Anda di halaman 1dari 5

Adzanri.

Com

• Home

• Features


• Mega Menu

• Gawat Darurat

• Rumah Sakit

BerandaHukum Kesehatan

PENYELEGGARAAN PELAYANAN ANESTHESI OLEH PERAWAT DAN PENATA ANESTHESI ANALISIS HUKUM NORMATIF
Adzanri

• Facebook

• Twitter

PENYELEGGARAAN PELAYANAN  ANESTHESI OLEH PERAWAT DAN PENATA ANESTHESI ANALISIS  HUKUM NORMATIF

Oleh :
Adzanri, S.,Kep.,SS.,MH
Ns.Hendria Putra,Sp KMB
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah

          Lahirnya hukum kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan proses perkembangan kesehatan, sehingga perkembangan kesehatan sangat diperlukan
bagi permasalahan hukum kesehatan. Upaya tersebut tidak dapat dipisahkan dari tingkat pola berpikir masyarakat tentang prosesnya terjadinya penyakit,
karena setiap upaya pelayanan penaggulangan  penyakit selalu berdasarkan pola berpikir tersebut (Ns.Taadi.,S.,Kep.,MH.Kes Hukum Kesehatan 2002).
          Hukum Kesehatan dapat dikelompokkan dalam perangkat hukum sektoral, selain hukum sektoral tersebut masih ada satu lagi perangkat hukum
pokok meliputi hukum perdata dan hukum pidana acara hukum pidana dan lain sebagainya (Ns.Taadi.,S.,Kep.,MH.Kes Hukum Kesehatan 2002).
          Hukum pokok adalah lex generalis  sedangkan hukum sektoral adalah hukum lex spesialis mengatur secara spesifik  dan khusus hal hal yang
berkaitan dengan sektor kesehatan. Namun tidak boleh menyimpang dari asas asas prinsip prinsip atau prinsip prinsip dasar yang terkandung dalam
perangkat hukum (lex generalis yang relevan)    (Ns.Taadi.,S.,Kep.,MH.Kes Hukum Kesehatan 2002).  
Memahami dan mempelajari pelayanan ruang lingkup keperawatan anesethesi dan penata anesthesi dalam konteks ilmu hukum adalah suatu hal yang
menarik, karena pelayanan di area anesthesi merupakan domain ilmu kedokteran  spesialis anesthesi (karena tindakan anesthesi adalah tindakan Invasif
medik dan pemberian obat obatan) dan hak tersebut melekat pada dokter spesialis anesthesi, sedangkan perawat atau penata anesthesi istilahnya merupakan
mitra bagi dokter spesialis anesthesi dalam melakanakan asuhan kepada pasien yang membutuhkan pelayanan anesthesi. Penata anesthesi  dan perawat
dalam melakukan tindakan invasif atau memberikan obat harus melalui intruksi dokter, kalau tidak ada intruksi dokter berarti perbuatan tersebut melawan
Undang Undang atau perbuatan melawan hukum, karena tidak ada undang undang yang boleh memberikan obat (kecuali obat dasar) atau tindakan medik
selain profesi dokter.
Dalam sisi normatif (secara umum) pemberian obat baik melalui oral dan injeksi (IV,IM,SC,IC) merupakan hak preogratif dokter dan itu memang
keilmuan dokter diatur dalam Undang Undang, oleh sebab itu barang siapa yang meresepkan obat atau memberikan obat (kecuali obat obat dasar) tanpa
sepengetahuan dan intruksi dokter dapat dianggap sebagai bentuk perbuatan melanggar hukum (dapat dituntut perdata dan pidana).
Dari aspek hukum ?  apa sebenarnya peran perawat dan penata anesthesi dalam pelayanan anesthesi, dari kaca mata penulis perawat dan penata anesthesi 
secara umum mempunyai objek yang sama terhadap pasien anesthesi dan sama sama mitra dokter spesialis anesthesi, pada hal organiasinya berbeda
(perawat –PPNI)...Penata Anesthesi-IPAI), inilah menariknya dan sama sama punya regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Menurut penulis kalau sekiranya penata anesthesi itu pendidikan murni dari tamat SMA/SMU lansung masuk D3 akademi anesthesi atau D4 Anesthesi itu
barangkali tidak ada persoalan itu memang dibolehkan oleh Undang Undang No 36/2009 tentang  kesehatan, dan perawat pun harus memahami dan tidak
boleh diperdebatkan lagi, sama halnya dengan akademi Radiologi, Akademi Farmasi, Akademi Laboratorium pendidikan dimulai dari Tamatv SMA masuk
Akademi tersebut.
Yang menjadi perhatian dan perlu kita cermati Perawat yang sekolah perawat 3 tahun, akademi perawat 3 tahun, Sarjana Keperaewatan 2 tahun  Ners 1
Tahun, setelah memilki sertifikat pelatihan penata anesthesi berobah menjadi penata anesthesi, ini menariknya, bagaimana mungkin sertifkat pelatihan bisa
merubah profesi keperawatan,   apakah ini masuk dalam kategori tenaga kesehatan dengan istilah penata anesthesi, pada hal yang dimaksud dengan tenaga
kesehatan adalah “UU No  36/2009 tentang kesehatan, BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat  (6)  “Setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Jadi  syarat tenaga kesehatan harus melalui pendidikan bukan pelatihan, artinya harus ijazah 
Dalam Undang Undang No 36/2014 tentang tenaga kesehatan “Setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan”. Jadi sertifikat syarat tenaga kesehatan harus melalui pendidikan bukan pelatihan”  Jadi sertifikat syarat tenaga kesehatan harus melalui
pendidikan bukan pelatihan, harus ijazah karena pendidikan adalah ijazah.
Dalam Undang Undang No 36/2014 tentang tenaga kesehatan tidak ada dimuat secara jelas dan tertulis penata anesthesi adalah tenaga kesehatan. dengan
lahirnya Permenkes RI Nomor 18 Tahun 2016 tentang izin dan penyeleng garaan praktik penata anestesi muncullah polemik anatar perawat dan penata
anesthesi.
Sejajar dengan latar belakang diatas penulis sangat tertarik melakukan penulisan dengan Judul “Penyeleggaraan Pelayanan  Anesthesi Oleh
Perawat Dan Penata Ansesthesi Ditinjau Dari   Hukum Kesehatan Analisis  Hukum Normatif  ”. Kajian ini murni kajian semi  ilmiah populer,
sehingga boleh di bantah dengan nilai nilai ilmiah yang dilengkapi  dengan fakta hukum untuk memperkaya ilmu hukum kesehatan  

