Anda di halaman 1dari 15

KEBIJAKAN KKHE

Nama: Witri Muetia

NIM: B1A020087

TUGAS KKHE

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2022
1. Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2005 Tentang Keanekaragaman Hayati Produk Rekayasa
Genetika
Pemanfaatan keanekaragaman hayati melalui bioteknologi moderen dengan hasil
berupa Produk Rekayasa Genetik (PRG) memberi peluang untuk menunjang produksi
pertanian, ketahanan pangan dan peningkatan kualitas hidup manusia. Bioteknologi moderen
yang digunakan dalam menghasilkan PRG meliputi teknik Asam Nukleat in-vitro dan fusi
sel. Asam Nukleat Deoksiribose, yang selanjutnya disingkat DNA. Terdiri atas empat macam
basa dan kerangka gula fosfat, yang membawa informasi genetik organisme. Penggunaan
teknologi ini memberikan manfaat yaitu untuk peningkatan produksi, peningkatan ketahanan
terhadap hama dan penyakit, serta peningkatan ketahanan terhadap cekaman lingkungan
(environmental stress). Tetapi, penggunaan teknologi ini mungkin dapat menimbulkan resiko
terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia. Kemungkinan
timbulnya resiko tersebut perlu diminimalkan melalui pendekatan kehati-hatian
(precautionary approach).
Dalam peraturan pemerintah No. 21 Tahun 2005 Tentang Keanekaragaman Hayati
Produk Rekayasa Genetika berisi sebanyak 10 bab. Pada bab I berisi 4 pasal. Pada bab I ini
membahas mengenai ketentuan umum, dalam peraturan pemerintah yang dimaksud adalah
keamanan hayati produk rekayasa genetik terdiri dari keamanan lingkungan, keamanan
pangan atau pakan produk rekayasa genetik, hasil olahan dan bahan bahan olahan. Selain itu
membahasa tentang pemanfaatan di bidang pertanian, perikanan, kehutanan, industri,
lingkungan, dan kesehatan nonfarmasi. Kemudian peraturan ini diterapkan dalam Peraturan
pemerintah ini menggunakan pendekatan kehati-hatian dalam rangka mewujudkan keamanan
lingkungan, keamanan pangan dan/atau pakan dengan didasarkan pada metode ilmiah yang
sahih serta mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial budaya, dan estetika. Ruang
lingkup Peraturan Pemerintah ini mencakup pengaturan
mengenai:
a. jenis dan persyaratan PRG;
b. penelitian dan pengembangan PRG;
c. pemasukan PRG dari luar negeri;
d. pengkajian, pelepasan dan peredaran, serta pemanfaatan PRG;
e. pengawasan dan pengendalian PRG;
f. kelembagaan; dan
g. pembiayaan.
Pada Bab II terdiri dari 3 pasal membahas mengenai jenis dan persyaratan PRG. Jenis PRG
meliputi:
a. hewan PRG, bahan asal hewan PRG, dan hasil olahannya;
b. ikan PRG, bahan asal ikan PRG, dan hasil olahannya;
c. tanaman PRG, bahan asal tanaman PRG, dan hasil olahannya; dan
d. jasad renik PRG, bahan asal jasad renik PRG, dan hasil olahannya.
Pada Bab III terdiri dari 5 pasal membahas mengenai penelitian dan pengembangan
PRG. Bab IV terdiri dari 1 pasal yang membahas tentang pemasukan PRG dari luar negeri.
