Anda di halaman 1dari 65

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................ ii

PERNYATAAN PENGESAHAN................................................................... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................. iv

PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................................................ v

PRAKATA......................................................................................................... vi

DAFTAR ISI...................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1

A. Latar Belakang........................................................................................ 1

B. Tujuan..................................................................................................... 5

C. Manfaat................................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 7

A. Pengertian Kanker Payudara.................................................................. 7

B. Faktor Resiko Kanker Payudara............................................................. 7

C. Stadium dan Klasifikasi TNM................................................................ 10

D. Jenis Kanker Payudara............................................................................ 12

E. Patofisiologi............................................................................................ 14

F. Manifestasi Klinis Kanker Payudara...................................................... 16

G. Komplikasi Kanker Payudara................................................................. 18

H. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................... 18

I. Penatalaksanaan Kanker Payudara......................................................... 20

J. Kanker Payudara Metastase Otak.......................................................... 21

K. Pengertian Bronkopneumonia............................................................... 23
L. Etiologi Bronkopneumonia................................................................... 23

M. Pemeriksaan Diagnostik........................................................................ 24

N. Manifestasi Klinis Bronkopneumonia................................................... 24

O. Komplikasi Bronkopneumonia.............................................................. 25

P. Penatalaksanaan Bronkopneumonia...................................................... 25

Q. Konsep Asuhan Keperawatan................................................................ 26

BAB III RESUME KASUS............................................................................. 34

A. Pengkajian............................................................................................. 34

B. Diagnosa - Evaluasi.............................................................................. 37

BAB IV PEMBAHASAN................................................................................ 43

A. Pengkajian............................................................................................. 43

B. Diagnosa – Evaluasi............................................................................. 46

BAB V PENUTUP............................................................................................. 75

A. Simpulan........................................................................................................75

B. Saran.............................................................................................................76

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Virus merupakan penyebab penyakit menular yang perlu mendapatkan perhatian

khusus. Dalam beberapa tahun terakhir, penyakit virus yang menyebabkan epidemi

antara lain severe acute respiratory syndrome coronavirus ( SARS-CoV) pada tahun

2002-2003, influenza H1N1 pada tahun 2009, MERS-CoV yang pertama kali

ditemukan di Saudi Arabia pada tahun 2012. Tiongkok melaporkan kasus

pneumonia misterius yang tidak diketahui penyebabnya pada 31 Desember 2019,

data awal disebukan data epdemiologi menunjukkan 66% pasien terpajan dengan

pasar seafood atau live market di Wuhan. Pada Tanggal 11 Februari WHO memberi

nama virus baru tersebut dengan 2019-nCoV atau COVID-9, virus ini adalah RNA

rantai tunggal, pada taggal 11 Maret 2020 WHO mengumumkan COVID-19

menjadi pandemi di dunia. ( Buku Pedoman Tatalaksana COVID-19, 2020)

Kasus pneumonia pada COVID-19 bulan April 2020 menurut peneltian yang

dilakukan oleh Bappenas 2020 pada awal masa pandemi terjadi terhitung 1.93%

kasus. Penumonia yang diderita muncul dengan jenis dari ringan hingga pneumonia

yang dapat mengakibatkan infeksi yang berat pada pasien atau yang sering disebut

sepsis. Banyak cara telah diupayakan untuk pecegahan terhadap kejadian

pneumonia pada kasus COVID-19 mulai dari terapi medis dan asuhan keperawatan

yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pneumonia yang dapat

memperberat kondisi pasien salah satunya dengan melakukan oral hygine dengan

chlorhexidine, sedangkan chlorhexidine sendiri saat ini menurut penelitian sudah

tidak efektif lagi digunakan untuk mencegah pneumonia pada COVID-19 oleh

karena sifat virus dan RNA virus COVID-19 itu sendiri. ( Wong, 2020)
Peta perkembangan COVID-19 di Indonesia merujuk pada Kemenkes RI per

tanggal 25 Juli 2021 kasus terkonfirmasi positif COVID-19 adalah sebanyak

3.166.505 kasus, sembuh sebanyak 2.509.318, meninggal sebanyak 83.279. kasus

aktif sebanyak 573.908, kasus suspek sebanyak 275.145. Kasus COVID-19

meningkat sebnayak 36.679 kasus, banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan

kasus COVID-19 di Indonesia mulai dari kepatuhan akan prokes, usia,penyakit

penyerta yang telah diderita sebelumnya, imunitas yang tidak terjaga, tingkat

mobilitas yag dilakukan, aktivitas yang meningkatkan intensitas berkerumun juga

menjadi faktor resiko peningkatan kasus COVID-19.

Surveilans yang dilakukan oleh Center for Disease Controle (CDC) melaporkan

data klinis pada 1.478 pasien rawat inap terkonfirmasi positif COVID-19 mulai 1-

30 Maret 2020, menunjukkan bahwa penyakit penyerta dengan prevalensi tertinggi

adalah hipertensi (49,7%), obesitas (48,3%), penyakit paru kronis (34,6%), diabetes

mellitus (28,3%), penyakit kardiovaskular (27,8%), penyakit saraf (14%), dan

penyakit ginjal (13%). Tren yang menarik dari data diatas adalah obesitas memiliki

prevalensi yang cukup tinggi sebagai penyakit penyerta COVID-19. Dari data

diketahui juga bahwa pasien COVID19 dengan obesitas prevalensinya tinggi pada

usia muda, yaitu usia 18-49 tahun (59%), usia 50-64 tahun (49%), usia >65 tahun

(41%).

Hipertensi merupakan salah satu komorbid yang paling sering ditemui pada pasien

COVID-19. Hipertensi juga banyak terdapat pada pasien COVID-19 yang

mengalami ARDS. Saat ini belum diketahui pasti apakah hipertensi tidak terkontrol

merupakan faktor risiko untuk terjangkit COVID-19, akan tetapi pengontrolan

tekanan darah tetap dianggap penting untuk mengurangi beban penyakit. Pasien

dengan hipertensi mungkin mengalami risiko yang meningkat terhadap aritmia

jantung akibat dari penyakit jantung yang mendasarinya, atau akibat dari seringnya

pasien mengalami hipokalemia pada kondisi infeksi COVID-19 berat.


Peran perawat sangat diperlukan dalam memahami dan menangani berbagai hal

yang berkaitan dengan masalah pneumonia pada covid-19 dengan berbagai

komorbid pasien salah satunya adalah hipertensi, mulai dari dasar penyakit,

patofisiologi, faktor pengkajian, penatalaksanaan, sehingga diharapkan dapat

memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif. Berdasarkan hal tersebut

penulis tertarik untuk membuat Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan

Keperawatan Pneumonia pada COVID-19 Dengan Komorbid Hipertensi di Rumah

Sakit Columbia Asia Semarang”

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Memaparkan hasil penerapan Asuhan Keperawatan Pneumonia pada COVID-

19 Dengan Komorbid Hipertensi pada Tn. Y di Rumah Sakit Columbia Asia

Semarang.

2. Tujuan Khusus

Setalah melakukan asuhan keperawatan pneumonia pada covid-19 dengan

komorbid hipertensi diharapkan penulis mampu :

a. Melakukan pengkajian secara sistematis dan komprehensif pada klien

pneumonia pada covid-19.


b. Melakukan analisa data dan menentukan diagnosa pada klien pneumonia

pada covid-19.

c. Merumuskan intervensi secara sistematis dan komprehensif pada klien

pneumonia pada covid-19.

d. Melakukan implementasi secara sistematis dan komprehensif pada klien

pneumonia pada covid-19.

e. Melakukan evaluasi secara sistematis dan komprehensif pada klien

pneumonia pada covid-19.

C. Manfaat

1. Bagi Pelayanan Perawatan

Memberikan informasi tentang pemberian asuhan keperawatan secara

komprehensif baik dalam pengkajian, identifikasi masalah-masalah

keperawatan, tujuan, kriteria hasil, merencanakan tindakan keperawatan serta

evaluasi tindakan pada kasus pneumonia pada covid-19 dengan komorbid

hipertensi.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan informasi tentang cara penatalaksanaan dan perawatan pada pasien

pneumonia pada covid-19 dengan komorbid hipertensi

3. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Memberikan tambahan kasus dengan adanya pneumonia pada covid-19 dengan

komorbid hipertensi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kanker Payudara

1. Pengertian

Kanker payudara adalah suatu penyakit yang dapat timbul dari jaringan

payudara dengan manifestasi yang mengakibatkan kegagalan untuk mengontrol

proliferasi dan maturasi sel. Kanker payudara relatif sering dijumpai pada

wanita dan merupakan penyebab kematian utama pada wanita berusia 45 dan

64 tahun. Kanker payudara mungkin ditemukan sewaktu in situ (masih lokal)

atau ditemukan sebagai neoplasma maligna (telah menyebar).

2. Faktor Resiko

Kanker payudara hingga kini belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun

banyak penelitian yang menunjukkan adanya beberapa faktor resiko terjadinya

kanker payudara menurut (Rahman, 2019, hlm.44) antara lain :

a. Riwayat adanya penyakit tumor jinak

Beberapa tumor jinak pada payudara dapat bermutasi menjadi ganas seperti

atipikal duktal hyperplasia. Wanita yang diobati kankernya pada satu

payudara memiliki peningkatan resiko kanker lima kali lipat

yang timbul pada payudara mereka lainnya dibandingkan dengan populasi

pada umumnya.

a. Usia menarche dan siklus menstruasi

Menarche dini berhubungan dengan peningkatan resiko kaker payudara,

didapatkan data bahwa pada usia menarche yang lebih muda (12 tahun)
terdapat peningkatan resiko 2-4 kali lebih tinggi terkena kanker payudara.

Resiko yang sama juga dimiliki wanita yang mengalami menopause pada

usia diatas 55 tahun.

b. Riwayat keluarga

Pada kanker payudara telah diketahui beberapa gen yang dikenali

mempunyai kecenderungan untuk terjadinya kanker payudara yaitu gen

BRCA I. BRCA 2 dan juga pemeriksaan histopatologi faktor proliferiasi

“p53 germline mutation” kanker payudara cenderung terjadi pada usia muda

pada wanita yang membawa kelainangen BRCA1 atau BRCA 2.Pada

masyarakat umum yang tidak dapatmemeriksakan gen faktro proliferasinya,

maka riwayat kanker pada keluarga merupakan salah satu faktor resiko

terjadinya penyakit seperti, tiga atau lebih keluarga (saudara ibu klien atau

bibi) dari sisi keluarga yang sama terkena kanker payudara atau ovarium,

adanya riwayat kanker payudara bilateral pada keluarga, adanya riwayat

kanker payudara pada pria dalam keluarga.

c. Usia kehamilan pertama

Resiko kanker payudara menunjukkan peningkatan usia mereka saat

kehamilan pertama. Ini diperkirakan karena adanya rangsangan pematang

dari sel-sel pada payudara yang diinduksi oleh kehamilan, yang membuat

sel - sel ini lebih peka terhadap transformasi yang bersifat karsinogenik

d. Jenis kelamin

Wanita memiliki resiko lebih besar terkena kanker payudara. Namun, laki-

laki pun dapat terserang kanker payudara. Hanya saja jumlahnya tergolong

sangat kecil, yakni kurang dari 1% dari total kasus kanker payudara. Hal ini

disebabkan laki-laki memiliki lebih sedikit hormon esterogen dan


progesteron yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker. Selain itu,

payudara laki-laki sebagian besar terdiri dari lemak, bukan kelenjar seperti

wanita.

e. Usia

Seperti penyakit lainnya, resiko kanker payudara meningkat seiring

bertambahnya usia. Semakin panjang usai seseorang, kemungkinan

terjadinya kerusakan genetik (mutasi) juga semakin meningkat. Pada

rentang usia 30-39 tahun resiko terjadinya kanker payudara adalah 1 dalam

233 orang atau sekitar 0,43%. Ketika seorang wanita mencapai usia 60-an

resiko akan melonjak naik menjadi 1 dalam 27 orang atau hampir 4%.

f. Paparan radiasi

Seseorang yang pernah mengalami kanker dan mendapatkan terapi radiasi

kanker di bagian dada memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker payudara.

