A. Latar Belakang
Kurikulum merupakan salah satu bagian utama dalam sistem pendidikan
persekolahan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 7 ayat 1 disampaikan bahwa kurikulum
merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Setiap lembaga pendidikan
persekolahan (khususnya lembaga pendidikan pada jalur Nonformal : PAUD,
SD/MI/Paket A, SMP/MTs/Paket B dan SMA/SMK/Paket C) diberikan kewenangan
untuk menyusun, mengelola dan mengembangkan sendiri kurikulum pada
Implementa masing-masing. Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan
kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan
pendidikan (PP nomor 19 tahun 2005 pasal 1). Dalam penjelasan tersebut,
SMP/MTS/Paket B merupakan salah satu satuan pendidikan yang juga mempunyai
kewenangan untuk menyusun dan mengembangkan sendiri kurikulum operasional
pada wilayah satuan pendidikannya.
Proses pengembangan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan yang dimaksud
tetap mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP) yang disusun oleh pemerintah
sebagai bentuk standar minimal. Standar nasional yang dimaksud mencakup !)
Standar Kompetensi Lulusan, 2) Standar Isi, 3) Standar Proses, 4) Standar Pengelolaan,
5) Standar Sarana Prasarana, 6) Standar Biaya, 7) Standar Pendidik dan 8) Standar
Penilaian.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan ditegaskan bahwa standar nasional pendidikan merupakan kriteria
minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Proses penyusunan
kurikulum pada tingkat satuan pendidikan disesuaikan dengan kondisi lembaga, visi,
misi dan tujuan pendidikan pada satuan pendidikan masingmasing.
Untuk mengembangkan kurikulum operasional, setiap satuan pendidikan harus dapat
melakukan suatu proses yang disebut dengan evaluasi diri. Melalui proses ini suatu
lembaga dapat memperoleh pemahaman tentang keadaan lembaga masing-masing
dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk suatu jenjang dan satuan
pendidikan tertentu. Berdasarkan hasil evaluasi diri inilah, suatu lembaga satuan
pendidikan dapat menyusun visi, misi, tujuan pendidikan pada tingkat lembaga dan
standar lulusan yang diinginkan (minimal sama dengan standar lulusan dalam SNP
sebagai standar minimal). Salah satu pendekatan dalam melakukan evaluasi diri
adalah analisis konteks (Context Analysis). Analisis ini dimaksudkan untuk menelaah
dan menggambarkan setiap konteks yang berada dan menjadi bagian dari suatu
lembaga dalam menyelenggarakan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu.
Analisis konteks dilaksanakan melalui pendekatan analisis SWOT (Strengt/Kekuatan,
Weakness/Kelemahan, Opportunity/Peluang dan Treat/Ancaman) dalam singkatan
bahasa Indonesia yang lebih mudah diingat disebut analisis KeKePAn (Kekuatan,
Kelemahan, Peluang dan Ancaman). Hasil analisis ini akan menentukan posisi dan
keadaan suatu lembaga dalam menyelenggarakan pendidikan sekaligus menjadi dasar
dalam menentukan visi, misi, tujuan dan rencana strategis yang akan disusun dan
dilaksanakan, termasuk kurikulum yang dikembangkan dengan keunggulan kompetitif
dan komparatifnya.
analisis konteks menjadi bagian terpenting dari evaluasi diri dari suatu lembaga
pendidikan. Karena bersifat evaluasi diri maka beberapa prinsip yang harus
diperhatikan adalah :
1. Transparansi (Keterbukaan)
Analisis konteks harus dilakukan secara terbuka terhadap berbagai kondisi atau fakta
yang ada dan terjadi pada lembaga pendidikan yang sedang diselenggarakan, baik
kondisi tersebut buruk ataupun tidak menyenangkan. Prinsip ini penting dan harus
diperhatikan agar hasil analisis konteks menjadi jelas dan terbuka untuk dibuktikan
atau dicross cek oleh pihak lain.