B.Tujuan Penulisan
Untuk Mendapatkan gambran  dan telaah hukum normatif regulasi penata anesthesi dan regulasi perawat yang bertugas di ruang lingkup area pelayanan
anesthesi

C.Manfaat penulisan
1.     Untuk menambah wawasan penulis tentang hukum kesehatan
2.     Untuk memperkaya nilai nilai intelektual dalam hukum kesehatan
3.     Sebagai bentuk sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum kesehatan 

BAB II 
KERANGKA  TEORITIS

A. Teori Hukum Murni


          Teori hukum murni adalah teori hukum positif, ia merupakan teori tentang hukum positif umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupakan
teori hukum umum, bukan penafsiran  tentang norma hukum nasional atau  internasional tetentu ia menyajikan teori penafsiran (Hans Kelsen Teori Hukum
Murni, 2010).
Disebut hukum “murni” lantaran ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut
paut dengan hukum. Yang menjadi tujuan nya adalah membersihkan  ilmu hukum dari unsur unsur asing inilah landasan metodologis dari teori hukum
murni  (Hans Kelsen Teori Hukum Murni, 2010).
Jadi dalam pembahasan ini penulis dalam penulis ini ingin melihat perbandingan hukum perawat dan penata anesthesi ditinjau dari regulasi hukum
kesehatan di Indonesia.  

B.2. Teori Perbandingan Hukum

Setiap kegiatan ilmiah lazimnya menerangkan metode metode perbandingan, oleh  karena sejak semula seorang ilmuwan harus dapat mengadakan
identifikasi terhadap masalah masalah yang akan  ditelitinya menetapkan satu per satu beberapa masalah yang akan ditelitinya. (Soerjono Soekanto
penelitian hukum normatif 2010).
Didalam ilmu hukum maupun praktek hukum metode ini sering diterapkan, namun dalam penelitian yang dilakukan oleh para ahli hukum yang tidak
mempelajari ilmu ilmu sosial lainnya metode perbandingan dilakukan tanpa sistematik atau pola tertentu (Soerjono Soekanto penelitian hukum normatif
2010).        
          Penulis juga melakukan perbandingan hukum yang terkait dengan penata anesthesi dan perawat ditinjau dari hukum kesehatan dan regulasi yang
ditetapkan oleh pemerintah.

