Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH BIOKIMIA


TANAMAN TRANSGENIK

O
L
E
H

IKRAMULLAH
NPM : 18130070

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN


UNIVERSITAS ABULYATAMA
ACEH BESAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Genetically modified organism (GMO) merupakan organisme yang gen-gennya
telah diubah dengan menggunakan teknik rekayasa genetika. Teknik rekayasa genetika
pada pangan pertama kali dikembangkan untuk menjawab berbagai permasalahan seperti
ketahanan pangan dan perubahan iklim. produk modifikasi genetik diciptakan melalui
teknik bioteknologi modern. produk modifikasi genetik telah mengalami perubahan atau
modifikasi gen yang tidak alami (direkayasa oleh manusia) dengan cara melakukan
persilangan atau pemindahan gen dari jenis hayati lain. Cara ini juga dikenal dengan istilah
transgenic. Berbagai jenis produk modifikasi genetik yang telah tersedia di Indonesia sejak
akhir tahun 1990an antara lain kedelai, jagung, dan tebu. Pangan rekayasa genetika
tersebut diimpor dari negara-negara yang telah menanam dan memproduksi sendiri pangan
rekayasa genetika. Indonesia sendiri belum berhasil mengembangkan tanaman transgenik.
Di seluruh dunia, pengembangan pangan rekayasa genetika sudah lebih maju dan marak
dilakukan. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang sudah menggunakan bibit-bibit
transgenik seperti jagung, tomat, kentang, dan papaya.
Kehadiran tanaman transgenik memegang peran penting dalam ketahanan pangan
nasional. Hal ini disebabkan adanya pertambahan jumlah penduduk dunia yang tidak
berbanding lurus dengan ketersediaan lahan pertanian (Kementrian Pertahanan Republik
Indonesia, 2015), sebagai contoh di Indonesia, kedelai yang merupakan tanaman yang
banyak digunakan terhadap produk makanan khas Indonesia seperti tempe dan tahu, terus
mengalami peningkatan. Laporan Global Agricultural Information Network (GAIN)
menunjukkan bahwa konsumsi kacang kedelai tahun 2014 mencapai 2,7 juta metrik ton
yang hampir seluruhnya dipenuhi melalui impor. Data lain menyebutkan bahwa konsumsi
jagung juga mencapai angka yang tinggi, yaitu mencapai 7,5 juta metrik ton dengan
jumlah impor sebesar 3,5 juta metrik ton (Wright & Rahmanulloh, 2016). Permintaan yang
tinggi tersebut akan menuntut peneliti untuk mencari cara dalam meningkatkan hasil yang
lebih tinggi dengan menggunakan metode rekayasa genetika. Disamping itu, pendekatan
rekayasa genetika digunakan untuk menghasilkan sifat yang unggul terhadap herbisida,
hama, dan serangga (Li et al., 2013; Natarajan et al., 2013; Xue et al., 2012). Adapun
tanaman yang telah dikembangkan di Indonesia sebagai produk GMO di antaranya adalah
padi, tebu, tomat, singkong, pepaya dan kentang (Rahayu, 2015). Menurut Mulyoprawiro,
aplikasi rekayasa genetika dapat meningkatkan efisiensi produksi, nilai tambah, dan
membantu pelestarian lingkungan (Hariadi, 2001).
Pertumbuhan tanaman produk modifikasi genetik saat ini terus meningkat
jumlahnya. Perkembangan bioteknologi tanaman produk modifikasi genetik ke depan
sejalan dengan keinginan para pengembang teknologi untuk menghadirkan produk dengan
multi manfaat bagi petani dan konsumen. Pangan produk modifikasi genetik merupakan
Pangan yang diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan,
dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik. Sedangkan modifikasi
genetik pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari
suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis
baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul.
Kontroversi produk-produk hasil rekayasa genetik sampai sekarang masih terus
berlangsung. Sehubungan dengan adanya kekhawatiran tersebut dan pentingnya prinsip
kehati-hatian, Indonesia sudah mempunyai perangkat hukum untuk melindungi masyarakat
dari akibat negatif produk-produk hasil rekayasa genetik seperti Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to The Convention on Biological Diversity,
PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, PP 21 Tahun 2005
tentang Keamanan Hayati PRG, Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2010 tentang Komisi
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2010 tentang Komisi Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetik, Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor: HK.
03.1.23.03.12.1563 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Produk
Rekayasa Genetik, dan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor: HK.03.1.23.03.12.1564
Tahun 2012 Tentang Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik.
Meski sudah dinyatakan "Aman Pangan", produk-produk tersebut belum bisa
diedarkan. Semua produk harus lulus uji keamanan pakan dan keamanan lingkungan. Uji
keamanan pakan terkait kemungkinan bagian tanaman transgenik dipakai sebagai pangan
manusia juga sebagai pakan hewan. Sementara uji keamanan lingkungan dilakukan karena
kemungkinan interaksi tanaman atau gen yang disisipkan dengan lingkungan. uji
keamanan pangan pakan dan lingkungan adalah bagian dari upaya kehati-hatian
pemerintah pada produk transgenik. Pengkajian tanaman rekayasa genetik dilakukan dari
tingkat lab, fasilitas uji terbatas, lapangan uji terbatas, dan pengujian total.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apakah tanaman transgenic itu?
2. Bagaimanakah sejarah dari tanaman transgenic?
3. Bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap tanaman transgenik?
4. Bagaimanakah kebijakan pemerintah terkait tanaman transgenic?

