Anda di halaman 1dari 6

Tugas Logika

Melly Yustin Aulia

210610180002

Fenomena Jurnalisme Bencana di Indonesia

Indonesia sering terjadi bencana. Entah itu bencana alam, atau bencana atas human error. Yang
pasti negeri ini telah dikaruniai anugerah tuhan atas keindahan alam, sekaligus dengan bencana
alam. Salah satu peristiwa bencana alam yang membuat Indonesia dikenal dunia, yakni gempa dan
tsunami Aceh tahun 2004. Telah tercatat gempa berkekuatan 9.3 SR menggetarkan provinsi
dengan nama lain Serambi Mekah, dari situ gempa terkuat ke-2 yang terjadi pada abad-21
menstimulasi air ombak untuk menerjang Aceh dan sekitarnya. Peristiwa tersebut meluluh
lantahkan seisi Aceh mengakibatkan ratus ribuan jiwa menjadi korban, dan bangunan banyak yang
ikut hancur pada pagi itu.

Mudah sekali untuk masyarakat di seluruh dunia mengetahui tentang telah terjadi tsunami di
salah satu provinsi Indonesia. Tentu saja, itu semua atas jasa para wartawan dan media yang
melakukan kegiatan jurnalistik pada peristiwa dahsyat tersebut. Dalam jurnalisme terdapat salah
satu bidang spesialisasi dikenal dengan Jurnalisme Bencana. Spesialisasi ini fokus pada beberapa
aspek berikut: pertama, prabencana, dimana membuat warga siap siaga menghadapi becana,
kedua, saat bencana lebih menitik beratkan pada korban selamat sekaligus membangkitkan
semangat korban, dan terakhir, pasca bencana yakni mengikuti informasi tentang konstruksi
kembali daerah yang diterjang bencana.

Dalam kenyataanya, jurnalisme bencana di Indonesia jarang sekali menyangkut tiga hal tersebut.
Disini bencana dianggap sebuah good news yang menjadi ladang penghasilan para wartawan.
Media-media mainstream berlomba-lomba untuk mendapatkan rating tinggi demi kepentingan
ekonomi mereka, karena itu mereka tidak peduli, dengan cara apapun mereka harus mendapatkan
berita yang menarik perhatian pembaca, meskipun menyalahkan definisi jurnalisme bencana yang
sebenar benarnya.
Cara untuk menarik perhatian pembaca oleh media mainstream, biasanya membuat judul heboh
atau dinamakan clickbait. Cara itu sendiri sering banyak ditemukan di berbagai media, namun
apabila judul dan konteks isi tidak memiliki kesinambungan atau tidak ada sangkut pautnya, berita
tersebut dianggap sebagai berita yang palsu atau hoax. Kecepatan dalam mendapatkan berita dan
mempublikasikan nya juga menjadi hal penting dalam meningkatkan rating pembaca, hal ini
seperti peribahasa siapa cepat dia dapat, siapa cepat mendapatkan berita maka dia yang
mendapat rating lebih tinggi.

Dalam melakukan cara-cara itu, wartawan memang memiliki tuntutan dari media untuk membuat
banyak tulisan setiap hari, fokus mereka adalah mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya lalu
mempublikasikan di media secepatnya. Isi berita terkadang sedikit ngawur, tidak memperhatikan
aturan jurnalistik yaitu seorang wartawan harus kritis dan skeptis untuk setiap hal. Menulis berita
harus mendalami informasi-informasi yang diperlukan, menganalisis tulisan yang diketiknya, dan
melakukan check and recheck and triplecheck. Itu bukanlah hal yang mudah bukan juga sebuah hal
yang dapat dilakukan dengan instan sehingga memerlukan waktu beberapa jam, menguras banyak
tenaga dan pikiran.

Konten berita dari media Indonesia kebanyakan mengulas persoalan menyangkut emosi
pembacanya atau dikenal dengan berita Human Interest. Berita ini dibuat sedemikian rupa agar
ada kesan drama dengan mengupas tentang kehidupan pribadi korban bencana. Sering pula
wartawan tanpa sadar menyakiti perasaan anggota keluarga atau kerabat korban dengan
pertanyaan yang mereka layangi. Pertanyaan biasanya “apakah anda merasakan firasat mengenai
(korban jiwa)?” “apa yang dilakukan (korban jiwa) sebelum hal ini terjadi?” “adakah hal janggal
yang dilakukan (korban jiwa)?” dan lain bentuknya. Ini menunjukan betapa rendahnya etika
wawancara yang dimiliki wartawan. Sebagai seorang wartawan, sebaiknya menghormati keluarga
yang sedang berduka dengan tidak menanyakan hal-hal yang bersifat personal.

Yang lebih aneh, media Indonesia mempublikasikan berita bencana dengan sesuatu yang berada
diluar nalar manusia, mengkaitkan dengan hal-hal yang mistis. Seringkali, media-media Indonesia
mewawancarai para paranormal atau dukun dengan mempertanyakan kenapa peristiwa tersebut
bisa terjadi. Ada juga yang mengkaitkan dengan hal keagamaan, entah itu bencana alam
disebabkan oleh amarah tuhan atas negeri ini, atau bencana-bencana yang terjadi di Indonesia
merupakan sebuah azab atau dosa yang dilakukan oleh para penduduk Indonesia. Itu sungguh
tidak logis, dan tidak sesuai dengan Jurnalisme Kebencanaan yang mengulik tentang fakta fakta
dan berbagai data yang telah terjadi di daerah bencana.

Media, baik di TV atau di media sosial tidak segan untuk menampilkan identitas para korban,
dengan menyoroti Kartu Identitas Penduduk (KTP) atau tanda pengenal korban lain. Hal tersebut
merupakan salah satu pelanggaran privasi. Data-data korban harusnya dirahasiakan karena
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan tanda pengenal akan terjadi, dan seluruh warga negara
memiliki hak untuk menjaga privasinya, dilindungi oleh undang-undang. Lebih parah lagi, ada
beberapa media mainstream yang tidak mensensor tubuh korban jiwa sehingga publik mengetahui
keadaan korban jiwa. Media seperti itu merupakan media kejam yang tidak memikirkan perasaan
keluarga dan kerabat yang ditinggali korban jiwa.

Dari beberapa hal tentang etika wawancara dan peliputan, media-media Indonesia mengenai
jurnalisme bencana masih tertinggal jauh dengan negara lain. Media Thailand misalnya, sangat
menjaga identitas anak anak kasus cave rescue dengan tidak membeberkan nama anak-anak yang
terjebak di goa, tidak juga bertanya perasaan anggota keluarga atau semacamnya, tidak perlu
mewawancarai kerabat kerabat atau orang terdekat anak-anak. Dan Jepang, saat tsunami melanda
Tohoku, media sama sekali tidak menyoroti tubuh korban jiwa, malah media lebih menyoroti
penyelamatan para korban jiwa. Dari situ, Indonesia harus belajar lagi dari media media luar
tentang peliputan bencana.

Masih menyangkut dengan media asing, media di Indonesia bahkan pernah mendapat
keperihatinan oleh media asing yang ternama. Media republikan Amerika, TIME, pada post AirAsia
Relatives In Shock as Indonesian TV Airs Images of Floating Body, mereka mempublikasikan
tentang media pertelevisian Indonesia yang menyiarkan foto-foto korban mengambang di lautan
pada kecelakaan pesawat terbang Air Asia QZ8501. Peristiwa tersebut membuat keluarga korban
histeris, bahkan ada yang mengalami pingsan.

Dari hal tersebut, Sudah seharusnya Jurnalisme Bencana di Indonesia fokus dalam mitigasi
bencana, dimana memotivasi para korban bencana untuk tabah menghadapi cobaan bencana
yang terjadi, sekaligus meminimalisir risiko yang terjadi agar tidak menimbulkan kerugian dalam
berbagai aspek. Risiko bencana membesar apabila kurangnya kesiapan masyarakat menghadapi
bencana, risiko akan berkurang apabila kesiapan masyarakatnya baik. Kerugian yang ditimbulkan
bencana alam bisa mencakup hampir seluruh sektor kegiatan masyarakat, seperti ekonomi
masyarakat tersendat karena kehilangan pekerjaan atau harta benda, pendidikan akan
terbengkalai karena bangunan sekolah hancur, logistik atau pengiriman barang juga terganggu
dikarenakan akses jalan yang rusak, dan masih banyak lagi.

Bahwasanya, bukan bencana tersebut yang menghancurkan Indonesia, akan tetapi lebih kepada
manusianya. Kebanyakan orang Indonesia minim pengetahuan akan mitigasi bencana. Bentuk
bangunan yang mudah dihancurkan oleh goncangan, dan ada tata kelola lahan buruk yang
menimbulkan kerugian-kerugian itu. Semua kerugian itu tentunya ditanggung oleh pemerintah
yang memiliki dana kompensasi bencana alam, dan bantuan dari perusahaan atau negara lain.

Tentang hal itu, media menjadi salah satu aspek penting untuk penyaluran informasi dari tempat
kejadian sampai semua pihak tahu. Ini fungsi media menjadi jembatan antara publik, saintis, dan
otoritas untuk menghadirkan masyarakat yang kuat dalam menghadapi bencana. Setiap terjadi
bencana harus ada follow up dari media dengan melakukan peliputan dari sebelum bencana
sampai pasca bencana.

Saat bencana, penting untuk melakukan perpaduan informasi dan observasi di tempat bencana
sehingga berita tersebut memiliki kredibilitas yang kuat, dapat juga mencari tahu kebutuhan -
kebutuhan korban sehingga para donatur tahu apa yang harus didonasikan kepada korban
bencana. Yang terpenting adalah menguatkan mental korban, memberikan mereka harapan bukan
malah mengeksploitasi mereka dengan pertanyaan yang akan membuat mereka terpuruk.

Sebelum bencana, diharuskan masyarakat untuk mengetahui hal hal tentang menyelamatkan diri
dari bencana, maka dari itu kejurnalistikan fokus dalam mitigasi bencana. Diharapkan dari hal itu
membuat masyarakat menjadi siaga dalam menghadapi bencana. Masyarakat siaga bencana akan
meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan mengurangi risiko-risiko dari dampak bencana alam.

Setelah terjadinya bencana, media memfokuskan pada pelajaran-pelajaran yang bisa diambil dari
kejadian tersebut. masyarakat juga harus waspada untuk menghadapi bencana yang kemungkinan
akan terjadi. Informasi-informasi itu bukan hanya untuk korban jiwa saja, hal itu penting bagi
masyarakat yang lain agar kejadian-kejadian itu dapat dijadikan pelajaran untuk survive
mengahadapi bencana alam.

Pasca bencana, media menyoroti bagaimana suatu daerah tersebut bisa kembali beraktivitas
seperti biasa, ada pengawalan di rencana rehabilitasi kawasan yang terkena dampak dari bencana
alam. Rehabilitasi bencana alam mengutamakan fasilitas fasilitas umum yang ada di daerah
tersebut sekolah-sekolah dibangun kembali agar para pelajar dapat melakukan kegiatan belajar-
mengajar seperti biasa kembali dan perbaikan jalan sebagai penunjang sarana transportasi
berguna dalam mobilisasi warga. Setelah diterjang bencana, pemerintah alangkah baiknya
membangun kembali perumahan warga yang tahan bencana.

Pendidikan tentang mitigasi juga sangat penting untuk meminimalisir korban berjatuhan namun
pendidikan tentang mitigasi di Indonesia memiliki beberapa tantangan yang dihadapi. Saat ini,
Indonesia masih membutuhkan bantuan dari luar, pengajar dan simulasi bencana bergantung
pada negara lain. Pendidikan bencana juga masih dianggap sesuatu yang tidak penting bagi
masyarakat Indonesia, walaupun mereka telah mengetahui tentang letak geografi Indonesia di
daerah yang rawan gempa dan bencana lain. Pendidikan ini bahkan belum dimasukan dalam
kurikulum sekolah. Berbeda dengan Jepang, pendidikan tentang kebencanaan diterapkan sejak
sekolah dasar dan masuk dalam kurikulum nasional. Ini seharusnya menjadi perhatian khusus bagi
pemerintah untuk memperbaiki kurikulum saat ini dengan memasukan pendidikan tentang
kebencanaan agar sejak dini menyadari betapa pentingnya mitigasi bencana.

Menginjak akhir 2018 beberapa bencana alam terjadi di Indonesia, gempa Lombok dan Palu
misalnya, bencana alam tersebut telah melewati tahap saat bencana, apabila dilihat dari
persiapan warga mereka tidak memiliki kesiapan yang pasti, sehingga tidak ada tahap sebelum
bencana. Pada tahap setelah bencana, warga telah dipindahkan ke posko pengungsian dan
banyak relawan yang membantu proses pemulihan daerah bencana tersebut. Sekarang harusnya
sedang berlangsung tahap pasca bencana, yakni merekontruksi bangunan serta fasilitas yang ada
di daerah bencana.
Sangat disayangkan sekali karena sekarang ramai pemberitaan tentang jatuhnya pesawat Lion Air.
Topik topik tentang gempa-gempa tadi kini jarang terekspos oleh media, berita tentang bencana
gempa Palu dan Donggala butuh follow up dari media.

Anda mungkin juga menyukai