B.3. Bahan Dasar Penulisan

          Apabila dilihat dari sudut informasi yang penulis dapatkan, adalah bahan bahan kepustakaan dapat berupa buku buku hukum dan ilmu hukum yang
diperlukan sesuai dengan kajian, Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Permenkes.
    
BAB III
 PEMBAHASAN
LANDASAN YURIDIS FORMAL

A. Ditinjau  dari UU No 29/20014 tentang Praktek Kedokteran Pasal 73...

a.     Ayat  (1), bahwa setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/ atau surat izin praktik
b.     Ayat (3), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan
perundang-undangan.
c.      Pada penjelasan UU tersebut, pasal 73, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan yang dimaksud antara lain bidan dan perawat yang diberi
kewenangan untuk melakukan tindakan medis sesuai dengan peraturan perundangan............
“Dari makna interpretasi gramatikal dan interpretasi historis berarti bahwa kewenangan dokter spesialis atau dokter umum hanya dapat dilimpahkan
kepada perawat atau bidan”...tidak terulis kepada tenaga kesehatan lain.

B.Ditinjau dari UU No 36/2009 tentang Kesehatan 

“UU No  36/2009 tentang kesehatan, BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat  (6)  “Setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan”. Jadi  syarat tenaga kesehatan harus melalui pendidikan bukan pelatihan, artinya harus ijazah 

C3. Dalam Undang Undang No 36/2014 tentang tenaga kesehatan

“Setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Jadi yang dimaksud dengan tenaga kesehatan  harus
melalui pendidikan bukan pelatihan,  pendidikan bukan pelatihan, pendidikan harus ada ijazah, sertifikat  merupakan penambahan kompetensi dengan tidak
melupakan ilmu dasar atau rumpun ilmu awal yang bersangkutan.

UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam Pasal 11 :


1.     tenaga medis;
2.     tenaga psikologi klinis;
3.     tenaga keperawatan;
4.     tenaga kebidanan;
5.     tenaga kefarmasian;
6.     tenaga kesehatan masyarakat;
7.     tenaga kesehatan lingkungan;
8.     tenaga gizi;
9.     tenaga keterapian fisik;
10.                        tenaga keteknisian medis;
11.                        tenaga teknik biomedika;
12.                        tenaga kesehatan tradisional; dan
13.                        tenaga kesehatan lain.
Tidak ada disebutkan Penata anesthesi yang ada yang perawat.
Pada point (5) perawat adalah tenaga kesehatan, sedangkan penata anesthesi tidak masukkan dalam tenaga kesehatan.

D. UU No 38/2014 Tentang Keperawatan Pasal 32

1)    Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e hanya dapat diberikan secara
TERTULIS oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya.
2)    Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara delegatif atau mandat.
3)    Pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat dengan disertai
pelimpahan tanggung jawab.
4)    Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan kepada Perawat profesi atau Perawat vokasi
TERLATIH YANG MEMILIKI KOMPETENSI yang diperlukan.
5)    Pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis di bawah
pengawasan.
6)    Tanggung jawab atas tindakan medis pada pelimpahan wewenang MANDAT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada pada pemberi
pelimpahan wewenang.
Dalam UU No 38/2014 sejalan dengan Undang Undang No 29/2004 tentang praktik kedokteran, perawat dapat menerima tindakan medik apabila di
intruksikan oleh dokter, seperti misalnya injeksi, pasang infus. Dan lain sebagainyanya dengan istilah pelimpahan wewenang berupa delegatif dan mandat.

E. Ditinjau dari Permenkes RI Nomor 519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di
rumah sakit

“Bab II dijelaskan bahwa ada 2 (dua) jenis tenaga perawat yang bertugas di unit pelayanan anestesiologi yaitu Perawat Anestesi (tenaga keperawatan yang
telah menyelesaikan pendidikan dan ilmu keperawatan anestesi dan Perawat (perawat yang telah mendapatkan pelatihan anestesi).

F. Permenkes RI Nomor 18 Tahun 2016 tentang izin dan penyeleng garaan praktik penata anestesi. Isi penting Permenkes ini adalah :

a.     Permenkes ini tidak membatalkan Permenkes terdahulu yaitu Permenkes RI Nomor 519/Menkes/Per/III/2011.
b.     Bab V ketentuan penutup, pasal 24, poin (a), semua nomenklatur Perawat Anestesi pada Permenkes RI Nomor 519/Menkes/Per/III/2011 harus dibaca
dan dimaknai sebagai Penata Anestesi. Hal ini berarti bahwa Perawat (perawat yang telah mendapatkan pelatihan anestesi) tetap diakui sebagai perawat
yang memberikan pelayanan di unit anestesiologi dan terapi intensif.
“Permenkes RI Nomor 18 Tahun 2016 tentang izin dan penyelenggaraan praktik penata anestesi, Bagian kedua Pelimpahan wewenang, pasal 12, poin (a)
dijelaskan bahwa penata anestesi dapat melaksanakan pelayanan dibawah pengawasan atas pelimpahan wewenang secara mandat dari dokter spesialis
anestesiologi atau dokter lain. Ini tidak ada cantolan Undang Unangnya kecuali Undang Kedokteran hanya perawat dan bidan, Undang Keperawatan untuk
perawat, Undang Undang Kebidanan Untuk Bidan.    
Pelimpahan wewenang dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 73 dalam pasal penjelasan tidak ada disebutkan penata anastesi
atau tenaga kesehatan lain hal ini kita perlu minta pendapat kepada Ikatan  Dokter Indonesia atau Ketua Komite Medik dilingkungan Rumah Sakit., Area
tindakan medik mutlak milik dokter umum dan dokter spesialis  
NO 10 /2107 PERMENPAN RB Tentang Juklak Jabatan Fungsional Asisten Penata Anesthesi
NO 10 /2107 PERMENPAN RB Tentang Juklak Jabatan Fungsional Asisten penata anesthesi

BAB IV
SARAN DAN SIMPULAN
G.1. Saran
a)     Perlu diperjelas uraian tugas penata anesthesi dan perawat anesthesi oleh para pengambil kebijakan sehingga tidak ada duplikasi.
b)    Harus dipertegas perawat yang pelatihan penata anesthesi (sertifikat) tidak harus mejadi penata anestesi, karena profesi perawat diatur dengan undang
undang dan dan pendidikan yang berkelanjutan
c)     Sebaiknya profesi perawat harus patuh dan taat pada undang undang keperawatan dan organisasi perawat
d)    Profesi perawat sudah mengikuti pendidikan berjenjang dengan pendidikan D3 S1, S2, S3, pendidikan perawat sydah banyak diperguruan tinggi
negeri dan swasta.   
e)     Sebaiknya penata anesthesi mengikuti kaidah pendidikan formal yang berjenjang di Indonesia misalnya D3 Penata Anesthesi S1 Anesthesi dan
seterusnya
G.2. Simpulan
a)     Penata Anesthesi dan perawat sama sama berhak memberikan pelayanan dalam ruang lingkup pelayanan anesthesi.
b)    Perlu dibentuk regulasi kepastian hukum arena penata anesthesi dan perawat anesthesi, objek dan wewenang prakteknya.   

Materi/ malah ini masih banyak kekurangnya sehingga segala satan dan kritik yang konstuktif  diterima dengan terbuka

Riwayat Penulis :
Adzanri, S.,Kep.,SS.,MH

adalah Sekretaris Komite Etik Dan Hukum RSUP Dr M Djamil Padang dan juga Dosen Tidak tetap pada Program Pasca Sarjana (S2) Ilmu
Hukum Univ Bung Hatta Padang, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Politik Di PPNI Kota Padang, Ketua Bidang Etik dan Hukum Himpunan
Perawat manajer Indonesa (HPMI) Sumatera Barat,  juga sedang mengambil Profesi Ners (Keperawatan) di Stikes Alifah Padang. sering juga
menjadi nara sumber tentang hukum kesehatan dan hukum Keperawatan 
Ns.Hendria Putra,Sp KMB
Ka.Bidang Pelayanan Keperawatan RSUP Dr m Djamil Padang, Surveyor KARS Akreditasi Rumah Sakit, Mahasiswa S2 Ilmu Hukum
konsentrasi Hukum kesehatan Univ Bung Hatta Padang, Dosen Tidak tetap di beberapa STIKes, sering menjadi nara sumber tentang tentang
ilmu keperawatan.   

Anda mungkin juga menyukai