1.3 Tujuan Makalah


Adapun Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui tentang tanaman transgenic.
2. Mengetahui sejarah dari tanaman transgenic.
3. Mengetahui bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap tanaman transgenik.
4. Mengetahui kebijakan pemerintah terkait tanaman transgenic.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah teknologi transgenik yang
merupakan bagian dari rekayasa genetika (RG), salah satu produk RG yang dikenal saat ini
adalah tanaman transgenik. Tanaman transgenik dihasilkan dengan cara mengintroduksi
gen tertentu ke dalam tubuh tanaman, sehingga diperoleh sifat yang diinginkan. Jenis-jenis
tanaman transgenik yang telah dikenal diantaranya tanaman tahan hama, toleran herbisida,
tahan antibiotik, tanaman dengan kualitas nutrisi lebih baik, serta tanaman dengan
produktivitas yang lebih tinggi. Teknologi transgenik pertama kali dikembangkan oleh
Herbert Boyer dan Stanley Cohen pada tahun 1973. Sejak saat itu, semakin banyak jumlah
transgenik (komoditas hasil rekayasa genetika) yang dibuat dan disebarluaskan ke dunia.
Enam belas tahun sejak diperkenalkan (1988), terdapat 23 tanaman transgenik. Jumlah ini
meningkat pesat pada 1989 menjadi 30 tanaman dan pada tahun 1990 meningkat lagi
menjadi 40 tanaman. Perakitan macam tanaman transgenik ini diikuti pula oleh bidang
industri dengan perluasan lahan tanam transgenik. Dokumen FAO tahun 2001
menunjukkan luasan tanaman transgenik di dunia sudah mencapai 44.2 juta hektar dan
sebagian besarnya terdiri dari kedelai (58%) dan jagung (23%) (Sugianto, 2017).
Dokumen FAO tahun 2001 menjelaskan bahwa penggunaan produk transgenik
(yang mencakup tanaman, hewan dan mikroorganisme) atau disebut GMO (genetically
modified organism) berkaitan erat dengan etika pangan dan etika pertanian dunia.
Akibatnya pembahasan mengenai penggunaan tanaman transgenik tidak lagi hanya berupa
keamanan pangan, melainkan juga mempertimbangkan hak konsumen dan dampak
lingkungan dari pengembangan dan komersialisasi GMO (Sugianto, 2017).
Di satu sisi perkembangan pemanfaatan tanaman transgenik sebagai komoditi
pangan cukup pesat dan terlihat menjanjikan, namun di sisi lain terdapat berbagai
kekhawatiran dan keresahan masyarakat terhadap penggunaan tanaman transgenik,
terutama menyangkut kesehatan masyarakat dan aspek lingkungan, sehingga penggunaan
tanaman transgenik masih banyak menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sikap
Pro dan kontra penggunaan tanaman transgenik juga terjadi di Indonesia. Pemakaian
