Anda di halaman 1dari 16

OLA DOKA MAÑ KEWANAÑ

Tahap-Tahap Membuka Hutan Menjadi Kebun


Hingga Menanam dan Panen

néwa nura lali duli tukañ ola ma’añ éhiñ géré kébañ peno mélé réré
ta’añ hiba susa pulo ta’añ pépa paya léma pa’u uma bo’i lango

tanah serta hutan belukar diolah demi menberi hasil


memenuhi lumbung dan penampungan
mengusir aneka kesulitan mengenyahkan ragam kesusahan
memberi makan memelihara rumah tangga

Cerita dari Serambi Depan

Adalah seorang perempuan bernama Bita Siri Anu Waéwadañ. Kotoran dan
kencingnya mengeluarkan emas. Kukunya terbentuk dari intan berlian yang
gemerlap. Keadaan Bita Siri Anu Waéwadañ menjadi buah mulut semua orang yang
pernah melihatnya secara langsung.
Adalah juga seorang laki-laki bernama Lanañ Pati Lio Lali Jawa, mendengar
berita tentang kekayaan Bita Siri Anu Waéwadañ. Maka ia berlayar dengan
perahunya berniat meminang Bita Siri Anu Waewadan untuk dijadikannya sebagai
istri. Setibanya di pantai, ia mengutus tujuh orang pengikutnya menghadap Bita
Siri Anu Waéwadañ dengan pesan: Lanañ Pati Lio minta sirih pinang untuk
dimakannya (bahasa pinangan simbolik, minta perkenan peminangan).
Sebagai jawaban Bita Siri Anu Waéwadañ mengutus tujuh orang perempuan,
untuk mengantarkan puan yang berisikan sirih pinang kepada Lanañ Pati Lio yang
sedang menunggu di pantai. Lanañ Pati Lio memahami bahwa permintaannya
untuk meminang Bita Siri Anu Waéwadañ diterima. Maka Lanañ Pati Lio bersama
pengikutnya masuk kampong untuk menjumpai Bita Siri Anu Waéwadañ yang kaya
raya bagai seorang putri maharani. Demi merayakan pertemuan peminangan
tersebut, diselenggarakan pesta besar selama beberapa hari lamanya. Uniknya,
dalam pesta ini mereka hanya diberi makan daging dan buah-buahan.
Untuk menjawab pertanyaan Lanañ Pati Lio, tentang jenis makanan yang
mereka makan, Bita Siri Anu Waéwadañ memberikan jawaban, “Lamaranmu telah
saya terima. Sebagai seorang satria yang bijaksana, mengertilah bahwa kita akan
menjadi suami istri dengan cara kita tersendiri. Ikutilah segala perintah yang
bakal saya berikan kepadamu, maupun perintah kepada saudara-saudara saya.”
Karena belum memahami apa yang dikatan oleh Bita Siri Anu Waéwadañ, lanan
Pati Lio bertanya, “Apa maksudmu?”

~1~
Bita Siri Anu Waéwadañ menjawab, “Kamu satria kaya tetapi kaya bagi dirimu
sendiri. Saya juga wanita kaya-raya, tetapi semua kekayaanku untuk diriku
sendiri. Padahal kita harus hidup dan berkorban untuk orang banyak.”
Pada suatu hari Bita Siri Anu Waéwadañ menyuruh ketujuh saudaranya
membabat hutan untuk menyiapkan sebidang kebun yang luas. Ketujuh orang
saudaranya bekerja dengan tekun dijaga oleh Lanañ Pati Lio. Berkat keuletan dan
ketekunan kerja, maka kebun luas itu siap dengan segera. Lanan Pati Lio serta
tujuh bersaudara bertanya-tanya, “Ladang sudah siap, tetapi apa yang harus kita
tanam?” Bita Siri Anu Waéwadañ tidak menanggapi pertanyaan Lanañ Pati Lio dan
saudara-saudaranya.
Secara diam-diam, Bita Siri Anu Waéwadañ mengenakan kebaya dan sarung
pilihan, serta berbagai perhiasan yang dimilikinya. Ia mengajak Lanan Pati Lio
serta saudara-saudaranya ke kebun. Setibanya di kebun, Bita Siri Anu Waéwadañ
duduk di atas sebuah batu di tengah kebun, dan menyuruh Lanañ Pati Lio
membunuhnya, memancurkan darahnya ke seluruh permukaan kebun, serta
mencincang tubuhnya dan menghamburkannya di seluruh permukaan kebun.
Sambil menangis ia menunjukkan kesatriaan di hadapan Bita Siri Anu Waéwadañ
dan membunuhnya, disaksikan oleh saudara-saudara yang hadir. Darah Bita Siri
Anu Waéwadañ memancur dari lehernya dan diarahkan oleh Lanañ Pati Lio untuk
menyirami seluruh permukaan kebun.
Bersama saudara-saudara yang hadir dicincanglah tubuh Bita Siri Anu
Waéwadañ dan ditaburkan ke seluruh permukaan kebun tanpa melewatkan
sejengkalpun. Mareka kembali ke kampong dengan membawa keharuan masing-
masing. Setelah beberapa hari, datanglah mereka untuk menjenguk kebun. Ingin
mengetahui mujizat apakah yang terjadi di kebun mereka. Ternyata di sana,
bertumbuhlah tanaman baru yang kemudian dikenal dengan nama padi dan
jagung.
Padi dan jagung itu mereka rawat dengan bersungguh-sungguh hingga tiba
waktunya dipanen, dan diperoleh hasil yang melimpah bagi semua orang yang
hidup berdampingan dengan mereka. Lanañ Pati Lio baru menyadari bahwa
rupanya semua kejadian ini adalah inti pesan terakhir Bita Siri Anu Waéwadañ,
istrinya.