Semakin muda usia seseorang saat memperoleh radiasi, semakin tinggi

resiko kanker payudara karena pada saat muda organ payudara sedang

mengalami pertumbuhan.

g. Obesitas

Wanita yang mengalami obesitas memiliki resiko terkena kanker payudara

lebih tinggi dibanding dengan wanita yang memiliki bobot badan ideal,

terutama bagi wanita yang telah memasuki masa menopause. Hal ini

berkaitan dengan hormon esterogen yang dihasilkan oleh sel lemak.

Semakin banyak sel lemak seseorang, akan semakin tinggi pula kadar

esterogen dalam tubuhnya. Sementara itu, salah satu pemicu pertumbuhan

sel kanker payudara adalah hormon esterogen.


3. Stadium dan Klasifikasi TNM

Sistem penentuan stadium menurut Rahman (2019, hlm.52):

a. Stadium 0 (stadium awal )

Kanker in situ dimana sel-sel kanker berada pada tempatnya di dalam

jaringa payudara yang normal

b. Stadium I

Tumor dengan diameter kurang dari 2 cm dan belum ada tanda metastase

c. Stadium IIA

Tumor dengan diameter 2-5 cm dan belum menyebar ke kelenjar getah

bening ketiak atau tumor dengan diameter 2 cm tetapi sudah menyebar ke

kelenjar getah bening ketiak

d. Stadium IIB

Tumor dengan diameter lebih besar dari 5 cm dan belum menyebar ke

kelenjar getah bening ketiak atau tumor dengan diameter 2-5 cm tetapi

sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak

e. Stadium IIIA

Tumor dengan diameter 5 cm dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening

ketiak disertai perlengketan satu sama lain atau perlengketan ke struktur

lainnya, atau tumor dengan diameter lebih dari 5 cm dan sudah menyebar ke

kelenjar getah bening ketiak

f. Stadium IIIB

Tumor telah menyusup ke luar payudara, yaitu ke dalam kulit payudara atau

ke dinding dada atau telah menyebar ke kelenjar getah bening di dalam

dinding dada dan tulang dada

g. Stadium IV
Tumor telah menyebar keluar daerah payudara dan dinding dada, misalnya

ke hati, otak, tulang, atau paru-paru.

Tahap klinik yang paling sering digunakan untuk kanker adalah sistem

klasifikasi TNM yang mengevaluasi ukuran tumor, nodus, dan adanya

metastase. Menurut Wijaya dan Putri (2013, hlm.91) pertahapan ini

didasarkan pada fisiologi memberikan prognosis yang lebih akurat, tahap-

tahapnya adalah sebagai berikut :

Tumor Size (T)

Tx : tak ada timor

To : tak dapat ditunjukkan adanya tumor primer

T1 : tumor dengan diameter kurang dari 2 cm

T2 : tumor dengan diameter 2-5 cm

T3 : tumor dengan diameter lebih dari 5 cm

T4: tumor tanpa memandang ukurannya telah menunjukkan perluasan

secara langsung ke dinding thorax atau kulit.

Regional Limpho Nodus (N)

Nx : kelenjar ketiak tak teraba

No : tak ada metastase kelenjar ketiak homolateral

N1 : metastase ke kelenjar ketiak homolateral tapi masih bisa digerakkan

N2 :metastase ke kelenjar ketiak homolateral, melekat terfiksasi satu sama

lain atau jaringan sekitarnya.

N3 :metastase ke kelenjar ketiak homolateral suprklavikuler atau

infraklavikuler atau edema lengan.


Metastase Jauh :

Mo : tak ada metastase jauh

M1 : metastase jauh termasuk perluasan ke dalam kulit di luar payudara.

4. Jenis kanker Payudara

Jenis kanker payudara menurut Sjamsuhidajat (2017, hlm.492) antara lain :

a. Jenis kanker payudara berdasaekan sifat serangannya

1) Kanker payudara invasif (menyerang)

Sel kanker merusak saluran dan dinding kelenjar susus serta menyerang

lemak dan jaringan konektif payudara di sekitarnya. Kanker dapat bersifat

invasif (menyerang) tanpa selalu menyebar (metastasis) ke kelenjar limfe

atau organ lain dalam tubuh.

2) Kanker payudara non-invasif (tidak menyerang)

Sel kanker terkunci dalam saluran susu dan tidak menyerang lemak dan

jaringan konektif payudara disekitarnya. Ductal carcinoma in situ (DCIS),

merupakan bentuk kanker payudar non-invasif yang paling sering terjadi

(90%). Lobular carcinoma in situ , meski lebih jarang justru perlu

diwaspadai karena merupakan tanda meningkatnya resiko kanker

payudara.

b. Jenis kanker payuydara yang umum terjadi

1) Lobular carcinoma in situ (LCIS, lobular neoplasia)

Kata “in situ” merujuk pada kanker yang tidak menyebar dari area dimana

kanker mulai muncul. Pada LCIS, pertumbuhan jumlah sel jelas terlihat

berada pada kelenjar susu (lobules).

2) Ductal carcinoma in situ (DCIS)


Merupakan tipe kanker payudara non-invasif (tidak menyerang) yang

paling umum terjadi. DCIS seringkali terdetaksi pada mammogram sebagai

microcalcifications (tumpukan kalsium dalam jumlah kecil).

3) Infiltrating lobular carcinoma (ILC)

Juga dikenal sebagai invasife lobular carcinoma. ILC mulai terjadi di

dalam kelejar susu (lobulus) payudara, tetapi sering menyebar (metastase)

ke bagian tubuh yang lain. ILC terjadi 10%-15% dari seluruh kejadian

kanker.

4) Infiltrating ductal carcinoma (IDC)

Juga dikenal sebagai invasive ductral carcinoma. IDC terjadi di dalam susu

fsn mrnjrbol dinding saluran, menyerang jaringan lemak payudara dan

kemungkinan juga terjadi di bagian tubuh lain. IDC merupakan tipe kanker

payudara yang paling umum terjadi.

c. Jenis kanker payudara yang jarang terjadi

1) Medullary carcinoma

Merupakan satu jenis kanker payudara invasif yang membentuk satu batas

yang tidak lazim antara jaringan tumor dan jaringan normal.

2) Mucinous carcinoma

Juga disebut colloid carcinoma. Mucinos carcinoma merupakan satu jenis

kanker payudara yang jarang terjadi, terbentuk oleh sel kanker yang

memproduksi mucus (lendir).

3) Tubular carcinoma

Merupakan satu tipe kasus dari kanker payudara invasif. Jenis kanker ini

terjadi sekitar 2% dari seluruh diagnosa kanker payudara

4) Paget’s disease of the nipple


Salah satu jenis kanker payudara yang berawal di saluran susu, kemudian

menyebar ke kulit areola dan puting. Kulit payudara akan pecah-pecah,

memerah, mengoreng (borok), dan mengeluarkan cairan. Massa tumor

sering tidak dapat diraba dibawah puting tempat dimana penyakit ini

timbul.

5. Patofisiologi

Tumor/neoplasma merupakan sel yang berubah dengan ciri proliferasi yang

berlebihan tak berguna. Proliferasi abnormal sel kanker akan menggangu fungsi

jaringan normal dengan menginfiltrasi dan memasukinya dengan cara

menyebarkan anak sebar ke organ –organ yang jauh (Wijaya, 2013, hlm.89).

Penyebaran ini terjadi melalui sirkulasi darah atau cairan limfatik, transplatasi

tanpa sengaja dari satu tempat ke tempat lain pada saat pembedahan dan

melalui peluasan setempat.

Kanker dapat menyebar dengan dua cara, yaitu penyebaran hematogen dan

limfatik. Penyebaran hematogen ditandai dengan sel tumor yang invasive

memecah membrane basalis serta dinding pembuluh darah, kemudian tumor

tersebut melepaskan sel-sel malignan ke dalam sirkulasi. Sebagian besar sel itu

akan mati, tetapi beberapa diantaranya dapat terhindar dari sistem pertahanan

tubuh pejamu dan lingkungan turbulen dalam arus aliran darah. Dari sini, massa

sel tumor yang berhasil hidup dan disebut emboli sel tumor bermigrasi ke hilir

dan biasanya tersangkut dalam capillary bed (bantalan kapiler) yang ditemukan

pertama. Setelah tersangkut, sel tumor membentuk selubung pelindung dari

fibrin, trombosit, dan faktor pembekuan agar tidak terdeteksi oleh sistem imun.
Kemudian sel tumor melekat pada epitelium untuk akhirnya menginvasi

dinding pembuluh darah, intersisium, dan parenkim organ yang menjadi

sasarannya. Agar tetap hidup, tumor yang baru terbentuk itu akan

mengembangkan jalinan pembuluh darahnya sendiri dan pada akhirnya dapat

melakukan penyebaran kembali.

Sistem limfatik merupakan jalur yang paling sering dipakai sel tumor untuk

bermetastasis ke tempat yang jauh. Sel tumor memasuki pembuluh limfatik

melalui membran basalis yang rusak dan terbawa ke nodus limfa regional. Pada

keadaan ini, tumor akan terperangkap dalam nodus limfa pertama yang

dijumpainya. Pembesaran nodus limfa, yang mungkin menjadi bukti pertama

metastasis, dapat terjadi karena peningkatan pertumbuhan tumor dalam nodus

limfa itu atau karena reaksi sistem imun yang terlokalisasi terhadap tumor

tersebut. Nodus limfa dapat menyaring atau mengandung sebagian sel tumor

sehingga membatasi penyebaran lebih lanjut. Sel tumor yang lolos dapat masuk

ke dalam darah dari sirkulsi limfatik melalui banyak koneksi yang ada diantara

sistem vena dan limfatik (Kowalak, 2014, hlm.22).

Bronkopneumonia pada pasien kanker payudara dapat terjadi karena penurunan

sistem imun. Penurunan sistem imun dapat terjadi karea penyakit, usia lanjut,

dan malnutrisi, sehingga bakteri akan dengan cepat berkembang biak dan

merusak organ paru-paru. Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu

mikroorganisme paru banyak disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan

yang dilakukan oleh pejamu. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus

paru menjadi terisi cairan. Agen penyebab bronkopneumonia masuk ke paru-


paru melalui inhalasi ataupun aliran darah, kemudian timbul reaksi peradangan

pada dinding bronkus. Sel menjadi radang berisi eksudat dan sel epitel menjadi

rusak (Syaifuddin, 2011, hlm.393).

6. Manifestasi Klinis

Gejala kanker cukup beragam, tergantung dari lokasi adanya kanker, karakter

keganasan, dan keadaan metastasis. Kondisi sangat awal pada kanker payudara

tidak akan menimbulkan tanda dan gejala apa pun. Seringkali wanita tidak

menyadari atau merasakan adanya benjolan kecil yang menyebabkan perubahan

bentuk pada payudara dan merupakan tanda awal dari kanker payudara

(Handayani, 2013, hlm.51)

Tanda umum dari kanker payudara menurut Wijaya (2013, hlm.90) antara lain :

a. Kulit cekung

b. Nyeri tekan atau raba

c. Retraksi kulit puting susu

d. Kulit tebal dan pori-pori menonjol seperti kulit jeruk (peau d’orange)

e. Keluar cairan dari puting susu ketika sedang tidak menyusui

f. Timbul iritasi di kulit payudara

Tanda metastase Wijaya (2013, hlm.91) antara lain :

a. Nyeri pada bahu, pinggang, punggung bawah

b. Batuk menetap

c. Anoreksia

d. BB turun
e. Gangguan pencernaan

f. Sakit kepala

8. Komplikasi

Komplikasi dari kanker payudara menurut Sjamsuhidayat (2013, hlm.93) antara

lain :

a. Metastasis otak, paru, hati, tulang tengkorak, vertebrae, iga, tulang panjang

b. Limfedema

Limfedema adalah pembengkakan yang terjadi pada salah satu atau kedua

lengan dan tungkai yang disebabkan oleh penghambatan atau gangguan

pada sistem limfatik, yang merupakan bagian dari sistem imun dalam tubuh.

Pada umumnya kondisi ini terjadi pada wanita yang menjalani perawatan

atau terapi kanker payudara

c. Kematian

9. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien kanker menurut

Rasjidi (2013, hlm.72) antara lain :

a. Pemeriksaan laboratorium meliputi

1) Morfologi sel darah putih

2) LED

3) Tes fal marker (CEA) dalam serum/plasma

b. Imaging test

1) Mammografi
Mammografi adalah teknik pencitraan payudara yang dapat mendeteksi

lesi yang tidak terpalpasi. Pada mammografi digunakan sinar x dosis

rendah untuk menemukan daerah yang abnormal pada payudara. Biasanya

digunakan pda wanita dengan tanda-tanda kanker, diantaranya puting

mengeluarkan cairan atau ada benjolan baru.

2) Ultrasound (USG)

Pemeriksaana ultrasound adalah pemeriksaan dengan frekuensi tinggi

untuk mendapatkan gambaran jaringan pada payudara. Gelombang bunyi

yang tinggi ini bisa membedakan suatu massa yang solid yang

kemungkinan kanker, dan kista yang berisi cairan, yang kemungkinan

bukan kanker.

3) MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI biasanya lebih baik dalam melihat suatu kumpulan massa yang kecil

pada payudara yang mungkin tidak terlihat saat USG atau

mammogram.khususnya pda wanita yang mempunyai jaringan payudara

yang padat.

4) CT Scan

Untuk melihat secara detail letak tumor.

c. Test tumor marker .

Untuk melihat apakah ada suatu jenis zat kimia yang ditemukan pada darah,

urin, atau jaringan tubuh. Dengan adanya jumlah tumor marker yang terlalu

tinggi atau terlalu rendah dari nilai normalnya mengindikasikan adanya suatu

proses tidak normal dalam tubuh. Pada kanker payudara test tumor marker

yang biasanya dilakukan adalah CA 15.3 dengan mengambil sampel darah.

Pada keadaan normal sel marker tidak boleh lebih dari 30.
d. Biopsi

1) Image guided biopsy

Digunakan ketikda suatu benjolan yang mencurigakan tidak teraba. Itu

dapat dilakukan dengan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB,

menggunakn jarum kecil untuk mengambil sampel jaringan). Stereotactic

Core Biopsy (menggunakan X-Ray untuk menentukan jaringan yang akan

diambil) atau Vacum Assisted Biopsy (menggunkan jarum yang tebal untuk

mengambil beberapa macam jaringan inti yang luas).

2) Surgical biopsy

Biopsi dengan cara operasi dengan mengambil sejumlah besar

jaringan.biopsi ini bisa incisional(mengambil sebagian besar dari benjolan)

atau excisional (mengambil seluruh benjolan).

10. Penatalaksanaan

Pengobatan pada kanker payudara menurut Rahman (2019, hlm.53) antara lain

a. Pembedahan

1) Lumpectomy

Yaitu operasi pengangkatan tumor dan jaringan di sekitarnya. untuk

kasus DCIS (ductal carcinoma in situ) dan kanker invasif biasanya akan

dilanjutkan dengan terapi radiasi

2) Total mastectomy

Yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara, tetapi tidak termasuk

kelenjar getah bening di bawah ketiak.


b. Terapi ajuvan dan neo - ajuvan

1) Kemoterapi ajuvan

Penelitian menunjukkan kemoterapi bertujuan untuk membantu

mencegah kekambuhan kanker. Kemoterapi merupakan proses

pemberian obat-obatan yang bertujuan membunuh sel kanker. Sistem ini

diharapkan mencapai target pada pengobatan kanker yang kemungkinan

telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.

2) Terapi hormon

Pengobatan terapi pada penderita kanker payudara yang sel-sel

kankernya memiliki reseptor esterogen (ERpositif) bertujuan untuk

menghambat atau menurunkan kadara esterogen.

3) Radioterapi

Radioterapi biasanya diberikan setelah operasi pembedahan lokal dan

dapat diberikan setelah mastektomi. Proses penyinaran diberikan pada

daerah yang terkena kanker dengan menggunakan sinar x dan sinar

gamma yang bertujuan membunuh sel kanker yang masih tersisa di

payudara.

11. Kanker Payudara Metastase Otak

Penyebaran kanker atau metastasis dimulai ketika sel-sel kanker memisahkan

diri dari sel kanker primer dan menyerang jaringan normal di dekatnya. Dari

sini, sel kanker kemudian berkembang biak dan mungkin memproduksi

senyawa tertentu yang merangsang pergerakan sel menuju tempat lainnya.

Sel-sel kanker dapat menyebar melalui satu dari beberapa rute umum

metastasis (aliran darah, sistem limfatik, atau menembus lapisan penutup


rongga organ tubuh) untuk menuju bagian tubuh lainnya. Sel kanker yang

berhasil terlepas dari sel kanker primer akan dibunuh oleh sistem kekebalan

tubuh atau masuk ke dalam kelenjar getah bening untuk kemudian

dihancurkan, namun ada beberapa sel kanker yang dapat bertahan hidup dan

membentuk sel kanker sekunder (metastasis).

Metastasis jauh dapat terjadi dengan atau tanpa adanya kekambuhan lokal di

payudara. Onset waktu terjadinya sulit diramalkan, tetapi terdapat beberapa

faktor yang mungkin berpengaruh terhadap risiko terjadinya metastasis

seperti ukuran tumor, dan/atau keterlibatan kelenjar getah bening, status

hormonal, grading sel kanker yang tinggi, profil genetic dan metastasis

lomfonodi.

Proses terjadinya metastasi otak merupakan proses yang kompleks

memerlukan invasi sel kanker payudara pada jaringan dan pembuluh darah,

masuk ke dalam sirkulasi serta melakukan kolonisasi parenkim otak. Pada

kanker payudara, proses ini memerlukan waktu median 32 bulan dari

diagnosis awal, yang menunjukkan bahwa sel kanker payudara, tidak seperti

sel kanker lainnya, membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk penetrasi

sawar darah otak dan berkoloni di otak. Lokasi tersering terjadinya metastasis

pada kanker payudara adalah otak, paru-paru, dan tulang. Manifestasi klinis

metastasis otak tergantung dari lokasi metastasis. Beberapa gejala muncul

dalam beberapa minggu dan juga bergantung pada ukuran dan jumlah

metastasis. Lesi hemisfer dapat bermanifestasi klinis sebagai perubahan

kognitif, status mental dan perubahan perilaku. Lesi sebelum bermanifestasi

sebagai nyeri kepala dan gangguan gait (Silalahi, 2018, ¶5).


B. Bronkopneumonia

1. Pengertian

Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang bercak,

teratur atau dalam satu atau lebih area terlokalisasi dalam bronki dan meluas ke

parenkim paru yang berdekatan disekitarnya. Eksudat cenderung tetap terutama

di bronki dan bronkiolus, dengan sedikit edema dan kongesti alveoli (Lemone,

2015, hlm.1460).

2. Etiologi

Penyebab dari bronkopneumonia menurut Muttaqin (2011, hlm.97) antara lain:

a. Bakteri :Pneumococus, bacillus friedlander, diplococcus pneumonia,

streptococcus aureus.

b. virus : respiratori syncytial virus, adenovirus, virus influenza

c. jamur : aspargilus species, candida albican, histoplasma capsulatum

d. aspirasi : cairan amnion, minyak tanah, polusi udara

3. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik bronkopneumonia menurut Lemone (2015, hlm.1465)

antara lain :

a. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,

biasanya > 10.000/ul kadang mencapai 30.000 jika disebabkan oleh virus

atau mokroplasma, jumlah lekosit dapat normal atau menurun dan pada
hitung jenis lekosit terdapat pergeseran ke kiri, juga terjadi

peningkatan

b. Pemeriksaan radiologi

Foto thorax merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting.

terdapat bercak dan cavitas, penebalan (bulging) fisura inter lobar,

infiltrasi bilateral atau gambaran bronchopneumonia, serta gambaran

retikuler yang difusi.

5. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis beragam, bergantung pada organisme penyebab dan penyakit

pasien (Smeltzer & Bare, 2014, hlm.458) antara lain :

a. Menggigil mendadak dan dengan cepat berlanjut menjadi demam (38,5ºc -

40,5ºc)

b. Nyeri dada pleuritik yang semakin berat ketika bernafas dan batuk

c. Takikardi atau bradikardi

d. Tanda lain infeksi saluran nafas atas, sakit kepala, demam derajat rendah,

nyeri pleuritik, sputum purulen, bercampur darah, kental atau hijau,

bergantung pada agen penyebab.

e. Nafsu makan menurun

6. Komplikasi

a. Meningitis

b. gagal napas.

c. Abses paru

d. Atelektasis
7. Penatalaksanaan

Lemone (2015, hlm.1469) mengatakan bahwa pada pasien dengan

bronkopneumonia ada beberapa penatalaksanaan yaitu :

a. Farmakologi

1) Obat-obatan simtomatis seperti paracetamol

2) Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit dengan bantuan infus,

dextrose 5%, normal salin, atau RL

3) Pemilihan obat-obat anti infeksi, tergantung kuman penyebab

b. Non Farmakologis

1) Ajarkan keluarga tentang pemberian obat

2) Berikan informasi/edukasi pada keluarga tentang cara pengendalian

infeksi

3) Pemberian gizi yang seimbang pada pasien

4) Hindari lingkungan yang banyak dengan asap rokok dan polusi

5) Tirah baring

6) Pertahankan jalan napas

C. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya klien masuk ke rumah sakit karena mencicipi adanya benjolan yang

menekan payudara, adanya ulkus, kulit berwarna merah dan mengeras, bisul

dan nyeri
b. Riwayat Kesehatan Dahulu

Adanya riwayat ca mammae sebelumnya atau ada kelainan pada mammae,

kebiasaan makan tinggi lemak, pernah mengalami sakit pada adegan dada

sehingga pernah mendapatkan penyinaran pada adegan dada, ataupun

mengidap penyakit kanker lainnya, mirip kanker ovarium atau kanker serviks.

c. Riwayat Kesehatan Keluarga

Adanya keluarga yang mengalami ca mammae besar lengan berkuasa pada

kemungkinan klien mengalami ca mammae atau pun keluarga klien pernah

mengidap penyakit kanker lainnya, mirip kanker ovarium atau kanker servik

d. Pemeriksaan Fisik

1) Kepala : normal, kepala tegak lurus, tulang kepala umumnya bundar

dengan tonjolan frontal di adegan anterior dan oksipital dibagian posterior.

2) Rambut : biasanya tersebar merata, tidak terlalu kering

3) Mata : biasanya tidak ada gangguan bentuk dan fungsi mata.

anemis, tidak ikterik, tidak ada nyeri tekan.

4) Telinga : normalnya bentuk dan posisi simetris. Tidak ada tanda

Tanda infeksi dan tidak ada gangguan fungsi pendengaran.

5) Hidung : bentuk dan fungsi normal, tidak ada infeksi dan nyeri

tekan.

6) Mulut : mukosa bibir kering, tidak ada gangguan perasa.

7) Leher : biasanya terjadi pembesaran KGB.

8) Dada : adanya kelainan kulit berupa peau d’orange, dumpling,

Ulserasi atau tanda-tanda radang.

9) Hepar : biasanya tidak ada pembesaran hepar.


D. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon

1) Persepsi dan Manajemen

Biasanya klien tidak eksklusif memeriksakan benjolan yang terasa pada

payudaranya kerumah sakit karena menganggap itu hanya benjolan biasa.

2) Nutrisi – Metabolik

Kebiasaan diet buruk, biasanya klien akan mengalami anoreksia, muntah

dan terjadi penurunan berat badan, klien juga ada riwayat mengkonsumsi

makanan mengandung MSG.

3) Eliminasi

Biasanya terjadi perubahan contoh eliminasi, klien akan mengalami

melena, nyeri ketika defekasi, distensi abdomen dan konstipasi.

4) Aktivitas dan Latihan

Anoreksia dan muntah dapat membuat contoh acara dan lathan klien

terganggu karena terjadi kelemahan dan nyeri.

5) Kognitif dan Persepsi

Biasanya klien akan mengalami pusing pasca bedah sehingga

kemungkinan ada komplikasi pada kognitif, sensorik maupun motorik.

6) Istirahat dan Tidur

Biasanya klien mengalami gangguan contoh tidur karena nyeri.

7) Persepsi dan Konsep Diri

Payudara merupakan alat vital bagi wanita. Kelainan atau kehilangan akhir

operasi akan membuat klien tidak percaya diri, malu, dan kehilangan

haknya sebagai wanita normal.

8) Peran dan Hubungan


Biasanya pada sebagian besar klien akan mengalami gangguan dalam

melaksanakan perannya dalam berinteraksi social.

9) Reproduksi dan Seksual

Biasanya aka nada gangguan seksualitas klien dan perubahan pada tingkat

kepuasan.

10) Koping dan Toleransi Stress

Biasanya klien akan mengalami stress yang berlebihan, denial dan keputus

asaan.

11) Nilai dan Keyakinan

Diperlukan pendekatan agama supaya klien mendapatkan kondisinya

dengan lapang dada.

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan

sekret

NOC

Setelah dilakukan asuhan keperawatan 4 x 24 jam jalan nafas efektif dengan

kriteria hasil :

1) Mempertahankan jalan napas klien

2) Klien mau mendemonstrasikan batuk efektif

3) Sesak nafas berkurang

4) Ronkhi tidak terdengar

NIC

Managemen jalan nafas

1) Observasi keadaan umum pasien


2) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misal: mengi, krekles,

ronkhi, wheezing

3) Kaji frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan ekspirasi

4) Ajarkan batuk efektif

5) Berikan posisi semifowler

6) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali

kontraindikasi

7) Kolaborasi penatalaksanaan pemberian obat batuk ekspektorat

8) Terapi inhalasi

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera : biologi, kimia, fisik

NOC

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4 x 24 jam nyeri berkurang bahkan

hilang dengan kriteria hasil :

1) Mampu mengontrol nyeri

2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang

3) Mampu mengenali nyeri

4) Tanda vital dalam rentang normal

5) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NIC

Managemen Nyeri

1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

2) Observasi reaksi non verbal


3) Gunakan teknik komunikasi terapeurik untuk mengetahui pengalaman

nyeri pasien

4) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

5) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

6) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri

7) Kurangi faktor presipitasi nyeri

8) Ajarkan tentang teknik non farmakologi

9) Tingkatkan istirahat

10) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

11) Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri

c. Ketidakseimbngan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakmampuan makan

NOC

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam diharapkan nutrisi

adekuat dengan kriteria hasil :

1) Intake nutrisi adekuat

2) Tidak terdapat mual dan muntah

3) Tidak ada penurunan berat badan secara drastis

4) Pemenuhan nutrisi melalui NGT/nutrisi parenteral

NIC

Manajemen gangguan makan

1) Observasi intake nutrisi

2) Berikan nutrisi lewat NGT/nutrisi parenteral

3) Pantau adanya penurunan berat badan


4) Pantau kadar albumin

5) Kolaborasi pemberian nutrisi dengan ahli gizi

d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neurologis

NOC

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam diharapkan

mobilisasi dapat meningkat dengan kriteria hasil :

1) Mampu berpindah sambil berbaring

2) Tonus otot meningkat

3) Tanda -tanda vital dalam batas normal (TD 90-140/60-90, Suhu 36.5 -

37.5°C, Nadi 60-100x/menit, Saturasi oksigen 95-100%, RR 14-22x/menit)

4) Tidak ada kontraktur

NIC

Exercise therapy : joint movement

1) Monitor tanda-tanda vital

2) Observasi kekuatan otot

3) Latih pasien untuk ambulasi

4) Bantu dalam pemenuhan ADL

5) Kolaborasi dengan fisioterapi pemberian ROM

e. Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perfusi jaringan otak tidak

terjadi

NOC

a. status sirkulasi : ttv dalam batas normal


b. koagulasi darah : hb dan ht dalam batas normal

c. status neurologi : terdapat refleks batuk dan muntah, pupil berespon terhadap

refleks cahaya, perfusi jaringan intrakranial (MAP 70-100

mmHg)

NIC

Peripheral sensation management

1) Temukan faktor yang berhubungan dengan situasi individual, penyebab koma,

penurunan perfusi serebral dan kemungkinan peningkatan TIK

2) Monitor tingkat kesadaran, GCS dan tanda-tanda vital

3) monitor status oksigen

4) monitor reflek-reflek (menelan, batuk, muntah)

5) evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaktifitas terhadap

cahaya

6) posisikan kepala lebih tinggi

7) berikan oksigen sesuai indikasi

8) kolaborasi pemeriksaan lab, CT Scan/MRI.


BAB III

RESUME KASUS

A. Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada tanggal 14 Mei 2019 jam 10.00 WIB di ruang SMC RS

Telogorejo Semarang. Pasien bernama Ny.M umur 66 tahun, jenis kelamin

perempuan, agama Budha, suku Jawa, warga negara Indonesia, pekerjaan

mengurus rumah tangga, bertempat tinggal di Semarang. Data pengkajian diperoleh

dari keluarga pasien dan pengasuh pasien.

Saat dilakukan pengkajian kesadaran pasien menurun. Riwayat kesehatan sekarang,

pada tanggal 7 Mei 2019 pukul 17.00 WIB pasien merasakan sesak nafas, demam,

nafsu makan menurun, dan banyak lendir di tenggorokan tetapi sulit dikeluarkan.

Kemudian pada pukul 22.00 pasien di bawa ke IGD SMC Telogorejo Semarang

dan di dapatkan hasil pengkajian kesadaran composmentis, GCS E4 M6 V5, TD

115/68 mmHg, Nadi 107x/mnt, RR 24x/mnt, SpO2 89%, suhu 37,5ºc, GDS 154

mg/dl. Kemudian pasien di IGD mendapatkan terapi O2 nasal 3 l/m, nebulizer

combivent, injeksi dipenhidramin 1 amp, injeksi ranitidin 50 mg. Lalu pada pukul

22.30 pasien dipindahkan ke Ruang Amaryllis kamar 912a. Pengkajian pada

tanggal 14 Mei 2019 didapatkan hasil kesadaran Somnolen GCS E3 M2 V2, TD

126/82 mmHg, Nadi 90x/mnt, RR 22x/mnt, SpO2 98%, suhu 36,5ºc, pasien

nampak terpasang O2 NRM 8 L/mnt, terpasang NGT. Riwayat kesehatan keluarga,

dalam keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit seperti pasien,

serta tidak ada yang memiliki riwayat penyakit menular seperti TBC, HIV,

hepatitis. Serta tidak ada yang menderita hipertensi, DM, dan asma. Riwayat
kesehatan dulu, Keluarga pasien mengatakan sebelumnya pasien sudah didiagnosa

kanker sejak 2 tahun yang lalu dan menjalani operasi pengangkatan payudara

sebelah kiri pada tahun 2017 dan kemudian pasien menjalani kemoterapi sebanyak

10x di SMC RS Telogorejo serta terapi radiasi sebanyak 16x di RSDK. Kemudian

dua bulan lalu pasien post pemasangan av shunt di SMC RS Telogorejo.

Pada pemeriksaan fisik, tingkat kesadaran somnolen , tekanan darah 126/82 mmHg,

MAP 96,6 mmHg (Normal : 70-105), suhu 36ºC, frekuensi pernapasan 24x/mnt

dengan irama teratur, nadi 90x/menit. IMT 18,75 Kg/m2 (Berat badan normal).

Pada pemeriksaan fisik head to toe didapatkan: rambut pendek sedikit ikal,

berwarna hitam sebagian beruban, kulit kepala bersih tidak ada lesi, tidak ada

ketombe. Dada, bentuk dada simetris, terdapat bekas operasi mastektomi mamae

sinistra. Pada pemeriksaan paru inspeksi, bentuk dada simetris, pengembangan paru

kanan kiri seimbang. Palpasi, ekspansi paru kanan kiri seimbang. Perkusi, suara

redup pada paru bagian kiri dan sonor pada bagian kanan. Auskultasi, suara ronkhi

pada paru kanan dan kiri. Abdomen, didapatkan pemeriksaan inspeksi perut

cembung tidak asites. Auskultasi peristaltik usus 10x/menit. Palpasi, tidak teraba

nyeri tekan. Perkusi, suara timpani. Pada pemeriksaan ekstremitas kekuatan otot

tidak terkaji, tidak ada edema. Terpasang infus RL 15 tetes/menit ditangan kiri.

Pola Nutrisi, keluarga pasien mengatakan setiap pasien makan selalu tersedak,

sehingga pada tanggal 12 Mei 2019 pasien dilakukan pemasangan NGT. Saat dikaji

pasien tampak terpasang NGT, kesadaran somnolen, IMT 18,75 Kg/m2 (berat

badan normal), Hemoglobin 12,3 g/dl (Normal), konjungtiva merah muda, mukosa

bibir kering, diit ensure 6x/sehari (250 ml).


Pola Aktivitas dan Latihan, pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dibantu

oleh perawat, pengasuh dan keluarga. Pasien tidak bisa beraktivitas, tidak boleh dan

tidak bisa turun dari tempat tidur karena penurunan kesadaran dan kelemahan.

Pasien tidak bisa untuk mirin ke kanan dan kiri sendiri. Pasien tampak tergeletak

ditempat tidur, aktivitas dibantu keluarga, pengasuh dan perawat.

Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang didapatkan, pemeriksaan foto thorax

pada tanggal 8 Mei 2019, dengan kesimpulan: Kardiomegali (LV), gambaran

Bronkopneumonia, efusi pleura kiri, elongasi arcus aorta, tak tampak gambaran

metastase pada OS.aorta ataupun OS.klavikula secara x-foto. Hasil pemeriksaan

CT-Scan, dengan kesimpulan: Tampak terpasang VP shunt pada ventrikel kanan

dengan ujung tip pada pada ventrikel lateral kiri, sudah tak tampak gambaran

hidrosefalus, sudah tak tampak gambaran peningkatan TIK, gambaran lesi iso-

hipodens multiple di batang otak dan hemisfer cerebellum kanan kiri, serta lobus

frontal kanan kiri relatif sama, tak tampak lesi hipodens patologis/densitas darah

pada parenkim otak.

B. Diagnosa – Evaluasi

Berdasarkan pengkajian diatas, dirumuskan diagnosa keperawatan yang pertama

yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan

sekret, hal ini didukung oleh data obyektif pemeriksaan fisik paru inspeksi, bentuk

dada simetris, pengembangan paru kanan kiri seimbang. Palpasi, ekspansi paru
kanan kiri seimbang. Perkusi, suara redup pada paru bagian kiri dan sonor pada

bagian kanan. Auskultasi, suara ronkhi pada paru kanan dan kiri. Frekuensi

pernapsan 22x/menit. Pasien terpasang NRM 8 l/menit. Hasil foto thorax

menunjukkan adanya gambaran bronkopneumonia.

Berdasarkan data tersebut, penulis memutuskan intervensi yang bertujuan setelah

dilakukan asuhan keperawatan 5 x 24 jam jalan nafas efektif dengan kriteria hasil:

Mempertahankan jalan napas pasien, pasien mampu mendemonstrasikan batuk

efektif, sesak nafas berkurang, ronkhi tidak terdengar. Maka disusunlah intervensi

keperawatan yaitu observasi bunyi nafas abnormal untuk mengetahui adanya bunyi

nafas abnormal misal: mengi, krekles, ronkhi, wheezing, mengkaji frekuensi

pernafasan untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan frekuensi respirasi,

memberikan posisi semifowler bertujuan untuk meningkatkan pernapasan,

melakukan suction bertujuan untuk melancarkan jalan napas yang tersumbat akibat

penumpukan sekret, kolaborasi pemberian bronkodilator melalui terapi inhalasi

dengan tujuan untuk memperlebar luas permukaan bronkus.

Implementasi yang telah dilakukan untuk membuat jalan nafas kembali efektif

adalah mengobservasi keadaan umum pasien, observasi bunyi nafas, catat adanya

bunyi nafas, misal: mengi, krekles, ronkhi, wheezing, mengkaji frekuensi

pernafasan mencatat rasio inspirasi dan ekspirasi, mengajarkan batuk efektif,

memberikan posisi semifowler, mempertahankan masukan cairan sedikitnya 2500

ml/hari kecuali kontraindikasi, dan memberikan terapi inhalasi (Ventolin 1cc,

Pulmicort 1cc, Fluimucil), kolaborasi pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi.


Evaluasi di hari terakhir, yaitu pasien terpasang nasal kanul 3 l/menit, pemeriksaan

paru didapatkan suara napas ronchi, kesadaran somnolen. Masalah ketidakefektifan

bersihan jalan nafas belum teratasi. Rencana tindak lanjut yang dilakukan yaitu

memberikan oksigen sesuai advis dokter, memposisikan pasien semifowler untuk

memaksimalakan ventilasi, melakukan auskultasi susara nafas, memberikan terapi

inhalasi.

Diagnosa keperawatan yang kedua yaitu ketidakseimbngan nutrisi: kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan makan diagnosa ini

didukung oleh data sunyektif keluarga mengatakan pasien setiap makan selalu

tersedak dan data oyektif kesadaran somnolen, GCS E3 M2 V2 pasien tampak

berbaring lemah di tempat tidur, pasien makan terpasng NGT sejak 2 hari yang lalu

A : TB 155 cm, BB 45 kg IMT 18,75 kg/m 2, B: Hb 12,3 g/dL, C : konjungtiva :

Merah muda, Mukosa bibir : Kering, D : Susu Ensure 6 x sehari.

Berdasarkan data tersebut, penulis memutuskan intervensi yang bertujuan setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam diharapkan nutrisi adekuat

dengan kriteria hasil : intake nutrisi adekuat tidak terdapat mual dan muntah, tidak

ada penurunan berat badan secara drastis, pemenuhan nutrisi melalui NGT/nutrisi

parenteral. Intervensi keperawatan yang ditetapkan yaitu observasi intake nutrisi

untuk mengetahui atau mendeteksi asupan yang tidak adekuat, berikan nutrisi

melalui NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien, pantau adanya penurunan

berat badan untuk mengetahui apakah terjadi penuruan berat badan secara drastis,

kolaborasi pemberian nutrisi dengan ahli gizi untuk menentukan jenis diet yang

tepat dan sesuai.


Implementasi yang telah dilakuakn penulis untuk membuat nutrisi pasien kembali

terpenuhi adalah mengobservasi intake nutrisi, memberikan nutrisi lewat

NGT/nutrisi parenteral, memantau adanya penurunan berat badan, memantau kadar

albumin, melakukan kolaborasi pemberian nutrisi dengan ahli gizi.

Evaluasi di hari terakhir, yaitu kesadaran somnolen, GCS E3 M4 V3, TD 118/75

mmHg, HR 90x/mnt, RR 22x/mnt, pasien tampak lemas, pasien makan terpasng

NGT. Masalah resiko ketidakseimbngan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan ketidakmampuan makan belum teratasi. Rencana tindak lanjut

yang dilakukan yaitu mengobservasi intake nutrisi, memberikan nutrisi lewat NGT,

memantau adanya penurunan berat badan, memantau kadar albumin, melakukan

kolaborasi pemberian nutrisi dengan ahli gizi.

Diagnosa keperawatan yang ke tiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan

dengan gangguan neuromuskular, diagnosa ini didukung oleh data subyektif

keluarga pasien mengatakan sejak sakit seluruh aktivitas pasien dibantu oleh

perawat dan keluarga karena pasien mengalami penurunan kesadaran, serta badan

lemas dan data obyektif kesadaran somnolen, GCS E3 M2 V2 pasien tampak

berbaring lemah di tempat tidur, aktivitas seluruhnya dibantu oleh keluarga dan

perawat.

Berdasarkan data tersebut, penulis memutuskan intervensi yang bertujuan Setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam diharapkan mobilisasi dapat

meningkat dengan kriteria hasil mampu berpindah sambil berbaring, tonus otot
meningkat, tanda -tanda vital dalam batas normal (TD 90-140/60-90, Suhu 36.5 -

37.5°C, Nadi 60-100x/menit, Saturasi oksigen 95-100%, RR 14-22x/menit), tidak

ada kontraktur. Intervensi yang ditetapkan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu

monitor ttv untuk mengetahui apakah ada perubahan ttv sebelum dan sesudah

aktivitas, kaji fungsi motorik untuk mengetahui keadaan secara khusus beberapa

lokasi yang mengalami gangguan, melakukan alih baring untuk mencegah

terjadinya area yang tertekan, bantu pasien dalam pemenuihan ADL untuk

memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari pasien karena pasien tidak mampu

memenuhi kebutuhan ADL secara mandiri, kolaborasi dengan bagian fisioterapi

untuk program ROM yang bertujuan untuk meningkatkan sirkulasi,

mempertahankan tonus otot, mobilisasi sendi, mencegah kontraktur dan atrofi

sendi.

Implementasi yang telah dilakuakn untuk meningkatkan mobilisasi yaitu

memonitor tanda-tanda vital, mengobservasi kekuatan otot, melatih pasien untuk

ambulasi, membantu dalam pemenuhan ADL, melakukan kolaborasi dengan

fisioterapi pemberian ROM.

Evaluasi di hari terakhir, yaitu kesadaran somnolen, GCS E3 M4 V3, TD 118/75

mmHg, HR 90x/mnt, RR 22x/mnt, pasien tampak berbaring lemah di tempat tidur,

aktivitas dibantu oleh keluarga dan perawat. Masalah hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan gangguan neuromuskular belum teratasi. Rencana tindak

lanjut yang dilakukan yaitu memonitor tanda-tanda vital, mengobservasi kekuatan

otot, melatih pasien untuk ambulasi, membantu dalam pemenuhan ADL,

melakukan kolaborasi dengan fisioterapi pemberian ROM.


Diagnosa keperawatan yang ke empat yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen

cedera biologis, diagnosa ini didapatkan pada tanggal 15 Mei 2019 atau pada hari

kedua kelolaan. Diagnosa di dukung oleh data subjektif pasien mengatakan pasien

mengeluh nyeri pada dada kanan dan kiri dan bertambah sakit jika pasien batuk,

skala nyeri 4, dan nyeri dirasakan hilang timbul dan data objektif kesadaran pasien

composmentis GCSE4 M5 V5, pasien menunjukkan area nyeri. TD 99/60 mmHg,

RR 20x/menit, HR 98x/menit.

Berdasarkan data tersebut disusunlah intervensi dengan tujuan setelah dilakukan

tindakan keperawatan 4 x 24 jam diharapkan nyeri berkurang bahkan hilang dengan

kriteria hasil pasien mampu mengontrol nyeri, melaporkan bahwa nyeri berkurang,

mampu mengenali nyeri, tanda vital dalam rentang normal. Intervensi yang

ditetapkan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu lakukan pengkajian nyeri secara

komprehensif untuk mengetahui lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan

faktor presipitasi, observasi reaksi non verbal untuk mengetahui reaksi

ketidaknyamanan yang timbul akibat nyeri, ajarkan tentang teknik non farmakologi

untuk mengurangi nyeri tanpa menggunakan obat, kolaborasi pemberian analgetik

untuk mengurangi nyeri dengan teknik non farmakologi.

Implementasi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri yaitu melakukan pengkajian

nyeri lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi,

mengobservasi reaksi non verbal, ajarkan tentang teknik non farmakologi,

kolaborasi pemberian analgetik. Evalusi hari terakhir yaitu diagnosa nyeri akut

tidak terkaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran.


Diagnosa keperawatan yang terakhir yaitu resiko ketidakefektifan perfusi jaringan

otak, diagnosa ini didukung oleh data subjektif keluarga mengatakan pasien

mengalami penurunan kesadaran sejak tanggal 13 Mei 2019 dan data obyektif

kesadaran somnolen, GCS E3 M2 V2, TD 126/82 mmHg, HR 90x/mnt, RR

22x/mnt, suhu 36’5ºc, respon pupil terhadap cahaya +/+. Hasil CT Scan :

Gambaran lesi iso-hipodens multiple di batang otak dan hemisfer cerebellum kanan

kiri, serta lobus frontal kanan kiri relatif sama.

Berdasarkan data tersebut, maka disusunlah intervensi yang bertujuan setelah

dilakukan tindakan keperawatan selam 4 x 24 jam diharapkan perfusi jaringan otak

kembali efektif dengan kriteria hasil: ttv dalam batas normal, terdapat refleks batuk

dan muntah, pupil berespon terhadap refleks cahaya, perfusi jaringan intrakranial

(MAP 70-100 mmHg). Intervensi yang ditentukan untuk mengatasi masalah

tersebut yaitu monitor tanda-tanda vital untuk menunjukkan kerusakan pada batang

otak, monitor tingkat kesadaran dengan GCS dengan rasional tingkat kesadaran

merupakan indikator terbaik adanya perubahan neurologi, monitor status

oksigenasi, posisikan kepala lebih tinggi dengan posisi leher tidak menekuk yang

bertujuan untuk mendrainase vena ke otak, berikan oksigen sesuai indikasi dengan

tujuan meningkatkan suplai oksigen ke otak, kolaborasi pemberian injeksi citicolin

250 mg/12 jam dengan tujuaan untuk meningkatkan aliran darah di otak, kolaborasi

pemeriksaan CT Scan ulang.

Implementasi yang telah dilakukan yaitu untuk membuat perfusi jaringan otak

kembali efektif adalah memonitor tingkat kesadaran, GCS dan tanda-tanda vital,
memonitor status oksigen, memonitor reflek-reflek (menelan, batuk, muntah),

mengevaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaktifitas terhadap

cahaya, memposisikan kepala lebih tinggi, memberikan oksigen sesuai indikasi,

kolaborasi pemeriksaan lab, CT Scan/MRI.

Evaluasi di hari terakhir, yaitu kesadaran somnolen, GCS E3 M4 V3, TD 118/75

mmHg, HR 90x/mnt, RR 22x/mnt, suhu 36’5ºc, respon pupil terhadap cahaya +/+.

Masalah resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak belum teratasi. Rencana

tindak lanjut yang dilakukan yaitu memonitor tingkat kesadaran, GCS dan tanda-

tanda vital, memonitor status oksigen, memonitor reflek-reflek (menelan, batuk,

muntah), dan memposisikan kepala lebih tinggi.


BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam melakukan asuhan keperawatan sering kali menemukan kesenjangan, kendala

dan hal-hal baru yang dijumpai oleh penulis sejak pengkajian sampai dengan evaluasi.

Hal-hal tersebut menjadi fokus utama dalam pembahasn kali ini untuk menjawab

tujuan penulisan atau bagaimana tujuan tercapai. Dalam pembahasan ini, akan dibahas

asuhan keperawatan kanker payudara dengan bronkopneumonia pada Ny.M di SMC

RS Telogorejo.

C. Proses Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada tanggal 14 Mei 2019 diruangan Amaryllis 9 SMC RS

Telogorejo Semarang. Pasien bernama Ny.M usia 66 tahun, berjenis kelamin

perempuan. Perempuan lebih beresiko terkena kanker payudara karena pengaruh

dari hormon. Hormon estrogen adalah hormon pada wanita yang berfungsi

membentuk tanda-tanda kelamin sekunder, seperti payudara membesar,

pembentukan pinggul, serta suara dan kulit menjadi halus . Sel kanker payudara

mengandung protein yang dikenal sebagai reseptor hormon yang menjadi aktif

ketika hormon mengikat. Reseptor yang aktif dapat menyebabkan perubahan dalam

ekspresi gen tertentu yang dapat menstimulasi pertumbuhan sel (Wijaya, 2013,

hlm.92). Selain itu pasien masuk dalam golongan lansia akhir (Depkes, 2017)

resiko kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia. Ketika seorang

wanita mencapai usia 60-an resiko akan melonjak naik menjadi 1 dalam 27 orang

atau hampir 4%. Pada keluhan utama Ny.M ditemukan mengalami penurunan

kesadaran, penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak sadar

dalam arti tidak terjaga/tidak bangun secara utuh sehingga tidak mampu
memberikan respon yang normal terhadap stimulus. Hasil pengkajian didapatkan

data diagnosa medis kanker payudara metastase otak dan bronkopneumonia.

Keluarga pasien mengatakan pasien mengalami penurunan kesadaran sejak tanggal

13 Mei 2019. Black & Hawks (2014, hlm.1113) menyebutkan terjadinya penurunan

kesadaran karena adanya penumpukan akibat gumpalan aliran darah ke otak tidak

mendapat suplai oksigen yang cukup, hal tersebut dapat mengakibatkan penurunan

fungsi perfusi jaringan otak yang berujung infark pada jaringan, sehingga

menyebabkan penurunan kesadaran akibat perfusi yang tidak efektif. Sesuai dengan

kondisi yang dialami oleh Ny.M saat pengkajian ditemukan data dengan kesadaran

somnolen GCS E3 M2 V2, selain itu juga didukung oleh hasil CT-Scan yang

menunjukkan adanya lesi iso-hipodens multiple di batang otak dan hemisfer

cerebellum kanan kiri. Silalahi (2018, ¶5) menyebutkan bahwa kanker payudara

yang bermetastase ke otak 80% terletak di hemisfer otak dan 15% pada cerebellum.

Pasien masuk pada tanggal 7 Mei 2019 dengan keluhan sesak nafas. Menurut

Sujono (2010, hlm.57) bronkopneumonia merupakan penyakit gangguan

pernafasaan yang ditandai dengan dinding dada bawah tertarik ke dalam.

Berdasarkan teori diatas terdapat kesesuaian antara kasus dan teori yang sudah

dijelaskan yaitu dibuktikan dengan keluhan utama sesak nafas. Menurut Corwin

(2010, hlm.544) sesak nafas timbul oleh karena adanya sekret yang menyebabkan

partial oklusi yang menyebabkan penurunan pertukaran gas akibat dari terdapatnya

eksudat pada alveolus maka membran dari alveolus akan mengalami kerusakan

yang dapat mengakibatkan gangguan proses difusi osmosis oksigen pada alveolus.

Perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa

oleh darah.
Pada pemeriksaan fisik paru saat dilakukan auskultasi terdapat suara ronkhi pada

paru kanan dan kiri terutama pada ICS 4 dan 5. Hal ini disebabkan karena adanya

penumpukan sekret yang berada di paru. Ketika dilakukan suction terdapat sekret

kental berwarna putih sebanyak ± 5 cc. Menurut Indriyani (2010, hlm.106) bahwa

pasien bronkopneumonia akan mengalami gangguan reflek batuk yang dapat

menyebabkan penumpukan sekret. Serta adanya data penunjang berupa foto thorax

dengan hasil gambaran bronkopneumonia. Foto thorax yang dilakukan pada pasien

bronkopneumonia dilakukan untuk melihat keberadaan konsolidasi retrokardial

sehingga lebih mudah untuk menentukan lobus mana yang terkena (Muttaqin,

2011, hlm.104).

Pada pasien kanker payudara beresiko terjadi bronkopneumonia karena penurunan

daya imunitas yang akan menggangu kemampuan leukosit khusus yang berfungsi

menghancurkan bakteri. Pasien yang sudah memasuki usia lanjut akan mengalami

penurunan sistem organ yang juga turut berpengaruh menimbulkan gangguan

imunitas (Smeltzer, 2013, hlm.1276). Hal ini sesuai dengan keadaan pasien yang

sudah memasuki usia lanjut.

Pasien kanker payudara dan bronkopneumonia yang disertai dengan adanya

peningkatan frekuensi napas seringkali dihubungkan dengan peningkatan laju

metabolisme dan adanya infeksi pada sistem pernapasan (Muttaqin, 2011, hlm.76).

pemeriksaan lebih mendalam dengan inspeksi akan didapatkan apakah pasien

batuk, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, adanya gangguan pada sistem
pernafasan, auskultasi bunyi nafas tambahan seperti ronchi pada pasien dengan

Bronkopneumonia dengan penyebaran primer dari paru (Muttaqin, 2011, hlm.76).

Pada pemeriksaan darah nilai leukosit 16,8 ribu/Ui. Leukosit yang tinggi

menunjukkan bahwa terjadi proses infeksi dalam tubuh pasien. Leukositosis adalah

peningkatan jumlah sel darah putih dalam sirkulasi. Leukositosis adalah suatu

repon normal terhadap infeksi atau peradangan. Penyebab peningkatan leukosit

menurut Abramson (Syaifuddin, 2011, hlm.301) diantaranya adalah infeksi,

inflamasi (nekrosis jaringan, infark, luka bakar). stress (over exercise, kejang,

kecemasan, anastesi), obat (kortikosteroid, lithium, beta agonis), trauma, anemia

hemolitik, dan leukemoid maligna, serta efek dari kelainan sumsum tulang primer

(leukimia akut, leukimia kronis kelainan mieloproliperatif).

D. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul – Evaluasi

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret

Ketidakefektifan bersihan jalan napas merupakan suatu masalah dimana

individu tidak dapat batuk secara efektif (Soemantri, 2011, hlm.26). Batasan

karakteristik masalah bersihan jalan napas tidak efektif yaitu terdapat suara

tambahan (rale, crakles, ronkhi), perubahan irama dan frekuensi nafas, batuk

tidak efektif, sputum berlebihan, penurunan kesadaran (Wilkinson & Ahern,

2011, hlm.37).

Penegakan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas ini didukung dengan

adanya data obyektif pasien mengalami penurunan kesadaran somnolen, GCS

E3 M2 V2, yang menyebabkan reflek batuk tidak adekuat sehingga tidak


mampu untuk mengeluarkan sekret, serta didukung oleh data dari keluarga yang

mengatakan bahwa pasien tidak mampu mengeluarkan dahaknya sendiri, suara

nafas grok-grok, pasien terpasang NRM 8 liter/menit.

Diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan napas ini menjadi prioritas utama

dikarenakan jalan nafas merupakan salah satu tanda kegawatan utama yang

harus segera diatasi karena akan berdampak pada keselamatan jiwa pasein

(Muttaqin, 2011, hlm.98). Pada hasil pengakjian diketahui bahwa kondisi pada

jalan napas pasien dipenuhi oleh sekret atau dahak. Dahak adalah materi yang

dikeluarkan dari saluran napas bawah oleh batuk. Orang dewasa normal biasa

memproduksi mukus (sekret kelenjar) sejumlah 100 ml dalam saluran napas

setiap hari. Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena

gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa),

menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal,

sehingga mukus ini banyak tertimbun (Yosef, 2011, hlm.139). Pasien dengan

keadaan yang kurang baik seperti sesak, lemas, dan susah untuk batuk bisa

memungkinkan pasien kesulitan untuk mengeluarkan dahak. Oleh karena itu

kebanyakan pasien mengeluarkan dahak dalam jumlah sedikit.

Berdasarkian uraian diatas, maka tujuan yang ditetapkan adalah setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam jalan nafas kembali bersih

dengan kriteria hasil mempertahankan jalan napas pasien, pasien mampu

mendemonstrasikan batuk efektif, sesak nafas berkurang, ronkhi tidak

terdengar. Untuk mengatasi masalah tersebut maka disusunlah rencana

tindakan keperawatan yaitu observasi bunyi nafas abnormal untuk mengetahui


adanya bunyi nafas abnormal misal: mengi, krekles, ronkhi, wheezing,

mengkaji frekuensi pernafasan untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan

frekuensi respirasi, memberikan posisi semifowler bertujuan untuk

meningkatkan pernapasan, melakukan suction bertujuan untuk melancarkan

jalan napas yang tersumbat akibat penumpukan sekret, kolaborasi pemberian

bronkodilator melalui terapi inhalasi dengan tujuan untuk memperlebar luas

permukaan bronkus.

Implementasi telah dilakukan pada tanggal 14 Mei 2019 sampai 18 Mei 2019

sesuai dengan rencana keperawatan yaitu mengobservasi suara nafas,

mengkaji frekuensi napas, memberikan posisi semifowler, melakukan suction,

serta kolaborasi pemberian bronkodilator melalui terapi inhalasi.

Terapi inhalasi merupakan suatu teknik pengobatan penting dalam proses

pengobatan penyakit respiratori (saluran pernafasan) akut dan kronik,

penumpukan mukus didalam saluran napas, dan peradangan saluran nafas

(Francis, 2010, hlm. 105). Dalam studi kasus yang dilakukan oleh Putri (2016,

¶7) mengatakan bahwa obat bronkodilator merupakan salah satu obat yang

sering digunakan dalam terapi inhalasi karena dapat melebarkan saluran udara

pada paru-paru, obat ini bekerja dengan cara melemaskan otot-otot di sekitar

saluran pernapasan yang menyempit sehingga udara dapat mengalir lebih

lancar ke dalam paru-paru. Tindakan ini termasuk aman karena efek obat yang

bekerja langsung pada saluran nafas. Kerja obat cepat dengan dosis minimal

sehingga konsentrasi obat dalam darah sedikit, dan tentunya efek samping obat

pun menjadi minimal. Pemilihan terapi ini harus sesuai indikasi karena
keberhasilannya dipengaruhi oleh pemilihan jenis obat dan teknik

pemberiannya.

Evaluasi asuhan keperawatan yang dilakukan penulis pada hari kelima

diperoleh data keadaan umum pasien lemah, kesadaran somnolen GCS E3 M4

V3, suara nafas ronkhi, pasien terpasang nasal kanul 3 liter/menit, dengan data

tersebut penulis berkesimpulan bahwa masalah belum teratasi karena pasien

mengalami penurunan kesadaran yang mempengaruhi refleks batuk sehingga

penumpukan sekret pada jalan nafas masih terjadi. Batuk merupakan

mekanisme pertahanan tubuh pada saluran pernapasan dan batuk juga dapat

terjadi karena adanya rangsangan tertentu, misalnya debu yang diterima atau di

reseptor batuk. Selanjutnya reseptor akan menyalurkan melalui saraf menuju ke

pusat batuk yang ada di medula otak dan dalam proses inilah akan timbul

sinyal yang akan diberikan kepada otot-otot tubuh untuk merangsang

pengeluaran benda asing termasuk sekret yang ada di jalan napas (Tabrani,

2011, hlm.93). Maka dari itu penulis meneruskan rencana tindakan

keperawatan pada hari selanjutnya mengobservasi suara nafas, mengkaji

frekuensi napas, memberikan posisi semifowler, melakukan suction, serta

kolaborasi pemberian bronkodilator. Selama melakukan tindakan keperawatam

pada diagnosa ini, penulis tidak menemukan kendala maupun hambatan yang

berarti.

2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakmampuan makan
Diagnosa keperawatan yang penulis tegakkan muncul karena diperoleh data

melalui keluarga bahwa pasien sering tidak nafsu makan, ketika makan sering

tersedak, kemudian pada tanggal 11 Mei 2019 pasien mulai dilakukan

pemasangan NGT. Nutrisi memegang peranan penting pada perawatan pasien

sakit berat, gangguan nutrisi akan mempengaruhi sistem imunitas,

kardiovaskuler, dan respirasi, sehingga resiko infeksi meningkat dan lama rawat

memanjang (Lestari, 2008,¶3). Terjadinya penurunan status gizi pada pasien

kanker terutama karena turunnya asupan zat-zat gizi, baik akibat gejala

penyakit kankernya sendiri atau efek samping pengobatan seperti anoreksia,

mual, muntah maupun diare. Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi

kurang merupakan hubungan timbal balik dan sebab akibat. Penyakit infeksi

dapat memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi yang buruk dapat

mempermudah seseorang terkena infeksi. Kondisi pasien dengan

bronkopneumonia akan meningkatkan sputum pada saluran nafas yang secara

tidak langsung akan mempengaruhi sistem persyarafan khususnya saluran

cerna. Pasien mungkin akan mengeluh tidak nafsu makan dikarenakan

menurunnya keinginan untuk makan, disertai dengan batuk, pada akhirnya

pasien akan mengalami penurunan berat badan yang signifikan (Soemantri,

2011, hlm.70).

Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh adalah kondisi ketika

individu, yang tidak puasa atau beresiko mengalami ketidakefektifan asupan

atau metabolisme nutrient untuk kebutuhan metabolisme dengan atau tanpa

disertai penurunan berat badan. Batasan karakteristik mayor adalah pasien yang

tidak puasa mengeluhkan atau mendapat: asupan makanan yang tidak adekuat,
kurang dari angka kecukupan gizi, dengan atau tanpa disertai penurunan berat

badan atau kebutuhan metabolik aktual atau potensial dalam asupan yang

berlebihan. Batasan karakteristik minor adalah berat badan 10% sampai 20%

atau lebih di bawah berat badan ideal berdasarkan tinggi dan kerangka tubuh.

Kelemahan otot dan nyeri tekan, konfusi iritabilitas mental, penurunan

transferin serum, penurunan albumin serum (Carpenito, 2013, hlm.346).

Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan

ketidakseimbangan nutrisi dapat terpenuhi dengan kriteria hasil: Intake nutrisi

adekuat tidak terdapat mual dan muntah, tidak ada penurunan berat badan

secara drastis, pemenuhan nutrisi melalui NGT/nutrisi parenteral. Penyusun

menyusun rencana tindakan keperawatan yaitu observasi intake nutrisi untuk

mengetahui atau mendeteksi asupan yang tidak adekuat, berikan nutrisi melalui

NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien, pantau adanya penurunan

berat badan untuk mengetahui apakah terjadi penuruan berat badan secara

drastis, kolaborasi pemberian nutrisi dengan ahli gizi untuk menentukan jenis

diet yang tepat dan sesuai.

Munawaroh (2012, ¶4) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemberian

nutrisi melalui NGT akan mempertahankan fungsi pencernaan dan penyerapan

saluran makanan dan juga mempertahankan penghalang imunologik yang ada

pada usus, mencegah organisme dalam usus menyerang tubuh.

Penatalaksanaan dukungan nutrisi yang tepat akan memberikan beberapa

manfaat seperti mempertahankan status nutrisi agar tidak makin menurun dan
mencegah atau mengurangi kemungkinan timbulnya komplikasi metabolik

maupun infeksi.

Implementasi yang dilakukan oleh penulis yaitu observasi intake nutrisi,

memberikan nutrisi melalui NGT, memantau adanya penurunan berat badan,

kolaborasi pemberian nutrisi dengan ahli gizi. Semua tindakan keperawatan

yang sudah direncanakan sudah dilakukan dengan baik dalam perawatan pasien

di rumah sakit.

Evaluasi yang dilakukan selama 5 hari pasien kesadaran somnolen GCS E3 M4

V3, pasien masih terpasang NGT hari ke 7. Masalah ketidakseimbangan nutrisi

belum teratasi karena pasien masih sering tersedak ketika makan melalui

mulut, keadaan ini disebabkan karena pasien mengalami penurunan kesadaran

sehingga refleks untuk menelan tidak maksimal. Rencana tindak lanjut yang

akan dilakukan adalah mengobservasi observasi intake nutrisi, memberikan

nutrisi melalui NGT, memantau adanya penurunan berat badan, kolaborasi

pemberian nutrisi dengan ahli gizi.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular

Hambatan mobilitas fisik adalah keadaan ketika seseorang individu mengalami

gangguan atau resiko mengalami keterbatasan gerak fisik pada ekstremitas,

penyebab yang muncul pada diagnosa hambatan mobilitas fisik yaitu karena

keadaan kerusakan neuromuskuler, kerusakan kognitif, penurunan kekuatan

otot, kekakuan sendi dan kontraktur seluler (Herdman, 2018, hlm.217).


Kelemahan bisa disebabkan oleh disfungsi upper motor neuron, lower motor

neuron dan unit motorik yang mengenai serat otot atau taut neuromuskuler

(Buss & Labus, 2013, hlm. 101). Diagnosa ini muncul didukung dengan data

keluarga mengatakan pasien tidak bisa menggerakkan anggota badan secara

mandiri, karena kondisi pasien yang lemah, pasien hanya mampu menggeser

kedua kaki, skala tingkat ketergantungan pasien 4 (bantuan total), kekuatan otot

sulit dikaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran. Batasan

karakteristik pada hambatan mobilitas fisik adalah perubahan gaya berjalan,

penurunan waktu reaksi, gerak lambat, gerakan menyebabkan tremor,

keterbatasan latihan gerak sendi (ROM), sulit berbalik, keterbatasan

kemampuan melakukan ketrampilan motorik halus dan kasar, tidak ada

koordinasi gerak (Herdman,2018 ,hlm.232).

Berdasarkan data tersebut penulis merumuskan intervensi dengan tujuan setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam diharapkan hambatan

mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien mampu berpindah

sambil berbaring, tonus otot meningkat, tanda -tanda vital dalam batas normal

(TD 90-140/60-90, Suhu 36.5 -37.5°C, nadi 60-100x/menit, saturasi oksigen

95-100%, RR 14-22x/menit), tidak ada kontraktur.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka disusunlah rencana tindakan

keperawatan yaitu monitor ttv untuk mengetahui apakah ada perubahan ttv

sebelum dan sesudah aktivitas, kaji fungsi motorik untuk mengetahui keadaan

secara khusus beberapa lokasi yang mengalami gangguan, melakukan alih

baring untuk mencegah terjadinya area yang tertekan, bantu pasien dalam
pemenuihan ADL untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari pasien karena

pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan ADL secara mandiri, kolaborasi

dengan bagian fisioterapi untuk program ROM yang bertujuan untuk

meningkatkan sirkulasi, mempertahankan tonus otot, mobilisasi sendi,

mencegah kontraktur dan atrofi sendi.

ROM adalah latihan gerak semdi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan

pergerakan otot, di mana masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal

baik secara aktif maupun secara pasif, ROM pasif adalah latihan ROM yang

dilakukan pasien dengan bantuan perawat atau pelatih untuk setiap gerakan

yang dilakukan (Potter & Perry. 2011, hlm.1260). ROM selain mencegah atrofi

otot, meningkatkan kekuatan otot, mempertahankan fungsi kardiorespirasi,

menjaga fleksibilitas dan masing-masing persendian dengan cara melatih secara

berkesinambungan (Asmadi, 2010, hlm.131). Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Marlina (2011, ) yang menyatakan bahwa ada pengaruh latihan

ROM terhadap kekuatan otot. Latihan ROM merupakan salah satu bentuk

latihan dalam proses rehabilitasi yang dinilai masih cukup efektif untuk

mencegah terjadinya kecacatan permanen pada pasien pasca perawatan di

rumah sakit sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan pasien pada

keluarga.

Implementasi yang dilakukan adalah mengobservasi ttv, alih baring pasien tiap

2 jam, latih pasien dalam melakukan rentang gerak, bantu pasien melakukan

kebutuhan ADL yang tidak bisa melakukan sendiri, dan kolaborasi dengan ahli

fisioterapi dalam memberikan latihan rentang gerak atau ROM.


Evaluasi hari terakhir, kesadaran pasien somnolen , GCS E3 M4 V3, pasien

tampak berbaring lemah di tempat tidur, aktivitas dibantu oleh keluarga dan

perawat. Dengan data tersebut penulis berkesimpulan bahwa masalah belum

teratasi karena dalam pemilihan intervensi keperawatan yang kurang tepat,

intervensi keperawatan yang dipilih tidak mampu untuk meningkatkan aktivitas

pasien secara mandiri. Intervensi terutama ROM yang diberikan kepada pasien

hanya mampu menghindarkan pasien dari kekakuan sendi namun tidak mampu

untuk membantu pasien menjadi lebih mandiri dalam menjalani aktivitas

sederhana di atas tempat tidur seperti seperti miring ke kanan ataupun ke kiri

secara mandiri. Maka dari itu penulis meneruskan rencana tindakan

keperawatan pada hari selanjutnya yaitu mengobservasi ttv, alih baring pasien

tiap 2 jam, latih pasien dalam melakukan rentang gerak, bantu pasien

melakukan kebutuhan ADL yang tidak bisa melakukan sendiri, dan kolaborasi

dengan ahli fisioterapi dalam memberikan latihan rentang gerak atau ROM.

4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis

Nyeri akut merupakan pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan

berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau yang

digambarkan sebagai kerusakan, awitan yang tiba-tiba atau lambat dengan

intensitas ringan hingga berat, dengan berakhirnya dapat diantisipasi atau

diprediksi, dan dengan durasi kurang dari 3 bulan. Batasan karakteristik nyeri

akut dapat berupa data subjektif yaitu pasien mengatakan ketidaknyamanan

atau kode dimana lokasi ketidaknyamana itu berada dan data objektif yaitu
ekspresi wajah menunjukkan nyeri, gelisah, pasien terlihat tidak nyaman

(Herdman, 2018, hlm.445).

Diagnosa ini muncul pada tanggal 15 Mei 2019 ketika kesadaran pasien

composmentis GCSE4 M5 V5 pasien mengeluh nyeri pada dada kanan dan kiri

dan bertambah sakit jika pasien batuk.

Walaupun parenkim paru dan pleura viseralis tidak mempunyai reseptor rasa

sakit, namun nyeri dada dapat dirasakan oleh pasien dengan gangguan pada

sistem pernafasan. Rasa nyeri ini juga dapat dirasakan pada hipertensi

pulmonal, disamping infark jantung. Nyeri yang dirasakan ketika batuk dapat

disebabkan karena inflamasi pleuritik, efusi pleura, atau atelektasis (Tabrani,

2011, hlm.94). Nyeri dada yang timbul akibat gangguan pernafasan biasanya

berlokasi di posterior atau lateral dengan sifat nyeri tajam seperti ditusuk-tusuk.

Nyeri akan bertambah parah bila terjadi batuk atau ketika sedang bernafas

dalam dan berkurang bila menahan napas. Nyeri tersebut berasal dari dinding

dada, otot, pleura perietalis, diafragma, dan saraf interkostalis (Tabrani, 2011,

hlm.98).

Berdasarkan data tersebut disusunlah intervensi dengan tujuan setelah

dilakukan tindakan keperawatan 4 x 24 jam diharapkan nyeri berkurang bahkan

hilang dengan kriteria hasil pasien mampu mengontrol nyeri, melaporkan

bahwa nyeri berkurang, mampu mengenali nyeri, tanda vital dalam rentang

normal. Untuk mencapai tujuan tersebut maka disusunlah rencana tindakan

keperawatan yaitu lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif untuk


mengetahui lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor

presipitasi, observasi reaksi non verbal untuk mengetahui reaksi

ketidaknyamanan yang timbul akibat nyeri, ajarkan tentang teknik non

farmakologi untuk mengurangi nyeri tanpa menggunakan obat, kolaborasi

pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri dengan teknik non farmakologi.

Penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2017, ¶8) terjadi penurunan nyeri

dada pleuritik dengan relaksasi napas dalam atau breathing exercise, hal ini

karena latihan tersebut dapat meningkatan kemampuan otot pernapasan,

terutama diafragma. Ketika diafragma kuat atau efektif maka proses inspirasi

dan ekspirasi dapat dilakukan tanpa melibatkan otot aksesori, sehingga otot-otot

aksesori menjadi rileks.

Implementasi penulis mulai dilakukan pada tanggal 15 Mei 2019 yaitu

mengobservasi nyeri secara komprehensif, mengajarkan ajarkantentang teknik

non farmakologi, kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri

dengan teknik non farmakologi. Implementasi yang dilakukan sudah sesuai

dengan intervensi yang ditetapkan tetapi masih ada kekurangan karena pada

tanggal 18 Mei 2019 pasien kembali mengalami penurunan kesadaran

somnolen, GCS E3 M4 V3. Evaluasi hari kelima pada tanggal 18 Mei 2019

diagnosa nyeri tidak terkaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran

sehingga tidak kooperatif untuk dilakukan pengkajian ulang nyeri.

5. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak


Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak adalah rentan mengalami

penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat menggangu kesehatan (Herdman,

2018, hlm.235). Banyak faktor yang dapat mencetuskan munculnya masalah

ketidakefektifan perfusi jaringan otak tersebut, salah satunya adalah kanker

yang sudah bermetastase ke otak.

Batasan karakteristik perfusi jaringan otak menurut Taylor (2011, hlm.369)

antara lain perubahan tingkat kesadaran, pusing, deviasi mata, sakit kepala,

mual dan muntah, gelisah kejang, perubahan penglihatan, kelemahan dan atau

paralis unilateral. Diagnosa tersebut didukung data kesadaran pasien somnolen

GCS E3 M4 V3, pasien nampak berbaring lemah ditempat tidur, hasil

pemeriksaan CT Scan Gambaran lesi iso-hipodens multiple di batang otak dan

hemisfer cerebellum kanan kiri.

Penurunan kesadaran pada pasien kanker yang sudah bermetastase ke otak

menunjukkan adanya suatu disfungsi otak (depresi atau kerusakan spesifik atau

non spesifik diensefalon dan batang otak bagian atas) dengan onset akut atau

subakut, kondisi tersebut dapat diakibatkan oleh lesi atau infark pada batang

otak (Satyanegara, 2011, 177). Untuk mengatasi masalah perfusi jaringan otak

dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam perfusi jaringan otak

menjadi efektif dengan kriteria hasil tekanan darah systole 90-140 mmHg,

tekanan darah diastole 60-90 mmHg, tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.

Untuk mengatasi masalah tersebut penulis menyusun rencana tindakan

keperawatan yaitu monitor tanda-tanda vital untuk menunjukkan kerusakan

pada batang otak, monitor tingkat kesadaran dengan GCS dengan rasional
tingkat kesadaran merupakan indikator terbaik adanya perubahan neurologi,

monitor status oksigenasi, posisikan kepala lebih tinggi dengan posisi leher

tidak menekuk yang bertujuan untuk mendrainase vena ke otak, berikan

oksigen sesuai indikasi dengan tujuan meningkatkan suplai oksigen ke otak,

kolaborasi pemberian injeksi citicolin 250 mg/12 jam dengan tujuaan untuk

meningkatkan aliran darah di otak, kolaborasi pemeriksaan CT Scan ulang.

Implementasi yang dilakukan yaitu memonitor keadaan umum pasien dan

tanda-tanda vital, memberikan posisi kepala lebih tinggi, melanjutkan terapi

medis pemberian O2 NRM 8 liter/menit, berkolaborasi pemberian cairan infuse

infus dan obat-obat vitamin saraf. Semua tindakan keperawatan yang sudah

direncanakan sudah dilakukan dengan baik dalam perawatan pasien di rumah

sakit.

Suwandewi (2017, ¶12) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ada pengaruh

pemberian oksigen melalui masker dan posisi kepala 30º terhadap perubahan

tingkat kesadaran. Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling

mendasar. Keberadaan oksigen merupakan salah satu komponen gas dan unsur

vital dalam proses metabolisme dan untuk mempertahankan kelangsungan

hidup seluruh sel-sel tubuh. Sedangkan elevasi kepala bertujuan untuk

meningkatkan aliran darah ke otak dan mencegah terjadinya TIK.

Evaluasi yang terjadi setelah dilakukan pengelolaan selama 5 hari didapatkan

data keluarga mengatakan pasien lebih sering tidur, kesadaran somnolen, GCS

E3 M4 V3, TD 118/75 mmHg, HR 90x/mnt, RR 22x/mnt, suhu 36’5ºc, respon


pupil terhadap cahaya +/+. Masalah resiko ketidakefektifan perfusi jaringan

otak belum teratasi karena pasien kembali mengalami penurunan kesadaran.

Rencana tindak lanjut yang akan dilakukan adalah mengobservasi TTV,

memberikan posisi kepala lebih tinggi, mempertahankan oksigenasi,

melanjutkan terapi parenteral, obat-obatan dan vitamin saraf.


BAB V

PENUTUP

Pada bab ini penulis akan membahas kesimpulan dari pengelolaan kasus yang berkaitan

dengan asuhan keperawatan kanker payudara dengan bronkopneumonia pada Ny.M di

SMC RS Telogorejo Semarang selain itu penulis juga akan memberikan saran yang

dapat dijadikan masukan dalam keperawatan untuk meningkatkan mutu pelayanan

A. Simpulan

1. Pengkajian dilakukan secara komprehensif pada Ny.M dengan kanker

payudara. Hasil pengkajian didapatkan data pasien mengalami penurunan

kesadaran sejak tanggal 13 Mei 2019 kesadaran Somnolen GCS E3 M2 V2, TD

126/82 mmHg, Nadi 90x/mnt, RR 22x/mnt, SpO2 98%, suhu 36,5ºc, pasien

nampak terpasang O2 NRM 8 L/mnt, terpasang NGT sejak tanggal 11 Mei

2019 dengan indikasi pemasangan pasien selaku tersedak ketika makan.

Keluarga pasien mengatakan sebelumnya pasien sudah didiagnosa kanker sejak

2 tahun yang lalu dan menjalani operasi pengangkatan payudara sebelah kiri

pada tahun 2017. Hasil pemeriksaan fisik paru didapatkan suara ronkhi pada

kedua paru ketika dilakukan auskultasi serta gambaran bronkopneumonia pada

hasil foto thorax. Semua aktivitas pasien dibantu oleh keluarga tingkat

kemandirian 4 ketergantungan. Pada tanggal 14 Mei ditemukan data baru yaitu

kesadaran pasien komposmentis GCS E4 M5 V5 pasien mengeluh sakit pada

dada kanan dan kiri dan bertambah nyeri ketika batuk. Dari data diatas dapat

diambil masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas, Resiko


ketidakefektifan perfusi jaringan otak, ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari

kebutuhan tubuh, hambatan mobilitas fisik, dan nyeri akut.

2. Intervensi disusun berdasarkan Nursing Intervention Clasification (NIC) dan

kriteria hasil Nursing Outcome Clasification (NOC) dalam jangka waktu yang

berbeda untuk masing-masing diagnosa keperawatan.

3. Intervensi yang telah disusun terdapat kesenjangan terhadap kondisi klien.

Pada diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas, intervensi yang tidak

dapat dilakukan adalah mengevaluasi keluhan sesak nafas secara verbal, karena

kondisi pasien yang tidak sadar.

4. Evaluasi setelah 5 hari pengelolaan perfusi jaringan otak masih belum teratasi,

klien belum ada refleks batuk, klien tidak mengalami dekubitus, klien juga

belum mampu menunjukkan kekuatan otot yang maksimal

5. Seluruh asuhan keperawatan pada klien telah didokumentasikan dan disertakan

dalam lampiran.

B. Saran

1. Bagi Profesi Keperawatan

Dengan tersusunya karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat melaksanakan

pelayan dibidang keperawatan dan meningkatkan mutu serta kualitas pelayanan

asuhan keperawatan pada klien kanker payudara dengan bronkopneumonia serta

dapat dijadikan sebagai program peningkatan kesehatan.

2. Bagi Instansi Pendidikan

Dengan tersusunnya karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan refrensi

bagi institusi pendidikan dalam meningkatkan mutu pendidikan dan diharapkan


dapat dijadkan tambahan studi pustaka bagi institusi pendidikan tentang asuhan

keperawatan kanker payudara dengan bronkopneumonia.

3. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Memberikan informasi tentang perawatan pada klien kanker payudara dengan

bronkopneumonia dan dijadikan informasi sebagai referensi untuk melaksanakan

pengembangan selanjutnya dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien

dengan kanker terutama menggali ilmu keperawatan kanker payudara yang

mengalami metastase ke organ lain.


Asmadi. (2010). Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi KDM. Jakarta:
Salemba Medika

Black, J.M dan Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis
untuk hasil yang diharapkan. Jakarta: Salemba Medika

Carpenito. J. (2010). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Handayani, Lestari. (2012). Menaklukkan Kanker Serviks dan Kanker Payudara dengan 3
Terapi Alami. Jakarta: Agro Media Pustaka

Herdman, T. Heater. (2018). Nanda Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2018-
2020

Jamnasi, Juli. (2016). Radioterapi dan Onkologi Indonesia.


http://www.methodist.ac.id:8082/cdn/File/Jurnal/terbaru.pdf. diakses pada 30
Juni 2019.

Juniman, Puput. (2018). WHO : Kanker Membunuh 10 Juta Orang di Dunia Tahun Ini.
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180913133914-255-329910/who-
kanker-membunuh-hampir-10-juta-orang-di-dunia-tahun-ini. diakses pada 30
Juni 2019.

Kementrian Kesehatan RI. (2019). Hari Kanker


Sedunia.http://www.depkes.go.id/article/view/19020100003/hari-kanker-
sedunia-2019.html. diakses pada 26 Juni 2019.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun
2017.
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_
2017/13_Jateng_2017.pdf. diakses pada 30 Juni 2019.
Kowalak, J. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Lemone, P., Burke, K, & Bauldoff, G. (2015). Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah. Jakarta:EGC

Lincoln, J. (2009).Kanker payudara diagnosis dan solusinya. Jakarta: Prestasi Pustaka

Marlina, (2011). Pengaruh Latihan ROM terhadap Peningkatan Kekuatan Otot.


http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/viewFile/6407/5256

Mubawaroh, S. (2012). Efektifitas Pemberian Nutrisi Enteral Metode Intermitten Feeding


dan Gravity Drip Terhadap Volume Residu Lambung.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved=
2ahUKEwi016fFwsXjAhVaU30KHcsJC0wQFjACegQIBBAC&url=https%3A
%2F%2Fjurnal.unimus.ac.id%2Findex.php%2Fpsn12012010%2Farticle%2Fdo
wnload%2F1230%2F1283&usg=AOvVaw3eFjaNpPdFgcIXuOYxxjpK.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2010). Fundamental keperawatan. Edisi 7. Buku 2. Jakarta:
Salemba Medika

Price, S. A., & Wilson, L.M., (2012).Patofisiologi: konsep klinis prosesprosespenyakit, 6


ed. vol. 1. Alih bahasa : Pendit BU, et al. Editor : Hartanto, H., et al. Jakarta:
EGC

Putri, A. (2016). Penerapan Terapi Inhalasi Untuk Mengurangi Sesak Nafas Pada Pasien
Bronkopneumnia. http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/450/1/ANDREARRETHA
%20ANGGITA% 20PUTRI%20NIM.%20A01401855.pdf

Rahman, A, A. (2019). Stop Kanker. Jakarta: Agromedia Pustaka

Rasjidi, Imam. (2009). Deteksi Dini & Pencegahan Kanker Pada Wanita. Jakarta: Sagung
Seto

Satyanegara. (2011). Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Silalahi, L. (2018). Tumor Otak Metastasis dari Kanker Payudara.


https://www.researchgate.net/publication/327342853_TUMOR_OTAK_META
STASIS_DARI_KANKER_PAYUDARA.

Sjamsuhidajat, R. (2017). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4. Jakarta: EGC

Smeltzer, C.Smeltzer. (2013). Keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC

Soemantri, Irman. (2011). Asuhan Keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika

Sutedjo, A. (2010). Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan


Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books

Suwandewi, A. (2017). Pengaruh Pemberian Oksigen Melalui Masker Sederhana dan


Posisi Kepala 30º Terhadap Perubahan Tingkat Kesadaran.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=
2ahUKEwjZjpzwocHjAhUCNo8KHRtUCrcQFjAAegQIARAC&url=https%3A
%2F%2Fjournal.umbjm.ac.id%2Findex.php%2Fhealthy%2Farticle%2Fdownloa
d%2F61%2F35%2F&usg=AOvVaw3xIy-_SU-XunEoZ0PSZE2O

Syaifuddin. (2011). Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Intervensi. Jakarta: EGC

Tabrani, R. (2011). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media

Taylor, Cyntya & Sheila, Sparks. (2011). Diagnosis Keperawatan dan Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC
Wardani. (2012). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Pasien Pneumonia di RS Paru
Dr.Ario Irawan. http://eprints.ums.ac.id/53796/12/naspublik.pdf
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosa NANDA.
Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC Edisi 9. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai