Abstrak
Penelitian ini mengkaji mengenai Peraturan Standar Pangan Rekayasa Genetik Bagi Keamanan
Pangan Indonesia dalam mengwujudkannya dengan kaitan keamanan pangan rekayasa Genetik
digunakan teori efektivitas hukum dan Pemerintah melalui kementerian yang berwenang
melakukan perumusan undang-undang yang mengatur tentang pangan di Indonesia. Indonesia
mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai kemanan pangan yang terdiri dari:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2012 Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan Keamanan Pangan Asal Ternak, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004
Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2005 Tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Selain itu, Internasional
membuat peraturan mengenai keamanan pangan internasional dengan mengeluarkan perjanjian
internasional terkait dengan kemanan pangan, untuk memenuhi persyaratan keamanan, mutu
dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia, terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan
bertanggung jawab, yang terdiri dari: Protokol Cartagena Tentang Keamanan Hayati Atas
Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati (Cartagena Protocol On Biosafety To The Convention
On Biological Diversity) dan Perjanjian Pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA).
Kata Kunci: Standar, Perjanjian Internasional; Peraturan Indonesia; Produk Rekayasa Genetika.
Abstract
This research examines the regulations on genetically engineerd food standards for Indonesia food
safety in realizing them with regard to genetically engineered food safety using the theory of legal
effectiveness and the government through the ministries authorized to formulate laws that regulate food
in Indonesia. Indonesia issues legislation concerning food security which consists of: 1945 Constitution
of the Republic of Indonesia, Law Number 18 of 2012 concerning Food, Law Number 18 of 2009
concerning Animal Husbandry and Animal Health from Animal-Based Food Safety, Government
Regulation Number 28 of 2004 concerning Food Safety, Quality and Nutrition, and Republic of
Indonesia Government Regulation Number 21 of 2005 concerning Biosafety of Genetically Engineered
Products. In addition, the International made regulations regarding international food security by
issuing international agreements relating to food security, to meet the requirements of security, quality
and nutrition for the benefit of human health, the creation of honest and responsible food trade,
consisting of: Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity and
Agreement on Agriculture (AoA).
I. PENDAHULUAN
Teknologi rekayasa genetik telah berkembang pesat dan telah memberikan
manfaat antara lain dalam menghasilkan Produk Rekayasa Genetika. Produk Rekayasa
Genetika seperti tanaman transgenik telah dimanfaatkan sebagai bahan pangan.
Pangan yang berasal dari Produk Rekayasa Genetika biasa dikenal sebagai pangan
Produk Rekayasa Genetika. Pengkajian keamanan pangan sebelum Produk Rekayasa
Genetika di komersialisasikan dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya dampak
negatif yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena
itu diperlukan adanya pedoman yang mengatur pengkajian keamanan pangan Produk
Rekayasa Genetika.1
Persoalan busung lapar sebagai akibat gizi buruk, fenomena bunuh diri karena
kelaparan sampai rakyat kita makan nasi aking di beberapa daerah, kini ada berita
buruk dari Badan Pangan Internasional yang melaporkan bahwa saat ini kondisi
pangan dunia sedang kritis. Cadangan pangan di pasar dunia mencapai level terendah
sejak tahun 1980-an, mengalami penurunan hingga lima persen dibanding kondisi
tahun lalu. Kenyataan tersebut tentunya menjadi keprihartinan kita bersama di mana
cepat atau lambat, dampak ini akan terasa bagi masyarakat kita terutama mereka yang
hidup dibawah garis kemiskinan. Dampak kelangkaan pangan ini akan semakin
menambah beban masyarakat semakin berat. Kelangkaan pangan, secara otomatis
akan berakibat pada kenaikan harga-harga kebutuhan dasar yang tentu sulit dijangkau
oleh masyarakat miskin.2
Dengan pemulihan secara konvensional maupun dengan bioteknologi
khususnya teknologi rekayasa genetik. Pemuliaan secara konvensional yaitu
memperbaiki sifat suatu tanaman dengan cara menyilangkan antara kultivar. Dengan
cara ini gen yang berpindah bukan hanya yang mengontrol sifat yang diinginkan saja,
namun juga gen-gen lain yang tidak diharapkan, sehingga hasil yang diperoleh sering
tidak sesuai dengan yang diinginkan. Selain itu untuk mendapatkan sifat yang
diinginkan dari proses persilangan memakan waktu yang cukup lama, karena
1
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan
Rekayasa Genetika, 2008, biogen.litbang.pertanian.go.id. Diakses 10 April 2018.
