Anda di halaman 1dari 9

T3/PIO/A/2020

Melly Yustin Aulia


210610180002

Opini 1 - Ini, Pelajaran Super Penting dari


Pemilihan Presiden Amerika Serikat
Tautan: https://opiniindonesia.com/2020/11/06/ini-pelajaran-super-penting-dari-pemilihan-
presiden-amerika-serikat/5/

Opiniindonesia.com – Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020 berlangsung ketat antara


kandidat dari Partai Demokrat Joe Biden, dan Petahana dari Partai Republik, Donald
Trump.

Sungguh unik melihat Petahana Presiden Trump akan mengajukan tuntutan hukum dan
penghitungan suara ulang, seperti di Wisconsin dan Michigan.

Trump mempermasalahkan surat suara absen (absentee ballot) atau surat suara yang
dikirim lewat pos oleh orang yang tidak hadir di tempat pemungutan suara.

Trump dan kuasa hukumnya mengkritik integritas proses pemungutan suara yang
mencurigakan, mengingat Wisconsin dan Michigan menjadi pembalikan kekuatan Partai
Demokrat atas Partai Republik.

Wilayah yang dulu di Pilpres 2016 menjadi basis suara Republik, ternyata berbalik
dimenangkan Demokrat. Tak hanya itu, tim kampanye Donald Trump juga mengajukan
gugatan di Nevada atas dugaan penipuan pemilih.

Fair Election

Ini berbeda dengan pelaksanaan Pilkada/Pemilu di Indonesia yang kontennya melulu di


warnai temuan adanya ASN (Aparatur Sipil Negera) yang tidak netral karena mendukung
petahana.

Temuan itu biasanya berlanjut pada persoalan tuntutan hukum terkait sengketa
Pilkada/Pemilu di pengadilan. Di Indonesia, umumnya petahana yang selalu dituntut oleh
kompetitornya karena melanggar aturan netralitas ASN atau terkait masalah penghitungan
suara.

Di Pilpres AS 2020, justru petahana yang mengajukan gugatan hukum karena merasa ada
kecurangan dalam proses demokrasi. Mustahil kita bisa membayangkan jika pemilu di
Indonesia, petahana (Presiden) yang mengajukan tuntutan terhadap KPU, Bawaslu, dan
DKPP karena temuan bukti kecurangan pihak lawan.
T3/PIO/A/2020
Melly Yustin Aulia
210610180002

‘Fair Election‘ adalah spirit dan fondasi demokrasi – walaupun di AS, Presiden tidak
dipilih langsung oleh para pemilih seperti di Indonesia (popular vote).

Di negeri Paman Sam, para kandidat presiden AS bertarung untuk memperebutkan suara
elektoral yang mewakili masing-masing negara bagian di AS.

Partisipasi Politik

Pilpres AS 2020 memang berbeda dari sebelumnya lantaran banyak negara bagian yang
harus berjuang menghitung kiriman surat suara yang tidak diberikan secara langsung akibat
pandemi Covid-19.

Namun uniknya lagi, pandemi justru meningkatkan jumlah partisipasi pemilih mencapai
66,9 persen yang menunjukkan tingkat partisipasi tertinggi sejak tahun 1900 sebesar 73,7
persen.

Menurut Situs data pemilu US Elections Project, hampir 160 juta warga berpartisipasi
dalam Pilpres AS 2020. Ini jumlah pemilih tertinggi AS dalam 120 tahun terakhir.

Di Indonesia, KPU malah menurunkan target pemilih di Pilkada 2020 menjadi 77,5 persen
Padahal, partisipasi Pemilu 2019 mencapai 81 persen.

Di Indonesia, Pilkada Serentak 2020 disepakati pemerintah tidak diundur pelaksanaannya


pada bulan Desember 2020. Pilkada 2020 dipandang bisa menggerakkan ekonomi
Indonesia yang sedang lemah saat ini.

Putaran uang bisa mencapai lebih dari 35 Triliyun. Bisa diasumsikan politik uang di
Pilkada 2020 equivalen atau bahkan lebih tinggi dari tingkat partisipasi politik masyarakat.