Berkebun

Rasa hormat para moyang leluhur kita terhadap semesta raya dan terhadap
wujud tertinggi dapat kita jadikan panutan dan suri teladan. Berbagai hal
menyangkut norma kehidupan dan tatanan nilai diajarkannya kepada kita melalui
simbol-simbol dan keteladanan perbuatan.
Lihat saja, ketika kakek makan: Tidak dibiarkannya sebutir nasi atau jagung
jatuh dari piring makan (keloboñ, pené) ke lantai tanah atau ke atas balai-balai/meja.
Konon katanya tanah akan marah, bumi murka dan akan mematikan rezeki
berikutnya bagi mereka. Adalah sebutir nasi atau jagung diambil dari kelobong

~2~
atau pené, lalu dibuang ke lantai tanah dengan penuh taksim mengawali saat
makan. Konon hal itu dilakukan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih
kepada bumi. Sebuah simbol bahwa dari bumilah rezeki dan kelimpahan panen
diperoleh, maka bumilah yang terlebih dahulu mencicipinya. Dalam
menyelesaikan makan, tidak sebutir nasi atau jagung yang dibiarkan tersisa
melekati keloboñ atau pené.
Hal ini dilakukan agar bumi-tanaékan merasa senang bahwa hasil dari
kesuburannya sungguh-sungguh dihargai. Sehingga daripadanya bumi dengan
sukacita dan bermurah hati segera memenuhi kembali keloboñ (tempat makan
terbuat dari tempurung besar) atau pené (tempat makan terbuat dari kayu dadap)
yang telah kosong, dan berkenan memberikan kelimpahan rezeki baru-panen
baru dari rahim bumi-tanékan, memenuhi lumbung (kébañ arañ)
Tentang keberadaan cakrawala dan semesta raya, lain lagi penghayatan nenek
moyang kita. Ketika kita iseng menghitung bintang yang bertaburan menebari
langit, kakek ataupun nenek akan menegur, “Néti ke’aneñ lodo totok limam ran’añ
na’aro kuboka!”,-- Awas, nanti jarimu buntung, digigitpatuki burung gagak!
Seyogianya, di dalam larangan ini tersirat nasihat bahwa: Sampai jari kita bunting
pun, kita tidak akan mampu menghitung bintang hingga menemukan sebuah
angka pasti. Ketika kita menatap matahari secara langsung, kita akan ditegur juga,
“Néti amet no’oñ apiñ lé’oñ matam na’aro kisuka!”,-- Awas, nanti matamu buta karena
dihujani panah api!”. Siratan nasihat sesungguhnya adalah bahwa: Apabila kita
menatap langsung ke matahari, mata kita menjadi lelah karena pancaran sinar
matahari dan radiasinya sungguh menyilaukan, dan tidak mungkin dipandang
dengan mata membelalak dalam hitungan setengah menit.
Itulah kekayaan imajinasi dan kedalaman nalar nenek moyang kita tentang
sebuah hikmah yang disajikannya melalui berbagai mitos dan berbagai ibarat.
Kedalaman penghayatan mereka akan keilahian Sang Wujud Tertinggi, senantiasa
diaktualisasikannya dengan sangat rapi, sangat seksama dalam mitos-mitos yang
mengandung nilai-nilai humaniora. Tujuannya adalah untuk memupuk rasa
hormat segena anak cucu akan semesta keilahian Sang Ilahi.
Dalam keseharian hidup kita, nenek moyang selalu mengingatkan pana aé nai
mété niku’ weli woho, tonga belol’oñ géré no’oñ lugu huleñ rér’éñ lodo. Luar biasa!
Wejangan pana aé nai mengharuskan kita maju, duc in altum mencari ilmu dan
pengetahuan sebanyak-banyaknya. Bagian lainnya mété niku’ weli woho, adalah
amaran bahwa kita menoleh, jangan sampai ada yang tertinggal atau ketinggalan.
Siapa tahu ada teman yang menyusul dari belakang.
Berikut, tonga belol’oñ géré no’oñ lugu huleñ rér’éñ lodo. Tonga belol’oñ géré—
menengadah ke tempat tinggi, tentu mata kita membentur langit yang
menyimpan serbaneka pengetahuan pengaya akal budi. Sungguh banyak hingga
tak sempat terbilang. No’oñ lugu huleñ rér’éñ lodo—tunduklah juga untuk melihat
yang ada di bumi. Di sini, mata kita tidak cukup jeli untuk menangkap semesta
kekayaan yang terhampar di atas bumi ini. Yang di langit dan di bumi adalah

~3~
semesta kekayaan. Kekayaan yang dapat menjadi milik kita, jika kita tekun
mencari untuk menjadikannya kekayaan tak berhingga.
Mengintip Adonara dari kacamata budaya, ibarat memasuki ladang tumpang
sari. Ladang tumpang sari dipilah-pilah petak dengan jajaran barisan jagung
menurut ragam benih yang ditanam. Masih ditumpangi tanaman lain di antara
barisan tanaman jagung. Ada barisan kacang tanah, ada tanaman semangka yang
subur bernas menjalarkan sulur serta buahnya. Masih diselingi pula dengan
tanaman kacang panjang. Di tengah-tengahnya rapi bertumbuh tanaman padi.
Asri dipagari wata solot (sorgum) dan weteñ (jewawut).
Seringnya bertemu dengan sosok petani inovatif, Ama Kamilus Tupen Jumat
di Ladang Bayolewung, beliau berulang-ulang menegaskan sebuah semboyan,
“Tanam apa yang Anda makan, makan apa yang Anda tanam.” Semboyan bukan
sekedar semboyan pemanis mulut belaka. Melainkan diterapkan Kamilus dengan
bersungguh-sungguh. Semboyan ini menyerukan agar kita bersahabat dengan ibu
bumi, bersatuhati dengan tanah, dengan cara berkebun, ola doka mañ kewanañ.