2
Ridho Pratama, Transformasi Gen Tahan Kering, 2011, Repository.ipb.ac.id. (Bogor : Institut
Pertanian Bogor). Diakses pada 11 April 2018.
membutuhkan seleksi yang terus menerus yang akan memakan waktu, tempat, dan
biaya yang tidak sedikit.3
Sebenarnya bioteknologi bukanlah ilmu yang baru. Selama berabad-abad,
manusia telah melakukan perekayasaan makhluk hidup secara efektif untuk
memperbaiki hidup dan memecahkan berbagai masalah mereka. Misalnya, dalam
bidang pertanian untuk menghasilkan produk pangan. Transisi dari hidup berburu ke
bertani-menetap, membuat tanaman dan hewan ternak merupakan elemen penting bagi
kehidupan manusia. Tanaman dan hewan ternak telah dikembangbiakkan menjadi
lebih baik melalui kawin silang dan seleksi. Pemanfaatan mikroorganisme untuk
membuat produk pangan, seperti keju dan roti.4 Rekayasa genetik meliputi berbagai
proses tradisional seperti pembuatan bir (brewing), pembuatan roti (baking),
pembuatan anggur, pembuatan keju, produksi berbagai makanan oriental seperti
kecap, tempe dan pengolahan limbah yang di dalam prosesnya telah dikembangkan
pemakaian mikroorganisme sejak bertahun-tahun yang lalu.5
Pada akhir tahun 1970-an, genetika memasuki suatu era baru yang didominasi
oleh penggunaan teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika untuk
menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan baru yang tidak ditemukan di alam. Suatu
teknologi dapat memberi manfaat yang besar bagi kesejahteraan manusia, akan tetapi
tidaklah mutlak tanpa risiko, begitu juga dengan rekayasa genetika. Rekayasa genetika
ini sendiri memiliki berbagai permasalahan. Organisme hasil rekayasa genetika
memiliki berbagai cacat dan kekurangan, serta dikhawatirkan dapat menimbulkan
masalah terkait dengan etika, lingkungan, dan agama. Selain itu, fungsi gen tidak
sesederhana yang diperkirakan sebelumnya.6
Produk bioteknologi modern telah memberikan manfaat yang cukup besar untuk
peningkatan kehidupan dan kesejahteraan manusia, baik di sektor pertanian, pangan,
industri, kesehatan manusia, maupun di bidang lingkungan hidup. Namun terdapat
3
Ibid.
4
Achmad Baihaki, Mengembangkan Peran Industri Perbenihan Dalam Meningkatkan Daya Saing
Produk Pertanian Melalui Pembentukan Hak Pemulia, Lokakarya Hak Kekayaan Intelektual dengan
Fokus Pada Perlindungan Varietas Tanaman (Plant Variety Protection and Patent Workshop), Jakarta,
1996, Hlm. 6.
5
Knut J. Heller. Genetically Engineered Food Methods and Detection. Germany: Bibliographic
Information Published. 2003. Hlm. 62.
6
Achmad Baihaki, Mengembangkan Peran Industri Perbenihan Dalam Meningkatkan Daya Saing
Produk Pertanian Melalui Pembentukan Hak Pemulia, Lokakarya Hak Kekayaan Intelektual dengan
Fokus Pada Perlindungan Varietas Tanaman (Plant Variety Protection and Patent Workshop), Jakarta,
1996, Hlm. 6.
7
Law Watch Forum, Perlindungan Hukum Terhadap Dampak Perkembangan Produk Teknologi,
2017, lawwatchforum.com. Diakses 24 April 2018.
8
Anonim, Metode Penelitian, digilib.unila.ac.id, Diakses pada 19 Desember 2017.
9
Ibid.
III. PEMBAHASAN
10
Dodiet Aditya Setyawan, Metodologi Penelitian, SKM, 2013, Hlm.9.
11
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Keamanan Pangan, 2003,
Peternakan.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada 21 Desember 2017.
12
Herman, M, Pengaturan keamanan tanaman PRG di Indonesia, 2009, (Bogor: Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian).
13
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Keamanan Pangan, 2013,
Peternakan.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada 21 Desember 2017.
14
Ibid.
15
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Keamanan Pangan, 2013,
Peternakan.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada 21 Desember 2017.
16
Ibid.
lingkungan sebagai dampak bencana alam yang memerlukan kesiagaan dan cara
penanggulangan terhadap zoonosis, masalah higiene dan sanitasi lingkungan. 17
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan
Masyarakat perlu dilindungi dari pangan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kesehatan.18 Peraturan Pemerintah ini juga mengatur lebih lanjut
tentang penggunaan bahan makanan tambahan, pangan produk rekayasa genetik,
ketentuan tentang iradiasi pangan, pengaturan tentang kemasan pangan, jaminan mutu
pangan dan pemeriksaan laboratorium, dan mengatur tentang pangan tercemar secara
lebih detail.19 Mengenai mutu dan gizi pangan dalam Peraturan Pemerintah ini diatur
lebih mendalam dengan membuat Standar Nasional Indonesia (SNI) pada berbagai hal
yang terkait dengan pangan.20
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2005 Tentang
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik
Peraturan Pemerintah ini, mengatur mengenai jenis Produk Rekayasa
Genetika yang meliputi hewan, ikan, tanaman, dan jasad renik, baik yang berasal dari
dalam negeri maupun dari luar negeri yang akan dikaji atau diuji untuk dilepas
dan/atau diedarkan di Indonesia harus disertai informasi dasar sebagai petunjuk bahwa
produk tersebut memenuhi persyaratan keamanan lingkungan, keamanan pangan,
dan/atau keamanan pakan.21 Kandungan gizi Produk Rekayasa Genetika secara
substansial harus sepadan dengan yang non-Produk Rekayasa Genetika.22
Pengujian Produk Rekayasa Genetika harus dilakukan di laboratorium, yaitu
fasilitas uji terbatas adalah suatu fasilitas yang dibangun untuk melaksanakan kegiatan
perakitan dan pengujian tanaman Produk Rekayasa Genetika dengan konsep
pengelolaan risiko dan/atau lapangan uji terbatas. Ketentuan pengujian meliputi: 1)
17
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Keamanan Pangan, 2013,
Peternakan.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada 21 Desember 2017.
18
Amy Estiati dan M. Herman, Regulasi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik di Indonesia,
2015, media.neliti.com. diakses pada 19 Februari 2018.
19
Herman, M, Status on modern biotechnology and regulation in Indonesia, Paper presented at
PRE COP-MOP Meeting, ISAAAINDOBIC- SEAMEO/BIOTROP. Bogor, August 2014.
20
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Keamanan Pangan, 2013,
Peternakan.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada 21 Desember 2017.
21
Amy Estiati dan M. Herman, Regulasi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik di Indonesia,
2015, media.neliti.com. diakses pada 19 Februari 2018.
22
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Keamanan Pangan, 2013,
Peternakan.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada 21 Desember 2017.
mencegah lepasnya gen baru dari lokasi percobaan melalui serbuk sari, biji atau benih,
atau bagian tanaman lain; 2) mencegah bahan tanaman Produk Rekayasa Genetika
untuk dikonsumsi oleh manusia dan hewan ternak; 3) mencegah lepasnya tanaman
Produk Rekayasa Genetika dari lokasi percobaan.23
Proses memasukkan Produk Rekayasa Genetika dari Luar Negeri Setiap
orang yang akan memasukkan Produk Rekayasa Genetika sejenis dari luar negeri
untuk pertama kali, wajib mengajukan permohonan kepada menteri yang berwenang
atau Kepala Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang berwenang.
