Anda di halaman 1dari 13

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

1. Sejarah Kesehatan Masyarakat

Berbicara kesehatan masyarakat tidak terlepas dari dua tokoh metologi Yunani yaitu
Asclepius dan Higeia. Berdasarkan cerita Mitos Yunani tersebut Asclepius disebutkan
sebagai seorang dokter pertama yang tampan dan pandai meskipun tidak disebutkan sekolah
atau pendidikan apa yang telah ditempuhnya, tetapi diceritakan bahwa ia telah dapat
mengobati penyakit dan bahkan melakukan bedah berdasarkan prosedur-prosedur tertentu
dengan baik.
Hegeia, seorang asistenya yang juga istrinya juga telah melakukan upaya kesehatan.
Bedanya antara Asclepius dengan Higeia dalam pendekatan/penanganan masalah kesehatan
adalah ;
1. Asclepius melakukan pendekatan (pengobatan penyakit), setelah penyakit tersebut
terjadi pada seseorang.
2. Higeia mengajarkan kepada pengikutnya dalam pendekatan masalah kesehatan
melalui “hidup seimbang”, seperti mengindari makanan/minuman yang beracun,
makan makanan yang bergizi (baik) cukup istirahat dan melakukan olahraga. Apabila
orang sudah jatuh sakit Higeia lebih menganjurkan melakukan upaya-upaya secara
alamiah untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut, anatara lain lebih baik dengan
memperkuat tubuhnya dengan makanan yang baik, daripada dengan
pengobatan/pembedahan.
Dari cerita dua tokoh di atas, berkembanglah 2 aliran/pendekatan dalam menangani
masalah kesehatan. Kelompok pertama cenderung menunggu terjadinya penyakit (setelah
sakit), yang selanjutnya disebut pendekatan kuratif/pengobatan. Kelompok ini pada
umumnya terdiri terdiri dari dokter, dokter gigi, psikiater dan praktisi-praktisi lain yang
melakukan pengobatan fisik, mental maupun sosial. Sedangkan kelompok kedua, seperti
halnya pendekatan Higeia, cenderung melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit dan
meningkatkan kesehatan (promosi) sebelum terjadi penyakit. Ke dalam kelompok ini
termasuk para petugas kesehatan masyarakat lulusan-lulusan sekolah/institusi kesehatan
masyarakat dari berbagai jenjang.
Dalam perkembangan selanjutnya, seolah-olah terjadi dikotomi antara kelompok kedua
profesi, yaitu pelayanan kesehatan kuratif (curative health care), dan pelayanan
pencegahan/preventif (preventive health care). Kedua kelompok ini dapat dilihat perbedaan
pendekatan :
a. Pendekatan kuratif :
1) Dilakukan terhadap sasaran secara individual.
2) Cenderung bersifat reaktif (menunggu masalah datang, misal dokter menunggu
pasien datang di Puskesmas/tempat praktek).
3) Melihat dan menangani klien/pasien lebih kepada sistem biologis manusia/pasien
hanya dilihat secara parsial (padahal manusia terdiri dari bio-psiko-sosial yang
terlihat antara aspek satu dengan lainnya.
b. Pendekatan preventif,
1) Sasaran/pasien adalah masyarakat (bukan perorangan).
2) Menggunakan pendekatan proaktif, artinya tidak menunggu masalah datang,
tetapi mencari masalah. Petugas turun di lapangan/masyarakat mencari dan
mengidentifikasi masalah dan melakukan tindakan.
3) Melihat klien sebagai makhluk yang utuh, dengan pendekatan holistik. Terjadiya
penyakit tidak semata karena terganggunya sistem biologis tapi aspek bio-psiko-
sosial.
2. Pengertian Kesehatan Masyarakat
Menurut Winslow (1920) bahwa Kesehatan Masyarakat (Public Health) adalah Ilmu dan
Seni : mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui
“Usaha-usaha Pengorganisasian masyarakat “ untuk :
a. Perbaikan sanitasi lingkungan
b. Pemberantasan penyakit-penyakit menular
c. Pendidikan untuk kebersihan perorangan
d. Pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini
dan pengobatan.
e. Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan
hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya.
Menurut Ikatan Dokter Amerika (1948) Kesehatan Masyarakat adalah ilmu dan seni
memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan masyarakat melalui usaha-usaha
pengorganisasian masyarakat.
Dari batasan kedua di atas, dapat disimpulkan bahwa kesehatan masyarakat itu meluas dari
hanya berurusan sanitasi, teknik sanitasi, ilmu kedokteran kuratif, ilmu kedokteran
pencegahan sampai dengan ilmu sosial, dan itulah cakupan ilmu kesehatan masyarakat.
3. Ruang Lingkup Kesehatan Masyarakat
Disiplin ilmu yang mendasari ilmu kesehatan masyarakat antara lain, mencakup :
a. Ilmu biologi
b. Ilmu kedokteran
c. Ilmu kimia
d. Fisika
e. Ilmu Lingkungan
f. Sosiologi
g. Antropologi (ilmu yang mempelajari budaya pada masyarakat)
h. Psikologi
i. Ilmu pendidikan
Oleh karena itu ilmu kesehatan masyarakat merupakan ilmu yang multidisiplin.
Secara garis besar, disiplin ilmu yang menopang ilmu kesehatan masyarakat, atau sering
disebut sebagai pilar utama Ilmu Kesehatan Masyarakat ini antara lain sbb :
1. Epidemiologi.
2. Biostatistik/Statistik Kesehatan.
3. Kesehatan Lingkungan.
4. Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
5. Administrasi Kesehatan Masyarakat.
6. Gizi Masyarakat.
7. Kesehatan Kerja.
4. Upaya-upaya Kesehatan Masyarakat
Masalah Kesehatan Masyarakat adalah multikausal, maka pemecahanya harus secara
multidisiplin. Oleh karena itu, kesehatan masyarakat sebagai seni atau prakteknya
mempunyai bentangan yang luas. Semua kegiatan baik langsung maupun tidak untuk
mencegah penyakit (preventif), meningkatkan kesehatan (promotif), terapi (terapi fisik,
mental, dan sosial) atau kuratif, maupun pemulihan (rehabilitatif) kesehatan (fisik, mental,
sosial) adalah upaya kesehatan masyarakat.
Secara garis besar, upaya-upaya yang dapat dikategorikan sebagai seni atau penerapan ilmu
kesehatan masyarakat antara lain sebagai berikut :
a. Pemberantasan penyakit, baik menular maupun tidak menular.
b. Perbaikan sanitasi lingkungan
c. Perbaikan lingkungan pemukiman
d. Pemberantasan Vektor
e. Pendidikan (penyuluhan) kesehatan masyarakat
f. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
g. Pembinaan gizi masyarakat
h. Pengawasan Sanitasi Tempat-Tempat Umum
i. Pengawasan Obat dan Minuman
j. Pembinaan Peran Serta Masyarakat
5. Perkembangan Kesehatan Masyarakat di Indonesia (Notoatmodjo, 2003)
Abad Ke-16 Pemerintahan Belanda mengadakan upaya pemberantasan cacar dan
kolera yang sangat ditakuti masyarakat pada waktu itu. Sehingga
berawal dari wabah kolera tersebut maka pemerintah Belanda pada
waktu itu melakukan upaya-upaya kesehatan masyarakat.
Tahun 1807 Pemerintahan Jendral Daendels, telah dilakukan pelatihan dukun bayi
dalam praktek persalinan. Upaya ini dilakukan dalam rangka upaya
penurunan angka kematian bayi pada waktu itu, tetapi tidak berlangsung
lama, karena langkanya tenaga pelatih.
Tahun 1888 Berdiri pusat laboratorium kedokteran di Bandung, yang kemudian
berkembang pada tahun-tahun berikutnya di Medan, Semarang,
surabaya, dan Yogyakarta. Laboratorium ini menunjang pemberantasan
penyakit seperti malaria, lepra, cacar, gizi dan sanitasi.
Tahun 1925 Hydrich, seorang petugas kesehatan pemerintah Belanda
mengembangkan daerah percontohan dengan melakukan propaganda
(pendidikan) penyuluhan kesehatan di Purwokerto, Banyumas, karena
tingginya angka kematian dan kesakitan.
Tahun 1927 STOVIA (sekolah untuk pendidikan dokter pribumi) berubah menjadi
sekolah kedokteran dan akhirnya sejak berdirinya UI tahun 1947
berubah menjadi FKUI. Sekolah dokter tersebut punya andil besar
dalam menghasilkan tenaga-tenaga (dokter-dokter) yang
mengembangkan kesehatan masyarakat Indonesia
Tahun 1930 Pendaftaran dukun bayi sebagai penolong dan perawatan persalinan
Tahun 1935 Dilakukan program pemberantasan pes, karena terjadi epidemi, dengan
penyemprotan DDT dan vaksinasi massal.
Tahun 1951 Diperkenalkannya konsep Bandung (Bandung Plan) oleh Dr.Y.
Leimena dan dr Patah (yang kemudian dikenal dengan Patah-
Leimena), yang intinya bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat,
aspek kuratif dan preventif tidak dapat dipisahkan. konsep ini kemudian
diadopsi oleh WHO. Diyakini bahwa gagasan inilah yang kemudian
dirumuskan sebagai konsep pengembangan sistem pelayanan kesehatan
tingkat primer dengan membentuk unit-unit organisasi fungsional dari
Dinas Kesehatan Kabupaten di tiap kecamatan yang mulai
dikembangkan sejak tahun 1969/1970 dan kemudian disebut
Puskesmas.
Tahun 1952 Pelatihan intensif dukun bayi dilaksanakan
Tahun 1956 Dr.Y.Sulianti mendirikan “Proyek Bekasi” sebagai proyek
percontohan/model pelayanan bagi pengembangan kesehatan
masyarakat dan pusat pelatihan, sebuah model keterpaduan antara
pelayanan kesehatan pedesaan dan pelayanan medis.
Tahun 1967 Seminar membahas dan merumuskan program kesehatan masyarakat
terpadu sesuai dengan masyarakat Indonesia. Kesimpulan seminar ini
adalah disepakatinya sistem Puskesmas yang terdiri dari Puskesmas tipe
A, tipe B, dan C.
Tahun 1968 Rapat Kerja Kesehatan Nasional, dicetuskan bahwa Puskesmas adalah
merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu, yang kemudian
dikembangkan oleh pemerintah (Depkes) menjadi Pusat Pelayanan
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas disepakati sebagai
suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kuratif dan
preventif secara terpadu, menyeluruh dan mudah dijangkau, dalam
wilayah kerja kecamatan atau sebagian kecamatan di
kotamadya/kabupaten.
Tahun 1969 Sistem Puskesmas disepakati 2 saja, yaitu tipe A (dikepalai dokter) dan
tipe B (dikelola paramedis). Pada tahun 1969-1974 yang dikenal dengan
masa Pelita 1, dimulai program kesehatan Puskesmas di sejumlah
kecamatan dari sejumlah Kabupaten di tiap Propinsi.
Tahun 1979 Tidak dibedakan antara Puskesmas A atau B, hanya ada satu tipe
Puskesmas saja, yang dikepalai seorang dokter dengan stratifikasi
puskesmas ada 3 (sangat baik, rata-rata dan standard). Selanjutnya