Tahap-Tahap Membuka Hutan Menjadi Lahan Ladang

Kaka bapa ama néné’ (nenek moyang) punya ritus-ritus kecil yang berharga
sebagai wujud menghormati bumi/alam dan segenap isinya. Membuka seareal
hutan dan/atau stepe/sabana untuk dijadikan sebidang ladang/kebun melalui
beberapa proses, antara lain:

1. Peuak Buluñ (Menandai Batas Lokasi yang Hendak Dijadikan Ladang)

Pada tahap ini, diawali dengan upacara gili’ bolak. Upacara gili’ bolak
bertujuan untuk meminta restu kepada Ama Kelaké Rerawulañ dan Ina
Kewaé Tanaékañ atas anugerah regoñ réhañ nura wolo (hutan, stepe, sabana)
yang akan dibuka untuk dijadikan ladang. Bahan-bahan untuk upacara
gili’ bolak, terdiri dari: pinang yang dibelah dua, beberapa potong buah
sirih, dan beberapa jumput kapur sirih yang dibungkus kulit jagung.
Bahan-bahan tersebut diletakkan pada salah satu tempat pada hutan yang
bakal dibuka. Pelaku yang meletakkan bahan-bahan ini mengujar koda
kirin:
ama téti rerawulañ, ama téti lodo hau
ina lali tanaékañ, ina lali géré haka
ana’ tani raé lango, di tani tokuñ tainñ malu
bai hutañ weli uma, di hutañ latu wewañ mara
ke péteñ yonem béra soroñ, dela péuñ wulim néiñ
ti getuñ kayo kedeku ma’aro mañ kewanañ
mai tawi talé amut ma’aro be’olo rodañ
pai ola mekañ ma’añ gelekat lewo,
ménu ma’añ gewayañ tana

~4~
Setelah upacara gili’ bolak, dilanjutkan dengan peuak buluñ (memberi
tanda) dengan memotong ranting pohon kecil serta rumput-rumput di
sekitar pohon, membentuk jalan setapak. Beberapa ranting dan beberapa
genggam rumput dipasang-tempatkan pada keempat sudut kebun
sebagai muluñ (tanda) no’añ wakoñ (batas lahan). Kemudian ditancapkan
kapak pada sebatang pohon dalam areal yang bakal dibukakan ladang.
Jika dalam hitungan empat hari empat malam mulung masih ada di
tempatnya serta kapak masih tetap tertancap, jadi pertanda bahwa ama
kelaké rerawulañ dan ina kewaé tanaékañ telah memberi restu, supaya nura
néwa regoñ réhañ (wilayah kelola) tersebut boleh dibabat untuk selanjutnya
dijadikan lahan bertani dan bercocok tanam.

2. Géba Néwa (Membuka Hutan)

Pada hari pelaksanaan tobang getuñ kayo, géba lélét kedeku, teri’ tawi talé
amut, pukeñ geto loloñ burak (membuka hutan) diawali dengan upacara
terak teluk (memecahkan telur) dan wéra da’a (menghambur sejumput
beras). Upacara simbolik untuk memberi makan nituñ kewéloñ dua pola
méko mirek serta memohon izin ama kelaké rerawulañ dan ina kewaé tanaékañ
untuk mulai membabat hutan. Setelah upacara terak teluk - wéra da’a
pemimpin kerja (dalam hal ini pemilik lahan) tampil untuk hok muluñ
(mengambil tanda dari dedaunan hijau), sambil mendaraskan koda:

nituñ tobi pukeñ, har’iñ bao languñ


kamé pa’o bo’ éké, gérang gotaké kaé nhi
ke béra égé’ boté kelhané no’on kelub’aké
ti kamé bélo getuñ kayo rogañ
ma’aro pukeñ geto loloñ burak
ma’añ ola duli ma’añ baki pali
ma’añ mula nubuñ pulo, mai ada’ barañ lema
nato na’añ kamé bohu sebanem, na’añ kamé seba demanem

Setelah itu, semua orang yang hadir dalam suasana gotong royong mulai
bekerja membabat hutan.

3. Seru Néwa (Membakar Ranting dan Rumput yang Dibabat)

Setelah batang, ranting, dan rumput babatan mongering, dilakukan


pembersihan di sekeliling néwa (lahan), untuk menghindari jangan sampai
api merambat ke lahan tetangga atau hutan sekitarnya. Setelah selesai
pembersihan lahan, pemilik lahan melakukan géhé kenéhé (menggesek
bambu) untuk menimbulkan api. Setelah memperoleh api dinyalakanlah

~5~
sejumlah obor. Maka tibalah saatnya dilakukan seru néwa (pembakaran
ranting dan rumput). Supaya semua ranting dan dedaunan kering
terbakar habis. patut diperhitungkan tiupan angin yang baik. Ketika
memulai pembakaran ranting dan rerumputan, dengan menyulutkan
obor bernyala ke atas rerumputan kering. Pada saat menyulukan api
semua berseru ramai-ramai dan berulang kali,

hémuñ gosuk-gosuk apé hémuñ gosuk gosuk


hémuñ aké pekeñ apé hémuñ aké pekeñ
(diserukan berulang-ulang)

4. Podo Galak (Mengumpul Puntung-puntung)

Sisa-sisa pembakaran berupa punting-puntung ranting serta lainnya


yang tidak habis terbakar pada saat seru’ néwa dikumpulkan pada suatu
tempat dalam lahan persiapan ladang. Tumpukan punting itupun dibakar
ulang. Dengan harapan kiranya semua terbakar menjadi abu yang kelak
menyatu dengan humus tanah.

5. Leteñ Pa (Pendinginan)

Untuk kelancaran leteñ pa, disiapkan bahan-bahan berupa:


 satu ekor wawe semudukeñ (babi yang tidak terlalu besar),
 tuak kelapa secukupnya,
 anakan baki (pisang hutan)
 daun leteñ (tanaman pendingin)
 air secukupnya (satu tempurung penuh)
Jalannya upacara leteñ pa:
 daun leteñ dan batang anakan baki diiris halus, dicampurkan dalam
kedenak (wadah yang terbuat dari upik pinang), lalu dicampurkan
air secukupnya.
 peserta yang hadir minum tuak (sebatas dua kali béhiñ bauñ), yang
diawali dengan bau loloñ meminta restu.
 babi disembelih hingga kepala terlepas dari badan.
 darah babi dioleskan pada tunggul-tunggul pohon yang terdapat di
keempat sudut kebun/ladang.
 irisan daun leteñ dan batang anakan baki yang telah dicampurkan
air ditabur pada keempat sudut kebun mengikuti olesan darah
babi.
 persyairan yang diucapkan tidak berupa rumusan baku, melainkan
diucapkan spontan dengan mengharapkan kesejukan yang
memberikan kesuburan dan kebernasan.

~6~
Setelah itu babi dibersihkan bulunya dan dicincang. Rahang bawah
biasanya dibiarkan utuh. Daging babi direbus. Untuk melengkapi makan
maka direbus pula ubi atau pisang. Setelah siap, daging dan ubi/pisang
rebus dihidangkan di atas bentangan daun pisang. Para peserta makan
bersama sambil minum tuak. Tulang rahang bawah yang sudah habis
disantap dijepitkan pada sebuah carang yang ada dalam kebun.

6. Péri Ole (Peletakan Batu)

Untuk kebun yang sangat luas dilakukan péri ole bél’eñ, di mana ritualnya
menggunakan manuk an’añ (anak ayam). Sedangkan untuk kebun yang
tidak seberapa luas dilakukan péri ole kén’iñ, di mana sesajiannya
menggunakan ikañ burak. Untuk dapat mengambil batu sesuai pilihan,
dibutuhkan pampasan (bayaran) berupa beleg’añ (dua gumpalan kecil
kapas putih).
Pada saat mengambil batu pilihan, segumpal kapas diletakaan di
bawah batu untuk ina kewaé tanaékañ, segmpal lainnya dibuang ke atas
untuk ama kelaké rerawulañ. Batu pun diangkat sambil mendaraskan
ungkapan:

wato ata utañ


hopéko ta’añ kakañ ariñ
pap’ano ta’añ édo no’oñ beréuñ
ma’añ metiñ kamé lithikem
maañ hide’ kamé ap’akem

Batu yang baru saja diangkat dibawa pulang ke rumah kemudian


dimandikan dan dibaluri santan yang dicampur kunyit. Setelah itu batu
disemayamkan di ri’é hikuñ lima wanañ (setara pojok rohani) selama satu
malam.
Keesokan harinya, batu diantar ke kebun untuk dilakukan puncak péri
ole. Bahan-bahan untuk péri’ ole (ole netak), adalah: tuak dalam nawiñ,
seekor anak ayam atau seekor ikan burak mentah, kapas, secarik kain
putih, nasi, ikan yang sudah dimasak, daun leteñ, dan batang anakan baki.
Wato ole (biasanya memiliki salah satu permukaan datar) ditempatkan
di tengah kebun. Untuk ole bél’eñ di atas wato ole dioleskan darah anak
ayam, dan bangkai anak ayam itu pun ditidurkan di atas wato ole.
Sedangkan untuk ole ken’iñ dibaringkanlah ikañ burak mentah di atas wato
ole. Wato ole direciki irisan daun leteñ dan irisan batang anakan baki yang
telah dicampurkan air. Pelaku ritual ini mendaraskan:

ama kelaké rerawulañ ina kewaé tanaékañ


kayo bél’eñ talé rogañ

~7~
kamé ma’aro pukeñ geto loloñ buraka
seru’ bé’oto ma’aro putuk po’o di kaé
ma’aro bewihi weléoka di kaé nhi

wato ata utañ, hopéko ta’añ kakañ ariñ


pap’ano ta’añ édo no’oñ beréuñkaé nhi
tobo hériko bo si nura néwa tukañ
ma’añ jaga gerihañ kamé
jaga gerihañ ibe’ ara’ nulañ barañ
ti nuane getañ pai wuañ wul’ina
ata aké todok toda lako buat
goñ ikan tukañ, ménu tuak bur’añ nhi….