Bab V sebanyak 11 pasal membahas mengenai pengkajian, pelepasan dan peredaran serta
pemanfaaran PRG. Bab VI sebanyak 3 pasal membahas mengenai pengawasan dan
pengendalian PRG. Bab VII tentang kelembagaan yang terdiri dari 5 pasal. Bab VIII tentang
pembiayaan, ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
keuangan negara. Bab IX tentang ketentuan peralihan terdiri dari 2 pasal. Kemudian bab
terakhir bab X terdiri dari 2 pasal tentang ketentuan penutup, pada saat berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keamanan
lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan PRG dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
2. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
3. UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati)
Konvensi Keanekaragaman Hayati yang selanjutnya disebut Konvensi, dalam bahasa
aslinya bernama United Nations Convention on Biological Diversity. Konvensi ini telah
ditandatangani oleh 157 kepala negara dan/atau kepala pemerintahan atau wakil negara pada
waktu naskah Konvensi ini diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil. Semua negara diundang
untuk berpartisipasi dalam pertemuan pengesahan teks Konvensi yang telah disetujui. Selain
negara-negara ini, ikut hadir pula Masyarakat Ekonomi Eropa dan beberapa badan dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Lembaga Swadaya Masyarakat internasional sebagai
peninjau. Sesudah pengesahan ini dikeluarkan empat Resolutions Adopted by the
Conference for the Adoption of the Agreed Text of the Convention on Biological Diversity.
Semuanya disahkan pada tanggal 22 Mei 1992. Keempat resolusi tersebut ialah :
a. Interim Financial Agreement;
b. International Cooperation for the Conservation of Biological Diversity and the Sustainable
use of Its Components Pending the Entry into Force of the Convention on Biological
Diversity;
c. The Interrelationship between the Convention on Biological Diversity and the Promotion
of Sustainable Agriculture;
d. Tribute to the Government of the Republic of Kenya.
Dengan meratifikasi Konvensi ini, kita tidak akan kehilangan kedaulatan atas sumber
daya alam keanekaragaman hayati yang kita miliki karena Konvensi ini tetap mengakui
bahwa negara-negara, sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum
Internasional, mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sejalan dengan keadaan lingkungan serta sesuai
dengan kebijakan pembangunan dan tanggungjawab masing-masing sehingga tidak merusak
lingkungan.
4. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang
melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat,
dan udara berdasarkan wawasan Nusantara. Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas
ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya
alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya
tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban
sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan
baik berdasarkan asas tanggungjawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain
itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial,
dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan
lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya
suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai
ke daerah. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur:
a. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang
meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan
hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan
hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis
lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e. pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
f. pendayagunaan pendekatan ekosistem;
g. kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
h. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
i. penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
j. penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif
dan responsif; dan
k. penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri
sipil lingkungan hidup.
5. UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman terdiri dari 12 Bab 66 pasal. Pada
Undang-Undang ini membahas mengenai sistem budidaya tanaman, sebagai bagian dari
pertanian pada hakekatnya adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam
nabati melalui kegiatan manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya
menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik. Oleh karena itu
sistem budidaya tanaman akan dikembangkan dengan berasaskan manfaat, lestari, dan
berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas Pemerintah menyusun rencana
pengembangan budidaya tanaman yang disesuaikan dengan tahapan rencana pembangunan
nasional, menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman, mengatur produksi budidaya
tanaman tertentu berdasarkan kepentingan nasional, dan menciptakan kondisi yang menunjang
peran serta masyarakat, dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat.
6. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Secara ekosistem terdiri dari 13 Bab
80 pasal. UU ini membahas mengenai kondisi alamiah Indonesia sangat khas karena
posisinya yang berada di dekat khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang
merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping
keberadaan yang bernilai sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan
rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan
keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan
secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan
memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan
kelestarian lingkungan hidup. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya tidak tak
terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional, Undang-Undang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan
ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu
mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta
yang dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat
diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah. Berkaitan
dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan
batasan wilayah administratif.
7. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Terdiri dari 19 Bab 80 pasal. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat
dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya non hayati; sumber daya buatan,
dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,
mangrove dan biota laut lain; sumber daya non hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar
laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan
perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat
instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut
yang terdapat di Wilayah Pesisir. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai dan keanekaragamannya.
8. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap UU No.31/2004 Tentang Perikanan;
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis
perikanan. Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan
perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja,
pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil,
pembudidaya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap
memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan. Pelaksanaan
penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka
menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan
perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh
karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan.
