néwa nura lali duli tukañ ola ma’añ éhiñ géré kébañ peno mélé réré
ta’añ hiba susa pulo ta’añ pépa paya léma pa’u uma bo’i lango
Adalah seorang perempuan bernama Bita Siri Anu Waéwadañ. Kotoran dan
kencingnya mengeluarkan emas. Kukunya terbentuk dari intan berlian yang
gemerlap. Keadaan Bita Siri Anu Waéwadañ menjadi buah mulut semua orang yang
pernah melihatnya secara langsung.
Adalah juga seorang laki-laki bernama Lanañ Pati Lio Lali Jawa, mendengar
berita tentang kekayaan Bita Siri Anu Waéwadañ. Maka ia berlayar dengan
perahunya berniat meminang Bita Siri Anu Waewadan untuk dijadikannya sebagai
istri. Setibanya di pantai, ia mengutus tujuh orang pengikutnya menghadap Bita
Siri Anu Waéwadañ dengan pesan: Lanañ Pati Lio minta sirih pinang untuk
dimakannya (bahasa pinangan simbolik, minta perkenan peminangan).
Sebagai jawaban Bita Siri Anu Waéwadañ mengutus tujuh orang perempuan,
untuk mengantarkan puan yang berisikan sirih pinang kepada Lanañ Pati Lio yang
sedang menunggu di pantai. Lanañ Pati Lio memahami bahwa permintaannya
untuk meminang Bita Siri Anu Waéwadañ diterima. Maka Lanañ Pati Lio bersama
pengikutnya masuk kampong untuk menjumpai Bita Siri Anu Waéwadañ yang kaya
raya bagai seorang putri maharani. Demi merayakan pertemuan peminangan
tersebut, diselenggarakan pesta besar selama beberapa hari lamanya. Uniknya,
dalam pesta ini mereka hanya diberi makan daging dan buah-buahan.
Untuk menjawab pertanyaan Lanañ Pati Lio, tentang jenis makanan yang
mereka makan, Bita Siri Anu Waéwadañ memberikan jawaban, “Lamaranmu telah
saya terima. Sebagai seorang satria yang bijaksana, mengertilah bahwa kita akan
menjadi suami istri dengan cara kita tersendiri. Ikutilah segala perintah yang
bakal saya berikan kepadamu, maupun perintah kepada saudara-saudara saya.”
Karena belum memahami apa yang dikatan oleh Bita Siri Anu Waéwadañ, lanan
Pati Lio bertanya, “Apa maksudmu?”
~1~
Bita Siri Anu Waéwadañ menjawab, “Kamu satria kaya tetapi kaya bagi dirimu
sendiri. Saya juga wanita kaya-raya, tetapi semua kekayaanku untuk diriku
sendiri. Padahal kita harus hidup dan berkorban untuk orang banyak.”
Pada suatu hari Bita Siri Anu Waéwadañ menyuruh ketujuh saudaranya
membabat hutan untuk menyiapkan sebidang kebun yang luas. Ketujuh orang
saudaranya bekerja dengan tekun dijaga oleh Lanañ Pati Lio. Berkat keuletan dan
ketekunan kerja, maka kebun luas itu siap dengan segera. Lanan Pati Lio serta
tujuh bersaudara bertanya-tanya, “Ladang sudah siap, tetapi apa yang harus kita
tanam?” Bita Siri Anu Waéwadañ tidak menanggapi pertanyaan Lanañ Pati Lio dan
saudara-saudaranya.
Secara diam-diam, Bita Siri Anu Waéwadañ mengenakan kebaya dan sarung
pilihan, serta berbagai perhiasan yang dimilikinya. Ia mengajak Lanan Pati Lio
serta saudara-saudaranya ke kebun. Setibanya di kebun, Bita Siri Anu Waéwadañ
duduk di atas sebuah batu di tengah kebun, dan menyuruh Lanañ Pati Lio
membunuhnya, memancurkan darahnya ke seluruh permukaan kebun, serta
mencincang tubuhnya dan menghamburkannya di seluruh permukaan kebun.