tanaman transgenik di Indonesia, terutama diprotes keras oleh kalangan aktivis lingkungan
dan petani. Seperti diberitakan oleh Intisari (2003), empat lembaga non-pemerintah/LSM
(KONPHALINDO, YLKI, PAN Indonesia, dan ICEL) terang-terangan menolak SK
Menteri Pertanian No. 107/Kpts/KB/430/2/2001 tentang Pelepasan Terbatas Kapas
Transgenik Bt DP 5690B sebagai Varietas Unggul, dan ditanam di tujuh kabupaten di
Sulawesi Selatan (Irawan, 2006).
Beberapa tanaman transgenik dalam bidang pertanian, seperti halnya dengan
jagung Bt, dimana jagung nini disisipi gen bakteri Bacillus thuringiensis yang mampu
memproduksi kristal protein untuk membunuh serangga pengganggu sehingga jagung ini
lebih tahan terhadap serangan hama. Contoh lain adalah beras golden rice yang disisipi gen
untuk memproduksi beta karoten sehingga meningkatkan nilai nutrisi beras (Muladno,
2002). Selain itu ada kapas, ubi jalar, kedelai, kentang gula bit, dan tomat (Brandner,
2002). Jenis-jenis tanaman transgenik tersebut diantaranya adalah kelompok tanaman
tahan hama, toleran herbisida, tahan antibiotik, tanaman dengan kualitas nutrisi lebih baik,
serta tanaman dengan produktivitas lebih tinggi. Tanaman transgenik resistensi terhadap
penyakit, tahan terhadap kekeringan, dan pertambahan kandungan gizi. Tanaman
transgenik memiliki beberapa keuntungan seperti: (1) dari aspek pertanian (agriculteure)
dapat meningkatkan hasil atau produksi, (2) dari aspek lingkungan dapat mengurangi
penggunaan pestisida, herbisida, (3) aspek gizi mampu meningkatkan kualitas bahan
makanan, dan (4) aspek kesehatan mampu mencegah penyakit yang menyebar melalui
makanan seperti vaksin-vaksin.5). untuk mendeteksi makanan yang dihasilkan dari
transgenik biasanya dilakukan dengan metode uji ELISA (ImmunoSorbent Enzym Linked
Assay) dan uji DNA. Teknik uji ELISA biayanya lebih murah dibanding dengan uji DNA,
menawarkan hasil lebih cepat dan dapat dilaksanakan di tempat. Walaupun
menguntungkan tetapi mempunyai kelemahan seperti dapat menimbulkan alergi dan
keracunan, merusak lingkungan, resistensi antibiotik, penyebaran gen-gen tertentu kepada
tanaman nonsasaran melalui persilangan dan pemencaran, untuk mendektsi makanan tidak
dapat bekerja baik pada makanan yang diproses karena panas, karena dapat
menghancurkan protein. Berbeda dengan uji DNA yang lebih mahal, tidak bisa
dilaksanakan di satu tempat dan memerlukan waktu beberapa jam sampai selesainya, tetapi
lebih akurat (Brandner, 2002)
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Tanaman Transgenik


Seleksi genetik untuk pemuliaan tanaman (perbaikan kualitas/sifat tanaman) telah
dilakukan sejak tahun 8000 SM ketika praktik pertanian dimulai di Mesopotamia. Secara
konvensional, pemuliaan tanaman dilakukan dengan memanfaatkan proses seleksi dan
persilangan tanaman. Kedua proses tersebut memakan waktu yang cukup lama dan hasil
yang didapat tidak menentu karena bergantung dari mutasi alamiah secara acak (Alxander,
2007). Contoh hasil pemuliaan tanaman konvensional adalah durian montong yang
memiliki perbedaan sifat dengan tetuanya, yaitu durian liar. Hal ini dikarenakan manusia
telah menyilangkan atau mengawinkan durian liar denganvarietas lain untuk mendapatkan
durian dengan sifat unggul seperti durian montong.
Penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri
Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang dimilikinya
ke dalam tanaman. Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari
yang disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh
manusia. Sejak saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial
dan peningkatan tanaman terus dilakukan manusia. Tanaman transgenik pertama yang
berhasil diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai. Keduanya diluncurkan
pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1996. Pada tahun 2004, lebih dari 80 juta
hektar tanah pertanian di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai
di dunia merupakan kedelai transgenik. Secara global dengan adanya perubahan iklim
berdampak signifikan terhadap pertanian atau dapat mempersulit peningkatan produksi
akibat efek pemanasan global, musim kemarau panjang atau musim hujan terus menerus
hingga kebanjiran, intrusi air laut ke lahan pertanian, peningkatan serangan hama dan
penyakit tanaman yang beragam. Permasalahan di Indonesia diantaranya laju pertumbuhan
penduduk 1% yang hendaknya diikuti dengan pemenuhan kebutuhan pangan berupa
peningkatan produksi pertanian 3,5%/tahun dan kesulitan lain seperti penyusutan lahan
pertanian akibat alih fungsi lahan, terbatasnya ketersediaan air, terbatas energi fosil,
pelandaian produktivitas tanaman.
Transgenik terdiri dari kata trans yang berarti pindah dan gen yang berarti
pembawa sifat. Jadi transgenik adalah memindahkan gen dari satu makhluk hidup ke
makhluk hidup lainnya, baik dari satu tanaman ketanaman lainnya, atau dari gen hewan ke
tanaman. Transgenik secara definisi adalah the use of gene manipulation to permanently
modify the cell or germ cells of organism (penggunaan manipulasi gen untuk mengadakan
perubahan yang tetap pada sel makhluk hidup).

3.2 Penggolongan Tanaman Transgenik


Menurut Lin & Pan(2016) berdasarkan pada struktur dan strategi yang digunakan
dalam merekonstruksi transgenik, GMO pada tanaman digolongkan menjadi 4 generasi,
yaitu:
1. Generasi pertama, klasifikasi generasi pertama atau satu sifat, tanaman
mengandung elemen transgenik yang umum digunakan, seperti cauliflower
mosaic virus (CaMV), 35S promoter (CaMV35S-P), aminoglycoside 30
phosphotransferase gene (nptII), phosphinothricin acetyltransferase gene
(pat/bar), 5-enolpyruvylshikimate 3-phosphate (CP4-epsp) gene, nopaline
synthase promoter (nos-P), dan terminator (nos-T). Hampir 90% tanaman
transgenik mengandung satu atau lebih dari 6 elemen gen tersebut (Lu et al.,
2010).
2. Generasi kedua transgenik, tanaman biasanya merupakan hasil persilangan
antara generasi pertama yang komersial. Namun demikian, generasi kedua
memiliki dua masalah yang besar yang muncul dalam mendeteksi kumpulan
sifat pada tanaman transgenik, yaitu: analisis gen yang mendalam mungkin
dibutuhkan untuk membedakan antara sifat tanaman yang menumpuk dan yang
tidak, dan membedakan dari campuran peristiwa yang berasal dari single stack
trait hanya mampu dideteksi dengan biji atau tanaman tunggal.
3. Generasi ketiga, tanaman disebut sebagai near-intragenics yang elemen
transgenik tidak digunakan dalam tanaman transgenik lain. Transgenik yang
dikonstruksi berasal dari inang dan telah mengalami rekombinasi atau
modifikasi sehingga lebih sulit untuk dideteksi dibandingkan dengan generasi
pertama ataupun kedua.
4. Generasi keempat merupakan tanaman yang digolongkan dalam intragenik dan
cisgenik. Jika gen donor dan seluruh regulator sequence transgenic dimiliki
oleh spesies tanaman yang sama atau dimiliki oleh spesies inang yang mampu
disilangkan, maka akan menghasilkan cisgenik. Pada teknologi ini cisgen harus
memiliki copy host native gene cassette yang identik, termasuk sekuens
regulator yang terintegrasi pada tanaman inang. Sementara itu, pada intragenik,
cassettes gene insert mengandung sekuens genetik spesifik yang berasal dari
tanaman yang memiliki gene pool yang sama. Dalam hal ini, sekuens pengkode
dapat diregulasi dengan promoter dan terminator dari gen yang berbeda.

3.3 Kelebihan Teknologi Rekaya Genetika Tanaman


Perkembangan teknologi rekombinan DNA telah membuka pintu untuk merakit
tanaman tahan hama dengan rekayasa genetika. Teknologi ini mempunyai beberapa
kelebihan jika dibandingkan dengan teknologi konvensional, yaitu :
1. Memperluas pengadaan sumber gen resistensi karena dengan teknologi ini kita
dapat menggunakan gen resisten dari berbagai sumber, tidak hanya dari tanaman
dalam satu spesies tetapi juga dari tanaman yang berbeda spesies, genus atau
famili, dari bakteri, fungi, dan mikroorganisme lain.
2. Memindahkan gen spesifik ke lokasi yang spesifik pula di tanaman.
3. Menelusuri stabilitas gen yang dipindahkan atau yang diintroduksi ke tanaman
dalam setiap generasi tanaman.
4. Mengintroduksi beberapa gen tertentu dalam satu event transformasi sehingga
dapat memperpendek waktu perakitan tanaman multiple resistant.
5. Perilaku gen yang diintroduksi di dalam lingkungan tertentu dapat diikuti dan
dipelajari, seperti kemampuan gen tersebut di dalam tanaman tertentu untuk pindah
ke tanaman lain yang berbeda spesiesnya (outcrossing), dan dampak negatif dari
gen tersebut di dalam tanaman tertentu terhadap lingkungan dan organisme bukan
target (Bahagiawati 2001).
Disisi lain perkembangan rekayasa genetika dibidang pertanian pangan dapat
ditemui pada tanaman transgenik yang memiliki keunggulan-keunggulan tertentu karena
sifatnya telah diperbaiki. Termasuk didalamnya adalah penerapan pengetahuan ilmu
kehidupan untuk meningkatkan teknik pemuliaan tanaman serta menseleksi [menyeleksi]
tanaman liar untuk dibudidayakan. Beberapa produk pertanian yang merupakan hasil
rekayasa genetika bisa tahan terhadap hama, tahan terhadap berbagai penyakit,
penggunaan pestisida yang lebih sedikit, mempunyai penampilan yang menarik,
mempunyai nutrisi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan produk yang asli, dan lain
sebagainya. Beberapa kelebihan dari tanaman transgenik tersebut diklaim dapat mengatasi
masalah populasi dan pangan yang dihadapi oleh dunia.
Kompas Edisi Januari 2000 memuat prakiraan keuntungan penggunaan tanaman
transgenik sebagai berikut:
1. Panen tinggi : Tanaman hasil rekayasa genetik dapat membantu memperbaiki
jumlah dan kualitas panen di lahan marjinal seperti tanah asam dan tandus,
2. Perbaikan nutrisi : Produk tanaman, kedelai misalnya, bisa dimodifikasi
mengandung lebih banyak protein, zat besi, untuk mengatasi anemia. Baru-baru ini,
ilmuwan Eropa berhasil memasukkan vitamin A pada padi,
3. Perbaikan kesehatan : Vaksin di dalam produk tanaman akan mempermudah
pencapaian sasaran dan cakupan,
4. Sedikit bahan kimia : Tanaman rekayasa genetik yang sudah dibuat tahan hama dan
gulma misalnya, tidak memerlu-kan lagi pestisida dan herbisida.

3.4 Perkembangan Tanaman Transgenik di Indonesia


Tanaman transgenik di Indonesia yang dikembangkan di antaranya adalah padi,
tomat, tebu, pepaya, singkong, dan kentang, dengan menambahkan gen yang memiliki
sifat resisten terhadap salinitas, hama, dan kekeringan. Pengembangan produk tanaman
transgenik di Indonesia melibatkan beberapa universitas, seperti UNPAD, IPB dan
Universtias Jember, serta peran aktif Lembaga riset LIPI dan ICABIOGRAD. Produk
produk rekayasa yang telah dibuat akan didaftarkan terlebih dahulu untuk mendapatkan
hak paten pada Dirjen HAKI. Dirjen HAKI memfasilitasi basis data untuk menelusuri
status paten di alamat http://e-statushki.dgip.go.id/. Dengan demikian, sebelum
mendaftarkan produknya, pemohon diharapkan benar-benar mengetahui bahwa produk
yang didaftarkan adalah produk yang baru. Adapun elemen transgenik yang berada dalam
tanaman tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Produk Tanaman Transgenik di Indonesia
Sumber: Slette dan Rahayu, 2012.
Berdasarkan Tabel 1, produk tanaman transgenik yang ada di Indonesia merupakan
produk yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Peningkatan
permintaan pasar akan tanaman transgenik yang terus melonjak setiap tahun yang diikuti
dengan pertumbuhan penduduk yang semakin tidak terkontrol, serta didukung dengan
lahan pertanian yang semakin menyempit memaksa ilmuwan menemukan cara untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. OsGS3 merupakan gen yang terdapat dalam Oryza sativa
yang terlibat dalam menentukan ukuran padi. Gen ini berfungsi dalam regulasi negatif
pada pembelahan sel dan elongasi dari integument. Dalam bentuk protein, protein GS3
memiliki domain VWFC yang berperan dalam interaksi protein dan signaling (Takano-Kai
et al., 2009). Ketika gen ini disisipkan ke dalam tanaman padi maka diharapkan tanaman
padi pada bagian fenotip dari biji tersebut memiliki bentuk yang panjang, dan yield (beras)
yang dihasilkan meningkat.
Tanaman-tanaman transgenik yang sudah dikembangkan diseluruh dunia
diantaranya adalah :
1. Insect Resistence Plant (tanaman tahan hama) - Bt toxin gene
2. Virus-Resistant Plants (tanaman tahan virus) - vaksinasi dengan viral coat protein
gene - RNA antisense yang mengarah pada „gene silencing‟
3. Herbicide-Resistant Plants (tanaman tahan herbisida) - gen nitrilase
4. Stress and Senescence-Tolerant Plants (tanaman toleran terhadap stress dan
senesens (penuaan) - gen ACC deaminase
5. Flower Pigmentation
6. Plant as Bioreactors

3.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Tanaman Transgenik


Penggunaan tanaman transgenik hingga saat ini, masih menuai sikap pro dan
kontra di dalam masyarakat. Masyarakat yang pro pada penggunaan tanaman transgenik
terutama melihat pada potensi pemanfaatan tanaman transgenik untuk mengatasi krisis
pangan, dan cenderung berpendapat penggunaan transgenik tidak berbahaya. Sedangkan
masyarakat yang kontra pada penggunaan transgenik karena menganggap tanaman
transgenik belum dievaluasi mendetail untuk keamanan tingkat konsumsinya bagi
manusia, bagi lingkungan dan mempertanyakan asal-usul gen yang diintroduksi ke dalam
tanaman. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pro dan kontra yang terjadi
di masyarakat non formal (non sekolah) dan sikap masyarakat formal (sekolah) terutama
sikap para pendidik (guru). Masyarakat yang pro pada penggunaan tanaman transgenik
berdasarkan pada asumsi bahwa dalam dunia pertanian tanaman pangan dan kehutanan,
transgenetika dapat dikatakan bertujuan mulia, yaitu demi keuntungan petani maupun
pengolah hasil pertanian. Sebagian besar tanaman budidaya transgenik berupa tanaman-
tanaman yang memiliki ketahanan terhadap hama serangga (Sugianto, 2017).

3.6 Kebijakan Pemerintah Indonesia Terkait Tanaman Transgenik


Kehadiran produk rekayasa genetika kini menjadi sebuah solusi dalam mengatasi
keterbatasan lahan dan menghadapi krisis pangan global. Tuntutan global yang dijalankan
pemerintah Indonesia mengharuskan pemerintah merevisi UU No. 7 Tahun 1996 yang
diganti menjadi UU No. 18 Tahun 2012. Dalam UU yang baru tersebut ditambahkan pasal
yang mengatur tentang produk rekayasa genetika pada pasal 1 ayat 33, dan 34 junto pasal
69 sampai pasal 77. Kemudian dampak yang ditimbulkan oleh adanya produk rekayasa
genetika terhadap lingkungan diatur dalam UU No. 21 tahun 2004 tentang ratifikasi
protokol Cartagena dan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati
produk rekayasa genetika. Protokol Cartagena merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari
konvensi tentang keanekaragaman hayati yang bertujuan untuk menjamin tingkat proteksi
yang memadai dalam perpindahan, penanganan, dan pemanfaatan yang aman dari
perpindahan lintas batas organisme hasil modifikasi genetik, termasuk dalam pangan,
pakan dan pengolahannya (Ishak, 2004). Sementara itu, Peraturan Pemerintah No. 21
tahun 2005 mengatur tentang pengawasan, keamanan serta regulasi dari produk rekayasa
genetika.
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 memiliki ruang lingkup di antaranya:
jenis dan persyaratan produk rekayasa genetika (PRG), penelitian dan pengembangan
produk rekayasa genetika, pemasukan produk rekayasa genetika dari luar negeri,
pengkajian, pelepasan dan peredaran serta pemanfaatan produk rekayasa genetika
pengawasan dan pengendalian produk rekayasa genetika kelembagaan, dan pembiayaan.
Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa terdapat persyaratan keamanan lingkungan yang perlu
dipenuhi, di antaranya: deskripsi dan tujuan penggunaan; perubahan genetik dan fenotipe
yang diharapkan harus terdeteksi; identitas jelas mengenai taksonomi, fisiologi, dan
reproduksi PRG; organisme yang digunakan sebagai sumber gen harus dinyatakan secara
jelas dan lengkap; metode rekayasa genetika yang digunakan mengikuti prosedur baku
yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya; karakterisasi molekuler
PRG harus terinci dengan jelas; ekspresi gen yang ditransformasikan ke PRG harus stabil;
dan diuraikan cara pemusnahan yang digunakan bila terjadi penyimpangan.
Terdapat beberapa lembaga yang berwenang dalam regulasi tanaman transgenik di
antaranya TTKH (Tim Teknis Keamanan hayati), KKH (Komisi Keamanan Hayati), BCH
(Biosafety Clearing House), serta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kementrian
Pertanian. Pemohon terlebih dahulu mengajukan produk tersebut melalui Kementerian
Pertanian yang kemudian akan dilanjutkan melalui Kementerian Lingkungan Hidup.
Komisi Keamanan Hayati (KKH) memiliki wewenang dalam merekomendasikan
keamanan hayati kepada menteri yang yang berwenang serta melaksanakan pengawasan
terhadap pemasukan dan pemanfaatan produk rekayasa genetika, serta pemeriksaan dan
pembuktian atas kebenaran laporan adanya dampak negatif. Tim Teknis Keamanan Hayati
(TTKH) kemudian akan melakukan kajian teknis keamanan hayati. TTKH memiliki
wewenang dalam menjalankan FUT (Fasilitas Uji Terbatas) serta LUT (Lapangan Uji
Terbatas). Ketika produk transgenik tersebut dinyatakan aman, komisi tersebut kemudian
akan merekomendasikan Menteri Lingkungan Hidup untuk mengumumkan ke Menteri
Pertanian bahwa produk tersebut aman terhadap lingkungan. Di samping melakukan
pengujian, terdapat 3 analisis yang perlu dilakukan dari aplikasi GMO, diantaranya
research and development, food safety assement procedure and feed safety assessment
procedure. Kemudian pemerintah juga akan bertanggung jawab dalam membuat pedoman
untuk pengujian keselamatan biologis serta mengatur pembentukan Biosafety Clearing
House (BCH). Fungsi dari BCH meliputi mengatur dan mengeluarkan informasi ke publik
dan menghadiri respons publik.
Berbagai produk GMO di Indonesia sejauh ini merupakan produk yang dibutuhkan
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti padi, tebu, singkong, dan kentang.
Kehadiran ilmu bioteknologi menjadi cara untuk mengatasi kebutuhan yang terus
meningkat. Namun demikian, produk-produk GMO yang telah berhasil diciptakan perlu
diawasi secara ketat. Tidak hanya dari segi keuntungan, kerugian dan dampaknya terhadap
lingkungan perlu diawasi secara teliti melalui ketentuan hukum yang berlaku. Adapun
lembaga-lembaga yang berkewajiban dalam mengawasi produk-produk GMO di antaranya
Komisi Keamanan Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian,
Biosafety Clearing House, dan Tim Teknis Keamanan Hayati, yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 21 tahun 2005 (Prianto dan Yudhasasmita,2017).
DAFTAR PUSTAKA

Bahagiawati. 2001. Manajemen resistensi serangga hama pada pertanaman tanaman


transgenik Bt. Buletin AgroBio 4(1):1-8.

Brandner, D.L. 2002. Detection of Genetically Modified Food: Has Your Food Been
Genetically Modified. The American Biology Teacher. 64 (6): 433-442.

Irawan, A. 2006. Ancaman dan Harapan Dari Komoditas Transgenik. KORAN TEMPO
Edisi 2006-08-06.

Kementrian Pertahanan Republik Indonesia. (2015). Buku putih pertahanan Indonesia.


Jakarta, Indonesia: Kementrian Pertahanan Republik Indonesia.

Kompas, 2000. Menyelamatkan Bumi dari Serbuan Transgenik

Lin, C. H., & Pan, T. M. (2016). Perspectives on genetically modified crops and food
detection. Journal of Food and Drug Analysis, 24(1), 1–8.
Lu, I.-J., Lin, C.-H., & Pan, T.-M. (2010). Establishment of a system based on universal
multiplex-PCR for screening genetically modified crops. Analytical and Bioanalytical
Chemistry, 396(6), 2055–2064.

Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda

Prianto,Yuwono dan Yudhasasmita,Swara,2017.Tanaman Genetically Modified


Organism(GMO) dan Perspektif Hukumnya Di Indonesia.Journal of Biology,P-ISSN:
1978-3736, E-ISSN: 2502-6720

Sugianto. 2017. Kajian Bioetika Tanaman Transgenik. Jurnal Biolio dan Pendidikan
Biologi. Universitas Wiralodra.

Takano-Kai, N., Jiang, H., Kubo, T., Sweeney, M., Matsumoto, T., Kanamori, H.,
McCouch, S. (2009). Evolutionary history of GS3, a gene conferring grain length in rice.
Genetics, 182(4), 1323–1334.109.103002.

Wright, T., & Rahmanulloh, A. (2016). Oilseeds and Products annual report 2017.
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai