Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

MANAJEMEN PENGATURAN ALUR KERJA SERTA ADAPTASI INTRAPERSONAL


RUMAH SAKIT DALAM MENANGANI PASIEN COVID-19
Dosen Pengampu : Ns. Yunita Dwi Anggreini, M.Kep

Disusun Oleh :

NATALIA ASNI (NIM. 821223017)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM
PONTIANAK
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan rahmat dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan
Makalah yang berjudul “Manajemen Pengaturan Alur Kerja Serta Adaptasi Intrapersonal
Rumah Sakit dalam Menangani Pasien Covid-19 ” Penulisan makalah ini merupakan salah
satu tugas individu dalam mata kuliah Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan dimana
makalah ini dibuat sebagai salah satu unsur penilaian bagi Mahasiswa Alih Jenjang S1
Keperawatan. Penyusun juga menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada:

1. Bapak Ns. Uti Rusdian Hidayat, M. Kep sebagai Ketua STIKes YARSI Pontianak.
2. Ibu Ns. Yunita Dwi Anggreini, M. Kep sebagai Ketua Prodi Pendidikan Profesi Ners
STIKes YARSI Pontianak dan sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah Kepemimpinan
dan Manajemen Keperawatan.
3. Dosen dan seluruh civitas STIKes YARSI Pontianak yang telah membantu dalam
penyusunan kurikulum operasional.

Penyusun menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, baik secara
materi maupun penyampaian dalam karya tulis ini. Penyusun juga menerima kritik serta saran
dari pembaca agar dapat membuat makalah dengan lebih baik di kesempatan berikutnya.
Penyusun berharap makalah ini memberikan manfaat dan dampak besar sehingga dapat menjadi
inspirasi bagi pembaca.

Pontianak, April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan.........................................................................................................................................3
C. Metode Penulisan........................................................................................................................................4
D. Ruang Lingkup Penulisan............................................................................................................................4
E. Sistematika Penulisan..................................................................................................................................4
BAB II..............................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................................................5
A. Manajemen dan Pengaturan Alur Kerja dalam Penanganan Pasien Covid-19.............................................5
1. Alur Pasien.......................................................................................................................................5
2. Skrining............................................................................................................................................5
3. Triase................................................................................................................................................7
4. Pembagian Zona Risiko Penularan COVID-19 Di Rumah Sakit.......................................................7
B. Adaptasi Intrapersonal dan Mengelola Emosi dalam Menangani Burn Out untuk Pasien Covid-19...........9
C. Manajemen Rumah Sakit dalam Efektivitas dan Efesiensi Proses Pelayanan dan Penyembuhan Pasien
................................................................................................................................................................... 13
D. Peran Perawat sebagai Advokat Pasien dalam Asuhan Keperawatan........................................................13
BAB II............................................................................................................................................................17
PENUTUP......................................................................................................................................................17
A. Kesimpulan................................................................................................................................................17
B. Saran..........................................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingginya jumlah kasus di Indonesia tentu membawa pengaruh besar pada semua
sektor, khususnya sektor Kesehatan (Kemenkes RI, 2022). Pada sektor kesehatan, fasilitas
dan tenaga kesehatan harus ekstra memberikan pelayanan pada masyarakat terdampak yang
membutuhkan penanganan segera. Salah satu tenaga Kesehatan yang sangat berkontribusi
dalam perawatan Covid-19 adalah profesi perawat, perawat memberikan pelayanan dengan
interaksi terdekat dan terlama pada pasien Covid-19. Selama pandemik Covid-19
dilaporkan bahwa beban kerja dan tanggung jawab profesi perawat meningkat, ditambah lagi
perawat harus beradaptasi dengan situasi yang mengharuskan mereka mempelajari banyak
hal baru karena merupakan kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya (Leng et al., 2021)
Selain tekanan fisik, perawat juga dihadapkan pada tekanan psikologis, penelitian Dinah
(2020), Susanto (2019), menunjukkan banyak kekhawatiran tenaga kesehatan selama terlibat
dalam perawatan Covid-19, diantaranya ketakutan resiko akan tertular dan menulari
keluarga, diskriminasi dan stigma dari masyarakat, meningkatnya jumlah kematian
masyarakat dan tenaga kesehatan dan kelelahan kerja. Penelitian yang sama oleh Cai et al.
(2020). di Cina, dimana tenaga kesehatan mengalami stres emosional selama wabah Covid-
19. Faktor utama yakni ketakutan akan risiko infeksi pada diri mereka dan keluarga,
kematian pasien dan tenaga kesehatan, ketidaktersediaan panduan pengendalian infeksi yang
jelas, keterbatasan peralatan pelindung diri (Zhang et al., 2020; Leng et al., 2021). Tekanan
psikologis jika terjadi secara menerus tanpa ada penanganan secara khusus, maka akan
rentan terkena syndrome burnout, Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh
Maslach bahwa sindrom burnout terjadi karena ketegangan psikologis yang dihubungkan
dengan kejadian stres secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama ditandai
dengan kelelahan fisik, emosional dan mental, dimana sering terjadi pada individu yang
terlibat pada situasi atau pekerjaan yang menuntut keterlibatan emosional (Velando-Soriano
et al., 2020) Penelitian Petro, (2020) menyatakan bahwa perawat yang bekerja dengan risiko
tinggi seperti di pelayanan Covid-19 memiliki resiko high level burnout (Galanis et al.,
2021). penelitian yang sama oleh Woo et al. (2020) dari 49 negara yang diidentifikasi

1
menemukan bahwa prevalensi mengalami syndrome burnout diantara perawat adalah
11,23%. Selain syndrome burnout, petugas kesehatan juga mengalami tekanan psikologis
lainnya selama pandemi Covid-19 seperti depresi, kecemasan, gangguan stres pascatrauma,
insomnia, dan ketakutan (Kisely et al., 2020; Pappa et al., 2020; Salazar de Pablo et al.,
2020). Tingginya tekanan psikologis perawat tentu menjadi perhatian untuk ditangani karena
akan berdampak pada banyak hal terutama produktifitas kinerjanya. Untuk itu perawat
dituntut mampu mengelola emosionalnya (Sarafis et al., 2016). Fenomena berbeda
ditemukan pada perawat yang terlibat dalam perawatan Covid-19 di rumah sakit rujukan
Covid-19 di Sulawesi selatan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Fauzia and Sabil (2022)
dari 125 subjek perawat, sebanyak 111 (88,8%) subjek menunjukkan low indicate syndrome
burnout dan 14 (11,2%) subjek Moderate Syndrome Burnout, dan tidak ada subjek yang
menunjukkan high syndrome burnout. Rendahnya indikasi syndrome burnout menunjukkan
bahwa respon emosional sebagian besar perawat baik, perawat lebih mudah beradaptasi,
mengelola dan menangani masalah psikologis dtempat kerja dan bekerja secara professional.
Kemampuan perawat mengelola emosionalnya, tentu harus menjadi perhatian positif. Hal
tersebut penting dieskplorasi agar menjadi bahan rujukan ke perawat lain yang terkena
sindrom burnout. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengekspolarasi
pengalaman dan penatalaksanaan mandiri perawat yang digunakan dalam mengelola
masalah emosional selama terlibat dalam perawatan Covid-19.
Burnout menjadi masalah utama pada sektor pekerjaan tenaga kesehatan, terutama
selama masa pandemi COVID-19 (Sultana dkk., 2020). Burnout dapat dialami oleh berbagai
profesi, namun seringkali terjadi pada profesi yang berhubungan langsung dengan
seseorang, salah satunya perawat (Bakker dkk., 2002). Perawat merupakan profesi yang
lebih banyak mengalami tekanan kerja dan burnout dibandingkan dengan individu yang
bekerja di pusat layanan kesehatan lainnya (Mousavi dkk., 2017; Odonkor & Frimpong,
2020). Hal tersebut disebabkan karena perawat berpeluang lebih banyak kontak dekat
dengan pasien, berisiko lebih besar terinfeksi, serta beban fisik dan mental yang meningkat
dua kali lipat (Guixia & Hui, 2020). Burnout dapat terjadi dalam jangka waktu yang lebih
lama atau lebih pendek, tergantung pada situasi yang dialami dan kapasitas dalam
beradaptasi dengan situasi tersebut (Landa & López-Zafra, 2010). Burnout berasal dari
interaksi sosial antara yang menawarkan layanan dan yang menerimanya, pengelolaan emosi

2
yang tepat dalam interaksi tersebut merupakan faktor kunci yang dapat menjelaskan
mengapa beberapa individu lebih tahan terhadap timbulnya burnout daripada yang lain
(Landa & López-Zafra, 2010). Mengoptimalkan kecerdasan emosional merupakan faktor
kunci yang dapat mengurangi burnout di tempat kerja (Gong dkk., 2019). Selain kecerdasan
emosional, tingkat kecemasan juga dapat memperediksi tingkat burnout. Tingkat kecemasan
yang tinggi, menunjukkan adanya suatu kondisi menegangkan yang dapat mengembangkan
atau memperburuk gejala burnout dan tekanan psikologis (Giusti dkk., 2020). Kecemasan
merupakan keadaan gelisah atau ketakutan yang dihasilkan akibat dari antisipasi terhadap
peristiwa atau situasi yang nyata atau dianggap mengancam (Spielberger, 2010 dalam
Labrague & Santos, 2020). Kecemasan terkait dengan pandemi COVID-19 sangat umum
terjadi pada pekerjaan perawat, sumber utama kecemasan pada perawat yaitu takut akan
tertular dan menularkan kepada orang lain (Labrague & Santos, 2020). Perawat yang
menangani pasien COVID-19 mengalami tingkat kecemasan yang tinggi (Wan dkk., 2020).
Hasil penelitian Labrague & Santos (2020) juga menunjukkan bahwa sejumlah 123 (37,8%)
perawat mengalami kecemasan disfungsional. Kecemasan disfungsional mengacu pada
keadaan kecemasan yang tidak proporsional, yang didefinisikan sebagai ketakutan yang
terus-menerus atau tidak terkendali yang mengganggu kehidupan sehari-hari dan
menyebabkan gangguan pada perilaku dan kesejahteraan psikologis (Lee, 2020). Hasil
penelitian Fiorilli dkk. (2020) menunjukkan bahwa secara konseptual kecemasan memiliki
peran yang dapat memediasi hubungan antara kecerdasan emosional dengan burnout.
Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan kecemasan,
yang secara tidak langsung juga dapat meredam gejala burnout. Berdasarkan uraian tersebut,
maka penting untuk mengetahui bagaimana pengaruh kecerdasan emosional terhadap
burnout yang dimediasi oleh coronavirus anxiety pada perawat.

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana manajemen dan pengaturan alur kerja dalam
penanganan pasien Covid-19
2. Untuk mengetahui bagaimana adaptasi intrapersonal dan mengelola emosi dalam
menangani burn out untuk pasien covid-19
3. Untuk mengetahui bagaimana advokator bagi manajemen rumah sakit dalam
efektivitas dan efesiensi proses pelayanan dan penyembuhan pasien

3
C. Metode Penulisan
Metode penyusunan makalah ini dengan mengumpulkan beberapa refrensi dari
jurnal makalah yang berjudul “MANAJEMEN RUMAHSAKIT DALAM MENANGANI
PASIEN COVID-19” sehingga dapat memberi dampak yang baik bagi setiap tenaga
kesehatan dalam menangani pasien covid-19 dirumah sakit maupun dimasyarakat.

D. Ruang Lingkup Penulisan


Dalam penulisan makalah ini adanya ruang lingkup atau pembatasan
permasalahan yang akan dibahas agar lebih terarah. Pada makalah ini berfokus pada tiga
hal yaitu bagaimana manajemen dan pengaturan alur kerja dalam penanganan pasien
covid-19, adaptasi intrapersonal dan mengelola emosi dalam menangani burn out untuk
pasien covid-19, serta bagaimana advokator bagi manajemen rumah sakit dalam
efektivitas dan efesiensi proses pelayanan dan penyembuhan pasien.

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan pada makalah ini terdiri dari 3 Bab yaitu :
1. BAB I Pendahuluan
2. BAB II Pembahasan
3. BAB III Penutup
4. Daftar Pustaka

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Manajemen dan Pengaturan Alur Kerja dalam Penanganan Pasien Covid-19

1. Alur Pasien
Pasien masuk ke Rumah Sakit melalui pintu utama yakni dapat melalui IGD atau
melalui area rawat jalan. Proses masuknya pasien melalui pintu utama tersebut dapat
melalui tiga cara yaitu :
a. Langsung ke Rumah Sakit (atas permintaan pasien sendiri dan tanpa perjanjian).
Pasien yang masuk ke Rumah Sakit melalui mekanisme ini harus melalui proses
skrining. Bila dari hasil skrining dicurigai COVID-19 maka pasien diarahkan menuju
triase IGD atau rawat jalan khusus COVID-19. Sebaliknya bila dari skrining tidak
dicurigai COVID-19 maka pasien diarahkan menuju triase IGD atau rawat jalan non
COVID-19 sesuai kebutuhan pasien.
b. Melalui rujukan (dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau (Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) ).
1. Rujukan pasien suspek atau konfirmasi COVID-19 tidak perlu dilakukan skrining
dan langsung diarahkan ke triase COVID-19.
2. Rujukan pasien kasus non COVID-19 yang dengan hasil pemeriksaan COVID-19
negatif atau yang belum dilakukan pemeriksaan COVID-19 tetap harus melewati
proses skrining.
c. Melalui registrasi online.
Pasien yang masuk ke Rumah Sakit melalui registrasi online diharuskan mengisi
kajian mandiri terkait COVID-19, bila terindikasi gejala COVID-19 langsung
diarahkan ke triase rawat jalan COVID-19. Sedangkan pasien dengan hasil
assessment tidak terkait COVID-19 tetap melalui proses skrining (Isian kajian
mandiri terlampir).

2. Skrining
Skrining merupakan proses penapisan pasien di mana seorang individu dievaluasi
dan disaring menggunakan kriteria gejala dan riwayat epidemiologis, untuk

5
menentukan pasien tersebut masuk ke dalam kategori dicurigai COVID-19 atau
bukan. Tujuan skrining :
 Memisahkan pasien yang dicurigai COVID-19 dengan pasien non COVID-19.
 Mengurangi pajanan untuk pasien lain, pengunjung dan petugas Rumah Sakit.
 Membantu mencegah penyebaran penyakit di dalam fasilitas kesehatan.
 Memastikan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) digunakan sesuai pedoman
penggunaan APD. Skrining dilakukan pada semua orang yang mengunjungi
Rumah Sakit (pasien, petugas Rumah Sakit atau pengunjung Rumah Sakit
lainnya)
2.1 Skrining pada Pasien dan Pengunjung
Langkah-langkah yang dilakukan pada saat skrining adalah:
• Diwajibkan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 40 s/d 60
detik atau dengan hand sanitizer selama 20 s/d 30 detik.
• Semua pasien WAJIB menggunakan masker.
• Penilaian cepat (quick assessment COVID-19) :
• Pengecekan suhu badan dengan menggunakan thermal gun.

2.2 Skrining pada petugas Rumah Sakit


• Langkah-langkah yang dilakukan pada saat skrining adalah :
• Diwajibkan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 40 s/d 60
detik atau dengan hand sanitizer selama 20 s/d 30 detik.
• Semua petugas WAJIB menggunakan masker.
• Penilaian cepat (quick assessment COVID-19) :
• Pengecekan suhu badan dengan menggunakan thermalgun.
6
• Melakukan pengisian kajian mandiri (format terlampir).

3. Triase
Pada prinsipnya proses triase adalah untuk mengidentifikasi pasien yang memerlukan
intervensi medis segera, pasien yang dapat menunggu, atau pasien yang mungkin
perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan tertentu berdasarkan kondisi klinis pasien. Triase
dilakukan di pintu masuk pasien yaitu di IGD dan rawat jalan. Tindakan yang
dilakukan pada triase IGD khusus COVID-19 selain untuk penanganan
kegawatdaruratan pasien adalah untuk menentukan derajat infeksi COVID-19 yang
dideritanya, melalui anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan
penunjang pasien, sesuai Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19.
Tindakan triase rawat jalan khusus COVID-19 dilakukan untuk menentukan derajat
infeksi COVID-19 yang dideritanya, melalui anamnesis lengkap dan pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan penunjang pasien, sesuai tata laksana manejemen klinis
pasien COVID-19 sesuai Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19.

4. Pembagian Zona Risiko Penularan COVID-19 Di Rumah Sakit


Zonasi ruang adalah pembagian atau pengelompokan ruangan-ruangan pelayanan
berdasarkan kesamaan karakteristik fungsi kegiatan untuk tujuan tertentu.
Pembagian zonasi ruangan pada masa pandemi COVID-19 dilakukan untuk
mencegah penularan COVID-19 di Rumah Sakit antara penderita/bergejala COVID-
19 dengan non COVID-19. Zonasi Rumah Sakit berdasarkan risiko penularan
COVID-19 dibagi menjadi dua yakni: Zona COVID-19, Zona Non-COVID-19
a. Zona COVID-19

7
Merupakan area/ruangan yang tingkat risiko terjadinya penularan COVID-19
tinggi karena berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan
pelayanan pasien COVID-19. Zona ini diperuntukan bagi pasien kontak erat,
suspek, probable dan konfirmasi COVID-19. Yang termasuk dalam zona COVID-
19 meliputi:
• Area pelayanan : area rawat jalan khusus COVID-19, area IGD khusus
COVID-19, area rawat inap khusus COVID-19, area ruang isolasi khusus
COVID-19 (tekanan negatif / ventilasi normal), area ruang rawat intensif
(ICU/HCU) khusus COVID-19, area ruang bersalin khusus COVID-19, area
Ruang Operasi khusus COVID-19.
• Area penunjang : area laboratorium khusus COVID-19, area Radiologi
khusus COVID-19, area bagian gizi khusus COVID-19, area Kamar
Jenazah, Area Pengolahan Limbah Rumah Sakit. Bila memungkinkan
pembagian kedua zona tersebut adalah dalam bentuk ruangan terpisah.
Apabila terkendala keterbatasan ketersediaan ruangan maka opsinya adalah :
• Dalam satu instalasi yang perlu dipisahkan antara zona non COVID-19 dan
zona COVID-19 dapat dibatasi dengan pembatas sementara atau permanen
yang ditandai dengan penanda (sign) khusus yang jelas dan menganut sistem
jalur satu arah.
• Bagi Rumah Sakit yang mempunyai jumlah SDM memadai dapat dibagi
menjadi petugas di Zona Pelayanan COVID-19 dan Non COVID-19. Bagi
Rumah Sakit yang tidak memiliki SDM yang cukup dapat membuat jadwal /
pembagian jam shift layanan maupun hari layanan antara layanan biasa
maupun layanan khusus COVID-19.
• Bila ketersediaan ruangan tidak memungkinkan sama sekali untuk
pemisahan zona, maka untuk mengurangi risiko penyebaran COVID-19
dapat dilakukan dalam bentuk pengaturan jadwal pelayanan, pembagian jam
shift layanan ataupun hari layanan yang diikuti dengan tindakan
dekontaminasi dan sterilisasi baik ruangan maupun alat kesehatan setelah
pemberian pelayanan kepada pasien COVID-19 sesuai aturan yang berlaku.
b. Zona Non COVID-19

8
Merupakan area/ruangan yang tingkat risiko terjadinya penularan COVID-19
rendah karena tidak berhubungan langsung dengan pelayanan pasien COVID-
19.Yang termasuk dalam zona non COVID-19 meliputi:
• Area Administrasi: ruangan manejemen Rumah Sakit, ruang pertemuan,
ruang pendaftaran, gudang logistik, ruang rekam medik, administrasi dan
lainnya.
• Area Pelayanan : area rawat jalan non COVID-19, area IGD non COVID-19,
instalasi rawat inap non COVID-19, area rawat intensif (ICU/HCU) non
COVID-19, area ruang bersalin non COVID-19, Ruang Operasi non COVID-
19.
• Area penunjang : area laboratorium non COVID, area radiologi non COVID-
19, area bagian gizi non COVID-19, laundri, area farmasi dan layanan non
COVID-19 lainnya.

B. Adaptasi Intrapersonal dan Mengelola Emosi dalam Menangani Burn Out untuk
Pasien Covid-19.
Istilah "burnout" pertama kali muncul dalam literatur medis pada tahun 1974 yang
diperkenalkan oleh Freudenberger untuk menggambarkan kelelahan karena adanya
tuntutan yang berlebihan pada pekerjaan. Burnout merupakan suatu kegagalan atau
kelelahan setelah menggunakan kekuatan atau sumber daya energi secara berlebihan
(Freudenberger, 1974). Maslach dkk. (2001) mendefinisikan burnout sebagai respon dari
stresor emosional dan interpersonal yang kronis secara berkepanjangan dengan ditandai
adanya kelelahan emosional (emotional exhausted), depersonalisasi (depersonalization),
dan penurunan pencapaian diri (reduce personal accomplishment). Poin penting dari
burnout yaitu munculnya kelelahan emosional yang semakin meningkat. Kelelahan pada
dasarnya merepresentasikan stress individu dengan ditandai kehilangan energi dan
kekurangan sumber daya emosional. Sinisme atau depersonalisasi merepresentasikan
konteks interpersonal yang mengacu pada tanggapan yang negatif, sinis, atau terpisah
dengan berbagai aspek pekerjaan. Penurunan pencapaian diri merepresentasikan evaluasi
diri yang mengacu pada perasaan tidak kompeten, kurangnya prestasi dan produktivitas di
tempat kerja (Maslach dkk., 2001). Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional
merupakan konsep yang berawal dari kecerdasan sosial, yang dikemukakan oleh

9
Thorndike pada tahun 1920. Thorndike mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai
kemampuan untuk memahami diri sendiri dan orang lain, motif dan perilaku, serta
bertindak secara optimal berdasarkan informasi tersebut (dalam Salovey & Mayer, 1990).
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dikemukakan oleh Salovey & Mayer (1990),
yang merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan adaptif
untuk mengamati perasaan dan emosi diri sendiri serta orang lain, membedakan di antara
keduanya, dan menggunakan informasi tersebut sebagai panduan dalam berpikir dan
bertindak.

Kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Salovey & Mayer (1990) masih
menggunakan satu dimensi, dimana hanya ada satu faktor yang mewakili aspek-aspek
kecerdasan emosional itu sendiri. Namun, Ciarrochi dkk. (2001) dalam penelitiannya
mengemukakan bahwa satu faktor tersebut masih dapat dipecah lagi menjadi empat
dimensi, yakni persepsi terhadap emosi (perception of emotions), mengelola emosi diri
sendiri (managing emotions in the self), mengelola emosi orang lain (managing others'
emotions), dan memanfaatkan emosi (utilizing emotions). Coronavirus Anxiety Freud
merupakan tokoh pertama yang mencoba menjelaskan makna kecemasan dalam konteks
teori psikologi (Spielberger, 1966). Kecemasan merupakan keadaan gelisah atau
ketakutan yang dihasilkan akibat dari antisipasi terhadap peristiwa atau situasi yang nyata
atau dianggap mengancam (Spielberger, 2010 dalam Labrague & Santos, 2020).
Spielberger (1966) menyebutkan bahwa kecemasan terdiri dari dua aspek yang berbeda,
yaitu trait anxiety dan state anxiety. Trait anxiety diartikan sebagai karakteristik individu
yang stabil atau kepribadian yang relatif permanen dan sejauh mana ia memandang
situasi stres sebagai ancaman, yaitu, kecenderungan seseorang terhadap kecemasan. Di
sisi lain, state anxiety adalah reaksi individu terhadap suatu keadaan sementara atau yang
terus berubah dari waktu ke waktu yang dinilai mengancam (Spielberger, 1966).
Kecemasan secara umum terjadi di antara tenaga kesehatan yang terlibat langsung dalam
menangani pasien yang terinfeksi selama pandemi (Labrague & Santos, 2020).
Coronavirus Anxiety didefinisikan sebagai ketakutan yang terus-menerus atau tidak
terkendali yang mengganggu kehidupan sehari-hari dalam menanggapi pandemi COVID-
19 yang ditandai dengan gejala fisiologis antara lain pusing, gangguan tidur, kelumpuhan
di luar kendali (tonic immobility), kehilangan nafsu makan dan mual atau sakit perut

10
(Lee, 2020). Perawat yang tidak cerdas secara emosional, maka tidak akan mampu
mengatasi tuntutan pekerjaan dan akan lebih rentan mengalami burnout, serta keterlibatan
yang rendah, sehingga pada akhirnya akan memengaruhi kesejahteraan mereka di tempat
kerja (Nel dkk., 2013). Sebaliknya, jika perawat menguasai kecerdasan emosional, maka
rekan kerja, pasien, dan keluarga akan merasa diperhatikan, serta menimbulkan kepuasan
(White & Grason, 2019).

Perawat yang cerdas secara emosional akan lebih mampu memahami dan
mengelola emosi diri sendiri dan orang lain, sehingga perawat dapat menghadapi
lingkungan kerja yang kompleks lebih mudah (tuntutan pekerjaan yang tinggi, sumber
daya pekerjaan yang rendah) dan menjadi lebih engaged dan burnout lebih rendah, yang
pada akhirnya akan menghasilkan kesejahteraan kerja yang lebih baik. Burnout
merupakan konsekuensi dari emosi yang tidak teruji, maka dari itu kecerdasan emosional
dapat menjadi vital bagi perawat agar lebih terlibat dalam pekerjaan mereka (Nel dkk.,
2013). Fernández-Berrocal dkk. (2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional
menunjukkan hubungan yang kuat dan signifikan dengan self-esteem, depresi, dan
kecemasan. Zarei dkk. (2019) menyatakan bahwa kecerdasan emosional yang tinggi
dapat menurunkan tingkat kecemasan. Sebaliknya, jika individu dengan kecerdasan
emosional yang rendah, maka akan melaporkan kecemasan yang tinggi (Liu & Ren,
2016). Individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi dapat mengidentifikasi,
mengekspresikan, dan memahami emosi dan perasaan serta meregulasi emosi negatif
(kecemasan) (Ouyang et al. 2015 dalam Liu & Ren, 2016). Individu yang mampu
membedakan dengan jelas antara perasaan dan meregulasi keadaan emosional
menunjukkan tingkat kecemasan lebih rendah (Fernández-Berrocal dkk., 2006). Liu &
Ren (2016) menyatakan bahwa kecerdasan emosional dapat berfungsi sebagai faktor
pencegah dari kecemasan. Kekhawatiran perawat tentang anggota keluarga juga sangat
berpengaruh besar terutama mereka yang memiliki orang tua dan anak-anak dalam
keluarga. Kelelahan fisik, ketidakberdayaan psikologis, ancaman kesehatan, kurangnya
pengetahuan, dan ketidaktahuan interpersonal berkontribusi meningkatkan emosi negatif
perawat yang menyebabkan ketakutan, kecemasan, dan ketidakberdayaan (Kim, 2018;
Shen et al., 2020; Hendy et al., 2021). Penanganan psikologis perawat secara dini sangat
penting dimasa pandemi. Dengan melakukan penilaian stres dan skrining akan

11
mendorong pelepasan emosi dan meningkatkan kesehatan mental perawat (Smith et al.,
2017). Tema terkait koping dan self care style perawat dalam mengelola emosi mayoritas
menyatakan mereka menangani emosi dengan bersikap santai dan enjoy, tehnik distraksi
melalui nonton, ngobrol, komunikasi dengan keluarga dan meningkatkan spiritual, serta
mengelola pikiran agar berfikir positif. Dan beberapa subjek juga menyatakan bahwa
mereka meningkatkan kepercayaan dirinya menangami pasien Covid-19 dengan
memastikan APD lengkap dan terstandar, hal tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fauzia and Sabil (2022), bahwa perawat mempunyai koping yang baik
dan mampu mengelola emosi sehingga tidak terdampak pada kejadian syndrome burnout
selama pandemi. Kecemasan secara umum terjadi di antara tenaga kesehatan yang terlibat
langsung.Pada umumnya pasien terdeteksi covid merasa stress  rasa khawatir akan covid 
yang memburuk mungkin jadi bayang bayang setiap hari sehingga ingin segera sembuh .
di saat sudah memuncak , pasien bisa mengalami burn out. Burnout ini indikatornya
pikiran penuhhal negative, Lelah, kelelahan. Hal ini disebabkan karena minim stimulus,
minim aktivitas.Mungki karena berkumpul dengan pasien lain yang sama sama mengeluh
sakit, yang juga butuh didengarkan. Nuansanya negative sehingga terjadi burnout

Hal hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi burnout :

1. Eksplorasi hobi masa kecilPasien memiliki waktu yang cukup banyak untuk
mengeksplore hobi masa kecilnya.Lakukan aktivitas yang bisa membantu pikiran lebih
netral, Bahagia, bisa dengan menggambar, melukis, mendengarkan music, menciptaka
ide bisnis, semua bisa dilakukan dalam kondisi duduk
2. Latihan relaksasi Relaksasi tidak hanya meditasi tetapi juga dengan Latihan napas saat
menghirup napas usahakan focus pada aliran udara yang terasa melewati hidung,
tenggorokan, lalu hembuskan lewat mulut, nikmati tiap tarikan dan hembusan agar lebih
rileks

3. Buat agenda kegiatan Buat agenda kegiatan harian mulai pagi hingga malam. Contoh pagi
diisi dengan halhal yang disyukuri , personal hygiene, olahraga ringan, sarapan. Siang
menghubungi teman atau sahabat, mendengarkan music dan apresiasi film. Malam
membaca buku atau menulis jurnal. Waktu kosong juga bisa diisi dengan membaca dan
menghafal surat surat pendek dalam alQur’an.

12
C. Manajemen Rumah Sakit dalam Efektivitas dan Efesiensi Proses Pelayanan dan
Penyembuhan Pasien

Sesuai dengan peraturan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Pelayanan


Kesehatan. Agar penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat mencapai tujuan yang
diinginkan maka pelayanan harus memenuhi berbagai syarat diantaranya; tersedia dan
berkesinambungan, dapat diterima dan wajar, mudah dicapai, mudah dijangkau, dan
bermutu (Azwar, 1996). Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu tolak
ukur kepuasan yang berefek terhadap keinginan pasien untuk kembali kepada institusi
yang memberikan pelayanan kesehatan yang efektif. Untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan pasien sehingga dapat memperoleh kepuasan yang ada pada akhirnya dapat
meningkatkan kepercayaan pada rumah sakit melalui pelayanan prima. Melalui pelayanan
prima, rumah sakit diharapkan akan menghasilkan keunggulan kompetitif (competitive
advantage) dengan pelayanan bermutu, efisien, inovatif dan menghasilkan sesuai dengan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan pasien.

Bentuk pelayanan yang efektif antara pasien dan pemberi pelayanan (provider)
disadari sering terjadi perbedaan persepsi. Pasien mengartikan pelayanan yang bermutu
dan efektif jika pelayanannya nyaman, menyenangkan dan petugasnya ramah yang mana
secara keseluruhan memberikan kesan kepuasan terhadap pasien. Sedangkan provider
mengartikan pelayanan yang bermutu dan efesien jika pelayanan sesuai dengan standar
pemerintah. Adanya perbedaan persepsi tersebut sering menyebabkan keluhan terhadap
pelayanan (Aswar,1996). Adapun kondisi yang menunjukkan masalah mutu dan
keefektifan yang ada di rumah sakit yakni adanya keluhan yang sering terdengar dari
pihak pemakai layanan kesehatan yang biasanya menjadi sasaran ialah sikap dan tindakan
dokter atau perawat, sikap petugas administrasi, selain itu juga tentang sarana yang
kurang memadai, kelambatan pelayanan, persediaan obat, tarif pelayanan kesehatan,
peralatan medis dan lain-lain.

D. Peran Perawat sebagai Advokat Pasien dalam Asuhan Keperawatan

Advokasi adalah tindakan membela hak-hak pasien dan bertindak atas nama
pasien. Perawat mempunyai kewajiban untuk menjamin diterimanya hak-hak pasien.
Perawat harus membela pasien apabila haknya terabaikan (Vaartio, 2005; Blais, 2007).

13
Advokasi juga mempunyai arti tindakan melindungi, berbicara atau bertindak
untuk kepentingan klien dan perlindungan kesejahteraan (Vaartio, 2005). Seringkali
pasien mengalami ketakutan dan kecemasan berlebihan terhadap penyakitnya. Perawat
atau tim kesehatan lain seharusnya dapat memberikan saran mengenai pengobatan dan
proses kesembuhannya. Saran yang diberikan dapat mengurangi kecemasan yang dialami
pasien sehingga dapat menunjang keberhasilan pengobatan selanjutnya (Soetjiningsih,
2008). Perawat harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan khusus dalam
memberikan informasi kepada pasien, sehingga dapat menyampaikan informasi tentang
diagnosa medis, prosedur dan proses terapi ke dalam bahasa pasien yang mudah dipahami
dan diterapkan. Advokasi juga ditujukan kepada pasien yang membutuhkan peran
perawat untuk menyediakan data yang dibutuhkan tentang pengobatan dan proses terapi
(Nicoll, 2012; Promtape, 2004). Perannya sebagai advokat, perawat diharapkan mampu
untuk bertanggung jawab dalam membantu pasien dan keluarga menginterpretasikan
informasi dari berbagai pemberi pelayanan yang diperlukan untuk mengambil persetujuan
atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya serta mempertahankan dan
melindungi hak-hak pasien. Hal ini harus dilakukan, karena pasien yang sakit dan dirawat
di rumah sakit akan berinteraksi dengan banyak petugas kesehatan.
Perawat adalah anggota tim kesehatan yang paling lama kontak dengan pasien
sehingga diharapkan perawat harus mampu membela hak-hak pasien (Mubarak dkk,
2000). Perawat juga berfungsi sebagai penghubung antara klien dengan tim kesehatan
lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasien, membela kepentingan pasien dan
membantu pasien dalam memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan
oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun profesional (Dwidiyanti,
2007). Sebagai advokat, perawat juga harus bertanggung jawab untuk melindungi hak
pasien dan melindungi dari adanya penyimpangan (Purba, 2009) Sebagian besar perawat
meyakini bahwa kepemimpinan dokter merupakan faktor yang paling penting yang
menghambat advokasi. Perawat merasa masih sangat sulit untuk berbicara atas nama
pasien dengan posisi dokter yang mendominasi, meskipun dengan pengetahuan yang baik
tentang suatu masalah (Negarandeh, 2006). Informan mengatakan faktor yang
menghambat terlaksananya peran advokasi perawat yaitu terbatasnya jumlah tenaga
perawat. Peran perawat sebagai advokasi pasien adalah perawat mampu memberikan

14
perlindungan terhadap pasien, keluarga pasien, dan orang – orang disekitar pasien. Hal ini
didukung dengan hasil penelitian Umasugi (2018) bahwa perawat sebagai pelindung,
perawat mampu mempertahankan lingkungan yang aman dan nyaman dan mengambil
tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan dari hasil
pengobatan, contohnya mencegah terjadinya alergi terhadap efek pengobatan dengan
memastikan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi. Salah satu untuk mencegah
terjadinya hal – hal yang merugikan pasien perawat harus saling berkoordinasi dengan
adanya standar komunikasi yang efektif dan terintegrasi dalam kegiatan timbang terima
yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan (Alvaro et al. 2016 dalam
Triwibowo & Zainuddin 2016). Peran advokasi perawat terhadap pasien juga terlaksana
dalam pemberian penjelasan tindakan prosedur dalam informed consent berperan sebagai
pemberi informasi, pelindung, mediator, pelaku dan pendukung (Tri Sulistiyowati, 2016).
Perawat memberikan perlindungan terhadap pasien untuk mencvegah terjadinya
penyimpangan/malpraktik yang pada dasarnya setiap profesi kesehatan sudah harus
memahami tanggung jawab dan integritasnya dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Para professional kesehatan terutama perawat harus memahami hak – hak dan kewajiban
pasien sebagai penggunan layanan kesehatan. (Kusnanto, 2004). Dalam artikelnya Nurul
(2018) pasien berhak mendapatkan pelayanan yang manusiawi dan jujur. Pasien berhak
mendapatkan pelayanan yang sama tanpa adaanya diskriminasi. Pasien berhak
didampingi oleh keluarga selama di rawat. Pasien juga berhak memilih tim medis dan
rumah sakit sesuai dengan kebutuhannya, namun pada hal ini perawat harus memberikan
informasiyang sejujurnya agar pasien tidak salah dalam memilih. Kemudian pasien
berhak mengetahui hasil pemeriksaan yang dilakukannyan dan berhak mendapatkan
perlindungan privasi. Dalam hal ini perawat sebagai pendamping pasien selama 24 jam
penuh wajib memenuhi hak pasien tersebut yang berperan sebagai advokasi bagi pasien
untuk menghindari terjadinya kesalahan asuhan keperawatan.
Perawat harus menghargai pasien yang dirawatnya sebagai manusia yang utuh
sehingga tidak menjadi beban selama menajalani perannya sebagai advokat pasien.
Namun beberapa penghambat yang dialami perawat dalam menjalankan perannya adalah
salahnya paradigma perawat sebagai pembantu atau asisten dokter (Suryani, dkk, 2013)
yang masih menjadi pencetus hilangnya kepercayaan diri perawat dalam melaksanakan

15
peran sebagai advokasi tersebut. Tingkatkan pendidikan juga harus ditingkatkan agar
perawat dapat meningkatan ilmu pengetahuan sehingga pada saat pelaksanaan asuhan
keperawatan yang dilaksanakan bisa lebih dilakukan dengan teliti. Kemudian hal yang
terpenting untuk melaksanakan peran sebagai advokasi pasien adalah bagaimana seorang
perawat dapat berkomunikasi dengan baik dengan pasien maupun dengan mitra sejawat.
Komunikasi adalah bentuk aksi untuk melakukan interaksi yang akan memberikan
informasi silang antara pasien dan mitra sejawat. Apabila komunikasi antar perawat dan
pasien atau keluarga akan memberikan feedback yang positif antara kedua pihak. Yang
tentunya akan membantu proses perawatan yang lebih mudah dan pasien akan merasa
nyaman dengan tindakan yang dilakukan. Sehingga peran perawat sebagai advokasi
pasien salah satunya mediator antara pasien dan tenaga kesehatan lainnya dapat tercapai
(Irfanti, 2019)

16
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penanganan COVID-19 di masyarakat membutuhkan sinergi yang baik antara
pemerintah, pelayanan kesehatan dan masyarakat. Rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan
tingkat pertama diharapkan mampu melaksanakan upaya preventif dan promotif dan
membantu masyarakat untuk mengakses informasi terkini terkait perkembangan COVID-19
dan penanganannya, sehingga Rumah sakit dapat menjalankan program Pemberantasan
Penyakit Menular (P2M) di komunitas dan pandemi COVID-19 segera berakhir. Berdasarkan
materi yang telah dibahas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila individu dengan
kecerdasan emosional yang tinggi, maka dapat menurunkan tingkat coronavirus anxiety, yang
kemudian juga dapat menurunkan tingkat burnout. Perawat memiliki pengetahuan yang baik
tentang advokasi serta dapat menjelaskan pengertian advokasi yang disertai dengan tindakan-
tindakan yang menunjukkan peran advokat perawat.

B. Saran
Diharapkan rumah sakit dapat menerapkan manajemen yang baik dalam
menangani pasien Covid-19 melalui pengaturan alur kerja yang sesuai dengan peraturan
pemerintah. Pimpinan pihak rumah sakit harus memperhatikan kualitas pelamar, seperti
memiliki sikap postif dan rasa peduli yang tulus; peningkatan kinerja organisasi, pimpinan
pihak rumah sakit harus fokus untuk memberikan dukungan psikologis kepada perawat dan
menyusun program pendidikan dan pelatihan yang kompeten, seperti patient relationship
management dan keterampilan sosial dalam strategi koping, sehingga memungkinkan perawat
untuk melakukan perawatan terhadap pasien dengan kualitas terbaik.

17
DAFTAR PUSTAKA

Galanis P, Vraka I, Fragkou D, Bilali A, Kaitelidou D. 2021. Nurses’ burnout and associated risk
factors during the COVID-19 pandemik: A systematic review and meta-analysis.
Journal of Advanced Nursing, 77(8): 3286–3302.

Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


24 tahun 2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016.

Kusnanto. (2004). Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Professional. Editor, Monica
Ester. Jakarta: EGC

Mayer, J. D. ., Salovey, P., & Caruso, D. (2002). Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence


Test. In Multi-Health Systems Incoporated.

Sarafis P, Rousaki E, Tsounis A, Malliarou M, Lahana L, Bamidis P, Niakas D, Papastavrou E.


2016. The impact of occupational stress on nurses’ caring behaviors and
their health related quality of life. BMC Nursing. BMC Nursing, 15(1): 1–9.

Suryani, M., Setyowati, & Luknis, S. (2013). Pemahaman Dan Perilaku Perawat Dalam
Melaksanakan Peran Advokat Pasien Di Rumah Sakit.

Tri Sulistiyowati, M.A.E. (2016). Pelaksanaan Advokasi Perawat Dalam Informed


Consenst di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, Vol.8, No.2.

Umasugi, M.T. (2018). Peran Perawat Dalam Menangani Pasien TB Paru Di Ruang Igd
RSUD Telehu Provinsi Maluku Tahun 2015. Global Health Science, Vol. 3, No.3,
ISSN: 2503-5088 (p) 26622-1055 (e).

WHO. Clinical management of COVID-19. Interim Guidance. World Health Organization. 27


May 2020.
White, D. E., & Grason, S. (2019). The Importance of Emotional Intelligence in Nursing Care.
Journal of Comprehensive Nursing Research and Care, 4(152), 1–3.

18

Anda mungkin juga menyukai