Anda di halaman 1dari 12

INTERVENSI PEMILIHAN ASING DALAM HUKUM INTERNASIONAL:

IKHTISAR DAN KEPERLUAN ATAS HUKUM EKSPLISIT


Eileen Monica *
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Korespondensi: eileen.monica@ui.ac.id

Abstract
Foreign election interference is a newly infamous issue since Russia’s intervention in United
States’ presidential election in 2016 and 2020. Even if it is a problem that receives massive
attention, it has yet to be regulated by an explicit international law. This study aims to infer
how is foreign election interference is defined and understood by most of the states. It also aims
to explain the fundamental principles and international laws which foreign election
interference violated. Finally, it aims to analyze whether an exclusive and explicit international
law that regulates the matter is necessary. The findings showed that foreign election
interference is essentially any covert efforts by a state to influence the results or the process of
election in a way that benefits the intervening state. This act violated fundamental principles
and several international laws. Due to the absence of an explicit international law, whether the
act is unlawful is hardly to be answered. The choice to rely on domestic law is also troubled by
the issue of extraterritoriality. It is apparent that foreign election interference may lead to a
sustained pattern of crime, therefore an explicit law which regulates foreign election
interference is deemed as necessary.

Keywords: foreign election interference, international law, principle, democracy


Abstrak
Intervensi asing dalam pemilihan presiden merupakan suatu permasalahan yang baru-baru
ini menjadi perhatian sejak Rusia pada 2016 dan 2020 mengintervensi pemilihan di Amerika
Serikat. Sebagai permasalahan yang mendapat perhatian lebih dari dunia internasional,
permasalahan ini ternyata belum memiliki makna dan definisi yang tegas serta jelas dalam
hukum internasional. Tulisan ini bertujuan untuk membahas bagaimana negara-negara di dunia
memaknai intervensi asing dalam pemilihan presiden. Selain itu, juga membahas prinsip dan
hukum internasional apa saja yang dilanggar oleh tindakan intervensi dan menganalisa perlu-
tidaknya suatu hukum internasional yang secara eksplisit mengatur permasalahan tersebut.
Tulisan ini menemukan bahwa intervensi asing dalam pemilihan presiden merupakan tindakan
yang dilakukan secara diam-diam untuk memengaruhi hasil pemilihan sesuai dengan keinginan
negara yang mengintervensi. Tindakan ini melanggar prinsip fundamental hukum internasional
dan beberapa hukum internasional yang ada. Meskipun dirasa melanggar hukum, belum
terdapat hukum internasional yang secara eksplisit mengatur permasalahan itu secara khusus.
Akibatnya, terdapat ketidakjelasan mengenai apakah itu adalah tindakan yang melanggar
hukum. Pilihan untuk bergantung pada hukum domestik demi mengatasi masalah ini dihadapi
dengan masalah, seperti isu ekstrateritorialitas. Tindakan intervensi tersebut bahkan dapat
menyebabkan potensi pola kejahatan secara berkelanjutan, sehingga hukum yang eksplisit
dirasa perlu untuk mengatur intervensi asing dalam pemilihan presiden.
Kata Kunci: intervensi asing dalam pemilihan presiden, hukum internasional, prinsip,
demokrasi
2

I. PENDAHULUAN
Pada tahun 2016, Rusia terlibat dalam kasus intervensi asing terhadap pemilihan presiden
(foreign election interference) di Amerika Serikat. Intervensi yang dilakukan meliputi:
menemukan kelemahan di dalam pangkalan data negara bagian Amerika Serikat dan melakukan
peretasan terhadap beberapa pihak, seperti pada kampanye Hillary Clinton, Komite Kampanye
Kongres Demokrat, dan Komite Nasional Demokrat.1 Selain itu, Rusia juga mempublikasikan
informasi politik yang sensitif di internet, menyebarkan propaganda di media sosial, menggelar
unjuk rasa di Florida dan Pennsylvania, dan hal lainnya yang bersifat memengaruhi pemilihan
presiden Amerika Serikat.2 Hal serupa terjadi kembali pada tahun 2020, yang mana Rusia
kembali dituduh melakukan intervensi selama kampanye kandidat presiden di Amerika Serikat.
Salah satu tindakan tersebut ialah dengan cara menyebarkan informasi buruk tentang putra
Presiden Joe Biden.3 Intervensi asing yang terus berlanjut secara konstan membangun diskusi
dan perhatian tentang hal tersebut, jika dilihat melalui kacamata hukum internasional publik.
Permasalahan mengenai intervensi asing terhadap pemilihan presiden dapat dibahas
berdasarkan hukum internasional yang bersangkutan dan prinsip fundamental yang
melandasinya. Sampai saat ini, belum terdapat konvensi atau hukum internasional yang secara
khusus mengatur tentang intervensi asing terhadap pemilihan presiden. Baines dan Jones
mengklasifikasikan intervensi sebagai spionase yang telah melanggar urusan dalam negara4,
melanggar hukum kebiasaan internasional (international customary law)5, dan melanggar
prinsip dasar hukum internasional tentang nonintervensi.6 Selain itu, hal ini juga melanggar
prinsip dasar mengenai kedaulatan negara karena tidak memungkinkan negara untuk
mengadakan pemilihan presiden yang jujur.7 Intervensi asing dalam pemilihan presiden juga
dapat ditinjau menggunakan penentuan nasib sendiri atau self-determination.8
Selain itu, hukum internasional yang relevan adalah Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa (United Nations Charter). Pelanggaran terhadap privasi warga negara yang datanya
dicuri diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).9 Dari
tinjauan literatur yang telah dilakukan, jelas terlihat bahwa pembahasan mengenai intervensi
asing dalam pemilihan masih terpecah dan belum holistik. Padahal pembahasan yang holistik
mengenai isu ini dirasa penting. Oleh karena itu, tulisan ini akan mencoba membahas
permasalahan mengenai intervensi asing dalam pemilihan presiden secara holistik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini akan membahas bagaimana masalah intervensi
asing dalam pemilihan presiden suatu negara diatur dalam hukum internasional serta prinsip-