Permohonan tersebut wajib dilengkapi dengan dokumen yang menerangkan bahwa
persyaratan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan telah
dipenuhi dan surat keterangan bahwa Produk Rekayasa Genetika tersebut telah
diperdagangkan secara bebas di negara asalnya, serta dokumentasi hasil pengkajian
dan pengelolaan risiko dari institusi yang berwenang di mana pengkajian risiko pernah
dilakukan.24 Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) selaku perangkat Komisi
Keamanan Hayati (KKH) mengumumkan penerimaan permohonan, proses, dan
ringkasan hasil pengkajian. Produk Rekayasa Genetika yang telah memperoleh
rekomendasi keamanan hayati, Menteri yang berwenang memberikan izin pelepasan
dan/atau peredaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan di berbagai bidang sesuai dengan izin
peruntukannya.25
Peraturan Internasional mengenai keamanan pangan dilakukan dengan
perjanjian internasional kemanan pangan, yang terdiri dari:
1. Protokol Cartagena Tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi Tentang
Keanekaragaman Hayati (Cartagena Protocol On Biosafety To The Convention
On Biological Diversity)
Protokol Cartagena adalah sebuah perjanjian internasional bidang
lingkungan hidup yang mengatur perpindahan Organisme Hasil Modifikasi Genetik
(OHMG) antarnegara, termasuk penanganan dan pemanfaatan secara sengaja oleh
23
Amy Estiati dan M. Herman, Regulasi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik di Indonesia,
2015, media.neliti.com. diakses pada 19 Februari 2018.
24
B. Purwantara dan M. Thohari, Tanaman Produk Rekayasa Genetik dan Kebijakan
Pengembangannya. Volume 2: Status Global Tanaman Produk Rekayasa Genetik dan Regulasinya,
2010, (Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik
Pertanian).
25
Ibid.
seseorang atau suatu badan. Tujuan perjanjian ini adalah untuk menjamin tingkat
perlindungan yang memadai dalam hal persinggahan atau transit, penanganan, dan
pemanfaatan yang aman dari pergerakan lintas batas Organisme Hasil Modifikasi
Genetik (OHMG). Tingkat perlindungan yang memadai diperlukan untuk menghindari
pengaruh yang merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan
keanekaragaman hayati, serta resikonya terhadap kesehatan manusia.26
Protokol Cartagena merupakan bagian dari sejumlah kesepakatan yang
dihasilkan dari pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi pada tahun 1993 di Rio de
Janeiro, Brazil dan sesuai dengan pendekatan kehati-hatian yang tercantum dalam
Prinsip 15 (lima belas) Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan,
yang berarti bila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan,
kekurangan ilmu pengetahuan seharusnya tidak dipakai sebagai alasan menunda
langkah pengefektifan biaya (cost effective) untuk mencegah kerusakan lingkungan. 27
Tujuan dari Protokol ini adalah untuk memberikan kontribusi dalam
menjamin tingkat perlindungan yang memadai di bidang perpindahan, penanganan,
dan pemanfaatan yang aman dari organisme hasil modifikasi genetik yang berasal dari
bioteknologi modern yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap konservasi dan
pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, dengan mempertimbangkan pula
risiko terhadap kesehatan manusia, dan secara khusus menitikberatkan pada
perpindahan lintas batas.28
Tanaman transgenik pertama kali ditanam tahun 1996 dan luasnya terus
meningkat. Tidak diketahui kapan persisnya tanaman transgenik mulai ditanam di
Indonesia, namun sekitar tahun 2001 terdengar penolakan petani kapas di Sulawesi
Selatan terhadap masuknya 40 (empat puluh) ton benih kapas transgenik dari Afrika
Selatan. Memang, saat itu Indonesia belum meratifikasi Protokol Cartagena tentang
Keamanan Hayati.29
26
Anonim, Janji Palsu Rekayasa Genetis Bahan Pangan, 2013, cgeh.id. Diakses pada 15 Februari
2018.
27
Hukum Online, Protokol Cartagena Tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi Tentang
Keanekaragaman Hayati, 2017, HukumOnline.com. diakses pada 15 April 2018.
28
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Cartagena
Protocol On Biosafety To The Convention On Biological Diversity (Protokol Cartagena Tentang
Keamanan Hayati Atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati), Pasal 1.
29
Anonim, Janji Palsu Rekayasa Genetis Bahan Pangan, 2013, cgeh.id. Diakses pada 15 Februari
2018.
30
Ibid.
31
Anonim, Protocol Cartagena, 2012, indonesiabch.menlhk.go.id. Diakses pada 13 April 2018.
32
Anonim, Janji Palsu Rekayasa Genetis Bahan Pangan, 2013, cgeh.id. Diakses pada 15 Februari
2018.
33
WWF, “Agriculture in Uruguay Round: implications for Sustainable Development in
Developing Countries”, di dalam Third World Resurgence No. 100/101 Dec. 98/Jan 99, The WTO,
Agriculture and Food Security, hlm 35 Disampaikan pada Seminar Nasional “Peranan Teknologi dan
terbatas. Negara berkembang juga mendapat pengecualian dalam hal subsidi input dan
investasi.36
Selanjutnya, subsidi Ekspor, dimana dalam jumlah subsidi ekspor akan
dikurangi sebesar 21 (dua puluh satu) persen dari setiap produk sesuai dengan rata-
rata tahun 1986 sampai dengan tahun 1990. Sementara itu, pengeluaran anggaran atas
subsidi ekspor juga akan dikurangi sebesar 36 (tiga puluh enam) persen selama 6
(enam) tahun. Pengaturan untuk negara berkembang, pengurangannya sebesar dua
pertiganya, dengan jangka waktu implementasi hingga 10 (sepuluh) tahun. Bantuan
pangan dan ekspor yang tidak disubsidi, maka tidak masuk dalam pengaturan ini.37
Sehingga mengenai perluasan akses pasar, dimana seluruh hambatan impor
akan dikonversikan ke tarif, dan dikurangi hingga 6 (enam) persen untuk negara maju,
dengan pengurangan minimum di tiap lini tarif sebesar 10 (sepuluh) persen dalam
jangka waktu 6 (enam) tahun. Sementara bagi negara berkembang, pengurangannya
sebesar 24 (dua puluh empat) persen selama jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, dengan
pengurangan minimum sebesar 10 (sepuluh) persen. Dalam waktu yang bersamaan,
persyaratan akses minimum akan mulai berlaku dari 3 (tiga) persen konsumsi domestik
akan naik menjadi 5 (lima) persen pada akhir perjanjian. Dalam kondisi tertentu,
negara berkembang dapat dikecualikan dari komitmen tarifikasi tersebut, bila terjadi
sesuatu dengan bahan pokok tradisionalnya.38
Dengan penerapan Agreement on Agriculture, maka pembangunan sektor
pertanian akan menghadapi ancaman besar, kebijakan yang dibangun oleh pemerintah
harus mengarah pada terbukanya pasar domestik terhadap masuknya berbagai
komoditas pangan dan pertanian dari luar. Contoh: masuknya beras dan gula dari
negara luar yang mematikan penjualan petani beras dan gula di awal tahun 2000 hingga
sekarang, berarti segala macam kredit murah untuk petani atau subsidi input bahan-
bahan pertanian tidak lagi dibolehkan.39
Di lain pihak, negara Indonesia juga tidak bisa lagi mendukung kemampuan
ekspor petani karena pemangkasan wewenang dalam tubuh Bulog yang selama ini
menjadi agen tunggal dalam perdagangan komoditi pangan utama, seperti beras,
jagung, gula, dan kedelai. Pencabutan wewenang Bulog merupakan dimensi kebijakan
36
Ibid.
37
Idem, hlm. 36.
38
Ibid.
39
Ibid.
40
Ahmad Ibrahim Roni Surya Hasibuan, Kebijakan Pangan Akibat Ratifikasi Agreement on
Agriculture, 2015, (Universitas Riau: Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan).
41
Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pasal
4.
42
Purwiyatno Hariyadi, Permasalahan Keamanan Pangan di Indonesia, 2010, Artikel Edisi
No.51/XVII/Juli-September/2010. Diakses pada 18 Februari 2018.
43
Ibnu, Badan Pengawas Obat dan Makanan, wawancara, 23 Juni 2018.
44
Agorsiloku. Dampak Penggunaan Hasil Rekayasa Genetika.agorsiloku.wordpress.com. Diakses
pada 7 April 2018.
45
Ibid.
diantara lain: alergi, meningkatnya kasus keracunan pestisida, kanker dan kerusakan
organ tubuh serta kekebalan antibiotik.46
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran Pangan
Olahan dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin edar, penangguhan proses
pendaftaran pangan olahan, dan/atau larangan melakukan pendaftaran selama tiga (3)
tahun. Sanksi administratif dikenakan kepada Perusahaan dan Pendaftar yang
melakukan pelanggaran. Perusahaan bertanggung jawab terhadap Pangan Olahan yang
masih berada di peredaran yang telah dicabut Izin Edarnya.47 Kekhawatiran terhadap
Produk Rekayasa Genetika tanpa keamanan pangan mencakup berbagai aspek, yang
sering dipermasalahkan diantaranya: Kecenderungan untuk menyebabkan reaksi alergi
(alergenisitas), transfer gen, dan perpindahan atau pergerakan gen (Outcrossing). 48
Beberapa tanaman pangan Produk Rekayasa Genetika yang sudah tersedia di
pasar, antara lain Bt Corn yaitu jagung yang dirancang mengandung protein insektisida
yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt), Round Up Ready R Soybean yaitu
kedelai yang toleran terhadap senyawa aktif glifosat yang terdapat dalam herbisida
yang dikenal secara komersial sebagai Round-Up R, Glyphosate-tolerant Corn Line
GA21 yaitu jagung yang toleran glifosat, dan beras yang mengandung vitamin A yang
terdapat dalam Golden Rice.49
Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), dengan cara melakukan pengkajian secara rinci dari pengkajian kasus,
menggunakan prinsip kehati-hatian sesuai dengan pernyataan World Health
Organization (WHO), pangan Produk Rekayasa Genetika yang tersedia di pasaran
internasional saat ini telah melewati kajian risiko dan kemungkinan besar tidak
mungkin menimbulkan risiko terhadap kesehatan manusia.50
46
Anonim, Janji Palsu Rekayasa Genetis Bahan Pangan, 2013, cgeh.id. Diakses pada 15 Februari
2018.
47
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor 27 tahun 2017 Tentang Pendaftaran
Pangan Olahan, Pasal 84.
48
Ali Khomsan, Dampak Gizi dan Kesehatan pada Pangan Transgenik,
Perpustakaan.bappenas.go.id. Diakses pada 15 Februari 2018.
49
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Produk
Rekayasa Genetika, 2008, Biogen.litbang.pertanian.go.id. Diakses 24 Maret 2018.
50
Ibnu, Badan Pengawas Obat dan Makanan, wawancara, 23 Juni 2018.
Salah satunya sebagai contoh buah hasil rekayasa genetika, yaitu Tomat Flavr
Savr hasil rekayasa genetika yang memiliki ketahanan lama. Langkah-langkah
transfer gen dalam pembuatan tomat Flavr Savr: 51
1. Ikan Flounder mempunyai gen antibeku yang dapat menghambat enzim yang
mempercepat kerusakan dinding sel tomat. Gen ini dipindahkan dari kromosom
di dalam sel ikan Flounder.
2. DNA antibeku disisipkan pada DNA bakteri Escherichia coli yang disebut
plasmid yang merupakan kombinasi dari dua DNA berbeda disebut DNA
rekombinan. DNA rekombinan yang mengandung gen antibeku ini kemudian
ditanam kembali pada bakteri Escherichia coli untuk memproduksi kopian dari
DNA rekombinan dalam jumlah yang sangat banyak.
3. Mengisolasi DNA sel tomat terlebih dahulu yang dilakukan dengan cara
menghaluskan batang tomat dalam nitrogen cair untuk melepaskan isi sel,
ditempatkan dalam tabung reaksi, lalu di sentrifugasi dimana isi sel terpisah ke
dalam dua lapisan, salah satunya adalah lapisan DNA. Dipisahkan dari tabung,
ditambahkan enzim restriksi, yaitu ECO R1 yang berfungsi memotong di lokasi
DNA yang spesifik.
4. Sel tanaman tomat diinfeksi dengan bakteri tersebut. Setelah itu ditambahkan
enzim ligase ke dalam DNA tomat dan plasmid untuk menyambungkan DNA,
sehingga dapat lengket. Hasilnya, gen antibeku pada plasmid yang terdapat pada
bakteri bergabung dengan DNA sel tanaman tomat.
5. Sel tanaman tomat kemudian ditempatkan pada media tumbuh yang berupa
cawan petri yang mengandung media nutrien selektif dan tanaman tomat hasil
rekayasa genetika mengandung satu kopian gen antibeku dari ikan Flounder
pada setiap selnya.
Di Indonesia, sistem jaminan mutu dan keamanan pangan diwujudkan dengan
adanya penyusunan peraturan-peraturan yang terkait dengan jaminan mutu dan
keamanan pangan. Pengendalian keamanan pangan merupakan tanggung jawab
bersama. Salah satu pondasi agar terciptanya jaminan mutu dan keamanan pangan,
adalah diwajibkannya produsen pangan untuk menerapkan praktek hygiene yang baik
51
Anonim, Tomat Transgenik Flavr Savr, 2015, www.biologimu.com, diakses pada 10 Juli 2018.
atau Cara Produksi Pangan yang Baik dan HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point) di setiap rantai produksinya.52
Payung hukum terhadap pengawasan produk pangan di Indonesia yaitu Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan yang dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan.
Pengawasan keamanan pangan untuk pangan olahan merupakan kewenangan dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 53 Pengawasan keamanan pangan
terhadap rekayasa genetika yang telah dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), yaitu: Pengawasan Pre-Market, pengawasan Post-Market, pemeriksaan
sarana distribusi pangan, dan sampling produk pangan yang beredar sesuai pedoman
standar Codex Alimentarius Commission (CAC).54
Beberapa negara di dunia menerapkan kewajiban pelabelan untuk produk-
produk pangan rekayasa genetika ini seperti halnya Indonesia dan ada juga yang
bersifat sukarela, misalnya United States. Sedangkan untuk negara yang menganut
pelabelan wajib, seperti Uni Eropa, Thailand, Jepang, Saudi Arabia, Malaysia, dan
Australia telah mempunyai persyaratan batas minimal (treshold level) untuk kewajiban
pelabelan untuk produk-produk pangan rekayasa genetika. Selain itu, seperti Uni
Eropa misalnya, pangan yang mengandung bahan pangan Produk Rekayasa Genetika
1% (satu persen) atau lebih dengan berdasarkan perhitungan DNA atau protein, wajib
dilabel.55
Terdapat dua sistem pengawasan, yaitu: pengawasan obat dan pengawasan
makanan untuk meningkatkan perlindungan kepada kelompok rentan dengan
pemberian label produk komposisi persen atau kadar mengenai keterangan komposisi
yang terkandung dalam obat dan makanan tersebut. Setiap orang yang mengetahui
adanya keracunan pangan akibat pangan tercemar wajib melaporkan kepada unit
pelayanan kesehatan dan melakukan tindakan pertolongan kepada korban yang
terdapat indikasi Kejadian Luar Biasa keracunan pangan dan memberikan laporan
52
Institut Pertanian Bogor, Pengawasan Keamanan Pangan, repository.ipb.ac.id. Diakses pada 18
Februari 2018.
53
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan
Gizi Pangan.
54
Ibnu, Badan Pengawas Obat dan Makanan, wawancara, 23 Juni 2018.
55
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Produk Rekayasa Genetika, 2006, Pom.go.id. Diakses 21
Maret 2018.
56
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan
Gizi Pangan.
57
Idem. Pasal 27.
58
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
59
Ibid.
60
Ibid.
IV. PENUTUP
Kesimpulan
Peraturan standarisasi rekayasa genetika bagi keamanan pangan diatur melalui
peraturan nasional dan internasional. Indonesia mengeluarkan peraturan perundang-
undangan mengenai kemanan pangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan,
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Keamanan Pangan Asal Ternak, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2005 Tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika.
Internasional membuat peraturan mengenai keamanan pangan internasional: Protokol
Cartagena Tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi Tentang Keanekaragaman
Hayati (Cartagena Protocol On Biosafety To The Convention On Biological Diversity)
dan Perjanjian Pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA). Pelaksanaan proses
rekayasa genetika yang tidak memperhatikan keamanan pangan memiliki resiko yang
menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia dan muncul kekhawatiran terhadap
Produk Rekayasa Genetika tanpa keamanan pangan mencakup berbagai aspek, yaitu
kecenderungan untuk menyebabkan reaksi alergi (alergenisitas), transfer gen, dan
perpindahan atau pergerakan gen (Outcrossing).
Saran
Pengaturan standarisasi terhadap keamanan pangan rekayasa genetika
harus dibuat secara khusus mengenai rekayasa genetika, terutama pada standar mutu
pangan rekayasa genetika tersebut, karena untuk menjamin keamanan pangan yang
beredar di lingkungan masyarakat. Terhadap pelanggaran pada proses pangan rekayasa
genetika yang tidak memperhatikan keamanan pangan, dimana Penyidik Pegawai
Negeri Sipil harus berperan aktif dalam penyelesaian kasus keracunan pangan dan
untuk pelaku harus dikenakan hukuman yang membuat para pelaku usaha pangan
tersebut mempunyai efek jera dengan berdasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan