]
Efek pasang surut

Artikel utama: Gaya pasang surut, Akselerasi pasang surut, Pasang surut, dan Teori pasang
surut

Pasang surut di Bulan umumnya disebabkan oleh adanya kecepatan perubahan intensitas
daya tarik gravitasi Bulan pada salah satu sisi Bumi terhadap sisi lainnya, atau disebut dengan
gaya pasang surut. Fenomena ini membentuk dua tonjolan pasang surut di Bumi, yang akan
terlihat jelas di permukaan laut setelah air surut.[112] Karena Bumi berputar 27 kali lebih cepat
daripada Bulan, tonjolan ini bergerak bersama permukaan Bumi lebih cepat daripada
pergerakan Bulan, yang berputar mengelilingi Bumi sekali sehari sebagaimana Bulan
berputar pada sumbunya.[112] Pasang surut juga dipengaruhi oleh efek lainnya, di antaranya
gaya gesek air terhadap sumbu rotasi Bumi melalui lantai samudra, inersia pergerakan air,
basin samudra yang mengalami pendangkalan, dan osilasi antara basin samudra berbeda.[113]
Daya tarik gravitasi Matahari terhadap samudra Bumi hampir setengah dari daya tarik
gravitasi Bulan, dan gravitasi kedua benda langit ini berperan penting dalam menyebabkan
pasang surut perbani dan musim semi.[112]

Librasi Bulan dalam waktu satu bulan.

Interaksi gravitasi antara Bulan dan tonjolan di sekitar Bulan berfungsi sebagai torsi pada
rotasi Bumi, yang menguras momentum sudut dan energi kinetik rotasi dari perputaran Bumi.
[112][114]
Akibatnya, momentum sudut disertakan ke orbit Bulan, yang mempercepat rotasinya
dan menyebabkan Bulan naik ke orbit yang lebih tinggi dan dengan periode yang lebih lama.
Oleh sebab itu, jarak antara Bumi dengan Bulan juga akan meningkat, dan perputaran Bumi
akan melambat.[114] Pengukuran dengan metode eksperimen rentang Bulan menggunakan
reflektor laser yang dilakukan dalam misi Apollo menemukan bahwa jarak Bulan ke Bumi
meningkat sekitar 38 mm per tahun[115] (meskipun angka ini hanya 0,10 ppb/tahun dari radius
orbit Bulan). Jam atom juga menunjukkan bahwa lama hari di Bumi meningkat sekitar 15
mikrodetik per tahun,[116] yang secara perlahan-lahan memperpanjang waktu UTC yang
disesuaikan oleh detik kabisat. Tarikan pasang surut Bulan akan terus berlanjut sampai
perputaran Bumi dan periode orbit Bulan sesuai. Namun, Matahari akan berubah menjadi
raksasa merah dan memusnahkan Bumi jauh sebelum hal tersebut terjadi.[117][118]

Permukaan Bulan juga mengalami pasang surut dengan amplitudo ~10 cm, yang berlangsung
selama 27 hari lebih. Fenomena ini disebabkan oleh dua hal, yakni karena Bulan dan Bumi
berada pada rotasi sinkron, dan berbagai hal yang disebabkan oleh Matahari.[114] Komponen
Bumi yang diinduksi terbentuk karena librasi, yang diakibatkan oleh eksentrisitas orbit
Bulan; jika orbit Bulan bulat sempurna, maka yang akan muncul hanyalah pasang surut
surya.[114] Librasi juga mengubah sudut penampakan Bulan, yang menyebabkan sekitar 59%
permukaan Bulan terlihat dari Bumi.[49] Efek kumulatif dari fenomena pasang surut memicu
terjadinya gempa bulan. Gempa bulan ini lebih jarang terjadi dan lebih lemah kekuatannya
daripada gempa bumi, meskipun gempa ini dapat bertahan hingga satu jam karena ketiadaan
air yang berfungsi sebagai peredam getaran seismik. Fenomena gempa bulan ini merupakan
penemuan tak terduga dari seismometer yang diletakkan di Bulan oleh astronaut Apollo dari
tahun 1969 hingga 1972.[119]

Gerhana

Artikel utama: Gerhana matahari, Gerhana bulan, dan Siklus gerhana

Gerhana matahari 1999

Bulan melintas di hadapan Matahari, dipotret oleh wahana STEREO-B.[120]


Dari Bumi, Bulan dan Matahari terlihat berukuran sama. Dari satelit di orbit Bumi, Bulan
tampak lebih kecil dari Matahari.

Gerhana bisa terjadi saat Matahari, Bumi, dan Bulan berada pada satu garis lurus (disebut
dengan "syzygy"). Gerhana matahari terjadi ketika bulan baru, saat Bulan berada di antara
Matahari dan Bulan. Sebaliknya, gerhana bulan terjadi saat bulan purnama, ketika Bumi
berada di antara Matahari dan Bulan. Ukuran Bulan yang terlihat dari Bumi kira-kira sama
dengan ukuran Matahari. Akan tetapi, ukuran Matahari jauh lebih besar daripada ukuran
Bulan; jarak antara Matahari dan Bulan yang sangat jauh menyebabkan ukuran kedua benda
langit ini tampak sama dari Bumi. Variasi ukuran ini, yang disebabkan oleh orbit nonsirkuler,
juga hampir sama, meskipun terjadi dalam siklus yang berbeda. Hal ini mengakibatkan
terjadinya gerhana matahari total (saat Bulan tampak lebih besar daripada Matahari) dan
cincin (saat Bulan tampak lebih kecil dari Matahari).[121] Saat gerhana total, Bulan
sepenuhnya menutupi cakram Matahari dan korona surya, yang bisa diamati dengan mata
telanjang dari Bumi. Karena jarak antara Matahari dan Bulan meningkat secara perlahan dari
waktu ke waktu,[112] diameter sudut Bulan mengalami penurunan. Selain itu, karena Matahari
berevolusi menjadi raksasa merah, ukuran Matahari dan diameter tampaknya di langit juga
meningkat secara perlahan.[j] Perpaduan kedua fenomena ini membuktikan bahwa ratusan juta
tahun yang lalu, Bulan akan selalu menutupi Matahari ketika terjadinya gerhana matahari,
dan mungkin tidak ada gerhana cincin yang terjadi pada saat itu. Demikian pula ratusan juta
tahun yang akan datang, Bulan tak lagi menutupi Matahari sepenuhnya, dan gerhana matahari
total tidak akan terjadi.[122]

Orbit Bulan yang mengelilingi Bumi mengalami inklinasi sekitar 5° dari orbit Bumi
mengelilingi Matahari, sehingga gerhana tidak terjadi pada setiap bulan baru dan bulan
purnama. Gerhana akan terjadi jika Bulan berada di dekat persimpangan dua bidang orbit.[123]
Periodisasi dan rekurs gerhana matahari oleh Bulan, serta gerhana bulan oleh Bumi, bisa
dijelaskan melalui teori saros, yang memiliki jangka waktu sekitar 18 tahun.[124]

Karena Bulan menghalangi pandangan manusia sekitar setengah derajat lingkaran pada area
langit,[k][125] fenomena terkait seperti okultasi terjadi saat sebuah bintang atau planet terang
melintas di bagian belakang Bulan dan mengalami okultasi, atau tersembunyi dari
pandangan. Serupa dengan fenomena ini, gerhana matahari terjadi saat Matahari tersembunyi
dari pandangan karena tertutup oleh Bulan. Karena jarak Bulan lebih dekat dengan Bumi,
okultasi bintang tunggal tidak bisa terlihat dari tempat manapun di permukaan Bumi pada
waktu yang bersamaan. Presesi pada orbit Bulan juga menyebabkan terjadinya okultasi yang
berbeda setiap tahunnya.[126]

Penelitian dan penjelajahan


Lihat pula: Penjelajahan Bulan, Kolonisasi Bulan, dan Daftar benda buatan manusia di Bulan

Peta Bulan karya Johannes Hevelius dari Selenographia (1647), peta pertama yang
menyertakan zona librasi Bulan.

Penelitian awal

Artikel utama: Penjelajahan Bulan: Sejarah awal, Selenografi, dan Teori Bulan

Pemahaman mengenai siklus Bulan menandai awal perkembangan ilmu astronomi; pada abad
ke-5 SM, astronom Babilonia telah mencatat siklus Saros 18 tahunan pada gerhana bulan,[127]
dan astronom India telah menjelaskan mengenai fenomena elongasi Bulan.[128] Astronom
Tiongkok Shi Shen (abad ke-4 SM) memberi petunjuk yang terkait dengan cara
memperkirakan gerhana matahari dan bulan.[129] Kemudian, bentuk fisik Bulan dan sumber
cahaya bulan mulai diketahui. Filsuf Yunani kuno Anaxagoras (w. 428 SM) mengemukakan
bahwa Matahari dan Bulan merupakan dua buah batu bulat raksasa yang menghasilkan
cahaya.[130][131] Bangsa Tiongkok pada masa Dinasti Han percaya bahwa energi Bulan sama
dengan qi, dan teori mereka mengenai pengaruh radiasi Bulan menjelaskan bahwa cahaya
Bulan berasal dari Matahari. Jing Fang (78–37 SM) mencatat kebulatan Bulan untuk pertama
kalinya.[132] Pada abad ke-2 M, Lucian menulis sebuah novel yang mengisahkan mengenai
seorang pahlawan yang melakukan perjalanan ke Bulan yang berpenghuni. Pada tahun 499
M, astronom India Aryabhata menulis dalam bukunya Aryabhatiya bahwa cahaya Matahari
menyebabkan Bulan tampak bersinar.[133] Astronom dan fisikawan Alhazen (965-1039)
mengungkapkan bahwa cahaya matahari tidak dipancarkan dari Bulan seperti sebuah cermin,
tetapi cahaya tersebut dipancarkan ke segala arah dari setiap bagian permukaan Bulan yang
diterangi oleh cahaya matahari.[134] Shen Kuo (1031–1095) dari Dinasti Song mengemukakan
sebuah alegori yang mengumpamakan fenomena bersinar dan memudarnya cahaya Bulan
dengan sebuah bola yang berputar; saat dibubuhi dengan bubuk putih dan dilihat dari
samping, maka akan terlihat bentuk sabit.[135]

Dalam deskripsi alam semesta karya Aristoteles (384-322 SM), Bulan menandai batas antara
unsur yang bisa berubah (bumi, air, udara, dan api) dengan bintang-bintang abadi aether,
pemikiran filsafat berpengaruh yang mendominasi sains selama berabad-abad kemudian.[136]
Pada abad ke-2 SM, Seleucus dari Seleucia mengemukakan teori bahwa pasang surut terjadi
karena daya tarik Bulan, dan ketinggian air pasang ditentukan oleh posisi relatif Bulan
terhadap Matahari.[137] Pada abad yang sama, Aristarchus menghitung ukuran dan jarak Bulan
dari Bumi, dengan jarak sekitar dua puluh kali radius Bumi. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh Ptolemy (90–168 M): ia berpendapat bahwa jarak rata-rata Bulan dari
Bumi adalah 59 kali radius Bumi dan diameter 0,292 dari diameter Bumi. Angka ini hampir
mendekati jarak dan diameter yang sebenarnya, yakni sekitar 60 untuk jarak dan 0,273 untuk
diameter.[138] Archimedes (287–212 SM) merancang sebuah planetarium yang bisa
menghitung laju pergerakan Bulan dan objek lainnya di Tata Surya.[139]

Pada Abad Pertengahan, sebelum ditemukannya teleskop, Bulan diyakini sebagai sebuah bola
batu, meskipun juga banyak yang percaya bahwa permukaan bulan "sangat halus".[140] Pada
tahun 1609, Galileo Galilei untuk pertama kalinya membuat sebuah gambar teleskopis Bulan
dalam bukunya yang berjudul Sidereus Nuncius dan menjelaskan bahwa permukaan Bulan
tidak halus, tetapi memiliki pegunungan dan kawah. Pemetaan teleskopis Bulan terus
berlanjut di sepanjang Abad Pertengahan; pada abad ke-17, Giovanni Battista Riccioli dan
Francesco Maria Grimaldi berhasil menciptakan sebuah sistem penamaan geologi Bulan yang
tetap digunakan hingga saat ini. Mappa Selenographica karya Wilhelm Beer dan Johann
Heinrich Mädler (1834-1836), serta buku Der Mond (1837), merupakan buku pertama yang
secara akurat menjelaskan penelitian mengenai Bulan dari sudut pandang trigonometri,
termasuk ketinggian lebih dari seribu gunung di Bulan, dan memperkenalkan penelitian
Bulan dengan tingkat akurasi yang bisa diukur oleh geografi Bumi.[141] Kawah Bulan pertama
kali dicatat oleh Galileo, dan awalnya dianggap sebagai gunung berapi sampai tahun 1870-an,
dan kemudian Richard Proctor menjelaskan bahwa kawah-kawah tersebut terbentuk akibat
tubrukan.[49] Pendapatnya ini didukung oleh eksperimen yang dilakukan oleh geolog Grove
Karl Gilbert pada tahun 1892, dan setelah perkembangan studi komparatif pada 1920-an
hingga 1940-an,[142] stratigrafi Bulan menjadi cabang ilmu astrogeologi baru pada tahun 1950-
an.[49]

Penjelajahan langsung pertama: 1959–1976

Misi Uni Soviet

Artikel utama: Program Luna dan Program Lunokhod

Perang Dingin mendorong terjadinya Perlombaan Angkasa antara Uni Soviet dan Amerika
Serikat, yang menyebabkan adanya akselerasi kepentingan dalam penjelajahan Bulan. Setelah
peluncur memiliki kemampuan yang diperlukan, kedua negara ini mengirim wahana nirawak
melalui misi orbit ataupun misi pendaratan di Bulan. Wahana buatan Soviet, Luna, adalah
wahana pertama yang berhasil mencapai tujuan. Setelah meluncurkan tiga misi nirawak dan
mengalami kegagalan pada tahun 1958,[143] benda buatan manusia pertama yang keluar dari
gravitasi Bumi dan melintas di dekat Bulan adalah Luna 1; benda buatan manusia pertama
yang menabrak permukaan Bulan adalah Luna 2, dan foto pertama sisi jauh Bulan dipotret
oleh Luna 3, semuanya dilakukan pada tahun 1959.[143]

Wahana antariksa pertama yang berhasil melakukan pendaratan lunak di permukaan Bulan
adalah Luna 9, dan wahana nirawak pertama yang mengorbit Bulan adalah Luna 10,
keduanya terjadi pada tahun 1966.[49] Sampel tanah dan batuan Bulan dibawa ke Bumi oleh
tiga misi pengembalian sampel Luna, yakni Luna 16 pada 1970, Luna 20 pada 1972, dan
Luna 24 pada 1976, yang berhasil membawa 0,3 kg batuan dan tanah Bulan.[144] Dua rover
robotika perintis mendarat di Bulan pada tahun 1970 dan 1973 sebagai bagian dari program
Lunokhod Soviet.

Misi Amerika Serikat

Artikel utama: Program Apollo dan Pendaratan di Bulan

Foto pertama Bumi dari orbit Bulan, yang dipotret oleh Apollo 8 pada malam Natal 1968.
Afrika berada di terminator matahari terbenam, Amerika di tutupi oleh awan, dan Antarktika
berada di ujung kiri terminator.

Neil Armstrong dan bendera Amerika Serikat di Bulan.

Amerika Serikat meluncurkan wahana nirawak untuk mengembangkan pemahaman


mengenai permukaan Bulan demi kepentingan pendaratan berawak di kemudian hari;
program Surveyor Jet Propulsion Laboratory mendaratkan wahana pertamanya empat bulan
setelah peluncuran Luna 9. Program Apollo berawak NASA dikembangkan secara paralel;
setelah serangkaian pengujian nirawak dan berawak pada wahana Apollo di orbit Bumi, dan
didorong oleh rencana peluncuran penerbangan Bulan Soviet, Apollo 8 mengirimkan misi
berawak pertama ke orbit Bulan pada tahun 1968. Misi berikutnya berhasil mendaratkan
manusia untuk pertama kalinya di permukaan Bulan, yang dipandang oleh banyak pihak
sebagai puncak Perlombaan Angkasa.[145] Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang
berjalan di permukaan Bulan sebagai pemimpin misi Apollo 11 Amerika Serikat; ia
menjejakkan langkah pertamanya di permukaan Bulan pada pukul 02:56 UTC tanggal 21 Juli
1969.[146] Misi Apollo 11 hingga 17 (kecuali Apollo 13, yang pendaratannya dibatalkan)
berhasil kembali ke Bumi dengan membawa 382 kg tanah dan batuan Bulan dalam 2.196
sampel terpisah.[147] Pendaratan Bulan Amerika Serikat dipicu oleh kemajuan teknologi yang
cukup pesat pada akhir 1960-an, misalnya kimia ablasi, rekayasa perangkat lunak, dan
teknologi penetrasi atmosfer, serta manajemen yang sangat kompeten sehubungan dengan
upaya teknis yang besar.[148][149]

Sejumlah instrumen ilmiah dipasang di permukaan Bulan selama misi pendaratan Apollo.
Stasiun instrumen berumur panjang, termasuk kapsul beraliran panas, seismometer, dan
magnetometer, dipasang di lokasi pendaratan Apollo 12, 14, 15, 16, dan 17. Transmisi data
langsung ke Bumi di akhiri pada tahun 1977 karena pertimbangan anggaran,[150][151] tetapi
setelah stasiun rentang laser Bulan menjadi instrumen pasif, transmisi data masih terus
dilakukan. Komunikasi jarak di stasiun secara rutin diterima oleh stasiun Bumi dengan
akurasi beberapa sentimeter, dan data dari eksperimen ini digunakan untuk menentukan
ukuran inti Bulan.[152]

Misi saat ini: 1990–sekarang

Lokasi pendaratan di Bulan. Tanggal pendaratan dalam UTC.

Pasca-Apollo dan Luna, semakin banyak negara yang terlibat dalam penjelajahan Bulan
secara langsung. Pada tahun 1990, Jepang menjadi negara ketiga yang mengirimkan pesawat
luar angkasa ke orbit Bulan dengan meluncurkan wahana Hiten. Wahana ini diluncurkan
dengan kapsul yang lebih kecil bernama Hagoromo di orbit Bulan, tetapi transmisi data gagal
dilakukan, sehingga misi ini dihentikan.[153] Pada tahun 1994, Amerika Serikat meluncurkan
wahana Clementine ke orbit Bulan, yang merupakan misi gabungan antara Departemen
Pertahanan dan NASA. Misi ini berhasil memotret peta topografi Bulan dalam jarak dekat
dan mengambil foto multispektral permukaan Bulan untuk pertama kalinya.[154] Misi ini
diikuti oleh misi Lunar Prospector pada tahun 1998, yang berhasil menemukan adanya
kelebihan hidrogen di kutub Bulan, yang diduga disebabkan oleh keberadaan air es beberapa
meter di atas regolith di dalam kawah gelap permanen.[155]

SMART-1, pesawat luar angkasa Eropa yang merupakan wahana bertenaga ion kedua, berada
di orbit Bulan sejak tanggal 15 November 2004, dan dihentikan setelah pengendalinya
menabrak Bulan pada tanggal 3 September 2006. Misi ini merupakan misi pertama yang
berhasil menyurvei secara rinci unsur kimia di permukaan Bulan.[156]

Tiongkok juga sangat berambisi untuk meluncurkan program penjelajahan Bulan, dimulai
dengan Chang'e 1, yang berhasil mengorbit Bulan dari tanggal 5 November 2007 hingga
akhirnya menabrak Bulan tanggal 1 Maret 2009.[157] Dalam misi selama enam belas bulan,
wahana ini berhasil mengambil foto Bulan secara keseluruhan. Tiongkok melanjutkan
keberhasilan ini dengan meluncurkan Chang'e 2 pada bulan Oktober 2010, yang mencapai
Bulan dua kali lebih cepat daripada Chang'e 1. Misi ini berhasil memetakan Bulan dalam
resolusi yang lebih tinggi dalam waktu sekitar delapan bulan, kemudian meninggalkan orbit
Bulan untuk mengamati perluasan titik Lagrangian L2 Bumi-Matahari. Wahana ini terbang
melintasi asteroid 4179 Toutatis pada 13 Desember 2012, dan kemudian lenyap ke angkasa
luar. Pada tanggal 14 Desember 2013, Chang'e 3 melanjutkan misi pendahulunya dengan
mengirimkan sebuah pendarat ke permukaan Bulan, yang pada akhirnya meluncurkan sebuah
penjelajah Bulan bernama Yutu (Mandarin: 玉兔; secara harfiah "Kelinci"). Dengan
demikian, Chang'e 3 merupakan wahana pertama yang melakukan pendaratan lunak di
permukaan Bulan sejak Luna 24 pada tahun 1976, dan juga misi pertama yang meluncurkan
penjelajah sejak Lunokhod 2 pada 1973. Tiongkok berencana untuk meluncurkan misi
penjelajah lainnya (Chang'e 4) pada tahun 2015, serta misi pengambilan sampel (Chang'e 5)
pada tahun 2017.

Antara tanggal 4 Oktober 2007 dan 10 Juni 2009, Badan Penjelajahan Antariksa Jepang
meluncurkan misi Kaguya (Selene), pengorbit Bulan yang dilengkapi dengan kamera video
berdefinisi tinggi dan dua satelit pemancar radio kecil. Misi ini berhasil memperoleh data
geofisika Bulan dan mengambil video berdefinisi tinggi dari luar orbit Bumi untuk pertama
kalinya.[158][159] Misi penjelajahan Bulan pertama India, Chandrayaan I, mengorbit Bulan dari
tanggal 8 November 2008 sampai kehilangan kontak pada 27 Agustus 2009, yang melakukan
pemetaan fotogeologi dan mineralogi permukaan Bulan dalam resolusi tinggi. Misi ini juga
menemukan keberadaan molekul-molekul air di dalam tanah Bulan.[160] Indian Space
Research Organisation berencana untuk meluncurkan Chandrayaan II pada tahun 2013, yang
juga disertai dengan sebuah robot penjelajah Bulan milik Rusia.[161][162] Akan tetapi, kegagalan
misi Fobos-Grunt Rusia menyebabkan proyek ini mengalami penundaan.

Misi Bulan masa depan lainnya adalah Luna-Glob Rusia; yang meliputi sebuah pendarat
nirawak, rangkaian seismometer, dan pengorbit yang serupa dengan misi Fobos-Grunt Mars
yang gagal.[163][164] Penjelajahan Bulan yang didanai swasta dikembangkan oleh Google Lunar
X Prize, diumumkan pada 13 September 2007, yang menawarkan uang senilai US$20 juta
bagi siapa saja yang bisa mendaratkan sebuah robot penjelajah di Bulan dan yang memenuhi
kriteria tertentu lainnya.[165] Shackleton Energy Company sedang mengembangkan sebuah
program untuk melakukan operasi di kutub selatan Bulan dalam rangka mengumpulkan air
untuk memasok Propellant Depot milik mereka.[166]
NASA berencana untuk melanjutkan misi berawak setelah adanya seruan dari Presiden AS
George W. Bush pada tanggal 14 Januari 2004 untuk meluncurkan misi berawak ke Bulan
pada tahun 2019, serta membangun sebuah pangkalan di Bulan pada tahun 2024.[167][168] Akan
tetapi, program tersebut dibatalkan demi rencana pendaratan berawak di sebuah asteroid pada
tahun 2025 dan misi pengorbit Mars berawak yang rencananya akan diluncurkan pada tahun
2035.[169] India juga menyatakan niatnya untuk mengirimkan misi berawak ke Bulan pada
tahun 2020.[170]

Anda mungkin juga menyukai