Anda di halaman 1dari 6

GENETICALLY MODIFIED ORGANISM

Isu dan Kontroversi serta Tinjauan Bioetika dan Etika Lingkungan Atasnya

Oleh:

ARNI RAHMAWATI FAHMI SHOLIHAH

Mahasiswa Biomanajemen ITB

“Because biotechnology is such a revolutionary science, and has spawned such a powerful industry, it
has great potential to reshape the world around us. It is already changing agriculture and what many
of us eat. Any major mistakes could lead to tragic and perhaps permanent changes in the natural
world. For these reasons, future generations are likely to look back to our time and either thank us or
curse us for what we do – or don’t do – about GMOs and biosafety. Doing the right thing is not
simple.”
(CBD dan UNEP, 2003)

Penemuan teknologi transfer gen oleh plasmid pada tahun 1973 memberikan perubahan
revolusioner di bidang bioteknologi dalam mengaransemen ulang dan memodifikasi struktur genetis
spesies biologis. Pada tahun 1990an, dilakukan banyak penelitian dan percobaan tekait penerapan
teknologi ini dalam bidang pertanian. Ekspresi protein, penanda genetis, dll telah dilakukan selama
masa ini.
Dalam era ini pula, tanaman pangan termodifikasi mulai diproduksi dalam skala komersial, bukan
hanya sebagai objek di laboratorium. Hingga pada tahun 2000, sekitar 20% jagung, 50% kedelai dan
75% kapas yang diproduksi di Amerika Serikat merupakan tanaman termodifikasi yang memiliki
resistensi terhadap serangga dan herbisida. Tanaman ini merupakan beberapa contoh dari apa yang
kita kenal sebagai Genetically Modified Organism (GMO).
Genetically Modified Organism merupakan organisme yang mengalami perubahan secara genetis
akibat penggunaan teknologi rekombinasi DNA. Penggunaan GMO telah meluas dan dianggap
memiliki berbagai manfaat sebagai berikut.
1. Produksi tinggi sebagai solusi masalah kemiskinan, kelaparan, ketahanan pangan, bahaya
lingkungan.
2. Kualitas terjamin menjadi daya tarik dalam peningkatan competitive advantages.
3. Kesejahteraan petani meningkat karena peningkatan produksi tani.
4. Keamanan dari pengrusakan lingkungan (ekosistem alami).
Selain itu, GMO juga memiliki isu etika dan bantahan secara meluas terkait hal-hal berikut.
1. Solusi ketahanan pangan negara berkembang.
Terdapat dua asumsi yang berhubungan dengan hal ini, yaitu:
a. Kelaparan terjadi akibat perbedaan produksi pangan dan laju pertumbuhan
penduduk.
b. Rekayasa genetika merupakan solusi terbaik atau satu-satunya solusi untuk
meningkatkan produksi pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Nyatanya, kelaparan lebih disebabkan oleh perbedaan akses terhadap pangan. Di satu
tempat melimpah hingga harga jatuh, di satu tempat pangan mengalami kelangkaan. Selain
itu, rekayasa genetika masih memiliki berbagai kendala sehingga belum secara utuh
dianggap sebagai solusi terbaik apalagi satu-satunya solusi dalam bidang pertanian.
2. Jaminan kualitas
Kualitas yang dikatakan “terjamin” pada dasarnya hanya terbatas pada kualitas dari
parameter-parameter pasar yang sengaja dikembangkan oleh industri. Parameter lain yang
tidak tercakup dalam pertimbangan pasar sama sekali tidak terjamin. Misal: parameter
lingkungan, survivabilitas organisme, kesehatan konsumen, dll.
3. Kesejahteraan petani
Peningkatan produksi pertanian dianggap sebagai salah satu kunci mengapa penggunaan
GMO dianggap akan meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, nyatanya kesejahteraan
petani justru terancam karena produk GMO menggunakan hak paten yang dimiliki
perusahan besar. Pelanggaran hak paten (yang banyak tidak dipahami petani awam) justru
dapat menjerat petani dengan keras secara hukum.
Selain itu, meski produksinya tinggi, penggunaan tanaman ini juga membutuhkan input yang
tinggi berupa pemupukan dan pestisida.
4. Keamanan kesehatan konsumen
Produk GMO merupakan organisme hasil rekayasa yang tidak dihasilkan melalui proses
koevolusi dan koadaptasi manusia dengan bahan pangan yang dikonsumsinya. Dengan
begitu, GMO memiliki karakter yang tidak dikenal sehingga tidak dapat dipastikan keamanan
dalam pengonsumsiannya.
Misal jika penggunaan GMO pun merupakan satu-satunya solusi suatu masalah, apakah ia
aman bagi konsumennya? Apakah ia memenuhi aspek Bioetika dari penerapan teknologi
yang berhubungan dengan keberlangsungan hidup manusia?
Dari sisi otonomi, selagi tidak ada paksaan atas penggunaannya, GMO tidak menjadi
masalah. Meskipun begitu, penggunaan GMO belum dapat membuktikan keabsahannya dari
sisi beneficence dan non-maleficence. Jika melihat nasib petani dan konsumen, makan GMO
pun tidak memberikan janji posistif pada konsep justice yang menjadi inti dari Bioetika.
5. Keamanan lingkungan
Sejauh ini, GMO dianggap merupakan solusi masalah lingkungan dengan konsep intensifikasi
yang meminimalkan pengrusakan ekosistem alami. Faktanya, GMO memiliki karakter liar
yang sangat rendah sehingga membutuhkan input maintenance sangat besar. Input pada
sistem ini merupakan salah satu kunci kerusakan lingkungan. misal: masalah pemupukan dan
penggunaan pestisida.
Selain itu, terdapat ancaman keamanan lingkungan dengan dilepaskannya benih ke
ekosistem. Bagaimanapun, penanaman GMO tetap dilakukan dalam sistem yang
berhubungan dengan ekosistem alami. Sangat tidak memungkinkan untuk produksi massal
GMO dalam suatu sistem tertutup. Akibatnya, meski petani telah memberikan proteksi
seketat mungkin, resiko lepasan benih GMO ke lingkungan tetap ada. Dengan sifat
termodifikasinya, terdapat dua kemungkinan atas benih tersebut. Pertama, tidak survive.
Kedua, menjadi spesies alien invasif.
Terkait kemungkinan kedua, GMO merupakan organisme hasil rekayasa yang tidak
dihasilkan melalui proses koevolusi dan koadaptasi spesies asal GMO dengan lingkungan.
Spesies alien berasal dari luar habitat, namun masih menjalani koevolusi dan koadaptasi di
suatu tempat dalam biosfer. GMO sama sekali organisme tak dikenal dalam keseluruhan
sistem biosfer. Karena itu, GMO memiliki karakter yang tidak dikenal yang tingkat bahayanya
melebihi spesies alien invasif non-GMO.
6. Integritas spesies dan kepunahan biodiversitas
Setiap spesies secara evolutif terbentuk dengan kesatuan diri yang menyebabkannya
menjadi satu spesies tunggal dengan karakter genetis yang khas. Hal ini ditentukan oleh
karakter genetis yang dikandung DNA. Pengubahan blue print kehidupan dalam DNA suatu
spesies memiliki resiko pengrusakan integritas spesiesnya.
Penggunaan GMO dalam skala besar dengan karakter alien yang dimilikinya memiliki
kemungkinan merusak dan memusnahkan spesies asli. Dalam kondisi ini, plasma nutfah
spesies asli punah dan digantikan GMO yang secara evolutif tidak dikenal oleh ekosistem.
Padahal sesuai dengan nilai intrinsik (objektif) yang dikandungnya, setiap spesies secara
evolutif memiliki tujuan hidup yang bersifat umum dan setara, terdapat pada semua spesies
terlepas dari hirarki filogenik dan filogenetiknya. Suatu hak yang tidak dapat dibantah untuk
“makan, tumbuh, mencapai kedewasaan, berreproduksi, survive sebagai spesies”.
Mikroba, tumbuhan, hewan (termasuk manusia) memiliki hak ini.
Lalu pertanyaannya adalah,

Apakah kita (sebagai manusia) tidak memiliki hak untuk melakukan revolusi ekosistem
(jika itu terjadi) dengan cara menghasilkan GMO dan memproduksinya secara massal?
Bukankah itu juga merupakan upaya agar kita, human race, dapat survive secara evolutif?

Dalam hal ini, GMO merupakan sebuah fenomena yang dapat ditinjau dari beberapa cara
pandang.
Pertama, dalam tataran etika ekofeminisme, manusia dituntut untuk memahami adanya
keberagaman entitas di alam dengan nilai-nilai yang dimilikinya. Ekofeminisme memandang
bahwa perilaku yang mengutamakan dominansi, manipulasi dan eksploitasi, yang secara
tepat menggambarkan GMO, merupakan karakter androsentris yang dianggap sebagai biang
keladi kerusakan lingkungan. dengan begitu, praktik GMO dianggap tidak sesuai dengan
ekofeminisme.
Kedua, dalam pandangan etika hak asasi alam, jelas praktik GMO melawan hak asasi alam
dimana terjadi pelanggaran atas prinsip-prinsip berikut.
1. Alam memiliki hak untuk tidak diganggu gugat dan dirugikan.
2. Alam memiliki hak untuk tidak dirusak dan dicemari.
3. Alam memiliki hak untuk tidak dibatasi dan dihambat perkembangan, pertumbuhan dan
kehidupannya.
Hak spesies untuk tumbuh, hidup dan berkembang secara alami tanpa intervensi manusia
jelas dilanggar dengan adanya intervensi manusia melalui teknologi yang bersifat
antroposntris demi kepentingan ekonomi belaka.
Ketiga, berdasarkan sifatnya yang merupakan makhluk hidup, kita dapat mengasumsikan
adanya kesamaan pandangan dari pandangan etika biosentris dan ekosentris. Menurut
keduanya, setiap spesies memiliki nilai intrinsik berupa eksistensi dan survivabilitasnya
sebagai entitas yang bermanfaat bagi dirinya sendiri. Dengan nilai intrinsik ini, setiap
spesies memiliki hak yang setara dalam hal pencapaian tujuan hidup untuk tumbuh,
berreproduksi dan sintas.
Secara ekologis, setiap spesies memiliki niche yang ditentukan oleh selang toleransi dan
kemampuannya memanfaatkan sumber daya. Masalahnya adalah, dalam tataran kompetisi
untuk mencapai tujuan hidup tersebut, manusia memiliki kelebihan atas kemampuannya
dalam berfikir dan menciptakan teknologi. Manusia adalah raksasa alam dalam hal proporsi
otak yang memungkinkannya menciptakan perubahan di alam (nature and ecosystem
engineer) untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan kenyamanannya dalam skala besar dan
signifikan. Di saat hewan lain membentuk populasi dan komunitas, manusia
mengembangkan kebudayaan dan menciptakan peradaban. Dengan begitu, manusia mampu
secara signifikan memperbesar dan memperluas niche yang dimilikinya.
Jika dilihat, ini adalah competitive advantages dari manusia dalam proses seleksi alam yang
menyebabkannya “membludak” dan memenuhi nyaris seluruh dunia. Dengan kemampuan
dan toleransi fisik yang sangat terbatas, manusia mendiami dari kutub hingga daerah tropis,
dari puncak pegunungan hingga menjelajah lautan. Bahkan, manusia telah menjejakkan kaki
di Bulan.

Apakah salah jika manusia memanfaatkan kelebihannya untuk menggunakan makhluk


hidup lain demi menjaga kesintasannya?

Secara etika (biosentris dan ekosentris), tentu ini tidak benar. Sebagai makhluk hidup
dengan tujuan hidup yang setara dalam ekosistem, manusia memiliki hak untuk bertahan
hidup namun harus menjaga hak tersebut agar tidak melanggar hak bertahan hidup spesies
lain. Hak bertahan hidup manusia dibatasi oleh hak bertahan hidup spesies lain. Sebesar
apapun niche yang dimiliki manusia pada akhirnya, tetap tidak ada hak dari manusia untuk
menghilangkan niche spesies lain.
Kemudian, muncul pertanyaan baru.
Bukankah manusia menciptakan GMO yang tetap memiliki banyak keserupaan dengan
spesies asal? Kenapa GMO serta merta dianggap memunahkan spesies asal?

Seperti yang telah disebutkan di awal, DNA merupakan blue print kehidupan. Perangkat ini
merupakan penentu survivabilitas spesies, dan secara simultan merupakan penentu “spesies
apakah” ia. Gen yang dikandung dalam DNA bukan merupakan perangkat-perangkat yang
independen. Gen dalam DNA saling terkait satu sama lain. Pengubahan suatu bagian akan
memberi dampak pada bagian lain.
Pemunculan sifat resistensi pada suatu faktor, bisa jadi memicu ketidakmampuan reproduksi
secara normal. Misalnya, GM pisang yang resisten penyakit tertentu namun tidak memiliki
kemampuan menghasilkan perbungaan. Daam kasus lain, pengubahan warna pada bunga
sehingga lebih laku di pasar komersial menyebabkannya kehilangan polinator. Secara jelas,
di alam, segala perubahan memiliki konsekuensi, kita sadari ataupun tidak. Dan konsekuensi
ini, meski tidak secara kangsung dirasakan oleh manusia, tetap akan ditanggung oleh spesies
bersangkutan, atau setidaknya individu anggota spesiesnya yang dimodifikasi. Hal ini
melanggar hak bertahan hidup dan konsep integritas spesies.
Dalam skala ekosistem, setiap spesies memiliki niche. Meskipun ekosistem telah memiliki
pengaturan diri yang kompleks dan mekanisme guild (kumpulan spesies dengan niche)
serupa, ketiadaan atau ketidakberfungsian suatu spesies secara normal dari suatu guild
tetap akan memberi pengaruh pada ekosistem. Akan ada suatu mata rantai, kasat mata atau
tidak, yang terpengaruhi oleh keberadaan GMO di alam. Dan secara holistik, keterkaitan
antar mata rantai ekosistem akan menyebabkan perubahan di alam. Satu GMO, jika
memberikan pengaruh di titik yang tepat, akan dapat memberi dampak sangat besar dan
mempengaruhi survivabilitas dan, bisa jadi, integritas spesies lain.
Karena itu, langsung atau tidak langsung, GMO akan memicu kepunahan suatu spesies. Hal
ini secara jelas bertentangan dengan prinsip no harm dan no interference versi biosentrisme
yang sejalan dengan itu juga melanggar konsep etika ekosentrisme.
Keempat, kita dapat melihat dari sisi antroposentris. Antroposentrisme memandang
manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Hanya manusia yang memiliki nilai dan
mendapatkan perhatian serta hak moral. Alam dianggap hanya sebagai objek, alat dan
sarana pemenuhan kebutuhan manusia. Alam dalam pandangan antroposentrisme,
dianggap tidak memiliki nilai intrinsik untuk dirinya sendiri. Jikapun manusia memiliki
tanggung jawab moral dan kewajiban menjaga alam, semata adalah untuk kepentingan
manusia juga.
Dalam hal ini, manusia sebaik-baiknya, merupakan aristokrat biologis yang memiliki
kewajiban moral untuk menjaga, melindungi dan melayani semua yang ada di bawah
kekuasaannya secara baik. Dengan begitu, alam akan berjalan sesuai dengan kondisi yang
dibutuhkan manusia. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang memiliki posisi moral
positif yang lebih mudah diterima manusia dan memberi daya tarik kuat dalam upaya
perlindungan lingkungan.
Sesuai dengan prinsip ini, sejauh ini justru keberadaan GMO menjadi sebuah ganjalan
kesejahteraan dan kebertahanhidupan manusia. Dengan mengulangi berbagai argumen
sebelumnya, GMO memiliki berbagai kelemahan dan resiko sebagai berikut.
1. Tidak menjadi solusi ketahanan pangan negara berkembang.
2. Terdapat beragam parameter kualitas (di luar parameter ekonomis) yang tidak
diperhitungkan.
3. Merupakan ancaman bagi kesejahteraan petani dan secara umum hanya
menguntungkan secara ekonomi bagi perusahaan besar yang memiliki hak paten.
Dengan begitu, manfaat ekonomi GMO hanya dapat dinikmati segelintir orang.
4. Memiliki resiko tinggi bagi kesehatan konsumen.
5. Memiliki kemungkinan merusak lingkungan yang pada gilirannya akan merugikan
manusia akibat perubahan yang tidak diantisipasi dan tidak dapat ditanggulangi.
Lantas, apakah paparan di atas menunjukkan bahwa manusia, untuk tujuan apapun, tidak memiliki
hak untuk mengaplikasikan teknologi GMO?
Pada dasarnya, masih terdapat satu kondisi yang memungkinkan keabsahan penggunaan GMO
secara etika. Kondisi tersebut merupakan masa krisis ketahanan pangan yang harus memenuhi dua
asumsi berikut, sebagaimana telah disebutkan di awal.
1. Kelaparan terjadi akibat perbedaan produksi pangan dan laju pertumbuhan penduduk.
2. Rekayasa genetika merupakan solusi terbaik atau satu-satunya solusi untuk meningkatkan
produksi pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Dalam kondisi ini, manusia berada pada titik dimana jika tidak menggunakan GMO, maka manusia
punah. Argumentasi etika apapun, tidak dapat lagi meniadakan kebutuhan aplikasi GMO. Dan sejauh
ini, hal ini tidak terjadi.
Kemudian, dengan kondisi ini pula, konsekuensi lingkungan macam apapun dari GMO mau tidak
mau harus diterima oleh manusia. Karena pada dasarnya, perubahan merupakan satu-satunya
kepastian dalam sistem alami. Dengan atau tanpa GMO, perubahan dan konsekuensi lingkungan
akibat aktivitas manusia pasti ada. Hanya saja, seberapa tinggi batas perubahan signifikan yang
dapat ditanggung manusia?
Dalam kerangka sejarah, perubahan dan feedback yang diakibatkannya pasti suatu saat akan
mencapai equilibrium. Namun ....

Kapan dan dalam level seperti apa equilibrium itu tercapai?


Apakah manusia sudah siap untuk menerima segala konsekuensi yang disebabkan oleh
tindakannya hingga equilibrium tersebut dicapai?
Dalam kondisi seperti apa manusia akhirnya bisa bertahan dalam equilibrium tersebut?
Lebih baik atau lebih burukkah kondisi manusia?
Apakah perubahan yang diakibatkan GMO masih berada dalam selang toleransi yang dapat
diantisipasi manusia?
Ataukah penggunaan GMO pada akhirnya hanya menunda sejenak kepunahan manusia?

Anda mungkin juga menyukai