2. Objektivitas
Prinsip ini mengandung makna bahwa analisis konteks harus dilakukan secara apa
adanya (objektif). Prinsip ini sejalan dengan prinsip pertama agar analisis konteks
dapat mengungkapkan dan menemukan berbagai kondisi atau peristiwa yang dipotret
secara apa adanya dari lembaga penyelenggara pendidikan. Jika analisis konteks
dilakukan dengan menutupi kondisi yang sesungguhnya maka akan menjadi
bumerang atau bom waktu yang dapat menumbangkan suatu lembaga pendidikan,
terutama kepercayaan para pemangku kepentingan (stakeholder). Gambaran kondisi
objektif suatu lembaga pendidikan sebagai hasil analisis konteks (= evaluasi diri) akan
menjadi titik tolak penyunan kurikulum, program sekolah dan berbagai bentuk
kegiatan lainnya yang akan dilaksanakan dan dikembangkan.
3. Meaningfull (Penuh Makna)
Analisis konteks harus ditujukan pada aspek atau komponen analisis tertentu yang
memiliki makna, baik langsung maupun tidak langsung terhadap penggambaran
kondisi suatu lembaga penyelenggara pendidikan. Kebermaknaan suatu aspek analisis
konteks dapat ditinjau dari berbagai segi seperti apakah aspek tersebut dapat
memberidukungan penguatan dan pengembangan kelembagaan, apakah aspek
tersebut dapat meningkatkan kesadaran pemahaman terhadap kondisi lembaga dan
kemungkinan lembaga dapat meningkatkan berbagai program berkualitas, pengadaan
sarana prasarana atau bentuk kemitraan dengan lembaga lain. Semakin bermakna
aspek analisis konteks yang dituju semakin jelas arah dan makna pengembangan
program yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan.
4. Kejujuran
Kejujuran merupakan bagian dari prinsip melakukan analisis konteks yang tidak dapat
dipisahkan dengan prinsip keterbukaan dan objektif. Kejujuran harus dilakukan oleh
seluruh sumber daya manusia yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di
suatu lembaga. Kejujuran harus ditunjukkan, baik oleh kepala dan wakil kepala
sekolah, kepala bidang sampai dengan cleaning service. Pelaksanaan prinsip ini akan
memudahkan suatu lembaga pendidikan menemukan dengan tepat, jelas dan objektif
tentang berbagai hal yang dianalisis.
5. Komprehensif
Analisis konteks yang baik dan tepat dilakukan dengan memperhatikan prinsip
komprehensif (menyeluruh). Hal ini berarti bahwa analisis konteks harus dilakukan
pada keseluruhan komponen analisis, terutama komponen yang menggambarkan
sistem pendidikan pada suatu lembaga dengan indikator dan standar mutu yang jelas
dan terukur.
A. Tahap Persiapan
Tahapan persiapan merupakan awal dalam melakukan analisis konteks. Sebagai tahap
persiapan yang paling awal dibangun adalah tim work utama yang secara langsung dipimpin
oleh kepala sekolah atau pimpinan lainnya yang sangat dipercaya untuk mengelola analisis
konteks. Tim work yang dipilih atau ditunjuk harus telah memperoleh pemahaman yang jelas
dan benar tentang analisis konteks, evaluasi diri dan SWOT analisys atau analisis KeKePAn.
Pemahaman yang dimaksud mencakup konsepnya, mekanisme dan prosedurnya, hasil atau
target yang dicapai serta prinsipprinsip dalam menjalankannya.
Langkah kedua dalam tahap persiapan adalah pembagian tugas (jobs sharing) diantara
anggota tim work. Pembagian tugas sebaiknya dilakukan dengan mengacu pada komponen
dalam system pendidikan atau tugas kepemimpinan di sekolah yang sudah dijalankan
(misalnya wakil kepala sekolah bidang kurikulum, bidang kesiswaan dan bidang administrasi
& kepegawaian). Jika pembagian tugas mengacu pada cara yang kedua sebaiknya tetap
memperhatikan komponen dalam system pendidikan sehingga prinsip komprehensif dan
kebermaknaan dapat dilacak secara lebih menyeluruh namun detail (rinci). Langkah ketiga
adalah membangun tim work pendamping yang secara langsung berurusan dan bertanggung
jawab dengan data atau fakta di lapangan. Tim work ini bertanggung jawab secara langsung
pada tim work utama atau jika lebih baik maka digabung dan berada di bagian tim work
utama.
Langkah keempat adalah penyiapan dokumen factual. Setelah tim work terbentuk dengan
kerangka tugas yang jelas dan target waktu yang pasti maka selanjutnya anggota tim di
masing-masing unit tugas bekerjamempersiapkan seluruh dokumen yang dibutuhkan sebagai
bahan untuk melakukan analisis konteks.
B. Tahap Diskusi
Pada tahap ini setiap unit tim atau komisi (misalnya bidang analisis dokumen input dari aspek
pendidik) telah mengumpulkan, mendata dan membuat filing dokumen. Pada unit tim atau
komisi dilakukan diskusi tentang keberadaan dokumen serta membuat bagan kesimpulan
tentang dokumen yang ada. Analisis dokumen dapat disimpulkan dengan contoh berikut :
Bagan Kesimpulan Analisis Dokumen
Bidang : Pendidik
Temuan deskriptif dalam bagan tersebut dapat diungkapkan dengan uraian kuantitatif
(angka) atau kualitatif. Pada uraian kuantitatif harus diperhatikan proses kuantifikasi dengan
indikator yang jelas dan disepakati, misalnya pada ukuran kinerja profesi harus digambarkan
dengan indikator yang jelas dan terukur pada kriteria sangat tinggi, tinggi, cukup dan rendah.
Data faktual dari bagan tersebut menjadi bahan diskusi pada komisi atau tim kecil untuk
selanjutnya dilakukan analisis SWOT atau KeKePan dari seluruh dokumen yang ada dengan
ilustrasi contoh bagan sebagai berikut :
C. Tahap Konfirmasi
Pada tahap ini, anggota komisi atau tim kecil berusaha menelaah kembali setiap temuan dan
kesimpulan sementara yang diperoleh dengan data, dokumen atau hasil telaah dari suatu
instrumen. Tahap konfirmasi ini berarti mengecek ulang dengan data atau dokumen yang
meyakinkan dan dapat dipertanggung jawabkan untuk setiap temuan dan kesimpulan hasil
analisis konteks pada diskusi di tahap kedua. Pada tahap ini pula akan ditemukan berbagai
temuan dan kesimpulan yang ternyata belum didukung oleh data yang akurat atau basis
datanya sulit dilacak. Dalam kondisi ini, tim kecil harus melakukan konfirmasi pada pihak-pihak
yang berkompeten dan bertanggung jawab dengan data atau dokumen yang dimaksud.
Tahapan konfirmasikan akan memastikan bahwa setiap deskripsi temuan dankesimpulannya
telah didukung oleh data atau dokumen yang akurat, valid dan dapat dipertanggung jawabkan.
Seluruh hasil konfirmasi ini akan sangat menentukan pada penentuan arah, kedudukan dan
keadaan lembaga pendidikan pada tahapan berikutnya.
D. Tahap Penyimpulan
Tahapan penyimpulan akhir dimulai dengan langkah mengundang setiap komisi dan tim kecil
untuk menyampaikan hasil kerja sesuai dengan lingkup tugas yang diberikan. Setiap tim kecil
atau komisi diberikan kesempatan waktu yang cukup untuk menyajikan atau
mempresentasikan berbagai hasil temuan dan kesimpulan sementaranya pada sidang paripurna
sekaligus untuk memperoleh tanggapan, masukan dan kritik dari komisi atau tim kecil lainnya.
Proses ini sangat baik untuk dijalankan agar proses penyimpulan akhir lebih komprehensif,
akurat dan akuntabel (dapat dipertanggung jawabkan). Tahap penyimpulan akhir dilakukan
oleh tim work inti dengan menggunakan segala temuan dan kesimpulan sementara beserta
seluruh dokumennya yang telah disampaikan oleh tim kecil (komisi). Seluruh berkas yang
disampaikan tim kecil pada tim work inti harus telah direvisi sesuai dengan masukan dan saran
pada sidang paripurna. Tim work inti selanjutnya akan mengoreksi dan melakukan cross ceck
akhir dari setiap temuan dan kesimpulan agar menjadi kesimpulan akhir yang lebih
komprehensif, akurat dan akuntabel, terutama dalam menentukan arah, kondisi serta
kedudukan lembaga pendidikan SMP yang menjadi objek analisis konteks.
Dengan pendekatan kuantitatif, arah masing-masing bidang atau aspek analisis akan bermuara
pada kesimpulan akhir berada pada status daerah negatif atau daerah positif. Dengan kata lain,
masing-masing bidang atau aspek analisis akan menggambarkan pada kondisi cenderung lebih
mengarah pada daerah positif yang ditunjukkan oleh banyaknya (tingginya) Kekuatan dan
Peluang daripada Kelemahan dan Ancaman. Jika suatu
lembaga pendidikan SMP X berada pada daerah seperti ini maka sangat dimungkinkan untuk
mengembangkan secara lebih jauh lagi programprogram unggulan yang bersifat kompetitif dan
komparatif, bahkan mungkin saja dapat mengembangkan program yang sifatnya ekpansif.
Namun sebaliknya, jika masing-masing bidang atau aspek analisis menggambarkan pada kondisi
yang cenderung lebih mengarah pada daerah negatif yang ditunjukkan oleh banyaknya
(tingginya) Kelemahan dan Ancaman daripada Kekuatan dan Peluang maka lembaga yang
bersangkutan berada dalam posisi yang mungkin lebih banyak program rehabilitasi, mencari
program bantuan atau mungkin merjer (bergabung) sementara dan minta pembinaan pada
lembaga pendidikan SMP yang sudah kuat serta berkualitas. Selain arah pada kedua daerah
utama, kesimpulan akhir tim work mungkin saja akan bermuara pada dua kemungkinan lainnya.
Keempat kemungkinan kesimpulan akhir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambaran tentang keadaan atau status lembaga pada kemungkinan satu dan dua telah
diungkapkan pada penjelasan di atas. Pada kemungkinan ketiga, lembaga perlu melakukan
kordinasi pada berbagai pihak untuk membangun berbagai jaringan kemitraan dalam rangka
menciptakan berbagai peluang. Peluang dapat dapat diciptakan dengan membuat terobosan
program atau menjaring sumber informasi (misalnya melalui internet) untuk memperkuat
keberadaan lembaga secara keseluruhan. Kordinasi juga diperlukan dalam rangka mengatasi
berbagai ancaman yang disertai dengan program yang jelas dan terukur, terutama ancaman
yangmuncul dari kompetitor lain sebagai penyelenggara lembaga pendidikan SMP.
Dalam kemungkinan keempat, lembaga harus melakukan berbagai program revitalisasi
dan/atau pemberdayaan yang dapat mengatasi berbagai kelemahan yang dihadapi. Program
yang dimaksud ditujukan pada berbagai bidang yang menunjukkan kelemahan lembaga
sehingga dimungkinkan akan meruntuhkan eksistensi (keberadaan) dan kredibilitas lembaga
dalam menyelenggarakan pendidikan. Lembaga dapat mengoptimalkan berbagai peluang yang
teridentifikasi sehingga dapat dimanfaatkan menjadi faktor penguat lembaga.
BAB III
DESKRIPSI HASIL ANALISIS KONTEKS
A. Menentukan Keadaan Lembaga
Sebagaimana telah disampaikan pada bagian terdahulu, hasil analisis konteks sebaiknya
dijadikan dasar untuk menggambarkan profil lembaga pendidikan. Profil lembaga dapat
diungkapkan secara deskriptif terhadap berbagai bidang dan aspek yang dianalisis. Profil ini
sekaligus merupakan rekapitulasi dari kesimpulan akhir kondisi lembaga setelah dilakukan
analisis konteks dan disusun oleh tim work utama. Profil lembaga juga harus dengan tegas
mengambarkan keadaan dan arah lembaga dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan.
Keseluruhan bahan deskriptif yang ada dalam profil sebaiknya ditempatkan pada Bab 2
dokumen I kurikulum dari lembaga pendidikan dengan beberapa perubahan yang tidak
mengurangi standar minimal Bab 2 dari panduan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).
Profil ini sekaligus menjadi titik tolak dalam menyusun Visi, Misi, Tujuan Sekolah, Kompetensi
Lulusan dan berbagai rencana strategis sekolah beserta rencana operasional tahunan sekolah.
Gambaran penempatan profil lembaga dapat diungkapkan dalam ilustrasi berikut :
Ide alternatif pengembangan isi Bab II muncul pada sub judul E menjadi Profil Lembaga (Profil
Sekolah) yang bisa mewakili keseluruhan uraian naratif pada sub judul A sampai E. Sub judul E
sebaiknya menjadi Bab tersendiri yang menggambarkan keadaan lembaga sebagai hasil analisis
konteks. Bagian ini dapat menjelaskan bidang dan aspek analisis konteks yang telah dilakukan
dengan pendekatan SWOT mencakup bidang pendidik, anak didik, kurikulum, sarana prasarana
dan lingkungan sekitar.
B. Menggambarkan Visi dan Misi Sekolah
Visi suatu lembaga merupakan gambaran harapan, cita-cita atau keinginan dari lembaga yang
bersangkutan dalam kurun waktu tertentu. Visi juga ada yang menyebutnya sebagai mimpi
yang dibangun dari suatu kenyataan atau fakta dan mimpi yang dapat diwujudkan. Visi yang
realistik dibangun dari fundasi fakta atau keadaan suatu lembaga setelah melalui proses analisis
konteks melalui pendekatan SWOT. Agar visi tidak sekedar mimpimimpi yang membuai maka
harus disusun dan dikembangkan dari evaluasi diri yang telah dilakukan dan dengan jelas telah
memahami dimana status lembaga pendidikan yang sedang dijalankan. Visi yang baik disusun
dengan memperhatikan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Visioner (menjangkau jauh kedepan)
2. Idealis dan prospektif
3. Feasibel (Layak)
4. Measureble (terukur)
5. Menunjukkan peran kedalam dan keluar
6. Mengandung nilai-nilai yang diinginkan dan diyakini.
Selain visi harus dibangun dari kondisi faktual lembaga, rumusan visi haruslah bersifat visioner
(menjangkau jauh ke depan). Visi yang baik harus
menunjukkan harapan atau cita-cita ke masa depan dari keadaan lembaga yang secara faktual
sudah dipahami keadaan dan statusnya. Visi juga harus menunjukkan idealisme penyelenggara
terhadap kondisi lembaga pendidikan yang diinginkan pada suatu kurun waktu tertentu.
Gambaran ideal seperti apa sebuah lembaga pendidikan hanya akan dipahami oleh mereka
yang bergelut secara profesional serta mendalami konsep dan ragam penyelenggaraan model
pendidikan, termasuk didalamnya adalah kurikulum dan model pembelajaran inovatif yang
secara ideal akan dikembangkan.. Gambaran visi juga harus bersifat prosktif atau memiliki
prospek ke arah kondisi yang maju dan diunggulkan serta diperhitungkan oleh para pemangku
kepentingan atau stakeholder.
Pada bagian lain, rumusan visi harus layak (feasibel) untuk dilaksanakan oleh seluruh orang
yang berkepentingan dan bertanggung jawab secara langsung pada eksistensi dan
pengembangan lembaga pendidikan yang sedang dijalankan. Oleh karena itu, ciri selanjutnya
visi harus dapat diukur dalam kurun waktu yang jelas dengan menyertakan indikator yang tepat
(valid). Hal ini memberikan makna bahwa dalam suatu rumusan visi yang baik seharusnya
mencantumkan tahun pencapaian. Berapa lama tahun pencapaian suatu visi sangat tergantung
pada keadaan dan status suatu lembaga pendidikan setelah dilakukan analisis konteks.
Visi yang baik juga harus menunjukkan peran lembaga pendidikan yang bersnagkutan, baik
peran ke dalam maupun peran keluar. Peran ke dalam terkait dengan perbaikan dan
pengembangan lembaga internal dan peran keluar ditujukan pada kontribusi lembaga pada
dinas pendidikan daerah setempat dan rencana strategik dari departemen pendidikan nasional
atau departemen agama atau departemen terkait dan pemerintah secara nasional. Oleh karena
itu juga visi harus memuat nilai-nilai yang dipahami, diinginkan dan diyakini oleh penyelenggara
lembaga sebagai acuan dalam menjalankan kegiatan pendidikan.
Adapun rumusan misi sekolah menggambarkan penjabaran operasional dari visi yang telah
disusun dan ditetapkan. Oleh karena itu, isi misi harussejalan dengan visi yang telah
dirumuskan. Misi sekolah juga harus secara jelas menjabarkan bidang-bidang yang menjadi
kegiatan sekolah dalam mencapai visi yang diiiginkan. Jabaran masing-masing bidang tersebut
secara jelas dapat diwujudkan menjadi kegiatan nyata dari sekolah yang bersangkutan
1. Pendidik
2. Kurikulum
3. Anak Didik
4. Sarana
Prasarana
5. Kerja
sama
Berdasarkan rencana operasional inilah setiap sekolah (SMP) akan mempunyai program yang
jelas, akurat dan terukur. Kalaupun suatu saat ada pergantian pimpinan sekolah maka sudah
jelas hal-hal dan bidang mana saja yang akan dikerjakan pada setiap tahun ajaran.
F. Menggambarkan Hasil Analisis Konteks dalam Dokumen KTSP
Dalam panduan penyusunan Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang disusun oleh
BSNP terdiri dari dua dokumen utama, yakni dokumen 1 dan dokumen 2. Dokumen 1
merupakan kurikulum operasional pada tingkat satuan pendidikan (KTSP) di lembaga masing-
masing yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan analisis konteks yang telah dilakukan.
Dokumen 1 memuat sekurang-kurang 4 Bab sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
A. Mata pelajaran
B. Muatan lokal
C. Kegiatan Pengembangan diri
D. Pengaturan beban belajar
E. Ketuntasan Belajar
F. Kenaikan Kelas, dan kelulusan
G. Penjurusan H. Pendidikan kecakapan Hidup
I. Pendidikan berbasis Keunggulan Lokal dan Global Cat : Untuk PLB/PK ditambah dengan Program
Khusus
Berisi tentang kalender pendidikan yang digunakan oleh sekolah, yang disusun berdasarkan
kalender pendidikan yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan setempat, disesuaikan dengan
kebutuhan dan karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan
memperhatikan aturan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi. kompetitif
dan komparatif dari lembaga pendidikan.
Dari gambaran tersebut, hasil Analisis Konteks yang telah dilakukan dalam kegiatan diatas maka
dapat dipergunakan dalam Penyusunan Kurikulum Imlimentasi Profil Pelajar Pancasila pada
suatu lembaga pendidikan.
Lampiran 2 :