Dengan kata lain, politik uang masih jadi faktor penting meningkatnya partisipasi politik,
bukan karena kesadaran politik.

Penyelenggara pemilu pun dianggap sukses karena mampu mencapai atau melebihi tingkat
partisipasi politik yang ditargetkan, meskipun sudah ribuan kali melaknat praktek politik
uang.

Pandemi Covid-19 Dan Survei Bias

Salah satu kritik keras terhadap Presiden Donald Trump adalah masalah penanganan
Covid-19 yang dinilai publik AS sangat buruk. Covid-19 telah menewaskan lebih dari
232.000 warga AS. Paman Sam memimpin dunia dalam tingkat infeksi dan kematian per
kapita.
T3/PIO/A/2020
Melly Yustin Aulia
210610180002

Faktanya hal ini tidak menyurutkan partisipasi politik warga AS untuk menggunakan hak
pilihnya. Exit Pool di AS ternyata menunjukkan bahwa problem ekonomi, bukan masalah
kesehatan, sebagai faktor signifikan yang memengaruhi suara dalam pemilihan AS 2020.

Hasil jajak pendapat Edison Research, misalnya, menemukan bahwa isu ekonomi dinilai
paling penting bagi pemilih di AS (34%). Disusul masalah kesetaraan rasial dan toleransi
berada di urutan kedua (21%). Sementara soal pandemi Covid-19 ternyata berada di
peringkat ketiga (18%), dan masalah keamanan (11%).

Dengan menjadikan pandemi sebagai masalah utama dalam kampanyenya, Joe Biden
(Demokrat) optimis bahwa hal itu bisa menyoroti kegagalan Trump dengan opsi dan jargon
kampanye ekonominya.

Tetapi pendukung Trump terbukti lebih mempertimbangkan rekam jejak ekonomi presiden
sebelum pandemi Covid-19 melanda AS. Ini salah satu sebab mengapa pemilihan Presiden
AS 2020 berlangsung sangat ketat sampai akhir perhitungan suara.

Ini mengaburkan prediksi survei yang mengatakan bahwa Joe Biden akan mengalahkan
Donald Trump secara telak. Bagaimanapun, Biden tetap bisa menang, atau sebaliknya.

Tetapi kemenangan yang akan diraih oleh salah satu kandidat akan sangat tipis, bahkan
kontroversial. Bahkan jika Joe Biden terpilih sebagai Presiden AS juga diprediksi akan
kesulitan saat memimpin nanti.

Sebab Partai Republik diramal akan kembali memegang mayoritas Senat. Jumlah kursi
mayoritas yang didapat Demokrat di DPR AS pun diproyeksikan tidak akan terlalu jauh
selisihnya dari Republik

Pertama, Lembaga survei Trafalgar Group pimpinan Robert Cahaly, yang berafiliasi
dengan Partai Republik mengungkapkan bahwa pemilih Trump itu dikenal sebagai pemilih
pemalu.

Mereka tidak suka menyampaikan pendapatnya karena takut dihakimi publik AS karena
prilaku Trump yang racis dan mata keranjang.

Padahal sesungguhnya mereka lebih suka kepada Trump karena dianggap efektif terkait
kebijakan ekonominya, ketimbang kebijakan pajak dari Biden.

Kinerja dan kompetensi Trump di bidang ekonomi lebih diakui daripada tindak prilaku dan
omongannya yang kasar. Jadi tidak aneh jika mereka berbicara bohong dalam survei.
T3/PIO/A/2020
Melly Yustin Aulia
210610180002

Apalagi jika survei mewancarai responden di masa pandemi Covid-19 dilakukan dengan
tehnik wawancara melalui telepon yang diakui lebih aman dan sesuai asas protokol
kesehatan.

Padahal mengandalkan jawaban via telepon bisa sangat bias. Ketika seseorang ditanya
pendapat soal Trump oleh orang yang tidak dikenal, maka orang tersebut cenderung akan
memberikan jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan surveyor, dengan harapan bahwa
itu akan memberikan kesan yang baik bagi dirinya.

Tidak peduli di lingkungan manapun baik itu teman, keluarga maupun tempat kerja,
sebagian orang tidak suka membicarakan politik, terutama saat mereka merasa pendapatnya
adalah minoritas.

Dalam kondisi seperti itu, orang cenderung berhati-hati dalam mengungkapkan


pendapatnya atau preferensi politiknya. Terutama jika mereka merasa dan memahami
bahwa seluruh lingkungannya punya pendapat yang berbeda dengan dirinya.

Dalam komunikasi hal ini dikenal sebagai spiral of silence, yaitu bagaimana dalam sebuah
komunitas, seseorang yang memiliki suara berbeda dengan kebanyakan orang di komunitas
tersebut cenderung untuk diam dan memilih untuk setuju (berbohong) dibanding melawan
atau menyatakan jujur yang diinginkan.

Survei bisa meleset karena “spiral of silence pada responden yang memang ragu-ragu
untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan apa yang terbentuk sebagai opini publik.

Kasus klasik dari fenomena ini pernah terjadi pada figur Tom Bradley, kandidat berkulit
hitam yang bertarung dalam pemilihan Gubernur California tahun 1982.

Bradley diprediksi sangat kuat akan memenangkan kursi gubernur, karena semua survei
menunjukkan hal tersebut. Kenyataannya dia kalah.

Pemenangnya adalah kandidat berkulit putih. Diduga kuat penyebabnya adalah para
pemilih kulit putih dalam survei mengaku tidak mempersoalkan warna kulit kandidat,
padahal mereka mempersoalkannya.

Dalam survei, mereka tidak ingin dianggap rasis. Ini mirip apa yang penulis temukan di
Pilkada DKI Jakarta 2017.

Dalam survei warga DKI Jakarta kala itu menilai Ahok punya popularitas dan kinerja yang
positif dan berpotensi besar terpilih. Tetapi kenyataannya, Ahok game over.

Oleh : Igor Dirgantara, Dosen Fisip Universitas Jayabaya, Director Survey & Polling
Indonesia (SPIN)
T3/PIO/A/2020
Melly Yustin Aulia
210610180002

Analisis:
Artikel opini berjudul “Ini, Pelajaran Super Penting Dari Pemilihan Presiden Amerika
Serikat” dan memang merujuk kepada hal-hal yang bisa dipelajari dalam Pemilu Amerika
tahun ini. Artikel dibuka dengan fakta yang terjadi dalam perebutan kekuasaan presiden
Amerika Serikat antara Joe Biden dan Donald Trump, yang akhirnya dimenangkan oleh
Biden dengan hasil yang cukup kontroversial.

Untuk menyambungkan dengan pembahasan, penulis mencoba untuk memaparkan secara


lebih lanjut tentang hasil yang tidak terduga dari daerah Wisconsin dan Michigan yang
menjadi titik pembalik kemenangan partai Demokrat atas partai Republikan yang dinaungi
oleh Donald Trump.

Igor Dirgantara memaparkan pembahasan dengan tiga sub judul yang diketahui merupakan
poin-poin dari pemikiran penulis. Pokok utamanya adalah membandingkan sistem Pemilu
Amerika Serikat tahun ini dengan Pemilu Indonesia yang pernah terjadi. Pada pembahasan
pertama misalnya, penulis memperhatikan aspek dari ASN Indonesia yang cenderung
mendukung petahana saat Pemilu atau Pilkada, sehingga kompetitor melakukan pelaporan
terhadap kasus itu. Sedangkan di Amerika Serikat malahan petahana (Trump pada kasus
ini) yang melaporkan adanya kecurangan dalam proses demokrasi.

Kemudian pada bagian kedua, penulis memaparkan mengenai bagaimana partisipasi politik
Amerika Serikat bisa meningkat saat pandemi dan hubungannya dengan pelaksanaan
Pilkada serentak Indonesia yang akan dilaksanakan 2020 nanti karena alasan perputaran
ekonomi. Terakhir, penulis menjelaskan kenapa Trump bisa tumbang dan masa depan
kepengurusan Biden yang sulit. Kegagalan Trump baginya karena ketidakseriusan Trump
dalam menangani Covid-19.

Sebagai penutup, penulis berusaha menjelaskan hubungan antara pendukung Trump dalam
pemilu Amerika Serikat dan survei popularitas Ahok pada Pilkada Jakarta kemarin. Dengan
T3/PIO/A/2020
Melly Yustin Aulia
210610180002

menggunakan prespektif dari Teori Komunikasi, Spiral of Silence penulis menyatakan


bahwa survei belum tentu bisa menyingkap realitas.

Opini 2 - Apakah Amerika Masih Ikut


Campur dalam Pemilu Negara Lain?
Tautan: https://opini.id/politik/read-15168/apakah-amerika-masih-ikut-campur-dalam-
pemilu-negara-lain

Apakah Amerika masih ikut campur dalam pemilu negara lain? Dan apakah internet makin
mempermudah aksi intelijen dalam pemilu? Simak ulasannya.

Empat tahun setelah campur tangan Rusia dalam pemilu presiden Amerika Serikat (AS)
tahun 2016, sepertinya ada lebih banyak negara lain yang juga turut campur menjelang
pemilu tanggal 3 November tahun ini. Lantas apakah Amerika masih ikut campur dalam
pemilu negara lain?

“Saya tidak ingin menghapuskan opsi tersebut [campur tangan secara terselubung].”

- Mantan Wakil Direktur CIA John McLaughlin

Pada bulan Agustus, William Evanina, direktur Pusat Kontraintelijen dan Keamanan
Nasional AS, memperingatkan mengenai “adanya atau potensi” tindakan mempengaruhi
pemilu yang dilakukan oleh Rusia, Tiongkok, dan Iran. Minggu lalu, Direktur Intelijen
Nasional John Ratcliffe dan Direktur FBI Christopher A. Wray mengungkapkan bahwa
Rusia dan Iran sudah mendapatkan data registrasi pemilih AS. “Kedua negara tersebut
melakukan upaya untuk mempengaruhi pemilu presiden dua minggu menjelang pemilu,”
ungkap New York Times.

Masyarakat AS tentu marah dan khawatir akan campur tangan asing dalam pemilu. Tapi
praktik campur tangan ini bukan sesuatu yang baru; kenyataannya, AS sudah sejak lama
menjadi negara yang terdepan dalam tindakan ini. Seperti yang dituliskan oleh Dov Levin
dalam bukunya, Meddling in the Ballot Box, AS dan Uni Soviet (dan kemudian Rusia)
terlibat dalam 117 tindakan campur tangan secara terselubung atau terbuka pada pemilu
untuk membantu atau menjegal kandidat atau partai di negara lain antara tahun 1946 dan
2000, dengan AS melakukan 81 kasus campur tangan (atau 69% dari jumlah total kasus).

Salah satu contoh terkenal dari campur tangan pemilu yang dilakukan AS terjadi pada awal
Perang Dingin tahun 1948, ketika CIA (dalam misi terselubung pertama mereka) diam-
diam menyubsidi upaya masyarakat untuk memastikan bahwa kandidat-kandidat komunis
kalah pada pemilu di Italia. AS juga menghabiskan jutaan dolar dalam upaya propaganda
T3/PIO/A/2020
Melly Yustin Aulia
210610180002

dan mendukung politisi Italia yang mereka sukai. Hal-hal ini dan tindakan-tindakan serupa,
baik secara terselubung atau terang-terangan, terus dilakukan sepanjang Perang Dingin.
Sejarawan CIA David Robarge memberitahu David Shimer, penulis buku Rigged, bahwa
pada periode ini, CIA “hampir tidak pernah mengubah suara pemilih secara langsung,”
yang menyiratkan bahwa CIA terkadang melakukan hal tersebut.

Setelah Perang Dingin berakhir, pemerintah AS mulai punya keraguan dalam mencampuri
pemilu negara-negara lain. Komite Intelijen Kongres mulai menentang hal ini, dan
perpecahan muncul pada tingkat eksekutif. Tapi praktik campur tangan ini tetap terus
berjalan. Pada tahun 2000, Presiden Bill Clinton menyetujui CIA menyediakan bantuan
terselubung pada lawan Presiden Yugoslavia saat itu, Slobodan Milošević, untuk
mengalahkannya pada pemilu. Pemerintahan George W. Bush memiliki rencana yang
komprehensif untuk campur tangan secara terselubung dalam pemilu parlemen Irak pada
bulan Januari 2005 – yang merupakan pemilu pertama sejak jatuhnya Presiden Saddam
Hussein – sebelum perlawanan dari Kongres akhirnya menggagalkan rencana ini.
Pemerintahan Presiden Barack Obama mempertimbangkan pilihan serupa, menurut Shimer,
tapi kemudian memilih untuk tidak melakukannya.

Campur Tangan Dalam Bentuk Lain

Kejadian-kejadian yang masih terbilang baru ini, ditambah dengan kemarahan masyarakat
AS atas campur tangan dalam pemilu negaranya, memunculkan pertanyaan penting apakah
AS masih melakukan campur tangan dalam pemilu negara lain, atau setidaknya terbuka
untuk mempertimbangkan pilihan itu.

Beberapa pejabat mengatakan pada Shimer bahwa AS sudah tidak lagi melakukan campur
tangan pemilu pada abad kedua puluh satu. Sementara pejabat lain memberikan klarifikasi.
“Tindakan ini bukan sesuatu yang dilakukan komunitas intelijen secara fleksibel dan bebas
seperti yang terjadi pada era Perang Dingin,” ujar mantan Wakil Direktur CIA John
McLaughlin. Avril Haines, yang menjabat posisi yang sama satu dekade setelahnya,
mengatakan bahwa “tindakan memanipulasi pemilu adalah tindakan yang tidak bisa
diterima,” tapi (menurut Shimer) ia menolak “berkomentar bagaimana CIA masih
melakukan tindakan untuk mempengaruhi pemilu.” Seperti pernyataan mantan Direktur
Intelijen Nasional James Clapper, “Pertanyaannya adalah soal seberapa jauh campur tangan
dilakukan.”

Mantan Direktur CIA Leon Panetta menyatakan bahwa lembaga ini tidak mengubah suara
dalam pemilu atau menyebarkan disinformasi, tapi mempengaruhi media-media asing
untuk “mengubah sikap di dalam negeri.” Panetta memberi tahu Shimer bahwa CIA
terkadang “membeli media di dalam negeri atau di sebuah wilayah yang bisa digunakan…
untuk menyampaikan” pesan, atau mencoba untuk “mempengaruhi mereka yang
mempunyai elemen-elemen media untuk…bekerja sama, bekerja dengan Anda dalam
menyampaikan pesan tersebut.” Tindakan apa yang dimaksud Panetta sulit diketahui –
T3/PIO/A/2020
Melly Yustin Aulia
210610180002

mungkin ia membicarakan mengenai upaya-upaya propaganda yang biasa dilakukan CIA


yang bersinggungan dengan politik dalam pemilu. Tapi hal ini terdengar serupa dengan
beberapa operasi media sosial Rusia pada tahun 2016.

Berbagai penjelasan dari para pejabat AS mungkin menyoroti perbedaan definisi. Campur
tangan pada pemilu bisa dilakukan dengan banyak cara, termasuk mengubah suara dalam
pemilu, disinformasi, doxing, propaganda dan dukungan keuangan. Shimer menyatakan
pandangannya kepada saya mengenai sikap AS saat ini: “AS belum melarang praktik
campur tangan secara terselubung, tapi ini adalah sebuah opsi yang tidak sering diambil.
Dan kondisi ini berbeda dengan Perang Dingin, tapi hal ini juga bukan berarti AS tidak
akan melakukan tindakan campur tangan lagi, yang tidak mencerminkan kondisi saat ini.”

Shimer juga melaporkan bahwa pemerintahan AS masih bimbang mengenai apa yang akan
dilakukan selanjutnya. Beberapa pejabat berpendapat bahwa AS harus mengakhiri tindakan
ini, tapi yang lain tidak setuju. Panetta berpikir bahwa AS harus tetap mempertahankan opsi
membantu pihak-pihak di luar negeri dengan uang, propaganda, dan cara-cara lain dalam
merespons operasi campur tangan pemilu yang dilakukan Rusia. Hal ini serupa dengan
pernyataan McLaughlin yang menyatakan “Saya tidak ingin menghapuskan opsi tersebut
[campur tangan secara terselubung].”

Internet Mempermudah Campur Tangan AS

Tapi apakah AS bisa tetap mempertahankan opsi tersebut dan masih bisa mengeluh bahwa
negara-negara lain turut campur dalam pemilu AS? Jawaban dari pertanyaan ini penting,
karena Internet – yang muncul ketika AS mulai mengurangi fase campur tangan pemilu
secara agresif – sudah menjadikan aktivitas campur tangan ini menjadi lebih mudah, murah,
dan efektif. Negara-negara demokrasi khususnya lebih terancam karena pemilu mereka
lebih penting, dan karena mereka cenderung tidak begitu mengatur kebebasan berbicara dan
media. Dan, seperti yang kita lihat pada empat tahun terakhir, campur tangan asing melalui
Internet sangat sulit dihentikan. Sebelum adanya Internet, Uni Soviet sering mencoba dan
selalu gagal melakukan campur tangan pada pemilu AS. Pada tahun 2016, Rusia mencapai
kesuksesan yang besar.

AS baru mulai memahami cara mengatasi keuntungan asimetris yang sangat besar yang
diberikan Internet pada lawan-lawan mereka yang otoriter sehubungan dengan campur
tangan pemilu. Sebuah respons terhadap hal ini – yang disebut “defend forward” – adalah
dengan berada di jaringan lawan dan menghentikan campur tangan sebelum hal ini dimulai.
Cara lain adalah dengan mencoba membuat norma-norma internasional melawan campur
tangan asing yang terselubung pada pemilu. Tapi, mengingat rekam jejaknya pada abad
kedua puluh, AS tidak bisa melakukan hal tersebut sebelum AS secara terbuka
mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi melakukan campur tangan dalam pemilu
negara lain, yang sejauh ini belum mau mereka lakukan.
T3/PIO/A/2020
Melly Yustin Aulia
210610180002

Jack Goldsmith adalah Profesor Hukum di Harvard Law School dan senior fellow di
Hoover Institution.

Project Syndicate, 2020

Analisis :
Artikel opini ini diterjemahkan oleh Opini.id dari situs opini terbesar di dunia, Project
Syndicate. Judul opini ini “Apakah Amerika Masih Ikut Campur dalam Pemilu Negara
Lain?”, tentu saja sangat terlihat sebuah kata tanya. Kalimat pembuka artikel opini ini juga
tetap mengajukan beberapa pertanyaan yang nantinya di jawab di pembahasan.

Untuk menghubungkan pembuka dan pembahasan, penulis mengemukakan fakta adanya


campur tangan Russia pada Pemilu Amerika Serikat tahun 2016, lalu mengajukan tanda
tanya lagi tentang kemungkinan adanya campur tangan negara-negara asing dalam Pemilu
Amerika Serikat 3 November 2020 ini. Dengan dua sub judul, penulis berusaha merombak
dari prespektif sejarah dan wawancara terhadap badan Intelejen Amerika Serikat atau
dikenal dengan CIA.

Di akhir pembahasan, penulis menyatakan secara jelas bahwa Amerika Serikat tidak ingin
berhenti untuk ikut campur tangan terhadap perpolitikan di negara lain. Penulis sebelumnya
menjelaskan bahwa di Amerika Serikat sendiri terjadi pergejolakan antar pejabat untuk
memberhentikan campur tangan atau tetap melanjutkan praktik ini.

Anda mungkin juga menyukai