PENULIS:
SHAFA ADRISTI
WAHYU FIRMANSYAH
QURROTA A’YUNI
MIRNA VEANDA RISTA AGUSTIN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
bahan ajar yang berjudul “Ranah Penerapan Semantik pada Tataran
Linguistik Mikro dan Makro” dapat tersusun sesuai batas waktu yang telah
ditetapkan. Bahan ajar ini dilengkapi dengan teori, peta konsep (mindmapping),
dan hyperlink yang bersumber dari hasil bacaan dan pendapat ahli terkait yang di
dapatkan dari hasil bacaan buku konvensional maupun media digital agar materi
yang dipaparkan dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Penulis
berharap semoga bahan ajar ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca mengenai studi linguistik dan implikasinya terhadap subdisiplin yag
lainnya. Dengan dibuatnya bahan ajar ini, semoga mampu menambah informasi
dan wawasan pembaca mengenai materi semantik. Bagi kami sebagai penyusun
merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga bahan ajar ini bermanfaat dan
mampu menunjang dalam kegiatan pembelajaran mata kuliah yang relevan.
Penyusun
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
A. PENDAHULUAN
1. Ruang Lingkup Pembahasan
2. Tujuan Pembelajaran
B. MATERI RANAH PENERAPAN SEMANTIK PADA TATARAN
MAKRO LINGUISTIK
1. Kedudukan Semantik dalam Kajian Kebahasaan Mikrolinguistik
2. Penerapan Semantik pada Tataran Fonologi
3. Penerapan Semantik pada Tataran Morfologi
4. Penerapan Semantik pada Tataran Sintaksis
5. Penerapan Semantik pada Tataran Fonologi
6. Penerapan Semantik pada Tataran Wacana
C. MATERI RANAH PENERAPAN SEMANTIK PADA TATARAN
MAKROLINGUISTIK
1. Kedudukan Semantik dalam Kajian Kebahasaan Makrolinguistik
2. Penerapan Semantik pada Tataran Sosiolinguistik
3. Penerapan Semantik pada Tataran Psikolinguistik
4. Penerapan Semantik pada Tataran Kedwibahasaan
5. Penerapan Semantik pada Tataran Sosiolinguistik
6. Penerapan Semantik pada Tataran Pragmatik
D. UJI KOMPETENSI
DAFTAR PUSTAKA
A. PENDAHULUAN
Secara umum, isi buku ini terbagi atas dua tema besar yaitu penerapan semantik
pada tataran mikrolinguistik dan penerapan semantik pada tataran
makrolinguistik. Secara rinci buku ini berisikan uraian:
2. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menginterpretasi kedudukan semantik dalam
kajian kebahasaan mikrolinguistik dengan baik dan cermat
2. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran fonologi dengan baik dan cermat.
3. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran morfologi dengan baik dan cermat.
4. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran sintaksis dengan baik dan cermat.
5. Mahasiswa mampu menginterpretasikan kedudukan semantik dalam
kajian kebahasaan makrolinguistik dengan baik dan cermat.
6. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran sosiolinguistik dengan baik dan cermat.
7. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran psikolinguistik dengan baik dan cermat.
8. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran kedwibahasaan dengan baik dan cermat.
9. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran pragmatik dengan baik dan cermat.
A. MATERI RANAH PENERAPAN SEMANTIK PADA TATARAN
MAKRO LINGUISTIK
1. Kedudukan Semantik dalam Kajian Kebahasaan (Linguistik Mikro)
Kedudukan semantik dalam linguistik adalah termasuk dalam tataran linguistik
mikro. Linguistik mikro merupakan bidang linguistik yang membahas bahasa dari
dalam, dengan kata lain mempelajari struktur bahasa itu sendiri. Secara terperinci
kedudukannya terdiri atas: tata bahasa (gramatikal) dan leksikon.
Chaer (2013:3) menyatakan bahwa semantik dalam sejarah linguistik ada pula
yang menggunakan istilah seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik,
dan semik yang mempelajari makna atau arti suatu tanda atau lambang. Namun,
istilah semantik lebih umum digunakan dalam bidang linguistik karena istilah
lainnya lebih luas cakupannya, yang meliputi lambang pada umumnya. Tanda
tersebut meliputi tanda-tanda lalu lintas, kode Morse, dan tanda dalam ilmu
matematika.
Pada tataran fonologi (fonemik) juga tidak terdapat semantik. Fonem yang
merupakan kajian studi fonemik memang memiliki fungsi untuk membedakan
makna kata, namun fonem itu sendiri tidak memiliki makna. Verhar ( dalam
Chaer, 2013:8) membandingkan fonem sebagai garis pemisah antara kiri dan
kanan di jalan raya. Garis tersebut memiliki fungsi sebagai pemisah, namun tidak
memiliki arti sehingga dengan mudah dapat dilanggar.
Dapat disimpulkan bahwa tidak semua tataran bahasa memiliki masalah semantik.
Semantik kemudian diartikan sebagai istilah yang digunakan dalam bidang
linguistik yang berhubungan dengan tanda linguistik dengan hal yang ditandainya
atau bisa disebut juga kajian tentang makna bahasa. Semantik juga dapat diartikan
sebagai ilmu tentang makna yang memiliki tiga tataran analisis: fonologi,
gramatika, dan semantik (Chaer, 2013). Tataran fonetik yang merupakan studi
yang mempelajari bunyi tanpa memperhatikan fungsi bunyi sebagai pembeda
bahasa, maka tidak ada semantik karena fon sebagai satuan fonetik tidak memiliki
makna. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa cakupan semantik hanyalah makna
bahasa sebagai alat komunikasi verbal dan bukan hanya sekedar makna bunyi dan
lambang lainnya.
● Membaca = memiliki makna melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis
● Pembaca = orang yang sedang melakukan aktivitas baca
● Bacaan = buku dan media cetak maupun noncetak yang dibaca
● Terbaca = hal yang dapat dibaca sehingga mampu mengetahui sesuatu yang
tersirat di dalamnya.
Dua kalimat di atas dibentuk dari unsur atau kata yang sama. Susunan keduanya
sama-sama benar atau memenuhi kaidah sintaksis. Walau demikian, makna dari
kedua kata tersebut tidaklah sama. Kalimat (1) dapat dimaknai sebuah barang
yang diacu dalam kalimat dijamin atau dapat dipastikan tidak luntur, sedangkan
kalimat (2) menyiratkan makna bahwa sebuah barang yang diacu dalam kalimat
memiliki kemungkinan untuk luntur.
Kalimat didefinisikan sebagai runtutan kata yang gramatikal dan memuat makna
lengkap (Parera, 2004). Makna kalimat tidak hanya ditentukan oleh jumlah unsur
pembentuknya, tetapi juga runtunan atau urutan dari unsur-unsur pembentuknya.
Asumsi tersebut kemudian menjadi titik tolak klasifikasi makna menjadi makna
leksikal dan makna struktural (gramatikal) (Suhardi, 2015). Makna leksikal
merupakan makna berdasarkan kamus, sedangkan makna struktural adalah makna
kata dalam kalimat. Parera (2004) menyatakan bahwa makna sebuah kalimat
merupakan kombinasi antara makna leksikal unsur pembentuknya dan makna
strukturalnya. Dalam ilmu semantik, pendekatan yang mengkaji makna dengan
paradigma tersebut merupakan pendekatan semantik kombinatarial.
5. Penerapan Semantik pada Tataran Wacana
Kohesi adalah tuturan yang disusun secara padu dan padat pada sebuah wadah
kalimat (Tarigan, 2009). Dalam wacana, hubungan kohesi dan wacana sebenarnya
merupakan ‘hubungan semantis’. Artinya hubungan itu terjadi antarposisi. Secara
struktural, hubungan direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara
kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan tersebut terkadang
ditandai dengan alat-alat leksikal, namun terkadang pula oleh tanda penanda
(Kridalaksana, 1993). Sudah disebutkan bahwa sebuah wacana dikatakan baik
apabila wacana tersebut kohesif dan koherens. Pada Chaer, 2012:268-269
menyebutkan bahwa pengulangan-pengulagan yang tempak memang kohesif,
belum tentu di dalamnya terdapat kekoherensian. Perhatikan contoh berikut yang
kohesinya tampak benar, namun ternyata tidak koherens. Setiap kalimat pada
wacana berikut tampak merupakan kalimat yang membawa isinya masing-masing.
(1) Telaga Madirda adalah salah satu telaga yang indah di Kabupaten
Karanganyar. (2) Di alun-alun Karanganyar sudah dipadati penjual dan pembeli
sejak awal 2021. (3) Antara Karanganyar dan Solo dihubungkan dengan adanya
jembatan Bengawan Solo. (4) Setiap hari minggu pagi, di sepanjang Jalan Slamet
Riyadi Solo di adakan Car Free Day atau CFD.
Kalimat (1) berisi tentang salah satu telaga di Karanganyar; kalimat (2) tentang
alun-alun Karanganyar yang sudah dipadati penjual pembeli; kalimat (3) tentang
penghubung Karanganyar dan Solo; dan kalimat (4) tentang CFD di Solo. Terlihat
bahwa ke empat kalimat tersebut memiliki isinya masing-masing, padahal wacana
tersebut kohesif, yang ditandai dengan adanya hubungan kalimat (1) dan (2)
dengan kata Karanganyar; kalimat (2) dan (3) dengan kata Solo; dan kalimat (3)
dan (4) tentang solo juga namun berbeda isinya, tidak sejalur. Sehingga teks di
atas bukan merupakan wacana yang baik, karena tidak merupakan satu keutuhan
‘isi’ satu ujaran. Memang memenuhi persyarakatan kekohesifan, namun tidak
koherens.
B. MATERI RANAH PENERAPAN SEMANTIK PADA TATARAN
MAKROLINGUISTIK
Adanya hubungan yang erat antara bahasa dengan aspek kejiwaan manusia
ditandaiadanya psikolinguistik sebagai suatu disiplin ilmu. Dalam proses
menyusun dan memahami pesan lewat kode kebahasaan, unsur-unsur kejiwaan
seperti kesadaran batin, pikiran, asosiasi,maupun pengalaman, jelas tidak dapat
diabaikan peran sertanya. John Locke mengungkapkan bahwa pemakaian kata-
kata juga dapat diartikan sebagai penanda bentuk gagasan tertentu karena bahasa
juga menjadi instrumen pikiran yangmengacu pada suasana maupun realitas
tertentu. Kita dapat melihat adanya pengaruh psikologi dalam semantik, yakni
terdapatnya pengaruh sejumlah aliran dalam pskologi,misalnya behaviorisme,
psikologi, gestalt, field theory, kognitivisme, maupun psikologihumanistik dalam
kajian semantik.
Adanya hubungan yang erat antara bahasa dengan aspek kejiwaan manusia
ditandai adanya psikolinguistik sebagai suatu disiplin ilmu. Dalam proses
menyusun dan memahami pesan lewat kode kebahasaan, unsur-unsur kejiwaan
seperti kesadaran batin, pikiran, asosiasi, maupun pengalaman, jelas tidak dapat
diabaikan peran sertanya. John Locke mengungkapkan bahwa pemakaian kata-
kata juga dapat diartikan sebagai penanda bentuk gagasan tertentu karena bahasa
juga menjadi instrumen pikiran yang mengacu pada suasana maupun realitas
tertentu. Kita dapat melihat adanya pengaruh psikologi dalam semantik, yakni
terdapatnya pengaruh sejumlah aliran dalam pskologi,misalnya behaviorisme,
psikologi, gestalt, field theory, kognitivisme, maupun psikologi humanistik dalam
kajian semantik.
Salah satu model analisis fitur semantis kata lewat pendekatan psikologi kognitif
yang lebih banyak berorientasi pada linguistik, dilaksanakan antara lain dengan
cara : (1) mengidentifikasi sejumlah ciri referen yang diacu oleh kata, (2)
mengidentifikasi kemungkinan adanya hubungan referen suatu kata dengan acuan
referen dalam kata lainnya, dan (3) mengidentifikasi ciri khusus setiap kata yang
memiliki ciri hubungan acuan referen, sebagai butir ciri yang membedakan fitur
semantis kata itu dengan yang lainnya.
Dikaitkan dengan kedua prinsip tersebut, ingatan semantis terhadap kata binatang
bila dihubungkan dengan konteks pemakaian (1) diucapkan dengan nada tinggi
oleh seseorang yang sedang marah, (2) dalam salah satu baris puisi Chairil Anwar,
dan (3) dihubungkan dengan kata kebun sebagai salah satu tempat rekreasi bisa
menyesatkan karena makna kata binatang telah mengalami peralihan sesuai
dengan konteksnya.
a. Faktor emotif
DAFTAR PUSTAKA