Anda di halaman 1dari 7

Nama : Syavira Raenata Rahmadani

NIM : 1700851
Mata Kuliah : Kajian Masalah Matematika
Dosen : Dr. Nurjanah, M.Pd.

Judul Artikel : Learning fractions with and without educational technology: What
matters for high-achieving and low-achieving students?
Penulis : Frank Reinhold, Stefan Hoch, Bernhard Werner, Jürgen Richter-
Gebert, Kristina Reiss
Volume : Volume 65, February 2020, 101264
DOI : doi: doi.org/10.1016/j.learninstruc.2019.101264
Judul Jurnal : Learning and Instruction

1. Resume
Pemahaman pecahan digunakan dalam mencapai matematika yang lebih tinggi seperti
aljabar. namun banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep pecahan
sebagai pemahaman dasar untuk matematika yang lebih tinggi. kesalahan yang paling sering
terjadi pada materi pecahan adalah tentang natural number bias ya itu untuk menggunakan
konsep dari bilangan asli untuk menginterpretasikan bilangan rasional dan pecahan. untuk 2
anggota bilangan asli ada banyak cara untuk menotasikan pecahan 3/4 yaitu anggota bilangan
rasional sebagai contoh pecahan 3/4 = 6/8 = 9/12. Salah satu contoh miskonsepsi yang paling
sering terjadi adalah "perkalian antar bilang itu membuat bilangan menjadi lebih besar " hal ini
benar untuk bilangan asli namun tidak benar untuk himpunan bilangan rasional contohnya nya
1/2 . 3/4 = 3/8 di mana 3/8 lebih kecil dari 1/2 dan 3/4.
Berdasarkan cognitive load theory, memori kerja manusia itu terbatas dan oleh karena itu
dibutuhkan pembelajaran yang efektif untuk menghindari beban berlebih dari kapasitas kognitif
manusia. topik yang diangkat oleh penulis adalah mengembangkan elaborasi konsep dari
pecahan yang dapat dianggap sebagai tugas belajar yang sangat interaktif, karena siswa tidak
hanya harus mempelajari konten baru Namun juga harus mengubah konsep mereka tentang
bilangan
Berdasarkan cognitive theory of multimedia learning, kata-kata dan gambar dianggap
diproses dalam struktur kognitif yang berbeda dengan kapasitas yang terpisah. Pada kasus
pecahan, prinsip multimedia dapat direalisasikan saat mengembangkan bahan atau materi, siswa
perlu penggeseran konsep bergeser antara representasi symbolic dan iconic dari pecahan selama
pengembangan konsep pecahan dasar.
Berdasarkan integrated model of text and picture comperhension, memproses atau
memahami teks dan gambar dengan konten yang sama, dapat menyebabkan representasi mental
yang berbeda. Pada kasus pecahan dapat diilutrasikan dengan membandingkan struktur yang
melekat pada garis bilangan dan diagram lingkaran, keduanya merupakan representasi iconic dari
pecahan.
Ketiga teori tersebut, menawarkan pedoman umum untuk desain pengajaran dengan kualitas
tinggi yang umumnya telah disepakati dalam bidang ilmu sosial dan pendidikan matematika.
Penulis memfokuskan pada tiga aspek implementasi teknologi yang telah terbukti bermanfaat
untuk pembelajaran: perwujudan (embodiment), adaptasi (adaptivity), dan umpan balik
(feedback). Penulis juga mengikuti gagasan embidied cognition theory “sederhana”, yang
dianggap sejalan dengan kerangka teori klasik ilmu kognitif: perwujudan (embodiment)
diharapkan mempengaruhi pengorganisasian dan pemrosesan pengetahuan. Dalam teori ini, salah
satu aspek yang diperhatikan adalah penggunaan perangkat layar sentuh, yaitu dengan gerakan
atau gestur yang dilakukan sesuai dengan konteks diharapkan akan bermanfaat bagi
pengembangan konsep yang diuraikan, terutama di bidang matematika. Sebagai contoh,
memotong pizza dengan menggesekkan layar sentuh dapat dianggap sebagai gerakan atau gestur
yang kongruen (dapat menambah pemahan belajar), sementara memotong pizza dengan
mengklik serta menunjuk dengan mouse di komputer dianggap bukan gerakan kongruen.
Adaptivity pada lingkungan belajar digital dapat diartikan sebagai variasi otomatis dari
parameter lingkungan belajar, misalnya tingkat kesulitan tugas, dan adaptivity berdasarkan
respons siswa saat bekerja di lingkungan itu contohnya adalah jawaban yang benar atau salah.
Dikatakan bahwa penyesuaian tingkat kesulitan tugas dapat menurunkan beban kognitif. Pada
kasus pecahan, perubahan konseptual tampaknya sangat diperlukan, penyesuaian tingkat
kesulitan tugas memainkan peran yang penting: jika tugas terlalu mudah, siswa mungkin tidak
memiliki tanggung jawab untuk menambah konsep bilangan asli yang mereka miliki. Jika tugas
terlalu sulit, mereka mungkin tidak akan menerapkan konsep new-to-learn.
feedback dapat dikatakan sebagai umpan balik eksternal yang diberikan kepada siswa oleh
seorang guru atau lingkungan belajar digital sebagai reaksi langsung terhadap solusi yang siswa
berikan terhadap suatu tugas. Penelitian menunjukkan bahwa umpan balik penjelas individu
dapat mendukung siswa dalam menutup kesenjangan terkait mata pelajaran, dalam mengatasi
kesalahpahaman, dan dalam mengembangkan konsep yang diuraikan.
Salah satu masalah serius dari banyak penelitian yang telah dilakukan tentang penggunaan
fitur teknologi pendidikan di sekolah adalah kurangnya perangkat lunak yang dikembangkan
untuk mendukung kurikulum. Dalam menyikapi maslah tersebut, penulis mengembangkan buku
teks elektronik tentang konsep pecahan dasar, eBook ini mengacu pada kemampuan intuitif dan
persepsi dengan representasi pecahan non-simbolik dan menghubungkannya dengan pecahan
simbolik. Kami menganggap scaffold akan lebih menguntngkan siswa low-achieving daripada
siswa high-achieving.
Peneliti mengikuti desain penelitian konstruktif pre-post-control yaitu dengan dua kelompok
perlakuan dan satu kelompok kontrol yang mempelajari konsep dasar pecahan:
1) scaffolded curriculum group, kelompok ini belajar pecahan dengan menggunakan
perangkat lunak interaktif yang penulis kembangkan pada iPads.
2) curriculum group, kelompok ini menggunakan buku teks yang sama dengan scaffolded
curriculum group, hanya saja bedanya kelompok curriculum group tidak menggunakan
perangkat elektronik melainkan print-out dari buku teks tersebut.
3) Traditional group, kelompok ini menggunakan buku teks konvensional, di mana para
guru bebas untuk memilih bagaimana mencapai tujuan pendidikan yang dikelola.

Pada studi 1 ada 745 siswa high-achieving (46% diantaranya perempuan) dari Gymnasium
Jerman. Pada studi 2 ad 260 siswa low-achieving (42% diantaranya perempuan) dari
Hauptschule atau Mittelschule, Jerman, total sampel N = 1005 siswa.
Penulis memikirkan latihan yang berfokus pada transisi antara berbagai representasi pecahan
non-simbolik dan simbolik sebagai tugas yang bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan
konseptual pecahan, penulis juga berasumsi bahwa penting untuk mengurangi beban belajar
kognitif. Dengan demikian, menurunkan beban kognitif asing adalah tujuan utama kedua dalam
pengembangan materi kami. eBook yang dibuat oleh penulis ini memungkinkan untuk kegiatan
langsung dan termasuk total 90 latihan interaktif dan adaptif. Penulis memanfaatkan teknologi
layar sentuh, dan menerapkan adaptifitas dan umpan balik individu sebagai tujuan utama ketiga
dalam pengembangan materi. eBook dirancang untuk penggunaan landscape pada iPad 12,9 ”.
Halaman buku teks ditampilkan dalam \ dua kolom. Widget diprogram untuk dijalankan dalam
mode layar penuh dan dapat dimulai dengan menyentuhnya di halaman buku teks.
Contoh gambar

Setelah mengembangkan eBook, versi pembelajaran berbasis kertas dibuat sebagai salinan
eBook tersebut. Untuk itu, kami mencetak 5-6 item dari masing-masing 90 widget: Konten terdiri
dari teks buku pendek serta ringkasan dalam rumus yang memberikan contoh umum . Dengan
demikian, kami berasumsi bahwa siswa yang menggunaka print-out dari eBook dapat mengambil
manfaat dari konten dan desain yang kami kembangkan.
Penulis berpikir bahwa menyelesaikan pengetahuan konseptual memerlukan pemahaman
konseptual dari pecahan, terutama miskonsepsi tentang penyederhanaan pecahan (di sini:
mengurangi dua bagian, atau membaginya dengan 2). Kami dengan ini mengikuti argumen yang
diterima secara umum mengenai penggunaan representasi di bidang pendidikan matematika.
Pretes dilakukan pada 15 menit pertama saat pelajaran pertama, postes (55 menit) dilakukan
setelah empat minggu. Siswa mengambil kedua tes secara anonim atas dasar sukarela dan dengan
persetujuan orang tua mereka.
Selama pembelajaran, siswa dari scaffolded curriculum group bekerja dengan eBook di iPad.
Siswa pada kelas curriculum group bekerja dengan versi salinan kertas selama pengajaran di
kelas. Sedangkan, Siswa dan guru dari traditional group tidak menerima bahan dari penulis
sebelum dan selama pembelajaran
Guru diwawancarai setelah proses pembelajaran untuk memeriksa apakah para guru
memberikan pelajaran sesuai dengan yang telah diarahkan (misal, mencakup semua topik, total
waktu pengajaran):
1) Untuk traditional group, penulis menganggap implementasinya memadai, tujuan
pendidikan yang diberikan semuanya berhasil ditangani selama proses. Guru dalam
kelompok ini menyatakan bahwa tujuan tercapai.
2) Untuk curriculum group, penulis menganggap penerapannya sudah baik, tujuan
pendidikan yang diberikan semuanya ditangani selama proses, semua 90 tugas (yaitu,
versi cetak dari widget di eBuku) dikerjakan setidaknya sekali. Guru dalam kelompok ini
menyatakan bahwa ini telah diwujudkuan.
3) Untuk scaffolded curriculum group, penulis menganggap penerapannya sudah baik,
tujuan pendidikan yang diberikan semuanya ditangani selama proses, semua 90 tugas dari
eBook dikerjakan setidaknya sekali. Guru dalam kelompok ini menyatakan bahwa ini
telah diwujudkuan.
Intercept menggambarkan tentang perkiraan kemungkinan siswa mendapatkan jawaban
yang benar pada item kesulitan rata-rata dari rata-rata siswa dalam traditional group, yaitu, siswa
yang tidak memiliki akses ke media interaktif dan adaptif dan tidak diajari mengenai kurikulum
pecahan yang diuraikan penulis. Perbedaan antara kelompok diselidiki melalui analisis post hoc
menggunakan kontras Tukey. Untuk itu, kami menggunakan paket multcomp.
Penulis memeriksa apakah siswa high-achieving dan low-achieving, anak perempuan dan
laki-laki, dan siswa dari tiga kelompok intervensi berbeda dalam hal pengetahuan sebelumnya
tentang pecahan sebelum proses. Secara khusus, penulis memeriksa apakah siswa yang memiliki
akses ke media interaktif dan adaptif (siswa dari scaffolded curriculum group) atau hanya
dengan kurikulum pecahan yang diuraikan (siswa dari curriculum group) menunjukkan
kemungkinan yang lebih tinggi untuk mendapatkan jawaban yang benar di postes pada pecahan
daripada siswa diajarkan dengan bahan tradisional.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa baik scaffolded
curriculum group, curriculum group , dan traditional group pembelajaran dengan atau tidak
menggunakan media interaktif, tidak terlalu berpengaruh pada pengetahuan prosedural pecahan
pada siswa high-achieving. Namun, sebaliknya dari hasil penelitian yang dilakukan penulis,
terbukti bahwa media interaktif yang digunakan sangat berpengaruh pada siswa low-achieving,
maka, penulis menyimpulkan bahwa media interaktif dan adaptif tersebut diperlukan dalam
pembelajaran di kelas, karena media interaktif dan adaptif tersebut dapat membuat siswa lebih
memfokuskan diri terhadap permainan yang ada dihadapannya, sehingga siswa dapat mengerti
dengan baik materi yang disampaikan, serta dapat memunculkan output dan outcome yang baik.

2. Review
Pada jurnal tersebut dijelaskan tentang media interaktif dan adaptif yang dibuat oleh penulis
dalam materi pecahan. Penulis mengatakan bahwa media tersebut berupa perangkat lunak
(eBook) yang bisa diterapkan pada iPad. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa metode
tersebut berhasil membantu siswa low-achieving dalam memahami materi pecahan. Cara ini
sangatlah efektif untuk menunjukkan pada siswa bagaimana pecahan dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari, bagaimana cara mencari pecahan yang senilai, dll.
Namun, sayangnya cara ini masih terdapat celah untuk bisa diterapkan di Indonesia, dalam
jurnal tersebut penulis mengatakan bahwa salah satu masalah yang sering terjadi di sekolah-
sekolah di Jerman adalah tidak adanya perangkat lunak yang mendukung pembelajaran.
Sedangkan di Indonesia, tak semua sekolah memiliki perangkat keras dan jaringan internet yang
diperlukan, oleh karena itu, sekolah tidak bisa menggunakan eBook tersebut.
Pada umumnya, sudah banyak siswa di Indonesia yang memiliki ponsel genggam layar
sentuh yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran, namun jika dilihat dari jurnal dapat
ditangkap bahwa penulis mengembangkan media eBook tersebut hanya dapat digunakan pada
iPad yang berbasis ios, sedangkan untuk di Indonesia sendiri tak banyak siswa yang memiliki
ponsel genggam berbasis ios, mungkin saat penulis membuat eBook tersebut, penulis sudah
memperhatikan serta memperkirakan daerah tempat ia akan melakukan proses penelitian, yaitu
Jerman.
Namun, untuk lebih baiknya penulis mungkin dapat membuat media yang dapat digunakan
baik diperangkat berbasis ios maupun android, sehingga siswa dari seluruh dunia dapat
menggunakan media tersebut, atau juga bisa diterapkan dalam komputer atau laptop, sehingga
untuk siswa yang tidak memiliki ponsel genggam bisa menggunakan komputer di sekolahnya.
Tetapi, tetap saja hal ini tidak mungkin diterapkan di Indonesia sebab tidak meratanya fasilitas
komputer di Indonesia menjadi salah satu hambatan tersendiri.
Namun, dalam proses penelitiannya pada curriculum group penulis memberikan print-out
dari eBook tersebut, dengan gambar yang sama persis dari media eBook yang dibuat penulis, hal
ini juga cukup membantu siswa low-achieving dalam memahami materi pecahan, namun tidak
sebaik menggunakan eBook yang memiliki fitur interaktif dan adaptif yang dapat dimainkan di
iPad. Cara ini, bisa diterapkan di Indonesia, dengan memperhatikan gambar yang menarik siswa
juga dapat lebih memfokuskan dirinya terhadap pembelajaran.
Namun, untuk guru-guru yang di sekolahnya terdapat perangkat proyektor, guru dapat
menggunakan media power point atau video sebagai wujud visualisasi materi pecahan, guru
dapat membuat media power point atau video yang berisi tentang bagaimana pecahan digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, seperti bagaimana cara memotong sebuah martabak menjadi 4
bagian sama besar, atau bisa juga untuk mengetahui bagaimana bentuk pecahan yang senilai,
bagaimana menentukan ½ bagian dari suatu bilangan, dll. power point atau video tersebuut
dapat dibuat menyerupai media interaktif yang dibuat oleh penulis jurnal tersbeut, namun tidak
sama dengan media yang dibuat oleh penulis, media power point atau video ini tidak melibatkan
gerakan tangan dari siswa, siswa tidak dapat memindahkan balok untuk membentuk pecahan
senilai, atau pun memotong pizza menjadi 8 bagian. Siswa hanya dapat melihat peristiwa-
peristiwa tersebut melalui layar pada depan kelas, sehingga siswa tidak merasakan pengalaman
langsung dengan media interaktif yang diberikan.
Tetapi, media power point atau video ini cukup bagus untuk diterapkan di Indonesia, oleh
sebab itu, mungkin penulis jurnal dapat membuat media berbentuk media power point atau
video juga, agar semua kalangan bisa merasakan media tersebut, karena sejatinya media itu
dibuat untuk membantu siswa dalam memahami materi yang dianggap sulit, dan media itu bisa
digunakan oleh siapapun.

Anda mungkin juga menyukai