Sambil menangis ia menunjukkan kesatriaan di hadapan Bita Siri Anu Waéwadañ
dan membunuhnya, disaksikan oleh saudara-saudara yang hadir. Darah Bita Siri
Anu Waéwadañ memancur dari lehernya dan diarahkan oleh Lanañ Pati Lio untuk
menyirami seluruh permukaan kebun.
Bersama saudara-saudara yang hadir dicincanglah tubuh Bita Siri Anu
Waéwadañ dan ditaburkan ke seluruh permukaan kebun tanpa melewatkan
sejengkalpun. Mareka kembali ke kampong dengan membawa keharuan masing-
masing. Setelah beberapa hari, datanglah mereka untuk menjenguk kebun. Ingin
mengetahui mujizat apakah yang terjadi di kebun mereka. Ternyata di sana,
bertumbuhlah tanaman baru yang kemudian dikenal dengan nama padi dan
jagung.
Padi dan jagung itu mereka rawat dengan bersungguh-sungguh hingga tiba
waktunya dipanen, dan diperoleh hasil yang melimpah bagi semua orang yang
hidup berdampingan dengan mereka. Lanañ Pati Lio baru menyadari bahwa
rupanya semua kejadian ini adalah inti pesan terakhir Bita Siri Anu Waéwadañ,
istrinya.
Berkebun
Rasa hormat para moyang leluhur kita terhadap semesta raya dan terhadap
wujud tertinggi dapat kita jadikan panutan dan suri teladan. Berbagai hal
menyangkut norma kehidupan dan tatanan nilai diajarkannya kepada kita melalui
simbol-simbol dan keteladanan perbuatan.
Lihat saja, ketika kakek makan: Tidak dibiarkannya sebutir nasi atau jagung
jatuh dari piring makan (keloboñ, pené) ke lantai tanah atau ke atas balai-balai/meja.
Konon katanya tanah akan marah, bumi murka dan akan mematikan rezeki
berikutnya bagi mereka. Adalah sebutir nasi atau jagung diambil dari kelobong
~2~
atau pené, lalu dibuang ke lantai tanah dengan penuh taksim mengawali saat
makan. Konon hal itu dilakukan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih
kepada bumi. Sebuah simbol bahwa dari bumilah rezeki dan kelimpahan panen
diperoleh, maka bumilah yang terlebih dahulu mencicipinya. Dalam
menyelesaikan makan, tidak sebutir nasi atau jagung yang dibiarkan tersisa
melekati keloboñ atau pené.
Hal ini dilakukan agar bumi-tanaékan merasa senang bahwa hasil dari
kesuburannya sungguh-sungguh dihargai. Sehingga daripadanya bumi dengan
sukacita dan bermurah hati segera memenuhi kembali keloboñ (tempat makan
terbuat dari tempurung besar) atau pené (tempat makan terbuat dari kayu dadap)
yang telah kosong, dan berkenan memberikan kelimpahan rezeki baru-panen
baru dari rahim bumi-tanékan, memenuhi lumbung (kébañ arañ)
Tentang keberadaan cakrawala dan semesta raya, lain lagi penghayatan nenek
moyang kita. Ketika kita iseng menghitung bintang yang bertaburan menebari
langit, kakek ataupun nenek akan menegur, “Néti ke’aneñ lodo totok limam ran’añ
na’aro kuboka!”,-- Awas, nanti jarimu buntung, digigitpatuki burung gagak!
Seyogianya, di dalam larangan ini tersirat nasihat bahwa: Sampai jari kita bunting
pun, kita tidak akan mampu menghitung bintang hingga menemukan sebuah
angka pasti. Ketika kita menatap matahari secara langsung, kita akan ditegur juga,
“Néti amet no’oñ apiñ lé’oñ matam na’aro kisuka!”,-- Awas, nanti matamu buta karena
dihujani panah api!”. Siratan nasihat sesungguhnya adalah bahwa: Apabila kita
menatap langsung ke matahari, mata kita menjadi lelah karena pancaran sinar
matahari dan radiasinya sungguh menyilaukan, dan tidak mungkin dipandang
dengan mata membelalak dalam hitungan setengah menit.