Puskesmas dilengkapi dengan piranti manajerial yang lain, yaitu Micro
Planning untuk perencanaan, dan Lokakarya Mini (LokMin) untuk
pengorganisasian kegiatan dan pengembangan kerjasama tim.
Tahun 1984 Dikembangkan program paket terpadu kesehatan dan keluarga
berencana di Puskesmas (KIA, KB, Gizi, Penaggulangan Diare,
Immunisasi)
awal tahun 1990- Puskesmas menjelma menjadi kesatuan organisasi kesehatan fungsional
an yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga
memberdayakan peran serta masyarakat, selain memberikan pelayanan
secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya
dalam bentuk kegiatan pokok.
Sehat, perbedaan kedokteran dan kesehatan masyarakat
Sehat menurut kamus besar bahasa indonesia adalah keadaan baik seluruh badan serta
bagian-bagiannya (bebas dari rasa sakit); waras. Sedangkan menurut menurut UU 23 tahun 1992,
kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi (bab 1 ketentuan umum pasal 1 butir 1). WHO dalam
memberikan definisi sehat adalah a state of completely physical, mental, and social well being
and not merly the absent of disease or infirmity (1948).
Jadi sehat itu bukan hanya tidak adanya penyakit atau rasa sakit pada diri kita tapi juga
seorang dapat dikatakan benar-benar sehat apabila ia itu terlihat sehat bukan hanya pada fisiknya
tapi juga aspek kejiwaannya atau psikologisnya, bahkan UU no.23 tahun 1992 menambahkan
definisi sehat menjadi lebih sukar lagi yaitu selain sehat secara fisik, psikis, dan sosial tapi jjuga
seseorang itu baru dapat dikatakan sehat apabila ia produktif.
Kalau konsep kesehatan itu dikaitkan antara kesehatan masyarakat dan kedokteran, kira-
kira bagaimana ya hubungan dan perbedaan antara kedua bidang yang kelihatannya sama itu?
Kedokteran dalam menggunakan metodenya mengunakan prinsip kuratif dan rehabilitatif.
Kuratif (pengobatan) digunakan untuk orang-orang sakit atau dengan kata yang lebih mudahnya
kuratif adalah nama lain dari proses menyembuhkan seseorang dari keadaan sakit secara fisik dan
psikis sedangkan rehabilitatif (pemulihan) adalah proses menjaga agar seorang yang sudah
sembuh (belum 100% sembuh) kembali bugar seperti semula.
Kesehatan masyarakat menggunakan pendekatan preventif dan promotif. Preventif
(pencegahan) adalah mencegah jangan sampai terkena penyakit atau menjaga orang yang sehat
agar tetap sehat, sedangkan promotif (peningkatan) adalah meningkatkan agar status status
kesehatan menjadi semakin meningkat. Perbedaan lain yang cukup mencolok adalah kesehatan
masyarakat mengambil obyek sasaran kesehatannya yaitu masyarakat atau komunitas (skala
makro) sedangkan kedokteran menangani individu (skala mikro).
Jadi sebenarnya tugas kesehatan masyarakat itu lebih sulit dibandingkan kedokteran
karena obyek dari kesehatan masyarakat yang lebih luas yaitu masyarakat secara umum atau
suatu komunitas. Kesehatan masyarakat menangani orang sehat yang jumlahnya sangat besar,
berkisar antara 80% (untuk negara berkembang) atau 85% (untuk negara maju). Lagi pula kita
harus berusaha ekstra keras untuk menyadarkan masyarakat yang sehat agar mampu dan mau
untuk menjaga kesehatannya, karena sesungguhnya menjaga kesehatan itu lebih sulit dari pada
mengobati, hal ini disebabkan nikmat kesehatan itu lebih sering dilupakan dari pada cobaan sakit.
Seperti dalam sebuah hadis nabi "2 kenikmatan yang sering dilalaikan manusia adalah nikmat
sehat dan waktu luang". Kita pun sering begitu, dalam keadaan sehat kadang-kadang kita sering
lupa untuk makan teratur, kurang memperhatikan istirahat yang cukup (terutama buat para
aktivis), malas berolah raga dan jarang mensyukuri nikmat kesehatan yang diberikan Allah untuk
kita, tapi kalau sudah sakit barulah kita mau ber-repot-repot untuk mengobatinya.
Jadi kalau mau diambil kesimpulannya, tantangan kesehatan masyarakat lebih besar dari pada
kedokteran terutama karena perbedaan aspek pendekatan yang digunakan, aspek kuratif dan
rehabilitatif lebih mudah untuk diterapkan (terutama pada orang sakit yang tidak memiliki
banyak pilihan) sedangkan aspek preventif dan promotif lebih sukar untuk diterapkan karena
hasil yang didapat bersifat long term (jangka panjang) sehingga tidak bisa langsung diambil
manfaatnya dan biasanya orang-orang lebih senang untuk melihat hasil yang cepat.
Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat
Kebijakan
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, pemahaman, dan penerapan perilaku hidup
bersih dan sehat.
2. Meningkatkan kualitas sumber daya, manusia lingkungan, prasarana dan sarana
kesehatan.
3. Meningkatkan kualitas lembaga dan pelayanan kesehatan.
Untuk mencapai sasaran tersebut dilaksanakan melalui bidang tenaga kerja dengan
program – program sebagai berikut :
1. Program Perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat.
2. Program Perbaikan Gizi.
3. Program upaya kesehatan.