1
Abigail Abrams, “Here’s What We Know So Far About Russia’s 2016 Meddling,”
https://time.com/5565991/russia-influence-2016-election/, diakses pada 5 Desember 2021.
2
Ibid.
3
Julian E. Barnes, “Russian Interference in 2020 Included Influencing Trump Associates, Report Says,”
https://www.nytimes.com/2021/03/16/us/politics/election-interference-russia-2020-assessment.html, diakses
pada 5 Desember 2021.
4
Paul Baines and Nigel Jones, “Influence and Interference in Foreign Elections,” The RUSI (2018) hlm.
15.
5
Michael N. Schmitt, “Foreign Cyber Interference in Elections,” International Law Studies 97 (2021),
hlm. 744.
6
Annachiara Rotondo dan Pierluigi Salvati, “Fake News, (Dis)information, and the Principle of
Nonintervension,” The Cyber Defense Review (2018), hlm. 210.
7
Todd Carney, “Establishing a United Nations Convention to Stop Foreign Election Interference,”
Loyola University Chicago International Law Review 17 (2021) hlm. 22
8
Chimène I. Keitner, “Foreign Election Interference and International Law,” dalam Defending
Democracies: Combating Foreign Election Interference in a Digital Age, ed. Duncan B. Hollis dan Jens David
Ohlin (Amerika Serikat: Oxford University Press, 2021), hlm. 180.
9
Logan Hamilton, “Beyond Ballot-Stuffing: Current Gaps in International Law Regarding Foreign State
Hacking to Influence a Foreign Election,” Wisconsin International Law 35 (2017), hlm. 196.
3

prinsip dasar hukum internasional, dan apakah penyusunan hukum internasional yang secara
spesifik mengatur intervensi asing dalam pemilihan presiden suatu negara diperlukan.
Tulisan ini akan disusun mengikuti kerangka sebagai berikut. Setelah pendahuluan, Bagian
II akan membahas mengenai bagaimana intervensi asing dalam pemilihan biasanya
diinterpretasikan dan dimaknai oleh banyak hukum domestik dan kebiasaaan internasional.
Bagian III akan membahas mengenai masalah intervensi asing dalam pemilihan presiden
ditinjau prinsip-prinsip dasar hukum internasional dan hukum internasional, yang pada intinya
akan membahas intervensi asing dalam pemilihan presiden dapat menyalahi beberapa aturan
dalam hukum internasional maupun hukum domestik suatu negara. Setelah itu, Bagian IV akan
mendiskusikan pertimbangan-pertimbangan yang ada dalam menentukan perlu tidaknya suatu
aturan hukum internasional yang secara eksplisit mengatur tentang intervensi asing dalam
pemilihan presiden. Bagian V akan memaparkan kesimpulan.
II. MAKNA DAN INTERPRETASI TERHADAP INTERVENSI ASING
DALAM PEMILIHAN PRESIDEN
Kekosongan hukum yang secara eksplisit dan ekspresif mengatur tentang intervensi asing
dalam pemilihan presiden menjadikan tinjauan terhadap masalah ini menjadi lebih sulit. Hal ini
dikarenakan, untuk meninjau permasalahan tersebut melalui hukum internasional serta prinsip-
prinsip yang biasanya dijunjung, harus memahami terlebih dahulu definisi dari intervensi asing
dalam pemilihan presiden. Untuk itu, akan dibahas makna dan interpretasi yang ada terhadap
intervensi asing dalam pemilihan presiden dalam pendekatan historis dan pendapat sarjana ilmu
hukum (doktrin).
1. Intervensi Asing dalam Pemilihan Presiden dari Pendekatan Historis
Pemaknaan topik intervensi asing dalam pemilihan akan meninjau kebanyakan kasus yang
pernah intervensi yang pernah terjadi dan bagaimana permasalahan tersebut dimaknai oleh
masing-masing negara yang mengalaminya. Kasus intervensi asing dalam pemilihan presiden
menjadi perhatian sejak terjadinya intervensi oleh Rusia terhadap pemilihan presiden di
Amerika Serikat tidak hanya sekali, tetapi dua kali, yaitu pada 2016 dan 2020. Pada tahun 2016,
Rusia mengintervensi pemilihan presiden di Amerika Serikat dengan mendukung kampanye
Donald Trump. Dukungan tersebut diberikan melalui puluh ribuan publikasi di internet melalui
ratusan akun media sosial, seperti Twitter.10 Penggunaan akun Twitter tersebut dilakukan oleh
bot atau akun otomatis yang menulis lebih dari tiga juta cuitan berisi informasi palsu di Twitter
dengan menunjukkan kecenderungan mendukung Donald Trump.11
Dalam upaya untuk memperbesar kemenangan Donald Trump, Rusia juga mencoba untuk
menghambat kampanye Hillary Clinton, kandidat presiden Amerika Serikat saat itu selain
daripada Donald Trump. Hal tersebut dilakukan dengan meretas kampanye Hillary Clinton dan
Komite Demokratik Nasional dengan cara meretas surat elektronik staf kampanyenya,
menyebar berita yang merusak reputasi Clinton, menyebarkan propaganda melalui berbagai
media sosial di internet, sampai dengan memalsukan unjuk rasa di Florida dan Pennsylvania.12
Tujuan utama dari intervensi ini, menurut Penasehat Khusus Robert Mueller, adalah untuk
memupuk bibit kecurigaan dalam demokrasi Amerika Serikat.13
Pada tahun 2020, Rusia kembali terlibat dalam kampanye pemilihan presiden di Amerika
Serikat. Tujuan dan metode yang mereka gunakan sangat mirip dengan yang terjadi pada tahun
2016. Joe Biden, calon presiden Amerika Serikat yang menyaingi Donald Trump dalam