Dalam Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap
penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara
khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani
tindak pidana di bidang perikanan. Undang Undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan:
a. pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,
pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan;
b. pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan
pengendaliannya;
c. pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
d. pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang berkesinambungan,
yang didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan serta pengendalian yang
terpadu;
e. pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan
di bidang perikanan;
f. pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana perikanan serta sistem
informasi dan data statistik perikanan;
g. penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran perikanan, dan
kapal perikanan;
h. pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan
kelautan dan perikanan;
i. pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan nelayan kecil
atau pembudidaya-ikan kecil;
j. pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif
Indonesia, dan laut lepas yang ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
dengan tetap memperhatikan persyaratan atau standar internasional yang berlaku;
k. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia,
zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas dilakukan pengendalian melalui
pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan internasional sesuai
dengan kemampuan sumber daya ikan yang tersedia;
l. pengawasan perikanan;
m. pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan
kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI-AL dan pejabat polisi negara
Republik Indonesia;
n. pembentukan pengadilan perikanan; dan
o. pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.
9. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah menjadi UU
Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 dan diganti kembali dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada
daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui
otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan
daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan
politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah harus mempertimbangkan
berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan,
dan pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta
pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan
mewujudkan tujuan dibentuknya daerah dan diberikannya otonomi daerah. Pemerintah dapat
menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi
pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/berskala
nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan
industri strategis, pengembangan teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir,
peluncuran peluru kendali, pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi,
transportasi, pelabuhan dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah
eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan sumber daya
nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik. Pemerintah wajib
mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut.
Melalui undang-undang ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi,
kabupaten, dan kota diberikan kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah.
KPUD yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah KPUD sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Untuk itu, tidak perlu dibentuk dan ditetapkan KPUD dan keanggotaannya yang baru. Agar
penyelenggaraan pemilihan dapat berlangsung dengan baik, maka DPRD membentuk panitia
pengawas. Kewenangan KPUD provinsi, kabupaten, dan kota dibatasi sampai dengan
penetapan calon terpilih dengan Berita Acara yang selanjutnya KPUD menyerahkan kepada
DPRD untuk diproses pengusulannya kepada Pemerintah guna mendapatkan pengesahan.
10. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata agar
kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun
ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola,
dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat
Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Untuk menjaga terpenuhinya
keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi, Pemerintah
menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dalam aliran sungai dan
atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Sumber daya hutan mempunyai peran penting
dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan
kesempatan kerja. Hasil hutan merupakan komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan
dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha.
Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan
bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat
dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta
tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus
disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk
menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya
rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan yang bertujuan selain mengembalikan kualitas
hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peran serta
masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat
dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi.
Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin
dihindari terjadinya konservasi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan
tanaman.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini dicantumkan ketentuan pidana, ganti rugi,
sanksi administrasi, dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang yang melakukan
perbuatan melanggar hukum di bidang kehutanan. Dengan sanksi pidana dan administrasi
yang besar diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang
kehutanan. Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang lingkup dan tanggung
jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
11. UU No. 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources
for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk
Pangan dan Pertanian)
Kebutuhan manusia akan pangan terus-menerus meningkat dalam jumlah dan
macamnya, sehingga tersedianya sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian
menjadi sangat penting. Kepentingan ini telah mendorong petani dan pemulian tanaman
untuk merakit varietas-varietas baru tanaman dengan mutu yang lebih baik dan dengan nilai
nyata yang lebih tinggi. Di satu pihak, petani mengembangkan varietas secara tradisional
dengan jangka waktu penggunaan yang relatif lebih lama, sehingga varietas yang
dikembangkan selalu dilestarikan dan dirawat secara turun temurun menjadi "ras temurun"
(land races). Di pihak lain, pemuliaan tanaman pangan selalu berusaha untuk merakit
varietas-varietas baru yang lebih produktif, dalam waktu yang relatif lebih singkat dengan
menggunakan teknologi modern.
Indonesia memerlukan berbagai sumber daya genetik baik dari dalam negeri,
maupun yang tidak tersedia di dalam negeri untuk pemuliaan tanaman dalam memenuhi
kebutuhan dasar rakyat dan pencadangan di masa mendatang. Sehubungan dengan
kebutuhan tersebut, Indonesia perlu melakukan kerja sama global untuk dapat mengakses
sumber daya genetik. Selain itu perangkat peraturan perundang-undangan yang mendukung,
perlu dipersiapkan baik di pusat maupun di daerah. Pengembangan sumber daya genetik
tanaman dilakukan melalui kegiatan konservasi, eksplorasi, koleksi, karakteristik, evaluasi,
dokumentasi, dan pemanfaatan. Perjanjian Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan
dan Pertanian membantu negara-negara berkembang yang kurang memiliki kendali terhadap
sumber daya genetik yang diperlukan di negaranya untuk dapat mengakses komoditas yang
tersedia di koleksi negara atau lembaga internasional lain. Oleh karena itu Indonesia perlu
mengesahkan perjanjian ini dan kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan perangkat
kelembagaan yang diperlukan.
12. UU No 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the
Convention on Biological Diversity
Bioteknologi modern merupakan ilmu pengetahuan tingkat lanjut yang dapat
menghasilkan organisme hasil modifikasi genetik (OHMG). Sementara itu, Indonesia perlu
meningkatkan kemampuan teknologinya untuk mengkaji dan mengelola keamanan hayati
OHMG sehingga dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Peningkatan
tersebut dapat dilakukan melalui kerja sama pengembangan dan penguatan kelembagaan dan
sumber daya manusia secara internasional dalam hal pengelolaan bioteknologi yang tepat
guna, etis dan aman, serta kerjasama pelatihan dan teknik pemanfaatan, pengkajian risiko,
serta manajemen risiko untuk keamanan hayati. Sebagai pengamanan maka pengaturan dan
tindakan-tindakan yang diamanahkan Protokol Cartagena perlu ditegakkan dan diterapkan
terhadap OHMG di pintu-pintu masuk pelabuhan, bandar udara, daerah perbatasan darat, dan
kantor pos untuk keamanan hayati dan masuknya OHMG tanpa izin (ilegal). Perdagangan
OHMG yang bersifat ilegal kurang efektif bila ditanggulangi secara unilateral dan bilateral,
maka diperlukan suatu perjanjian kerja sama regional dan multilateral untuk menjamin
keamanan hayati seperti yang diamanahkan oleh Protokol Cartagena. Di samping itu,
Protokol Cartagena mengamanatkan pula kerjasama untuk melakukan langkah-langkah
darurat (emergency measures) seperti eradikasi dan pembatasan persebaran untuk
mengurangi risiko yang mungkin timbul dari perpindahan tidak sengaja tersebut. Daerah
mempunyai peranan yang penting mengingat OHMG ilegal dapat masuk melalui pelabuhan
di daerahnya, di luar pelabuhan internasional. Dengan demikian kapasitas daerah dalam
melakukan tindakan pengamanan lalu lintas perpindahan OHMG harus ditingkatkan.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan mengingat Indonesia telah
mengesahkan Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1994, maka sangatlah penting bagi Indonesia sebagai salah satu dari negara yang
memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia untuk mengesahkan Cartagena Protocol
on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang
Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati).
Protokol Cartagena bertujuan menjamin tingkat proteksi yang memadai dalam hal
persinggahan (transit), penanganan, dan pemanfaatan yang aman dari pergerakan lintas batas
OHMG. Tingkat proteksi dilakukan untuk menghindari pengaruh merugikan terhadap
kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, serta risiko terhadap
kesehatan manusia.
13. Perpres RI No.39 tahun 2010 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik
Pemerintah membentuk Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang
disebut KKH PRG. Keanggotaan KKH PRG terdiri atas unsur Pemerintah dan non
Pemerintah. KKH PRG mempunyai tugas :
a. Memberikan rekomendasi keamanan hayati kepada Menteri Lingkungan Hidup, Menteri
yang berwenang, dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berwenang
sebagai dasar pertimbangan untuk penerbitan keputusan pelepasan dan/atau peredaran
Produk Rekayasa Genetik (PRG);
b. Memberikan sertifikat hasil uji keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau
keamanan pakan kepada Menteri Lingkungan Hidup, Menteri yang berwenang, dan Kepala
Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berwenang sebagai dasar pertimbangan
penerbitan keputusan pelepasan dan/atau peredaran PRG;
c. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Lingkungan Hidup, Menteri yang
berwenang, dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berwenang dalam
penetapan pedoman pemantauan dampak, pengelolaan risiko dan penarikan PRG dari
peredaran; dan
d. Membantu Menteri Lingkungan Hidup, Menteri yang berwenang, dan Kepala Lembaga
Pemerintah Non Kementerian yang berwenang dalam melaksanakan pengawasan terhadap
pemasukan dan pemanfaatan PRG serta pemeriksaan dan pembuktian atas kebenaran laporan
adanya dampak negatif dari PRG.
14. KLH, Tahun 2011, Protokol Nagoya
Saat ini, peraturan perundang-undangan di bidang SDG masih dalam taraf proses
penyusunan. Undang-Undang Pengelolaan SDG masih dapat taraf perancangan dan
disesuaikan dengan adanya kesepakatan internasional tentang akses dan pembagian
keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan SDG, atau yang dikenal dengan
Protokol Nagoya. Langkah-langkah yang harus dilaksanakan oleh pemerintah setelah
Protokol Nagoya diratifikasi menjadi Undang-Undang nasional: o mengambil tindakan
hukum, administratif dan tindakan melaksanakan kewajiban protokol o menunjuk lembaga
pelaksana protokol o melakukan fasilitasi pertukaran informasi dari Balai Kliring ABS dan
memberikan informasi melalui focal point nasional 7 o menyiapkan SDM dan meningkatkan
kesadaran publik dalam mendukung pelaksanaan kewajiban o penegakan hukum Dua hal
utama yang akan menjadi obyek pengawasan pada RUU PSDG dan Protokol Nagoya adalah
izin akses SDG dan terlaksananya pembagian keuntungan atas pemanfaatan SDG secara adil
dan seimbang Izin akses SDG akan diberikan berdasarkan adanya pemberitahuan Atas Dasar
informasi Awal (PADIA) atau prior inform consent (PIC) dan kesepakatan bersama (Mutual
Agreed Term).
15. KLH, Tahun 2011, Protokol Cartagena
Protokol Cartagena adalah kesepakatan antara berbagai pihak yang mengatur tatacara
pergerakan lintas batas negara secara sengaja (termasuk persinggahan, penanganan dan
pemanfaatan) suatu organisme hidup yang dihasilkan oleh bioteknologi modern (OHMG)
dari suatu ke negara lain oleh seseorang atau badan. Protokol Cartagena bertujuan untuk
menjamin tingkat proteksi yang memadai dalam hal persinggahan (transit), penanganan, dan
pemanfaatan yang aman dari pergerakan lintas batas OHMG. Tingkat proteksi dilakukan
untuk menghindari pengaruh merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan
keanekaragaman hayati, serta risiko terhadap kesehatan manusia.Protokol Cartagena terdiri
atas 40 pasal dan 3 lampiran yang tersusun sebagai berikut:
Lampiran 1: Informasi yang diperlukan dalam notifikasi
Lampiran II : Informasi yang diperlukan untuk OHMG yang dimanfaatkan langsung sebagai
pangan atau pakan, atau untuk pengolahan.
Lampiran III: Kajian Resiko
Materi-materi pokok yang terkandung dalam Protokol Cartagena mengatur mengenai hal-hal
sebagai berikut.
● Persetujuan Pemberitahuan Terlebih Dahulu (Advance Informed Agreements)
Persetujuan Pemberitahuan Terlebih Dahulu merupakan prosedur yang harus
diterapkan oleh para Pihak yang melakukan perpindahan lintas batas OHMG yang
disengaja di introduksi ke dalam lingkungan oleh pihak pengimpor pada saat
pengapalan pertama dengan tujuan untuk memastikan bahwa Negara penerima
mempunyai kesempatan dan kapasitas untuk mengkaji risiko OHMG.
● Prosedur Pemanfaatan OHMG Secara langsung Prosedur ini berlaku untuk OHMG
yang akan dimanfaatkan langsung sebagai pangan, pakan, atau pengolahan, dengan
ketentuan bahwa Pihak Pengambilan Keputusan (Pihak Pengimpor) wajib memberi
informasi sekurang-kurangnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran II kepada
Balai Kliring Keamanan Hayati (Biosafety Clearing Hause) dalam waktu 15 hari
setelah keputusan diambil, sesuai dengan peraturan nasional yang konsisten dengan
tujuan Protokol.
● Kajian Risiko (Risk Assessment).Kajian risiko merupakan penerapan prinsip
kehati-hatian yang dilakukan untuk mengambil keputusan masuknya OHMG yang
akan diintroduksi ke lingkungan. Kajian risiko harus didasarkan pada kelengkapan
informal minimum di dalam notifikasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan
bukti ilmiah lain untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kemungkinan dampak
yang ditimbulkan OHMG terhadap konservasi dan pemanfatan berkelanjutan
keanekaragaman hayati dan juga risiko terhadap kesehatan manusia.
● Manajemen Risiko (Risk Management) Manajemen risiko merupakan tindak lanjut
dari pelaksanaan kajian risiko yang mencakup penetapan mekanisme, langkah,
strategi yang tepat untuk mengatur, mengelola, dan mengendan risiko yang
diidentifikasi dalam kajian risiko. Kewajiban yang timbul dari penerapan manajemen
risiko kepada para pihak ini adalah untuk menetapkan dan mengimplementasikan
suatu system peraturan beserta kapasitas yang cukup untuk mengelola dan
mengendalikan risiko tersebut.
● Perpindahan Lintas Batas Tidak Disengaja dan Langkah-Langkah Darurat
Emergency Measure
Perpindahan lintas batas tidak disengaja adalah perpindahan OHMG yang terjadi di
luar kesepakatan Pihak Pengimpor dan Pihak Pengekspor. Negara Pihak mengambil
langkah-langkah melalui notifikasi kepada Balai Kliring keamanan Hayati (Biosafety
Clearing House) apabila kemungkinan jadi kecelakaan dan memberitahukan titik
kontak yang dapat dihubungi serta berkomunikasi dengan Pihak yang mungkin
dirugikan atas setiap pelepasan OHMG.
● Penanganan, Pengangkutan, Pengemasan dan Pemanfaatan
Pengaturan masalah penanganan, pengangkutan, pengemasan dan pemanfaatan
OHMG merupakan bagian dari upaya menjamin keamanan pengembangan OHMG
sesuai dengan persyaratan standar Internasional
● Balai Kliring Kemenen Hayati (Biosafety Clearing House) Balai Kliring Keamanan
Hayati (Biosafety Clearing House) adalah badan yang dibentuk oleh Para pihak
berdasarkan pasal 20 Protokol Cartagena untuk memfasilitasi pertukaran informasi di
bidang ilmiah, teknis, lingkungan hidup, dan peraturan mengenai OHMG, hasil
keputusan AIA dalam melaksanakan protokol.
● Pengembangan Kapasitas
Protokol Cartagena pasal 22 mengatur pengembangan kapasitas yang mewajibkan
kerjasama dengan mempertimbangkan kebutuhan, kondisi serta kemampuan Negara
berkembang dan Negara yang mengalami transisi ekonomi.
16. KLH, Tahun 2011, Menjamin Pembagian Keuntungan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik:
Protokol Nagoya
Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan SDG memiliki peluang besar
untuk memanfaatkan SDG nya untuk kesejahteraan masyarakat sehingga upaya pengelolaan
dan perlindungan harus dilakukan untuk menjamin pemanfaatan SDG secara berkelanjutan.
Selain itu pemanfaatan SDG harus diiringi dengan pembagian keuntungan secara adil dan
seimbang serta memberikan kontribusi yang berarti untuk mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Upaya perlindungan dan pengelolaan SDG mencakup:
1. Penetapan Kebijakan Pengelolaan SDG
2. Pemberian izin akses SDG dan pembagian keuntungan
3. Pengaturan tata cara perlindungan atas pemanfaatan SDG
4. Pengembangan sistem informasi & database SDG
5. Pemantauan & pengawasan
6. Litbang
7. Peningkatan Kesadaran
8. Mendorong kerjasama, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas SDM

Anda mungkin juga menyukai