Masalah kesehatan masyarakat bias saja kecil dan sederhana ataupun besar dan kompleks.
Masalah kecil dan sederhana yang bersifat local dan melibatkan sedikit orang dapat diselesaikan
melalui bantuan sekelompok kecil masyarakat dan pengaturan yang minimal. Masalah yang lebih
besar dan kompleks yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat membutuhkan keterampilan dan
sumber daya yang signifikan untuk penyelesaiannya. Untuk masalah semacam itu, upaya yang
lebih besar harus dikerahkan untuk mengatur warga suatu komunitas agar mau bekerjasama
menerapkan solusi akhir untuk masalah mereka itu.
Organisasi masyarakat didefinisikan sebagai “suatu proses untuk membantu masyarakat
dalam mengenali masalah atau tujuan umum, memobilisasi sumber daya, dan dengan cara lain
membangun serta menerapkan strategi untuk mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan
bersama”. Pengorganisasian masyarakat bukan sebuah ilmu, melainkan sebuah seni pembentukan
kesepakatan dalam suatu proses yang demokratis.
Dasar asumsi pengorganisasian masyarakat :
1. Kominitas manusia dapat mengembangkan kapasitas untuk mengatasi masalah-maslah
mereka sendiri.
2. Manusia mau berubah dan dapat berubah.
3. Manusia harus berpartisipasi dalam penyusunan, penyesuaian, dan pengendalian
perubahan besar yang berlangsung dalam komunitas mereka.
4. Perubahan dalam kehidupan masyarakat, yang dipaksakan atau dikembangkan sendiri,
memiliki makna dan kelangsungan yang tidak dimiliki oleh perubahan yan
dipaksakan.
5. Suatu “pendekatan holistic” dapat mengatasi masalah dengan efektif yang tidak dapat
diatasi oleh “pendekatan yang terpecah belah”.
6. Demokrasi membutuhkan partisipasi dan tindakan kooperatif dalam menghadapi
urusan masyarakat, dan manusia harus mempelajari keterampilan yang dapat
mewujudkan hal tersebut.
7. Seringkali, masyarakat membutuhkan bantuan dalam pengorganisasian agar dapat
berhadapan dengan kebutuha mereka, sama halnya individu memerlukan bantuan
untuk menyelesaikan masalah pribadinya.
Tiga metode pokok organisasi masyarakat yang dikembangkan :
1. Pengembangan lokal, didasarkan pada konsep umum partisipasi swabantu dari
masyarakat lokal. Konsep itu sangat berorientasi pada proses, dan memberikan
tekanan pada kesepakatan serta kerjasama yang ditujukan untuk pembentukan
identitas kelompok dan rasa kebersamaan,
2. Perencanaan social, merupakan konsep yang sangat berorientasi pada tugas, dan
memberikan tekanan pada pemecahan masalah empiris secara rasionaldan melibatkan
berbagai tingkatan partisipasi dari banyak orang dan perencana luar.
3. Kegiatan sosial, merupakan konsep yang berorientasi pada tugas maupun pada proses
dan terbukti efektif dalam membantu mengelola segmen-segmen yang tidak
menguntungkan pada populasi.

Pembangunan masyarakat (Community building) merupakan suatu orientasi bagi


masyarakat yang berbasis kekuatan bukan berbasis kebutuhan, dan lebih ditekankan pada
identifikasi, pengembangan dan pemetikan hasil dari suatu masyarakat. Salah satu perbedaan
utama antara pengorganisasian masyarakat dan pembangunan masyarakat adalah jenis pengkajian
yang digunakan untuk memnentukan arah focus upaya masyarakat. Pada pendekatan
pengorganisasian masyarakat, pengkajian difokuskan pada kebutuhan masyarakat, sedangkan
pada pembangunan masyarakat, pengkajian difokuskan pada asset dan kemampuan masyarakat.
Untuk menetapkan kebutuhan dan asset/kapasitas suatu masyarakat, suatu pengkajian
harus dilaksanakan. Langkah ini dapat mencakup pengkajian kebutuhan secara tradisional dan
atau teknik baru yang disebut pemetaan kapasitas masyarakat. Pengkajian kebutuhan merupakan
suatu proses untuk mengumpulkan dan menganalisis data mengenai persoalan yang ada. Dari
hasil analisis data, masalah akan muncul dan ditetapkan prioritasnya sehingga strategi dapat
dibentuk untuk mengatasinya.
Proses analisis terhadap data hasil pengkajian masyarakat harus dapat mengidentifikasi
masalah yang akan diselesaikan. Penetapan prioritas masalah itu paling baik dilaksanakan
melalui kesepakatan atau persetujuan bersama dari mereka yang sudah terorganisasi sehingga
“kepemilikan” dapat dirasakan. Penting kiranya bagi semua orang yang terlibat dalam proses
untuk merasakan bahwa mereka “memiliki” masalah dan ingin masalah itu diselesaikan.
Begitu prioritas masalah ditetapkan; perlu diidentifikasi tujuan yang akan berfungsi
sebagai acuan untuk menyelesaikan masalah. Proses pencapaian kesepakatan sekali lagi harus
dilakukan selama penetapn tujuan. Tujuan itu, yang akan menjadi landasan untuk semua kegiatan
yang akan berlangsung, dapat dipandang sebagai “hasil akhir yang diharapkan”.
Ada beberapa solusi alternative untuk setiap masalah masyarakat. Sebuah solusi
melibatkan pemilihan satu atau beberapa kegiatan intervensi. Setiap jenis kegiatan intervensi
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelompok hasrus berupaya menyetujui strategi yang
terbaik, kemudian memilih kegiatan intervensi yang paling menguntungkan. Kelompok harus
mencapai kesepakatan dahulu melalui kompromi.
Empat langkah terakhir dalam pendekatan umum untuk pembangunan / pengorganisasian
masyarakat ini mencakup penerapan kegiatan intervensi yang telah diseleksi dalam langkah
sebelumnya, evaluasi hasil akhir rencana kegiatan, pemeliharaan hasil, dan jika perlu, kembali ke
langkah sebelumnya dalam proses untuk memodifikasi atau merestrukturisasi rencana kerja guna
mengorganisasikan masyarakat.
Penerapan kegiatan intervensi mencakup identifikasi dan pengumpulan sumber daya yang
diperlukan untuk penerapan dan merencanakan kerangka waktu yang sesuai untuk
pelaksanaannya. Evaluasi proses melibatkan perbandingann antara hasil akhir proses dengan
tujuan yang telah ditetapkan pada langkah yang lebih awal. Memelihara atau mempertahankan
hasil akhir mungkin merupakan salah satu langkah yang paling sulit dalam keseluruhan proses.
Pada langkah ini, pengatur perlu memikirkan perlunya kapasitas jangka panjang dalam
penyelesaian masalah. Terakhir, melalui langkah-langkah penerapan, evaluasi, dan pemeliharaan
hasil akhir, pengatur mungkin perlu mundur ke langkah sebelumnya dalam proses untuk
mengkaji dan mengerjakan kembali sebelum meneruskan rencana mereka.
Apapun pendekatan yang digunakan dalam pembangunan / pengorganisasian masyarakat,
pengembangan lokal, perencanaan sosial, kegiatan social, atau pendekatan umum, tidak semua
masalah dapat diselesaikan. Pada kasus lain, berulangkali upaya mungkin harus dilakukan
sebelum tercapai sebuah solusi. Selain itu, perlu diingat bahwa jika terdapat suatu masalah dalam
masyarakat, kemungkinan aka nada beberapa orang yang diuntungkan dari kemunculannya itu
sehingga mereka berupaya mencegah terbentuknya solusi yang efektif untuk menyelesaikannya.
Terselesaikan atau tidaknya masalah itu, keputusan akhir yang dihadapi kelompok
terorganisasikan adalah pilihan untuk membubarkan atau mereorganisasikan kelompok untuk
menghadapi masalah yang baru atau untuk menyerang masalah lama dari sudut yang berbeda.
Pendidikan kesehatan didefinisikan sebagai kombinasi apapun dari pengalaman
pembelajaran terencana yang didasarkan pada teori-teori yang logis yang membekali individu,
kelompok, dan masyarakat dengan peluang untuk mendapatkan informasi dan keterampilan guna
membuat keputusan kesehatan yang bermutu.
Promosi kesehatan sebagai kombinasi terencana apapun dari mekanisme pendidikan,
politik, lingkungan, peraturan, maupun mekanisme organisasi yang mendukung tindakan dan
kondisi kehidupan yang kondusif untuk kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat.
Perencanaan program merupakan suatu proses merencanakan intervensi untukmembantu
memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di masyarakat. Untuk merencanakan intervensi
semacam itu mungkin diperlukan suatu upaya pembangunan/pengorganisasian masyarakat.
Peningkatan sumber daya tenaga kesehatan
a. Kuantitas :
1. Pemenuhan kebutuhan, Penempatan dan pemerataan bidan di desa
2. Desentralisasi pengangkatan dokter, bidan, tenaga kesehatan lainnya
b. Kualitas :
1. Melakukan koordinasi dengan sektor pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
tenaga kesehatan
2. Peningkatan pelatihan tenaga kesehatan
3. Pelatihan berbasis kompetensi
4. Jaga mutu pelayanan kesehatan
2. Ketersediaan sarana sesuai standar dan kebutuhan program
a. Peningkatan kualitas sarana fisik pelayanan kesehatan dasar
b. Peningkatan kualitas sarana fisik pelayanan kesehatan rujukan
c. Pemenuhan obat, bahan habis pakai, alat kesehatan sesuai standar dan kebutuhan
3. Peningkatan Fungsi Institusi Kesehatan
a. Pemantapan kelembagaan
b. Pemantapan kepemimpinan dan manajemen
c. Peningkatan fungsi yankes dasar
1. Pemerintah dan swasta
2. Puskesmas Efektif dan Responsif
3. Puskesmas DTP sebagai Puskesmas PONED
d. Peningkatan fungsi yankes rujukan
1. Pemerintah dan swasta
2. Rumah Sakit Proaktif dan Sensitif
3. Rumah Sakit PONEK