Itulah kekayaan imajinasi dan kedalaman nalar nenek moyang kita tentang
sebuah hikmah yang disajikannya melalui berbagai mitos dan berbagai ibarat.
Kedalaman penghayatan mereka akan keilahian Sang Wujud Tertinggi, senantiasa
diaktualisasikannya dengan sangat rapi, sangat seksama dalam mitos-mitos yang
mengandung nilai-nilai humaniora. Tujuannya adalah untuk memupuk rasa
hormat segena anak cucu akan semesta keilahian Sang Ilahi.
Dalam keseharian hidup kita, nenek moyang selalu mengingatkan pana aé nai
mété niku’ weli woho, tonga belol’oñ géré no’oñ lugu huleñ rér’éñ lodo. Luar biasa!
Wejangan pana aé nai mengharuskan kita maju, duc in altum mencari ilmu dan
pengetahuan sebanyak-banyaknya. Bagian lainnya mété niku’ weli woho, adalah
amaran bahwa kita menoleh, jangan sampai ada yang tertinggal atau ketinggalan.
Siapa tahu ada teman yang menyusul dari belakang.
Berikut, tonga belol’oñ géré no’oñ lugu huleñ rér’éñ lodo. Tonga belol’oñ géré—
menengadah ke tempat tinggi, tentu mata kita membentur langit yang
menyimpan serbaneka pengetahuan pengaya akal budi. Sungguh banyak hingga
tak sempat terbilang. No’oñ lugu huleñ rér’éñ lodo—tunduklah juga untuk melihat
yang ada di bumi. Di sini, mata kita tidak cukup jeli untuk menangkap semesta
kekayaan yang terhampar di atas bumi ini. Yang di langit dan di bumi adalah
~3~
semesta kekayaan. Kekayaan yang dapat menjadi milik kita, jika kita tekun
mencari untuk menjadikannya kekayaan tak berhingga.
Mengintip Adonara dari kacamata budaya, ibarat memasuki ladang tumpang
sari. Ladang tumpang sari dipilah-pilah petak dengan jajaran barisan jagung
menurut ragam benih yang ditanam. Masih ditumpangi tanaman lain di antara
barisan tanaman jagung. Ada barisan kacang tanah, ada tanaman semangka yang
subur bernas menjalarkan sulur serta buahnya. Masih diselingi pula dengan
tanaman kacang panjang. Di tengah-tengahnya rapi bertumbuh tanaman padi.
Asri dipagari wata solot (sorgum) dan weteñ (jewawut).
Seringnya bertemu dengan sosok petani inovatif, Ama Kamilus Tupen Jumat
di Ladang Bayolewung, beliau berulang-ulang menegaskan sebuah semboyan,
“Tanam apa yang Anda makan, makan apa yang Anda tanam.” Semboyan bukan
sekedar semboyan pemanis mulut belaka. Melainkan diterapkan Kamilus dengan
bersungguh-sungguh. Semboyan ini menyerukan agar kita bersahabat dengan ibu
bumi, bersatuhati dengan tanah, dengan cara berkebun, ola doka mañ kewanañ.
Kaka bapa ama néné’ (nenek moyang) punya ritus-ritus kecil yang berharga
sebagai wujud menghormati bumi/alam dan segenap isinya. Membuka seareal
hutan dan/atau stepe/sabana untuk dijadikan sebidang ladang/kebun melalui
beberapa proses, antara lain:
Pada tahap ini, diawali dengan upacara gili’ bolak. Upacara gili’ bolak
bertujuan untuk meminta restu kepada Ama Kelaké Rerawulañ dan Ina
Kewaé Tanaékañ atas anugerah regoñ réhañ nura wolo (hutan, stepe, sabana)
yang akan dibuka untuk dijadikan ladang. Bahan-bahan untuk upacara
gili’ bolak, terdiri dari: pinang yang dibelah dua, beberapa potong buah
sirih, dan beberapa jumput kapur sirih yang dibungkus kulit jagung.
Bahan-bahan tersebut diletakkan pada salah satu tempat pada hutan yang
bakal dibuka. Pelaku yang meletakkan bahan-bahan ini mengujar koda
kirin:
ama téti rerawulañ, ama téti lodo hau
ina lali tanaékañ, ina lali géré haka
ana’ tani raé lango, di tani tokuñ tainñ malu
bai hutañ weli uma, di hutañ latu wewañ mara
ke péteñ yonem béra soroñ, dela péuñ wulim néiñ
ti getuñ kayo kedeku ma’aro mañ kewanañ
mai tawi talé amut ma’aro be’olo rodañ
pai ola mekañ ma’añ gelekat lewo,
ménu ma’añ gewayañ tana
~4~
Setelah upacara gili’ bolak, dilanjutkan dengan peuak buluñ (memberi
tanda) dengan memotong ranting pohon kecil serta rumput-rumput di
sekitar pohon, membentuk jalan setapak. Beberapa ranting dan beberapa
genggam rumput dipasang-tempatkan pada keempat sudut kebun
sebagai muluñ (tanda) no’añ wakoñ (batas lahan). Kemudian ditancapkan
kapak pada sebatang pohon dalam areal yang bakal dibukakan ladang.
Jika dalam hitungan empat hari empat malam mulung masih ada di
tempatnya serta kapak masih tetap tertancap, jadi pertanda bahwa ama
kelaké rerawulañ dan ina kewaé tanaékañ telah memberi restu, supaya nura
néwa regoñ réhañ (wilayah kelola) tersebut boleh dibabat untuk selanjutnya
dijadikan lahan bertani dan bercocok tanam.
Pada hari pelaksanaan tobang getuñ kayo, géba lélét kedeku, teri’ tawi talé
amut, pukeñ geto loloñ burak (membuka hutan) diawali dengan upacara
terak teluk (memecahkan telur) dan wéra da’a (menghambur sejumput
beras). Upacara simbolik untuk memberi makan nituñ kewéloñ dua pola
méko mirek serta memohon izin ama kelaké rerawulañ dan ina kewaé tanaékañ
untuk mulai membabat hutan. Setelah upacara terak teluk - wéra da’a
pemimpin kerja (dalam hal ini pemilik lahan) tampil untuk hok muluñ
(mengambil tanda dari dedaunan hijau), sambil mendaraskan koda:
Setelah itu, semua orang yang hadir dalam suasana gotong royong mulai
bekerja membabat hutan.
~5~
sejumlah obor. Maka tibalah saatnya dilakukan seru néwa (pembakaran
ranting dan rumput). Supaya semua ranting dan dedaunan kering
terbakar habis. patut diperhitungkan tiupan angin yang baik. Ketika
memulai pembakaran ranting dan rerumputan, dengan menyulutkan
obor bernyala ke atas rerumputan kering. Pada saat menyulukan api
semua berseru ramai-ramai dan berulang kali,
5. Leteñ Pa (Pendinginan)
~6~
Setelah itu babi dibersihkan bulunya dan dicincang. Rahang bawah
biasanya dibiarkan utuh. Daging babi direbus. Untuk melengkapi makan
maka direbus pula ubi atau pisang. Setelah siap, daging dan ubi/pisang
rebus dihidangkan di atas bentangan daun pisang. Para peserta makan
bersama sambil minum tuak. Tulang rahang bawah yang sudah habis
disantap dijepitkan pada sebuah carang yang ada dalam kebun.
Untuk kebun yang sangat luas dilakukan péri ole bél’eñ, di mana ritualnya
menggunakan manuk an’añ (anak ayam). Sedangkan untuk kebun yang
tidak seberapa luas dilakukan péri ole kén’iñ, di mana sesajiannya
menggunakan ikañ burak. Untuk dapat mengambil batu sesuai pilihan,
dibutuhkan pampasan (bayaran) berupa beleg’añ (dua gumpalan kecil
kapas putih).
Pada saat mengambil batu pilihan, segumpal kapas diletakaan di
bawah batu untuk ina kewaé tanaékañ, segmpal lainnya dibuang ke atas
untuk ama kelaké rerawulañ. Batu pun diangkat sambil mendaraskan
ungkapan:
~7~
kamé ma’aro pukeñ geto loloñ buraka
seru’ bé’oto ma’aro putuk po’o di kaé
ma’aro bewihi weléoka di kaé nhi
Selesai ritual ini, makanan sisa untuk wato ole dihabiskan oleh peserta
peri’ ole. Untuk diketahui, pada saat menanami kebun benih yang
disiapkan harus diletakkan terlebih dahulu di atas wato ole. Demikian pula
ketika panen, buah pertama yang dipetik wajib diletakkan di atas wato ole.
Pada tahap ini, bukan hanya élut (batu asah) yang mendapat catu
pendinginan. Melainkan momen pendinginan bagi semua alat kerja yang
digunakan pada saat membuka hutan, yaitu parang, kapak, dan batu
asah. Upacara ini dimaknai sebagai ungkapan/luapan rasa terima kasih
pemilik lahan kebun kepada alat-alat tersebut. Bahan yang dibutuhkan,
terdiri dari: ketupat, tuak putih, dan ikan burak. Jalannya ritual ini: parang
dan kapak diletakkan di tanah pada salah satu pojok rumah (tidak mutlak
di ri’e hikun lima wanan). Mata parang dan kapak menghadap ke gunung
atau bukit tertinggi dalam lingkungan desa. Batu asah diletakkan di atas
mata parang. Ketupat dan ikan, masing-masing disimpan dalam wadah
kelobong (tempat makan dari tempurung) atau pené (tempat makan dari
tanah liat atau kayu dadap), lalu diletakkan di sisi peralatan. Setelah itu
pemilik kebun menuang-tetaskan tuak ke atas peralatan, seraya berucap:
~8~
Tahap Mula Seda’ (Menanam) Hingga Huduñ Hubak (Panen)
Tahap-tahap yang dilalui untuk mula seda’ (menanam) hingga ke nihik bulek
huduñ hubak (panen) yang dilakukan para petani di masa lalu, sekitar empat atau
lima dasawarsa silam, adalah sebagai berikut:
2. Saat Menanam
~9~
itu tidak lupa menanam tanaman-tanaman penyerta lainnya seperti:
singkong, bési (kestela), utañ tana lolon (kacang merah), dan utañ tana one
(kacang tanah). Bahkan pada bidang tertentu ditanami kapas dan tarum.
3. Bu’a Hira
~ 10 ~
Setelah tanaman di kebun tumbuh dalam usia dua mingguan, para
petani bekerja di ladangnya masing-masing untuk ho’iñ haék ( menyiangi
rumput liar).
Dalam mesyarakat tani, ho’iñ haék dilakukan secara bersama-sama
dalam suasana gotong royong dan semangat persaudaraan. Masyarakat
tani berlomba membentuk kelompok-kelompok gemohiñ (paguyuban
gotong royong) untuk memudahkan pekerjaan menyiangi kebun agar
lebih cepat selesai. Pekerjaan secara gotong royong ini dilaksanakan secara
bergulir-gilir hingga semua warga gemohiñ mendapat jatah dibersihkan
kebunnya.
Untuk memeriahkan suasana kerja gotong royong, acapkali diringi
dengan nyanyian tradisional. Kurang lebih syair refrainnya sebagai
berikut:
aoooo, soru wadañ soruk béra
soruk roso aé’ nai
aoooo, wato téna tolo lodo
tolo lodo kamé jaga
Refrain ini ditingkahi pantun bebas bernuansa jenaka dan ironik, dengan
maksud untuk menumbuhkan gairah dan semangat kerja.
~ 11 ~
Boka’ yang telah penuh dengan kumpulan hasil warga disimpan di oring
moting (pondok besar) dan diletakkan pada para-para di pondok
tersebut. Selanjutnya dilakukan tahap lanjutan, yaitu:
~ 12 ~
Pada saat lewo alap melakukan gaha gapen dengan suara
nyaring, ibu-ibu yang tinggal menabuhbunyikan apa saja, sebagai
tanda mengeluarkan aneka hama dari dalam rumah untuk diantar
serta. Tabuhan bunyi-bunyian terus membahana hingga rombongan
pengantar menghilang dari pandangan.
Karena bertani dengan pola tumpang sari, padi dan jagung ditanam
bersama-sama dalam kebun maka perlu dilakukan ritual dauñ ékañ.
Sedangkan dalam kebun yang hanya ditanami jagung atau padi saja
sebagai tanaman utama, maka ritual dauñ ékañ tidak dilaksanakan. Dauñ
ékañ dilaksanakan dengan cara:
a. sepotong kayu kering dipatah menjadi dua,
b. sepotong di antaranya diletakkan dengan mengarahkan ujung
patahan ke jurusan mañ werañ, sepotong lainnya diletakkan
dengan mengarahkan ujung patahan ke mañ léiñ berdekatan
dengan potongan pertama,
~ 13 ~
c. di antara kedua potongan kayu itu ditempatkan molot beleg’añ
(segumpalan kecil kapas putih),
d. kemudian kedua potongan kayu dipegang tangan kanan dan kiri,
lalu dilakukan gerakan disambung-lepas sambung-lepas empat
kali
e. makna dauñ ékañ ialah mempersatukan padi dan jagung untuk
dipanen secara bersama-sama dan/atau berurutan.
Memetik Jagung
Memetik Padi
~ 14 ~
Setelah padi dimasukkan dalam boka yang sudah ditempatkan di
para-para lumbung, diadakanlah acara lu’ waha’ atau lu’ lepañ (sahkan
penampungan), dengan menyembelihkan seekor anak ayam. Setelah itu
petani pemilik kebun mengantar sedikit padi dan jagung sebagai upeti
traditif kepada lewo alap.
7. Bu’a Hira
Bu’a hira pada tahap ini sama pola pelaksanaannya dengan bu’a hira
pertama. Makna dan tujuan bu’a hira pada taha ini ialah:
a. menyampaikan rasa terima kasih atas penyertaan para leluhur
dalam menjaga kesuburan tanaman dan memberikan kelimpahan
nolañ mawiñ (panenan).
b. mengantar para leluhur yang telah dengan iklas hati memberikan
kesuburan dan kelimpahan hasil kembali ke alam asal mereka.
Pada akhir upacara bu’a hira, dilakukanlah dopeng keniki wai dan epeñ
etiñ bagi para leluhur. Untuk leluhur perempuan, si pengantar keniki wai
dan epeñ etiñ harus keluar melalui lewo heriñ (pintu belakang). Pada saat
menata kelokat keniki wai dan epeñ etiñ di tanah, pengantar ini mengucap
koda pamitan, sebagai berikut:
Sedangkan untuk leluhur laki-laki, si pengantar keniki wai dan epeñ etiñ
adalah juga seorang laki-laki. Ia wajib keluar melalui madak (pintu depan).
Pada saat menata kelokat keniki wai dan epeñ etiñ di tanah, pengantar ini
mengucap koda pamitan, sebagai berikut:
~ 15 ~
Penutup
Catatan:
cerita dalam Serambi Depan diperoleh dari Totemismus und Totemclan auf Ost-
Flores und Adonare, Anthropos, 1938, terjemahan Paulus Sabon Nama), lembaran
lepas yang tercecer.
ditambah hasil bincang-bincang dengan bapak Bernardus Bima raya, Horinara,
November 2009, bapak Gerardus Kopong Duli, Redontena, 15 Juni 2012.
ungkapan dan pepatah-petitih sengaja tidak diterjemahkan untuk mengajak para
pembaca bernalar sebijak-bijaknya.
~ 16 ~