Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

AGROMEDICINE

Potensi dan Keamanan Pangan Transgenic bagi Masyarakat Petani (Agricultural Population)

DISUSUN OLEH :

MEGA ZULFATUS SORAYA

2028021020

PEMBIMBING

DR.SAMSU

MEGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS LAMPUNG
ARTIKEL

I. PENDAHULUAN

Bioteknologi dikenal lain dengan rekayasa genetika (genetic engineering) yang


memungkinkan modifikasi sifat organisme sesuai dengan kebutuhan dengan
memanfaatkan gen dari spesies yang lain. Teknologi tersebut dapat memberikan
manfaat besar terutama untuk pemanfaatan produk pertanian, akan tetapi memerlukan
kehati-hatian dan juga kecermatan agar tidak menimbulkan sesuatu yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan untuk beberapa keanekaragaman
hayati, lingkungan, dan kesehatan manusia. Berbagai manfaat dari tanaman
transgenik yang akan diklaim dari pihak peneliti dan praktisi rekayasa genetika
ternyata tidak mampu meredam suara-suara yang menentang penerapan teknologi ini
untuk alternatif yang baru oleh komoditi pangan. Penolakan pada budidaya tanaman
transgenik ini karena dapat dianggap membahayakan kesehatan manusia dan juga
dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Pada segi kesehatan, tanaman
transgenik disinyalir dapat menyebabkan keracunan untuk manusia. Tanaman
transgenik tahan akan hama yang disisipi gen Bt ternyata tidak hanya bersifat racun
terhadap serangga tetapi juga pada manusia ataupun petaninya. Penggunaan gen Bt
pada tanaman jagung atau kapas misalnya dapat menyebabkan alergi pada manusia
(Syamsi, 2014), pada demikian pula dengan kedelai transgenik yang diintroduksi
dengan gen penghasil protein metionin dari tanaman brazilnut. Pada hasil uji skin
prick-test mengungkapkan kedelai transgenik tersebut bersifat positif sebagai alergen
(Karmana, 2009). Tidak hanya menimbulkan alergi, tanaman hasil rekayasa genetika
juga diduga dapat bersifat karsinogenik atau berpotensi menyebabkan kanker, serta
minimnya gizi karena kandungannya telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
dapat menghilangkan kandungan yang alami dari produk yang dihasilkan olahannya
(Syamsi, 2014). Pada Dr.Beatrix Tapesser dari Institute for Applied Technology,
Jerman, dengan kritis memperhatikan masalah dari kandungan glyphosate sebagai
pupuk transgenetika pada tanaman . Dikatakan bahwa glyphosate menduduki
peringkat ketiga terburuk sebagai pestisida yang dapat menyebabkan berbagai
gangguan kesehatan pada petani di California.  Glyphosate ini menghasilkan
fitoestrogen di dalam kacang-kacangan yang dapat mengganggu sistem reproduksi
pada siapapun yang mengkonsumsinya . Selain itu, dapat juga bahaya alergi pada
produk pangan transgenik juga perlu untuk diwaspadai. Dalam kasus glyphosate,
sebenarnya yang dilakukan adalah memasukkan protein baru didalam makanan atau
bahan makanan tersebut. Datangnya protein baru ini dapat berpotensi untuk
menyebabkan alergi. Pernah dilakukan penelitian untuk membandingkan respons
alergi pada konsumen pangan yang dibiakkan secara tradisional dan juga pangan
transgenik, hasilnya menunjukkan bahwa pangan transgenik dapat mengakibatkan
insiden alergi yang lebih tinggi.
Produk rekayasa genetika (PRG) yang dimiliki oleh tanaman pangan awalnya
ditujukan untuk perlindungan tanaman, terutama didalam meningkatkan ketahanan
terhadap penyakit tanaman yang diakibatkan dari berbagai serangan virus atau
bakteri, atau meningkatkan toleransi terhadap herbisida. didalam pengembangannya
PRG disamping memiliki beberapa keuntungan, juga memiliki berbagai resiko yang
harus diperhatikan. Keuntungan pangan hasil rekayasa genetika antara lain untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas, pada nilai ekonomi produk, memperbaiki
nutrisi, nilai palatabilitas dan meningkatkan masa simpan produk. Sedangkan resiko
yang perlu diperhatikan dari pengembangan PRG yaitu : kemungkinan terjadinya
gangguan pada keseimbangan ekologi, terbentuknya resistensi terhadap antibiotik,
ditakutkan akan dapat terbentuknya senyawa toksik, allergen atau terjadinya
perubahan beberapa pada nilai gizi. Pangan hasil rekayasa genetika yaitu pangan atau
produk pangan yang diturunkan dari tanaman, atau hewan yang dihasilkan dengan
proses rekayasa genetika. Berikut Yang termasuk pangan hasil rekayasa genetika
antara lain: hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik dan hasil olahannya,ikan
transgenik, bahan asal ikan transgenik dan hasil olahannya, tanaman transgenik,
bagian-bagiannya dan hasil olahannya, serta jasad renik transgenik. Terdapat
kontroversi produk-produk hasil rekayasa genetika ini sampai sekarang masih terus
berlangsung. Berbagai isu global telah menjadikan produk ini aman bagi sebagian
orang, tetapi dianggap dapat berbahaya bagi sebagian orang. Perkembangan
bioteknologi modern telah menjadikan sesuatu yang selama ini tidak mungkin terjadi
akan menjadi terjadi. Mengingat masih banyaknya perbedaan pendapat maka masih
diperlukan sikap hati-hati dan juga waspada. Karena daripada itu pemerintah dan
dunia internasional umumnya menangani hal ini dengan pendekatan dengan sangat
berhati-hati (precautionary approach) dan untuk menyiapkan perangkat hukum untuk
melindungi masyarakat dari akibat negatif produk-produk dari hasil rekayasa
genetika.
Mendeteksi bahwa pangan transgenik dapat menyebabkan penyakit yang kronis perlu
dilakukan demi menjamin kepada konsumen agar tidak semakin menghadapi risiko
kesehatan yang tidak diinginkan. Diketahui bahwa penyakit kronis terdapat
keterkaitan dengan masalah genetis juga. Mengingat kesulitan transfer gen dari
beberapa produk pangan transgenik ke sel manusia, maka kemungkinan pangan
transgenik ini sebagai penyebab penyakit kronis menjadi penyebab yang kecil.

II. TUJUAN
Pada artikel ini memiliki tujuan sebagai berikut:
- Memahami Potensi dan Keamanan pangan transgenetika bagi masyarakat maupun
petani.
- Menganalisis permasalahan yang didapatkan dari trangenetika pangan
- Mencari solusi untuk kebijkan dari kontroversi trangenetika yang terjadi diEra ini

III. ANALISIS MASALAH


Penerapan teknologi saat ini sangat diperlukan untuk upaya dalam mencari alternatif
pemenuhan kebutuhan dari pangan, akan tetapi ilmiah saja tidaklah cukup, diperlukan
etika mengenai norma dan juga nilai-nilai moral yang digunakan dalam melindungi
hak-hak asasi manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengembangan teknologi dan
pemanfaatan sumber daya hayati diperuntukkan luas bagi kepentingan manusia dan
makhluk hidup yang lainnya, wajib menghindari konflik moral dan juga tidak boleh
menimbulkan dampak negatif terhadap harkat manusia dan perlindungan lingkungan
hidup. Pengkajian terhadap keamanan pangan produk rekayasa genetika dilaksanakan
kasus per kasus, dikarenakan organisme rekayasa genetika yang sudah berbeda
memiliki gen sisipan yang berbeda pula, dan disisipkan dengan cara yang berbeda
pula. Hal ini berarti bahwa setiap pangan hasil dari rekayasa genetika dan
keamanannya harus dikaji secara individu ( kasus per kasus ) dan tidak mungkin
membuat pernyataan umum tentang keamanan semua pangan hasil rekayasa genetika.
Sesuai dengan pernyataan WHO, pangan produk rekayasa genetika yang saat ini
tersedia di pasaran internasional saat ini telah melewati kajian risiko dan
kemungkinan besar tidak mungkin menimbulkan risiko pada kesehatan manusia.
Disamping dari itu semua, belum ditemukan efek terhadap kesehatan manusia yang
terjadi pada masyarakat yang mengkonsumsi pangan dari hasil rekayasa atau
transgenetika tersebut, di negara-negara dimana pangan tersebut telah diizinkan.
Pelaksanaan Pengggunaan prinsip kajian risiko berdasarkan pada prinsip-prinsip
Codex yang sudah tepat dan berkesinambungan.
Pengambilan keputusan evaluasi keamanan hayati merupakan faktor untuk penentu
agar aplikasi dan pelepasan benih transgenik dapat terjadi di negara Indonesia. Pada
Instrumen pengambilan keputusan kunci ini (Komisi Keamanan Hayati seperti yang
diamanatkan oleh PP No. 21/2005) belum terbentuk sampai saat ini juga, walaupun
disadari bahwa kapasitas kelembagaan dan kepakaran yang telah ada guna melakukan
pengkajian itu sendiri lebih dari cukup. Ketentuan transisional dalam PP 21
memungkinkan implementasi oleh kelembagaan yang lama sepanjang tidak
bertentangan dengan aturan yang ada. saat ini dibutuhkan kelembagaan yang
memayungi adopsi tanaman transgenetika dan sekaligus untuk menjamin arahan
manajemen risiko yang mungkin terjadi pada kemudian hari. KKH yang diamanatkan
oleh PP 21/2005 perlunya segera dibentuk melalui Keputusan Presiden mengingat
dari beberpa potensi manfaat tanaman transgenetika yang telah signifikan dalam
upaya peningkatan produksi dari pangan dan juga penyelesaian untuk dampak dari
pangan transgenetika terhdap Kesehatan petani.

IV. PEMBAHASAN
A. Potensi dan Keamanan Pangan Transgenetika
Identifikasi dari kebijakan yang menyebutkan produk rekayasa genetika utamanya
berada di bawah empat peraturan perundang-undangan, yang disebutkan yaitu :
sistem budidaya oleh (UU No. 12/1992), perlindungan varietas oleh (UU No.
29/2000), pangan oleh (UU No. 7/1996), dan pengkajian keamanan hayati oleh
(UU Lingkungan Hidup No. 23/1997, PP No. 21/2005 mengenai Keamanan
Hayati). Telah dikemukakan hal-hal pokok yang terkait dengan isi UU dan
pemegang mandat dan/atau wewenang juridis dari UU. Wewenang
pengembangan varietas tanaman berada dalam naungan Undang-undang Sistem
Budidaya Tanaman No. 12 Tahun 1992 dengan perintah terhadap Departemen
Pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi tanaman demi kepentingan
nasional. Didalam tataran implementasi untuk menjalankan pelepasan benih
ataupun bibit tanaman telah tertuang didalam beberapa Peraturan Menteri
Pertanian yaitu No. 37/Permentan/OT.140/8/2006 menjelaskan tentang pengujian,
Penilaian, Pelepasan, dan juga Penarikan Varietas. Untuk menganalisis regulasi
dan juga kelembagaan dibutuhkan beberapa dokumen serta informasi mengenai
kebijakan dan juga regulasi keamanan hayati produk rekayasa genetika dan
pelepasan varietas hasil dari rekayasa genetika di Indonesia. Dalam kaitan ini
dilakukan identifikasi dan kategorisasi subyek/topik oleh sistem undang-undang
(UU) dan juga kelembagaannya (pemegang wewenang/perintah). Tinjauan ini
difokuskan terhadap aspek implementatif dan prosedural dari kebijakan dan
regulasi terkait, mengingat bahwa ketentuan hukum berupa peraturan pemerintah
(PP) tentang keamanan hayati yang sudah diterbitkan sejak tahun 2005.
Kesenjangan yang mungkin terdapat ditelaah antara kondisi existing regulasi dan
juga kelembagaan dengan kerangka kebijakan maupun regulasi yang diinginkan
tersebut, meliputi aspek keamanan lingkungan, keamanan pangan atau pakan,
pengujian multilokasi varietas dan perlindungan varietas. Didalam bagian
diharapkan output yaitu berupa uraian menyeluruh mengenai regulasi keamanan
hayati dan juga yang terkait dengannya untuk saat ini. Selain itu juga akan
dikemukakan status keputusan domestic yang terkait pada masing-masing subyek
regulasi yang perintahnya berada di bawah departemen atau lembaga non
departemen sebagaimana dengan yang diamanatkan oleh UU dan/ataupun PP.
didalam pangan produk rekayasa genetika memberikan beberapa manfaat yaitu
antara lain menurunkan harga produk dan/atau manfaat yang dapat lebih besar
(dalam hal daya tahan/simpan atau nilai gizi), namun tetap ada kekhawatiran,
disamping memberikan manfaat, ini juga dapat memiliki resiko yang
menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia khususnya masyarakat
maupun petani. Oleh sebab itu, perlu diambilnya suatu langkah-langkah, baik
melalui cara hukum, administratif, maupun teknis demi menjamin tingkat
keamanan dari pangan. Atas dasar inilah perlu adanya kajian keamanan hayati dan
keamanan pangan yang merupakan suatu langkah kehati-hatian (precautionary
approach). Pengkajian keamanan pangan dari hasil rekayasa genetika secara
umum mencakup :

a) Efek langsung yang terjadi terhadap kesehatan (toksisitas)


b) Kecenderungan yang dapat menyebabkan reaksi alergi (alergenisitas)
c) Komponen spesifik yang juga dapat diduga mempunyai sifat zat gizi atau
sifat toksik (beracun).
d) Stabilitas dari gen yang telah disisipkan
e) Efek nutrisi terkait dengan beberapa modifikasi genetika
f) Efek lain yang tidak diharapkan dengan kemungkinan timbul sebagai
akibat dari penyisipan gen.

B. Analisis dari Permasalahan pangan transgenetika

Beberpa permasalahan yang perlu ditelaah pada kasus pangan trangenetika


Kekhawatiran ini biasa terjadi terhadap pangan produk rekayasa genetika yaitu
mencakup berbagai aspek, antara lain terdapat 3 isu yang sering dipermasalahkan
adalah 
a. Kecenderungan untuk menyebabkan reaksi alergi (alergenisitas)
Pada prinsipnya transfer gen yang diperoleh dari pangan yang
menyebabkan alergi tidak diinginkan kecuali jika memang terbukti bahwa
protein hasil transfer gen tidak bersifat alergenik. Walaupun pangan yang
telah diproduksi secara tradisional umumnya tidak diuji alergenitasnya,
akan tetapi untuk pangan produk rekayasa genetika protokol untuk
pengujian tersebut telah disiapkan dan telah dievaluasi oleh FAO dan
WHO. Namun selama ini tidak ditemukan adanya efek alergi serius
didalam pangan produk rekayasa genetika yang saat ini beredar di pasaran
ataupun masyarakat juga petani.

b. Transfer gen

Transfer gen yang diperoleh dari pangan produk rekayasa genetika ke


dalam sel tubuh ataupun ke bakteri di dalam sistem pencernaan dapat
menimbulkan kekhawatiran jika material genetika yang ditransfer tersebut
dapat merugikan kesehatan manusia ataupun merugikan Kesehatan tubuh .
Hal ini dapat menjadi sangat relevan jika terjadi transfer gen yang resisten
terhadap antibiotik yang juga digunakan dalam pembuatan produk
organisme rekayasa genetika. Meskipun memang sangat kecil peluang
terjadinya transfer tersebut, para ahli dari FAO/WHO telah menyarankan
untuk penggunaan teknologi tanpa gen resisten antibiotika agar tetap
aman.

c. Outcrossing.

Perpindahan ataupun pergerakan gen dari bagan organ tanaman rekayasa


genetika ke tanaman konvensional ataupun spesies yang berhubungan di
alam (disebut sebagai outcrossing), misalnya percampuran produk pasca
hasil panen oleh bibit konvensional dengan produk tanaman rekayasa
genetika, mungkin mempunyai efek yang tidak langsung terhadap
keamanan pangan dan juga ketahanan pangan. Seperti yang terjadi di
Amerika misalnya, dimana jagung yang digunakan untuk dikonsumsi
manusia, setelah diteliti ternyata terdapat sisa/trace jenis jagung yang
hanya diizinkan untuk pembuatan pakan. Beberapa negara telah
menggunakan strategi yang digunakan dalam mengurangi pencampuran
tersebut, termasuk pemisahan yang jelas antara lahan pertanian pada
tanaman rekayasa genetika dengan lahan pertanian untuk tanaman
konvensional.
Dari hasil studi yang telah dilakukan oleh Gilles-Eric Seralini dari Universitas Caen
ditahun 2009 terhadap tikus percobaan yang mengkonsumsi pangan dari hasil
rekayasa genetika didalam jangka panjang, terkuak fakta yaitu bahwa lebih dari 50%
tikus jantan dan 70% tikus betina yang mengalami kematian prematur; tikus yang
diminumkan minuman yang mengandung herbisida mengalami peningkatan ukuran
tumor sebesar 200% hingga 300%; sementara itu tikus yang diberi makan jagung
hasil dari transgenik mengalami kerusakan pada sejumlah organ termasuk kerusakan
hati dan juga ginjal (Khalifamart, 2013). Pada penelitian sebelumnya, A. Putzai dari
Inggris pada tahun 1998 juga melakukan telah melakukan penelitian terhadap tikus
yang diberi pakan kentang transgenik dan menemukan munculnya beberapa gejala
dari organ yang mengalami kekerdilan dan imunodepresi (Haryanti, 2012). Dampak
negative dari tanaman rekayasa genetika pada lingkungan yang dapat sangat
merusak yaitu hilangnya keanekaragaman hayati. Ini dapat terjadi pada salah satunya
melalui polusi gen. Tanaman transgenika pada saat ini telah dikhawatirkan akan
mengancam dari pertumbuhan varietas asli dari tanaman dengan menyebarkan
serbuk sarinya sehingga terjadi persilangan ataupun terjadinya pertukaran gen
dengan tanaman asli yang dapat menjadi penyebab dari tanaman berubah menjadi
tanaman transgenik seluruhnya atau dengan kata lain terjadinya penularan sifat
ermutasinya pada tanaman non transgenik (Cahyadi dalam Karmana 2009). Tidak
hanya merugikan keanekaragaman hayati tanaman saja , melainkan keanekaragaman
hayati hewan pun akan mengalami menjadi ancaman serupa. Hal ini ditunjukkan dari
hasil uji laboratorium pada tanaman transgenik yang mempunyai gen resisten pada
pestisida, yaitu berupa jagung Bt, serbuk sari jagung Bt yang ditaburkan pada
daun milkweed dapat menyebabkan kematian larva spesies kupu-kupu monarch
(Danaus plexippus) (Losey et al., 1999). Kemudian hasil uji inipun mendapat
dukungan dari penelitian yang dilakukan oleh Hansen dan Obrycki (1999) dengan
memberi makan larva kupu-kupu monarch dengan daun milkweed yang sudah
diambil di sekitar ladang jagung Bt. Studi ini menunjukkan bahwa jagung Bt telah
meracuni kupu-kupu monarch yang telah hidup di sekitar ladang jagung tersebut.
Kematian organisme non target inipun dikhawatirkan akan mengganggu suatu
keseimbangan ekosistem akibat musnahnya keanekaragaman hayati kupu-kupu
tersebut dan juga akan menganggu proses penyerbukan maupun kesuburan dari
pertanian masyarakat petani sekitarnya.

Dampak yang juga tidak kalah pentingnya ialah dampak sosial dan  ekonomi.
Apabila tanaman transgenik dibudidayakan secara besar-besaran di semua negara,
maka dikhawatirkan akan terjadinya pergeseran penguasaan benih dari yang semula
milik umum atau common property, didalam hal ini petani menjadi pemilik benih
yang bisa disimpan dan ditanam berulang kali, akan menjadi milik beberapa
perusahaan besar multinasional (sejauh ini ada enam perusahaan multinasional yang
telah memonopoli benih transgenik komersial) (Santosa, 2000). Persaingan didalam
perdagangan dan pemasaran produk pertanian transgenik akan mengakibatkan
ketidakadilan untuk negara agraris berkembang karena adanya kesenjangan teknologi
yang sangat jauh dengan negara maju. Kesenjangan tersebut timbul karena
bioteknologi modern sangatlah mahal sehingga akan berdampak sulit bagi negara
berkembang untuk mengembangkannya. Hak paten yang dimiliki produsen produk
transgenik juga akan semakin menambah dominasi negara maju. Petani yang
menanam benih transgenik tanpa ijin akan mendapat tuntutan ke pengadilan karena
dianggap telah melanggar property right.

V. KESIMPULAN
Di dalam satu sisi perkembangan budidaya tanaman hasil rekayasa genetika sebagai
komoditi pangan cukup pesat dan cepat dan juga dapat menjanjikan, namun di sisi
lain memiliki berbagai kekhawatiran terhadap pemanfaatan tanaman tersebut,
terutama menyangkut masalah Kesehatan masyarakat maupun petani dan juga pada
aspek lingkungan. Pertentangan tersebut wajar adanya mengingat setiap orang
memiliki sudut pandangnyaberbeda-beda. Penerapan teknologi sangat diperlukan
untuk upaya mencari alternatif demi memenuhi kebutuhan pangan, akan tetapi secara
ilmiah saja tidaklah akan cukup, diperlukan etika mengenai norma dan juga nilai-nilai
moral yang digunakan untuk melindungi hak-hak asasi manusia juga melindungi
makhluk hidup lainnya dalam kehidupan. Pengembangan teknologi dan pemanfaatan
sumber daya hayati digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan manusia dan
makhluk hidup lainnya, wajib menghindari konflik moral dan juga tidak
diperkenankan menimbulkan dampak negatif terhadap harkat manusia dan juga
perlindungan terhadap lingkungan hidup lainnya.

VI. DAFTAR PUSTAKA


1. https://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/23-tanaman-transgenik-solusi-atau-
polusi.html
2. https://republika.co.id/berita/gaya-hidup/kuliner/15/03/31/nm2cqp-menyoal-
keamanan-pangan-transgenik
3. https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/162/Pangan-Produk-Rekayasa-
Genetika.html
4. repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/1314/KEAMANAN
%20PANGAN%20PRODUK.pdf?sequence=1&isAllowed=y
5. Jurnal AgroBiogen 6(1):40-48, Analisis Regulasi dan Kebijakan Keamanan
Hayati dan Peluang Keberhasilan Adopsi Benih Transgenik di Indonesia’Edwin
S. Saragih1 , Santun R.P. Sitorus2 , Harianto3 , dan Sugiono Moeljopawiro4,2020
6. ames, C. 2008. Global Status of Commercialized Biotech/GM Crops: 2007.
ISAAA Brief No. 37. ISAAA. Ithaca, NY.
7. Kalaitzandonakes, N. 2003. The economic and environmental impact of
agbiotech: A Global Perspective. Kluwer Academic/Plenum Publ. New York.
8. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). 1997. Agenda 21 Indonesia:
Strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan. Kantor Menteri Lingkungan
Hidup.
9. Moeljopawiro, S. 1999. Managing biotechnology in AARD, Indonesia: Priorities,
funding and implementation. In Cohen, J. (Ed.). Managing Agricultural
Biotechnology:
10. Santosa, Dwi Andreas (2000) ‘Analisis Resiko Lingkungan Tanaman
Transgenik’, Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 3(2):32-36
11. sewindu fakultas MIPA, 2021 “seminar nasional pertanian masa depan “
bioteknologi”
12. Suryanegara, I Wayan (2011) ‘Optimisme dan Pesimisme Rekayasa
Genetika’, http://wayansuryanegara.blogspot.com/2011/12/optimisme-dan-
pesimimsi-rekayasa.html, diakses 8 Oktober 2014.

Anda mungkin juga menyukai