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Revitalisasi Posyandu sebagai forum komunikasi & tempat pelayanan kesehatan terpadu
termasuk perbaikan gizi dan pengembangan perilaku sehat.
2. Pos Kesehatan termasuk Pos kesehatan di Pesantren sebagai pusat pengembangan
perilaku sehat, peningkatan kesehatan lingkungan dan pengembangan pembiayaan
kesehatan pra- upaya.
3. Pemantapan pemanfaatan Polindes.
4. Pemantapan Gerakan Sayang Ibu – Desa Siaga, donor berjalan, bidan siaga, tabulin ,
ambulans desa, dsb.
5. Peningkatan kemitraan dengan lintas sektor, swasta, LSM dan organisasi masyarakat
dalam upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif.
6. Peningkatan perilaku hidup sehat individu, keluarga dan masyarakat melalui pendidikan
kesehatan mulai usia dini.
7. Pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan kesehatan lingkungan, mis. SARASA, desa
sehat.

Pengembangan Pembiayaan Kesehatan


1. Penggalian dana masyarakat termasuk swasta : Dana Sehat, Infaq Sehat, Tabungan
Bersalin, Dana Sosial Bersalin, Dana Sosial Keagamaan, dsb.
2. Pengembangan sistem pembiayaan kesehatan praupaya: JPK, asuransi kesehatan
3. Peningkatan pembiayaan kesehatan dari pemerintah ( APBD Kab / Kota, Propinsi,
sumber lain: PLN, hibah ) disertai penggunaan yang lebih efektif dan efisien khususnya
pemenuhan “public goods” & yankes Keluarga Miskin.
Contoh kasus : Indikator-indikator yang mewakili tingkat capaian kinerja sebagai contoh
:
1. Meningkatkan peran lintas sektoral dalam pembinaan PHBS
2. Meningkatnya kualitas kesehatan sekolah
3. Meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat
4. Meningkatnya kualitas hasil kegiatan PHBS sebesar Strata PHBS
5. Meningkatnya kegiatan pemberdayaan kader posyandu
6. Meningkatnya pengetahuan penghuni lapas tentang dampak buruk penyalahgunaan napza
dari sudut kesehatan
7. Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang upaya pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan napza
8. Anak umur 0-5 tahun balita ditimbang
9. Angka kesakitan penyakit malaria
10. Angka kesakitan penyakit DBD
11. Angka kesembuhan TB Paru
12. Angka kesakitan diare pada semua umur
13. Angka kesakitan IPSA pada balita
14. Angka kesakitan antraks
15. Tertanggulanginya KLB keracunan makanan, penyakit dan kedaruratan lainnya
16. Tingkat paparan pestisida
17. Terlindungi bayi dari PD3I
18. Data epidemologi penyakit menular dan tidak menular dapat diketahui secara cepat dan
akurat
19. Meningkatnya kualitas kesehatan bagi masyarakat rawan
20. Diketahuinya permasalahan & pemecahan masalah program KIA
21. Diketahuinya permasalahan dan pemecahan masalah GSI
22. Diketahuinya permasalahan dan pemecahan masalah Polindes
23. Terealisasinya bantuan dan pembinaan terpadu dengan Lintas sector
24. Tersedianya data KIA
25. Terbentuknya Tim DTPS-MPS Kabupaten dalam rangka menekan AKI & AKB
26. Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petugas Puskesmas tentang PONED
27. Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petugas Puskesmas
28. Terdeteksinya penyebab kesakitan/kematian ibu dan bayi
29. Mengetahui perilaku bumil dan keluarga dalam memanfaatkan dan menggunakan buku
KIA
30. Tersedianya buku pegangan KR dan KB
31. Meningkatnya wawasan, keterampilan guru dalam pengelolaan UKS

Keberhasilan capaian kinerja tersebut antara lain dapat terlihat pada kualitas kegiatan
meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat, hal ini disebabkan antara lain :
1. Kesadaran masyarakat akan Pola hidup Bersih Sehat (PHBS) dan perilaku hidup bersih
dan sehat dimasyarakat cukup tinggi.
2. Adanya penyuluhan yang dilakukan petugas kesehatan masyarakat.
3. Setiap 6 bulan sekali dilakukan survey ke masyarakat.

Kemudian pada angka kesakitan malaria. Keberhasilan ini disebabkan antara lain
dilaksanakannya :
1. Setiap ada kasus dilakukan penyelidikan epidemiologi ke lokasi penderita dengan
pengambilan sediaan darah malaria masyarakat sekitar penderita.
2. Pengobatan penderita.
3. Deteksi dini dengan pengambilan sediaan darah bagi pendatang dari daerah endemis
malaria dan orang yang baru datang/pulang dari daerah endemis (misal: tentara yang
pulang dari Aceh, Ambon).
4. Pengobatan pencegahan bagi orang yang akan pergi ke daerah endemis malaria.
5. Penyuluhan – penyuluhan.
6. Pertemuan koordinasi ditingkat desa dan kecamatan untuk pemberantasan malaria.
7. Penyemprotan rumah (indoor residual spraying) didaerah endemis (Turi dan Mlati).
8. Koordinasi lintas batas dengan wilayah perbatasan (Kota, Klaten, Kulonprogo,
Magelang).
keberhasilan ini antara lain dilaksanakannya :
1. Penyuluhan.
2. Penggerakan masyarakat untuk PSN (pemberantasan sarang nyamuk).
3. Abatisasi / penaburan bubuk abate.
4. Penyelidikan Epidimologi/PE (kunjungan lapangan) setiap ada kasus.
5. Pemantauan jentik berkala secara rutin oleh kader, anak sekolah, institusi, dimasyarakat
dan sekolah.
6. Penyemprotan atau fogging.
7. Penyebaran informasi tentang DBD melalui leaflet, poster, spanduk dan media cetak.
8. Tolk show melalui media elektronik.
9. Penetapan protap dengan penetapan sebagai berikut :
a. Melakukan penyelidikan PE, setiap ada informasi kasus dalam waktu 1 X 24 jam.
b. Bila hasil PE mendukung fogging maka dalam waktu 3 X 24 jam dilakukan
fogging / penyemprotan.
10. Koordinasi lintas batas dengan wilayah perbatasan.

Menurunnya angka kesakitan diare pada semua balita. Keberhasilan tersebut disebabkan
adanya :
1. Pemberian penyuluhan kepada masyarakat.
2. Penyebaran informasi melalui media cetak seperti leaflet.
3. Pemantaun kasus melalui laporan mingguan dari puskesmas sejumlah 24 dan rumah sakit
sejumlah 6.
4. Pemberian stimulan jamban dan material lainnya untuk pembuatan jamban keluarga
kepada kelompok masyarakat.
5. Pembagian kapurit untuk kapurisasi pada sumber air minum.
6. Tatalaksana penderita diare secara tepat baik di puskesmas, rumah sakit, pemerintah
maupun swasta.
7. Respon cepat terhadap setiap informasi dengan penggerakan jumlah kasus tim gerak cepat
Kabupaten (TGC).

Pencapaian target kinerja yang terdiri dari indicator-indikator dapat menunjukkan bahwa
tingkat capaian sasaran secara umum sesuai dengan yang ditargetkan. Sasaran-sasaran tersebut
dicapai melalui program utama:
1. Perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat;
2. Perbaikan gizi;
3. Upaya kesehatan
Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat:
1. Tersedianya Puskesmas dan klinik pengobatan yang tersebar
2. Kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sarana kesehatan yang ada.
Adapun kegiatan utama yang mendukung pencapaian sasaran tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pengelolaan, pelatihan, pembentukan PHBS sekolah.
2. Pemberdayaan kader posyandu
3. Pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan Napza
4. Penanganan gizi makro
5. Pemberantasan penyakit DBD dan malaria
6. Pemberantasan penyakit pes, antrak, kusta, infeksi saluran pernafasan akut Phenomia
(ISPA) ,TBC, Diare
7. Penanganan KLB (penyakit keracunan makanan dan kedaruratan lainnya)
8. Pemeriksaan Cholinesterase penyemprot pestisida
9. Pengelolaan dan pelaksanaan imunisasi
10. Pengamatan pelacakan dan penanggulangan KIPI ( kejadian ikutan pasca imunisasi)
kewaspadaan dini terhadap penyakit
11. Penanganan kesehatan rawan penyakit dan bantuan rehap medic penderita cacat gakin
12. Pengelolaan dan pembinaan KIA
13. Sosialisasi kesehatan reproduksi

Hambatan / masalah :
1. Terjadi peningkatan kasus DBD.
2. Gizi buruk pada balita.

Upaya / Pemecahan Masalah yang dilakukan adalah :


1. Penanggulangan penyakit DBD. Dalam rangka memutus rantai penularan penyakit DBD
diterapkan dengan kebijakan : setiap ada laporan DBD puskesmas harus melakukan
penyelidikan epidemiologi (PE) dalam waktu 1 X 24 Jam. Apabila dari hasil penyelidikan
epidemiologi (PE) menunjukkan kasus tersebut potensial menjadi fokus penularan, maka
dalam waktu 3 X 24 Jam harus sudah dilakukan fogging fokus dengan radius 100 – 200
M (sekitar 100 rumah / bangunan) disertai gerakan PSN (Pemberantasan Sarang
Nyamuk).
2. Gizi buruk pada balita.
a. Pemberian informasi yang proporsional ke media massa tentang situasi dan
kondisi status gizi pada balita dan kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah
Daerah.
b. Pelaksanaan penyelidikan epidemiologi (PE) oleh petugas puskesmas jika ada
laporan kasus gizi buruk dan tindak lanjut penatalaksanaan kasus tersebut.
c. Pelaksanaan survai pemantauan status gizi (PSG) pada seluruh balita di posyandu
serentak pada bulan Februari.
d. Pemberian makanan tambahan (PMT) susu bagi balita dan ibu hamil Gakin.

EPIDEMIOLOGI
Mempelajari penyebaran dan factor penyebab penyakit dan cidera dalam masyarakat.
Angka insidens merupakan ukuran jumlah kasus baru penyakit, cidera, atau kematian pada
populasi semala periode waktu tertentu., sedangkan angka prevalensi mengukur semua kasus.
Angka serangan merupakan jenis khusus angka insidensi yang digunakan untuk KLB tunggal.
Tiga jenis desain studi umum untuk mempelajari penyakit dan cidera pada populasi :
1. Epidemiologi deskriptif berkaitan dengan definisi epidemiologi sebagai ilmu yang
mempelajari tentang distribusi penyakit atau masalah kesehatan masyarakat. Di sini
dipelajari tentang frekuensi dan distribusi suatu penyakit atau masalah kesehatan dalam
masyarakat. Keterangan tentang frekuensi dan distribusi suatu penyakit atau masalah
kesehatan menunjukkan tentang besarnya masalah itu dalam masyarakat. Hasil pekerjan
epidemiologi deskriptif diharapkan mampu menjawab pertanyaan mengenai faktor Siapa
(Who), Di mana (Where), dan Kapan (When).
a. Siapa; merupakan pertanyaan tentang factor orang yang akan dijawab dengan
mengemukakan perihal mereka yang terkena masalah, bias mengenai varibel umur,
jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekrjaan, dan pendapatan. Factor-faktor ini
biasa disebut sebagai variable epidemiologi atau demografi. Kelompok orang yang
potensial atau punya peluang untuk menderita sakit atau mendapatkan resiko,
biasanya disebut population at risk (populasi beresiko).
b. Di mana; pertanyaan ini mengenai factor tempat di mana masyarakat inggal atau
bekrja, atau di mana saja di mana ada kemungkinan mereka menghadapi masalah
kesehatan.
c. Kapan; kejadian penyakit berhubungan juga dengan waktu. Factor waktu ini dapat
berupa jam, hari, minggu, bulan, dan tahun, musim hujan dll.
2. Epidemiologi Analitik, berkaitan dengan upaya epidemiologi untuk menganalisis factor
penyebab (determinant) masalah kesehatan. Di sini diharapkan epidemiologi mampu
menjawab pertanyaan kenapa (Why) atau apa penyebab terjadinya masalah itu.
3. Epidmioloi Eksperimental, dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab penyakit. Cirri
khas eksperimental adalah mengendalikan variable. Ada tiga tiga prinsip lain yang sangat
penting dalam menyusun desain studi ini, yaitu ; kelompok control, randomisasi, dan
“kebutaan (blindness)”.
Tujuan masing-masing studi tersebut adalah membantu menetapkan penyebab penyakit dan
memberikan informasi yang dapat membantu mengendalikan KLB yang tengah berlangsung
dan mencegah KLB berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai