Anda di halaman 1dari 16

BAHAN AJAR

RANAH PENERAPAN SEMANTIK PADA TATARAN LINGUISTIK


MIKRO DAN MAKRO

PENULIS:

SHAFA ADRISTI
WAHYU FIRMANSYAH
QURROTA A’YUNI
MIRNA VEANDA RISTA AGUSTIN

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
bahan ajar yang berjudul “Ranah Penerapan Semantik pada Tataran
Linguistik Mikro dan Makro” dapat tersusun sesuai batas waktu yang telah
ditetapkan. Bahan ajar ini dilengkapi dengan teori, peta konsep (mindmapping),
dan hyperlink yang bersumber dari hasil bacaan dan pendapat ahli terkait yang di
dapatkan dari hasil bacaan buku konvensional maupun media digital agar materi
yang dipaparkan dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Penulis
berharap semoga bahan ajar ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca mengenai studi linguistik dan implikasinya terhadap subdisiplin yag
lainnya. Dengan dibuatnya bahan ajar ini, semoga mampu menambah informasi
dan wawasan pembaca mengenai materi semantik. Bagi kami sebagai penyusun
merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga bahan ajar ini bermanfaat dan
mampu menunjang dalam kegiatan pembelajaran mata kuliah yang relevan.

Penyusun

Rabu, 22 Maret 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

A. PENDAHULUAN
1. Ruang Lingkup Pembahasan
2. Tujuan Pembelajaran
B. MATERI RANAH PENERAPAN SEMANTIK PADA TATARAN
MAKRO LINGUISTIK
1. Kedudukan Semantik dalam Kajian Kebahasaan Mikrolinguistik
2. Penerapan Semantik pada Tataran Fonologi
3. Penerapan Semantik pada Tataran Morfologi
4. Penerapan Semantik pada Tataran Sintaksis
5. Penerapan Semantik pada Tataran Fonologi
6. Penerapan Semantik pada Tataran Wacana
C. MATERI RANAH PENERAPAN SEMANTIK PADA TATARAN
MAKROLINGUISTIK
1. Kedudukan Semantik dalam Kajian Kebahasaan Makrolinguistik
2. Penerapan Semantik pada Tataran Sosiolinguistik
3. Penerapan Semantik pada Tataran Psikolinguistik
4. Penerapan Semantik pada Tataran Kedwibahasaan
5. Penerapan Semantik pada Tataran Sosiolinguistik
6. Penerapan Semantik pada Tataran Pragmatik
D. UJI KOMPETENSI

DAFTAR PUSTAKA
A. PENDAHULUAN

Upaya pembenahan dalam pelaksanaan perkuliahan di Prodi Pendidikan


Bahasa Dan Sastra Indonesia selayaknya terus dilakukan guna mencapai kulaitas
perkuliahan yang maksimal. Kebutuhan dan tuntutan ketersediaan peranghkat
pembelajaran terus berkembang sesui dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi saat ini. Pengembangan perangkat pembelajaran dipandang vital
dalam rangkan meningkatkan mutu perkulihan di era pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini. Tuntutan ini mengharuskan
pada semua pihak yang terlibat dalam proses perkuliahan berperan aktif dalam
bertindak guna mewujudkan harapan sesuai dengan visi, misi dan tujuan
pendidikan.
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNESA sebagai
pelaksana program Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia merasa perlu
meninjau kembali pelaksanaan dan persiapan program Prodi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia tahun 2021, terutama dalam perencanaan perangkat
pembelajaran yang diterapkan dalam proses perkuliahan. Salah satunya yang
sangat dibutuhkan adalah penyediaan perangkat perkuliahan yang dapat
menunjang pelaksanaaan proses perkuliahan.
Penyediaan perangkat pembelajaran yang dimaksudkan adalah upaya
meningktkan kualitas pelayanan akademik kepada mahasiswa Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia agar sasaran pembelajarannya sesuai dengan
harapan. Salah satu pengembangan perangkat pembelajaran yang dibutuhkan
adalah ketersediaan bahan ajar yang dapat memenuhi kebutuhan bahan ajar
perkuliahan. Hal ini dapat diupayakan melalui pengembangan bahan ajar yang
memenuhi standar kualitas serta sesuai dengan kebutuhan perkuliahan, berupa
bahan ajar berbasis mind mapping dan hyperlink. Bahan ajar ini bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan perkuliahan mikrolinguistik dan makrolinguistik pada studi
semantik. Dengan demikian strategis membangun citra dan pelayanan terhadap
peserta perkulihan di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di masa yang
akan datang dapat terpenuhi semaksimal mungkin.
1. Ruang Lingkup Pembahasan

Secara umum, isi buku ini terbagi atas dua tema besar yaitu penerapan semantik
pada tataran mikrolinguistik dan penerapan semantik pada tataran
makrolinguistik. Secara rinci buku ini berisikan uraian:

A. Ranah Penerapan Semantik pada Tataran Mikrolinguistik


1. Kedudukan Semantik dalam Kajian Kebahasaan Mikrolinguistik
2. Penerapan Semantik pada Tataran Fonologi
3. Penerapan Semantik pada Tataran Morfologi
4. Penerapan Semantik pada Tataran Sintaksis
5. Penerapan Semantik pada Tataran Fonologi
6. Penerapan Semantik pada Tataran Wacana

B. Ranah Penerapan Semantik pada Tataran Makrolinguistik


1. Kedudukan Semantik dalam Kajian Kebahasaan Makrolinguistik
2. Penerapan Semantik pada Tataran Sosiolinguistik
3. Penerapan Semantik pada Tataran Psikolinguistik
4. Penerapan Semantik pada Tataran Kedwibahasaan
5. Penerapan Semantik pada Tataran Sosiolinguistik
6. Penerapan Semantik pada Tataran Pragmatik

*Soon gambar mindmap tentang ruang lingkup pembahasan

2. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menginterpretasi kedudukan semantik dalam
kajian kebahasaan mikrolinguistik dengan baik dan cermat
2. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran fonologi dengan baik dan cermat.
3. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran morfologi dengan baik dan cermat.
4. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran sintaksis dengan baik dan cermat.
5. Mahasiswa mampu menginterpretasikan kedudukan semantik dalam
kajian kebahasaan makrolinguistik dengan baik dan cermat.
6. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran sosiolinguistik dengan baik dan cermat.
7. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran psikolinguistik dengan baik dan cermat.
8. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran kedwibahasaan dengan baik dan cermat.
9. Mahasiswa mampu menginterpretasikan penerapan semantik pada
tataran pragmatik dengan baik dan cermat.
A. MATERI RANAH PENERAPAN SEMANTIK PADA TATARAN
MAKRO LINGUISTIK
1. Kedudukan Semantik dalam Kajian Kebahasaan (Linguistik Mikro)
Kedudukan semantik dalam linguistik adalah termasuk dalam tataran linguistik
mikro. Linguistik mikro merupakan bidang linguistik yang membahas bahasa dari
dalam, dengan kata lain mempelajari struktur bahasa itu sendiri. Secara terperinci
kedudukannya terdiri atas: tata bahasa (gramatikal) dan leksikon.

2. Penerapan Semantik pada Tataran Fonologi


Kaitan fonologi dengan semantik akan dibahas dalam hubungan antara bunyi
bahasa (fonologi) dan tanda dalam semantik. Semantik merupakan istilah yang
digunakan pada bidang linguistik yang objek studinya adalah makna bahasa.
Lebih tepat lagi sebagai makna sebagai satuan bahasa berupa kata, frase, clausa,
kalimat, atau wacana . Kedudukan objek semantik adalah makna keseluruhan
sistematika bahasa.

Fonologi adalah bidang linguistik yang menganalisis, mempelajari, dan


membahas tentang bunyi-bunyi bahasa. Fonologi secara etimologi terdiri
dari fon yaitu bunyi dan dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang
menjadi objeknya, fonologi dibedakan atas fonetik dan fonemik. Fonetik
merupakan cabang fonologi yang menjelaskan bahwa bunyi bahasa tidak
memperhatikan bunyi tersebut sebagai pembeda makna atau tidak sehingga tidak
memperhatikan konsep makna (semantik). Contohnya: bunyi (i) pada kata [ikan],
[angin], [sakit] adalah tidak sama. Kesamaan contoh tersebut hanya pada bunyi [i]
yang tidak memiliki makna. Sedangkan fonemik merupakan cabang fonologi yang
mempelajari bunyi bahasa sebagai pembeda makna (Suparno, 2013). Namun
kedua subdisiplin ilmu tersebut tercakup dalam bidang yang lebih luas yaitu
fonologi. Dengan demikian fonologi dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu
linguistik secara umum yang mengkaji bunyi bahasa yang memiliki makna atau
tanpa makna.
Fonetik mempelajari bunyi bahasa, namun tidak mementingkan arti. Terdapat dua
macam fonetik, yaitu fonetik akustik dan fonetik artikulator. Fonetik akustik
membahas bahasa hanya semata sumber getar, sedangkan fonetik artikulatoris
membahas bunyi sebagai alat ucap manusia (Suparno, 2013). Selanjutnya
Marsono (dalam Gani, 2018) mendefinisikan bahwa fonetik adalah ilmu yang
terus menerus mempelajari dan mencoba membentuk bunyi bahasa, bagaimana
bunyi itu terbentuk, frekuensi, intensitas, bunyi, getaran udara, dan bagaimana
bunyi merambat melalui udara yang diterima telinga. Suparno (2013:126) juga
menegaskan bahwa ejaan fonetis berusaha melambangkan bunyi berbeda, baik
bunyi tersebut melambangkan arti ataupun tidak.

Selanjutnya, kaitan fonologi dengan semantik akan dibahas dalam hubungan


antara bunyi bahasa (fonologi) dan tanda dalam semantik. Semantik merupakan
istilah yang digunakan pada bidang linguistik yang objek studinya adalah makna
bahasa. Lebih tepat lagi sebagai makna sebagai satuan bahasa berupa kata, frase,
clausa, kalimat, atau wacana . Kedudukan objek semantik adalah makna
keseluruhan sistematika bahasa. Dapat disimpulkan bahwa tidak semua tataran
bahasa memiliki masalah semantik.

Semantik kemudian diartikan sebagai istilah yang digunakan dalam bidang


linguistik yang berhubungan dengan tanda linguistik dengan hal yang ditandainya
atau bisa disebut juga kajian tentang makna bahasa. Semantik juga dapat diartikan
sebagai ilmu tentang makna yang memiliki tiga tataran analisis: fonologi,
gramatika, dan semantik (Chaer, 2013). Tataran fonetik yang merupakan studi
yang mempelajari bunyi tanpa memperhatikan fungsi bunyi sebagai pembeda
bahasa, maka tidak ada semantik karena fon sebagai satuan fonetik tidak memiliki
makna. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa cakupan semantik hanyalah makna
bahasa sebagai alat komunikasi verbal dan bukan hanya sekedar makna bunyi dan
lambang lainnya.

Chaer (2013:3) menyatakan bahwa semantik dalam sejarah linguistik ada pula
yang menggunakan istilah seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik,
dan semik yang mempelajari makna atau arti suatu tanda atau lambang. Namun,
istilah semantik lebih umum digunakan dalam bidang linguistik karena istilah
lainnya lebih luas cakupannya, yang meliputi lambang pada umumnya. Tanda
tersebut meliputi tanda-tanda lalu lintas, kode Morse, dan tanda dalam ilmu
matematika.
Pada tataran fonologi (fonemik) juga tidak terdapat semantik. Fonem yang
merupakan kajian studi fonemik memang memiliki fungsi untuk membedakan
makna kata, namun fonem itu sendiri tidak memiliki makna. Verhar ( dalam
Chaer, 2013:8) membandingkan fonem sebagai garis pemisah antara kiri dan
kanan di jalan raya. Garis tersebut memiliki fungsi sebagai pemisah, namun tidak
memiliki arti sehingga dengan mudah dapat dilanggar.

Dapat disimpulkan bahwa tidak semua tataran bahasa memiliki masalah semantik.
Semantik kemudian diartikan sebagai istilah yang digunakan dalam bidang
linguistik yang berhubungan dengan tanda linguistik dengan hal yang ditandainya
atau bisa disebut juga kajian tentang makna bahasa. Semantik juga dapat diartikan
sebagai ilmu tentang makna yang memiliki tiga tataran analisis: fonologi,
gramatika, dan semantik (Chaer, 2013). Tataran fonetik yang merupakan studi
yang mempelajari bunyi tanpa memperhatikan fungsi bunyi sebagai pembeda
bahasa, maka tidak ada semantik karena fon sebagai satuan fonetik tidak memiliki
makna. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa cakupan semantik hanyalah makna
bahasa sebagai alat komunikasi verbal dan bukan hanya sekedar makna bunyi dan
lambang lainnya.

3. Penerapan Semantik pada Tataran Morfologi


Semantik merupakan cabang ilmu linguistik yang memilki keterkaitan hubungan
dengan cabang ilmu linguistik lainya, semantik sama halnya memiliki hubungan
sdengan morfologi. Morfologi adalah ilmu yang membicarakan tentang proses
bentuk-bentuk dan pembentukan kata (Chaer, 2015: 3). Objek kajian morfologi
adalah morfem dan kata, lalu dilanjutkan oleh proses morfologi dengan
melibatkan komponen seperti:
1. Dasar (bentuk dasar)
2. Alat pembentuk (afiks, duplikasi, komposisi, abreviasi, akronimisasi, dan
konversi)
3. Makna gramatikal

Keterkaitan hubungan morfologi dengan semantik justru dapat terlihat jelas


apabila ditinjau dari proses derivasi (pengimbuhan afiks yang bersifat infleksi
pada bentuk dasar untuk membentuk kata). Menurut Haspelmath (2002:166)
menjelaskan bahwa terdapat satu contoh kata
yaitu undoable. Undoable merupakan derivasi dari kata do yang mendapat
penambahan prefiks –un dan sufiks –able. Contoh kata dalam bahasa
Indonesianya, seperti: orang mengalami reduplikasi menjadi orang-orang, rumah
menjadi rumah-rumah, pohon menjadi pohon-pohon, dan sebagainya.

● Membaca = memiliki makna melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis
● Pembaca = orang yang sedang melakukan aktivitas baca
● Bacaan = buku dan media cetak maupun noncetak yang dibaca
● Terbaca = hal yang dapat dibaca sehingga mampu mengetahui sesuatu yang
tersirat di dalamnya.

Sesuai dengan penjelasan di atas, dapat diketahui adanya hubungan antara


semantik dan morfologi. Garis besarnya adalah morfologi adalah ilmu yang
berkaitan tentang bentuk dan pembentukan kata, sedangkan semantik adalah ilmu
yang digunakan untuk mengkaji makna dari proses morfologi. Berikut contoh
lainnya: Penggunaan kata dasar “baca” dengan diimbuhi beberapa imbuhan akan
menghasilkan makna yang berbeda.
4. Penerapan Semantik pada Tataran Sintaksis
Secara tradisional, semantik dan sintaksis dipandang memiliki objek kajian yang
berbeda. Walau demikian, ada kalanya dua cabang ilmu linguistik ini
bersinggungan satu sama lain. Mengutip Chomsky dalam bukunya Syntactic
Structure (dalam Partee, 2014), gagasan tentang makna struktural sebagai lawan
dari makna leksikal perlu dipertanyakan karena perangkat tata bahasa yang
terkandung dalam sebuah bahasa digunakan cukup konsisten sehingga makna
dapat disampaikan atau disimpulkan secara langsung. Namun, ditemukan banyak
korelasi penting antara struktur sintaksis dengan makna. Rupanya, kecurigaan
Chomsky tersebut benar adanya. Sebagai penjelasan, mari kita perhatikan dua
contoh kalimat di bawah ini:
(1) Dijamin tidak luntur.
(2) Luntur tidak dijamin.

Dua kalimat di atas dibentuk dari unsur atau kata yang sama. Susunan keduanya
sama-sama benar atau memenuhi kaidah sintaksis. Walau demikian, makna dari
kedua kata tersebut tidaklah sama. Kalimat (1) dapat dimaknai sebuah barang
yang diacu dalam kalimat dijamin atau dapat dipastikan tidak luntur, sedangkan
kalimat (2) menyiratkan makna bahwa sebuah barang yang diacu dalam kalimat
memiliki kemungkinan untuk luntur. 

Dua contoh kalimat tersebut menunjukkan bahwa meskipun kalimat-kalimat


dalam bahasa Indonesia memiliki unsur pembentuk yang sama, belum tentu
maknanya akan sama pula. Contoh tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi
antara makna dari tiap unsur kalimat secara leksikal dengan struktur sintaksisnya.
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
semantik dan sintaksis.

Kalimat didefinisikan sebagai runtutan kata yang gramatikal dan memuat makna
lengkap (Parera, 2004). Makna kalimat tidak hanya ditentukan oleh jumlah unsur
pembentuknya, tetapi juga runtunan atau urutan dari unsur-unsur pembentuknya.
Asumsi tersebut kemudian menjadi titik tolak klasifikasi makna menjadi makna
leksikal dan makna struktural (gramatikal) (Suhardi, 2015). Makna leksikal
merupakan makna berdasarkan kamus, sedangkan makna struktural adalah makna
kata dalam kalimat. Parera (2004) menyatakan bahwa makna sebuah kalimat
merupakan kombinasi antara makna leksikal unsur pembentuknya dan makna
strukturalnya. Dalam ilmu semantik, pendekatan yang mengkaji makna dengan
paradigma tersebut merupakan pendekatan semantik kombinatarial.
5. Penerapan Semantik pada Tataran Wacana

Kohesi adalah tuturan yang disusun secara padu dan padat pada sebuah wadah
kalimat (Tarigan, 2009). Dalam wacana, hubungan kohesi dan wacana sebenarnya
merupakan ‘hubungan semantis’. Artinya hubungan itu terjadi antarposisi. Secara
struktural, hubungan direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara
kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan tersebut terkadang
ditandai dengan alat-alat leksikal, namun terkadang pula oleh tanda penanda
(Kridalaksana, 1993). Sudah disebutkan bahwa sebuah wacana dikatakan baik
apabila wacana tersebut kohesif dan koherens. Pada Chaer, 2012:268-269
menyebutkan bahwa pengulangan-pengulagan yang tempak memang kohesif,
belum tentu di dalamnya terdapat kekoherensian. Perhatikan contoh berikut yang
kohesinya tampak benar, namun ternyata tidak koherens. Setiap kalimat pada
wacana berikut tampak merupakan kalimat yang membawa isinya masing-masing.

(1) Telaga Madirda adalah salah satu telaga yang indah di Kabupaten
Karanganyar. (2) Di alun-alun Karanganyar sudah dipadati penjual dan pembeli
sejak awal 2021. (3) Antara Karanganyar dan Solo dihubungkan dengan adanya
jembatan Bengawan Solo. (4) Setiap hari minggu pagi, di sepanjang Jalan Slamet
Riyadi Solo di adakan Car Free Day atau CFD.

Kalimat (1) berisi tentang salah satu telaga di Karanganyar; kalimat (2) tentang
alun-alun Karanganyar yang sudah dipadati penjual pembeli; kalimat (3) tentang
penghubung Karanganyar dan Solo; dan kalimat (4) tentang CFD di Solo. Terlihat
bahwa ke empat kalimat tersebut memiliki isinya masing-masing, padahal wacana
tersebut kohesif, yang ditandai dengan adanya hubungan kalimat (1) dan (2)
dengan kata Karanganyar; kalimat (2) dan (3) dengan kata Solo; dan kalimat (3)
dan (4) tentang solo juga namun berbeda isinya, tidak sejalur. Sehingga teks di
atas bukan merupakan wacana yang baik, karena tidak merupakan satu keutuhan
‘isi’ satu ujaran. Memang memenuhi persyarakatan kekohesifan, namun tidak
koherens.
B. MATERI RANAH PENERAPAN SEMANTIK PADA TATARAN
MAKROLINGUISTIK

1. Penerapan Semantik pada Tataran Sosiolinguistk

Adanya hubungan yang erat antara bahasa dengan aspek kejiwaan manusia
ditandaiadanya psikolinguistik sebagai suatu disiplin ilmu. Dalam proses
menyusun dan memahami pesan lewat kode kebahasaan, unsur-unsur kejiwaan
seperti kesadaran batin, pikiran, asosiasi,maupun pengalaman, jelas tidak dapat
diabaikan peran sertanya. John Locke mengungkapkan bahwa pemakaian kata-
kata juga dapat diartikan sebagai penanda bentuk gagasan tertentu karena bahasa
juga menjadi instrumen pikiran yangmengacu pada suasana maupun realitas
tertentu. Kita dapat melihat adanya pengaruh psikologi dalam semantik, yakni
terdapatnya pengaruh sejumlah aliran dalam pskologi,misalnya behaviorisme,
psikologi, gestalt, field theory, kognitivisme, maupun psikologihumanistik dalam
kajian semantik.

2. Penerapan Semantik pada Tataran Psikolinguistik

Adanya hubungan yang erat antara bahasa dengan aspek kejiwaan manusia
ditandai adanya psikolinguistik sebagai suatu disiplin ilmu. Dalam proses
menyusun dan memahami pesan lewat kode kebahasaan, unsur-unsur kejiwaan
seperti kesadaran batin, pikiran, asosiasi, maupun pengalaman, jelas tidak dapat
diabaikan peran sertanya. John Locke mengungkapkan bahwa pemakaian kata-
kata juga dapat diartikan sebagai penanda bentuk gagasan tertentu karena bahasa
juga menjadi instrumen pikiran yang mengacu pada suasana maupun realitas
tertentu. Kita dapat melihat adanya pengaruh psikologi dalam semantik, yakni
terdapatnya pengaruh sejumlah aliran dalam pskologi,misalnya behaviorisme,
psikologi, gestalt, field theory, kognitivisme, maupun psikologi humanistik dalam
kajian semantik.

Pendekatan psikologi behaviorisme dalam kajian makna bertolak dari anggapan


bahwa makna merupakan bentuk respons terhadap stimulus yang diperoleh oleh
pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang
dimiliki. Pendekatan psikologi kognitif dalam pengkajian makna dapat dibedakan
antara (1) kelompok yang lebih banyak berorientasi pada teori psikologi kognitif
serta (2) kelompok yang lebih banyak berorientasi pada linguistik. Kelompok
yang lebih banyak berorientasi pada linguistik beranggapan bahwa (a)
pemahaman terhadap suatu bentuk kebahasanditentukan oleh pemahaman
terhadap representasi semantis, (b) pemahaman terhadap representasi semantis,
pada sisi lain juga berperanan dalam mengembangkan kemampuan mengolah
proposisi, (c) dalam komunikasi, kemampuan mengolah proposisi harus disertai
kemampuan memilih kata serta menata struktur sintatiknya, dan (d) kemampuan
seseorang dalam memahami ciri dan gambaran makna kata-kata atau fiktur suatu
bentuk kebahasaan, sangat berperanan dalam mengembangkan kemampuan
memahami pesan.

Salah satu model analisis fitur semantis kata lewat pendekatan psikologi kognitif
yang lebih banyak berorientasi pada linguistik, dilaksanakan antara lain dengan
cara : (1) mengidentifikasi sejumlah ciri referen yang diacu oleh kata, (2)
mengidentifikasi kemungkinan adanya hubungan referen suatu kata dengan acuan
referen dalam kata lainnya, dan (3) mengidentifikasi ciri khusus setiap kata yang
memiliki ciri hubungan acuan referen, sebagai butir ciri yang membedakan fitur
semantis kata itu dengan yang lainnya.

Kelompok yang lebih banyak berorientasi pada aspek kejiwaan manusia


dalamkaitannya dengan referen dan konteks pemakaian bentuk kebahasaan
beranggapan bahwa (1) pemahaman makna ditentukan oleh pengetahuan
seseorang tentang referen yang diacu serta konteks pemakaiannya, bukan pada
ingatan semantis serta pemahaman struktur sintaktik, dan (2) penyimpulan makna
kata dapat berbeda-beda sesuai dengan konteks pemakaiannya.

Dikaitkan dengan kedua prinsip tersebut, ingatan semantis terhadap kata binatang
bila dihubungkan dengan konteks pemakaian (1) diucapkan dengan nada tinggi
oleh seseorang yang sedang marah, (2) dalam salah satu baris puisi Chairil Anwar,
dan (3) dihubungkan dengan kata kebun sebagai salah satu tempat rekreasi bisa
menyesatkan karena makna kata binatang telah mengalami peralihan sesuai
dengan konteksnya.

Dalam bukunya Pengantar Sematik, Stephan Ulma menyebutkan bahwaada dua


sebab yang mempengaruhi faktor psikologis, yaitu:

a. Faktor emotif

Faktor emotif merupakan perubahan makna yang disebabkan karena pengaruh


perasaan. Menurut Sperber, jika kita secara intens berminat dalam suatu hal,
maka kita cenderung membicarakan hal tersebut, walaupun sebenarnya tidak
ada kaitanya dengan apa yang kita bicarakan. Contoh: (1) kata bomber adalah
sebuah pesawat pembom, namun kita sering menggunakan kata tersebut untuk
menyebut wanita gemuk, (2) kata mengebom adalah sebuah kegiatan
meluncurkan bom, nemun sering digunakan untuk menyampaikan makna.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, A. (2013). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.


Chaer, A. (2014). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. (2012). Linguistk Umum. Jakarta : Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. (2012). Linguistik Umum (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta


Chaer, Abdul. (2015). Morfologi Bahasa Indonesia: pendekatan proses . Jakarta:
Rineka Cipta.

Gani, S., & Arsyad, B. (2018). KAJIAN TEORITIS STRUKTUR


INTERNAL BAHASA (Fonologi, Morfologi, Sintaksis, dan Semantik) . ‘A
Jamiy,Jurnal Bahasa dan Sastra Arab Sastra dan Budaya UGM, 07.
Soeparno. (2013). Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Haspelmath, Martin. (2002). Understanding Morphology?. Oxford:
University Press.
Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik . Jakarta: Gramedia Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. (1993). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Parera, J. D. (2004). Teori semantik. Erlangga.


Partee, B. H. (2014). A brief history of the syntax-semantics interface in Western
formal linguistics. Semantics-Syntax Interface, 1(1), 1–21.
Suhardi. (2015). Dasar-dasar Ilmu Semantik. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Tarigan, Henry Guntur. (2009). Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa


Bandung.

Anda mungkin juga menyukai