Anda di halaman 1dari 10

Model Cooperative Learning

1. Pengertian Model Cooperative Learning

Model cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran secara


berkelompok dalam mengerjakan suatu hal. Model ini menjadi salah satu
alternatif bagi guru yang digunakan dalam proses pembelajaran karena dirasa
lebih efekif dan efisien dalam pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Roger (Huda, 2012: 29) yang menyatakan bahwa cooperative learning
merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip
bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial
diantara kelompok pembelajar. Setiap pembelajar bertanggung jawab atas
pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran
anggota yang lain.
Berbeda dengan pendapat tersebut, pendapat lain mengemukakan bahwa
model cooperative learning adalah suatu model pembelajaran yang saat ini
banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat
pada siswa (student oriented). Model ini digunakan untuk mengatasi
permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat
bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang
lain (Isjoni, 2007: 16).
Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, peneliti menyimpulkan
model pembelajaran cooperative learning adalah pembelajaran yang diterapkan
oleh guru kepada siswa dengan membentuk kelompok-kelompok kecil yang
heterogen (kemampuan siswa yang berbeda-beda baik rendah, sedang maupun
tinggi). Model ini menuntut siswa untuk saling bekerja sama dalam
menyelesaikan permasalahan terhadap materi yang diberikan oleh guru.

2. Langkah-Langkah Cooperative Learning


a. Fase pertama guru Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa. Guru
mengklasifikasi maksud pembelajaran kooperatif. Hal ini penting untuk
dilakukan karena siswa harus memahami dengan jelas prosedur dan aturan
dalam pembelajaran.
b. Fase kedua Guru menyampaikan informasi, sebab informasi ini merupakan
isi akademik.
c. Fase ketiga Guru harus menjelaskan bahwa siswa harus saling bekerja sama
di dalam kelompok. Penyelesaian tugas kelompok harus merupakan tujuan
kelompok. Tiap anggota kelompok memiliki akuntabilitas individual untuk
mendukung tercapainya tujuan kelompok. Pada fase ketiga ini terpenting
jangan sampai ada free-rider atau anggota yang hanya menggantungkan tugas
kelompok kepada individu lainnya.
d. Fase keempat Guru perlu mendampingi tim-tim belajar, mengingatkan
tentang tugas-tugas yang dikerjakan siswa dan waktu yang dialokasikan. Pada
fase ini bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, pengarahan, atau
meminta beberapa siswa mengulangi hal yang sudah ditunjukkan.
e. Fase kelima Guru melakukan evaluasi dengan menggunakan strategi evaluasi
yang konsisten dengan tujuan pembelajaran.
f. Fase keenam Guru mempersiapkan struktur reward yang akan diberikan
kepada siswa. Variasi struktur reward dapat dicapai tanpa tergantung pada
apa yang dilakukan orang lain. Struktur reward kompetitif adalah jika siswa
diakui usaha individualnya berdasarkan perbandingan dengan orang lain.
Struktur reward kooperatif diberikan kepada tim meskipun anggota tim
timnya saling bersaing.

Model Reciprocal Learning

1. Pengertian Model Reciprocal Learning


Reciprocal Learning adalah suatu metode pembelajaran yang dirancang
untuk memberikan manfaat agar tujuan pembelajaran yang dirancang untuk
memberikan keterampilan pada siswa dalam memahami apa yang dibaca
didasarkan pada pengajuan pertanyaan. Model pembelajaran yang bisa
membangkitkan hasil belajar semua peserta didik. Pembelajaran Timbal-balik
atau Reciprocal Learning merupakan strategi pembelajaran pembelajaran untuk
meningkatkan pemahaman membaca (reading comprehension). Dikembangkan
pertama kali oleh Palincsar (1984), Reciprocal Learning ditujukan untuk
mendorong siswa mengembangkan skill-skill yang dimiliki oleh pembaca dan
pembelajar efektif, seperti merangkum, bertanya, mengklarifikasi, memprediksi,
dan merespons apa yang di baca. Siswa menggunakan empat strategi
pemahaman, baik secara berpasangan maupun dalam kelompok kecil,
Reciprocal Learning bisa diterapkan untuk pembelajaran materi fiksi, nonfiksi,
prosa, atau puisi.
”Menurut Suyatno (2009 : 64), Reciprocal Learning merupakan strategi
pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip pengajuan pertanyaan dimana
siswa ketrampilan-ketrampilan metakognitif diajarkan melalui pengajaran
langsung dan pemodelan oleh guru. Pembelajaran menggunakan
Reciprocal Learning harus memperhatikan tiga hal yaitu siswa belajar
mengingat, berfikir dan memotivasi diri. Dalam Reciprocal Learning, guru
mengajarkan siswa keterampilan-keterampilan kognitif penting dengan
menciptakan pengalaman belajar, melalui pemodelan perilaku tertentu dan
kemudian membantu siswa mengembangkan keterampilan tersebut atas
usaha mereka sendiri dengan pemberian semangat (Brown dalam Trianto,
2007 : 96)”
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pembelajaran
terbalik (Reciprocal Learning ) adalah suatu metode pembelajaran yang
dirancang untuk memberikan manfaat agar tujuan pembelajaran tercapai
dan memberikan ketrampilan pada siswa dalam memahami apa yang
dibaca didasarkan pada pengajuan pertanyaan.
Dapat disimpulkan pembelajaran Reciprocal Learning adalah metode
pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman membaca
dan memberikan manfaat agar tujuan pembelajaran tercapai. Melalui
pengajaran langsung dan pemodelan ini harus memperhatikan tiga hal
siswa belajar mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Ditunjukkan untuk
mendorong siswa membangun skill-skill pembelajar dan pembaca, siswa
dikelompokan secara berpasangan atau kelompok yang beranggotakan 4-5
siswa dalam kelompok tersebut.
2. Langkah-langkah Pembelajaran Reciprocal Learning
1. Langkah 1 – Peragaan Awal
Bimbinglah siswa untuk belajar dengan memperagakan, mengikuti,
dan menerapkan strategi-strategi pembaca efektif di atas selama proses
membaca. Bacalah salah satu bagian teks dengan keras dan peragakan
empat langkah tersebut-meringkas, mengklarifikasi, mempertanyakan, dan
memprediksi. (* prediksi bisa menjadi optional bergantung pada
materi optional bergantung pada materi yang dipelajari.
2. Langkah 2 – Pembagian Peran
Dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing terdiri dari
empat siswa, bebankan satu peran pada masing-masing anggota sebagai
summariser (perangkum), questioner (penanya), clarifer (pengklarifikasi),
dan predictor (penduga).
3. Langkah 3 – Pembacaan dan Pencatatan
Mintalah siswa untuk membaca beberapa paragraf dari teks terpilih.
Mintalah mereka untuk menggunakan strategi-strategi mencatat, seperti
menggarisbawahi, mengcoding, dan sebagainya.
4. Langkah 4 – Pelaksanaan Diskusi
Siswa yang berperan sebagai predictor bertugas membantu kelompoknya
menghubungkan bagian-bagian teks dengan menyajikan
prediksi-prediksi dari bagian sebelumnya dan juga membantu
kelompoknya untuk memprediksi apa yang akan mereka baca
selanjutnya dengan menggunakan isyarat-isyarat atau kesimpulan
sementara dalam teks. Questioner bertugas membantu kelompok untuk
bertanya dan menjawab pertanyaan tentang teks tersebut dan
mengingatkan kelompok untuk menggunakan seluruh jenis pertanyaan
(level tinggi dan level rendah). Summariser bertugas menegaskan
kembali gagasan utama dalam teks tersebut dengan bahasa mereka
sendiri. Clarifier membantu kelompok menemukan bagian-bagian teks
yang tidak jelas dan menemukan cara-cara untuk memperjelas
kesulitan-kesulitan ini.
5. Langkah 5 – Pertukaran Peran
Peran-peran dalam kelompok harus saling ditukar satu sama lain. Teks
yang berbeda juga perlu disajikan. Siswa mengulang proses ini dengan
peran yang baru. Teruslah mengulang proses ini hingga topik/teks
yang dipilih selesai di pelajari. (model pembelajaran
Dapat disimpulkan langkah pembelajaran Reciprocal Learning ini
siswa dikembangkan untuk membantu guru menggunakan dialogdialog
kerjasama untuk mengajarkan pemahaman bacaan secara
mandiri dan dapat saling membantu siswa lain dalam kelompok untuk
menemukan bagian teks yang tidak jelas dan menemukan cara-cara
memperjelas kesulitan-kesulitan ini

Model Pembelajaran Two Stay – Two Stray


1. Pengertian Model Pembelajaran Two Stay – Two Stray
Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS)
dikembangkan oleh Spencer Kagan. Model pembelajaran ini bisa digunakan
dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia peserta didik. model
pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray merupakan sistem
pembelajaran kelompok dengan tujuan agar siswa dapat saling bekerjasama,
bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah dan saling
mendorong untuk berprestasi. Metode ini juga melatih siswa untuk bersosialisasi
dengan baik (Yusiriza, 2010).
Metode Two Stay Two Stray merupakan metode dua tinggal dua tamu.
Menurut Agus Suprijono, pembelajaran dengan metode ini diawali dengan
pembagian kelompok. Setelah kelompok terbentuk guru memberikan tugas
berupa permasalahan-permasalahan yang harus mereka diskusikan jawabannya.
Setelah diskusi intrakelompok usai, dua orang dari masing-masing kelompok
meninggalkan kelompoknya untuk bertamu kepada kelompok yang lain. Anggota
kelompok yang tidak mendapat tugas sebagai tamu mempunyai kewajiban
menerima tamu dari suatu kelompok. Tugas mereka adalah menyajikan hasil
kerja kelompoknya kepada tamu tersebut. Dua orang yang bertugas sebagai tamu
diwajibkan bertamu kepada semua kelompok. Jika mereka telah usai menunaikan
tugasnya, mereka kembali ke kelompoknya masing-masing. Setelah kembali
ke kelompok asal, baik peserta didik yang bertugas bertamu maupun mereka
yang bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas hasil kerja yang
telah mereka tunaikan (Suprijono, 2009: 93).
Model Pembelajaran Example Non Example
1. Pengertian Model Pembelajaran Example Non Example
Examples non examples adalah model belajar yang menggunakan
contohcontoh. Contoh-contoh dapat dari kasus atau gambar yang relevan dengan
kompetensi dasar (Kiranawati, 2007:34). Selanjutnya Examples non examples
adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang penyampaian materinya
berupa contoh-contoh. Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa istilah examples non examples yang di maksud dalam penelitian ini adalah
suatu model pembelajaran kooperatif yang model belajarnya menggunakan
contoh-contoh dapat berupa gambar, bagan, skema yang relevan dengan
kompetensi dasar (Kusumah, 2008:45).
Model pembelajaran examples non examples adalah tipe pembelajaran
yang mengaktifkan siswa dengan cara guru menempelkan contoh gambar-gambar
yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan gambar lain yang relevan
dengan tujuan pembelajaran, kemudian siswa disuruh untuk menganalisisnya
dan mendiskusikan hasil analisisnya sehingga siswa dapat membuat konsep
yang esensial. Model Pembelajaran examples non examples atau juga biasa
disebut example and non example merupakan model pembelajaran yang
menggunakan gambar sebagai media pembelajaran. Penggunaan media
gambar ini disusun dan dirancang agar anak dapat menganalisis gambar
tersebut menjadi sebuah bentuk deskripsi singkat mengenai apa yang ada di
dalam gambar (Rochyandi 2004:11).
Konsep pada umumnya dipelajari melalui dua cara, paling banyak konsep
yang kita pelajari di luar sekolah melalui pengamatan dan juga dipelajari
melalui definisi konsep itu sendiri. Examples non examples adalah taktik
yang dapat digunakan untuk mengajarkan definisi konsep. Taktik ini
bertujuan untuk mempersiapkan siswa secara cepat dengan menggunakan 2
hal yang terdiri dari example dan non example dari suatu definisi konsep yang
ada dan meminta siswa untuk mengklasifikasikan keduanya sesuai dengan
konsep yang ada. Example memberikan gambaran akan sesuatu yang menjadi
contoh akan suatu materi yang sedang dibahas, sedangkan non example
memberikan gambaran akan sesuatu yang bukanlah contoh dari suatu materi
yang sedang dibahas. Examples non examples dianggap perlu dilakukan
karena suatu definisi konsep adalah suatu konsep yang diketahui secara
primer hanya dari segi definisinya daripada dari sifat fisiknya.
Dengan memusatkan perhatian siswa terhadap example dan non example
diharapkan akan dapat mendorong siswa untuk menuju pemahaman yang
lebih dalam mengenai materi yang ada (Rochyandi, 2004:11).
Beberapa hal yang harus menjadi perhatian guru dalam menyajikan contoh
dari suatu konsep yaitu :
1. Urutkan contoh dari yang mudah ke yang sulit.
2. Pilih contoh-contoh yang berbeda satu sama lain.
3. Bandingkan dan bedakan contoh-contoh dan bukan contoh (Slavin,
2002).

Menyiapkan pengalaman dengan contoh dan bukan contoh akan


membantusiswa untuk membangun makna yang banyak dan lebih mendalam
darisebuah konsep penting. Kerangka konsep terkait strategi tindakan, yang
menggunakan model inkuiri untuk memperkenalkan konsep yang baru
dengan model examples non examples antara lain:

1. Menggeneralisasikan pasangan antara contoh dan bukan contoh yang


menjelaskan beberapa dari sebagian besar karakter dari konsep baru.
Menyajikan itu dalam satu waktu dan meminta siswa untuk memikirkan
perbedaan apa yang terdapat pada dua daftar tersebut. Selama siswa
memikirkan tentang tiap examples dan non examples tersebut, tanyakanlah
pada mereka apa yang membuat kedua daftar itu berbeda.
2. Menyiapkan examples dan non examples tambahan, mengenai konsep
yang lebih spesifik untuk mendorong siswa mengecek hipotesis yang telah
dibuatnya sehingga mampu memahami konsep yang baru.
3. Meminta siswa untuk bekerja berpasangan untuk menggeneralisasikan
konsep examples dan non examples mereka. Setelah itu meminta tiap
pasangan untuk menginformasikan di kelas untuk mendiskusikannya.
4. Sebagai bagian penutup, adalah meminta siswa untuk mendeskripsikan
konsep yang telah diperoleh dengan menggunakan karakter yang telah
didapat dari examples dan non examples (Suyatno, 2009).

2. Langkah –Langkah Model Pembelajaran Example Non Example


1. Guru mempersiapkan gambar-gambar yang sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
2. Guru menempel gambar dipapan atau ditayangkan melalui OHP.
3. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada siswa untuk
memperhatikan atau menganalisi gambar.
4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, daril diskusi dari analisis gambar
tersebut dicatat pada kertas.
5. Tiap kelompok diberi kesempatan untuk membecakan hasil diskusinya.
6. Mulai dari komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi
sesuai dengan tujuan yang ingin di capai.
7. Kesimpulan.
Model Pembelajaran Picture and Picture
1. Pengertian Model Pembelajaran Picture and Picture
Model Pembelajaran Picture and Picture adalah salah satu model
pembelajarankooperatif. Model pembelajaran Picture and Picture adalah suatu
metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan atau diurutkan
menjadi urutan logis. Pembelajaran ini memiliki ciri Aktif, Inovatif, Kreatif, dan
Menyenangkan. Model Pembelajaran Picture and Picture, mengandalkan gambar
sebagai media dalam proses pembelajaran. Gambar-gambar ini menjadi faktor
utama dalam proses pembelajaran. Sehingga sebelum proses pembelajaran guru
sudah menyiapkan gambar yang akan ditampilkan baik dalam bentuk kartu atau
dalam bentuk cerita dalam ukuran besar.
Menurut Johson and Johson (dalam Trianto. 2009: 281) prinsip dasar
dalam model pembelajaran kooperatif Picture and Picture adalah sebagai
berikut:
a. Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
dikerjakan dalam kelompoknya.
b. Setiap anggota kelompok (siswa) harus mengetahui bahwa semua anggota
kelompok mempunyai tujuan yang sama.
c. Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas dan tanggung jawab
yang sama diantara anggota kelompoknya.
d. Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai evaluasi.
e. Setiap anggota kelompok (siswa) berbagi kepemimpinan dan membutuhkan
keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
f. Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta mempertanggung jawabkan
secara individual materi yang ditangani dalam kooperatif.

(Zaenal. 2014: 18) model pembelajaran kooperatif Picture and Picture adalah
model pembelajaran yang ditekankan pada gambar yang diurutkan menjadi
urutan yang logis, mengembangkan interaksi antar siswa yang saling asah, silih
asih, dan silih asuh.

2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Picture adn Picture


Pembelajaran kooperatif Picture and Picture menggunakan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
b. Guru menyajikan materi sebagai pengantar
c. Guru menunjuk atau memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan
dengan materi.
d. Guru menunjuk atau memanggil siswa secara bergantian memasang atau
mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
e. Guru menanyakan alasan dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
f. Dari alasan urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep atau
materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
g. Kesimpulan atau ra

Model Pembelajaran CRI (Certainly of Response Index)

1. Pengertian Model Pembelajaran CRI

Metode CRI ini telah dikembangkan oleh Saleem Hasan (1999:


294-299) yang digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang
dialami siswa, yang merupakan ukuran tingkat keyakinan/kepastian
responden dalam menjawab setiap pertanyaan (soal) yang diberikan.

Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan


penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk
not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dan 5 untuk certain. 

Satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penggunaan CRI
adalah kejujuran siswa dalam mengisi CRI untuk jawaban suatu soal,
karena nantinya akan menentukan pada keakuratan hasil identifikasi yang
dilakukan (Tayubi, 2005: 1).

Model Certainly of Response Index(CRI) merupakan model yang


digunakan untuk mengukur tingkat keyakinan siswa terhadap materi yang
telah diajarkan oleh guru. Certainly of Response Index (CRI) adalah
ukuran tingkat keyakinan/kepastian responden dalam menjawab setiap
pertanyaan yang diberikan (Saleem Hasan dalam Tayubi, 2005)

Seorang responden mengalami miskonsepsi atau tidak tahu konsep dapat


dibedakan secara sederhana dengan cara membandingkan benar tidaknya
jawaban suatu soal dengan tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban
(CRI) yang diberikannya untuk soal tersebut (Tayubi, 2005).

2. Langkah-langkah Certainly of Response Index


Menurut Saleem Hasan langkah-langkah dalam mengidentifikasi
pemahaman konsep siswa dengan menggunakan CRI pada soal pilihan
ganda adalah sebagai berikut:
1.      Siswa memilih salah satu jawaban yang dianggap benar dari alternatif
pilihan yang ada.
2.      Siswa memberikan nilai pada setiap soal antara 0-5 sesuai dengan
tingkat keyakinan siswa dalam menjawab pertanyaan yang telah
disediakan.
3.      Nilai jawaban yang benar dan nilai CRI dimasukan dalam matrik
kriteria CRI.
Ketentuan untuk perorangan siswa dan untuk setiap pertanyaan
yang diberikan didasarkan pada kombinasi dari jawaban benar atau salah
dan tinggi rendahnya CRI. Untuk suatu pertanyaan yang diberikan, total
CRI untuk jawaban salah diperoleh dengan cara menjumlahkan CRI dari
semua siswa yang jawabannya salah untuk pertanyaan tersebut. Rata-rata
CRI untuk jawaban salah untuk suatu pertanyaan yang diberikan diperoleh
dengan cara membagi jumlah CRI untuk jawaban salah tiap siswa dengan
jumlah siswa yang jawabannya salah untuk pertanyaan tersebut.
Dengan cara yang sama total CRI untuk jawaban benar diperoleh
dengan menjumlahkan CRI dari semua siswa yang jawabannya benar
untuk pertanyaan tersebut. Sedangkan rata-rata CRI untuk jawaban benar
suatu pertanyaan yang diberikan diperoleh dengan cara membagi jumlah
CRI untuk jawaban benar tiap siswa dengan jumlah siswa yang
jawabannya benar utuk pertanyaan tersebut.
Pengidentifikasian miskonsepsi untuk kelompok responden dapat
dilakukan dengan cara yang sama seperti untuk kasus tiap responden
secara individu, kecuali harga CRI diambil merupakan hasil perata-rataan
CRI tiap responden. Dalam kasus kolompok, pada umumnya sebagian
jawaban dari pertanyaan yang diberikan benar dan sebagian lagi salah ,
tidak seperti pada kasus responden secara individu.

Tabel

Ketentuan Untuk Membedakan Antara Tahu Konsep, Miskonsepsi Dan


Tidak Tahu Konsep

Kriteria Jawaban Siswa Cri Rendah (<2,5) Cri Tinggi (>2,5)

Tidak Tahu Konsep Menguasai Konsep


Jawaban Benar
(Lucky Guess/Menebak) Dengan Baik
Tidak Tahu Konsep
Jawaban Salah Miskonsepsi
(Lucky Guess/Menebak)

Tabel diatas menjelaskan bahwa jika siswa menjawab benar


dengan CRI rendah maka menandakan bahwa siswa tidak tahu konsep,
jika siswa menjawab benar dengan CRI tinggi maka menunjukkan bahwa
siswa memahami konsep dengan baik dan jika siswa menjawab salah
dengan CRI rendah maka menandakan siswa tidak tahu konsep. Sementara
jika siswa menjawab salah dengan CRI tinggi maka menandakan siswa
mengalami miskonsepsi.
Yuyu R. Tayubi (Rohendi, 2007:37) memberikan
pengoperasionalan kriteria CRI tersebut yang dinyatakan dengan
presentase unsur tebakan dalam menjawab suatu pertanyaan.

Tabel
Pengoperasionalan Kriteria CRI

CRI Kriteria

0 Jika menjawab soal 100% ditebak

1 Jika dalam menjawab soal presentase unsur tebakan antara 75,99%

2 Jika dalam menjawab soal presentase unsur tebakan antara 50,74%

3 Jika dalam menjawab soal presentase unsur tebakan antara 25,49%

4 Jika dalam menjawab soal presentase unsur tebakan antara 1,24%

5 Jika dalam menjawab soal tidak ada unsur tebakan sama sekali (0%)

Anda mungkin juga menyukai