Anda di halaman 1dari 15

KONVENSI KEANEKARAGAMAN HAYATI

DOSEN PENGAJAR :
DR. SRI RAHAYU PRASETYANINGSIH, S.HUT.,M.P

DISUSUN OLEH:
RICKI WIRYANTO (2295101001)

SEKOLAH PASCA SARJANA ILMU LINGKUNGAN


UNIVERSITAS LANCANG KUNING
PEKAN BARU
2022
Konvensi Keanekaragaman Hayati

Setiap negara pada prinsipnya memiliki kedaulatan untuk memanfaatkan sumber


daya alamnya, namun dalam pengelolaannya harus dipastikan bahwa pemanfaatan sumber
daya alamnya tersebut tidak mencemari lingkungan yang dapat membahayakan lingkungan
dari negara lain. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992
dan juga terdapat dalam Pasal 3 Convention on Biological Diversity 1992 (CBD). Tanggung
jawab negara untuk tidak menyebabkan dampak lingkungan sudah ada sebelum lahirnya
Rio Declaration 1992. Selan tanggung jawab, terdapat juga kewajiban dari setiap negara
untuk melindungi hak dari negara lain.

Bukan hanya untuk tidak memberikan dampak lingkungan dan melindungi hak dari
negara lain, pembentukan CBD dan CITES (Convention on Trade in Endangered
Species) dilakukan karena adanya urgensi dari masyarakat internasional terkait eksistensi
sumber daya alam maupun ekosistemnya. Dewasa ini, akibat berbagai sebab, kekayaan alam
telah mengalami degradasi yang luar biasa, tercatat laju degradasi hutan 1,08 juta
hektar/tahun hanya selama periode 2000 - 2005. Degradasi tersebut telah berdampak
hilangnya sebagian fungsi kawasan, rusaknya habitat tumbuhan dan satwa liar, juga telah
berdampak pada meningkatnya laju kelangkaan/kepunahan tumbuhan dan satwa liar,
disamping berdampak luas bagi penurunan kualitas mutu kehidupan dan meningkatnya
ancaman bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya perlindungan
dan konservasi terhadap keanekaragaman hayati dan tumbuhan maupun satwa liar yang
terancam punah.

Konvensi Keanekaragaman Hayati mendefinisikan Keanekeragaman Hayati sebagai


‘variabilitas pada makhluk hidup dari segala sumber yang meliputi, antara lain, ekosistem
darat, laut dan akuatik lainnya serta kompleks ekologi tempat mereka menjadi bagian.6 Hal
ini termasuk dalam satu spesies, antarspesies dan ekosistem’. Tujuan dari CBD secara
eksplisit dijelaskan dalam Pasal 1 CBD, yaitu:
a. Konservasi keanekaragaman hayati;

b. Pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan; dan

c. Membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetik


secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya
genetik dan dengan alih teknologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan
semua hak atas sumber-sumber daya dan teknologi itu, maupun dengan pendanaan
yang memadai.
Selain itu, terdapat beberapa poin penting yang terdapat dalam Pembukaan CBD,
antara lain:

a. Sadar akan nilai instrinsik (bawaan) keanekaragaman hayati dan nilai ekologi,
genetik, sosial, ekonomi, ilmiah, pendidikan, budaya, rekreasi dan estetika
keanekaragaman hayati dan komponen-komponennya;
b. Sadar juga akan pentingnya hayati keanekaragaman hayati bagi evolusi dan untuk
memelihara sistem-sistem kehidupan di biosfer yang berkelanjutan;
c. Menegeskan bahwa konservasi keankeragaman hayati merupakan kepedulian
bersama seluruh umat manusia;
d. Menegaskan kembali bahwa Negara-negara mempunyai hak berdaulat atas
sumber daya hayatinya;
e. Menegaskan kembali juga bahwa Negara-negara bertanggung jawab terhadap
konservasi keanekaragaman hayati dan terhadap pemanfaatan sumber daya
hayatinya secara berkelanjutan;
f. Memperdulikan bahwa keanekaragaman hayati sedang mengalami pengurangan
yang nyata karena kegiatan tertentu manusia; dst.

CBD merupakan bagian dari sejumlah kesepakatan yang dihasilkan dari Pertemuan
KTT Bumi pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. CBD adalah perjanjian multilateral
negara-negara anggota konvensi dalam penyelesaian masalah global mengenai
keanekaragaman hayati. Pada prinsipnya setiap negara memiliki hak berdaulat untuk
memafaatkan sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya
masing-masing dan juga mempunyai tanggung jawab bahwa kegiatan tersebut tidak
menimbulkan dampak terhadap negara lain. Negara-negara yang meratifikasi CBD
bertanggung jawab melakukan konservasi dan pembangunan berkelanjutan keanekaragaman
hayati.

Perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati dilakukan


melalui penetapan kawasan konservasi, pemulihan ekosistem yang rusak, dan pengendalian
spesies asing. Untuk mendukung kegiatan itu negara juga bertanggung jawab dalam
pelaksanaan pendidikan dan kesadaran masyarakat, pelatihan, penelitian, transfer teknologi,
pertukaran informasi, kerja sama teknis dan imiah serta dukungan pendanaan. Konvensi
CBD mendukung konservasi in situ (pada habitat alami), dan juga ex situ. Konsrvasi ex situ
merupakan pendukung konservasi in situ dan lebih baik dilakukan pada negara asalnya.
Berdasarkan Konvensi UNCBD (United Nations Convention on Biological Diversity),
Negara- negara anggota menyepakati untuk melakukan konservasi in situ melalui kegiatan-
kegiatan sebagai berikut :
a. Membuat sistem kawassan konservasi untuk keanekaragaman hayati;

b. Membangun pedoman pengelolaan kawasan konservasi untuk keanekaragaman


hayati;
c. Mengatur atau mengelola sumber dayat hayati yang penting untuk konservasi
keanearagaman hayati baik di dalam ataupun di luar kawasan konservasi secara
berkelanjutan;
d. Mendorong perlindungan ekosistem, habitat alami dan pemeliharaan populasi
spesies di lingkungan alami;
e. Mendorong pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di area
sekitar kawasan konservasi;
f. Rehabilitasi dan restorasi ekosistem yang rusak dan mendukung pemulihan
spesies yang terancam punah, melalui pembangunan dan pelaksanaan rencana atau
strategi pengelolaan lainnya;
g. Mengendalikan risiko terkait organisme hasil modifikasi genetik;

h. Pengendalian spesies yang mengancam ekosistem, habitat atau spesies.

i. Menyediakan kondisi yang diperlukan untuk konservasi keanekaragaman hayati


dan keberlanjutannya;
j. Menghormati kearifan lokal dalam konservasi;

k. Bekerja sama dalam penyediaan pendanaan dan dukungan untuk konservasi in


situ.

Konservasi ex-situ yang diatur di dalam CBD adalah:

a. Melakukan upaya konservasi ex-situ untuk komponen hayati, diutamakan di


Negara asalnya;
b. Membangun dan memelihara fasilitas konservasi ex-situ dan melakukan penelitian
terhadap tumbuhan, satwa dan mikroorganisme, diutamakan di Negara asal
sumber genetik;

c. Melakukan upaya untuk pemulihan dan rehabilitasi spesies terancam punah dan
untuk pelepasan kembali ke habitat alami dalam kondisi yang sesuai;
d. Mengatur dan mengelola koleksi sumber daya hayati dari habitat alami untuk
tujuan konservasi ex-situ dengan tidak mengancam ekosistem dan populasi in- situ
spesies, kecuali diperlukannya upaya khusus ex-situ yang sementara diperlukan
pada butir c di atas, dan;
e. Bekerja sama dalam penyediaan pendanaan dan dukungan lainnya.

Selain CBD, terdapat beberapa perjanjian internasional lain yang berkaitan


dengan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem, antara lain:
a. Cagar Biosfer, ditetapkan oleh UNESCO sebagai bagian dari program Man and
Biosphere, tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara melestarikan
keanekaragaman hayati, pembangunan ekonomi dan kebudayaan.
b. ASEAN Heritage Parks (AHPs), merupakan konservasi di wilayah ASEAN yang
penting karena memiliki keunikan keanekaragaman, ekosistem, kehidupan liar dan
nilai-nilai yang tinggi. Tujuannya untuk memelihara proses ekologis dan sistem
pendukung kehidupan; mengawetkan keanekaragaman genetik; memastikan
pemanfaatan spesies dan ekosistem berkelanjutan, serta menjaga kondisi
ekosistem yang memiliki nilai-nilai keindahan alam, budaya, pendidikan,
penelitian dan wisata.
c. Konvensi Ramsar (Convention on Wetlands of International Importance
Especially as Waterfowl Habitat 1971), bertujuan sebagai konservasi dan
pemanfaatan lahan basah secara bijaksana melalui aksi nasional untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia.
d. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity
(Cartagena Protocol), disusun berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary
approach) sebagaimana tercantum dalam Prinsip 15 Deklarasi Rio 1992 yang
berkaitan dengan persinggahan, penanganan, pemanfaatan, dan perpindahan lintas
batas negara dari Living Modified Organisms (LMOs / Organisme Hail Modifikasi
/ OHM) untuk menjamin tingkat perlindungan yang memadai dan aman bagi
lingkungan hidup dan kesehatan manusia.14 Sedangkan ruang lingkup protokol ini
sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 meliputi perpindahan lintas batas,
persinggahan, penanganan dan pemanfaatan semua LMOs yang dapat
mengakibatkan kerugian terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan
keanekaragaman hayati. Dalam pengaturan protokol, LMOs dikategorikan
menjadi tiga jenis pemanfaatan yaitu LMOs yang diintroduksi ke lingkungan;
LMOs yang ditujukan untuk pemanfaatan langsung sebagai pangan atau pakan
atau untuk pengolahan; dan LMOs untuk pemanfaatan terbatas (penelitian).
e. Nagoya Protocol on Acces and Benefit Sharing from their Utilization, tujuannya
untuk mengikat para pihak dalam mengatur akses atas sumber daya genetik dan
pembagian keuntungan yang adil dan merata yang timbul dari pemanfaatan
sumber daya genetik. Sumber daya genetik tersebut tidak secara bebas diperjual
belikan, namun dalam mengakses harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam
protokol yaitu berdasarkan persetujuan atas dasar informasi awal (Prior Informed
Consent) dan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms), serta keterlibatan
masyarakat adat/tradisional dan untuk mencegah pencurian keanekaragaman
hayati (Biopiracy). Protokol Nagoya tidak hanya mengatur tentang akses sumber
daya genetik tetapi juga produk turunan (derivative) dan pemanfaatannya.

Di Indonesia sendiri, peraturan per-Undang-Undang-an terkait konservasi


keanekaragaman hayati dan perlindungan ekosistem di Indonesia dapat ditemukan dalam
beberapa produk hukum di bawah ini, antara lain:
a. UUD Pasal 33 ayat (3) : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
b. TAP MPR No. IX/MPR/2000 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam. Salah satu prinsip adalah, “Memelihara keberlanjutan yang
dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun
generasi akan mendatang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya
dukung lingkungan.”
c. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. UU ini
menetapkan ekosistem sebagai salah satu keanekaragaman hayati yang perlu
dijamin keberadaaan dan keberlanjutannya bagi kehidupan manusia.
d. UU No. 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman.
e. UU No. 5/1994 tentang Pengesahan UNCBD.

f. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Hutan merupakan salah satu ekosistem yang
kompleks dan UU ini mengatur pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya. Fungsi
lindung dan fungsi konservasi dipertahankan untuk menjamin keanekaragaman
hayati di tingkat ekosistem terjaga.
g. UU No. 39/2014 tentang Perkebunan. UU ini lebih fokus pada keanekaragaman
hayati sumber daya genetik tanaman perkebunan.
h. UU No. 21/2004 tentang Pengesahan Protokol Cartagena tentang Keamanan
Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati. Inti dari UU ini adalah
keamanan penerapan produk bioteknologi modern yaitu Organisme Hasil
Modifikasi Genetik (OHMG). Pengamanan diperlukan untuk menghindari
pengaruh merugikan terhadap keanekaragaman hayati, termasuk ekosistem, serta
resiko terhadap kesehatan manusia.
i. UU No. 45/2009 tentang Perikanan. Pemmerintah menetapkan kawasan
konservasi ekosistem sumber daya ikan, antara lain suaka alam perairan, taman
nasional perairan, taman wisata perairan, dan/atau suaka perikanan.
j. UU No. 27/2007 (UU Mo. 1/2014) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau kecil. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
merupakan ekosistem yang dijamin keberadaan, ketersediaan dan
kesinambungannya.
k. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU
ini dimaksudkan sebagai aturan terpenting dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup akibat kegiatan manusia dalam upaya pemanfaatan sumber daya
alam. Salah satu tujuan adalah menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup
dan kelestarian ekosistem. Dalam UU terdapat instrumen untuk perencanaan, serta
pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup melalui Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS) untuk tingkat kebijakan, serta AMDAL untuk tingkat
kegiatan.
l. UU No. 11/2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Acces to Genetic
Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their
Utilization to the CBD.
Sebagai contoh (meskipun bukan di Indonesia), kasus terkait upaya perlindungan
dan penciptaan nilai keanekaragaman hayati dapat dilihat dalam praktik rehabilitasi oleh
perusahaan tambang yang dilakukan di Lembah Upper Hunter, New South Wales, Australia
sejak tahun 2006 sampai dengan 2011. Tambang batu bara Dartbrook milik Anglo
American yang terletak di wilayah Upper Hunter telah diberhentikan sementara untuk
perbaikan dan perawatan sejak tahun 2006, namun kegiatan restorasi keanekaragaman
hayati terus berlanjut. Di bawah kemitraan dengan Hunter Central Rivers Catchment
Managament Authority (yang kini berubah menjadi Local Land Services Hunter), baru-baru
ini Anglo American merampungkan proyek peningkatan stabilitas tepi sungai dan perbaikan
keanekaragaman hayati di sepanjang 6,5 km di tepian Sungai Hunter yang telah berjalan
selama lima tahun. Dalam rangka memperbaiki kesehatan sungai, proyek ini membangun
dan memasang 20 gelondong kayu dan ditambah dengan dua struktur gelondong kayu
kompleks yang mereka sebut sebagai ‘hotel ikan’ karena bangunan ini menciptakan kolam
yang dalam yang berfungsi sebagai tempat berlindung bagi spesies ikan asli.

Akibatnya, aliran sungai menjadi lebih kompleks sehingga tercipta rangkaian aliran
dalam dan dangkal yang baru. Manfaat ekstra yang diperoleh dari struktur ini adalah
peningkatan stabilitas tepi sungai. Hal ini menguntungkan bagi spesies ikan asli seperti
kakap putih dan menghalau spesies ikan pendatang seperti gurame. Nelayan setempat sudah
melihat adanya peningkatan jumlah ikan asli di sungai.

Aspek proyek lainnya melibatkan restorasi tumbuhan di sepanjang 6,5 km tepian


sungai. Tepi sungai tersebut kehilangan stabilitasnya dan mengalami erosi akibat aliran
sungai setelah di masa lalu tumbuhan river red gum (Eucalyptus camaldulensis) dibersihkan
untuk membuka lahan bagi pertanian. Benih river red gum selalu gagal bertunas sampai
akhirnya Anglo American mengalirkan air sisa banjir ke daerah tersebut setalah turun hujan
deras di tahun 2007. Kegiatan lainnya meliputi pemasangan pagar untuk mengahalau ternak
dari tepi sungai dan penyediaan palungan berisi air minum agar ternak tidak minum dari
sungai, serta pencabutan spesies tumbuhan pendatang seperti dedalu. Selain itu, beberapa
ribu bibit river red gum yang ditanam dari benih yang diambil dari lokasi di Dartbrook juga
ditanam. Dengan tunas-tunas ini, luas habitat pohon tersebut yang tersisa bertambah
sebanyak 8 ha sehingga menjadikannya. Salah satu populasi spesies river red gum terbesar
di Hunter Valley. Restorasi ini tidak berhubungan dengan rehabilitasi lokasi tambang tetapi
dilaksanakan sebagai bagian dari komitmen Anglo American untuk menerapkan praktik
unggulan pengelolaan lahan.
Di lain pihak, CITES merupakan konvensi yang mengontrol dan mencegah
perdagangan spesies langka (endangered species), baik itu satwa maupun tumbuhan.
CITES adalah salah satu konvensi yang dianggap paling efektif dalam konservasi satwa dan
tumbuhan, karena konvensi ini adalah salah satu dari sedikit konvensi yang menyediakan
sanksi bagi ketidaktaatan (non-compliance).23 CITES sepenuhnya ditujukan untuk
mengontrol dan mencegah perdagangan komersial spesies langka dan produk turunannya.24
Menurut Hunter, et al., inti dari CITES adalah sistem perdagangan berdasarkan kategori
spesies yang dimuat di dalam lampiran-lampiran (Appendices) dari CITES. Penempatan
sebuah spesies di dalam lampiran tertentu akan menentukan ketat tidaknya kontrol atas
perdagangan spesies tersebut dan spesimennya.25 Dengan demikian, CITES meliputi tidak
hanya spesies langka, tetapi juga spesimen (specimen) dari spesies tersebut.

Spesies menurut CITES meliputi spesies, subspesies, atau populasi yang terpisah
secara geografis (species, subspecies, or geograpically separate population thereof).
Sedangkan spesimen meliputi satwa atau tumbuhan yang masih hidup atau sudah mati (any
animal or plant, wheter alive or dead), serta bagian atau turunan yang dapat dikenali dengan
mudah (readily recognizable part or derivative) dari satwa atau tumbuhan tersebut. CITES
mewajibkan Negara Anggota untuk menunjuk Management Authority, sebagai otoritas yang
akan memberikan izin terkait perdagangan spesies yang termasuk di dalam Lampiran
CITES serta Scientific Authority, sebagai otoritas yang akan memberikan pandangan/nasihat
ilmiah terkait ekspor dan impor tersebut. Di Indonesia, Management Authority adalah Dirjen
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Sedangkan untuk Scientific Authority adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Biologi.

CITES membagi kategori spesies ke dalam 3 kelompok Lampiran. Lampiran I


berisi spesies yang terancam punah (threatened with extinction) yang akan atau dapat
terganggu dengan adanya perdagangan. Perdagangan spesimen dari spesies Lampiran I
harus diatur secara ketat agar tidak membahayakan kelangsungan hidup spesies, serta hanya
boleh diizinkan untuk keadaan luar biasa. Lampiran II berisi dua kelompok spesies.
Kelompok pertama, adalah seluruh spesies yang bukan merupakan spesies yang terancam
punah, tetapi akan menjadi terancam punah apabila perdagangan spesimen dari spesies
tersebut tidak diatur secara ketat guna mencegah pemanfaatan yang membahayakan
kelangsungan hidup dari spesies tersebut. Kelompok kedua, adalah spesies yang juga harus
diatur untuk menjamin agar perdagangan spesimen dari spesies pada kelompok pertama
dapat dikontrol secara efektif. Spesies pada kelompok kedua inilah yang disebut sebagai
“look-alike species”, yaitu spesies yang sebenarnya tidak terancam, tetapi memiliki
kemiripan dengan spesies yang dapat terancam apabila perdagangannya tidak diatur.

Lampiran III berisi spesies menurut hukum nasional dari Negara Peserta adalah
spesies yang eksploitasinya harus dicegah atau dibatasi, dan karenanya memerlukan kerja
sama dengan Negara Peserta lainnya. Dengan demikian, spesies pada Lampiran II adalah
spesies yang paling tidak terancam kepunahan oleh adanya perdagangan. CITES
mewajibkan Negara Peserta untuk tidak mengizinkan adanya perdagangan spesimen dari
spesies yang termasuk dalam Lampiran I, II dan III, kecuali jika perdagangan tersebut
dilakukan dengan tata cara yang diatur dalam CITES.

Indonesia telah meratifikasi CITES pada tahun 1978 melalui Keputusan Presiden No. 43
tahun 1978 tentang Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora (CITES). Dengan ratifikasi ini Indonesia memiliki beberapa kewajiban
diantaranya:

a. Menetapkan hukum nasional terkait implementasi CITES. Hal ini terlihat dari
Resolution Conf. 8.4 (Rev. CoP15) yang meminta negara anggota untuk
memenuhi kewajibannya di CITES dengan melalui kebijakan, Undang-Undang
dan prosedur yang tepat.
b. Memberikan laporan tahunan mengenai perdagangan kepada Sekretariat CITES,
sesuai dengan Pasal III, par. 6 CITES.
c. Membayar iuran berdasarkan penilaian yang ditentukan oleh PBB.

d. Berpatisipasi dan berperan aktif di dalam pertemuan para pihak (Conference of


Parties, COP).

UU yang dianggap sebagai dasar implementasi dari CITES adalah UU No. 5 tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. UU ini memuat ketentuan-
ketentuan yang bersifat pokok dan mencakup keseluruhan aspek dari konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya. Karena itulah, maka UU ini memuat ketentuan yang
sangat umum, dan kemudian pengaturan yang mendetail diserahkan kepada peraturan
pelaksananya. Di samping itu, UU No. 5 tahun 1990 disusun berdasarkan keperluan untuk
memiliki peraturan perundang- undangan yang bersifat nasional dan menyeluruh terkait
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, guna memberikan dasar hukum bagi
upaya “perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan
masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan manusia. UU No. 5 tahun 1990 ini melarang
setiap orang untuk:

a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,


mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-
bagiannya dalamkeadaan hidup atau mati;

b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan


hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia.
Disamping itu, setiap orang juga dilarang untuk:

c. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,


mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
d. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan mati;
e. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain
di dalam atau di luar Indonesia;
f. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain
satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa
tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di
dalam atau di luar Indonesia; dan
g. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki
telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.

UU No. 5 tahun 1990 menentukan bahwa jika terdapat terjadi pelanggaran


terhadap berbagai larangan di atas, maka tumbuhan dan satwa tersebut dirampas untuk
negara. Selain itu, UU juga menyatakan bahwa jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi
atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau
diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari
satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan
sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.
Dari materi yang diatur di dalam Undang –undang ini Undang-undang No.5 Tahun 1990
mengandung kelemahan mendasar untuk pelaksanaan CITES, yaitu:
a. Hanya mengkategorisasi jenis menjadi dilindungi dan tidak dilindungi.

b. Bagi jenis dilindungi ketentuan mengenai sanksi terhadap pelanggaran diatur jelas
dan cukup memadai.
c. Bagi jenis tidak dilindungi, tidak ada ketentuan tentang sanksi apabila terjadi
pelanggaran, padahal banyak jenis tidak dilindungi di Indonesia yang termasuk
dalam Appendiks CITES.

Ketentuan lebih lanjut terkait perlindungan spesies dapat ditemukan dalam dua
peraturan pemerintah, yaitu: PP. No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa, dan PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. PP
No. 7 tahun 1999 dibuat dalam rangka memberikan landasan hukum mengenai pengawetan
tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Upaya pengawetan ini ditujukan untuk: a).
Menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dan bahaya kepunahan; b). Menjaga kemurnian
genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa memelihara keseimbangan dan
kemantapan ekosistem yang ada; dan c). Agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan
manusia secara berkelanjutan. Selain dari itu, PP No. 7 tahun 1999 mendefinisikan tumbuhan
dan satwa dilindungi apabila memenuhi kriteria: a). Mempunyai populasi yang kecil; b).
Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;

Daerah penyebaran yang terbatas (endemik). Selain itu, PP ini juga menyatakan
bahwa tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria dilindungi wajib dilakukan upaya
pengawetan.58 Pengawetan ini meliputi kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya (in situ),
dan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan
populasi. Lebih dari itu, hal yang sangat penting yang diatur dalam PP No. 7 tahun 1999
adalah Lampiran dari PP ini yang berisi penetapan jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi. Pemasukkan atau pengeluaran suatu jenis tumbuhan dan satwa dari jenis yang
dilindungi dapat dilakukan dengan Keputusan Menteri berdasarkan pertimbangan dari
Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).

Sementara itu, PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Liar memuat ketentuan mengenai pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Menurut PP
ini, kegiatan pemanfaatan dilaksanakan dalam bentuk: a). Pengkajian, penelitian dan
pengembangan; b). Penangkaran; c). Perburuan; d). Perdagangan; e). Peragaan; f).
Pertukaran; g). Budidaya tanaman obat-obatan; dan h). Pemeliharaan untuk kesenangan.

Terkait kegiatan perdagangan tumbuhan dan satwa liar, PP No. 8 tahun 1999
menetapkan beberapa ketentuan. Pertama, PP menyatakan bahwa tumbuhan dan satwa liar
yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi, yang diperoleh
dari hasil penangkaran atau pengambilan atau penangkapan dari alam. Kedua, perdagangan
tumbuhan dan satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut
hukum Indonesia setelah mendapat rekomendasi Menteri. Ketiga, badan usaha ini wajib: a).
memiliki tempat dan fasilitas penampungan tumbuhan dan satwa liar yang memenuhi
syarat-syarat teknis; b). menyusun rencana kerja tahunan usaha perdagangan tumbuhan dan
satwa; dan c). menyampaikan laporan tiap-tiap pelaksanaan perdagangan tumbuhan dan
satwa. Di samping itu, badan usaha tersebut juga memiliki kewajiban untuk membayar
pungutan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keempat, perdagangan tumbuhan dan satwa liar diatur berdasarkan lingkup


perdagangan: a). dalam negeri; dan b). ekspor, re-ekspor, atau impor. Kelima, perdagangan
tumbuhan dan satwa liar wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Keenam, perdagangan
tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan ekspor, re- ekspor, atau impor dilakukan atas dasar
izin Menteri. Ketujuh, dokumen ekspor, re-ekspor, dan impor dianggap sah apabila telah
memenuhi syarat-syarat: a). memiliki dokumen pengiriman atau pengangkutan; b). izin
ekspor, re-ekspor, atau impor; dan c). rekomendasi otoritas keilmuan (Scientific Authority).
Kedelapan, tumbuhan dan satwa liar yang dieskpor, reekspor, atau impor wajib
dilakukan tindak karantina untuk memeriksa kesehatan jenis tumbuhan dan satwa liar serta
kelengkapan dan kesesuaian spesimen dengan dokumen. Kesembilan, kegiatan ekspor, re-
ekspor, atau impor tumbuhan dan satwa liar tanpa dokumen atau memalsukan dokumen atau
menyimpang dari syarat-syarat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
termasuk dalam pengertian penyelundupan.

Kasus terkait implementasi CITES di Indonesia dapat dilihat dalam upaya


konservasi Ramin di Riau. Ramin tersebar di Riau khususnya pada lahan gambut yang
berada di kawasan teridentifikasi memiliki tegakan pohon Ramin antara lain: Hutan
Lindung Giam-Siak Kecil, Suaka Margasatwa Danau Bawah dan Danau Pulai Besar, Suaka
Margasatwa Tasik Belat, Suaka Margasatwa Tasik Sekap, Suaka Margasatwa Bukit Batu.
Selain di kawassan konservasi, di beberapa hutan produksi yang dikelola oleh perusahaan
kehutanan diindikasikan masih ada tegakan Ramin dalam jumlah yang tergolong kecil. Hak
Penguasaan Hutan (HPH) PT. Diamond Raya Timber, PT. Rokan Permai, PT. Triomas FD
(ketiganya anak perusahaan Grup Uniseraya), PT. Inhutani IV di Kabupaten Indragiri Hilir
(Inhil) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) PT. Uniseraya merupakan beberapa perusahan
kehutanan yang memiliki tegakan jenis Ramin.

Eksploitasi kayu ramin yang berlebihan dan hanya mengandalkan dari sebaran
alamnya telah mengakibatkan penurunan populasi ramin dengan sangat cepat. Berdasarkan
IUCN Red List of Threatened Species, status konservasi ramin tergolong rawan dengan
kategori VU A1cd. Status tersebut mengindikasikan terjadi penurunan populasi berdasarkan
observasi, kesimpulan dan dugaan lebih dari 20% selama lebih dari 10 tahun terakhir atau 3
generasi atau manapun dari keduanya yang lebih lama berdasarkan penurunan wilayah
penyebaran, wilayah keberadaan dan/atau penurunan kualitas habitat dan tingkat
eksploitasi potensial dan aktual. Pada tahun 2001 Menteri Kehutanan melakukan
moratorium melalui keputusan menteri Nomor 127/Kpts-V/2001 Tanggal 11 April 2001
yang mengharuskan segala bentuk perdagangan ramin dihentikan sementara, Selain itu
Indonesia mengajukan usulan pencantuman ramin dalam appendix III kepada Sekretariat
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) pada tanggal 12 April 2001, dan Sekretariat mendistribusikannya kepada negara
anggota CITES melalui Notification to the Parties No 2001/026, yang menyampaikan
bahwa pencantuman ke dalam Appendix III Ramin dari Indonesia dan resmi berlaku sejak 6
Agustus 2001, Diharapkan dengan pencantuman Ramin dalam Appendix III CITES,
perdagangan illegal ramin dari Indonesia dapat dikendalikan melalui mekanisme CITES
(KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 127/Kpts-V/2001).
DAFTAR PUSTAKA

Birnie, Patricia., Alan Boyle, and Catherine Redgwell, International Law and the
Environment. Oxford: Oxford University Press, 2009.

Kelompok Kerja Australian Government, Pengelolaan Keanekaragaman Hayati: Praktik


Kerja Unggulan dalam Program Pembangunan Berkesinambungan untuk Indutsri
Pertambangan. Unknown, 2016.

Wibisana, Andri Gunawan. dkk., Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM RI, 2015.

Anda mungkin juga menyukai