Selesai ritual ini, makanan sisa untuk wato ole dihabiskan oleh peserta
peri’ ole. Untuk diketahui, pada saat menanami kebun benih yang
disiapkan harus diletakkan terlebih dahulu di atas wato ole. Demikian pula
ketika panen, buah pertama yang dipetik wajib diletakkan di atas wato ole.

7. Bau’ Élut (Pendinginan Batu Asah)

Pada tahap ini, bukan hanya élut (batu asah) yang mendapat catu
pendinginan. Melainkan momen pendinginan bagi semua alat kerja yang
digunakan pada saat membuka hutan, yaitu parang, kapak, dan batu
asah. Upacara ini dimaknai sebagai ungkapan/luapan rasa terima kasih
pemilik lahan kebun kepada alat-alat tersebut. Bahan yang dibutuhkan,
terdiri dari: ketupat, tuak putih, dan ikan burak. Jalannya ritual ini: parang
dan kapak diletakkan di tanah pada salah satu pojok rumah (tidak mutlak
di ri’e hikun lima wanan). Mata parang dan kapak menghadap ke gunung
atau bukit tertinggi dalam lingkungan desa. Batu asah diletakkan di atas
mata parang. Ketupat dan ikan, masing-masing disimpan dalam wadah
kelobong (tempat makan dari tempurung) atau pené (tempat makan dari
tanah liat atau kayu dadap), lalu diletakkan di sisi peralatan. Setelah itu
pemilik kebun menuang-tetaskan tuak ke atas peralatan, seraya berucap:

reket léu soru gali


pukeñ di mio ma’aro geto,
loloñ di ma’aro buraka kaé
menaiñ penerhiké mapa’ ki
ma’añ hodiñ kenahiñ kelekat lol’añ
ti miañ kamé ola mekañ
di ola sapé kébañ peno
lura sapé léwat léké.

~8~
Tahap Mula Seda’ (Menanam) Hingga Huduñ Hubak (Panen)

Tahap-tahap yang dilalui untuk mula seda’ (menanam) hingga ke nihik bulek
huduñ hubak (panen) yang dilakukan para petani di masa lalu, sekitar empat atau
lima dasawarsa silam, adalah sebagai berikut:

1. Membaca Tanda Alam dan Menyiapkan Benih

Kegiatan menanam biasanya dilakukan pada awal musim hujan


(antara Oktober, November, Desember), disertai bunyi keretek (riang-ring
kecil) dan burung tertentu. Kepastian tibanya musim tanam ketika sudah
terjadi hujan lebat dua atau tiga kali diiringi bunyi guntur bersahutan.
Para petani di masa lalu memang cerdas. Mereka mampu membaca tanda
alam. Yaitu dengan melihat timbulnya wuno pito (tujuh bintang kartika).
Inilah saatnya menanam. Maka ibu-ibu mulai bergiat sepiñ sira heliñ
menéañ (menyiapkan benih bernas). Petani yang telah yakin akan kesiapan
ladangnya, mulai menyiapkan nubak (tugal) yang bakal digunakannya
untuk melubangi tanah ladangnya.

2. Saat Menanam

Dalam lingkup lewo/lewotana, mulai ada pembagian peran diantaranya


tana alape, rera wulan alape, lewotana alape dan ribun ratu dengan pola
empat penjuru diantaranya; hikuñ teti wanañ lali sebagai kelompok yang
berperan sebagai penatua kampung dan yang berkuasa untuk memimpin.
Leiñ lau werañ rae sebagai kelompok yang berperan mengurusi hubungan
dengan kelompok masyarakat yang lain dan yang bertanggungjawab atas
masalah perang dan damai. Dua pola’ meko mirek sebagai kelompok yang
memegang kekuatan luhur, bertugas menceritakan asal usul/sejarah dan
menjaga tatanan adat. Uak tukañ wai matañ sebagai kelompok yang
menjamin kesuburan, pertumbuhan ekonomi, yang mengupayakan
kesejatraan masyarakat. Pembagian fungsi dan peran kelompok sosial ini
terlihat pada pelasanaan ritual-ritual adat.
Maka di masa lalu (sekitar 4 atau 5 dasawarsa silam) tanam menanam
di kebun menganut aturan tertentu. Kebun yang pertama ditanam adalah
mañ weru’iñ (kebun sulung) dalam lingkup sebuah suku. Setelah itu
barulah diikuti menanam kebun-kebun lainnya.
Penanaman di mulai dari keempat sudut kebun dan di tengah kebun,
dengan terlebih dahulu mengambil menéañ (benih) yang dititip di atas
wato ole. Baris luar yang berfungsi sebagai pagar adalah tanaman dela
(jelai), wata solot (sorgum), wata (jagung) sebagai beliko (pagar), dan weteñ
(jewawut). Pola bertani masa itu adalah pola tumpang sari. Areal di
bagian tengah kebun biasanya ditanamkan waha’ (padi). Para petani masa

~9~
itu tidak lupa menanam tanaman-tanaman penyerta lainnya seperti:
singkong, bési (kestela), utañ tana lolon (kacang merah), dan utañ tana one
(kacang tanah). Bahkan pada bidang tertentu ditanami kapas dan tarum.

3. Bu’a Hira

Setelah proses menanam selesai, di setiap rumah tangga dilakukan


upacara bu’a hira (makan bersama sekeluarga bersama moyang leluhur).
Acara bu’a hira lebih sering dilakukan pada malam hari, antara jam 18.00
– 19.00. Makna dan tujuan bu’a hira ialah:
a. menyampaikan rasa terima kasih atas penyertaan para leluhur
dalam proses menanam.
b. memohon restu para leluhur (yang telah diajak untuk menghadiri
bu’a hira) untuk menjamin benih yang telah ditanam tawan tepa
tanah (bertumbuh denganbaik) dan menjaga kesuburan tanaman
hingga wuang wul’ina (berbuah) melimpah.
Bahan-bahan kelengkapan ritus, antara lain: monga (sokal kecil) untuk
mengisi alé lolo (pakaian yang disimbolkan dengan perca-perca kain),
kelokat/kewokot wayake (anyaman lontar menyerupai piring-piring kecil),
makanan matang (nasi dan ikan berkuah), dan tuak (nira dari pohon
kelapa).
Persyairan yang biasa diucapkan dalam pelaksanaan bu’a hira syukur
menanam ini, adalah:
ama kelaké rerawulañ, ina kewaé tanaékañ,
kaka bapa, ama néné, koka moyañ,
opu alap, ina biné, pené’éke perogene….
tubak buno mula seda’ ta’aro lepat laita kaé
ke hogo dai
ina waé lo’ok lupañ apiké pad’uké likat rurané ki
ama laké pekeñ beliñ tuaké manuké ki
ti bu’a hira hama-hama
nato péteñ mai jaga gerihañ nulañ barañ
ti wata akéne mata tana loloñ
utañ akéne po’o putuk rodañ tukan
tawañ géré na’añ pusuñ kékoréo
nubuñ doro sapé wuañ baka likat
ta’añ pa’u nuba bo’i nara
nato malu akéne lepet mara di akéne pai horét.

4. Ho’iñ Haék (Menyiangi Kebun Merawat Tanaman)

~ 10 ~
Setelah tanaman di kebun tumbuh dalam usia dua mingguan, para
petani bekerja di ladangnya masing-masing untuk ho’iñ haék ( menyiangi
rumput liar).
Dalam mesyarakat tani, ho’iñ haék dilakukan secara bersama-sama
dalam suasana gotong royong dan semangat persaudaraan. Masyarakat
tani berlomba membentuk kelompok-kelompok gemohiñ (paguyuban
gotong royong) untuk memudahkan pekerjaan menyiangi kebun agar
lebih cepat selesai. Pekerjaan secara gotong royong ini dilaksanakan secara
bergulir-gilir hingga semua warga gemohiñ mendapat jatah dibersihkan
kebunnya.
Untuk memeriahkan suasana kerja gotong royong, acapkali diringi
dengan nyanyian tradisional. Kurang lebih syair refrainnya sebagai
berikut:
aoooo, soru wadañ soruk béra
soruk roso aé’ nai
aoooo, wato téna tolo lodo
tolo lodo kamé jaga

Refrain ini ditingkahi pantun bebas bernuansa jenaka dan ironik, dengan
maksud untuk menumbuhkan gairah dan semangat kerja.

5. Dopeñ Koha’ – Nu’uñ Mayañ (Mengantar Hama)

Jika di pertengahan usia tanaman ada hama yang mewabahi tanaman


maka diadakanlah upacara dopeñ koha’-odo’ nu’uñ mayañ-- mengantar
hama kembali ke tempat asalnya). Upacara dopeñ koha’-odo’ nu’uñ mayañ
adalah salah satu bentuk upacara mengantar hama (tikus, ulat, atau
belalang) yang merusak tanaman. Pada lazimnya hama-hama yang dating
dalam jumlah banyak ini disebut sebagai nu’uñ mayañ. Kepercayaan
setempat mengakui bahwa tikus, ulat, maupun belalang adalah makluk
hidup yang diciptakan Tuhan, tetapi diperalat oleh iblis untuk
merusakkan tanaman. Sebagai sesame makluk ciptaan Tuhan, tikus, ulat,
atau belalang harus dihargai. Oleh karena itu perlu diantar secara baik-
baik ke tempat asalnya.
Dikomandoi lewo alap/lewo méhéneñ (pengampuh kampung) setelah
mendapat persetujuan dari lango matañ pulo kaé (seluruh warga kampung),
dibuatkan sebuah boka’ (bakul lonjong besar dari anyaman lontar).
Setelah itu anak-anak muda dikerahkan untuk memikul boka’ tersebut
sekeliling kampung, menjemput segenggam padi, segenggam jagung,
kacang merah, atau hasil ladang apapun yang telah diisi dalam kubéñ
(anyaman bakul lonjong sangat kecil) dan digantung di depan rumah-
rumah warga.

~ 11 ~
Boka’ yang telah penuh dengan kumpulan hasil warga disimpan di oring
moting (pondok besar) dan diletakkan pada para-para di pondok
tersebut. Selanjutnya dilakukan tahap lanjutan, yaitu:

a. Bau loloñ (menuang tuak untuk meminta restu leluhur) yang


dilakukan oleh lewo alap/lewo méhéneñ, seraya mengucapkan koda:

aiii, ina ama’ koka moyañ


léiñ lau werañ raé hikun téti wanan lali
uakeñ tukañ wai matañ
hama-hama ta’an oneket to’u kirinet éh’añ
tai dopeñ nawowé lau ata rayhañ
turuñ ata rayhañ mété tobo riañ paé bañ
lau bo eba’ bo seba
ke pana ma’añ gosuk-gosuk
pana kaé pana aké ma’añ pekeñ
keniki wai di metiro kaé ni
ke aké tuéñ aké balik
pana sapé ma’añ doañ lau tasik goka
gawe siga ma’añ léla weli wai lengat

Setelah mengucapkan pepatah-petitih ini lewo alap menuang tuak


sekali lagi sebagai penutup acara loloñ goka.

b. Lodo’ Pana (Prosesi Mengantar)

Lewo alap memikul parang di pundaknya dan memegang seekor


anak ayam yang usianya tidak boleh melampaui satu minggu.
Diikuti anak-anak muda yang bergotong royong bergantian
memikul boka’. Beberapa anak muda bergotong royong memikul
tuak dalam torañ (tiga atau lima ruas bambu). Paling belakang
adalah barisan warga. Mengawali langkah pertama pengantar, lewo
alap berseru (gaha gapen):
ina….. ama…..
kerikeñ, ke’épiñ, berapiñ, beratuneñ
léiké papa, limaké lola, menésone, kewélone
hama-hama lau har’iñ watañ loloñ tai
lau mete tobo riañ lau tasik goka wai lengat
pukeñ lau bo mela lau bo saré
geñ bo bohu’ ménu bo seba
lau bo eba’ bo kelisi’
lodo pana gosuk-gosuk, aké pekeñ aké hia’

~ 12 ~
Pada saat lewo alap melakukan gaha gapen dengan suara
nyaring, ibu-ibu yang tinggal menabuhbunyikan apa saja, sebagai
tanda mengeluarkan aneka hama dari dalam rumah untuk diantar
serta. Tabuhan bunyi-bunyian terus membahana hingga rombongan
pengantar menghilang dari pandangan.

c. Watañ Tobi Pukeñ (di Pantai)

Setibanya rombongan pengantar di pantai (watañ tobi pukeñ)


dimulailah ritus pelepasan nu’uñ mayañ. Beberapa orang bersigap
kerja mendirikan ékéñ (bambu bercarang tujuh). Boka digantung
pada sebuah ékéñ. Tuak dalam torang disandarkan di pangkal ékéñ.
Setelah itu seorang tetua kampung menyampaikan tujuan
kedatangan ke pantai serta pantangan jika meninggalkan pantai
setelah ritual dopeñ koha selesai. Selanjutnya lewo alap mengucapkan
pepatah petitih:

ata rayhañ pelau mété tobo riañ


keniki wai mi’oñ di metiro kaé ni
ke praé regoñ réhañ mañ kewanañ on’eñ
aké hugu’ aké hubañ, aké topok aké hoda’
pana mai geniku ema bapa, lau tasik goka wai lengat
pukeñ lau bo bohu’ lau bo seba
lau bo eba’ lau bo kelisi
pana aké niku’ woh’oké

Setelah mengucapkan persyairan ini, lewo alap melepas anak


ayam di pinggir pantai. Tak perlu berlama-lama, rombongan
pengantar pulang kembali ke kampung. Dalam perjalanan pulang
tidak seorangpun diperbolehkan menoleh.

6. Nihik Bulek Huduñ Hubak (Panen)

Karena bertani dengan pola tumpang sari, padi dan jagung ditanam
bersama-sama dalam kebun maka perlu dilakukan ritual dauñ ékañ.
Sedangkan dalam kebun yang hanya ditanami jagung atau padi saja
sebagai tanaman utama, maka ritual dauñ ékañ tidak dilaksanakan. Dauñ
ékañ dilaksanakan dengan cara:
a. sepotong kayu kering dipatah menjadi dua,
b. sepotong di antaranya diletakkan dengan mengarahkan ujung
patahan ke jurusan mañ werañ, sepotong lainnya diletakkan
dengan mengarahkan ujung patahan ke mañ léiñ berdekatan
dengan potongan pertama,

~ 13 ~
c. di antara kedua potongan kayu itu ditempatkan molot beleg’añ
(segumpalan kecil kapas putih),
d. kemudian kedua potongan kayu dipegang tangan kanan dan kiri,
lalu dilakukan gerakan disambung-lepas sambung-lepas empat
kali
e. makna dauñ ékañ ialah mempersatukan padi dan jagung untuk
dipanen secara bersama-sama dan/atau berurutan.

Memetik Jagung

Panen jagungpun boleh dimulai. Buah paling bernas pada petikan


pertama wajib diletakkan di atas wato ole. Setelah itu panen pun
berlangsung sebagaimana lazimnya. Setelah semua jagung selesai dipetik,
hasil panen jagung dikumpulkan pada salah satu tempat strategis dalam
kebun. Esok harinya dilakukanlah acara kerja gumu’ wata. Gumu wata
artinya memotong pangkal patahan yang mungkin terlaku panjang saat
hepik wata, juga untuk melepas satu atau dua lapisan kulit jagung paling
luar.
Selanjutnya jagung dimasukkan ke dalam kébañ léwat atau kébañ bao
arañ tobi (lumbung). Sebelumnya disimpan rapi kébañ kenik’iñ — bekal
lumbung (sejumlah 50 atau 100 buah) pada salah satu pojok ruang
lumbung. Kebañ kenik’iñ mengandung maksud sebagai penyemangat bagi
petani itu sendiri. Dalam masa paceklik sekalipun kébañ kenik’iñ tidak
boleh diambil. Setelah kébañ kenik’iñ rapi pada tempatnya, jagung lainnya
dimasukkan ke dalam ruang lumbung.
Ada beberapa tempat/desa menggunakan kebiasaan unik, yaitu
menyusun jagung dalam lumbung wajib dilakukan oleh biné’ (saudari)
petani bersangkutan. Biné’ diyakini sebagai pembawa berkah dan
kebernasan panen di tahun-tahun berikutnya.