10
The Conversation, “Fact Check US: What is the Impact of Russian Interference in the US Presidential
Election?” https://theconversation.com/fact-check-us-what-is-the-impact-of-russian-interference-in-the-us-
presidential-election-146711, diakses pada 5 Desember 2021.
11
Ibid.
12
Abigail Abrams, “Here’s What We Know So Far About Russia’s 2016 Meddling,”
https://time.com/5565991/russia-influence-2016-election/, diakses pada 5 Desember 2021.
13
Ibid.
4

pemilihan presiden pada tahun 2020, menjadi target dari intervensi Rusia, sama seperti yang
terjadi pada Hillary Clinton. Terdapat banyak informasi palsu yang disebarkan oleh Rusia
melalui platform daring seperti Internet Research Agency dan Peace Data, yang operasinya di
Facebook kemudian berhasil dihentikan.14 Terdapat beberapa warga negara Rusia yang
mencoba untuk membobol server agensi komunikasi bernama SKDKnickerbocker, yang
digunakan oleh kandidat Demokrat, termasuk dalam kampanye Joe Biden.15 Penyebaran
informasi palsu yang juga dilakukan serta tulisan-tulisan provokatif di media sosial ternyata
disengaja untuk memecah belah masyarakat Amerika Serikat dalam pemilihan presiden
nantinya.16 Untuk yang kedua kalinya, intervensi ini mencoba untuk mengganggu demokrasi
yang ada di negara berdaulat dengan mempolarisasi kedua kandidat dan menanamkan rasa
curiga di dalam masyarakat.
Melalui dua kasus intervensi asing dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat, dapat
ditarik benang merah bahwasanya intervensi tersebut terjadi secara digital. Aktivitas dan
kegiatan seperti meretas sistem, data, dan surat elektronik, serta penyebaran informasi palsu
melalui media sosial menjadi bentuk ikut campur yang paling menonjol. Hal yang mirip juga
terjadi di Kanada. Beberapa aktor asing telah mencoba untuk menyebarkan informasi palsu,
data yang dicuri, dan berita-berita palsu.17 Hal serupa juga terjadi pada negara Perancis. Pada
tahun 2017, beberapa akun Twitter dengan alamat IP (Internet Protocol) Latvia dan Sputnik
menyebarkan bagian-bagian yang dicuri kampanye dari kandidat presiden kala itu, Emmanuel
Macron, dicampurkan dengan dokumen-dokumen palsu.18 Maka, dalam hal ini beberapa negara
mengalami intervensi dalam bentuk media daring, yang biasanya disebut sebagai kejahatan
dunia maya atau cyber-crime.
Metode intervensi lain terjadi pada saat pemerintah Libya mencampuri urusan pemilihan
presiden di Perancis pada tahun 2007. Terdapat dugaan bahwa mantan Presiden Nicolas
Sarkozy menerima jutaan euro untuk kampanyenya dari Muammar Gaddafi, dictator dari
Libya.19 Kampanye yang disponsori oleh Muammar Gaddafi itu kemudian dimenangkan oleh
Nicolas Sarkozy.20 Akibat keterlibatan pemerintah Libya dalam pemilihan presiden di Perancis
tersebut, Nicolas Sarkozy ditetapkan bersalah karena telah menerima bantuan finansial untuk
kampanyenya secara ilegal.21 Dari kasus ini, dapat dilihat bahwa intervensi asing dalam
pemilihan presiden juga dapat berupa bantuan finansial ilegal yang memengaruhi hasil daripada
kampanye presiden di negara tertentu.
2. Intervensi Asing dalam Pemilihan Presiden Menurut Sarjana Hukum (Doktrin)
Pemahaman mengenai makna dan definisi serta elemen yang terlibat dalam intervensi asing
dalam pemilihan presiden selain dapat disimpulkan melalui respon dan bentuk-bentuk
intervensi tersebut terhadap beberapa negara secara historis, juga dapat dipahami oleh beberapa
komentar atau pendapat dari sarjana hukum internasional (doktrin). Menurut Baines dan Jones,
intervensi asing oleh Rusia terhadap Amerika Serikat dalam pemilihan presiden merupakan
tindakan spionase.22 Kamus Merriam-Webster mendefinisikan spionase sebagai “The practice
14
The Conversation, “Fact Check US: What is the Impact of Russian Interference in the US Presidential
Election?” https://theconversation.com/fact-check-us-what-is-the-impact-of-russian-interference-in-the-us-
presidential-election-146711, diakses pada 5 Desember 2021.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Lori A. Ringhand, “Foreign Election Interference: Comparative Approaches to a Global Challenge,”
Election Law Journal: Rules, Politics, and Policy 20, No. 1 (2021), hlm. 2.
18
Ibid., hlm. 4.
19
Todd Carney, “Establishing a United Nations Convention to Stop Foreign Election Interference,”
Layola University Chicago International Law Review 17 (2021), hlm. 23-24.
20
Ibid.
21
Ibid., hlm. 24.
22
Paul Baines and Nigel Jones, “Influence and Interference in Foreign Elections,” THE RUSI 163 (2018),
hlm. 15.
5

of spying or using spies to obtain information about the plans and activities especially of a
foreign government or a competing company.”23 Pengertian tersebut dapat dimaknai sebagai
sebuah aksi atau kegiatan yang melibatkan pengintaian terhadap sebuah entitas tertentu, baik
itu pemerintahan dan yang lainnya, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi.
Sedangkan Levin menyebutkan bahwa intervensi terhadap negara tertentu merupakan aksi
yang dilakukan dengan menggunakan metode yang rahasia dan tidak diketahui oleh publik
dengan tujuan untuk memengaruhi hasil dari pemilihan sebuah negara sesuai dengan keinginan
negara pengintervensi tersebut.24 Dari kedua pendapat yang ada mengenai definisi atau makna
dari intervensi asing dalam pemilihan presiden, dapat disimpulkan bahwa intervensi asing
dalam pemilihan presiden merupakan kegiatan yang dilakukan secara rahasia atau sembunyi-
sembunyi oleh sebuah negara terhadap negara lain agar dapat mendapatkan informasi tertentu
yang dapat berguna untuk memengaruhi hasil dari pemilihan tersebut agar dapat berguna sesuai
dengan kepentingan negara yang mengintervensi.
III. TINJAUAN MASALAH INTERVENSI ASING DALAM PEMILIHAN
PRESIDEN MELALUI PRINSIP DASAR DAN HUKUM INTERNASIONAL
Melalui pembahasan bagaimana intervensi asing dalam pemilihan presiden diinterpretasi
oleh sarjana hukum dan metode-metode yang digunakan dalam melaksanakan aksi tersebut,
maka terdapat beberapa kata kunci yang dapat dikategorikan sebagai karakteristik dari
intervensi asing dalam pemilihan presiden. Pertama, kita tahu bahwa hal tersebut dilakukan
dengan melalui dunia maya atau daring. Kedua, intervensi dilakukan secara diam-diam atau
rahasia dan bahkan terkadang dapat memberi pengaruh yang cukup signifikan pada hasil
pemilihan. Ketiga, tujuan yang dijadikan pendorong melakukan sebuah intervensi biasanya
berkutat pada menumbuhkan kecurigaan atau memecah belah masyarakat di sistem negara
demokrasi atau agar sesuai dengan kepentingan negara yang mengintervensi. Ketiga hal
tersebut akan dibahas melalui perspektif prinsip-prinsip dasar yang dijunjung masyarakat
internasional dan hukum internasional.
1. Tinjauan Melalui Perspektif Prinsip-Prinsip Dasar Masyarakat Internasional
Terdapat banyak prinsip-prinsip yang menjadi dasar dari diformulasikannya hukum
internasional atau pengadilan di ranah internasional yang penggunaannya secara terus-menerus
menjadikannya sebagai norma kebiasaan di hukum internasional. Satu hal yang penting untuk
dilihat dari intervensi satu negara terhadap negara lain adalah “kepentingan siapa yang
dimanifestasikan dari hasil pemilihan tersebut?”. Dalam hal intervensi oleh Rusia terhadap
pemilihan presiden Amerika Serikat, secara substantif setidaknya kepentingan Rusia juga
menjadi sesuatu yang dihasilkan dari hasil pemilihan dengan kemenangan oleh Donald Trump.
Manifestasi kepentingan dari negara lain dalam suatu kegiatan dengan konteks di negara lain,
menurut Jens Ohlin, merupakan pelanggaran terhadap prinsip hak menentukan nasib diri sendiri
yang sering disebut juga dengan self-determination.25 Walaupun prinsip menentukan nasib
sendiri biasanya menjadi atribut yang diberikan kepada individu, Ohlin berpendapat bahwa
dalam konteks intervensi Rusia terhadap Amerika Serikat melibatkan prinsip hak kolektif
rakyat Amerika untuk menentukan nasibnya sendiri.26
Sejatinya, prinsip hak untuk menentukan nasib sendiri memiliki makna terkhusus pada
konteks negara demokratis. Masyarakat dari negara tersebut akan memilih perwakilan yang

23
Merriam-Webster, “Espionage,” https://www.merriam-webster.com/dictionary/espionage, diakses
pada 5 Desember 2021.
24
Dov H. Levin, “Should We Worry about Partisan Electoral Interventions? The Nature, History, and
Known Effects of Foreign Interference in Elections,” dalam Defending Democracies: Combating Foreign Election
Interference in a Digital Age, ed. Duncan B. Hollis dan Jens David Ohlin (Amerika Serikat: Oxford University
Press, 2021), hlm. 21.
25
Jens David Ohlin, “Election Interference: The Real Harm and The Only Solution,” Cornell Law School
Research Paper (2018), hlm. 8.
26
Ibid.
6

akan menjadi wakil dari masyarakat tersebut dan kemudian menyusun kebijakan politis yang
didukung oleh masyarakat itu sendiri.27 Perwakilan tersebut dipilih melalui pemilihan umum.
Mengambil konsep bahwa perwakilan tersebut dipilih oleh masyarakat kolektif dan bahwa
siapa yang akan terpilih lebih kurang menentukan kebijakan macam apa yang akan disusun,
maka ada dua kondisi yang menjadi pertimbangan. Pertama, bahwa kebijakan politik yang
disusun oleh perwakilan masyarakat, presiden dalam hal intervensi Rusia, akan berdampak
secara signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Kedua, bahwa pilihan tersebut tidak hanya
merupakan pilihan yang dipengaruhi dan memengaruhi satu orang saja, namun seluruh lapisan
dari masyarakat.
Implikasi dari kedua hal tersebut adalah bahwa keduanya menjadikan hasil pemilihan
presiden menjadi hak dari menentukan nasib sendiri. Fakta bahwa kebijakan tersebut nantinya
akan berdampak secara signifikan terhadap kehidupan masyarakat memberikan indikasi bahwa
“nasib” mereka akan dipengaruhi. Kemudian, pilihan yang dipengaruhi dan memengaruhi
banyak orang dan tidak hanya seorang individual saja memberikan implikasi bahwa hak
tersebut adalah hak kolektif bersama. Maka, apa yang dikatakan oleh Jens Ohlin memang benar
bahwasanya prinsip kali ini melibatkan kolektif untuk menentukan nasib sendiri.
Dalam konteks intervensi oleh Rusia terhadap Amerika Serikat, penodaan terhadap prinsip
ini terjadi karena adanya pihak dari luar yang menghambat kelancaran terjadinya penentuan
pilihan oleh masyarakat Amerika Serikat. Tentang hal ini, Jens Ohlin menjelaskannya dengan
lebih rinci dengan membahas bahwa pemilihan presiden merupakan pilihan kolektif sebagai
ekspresi dari masyarakat Amerika Serikat, namun dengan adanya “ekspresi” lain yang juga ikut
memengaruhi, yaitu Rusia, maka ekspresi tersebut menjadi ekspresi para orang-orang Rusia
dan menodai kemerdekaan kebijakan yang dapat merepresentasikan masyarakat yang berbeda-
beda.28 Hal ini terlebih jelasnya tergambarkan melalui pemalsuan identitas yang dilakukan oleh
Rusia saat membuat akun yang berpura-pura menjadi penduduk Amerika Serikat.29 Maka dari
itu, karakteristik tindakan intervensi yang “diam-diam” itu menjadi faktor penentu bahwa
intervensi melanggar prinsip hak menentukan nasib sendiri,30 sebagai karakteristik yang
inheren dari seluruh tindakan intervensi yang pernah terjadi di Amerika Serikat, Kanada, dan
Perancis.
Prinsip lain yang kemudian dilanggar dengan adanya intervensi tersebut adalah prinsip
nonintervensi. Annachiara Rotondo dan Pierluigi Salvati berargumen terutama mengenai
prinsip tersebut dengan menulis “This represents a potential violation of the principle of non-
intervention in the internal affairs of a state, since the electoral process is the highest and most
significant moment of expression of domestic jurisdiction.”31 Melalui intervensi yang dilakukan
dengan menyebarkan berita palsu dan usaha lain untuk memenangkan atau mengalahkan
seorang kandidat, maka suatu negara telah memengaruhi arah dari pemilihan, sehingga para
pemilih membuat pilihan dengan informasi yang salah.32 Maka dari itu, hasil pemilihan yang
terpengaruhi dan iklim demokrasi yang diganggu, baik pada negara Amerika Serikat, Perancis,
dan Kanada merupakan pelanggaran terhadap prinsip nonintervensi.
Pembahasan mengenai intervensi asing dalam pemilihan presiden, selain berkutat pada
prinsip hak untuk menentukan hak sendiri dan prinsip nonintervensi, banyak sarjana hukum
yang juga mengaitkannya dengan prinsip kedaulatan sebuah negara. Kaitan intervensi yang

27
Ibid., hlm. 9.
28
Ibid., hlm. 11.
29
Scott Shane, “The Fake Americans Russia Created to Influence the Election,”
https://www.nytimes.com/2017/09/07/us/politics/russia-facebook-twitter-election.html, diakses pada 7 Desember
2021.
30
Jens David Ohlin, “Election Interference,” hlm. 13.
31
Annachiara Rotondo dan Pierluigi Salvati, “Fake News, (Dis)information, and the Principle of
Nonintervention,” The Cyber Defense Review (2018), hlm. 210.
32
Ibid., hlm. 212.
7

mungkin melanggar prinsip kedaulatan sebuah negara mungkin terkesan intuitif, namun
argumen ini telah menerima banyak sanggahan dari sarjana hukum lain. Misalnya, Jens Ohlin
yang menulis bahwa dukungan Vladimir Putin terhadap Donald Trump secara publik bukanlah
merupakan pelanggaran terhadap domaine rèservè-nya Amerika Serikat.33 Hal tersebut
dikarenakan sebuah intervensi terhadap sebuah negara dapat disebut sebagai pelanggaran atas
domaine rèservè-nya, namun hanya apabila terdapat paksaan dalam intervensi tersebut.34
Terlebih lagi, menurut Ohlin apabila Putin menunjukkan dukungannya secara publik terhadap
Donald Trump, tidak akan menjadi masalah karena itu adalah hak untuk berpartisipasi dalam
aktivitas politik dan tidak sama sekali melanggar domaine rèservè-nya Amerika Serikat.35
Kriteria mengenai “paksaan” ini dipandang lain oleh Rotondo dan Salvati. Mereka
menjelaskan bahwa interpretasi mengenai “paksaan” dapat dimaknai melalui pendekatan skala
dan dampaknya, sesuai dengan doktrin klasik yang menggunakan dimensions of
consequentiality, yaitu terhadap jumlah dan banyaknya nilai-nilai yang terdampak.36 Menurut
Rotondo dan Salvati, “dimensi-dimensi” tersebut terpenuhi. Kesimpulan itu didapat dari
melihat bagaimana negara memiliki kepentingan atau menaruh perhatian lebih pada Lembaga
negara politik yang merdeka dan berdaulat.37 Maka, apabila dimensi tersebut terpenuhi,
terpenuhi pula juga secara konsekuensial elemen “paksaan” itu.
Terlebih lagi, James Van de Velde menuliskan bahwa apabila Rusia memasuki jaringan
komputer privat Amerika Serikat secara tidak sah sampai melihat dokumen yang seharusnya
tidak dilihat, sehingga menjadikan aksi tersebut sebagai spionase yang melanggar kedaulatan
Amerika Serikat.38 Maka dari itu, jelasnya, elemen “akses yang tidak sah” daripada Rusia lah
yang menjadikan aksi tersebut sebagai spionase, terlebih lagi apabila Rusia yang mencuri surat
elektronik dari Komite Nasional Demokratik—semuanya dianggap sebagai tindakan spionase
yang melanggar kedaulatan Amerika Serikat.39 Kesimpulan ini sejalan dengan yang dijelaskan
oleh Baines dan Jones di bagian pertama mengenai makna intervensi asing dalam pemilihan
presiden bahwasanya intervensi adalah aksi spionase. Maka dari itu, tidak hanya Amerika
Serikat, tetapi Kanada dan Perancis—yang pemilihannya dipengaruhi oleh data curian dan data
palsu—bahkan mungkin aksi intervensi asing dalam pemilihan itu sendiri, merupakan
pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan sebuah negara.
2. Tinjauan Melalui Perspektif Hukum Internasional
Melalui pembahasan dengan perspektif prinsip-prinsip hukum internasional, dapat
dipelajari bahwa intervensi asing dalam pemilihan presiden melanggar prinsip-prinsip seperti
hak untuk menentukan nasib sendiri, nonintervensi, dan kedaulatan. Prinsip-prinsip ini,
menurut Logan Hamilton, termasuk dalam kategori hukum kebiasaan internasional atau

33
Domaine rèservè merupakan kekuasaan eksklusif negara untuk mengurus permasalahan dalam
negerinya tanpa gangguan dari pihak luar. Konsep ini adalah konsep yang biasanya sering kali disamakan dengan
kedaulatan oleh para sarjana hukum. Jens David Ohlin, “Did Russian Cyber Interference in the 2016 Election
Violate International Law?” Texas Law Review 95 (2017), hlm. 1587 yang mengutip dari Galina G.
Shinkaretskaya, “Content and Limits of ‘Domaine Rèserv,” (makalah disampaikan pada International Law and
Municipal Law: Proceedings of the German-Soviet Colloquy on International Law, Institut Für Internationales
Recht An Der Universität Kiel, 5 Februari 2009), hlm. 123.
34
Ketentuan tersebut merupakan syarat yang dirumuskan oleh Tallinn Manual sebuah studi yang banyak
dikutip oleh para sarjana hukum mengenai aplikasi hukum internasional terhadap kejahatan siber, Jens David
Ohlin, “Did Russian Cyber Interference Violate International Law?”, hlm. 1588.
35
Ibid.
36
Annachiara Rotondo dan Pierluigi Salvati, “Fake News, (Dis)information, and the Principle of
Nonintervention,” The Cyber Defense Review (2018), hlm. 212.
37
Ibid.
38
James Van de Velde, “When Does Election Interference via Cyberspace Violate Sovereignty?” dalam
Defending Democracies: Combating Foreign Election Interference in a Digital Age, ed. Duncan B. Hollis dan
Jens David Ohlin (Amerika Serikat: Oxford University Press, 2021), hlm. 166.
39
Ibid.
8

international customary law.40 Maka dari itu, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut
adalah pelanggaran terhadap hukum kebiasaan internasional.
Selain hukum kebiasaan internasional, tindakan intervensi juga dapat disebut “melanggar”
hukum internasional lainnya. Dari prinsip kedaulatan dan nonintervensi, kita ketahui bahwa
intervensi bisa saja melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Pasal 2 Ayat (4)
yang menjunjung perlindungan terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan politik sebuah
negara.41 Aksi intervensi, secara intuitif telah setidaknya mengganggu kemerdekaan politik
daripada negara yang diintervensi pemilihan presidennya.
Hukum lain yang mungkin dapat diaplikasikan dalam permasalahan intervensi adalah yang
berkenaan dengan prinsip hak menentukan nasib sendiri dan nonintervensi. Resolusi dari
United Nations General Assembly (UNGA) menjunjung perlindungan terhadap kebebasan
politik sebuah negara tanpa intervensi dan pengaruh dari luar,42 terutama dalam hal pemilihan
umum.43 Prinsip mengenai nonintervensi juga dilindungi dalam Declaration on Friendly
Relations yang diadopsi oleh UNGA pada tahun 1970, yaitu untuk tidak ikut campur dalam
masalah internal sebuah negara.44
Metode yang digunakan dalam intervensi, seperti mengakses surat elektronik pribadi dan
meretas ke data-data privat merupakan potensi pelanggaran Pasal 17 dari International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).45 Relevansi dari hukum ini menuai
perdebatan, karena Ohlin mengatakan bahwa aturan mengenai hak asasi manusia menggunakan
konsep pembatasan kewenang-wenangan terhadap warga negara sendiri, jadi bukan oleh Rusia
pada warga Amerika Serikat ataupun sebaliknya.46 Akan tetapi, Marko Milanovic berpendapat
sebaliknya dengan menjelaskan bahwa perjanjian hak asasi manusia dapat diaplikasikan secara
ekstrateritorial apabila perbuatan dari sebuah negara berdampak terhadap hak-hakd dari orang
yang berada di luar teritorial negara tersebut. 47 Lagipula, menerapkan restriksi terhadap
teritorial di dalam ICCPR bukanlah tujuan dari para penyusun dokumen tersebut.48
IV. KEPERLUAN ATAS HUKUM INTERNASIONAL YANG EKSPLISIT
Pada saat ini, belum terdapat hukum internasional secara khusus atau setidaknya secara
eksplisit menjadi dasar aturan tentang intervensi asing dalam pemilihan, baik yang berada
dalam konteks kejahatan dunia maya ataupun tindakan yang dilakukan diam-diam. Sejatinya,
terdapat urgensi tentang mengapa permasalahan ini perlu diregulasi oleh hukum internasional
yang khusus, atau setidaknya secara eksplisit mengatur tentang pemilihan yang bebas dan
merdeka. Pertama, definisi dan karakterisasi oleh hukum internasional tentang intervensi asing
dalam pemilihan yang kurang jelas. Terdapat banyak perdebatan yang mencoba untuk
mengatakan bahwa intervensi asing dalam pemilihan tidak melanggar hukum internasional,

40
Logan Hamilton, “Beyond Ballot-Stuffing: Current Gaps in International Law Regarding Foreign State
Hacking to Influence a Foreign Election,” Wisconsin International Law 35 (2017), hlm. 196.
41
Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Charter, UNC, Ps. 2.
42
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Declaration on the Inadmissibility of Intervention
and Interference in the Internal Affairs of States (1981), 9 Desember 1981, para. 2(b).
43
Majelis Umum PBB, Respect for the Principles of National Sovereignty and Non-Interference in the
Internal Affairs of States in their Electoral Process (1989), 15 Desember 1989, para. 4.
44
Majelis Umum PBB, Resolution 2625 (1970), 24 Oktober 1970.
45
Jens David Ohlin, “Did Russian Cyber Interference in the 2016 Election Violate International Law?”
Texas Law Review 95 (2017), hlm. 1583.
46
Ibid.
47
Ido Kilovaty, “Election Interference and the Extraterritoriality of Human Rights Treaty Obligations,”
dalam Defending Democracies: Combating Foreign Election Interference in a Digital Age, ed. Duncan B. Hollis
dan Jens David Ohlin (Amerika Serikat: Oxford University Press, 2021), hlm. 199., mengutip Marko Milanovic,
Extraterritorial Application on Human Rights Treaties: Law, Principles, and Policy (New York: Oxford University
Press, 2011), hlm. 8.
48
Ibid.
9

karena tidak mengandung elemen “pemaksaan”.49 Padahal, hukum internasional pada saat ini
pun diliputi ambiguitas tentang kapankah suatu tindakan dapat diklasifikasikan mengandung
elemen “pemaksaan” dan bahkan negara-negara juga kurang mampu untuk memberikan
karakterisasi tegas tentang intervensi asing dalam pemilihannya.50
Padahal, sifat hukum yang jelas merupakan suatu hal yang esensial dalam penegakan
hukum, yaitu agar dapat mewujudkan kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan
(Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtingkeit).51 Ketiga unsur penting itu dalam penegakan
hukum akan sulit diwujudkan apabila regulasi mengenai permasalahan ini masih ambigu, sulit
untuk memastikan apakah tindakan tersebut dapat disebut sebagai melanggar hukum, negara
dan orang-orang yang datanya dicuri sulit mendapatkan keadilan karena ketidakpastian
tersebut, serta masyarakat yang kehidupannya terdampak atas terpilihnya pemimpin melalui
manipulasi oleh negara lain sulit mendapatkan manfaat dari representasi politik tersebut.
Terlebih lagi, walaupun memang sulit untuk ditentukan elemen “pemaksaan”-nya, dapat
diketahui dengan jelas bahwa intervensi setidaknya mencemari prinsip penentuan nasib sendiri.
Maka dari itu, hukum internasional yang eksplisit setidaknya dibutuhkan untuk memberikan
kejelasan dan mempertegas permasalahan intervensi asing ini.
Kedua, pandangan lain menyatakan bahwasanya masalah ini dapat diserahkan saja kepada
masing-masing negara dengan menggunakan hukum domestik.52 Mungkin hal tersebut intuitif
dikarenakan sampai pada titik tertentu, pelaksanaan yurisdiksinya menjadi lebih mudah. Akan
tetapi, hukum domestik pun gagal dalam memberikan eksekusi yang pantas.53 Bahkan, terdapat
permasalahan mengenai aplikasi hukum domestik secara ekstrateritorial. Hal tersebut terjadi,
misalnya, ketika beberapa orang Rusia yang melakukan peretasan di Amerika Serikat kabur ke
Rusia agar terhindar dari jeratan hukum sehingga muncul Amerika Serikat kesulitan untuk
mengadili mereka. Dengan adanya hukum internasional, permasalahan mengenai
ekstrateritorial setidaknya dapat diminimalisasi.
Ketiga, aksi intervensi dari negara lain mungkin tidak akan berhenti hanya pada “intervensi
melalui media sosial” saja. Rusia, misalnya, melalui penyebaran informasi palsu dengan
sengaja menghasut polarisasi ras dan keterlibatan kekerasan dalam periode kampanye
pemilihan presiden di Amerika Serikat.54 Menoleransi intervensi sama saja dengan membiarkan
negara lain meremehkan otoritas demokrasi dari suatu negara.55 Selain itu, membiarkan dan
menoleransi intervensi dapat memunculkan potensi adanya pola kejahatan yang terjadi secara
berkelanjutan. Misalnya, setelah Amerika Serikat membantu kemenangan pemilihan Perdana
Menteri Guyana, Forbes Burnham, Burnham terus melakukan aksi ilegal seperti pemalsuan data

49
Annachiara Rotondo dan Pierluigi Salvati, “Fake News, (Dis)information, and the Principle of
Nonintervention,” The Cyber Defense Review (2018), hlm. 213.
50
Michael N. Schmitt, “Foreign Cyber Interference in Elections,” International Law Studies 97 (2021),
hlm. 748 dan 764.
51
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, cet. 5, (Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2016), hlm. 207.
52
Chimène I. Keitner, “Foreign Election Interference and International Law,” dalam Defending
Democracies: Combating Foreign Election Interference in a Digital Age, ed. Duncan B. Hollis dan Jens David
Ohlin (Amerika Serikat: Oxford University Press, 2021), hlm. 194.
53
Logan Hamilton, “Beyond Ballot-Stuffing: Current Gaps in International Law Regarding Foreign State
Hacking to Influence a Foreign Election,” Wisconsin International Law 35 (2017), hlm. 197.
54
Darin E.W. Johnson, “Russian Election Interference and Race-Baiting,” Colombia Journal of Race and
Law 9 (2019), hlm. 242.
55
Todd Carney, “Establishing a United Nations Convention to Stop Foreign Election Interference,”
Loyola University Chicago International Law Review 17 (2021) hlm. 41.
10

pemilih agar dapat mendominasi pihak oposisi. 56 Dalam jangka waktu panjang, dinamika
hubungan pihak luar yang memiliki kekuasaan lebih dibandingkan pihak internal dapat
menyebabkan korupsi berkelanjutan, sebab didukung oleh bantuan finansial ilegal dari pihak
luar.57 Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kerangka hukum internasional yang tegas agar dapat
mencegah hal itu terjadi.
Tampak jelas bahwasanya terdapat urgensi dan alasan kuat akan dibutuhkannya hukum
internasional yang khusus, atau setidaknya eksplisit, dalam menangani masalah intervensi asing
dalam pemilihan presiden. Isu-isu mengenai ketidakjelasan hukum yang saat ini memayungi
tindakan intervensi, kurangnya hukum domestik dalam memberikan penegakan hukum yang
efektif, dan potensi adanya pola-pola kejahatan yang berawal dari intervensi menjadi sesuatu
yang terjadi secara berkelanjutan. Masalah-masalah ini merupakan ancaman terhadap
masyarakat demokratik yang tinggal di negara berdaulat dengan hak sipilnya masing-masing.
Walaupun dalam skenario terburuk hukum internasional itu tidak diikuti oleh negara-negara,
setidaknya dapat menimbulkan kesadaran tentang apa yang dianggap pelanggaran dalam
hukum internasional58 dan kejelasan dalam konstelasi penegakan hukum.
V. KESIMPULAN
Intervensi asing terhadap pemilihan presiden suatu negara bukanlah suatu masalah yang
baru. Permasalahan yang melibatkan negara lain ini telah terjadi di berbagai negara, beberapa
di antaranya yaitu, Kanada, Amerika Serikat, Perancis, Kananda, dan Guyana. Bentuk dari
intervensi tersebut variatif, mulai dari penyebaran berita palsu, pencurian data, peretasan data
pemerintah, sampai dengan penyaluran dana ilegal. Hal-hal ini dilakukan dengan tujuan
memenangkan salah satu kandidat yang diyakini akan menguntungkan kepentingan negara
yang mengintervensi, menghambat kandidat yang diyakini “merugikan” bagi kepentingan
negara itu, ataupun semata-mata untuk membentuk retakan dalam kepercayaan masyarakat
demokratis.
Walaupun terkadang dianggap sebagai intervensi yang bertujuan “baik”, tindakan
intervensi tersebut melanggar prinsip-prinsip hukum internasional dan hukum internasional itu
sendiri. Prinsip-prinsip tersebut adalah hak untuk menentukan nasib sendiri, nonintervensi, dan
kedaulatan negara. Hukum internasional yang dapat diaplikasikan dalam permasalahan
intervensi asing dalam pemilihan presiden, yaitu Piagam PBB, Resolusi dari Majelis Umum
PBB, ICCPR, dan hukum kebiasaan internasional.
Meskipun jelas-jelas merupakan perlawanan terhadap prinsip yang dijunjung masyarakat
internasional dan beberapa hukum internasional, belum terdapat hukum internasional yang
secara khusus atau eksplisit mengatur tentang permasalahan intervensi asing dalam pemilihan
presiden. Padahal, terdapat beberapa argumen yang menjadi dasar dari urgensi dan pentingnya
eksistensi hukum eksplisit tersebut. Hukum eksplisit itu diperlukan, agar dapat menangani
permasalahan seperti ketidakjelasan hukum yang ada sekarang mengenai intervensi demi
penegakan hukum, opsi menggunakan hukum domestik untuk mengatur intervensi yang kurang
sempurna karena isu ekstrateritorialitas, serta adanya potensi pola kejahatan berkelanjutan yang
berakar dari intervensi asing dari pihak eksternal. Menimbang kepentingan dari masyarakat
yang menjunjung demokrasi, sudah sepatutnya hukum eksplisit menjadi sebuah pilihan yang
diupayakan untuk mengatasi masalah intervensi asing dalam pemilihan presiden.

56
Johannes Bubeck dan Nikolay Marinov, Rules and Allies, (Inggris Raya: Cambridge University Press,
2019), hlm. 224.
57
Ibid., hlm. 225.
58
Todd Carney, “Establishing a United Nations Convention to Stop Foreign Election Interference,”
Loyola University Chicago International Law Review 17 (2021) hlm. 44.
11

DAFTAR PUSTAKA
Perundang-undangan/Dokumen Internasional:
Majelis Umum PBB. Resolution 2625 (1970). 24 Oktober 1970.
Majelis Umum PBB. Respect for the Principles of National Sovereignty and Non-Interference
in the Internal Affairs of States in their Electoral Process (1989). 15 Desember 1989.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Declaration on the Inadmissibility of
Intervention and Interference in the Internal Affairs of States (1981). 9 Desember 1981.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. United Nations Charter. UNC (1945).
Buku:
Bubeck, Johannes dan Nikolay Marinov. Rules and Allies. Inggris Raya: Cambridge University
Press, 2019.
Keitner, Chimène I. “Foreign Election Interference and International Law.” Dalam Defending
Democracies: Combating Foreign Election Interference in a Digital Age, diedit oleh
Duncan B. Hollis dan Jens David Ohlin, 179-195. Amerika Serikat: Oxford University
Press, 2021.
Kilovaty, Ido. “Election Interference and the Extraterritoriality of Human Rights Treaty
Obligations.” Dalam Defending Democracies: Combating Foreign Election
Interference in a Digital Age, diedit oleh Duncan B. Hollis dan Jens David Ohlin, 198-
214. Amerika Serikat: Oxford University Press, 2021.
Levin, Dov H. “Should We Worry about Partisan Electoral Interventions? The Nature, History,
and Known Effects of Foreign Interference in Elections.” Dalam Defending
Democracies: Combating Foreign Election Interference in a Digital Age, diedit oleh
Duncan B. Hollis dan Jens David Ohlin, 19-39. Amerika Serikat: Oxford University
Press, 2021.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Cet. 5. Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2016.
Milanovic, Marko. Extraterritorial Application on Human Rights Treaties: Law, Principles,
and Policy. New York: Oxford University Press, 2011.
Velde, James Van de. “When Does Election Interference via Cyberspace Violate
Sovereignty?” dalam Defending Democracies: Combating Foreign Election
Interference in a Digital Age, diedit oleh Duncan B. Hollis dan Jens David Ohlin, 163-
175. Amerika Serikat: Oxford University Press, 2021.
Tesis/Disertasi/Makalah:
Shinkaretskaya, Galina G. “Content and Limits of ‘Domaine Rèservè.” Makalah disampaikan
pada International Law and Municipal Law: Proceedings of the German-Soviet
Colloquy on International Law, Institut Für Internationales Recht An Der Universität
Kiel, 5 Februari 2009.
Artikel Jurnal:
Baines, Paul dan Nigel Jones. “Influence and Interference in Foreign Elections.” The RUSI
(2018). Hlm. 12-19.
Carney, Todd. “Establishing a United Nations Convention to Stop Foreign Election
Interference.” Loyola University Chicago International Law Review 17 (2021). Hlm.
21-46.
Hamilton, Logan. “Beyond Ballot-Stuffing: Current Gaps in International Law Regarding
Foreign State Hacking to Influence a Foreign Election.” Wisconsin International Law
35 (2017). Hlm. 179-204.
Johnson, Darin E.W. “Russian Election Interference and Race-Baiting.” Colombia Journal of
Race and Law 9 (2019). Hlm. 191-264.
Ohlin, Jens David. “Did Russian Cyber Interference in the 2016 Election Violate International
Law?” Texas Law Review 95 (2017). Hlm. 1579-1598.
12

Ohlin, Jens David. “Election Interference: The Real Harm and The Only Solution.” Cornell
Law School Research Paper (2018). Hlm. 1-26.
Ringhand, Lori A. “Foreign Election Interference: Comparative Approaches to a Global
Challenge.” Election Law Journal: Rules, Politics, and Policy 20, No. 1 (2021). Hlm.
1-9.
Rotondo, Annachiara dan Pierluigi Salvati. “Fake News, (Dis)information, and the Principle of
Nonintervension.” The Cyber Defense Review (2018). Hlm. 209-224.
Schmitt, Michael N. “Foreign Cyber Interference in Elections.” International Law Studies 97
(2021). Hlm. 739-764.
Laman:
Abrams, Abigail. “Here’s What We Know So Far About Russia’s 2016 Meddling.”
https://time.com/5565991/russia-influence-2016-election/. Diakses pada 5 Desember
2021.
Barnes, Julian E. “Russian Interference in 2020 Included Influencing Trump Associates, Report
Says.” https://www.nytimes.com/2021/03/16/us/politics/election-interference-russia-
2020-assessment.html. Diakses pada 5 Desember 2021.
Merriam-Webster. “Espionage.” https://www.merriam-webster.com/dictionary/espionage,.
Diakses pada 5 Desember 2021.
Shane, Scott. “The Fake Americans Russia Created to Influence the Election.”
https://www.nytimes.com/2017/09/07/us/politics/russia-facebook-twitter-
election.html. Diakses pada 7 Desember 2021.
The Conversation. “Fact Check US: What is the Impact of Russian Interference in the US
Presidential Election?” https://theconversation.com/fact-check-us-what-is-the-impact-
of-russian-interference-in-the-us-presidential-election-146711. Diakses pada 5
Desember 2021.

Anda mungkin juga menyukai