Memetik Padi

Memetik padi melalui beberapa pantangan. Kaum perempuan yang


diundang bergabung untuk memetik padi tidak dibolehkan makan nasi,
Yang boleh dimakan adalah jagung titi, sebagai bekal wajib.
Bulir padi petikan pertama wajib diletakkan di atas wato ole. Panen
padi berlangsung meriah dalam lantunan irama dolo-dolo yang meriah
untuk menyemangati. Terlebih dengan pelantunan pantun-pantun jenaka
yang bernada ironik penuh sindiran. Setelah panen dilanjutkan dengan
acara gihak waha (injak padi, mengirik padi) untuk melepaskan biji padi
dari mayangnya. Padi yang telah diirik dimasukkan dalam boka’ besar
berukuran sepelukan dua orang. Untuk kebun yang luas tentu
membutuhkan boka’ lebih banyak.

~ 14 ~
Setelah padi dimasukkan dalam boka yang sudah ditempatkan di
para-para lumbung, diadakanlah acara lu’ waha’ atau lu’ lepañ (sahkan
penampungan), dengan menyembelihkan seekor anak ayam. Setelah itu
petani pemilik kebun mengantar sedikit padi dan jagung sebagai upeti
traditif kepada lewo alap.

7. Bu’a Hira

Bu’a hira pada tahap ini sama pola pelaksanaannya dengan bu’a hira
pertama. Makna dan tujuan bu’a hira pada taha ini ialah:
a. menyampaikan rasa terima kasih atas penyertaan para leluhur
dalam menjaga kesuburan tanaman dan memberikan kelimpahan
nolañ mawiñ (panenan).
b. mengantar para leluhur yang telah dengan iklas hati memberikan
kesuburan dan kelimpahan hasil kembali ke alam asal mereka.
Pada akhir upacara bu’a hira, dilakukanlah dopeng keniki wai dan epeñ
etiñ bagi para leluhur. Untuk leluhur perempuan, si pengantar keniki wai
dan epeñ etiñ harus keluar melalui lewo heriñ (pintu belakang). Pada saat
menata kelokat keniki wai dan epeñ etiñ di tanah, pengantar ini mengucap
koda pamitan, sebagai berikut:

inak mel’añ wahék senar’éñ, kaka kewina wahañ kaé,


bu’a buranet lepata kaé
ke uhuñ balik mai geniku umhaké languké
genapiñ apé padu kayo wai rurañ likat
réhiñ aréñ lima’ ni
nato heruñ no’oñ nimuné namhané dori rarañ
mede wékañ gayoñ ma’aro naraneñ kaé.

Sedangkan untuk leluhur laki-laki, si pengantar keniki wai dan epeñ etiñ
adalah juga seorang laki-laki. Ia wajib keluar melalui madak (pintu depan).
Pada saat menata kelokat keniki wai dan epeñ etiñ di tanah, pengantar ini
mengucap koda pamitan, sebagai berikut:

koka moyañ mel’añ senar’éñ,


ama néné wahañ kaé,
bu’a buranet lepata kaé
ke uhuñ balik mai geniku tuaké manuké
genapiñ orine motine ewané menawuné
keniki wai esi ni
nato heruñ no’oñ édhoké réuké rarañ loloñ
mede naté néiwé ma’aro naraneñ kaé.

~ 15 ~
Penutup

Di wilayah Kelubagolit, para petani sering mengeluh bahwa panen di kebun-


kebun mereka kurang bagus. Setelah dipaparkan dalam diskusi semi resmi hal-hal
sebagaimana termuat dalam tulisan ini, mereka pun sadar bahwa banyak hal
wajib yang mereka abaikan. Asal ada “Gapoktan” para petani pun berkebun, dan
selesai. Asalkan ada sekelumit wejangan penyuluh pertanian, petani kita merasa
pintar melampaui kearifan bumi, ibu bumi. Mereka lupa, keteladanan kaka bapa
ama nene.

kakaket amaket rai mula seda koda miliñ,


koka moyanet rai peri’ hada’ kiriñ etikeñ.
mula koda péri kiriñ ra’aro pukeñ héri’ mege’
sapé nuaneñ pai tuéñ,
koda tawañ géré bauna kiriñ tiwañ nai bangana.
koda pukeñ megeka nai tiwañ pusuñ guluñ gelakeñ
kiriñ pagé plaga wik’iñ nai waréñ wuañ sama bakalikat.
pusuñ guluñ gelakeñ wuang bakalikateñ
sapé tudaka téti wutuñ muru puhuk.

david kopong lawe


mei 2015

Catatan:
 cerita dalam Serambi Depan diperoleh dari Totemismus und Totemclan auf Ost-
Flores und Adonare, Anthropos, 1938, terjemahan Paulus Sabon Nama), lembaran
lepas yang tercecer.
 ditambah hasil bincang-bincang dengan bapak Bernardus Bima raya, Horinara,
November 2009, bapak Gerardus Kopong Duli, Redontena, 15 Juni 2012.
 ungkapan dan pepatah-petitih sengaja tidak diterjemahkan untuk mengajak para
pembaca bernalar sebijak-bijaknya.

~ 16 ~

Anda mungkin juga menyukai