Proyeksi keinginan untuk mengikuti Pendidikan Magister di Program Pascasarjana UGM
(Apabila dirasa perlu dapat ditambah pada kertas lain) : 1. Alasan mengikuti Pendidikan Magister di Program Pascasarjana UGM dengan pilihan program studi tersebut: Nama saya Sri Purwanti berasal dari Pati Jawa Tengah, merupakan alumni Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat dengan Peminatan Epidemiologi. Pasca Studi saya berkesempatan bekerja di salah satu Puskesmas di Kabupaten Pati sebagai Petugas Program Keluarga Sehat, dan di Rumah Sakit Assuyuthiyyah, salah satu lembaga kesehatan dibawah naungan Pesantren Raudlatul Ulum sebagai Petugas Surveilans. Rumah Sakit ini selain memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat juga memiliki program penyehatan pesantren. Pesantren yang memiliki populasi unik dan spesifik perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat di dalamnya terdapat generasi muda yang perlu dipersiapkan bukan hanya dalam hal kognitif dan intelektual saja, melainkan juga fisik dan kesehatannya. Sebagai tempat tinggal bersama dalam waktu yang relatif lama pesantren tidak diharapkan menjadi inkubator penyakit. Kesadaran akan pentingnya aspek kesehatan di pesantren memperlihatkan geliatnya pada saat kemunculan Pandemi COVID-19 lalu, disaat yang sama pesantren dihadapkan dengan kebimbangan antara tetap melangsungkan kegiatan pembelajaran dengan risiko menjadi kluster penularan atau menutup sementara dengan konsekuensi salah satu aspek pembelajaran di pesantren yakni learning to live together tidak terpenuhi. Kluster COVID-19 dari pesantren mulai bermunculan, menurut Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama ada 70 pesantren yang terlapor menjadi kluster COVID-19. Meskipun pandemi mulai surut bukan berarti masalah kesehatan di pesantren sudah selesai. Sebagai tempat tinggal komunitas secara bersama sama tentu memiliki risiko kesehatan terutama terkait munculnya penyakit menular dan adanya kejadian luar biasa (KLB). Telah banyak diberitakan beberapa kejadian luar biasa yang terjadi di pesantren diantaranya KLB Hepatitis di salah satu pesantren di Cirebon, Keracunan makanan di SUkabumi dan Jombang dll. Salah satu yang juga layak diperhatikan adalah data Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa kasus Tuberkulosis siswa berasrama mencapai 0,03% pada tahun 2021. Angka tersebut diduga lebih rendah dari kondisi sebenarnya, ada kasus yang tidak terlaporkan atau tidak terdeteksi yang berpotensi mengakibatkan penularan yang tidak terkontrol. Hal tersebut dibuktikan dari Skrining yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada 52.932 santri ternyata ditemukan 3.577 yang bergejala, dan dari santri yang bergejala tersebut 82 (2,29%) diantaranya positif menderita Tuberkulosis. Hal ini mengindikasikan bahwa penemuan kasus Tuberkulosis di populasi seperti asrama dan pesantren perlu ditingkatkan untuk mengetahui gambaran permasalahan Tuberkulosis secara riil, mitigasi terkait kejadian yang berpotensi mengakibatkan penularan Untuk menyelesaikan permasalahan ini ilmu epidemiologi sangat diperlukan mengingat melalui ilmu tersebut pengkajian risiko penyakit dapat dilakukan. Saya memiliki keinginan untuk berkontribusi dalam upaya pemberantasan Tuberkulosis di Indonesia terutama di lingkungan pondok pesantren dengan menjadi pakar epidemiologi yang memiliki kemampuan manajemen data serta kemampuan teknis dalam upaya penemuan kasus, perencanaan, aktualisasi, monitoring, intervensi, sampai dengan evaluasi Program Tuberkulosis sehingga dapat berkontribusi dalam upaya eliminasi sampai dengan eradikasi Tuberkulosis nantinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, ilmu yang mendalam terkait epidemiologi, surveilans, skrining, analisis data, serta manajemen dan evaluasi program sangat saya butuhkan. Field Epidemiology Training Programe (FETP) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada memiliki kurikulum standar internasional yang didukung dengan implementasi pembelajaran lapangan 75%, dengan begitu saya berharap ketika selesai menempuh studi dapat memiliki bekal keilmuan didukung dengan pengalaman lapangan yang mumpuni. Selain itu, UGM merupakan universitas dalam negeri, yang menempati peringkat 254 dunia berdasarkan QS World University Ranking. Epidemiologi Lapangan saya pilih karena linear dengan jurusan saya sebelumnya, selain itu Epidemiologi sebagai disiplin ilmu yang mampu melihat distribusi, frekwensi dan determinan suatu penyakit tentu dibutuhkan bukan hanya untuk menyelesaikan permasalahan Tuberkulosis yang menjadi fokus perhatian saya tapi juga masalah kesehatan masyarakat di masa kini dan mendatang mengingat Indonesia tengah menghadapi Triple Burden Disease dengan adanya penyakit infeksi baru yang muncul, penyakit infeksi lama yang belum teratasi, penyakit tidak menular yang meningkat, hingga kondisi tertentu yang berpotensi menimbulkan outbreak. 2. Harapan yang diinginkan dari mengikuti Pendidikan Magister di Program Pascasarjana UGM Setelah selesai menjalankan studi saya berkeinginan untuk menjadi pakar epidemiologi sekaligus dosen dan kembali mengabdi di Kabupaten Pati, berkontribusi melalui Bidang Keilmuan yang saya miliki serta melibatkan diri dalam kegiatan sosial yang berfokus pada pengendalian penyakit dan penyehatan pondok pesantren. Keinginan kembali ke daerah dilatarbelakangi berdasarkan Data Perhimpunan Ahli Epidemiologi Kabupaten Pati yang belum memiliki anggota dengan latar belakang pendidikan Epidemiologi Lapangan, hal tersebut memantik keinginan saya untuk menjadi pengajar, dengan harapan dapat mengajarkan disiplin keilmuan tersebut kepada mahasiwa kesehatan disana, dimana nantinya merekalah generasi yang akan memiliki andil dalam penyelesaian masalah kesehatan di lingkungannya. Selain itu profesi sebagai dosen, akan lebih dapat mendekatkan saya dengan aspek pendidikan, penelitian, juga pengabdian masyarakat yang merupakan wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dengan mendidik saya berharap dapat mendukung upaya kesehatan jangka panjang dengan mencetak tenaga epidemiolog yang unggul dan berkualitas dan tentunya akan berperan untuk Indonesia di masa mendatang, sehingga Indonesia mampu menghadapi ancaman penyakit dengan baik. Dengan meneliti saya berharap dapat berkontribusi dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang terus berkembang, dan bentuk implementasi keilmuan akan jauh lebih berarti ketika diwujudkn dalam pengabdian kepada masyarakat.
3. Rencana topik penelitian:
Berdasarkan data Global TB Report WHO 2021, Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi ketiga di dunia. Diestimasikan terdapat 824.000 kasus TB baru pada tahun 2020 dengan angka kematian mencapai 93.000 kasus atau setara dengan 11 kematian/jam selain itu pasien dengan Tuberkulosis membutuhkan waktu pengobatan yang lama dan sangat potensial putus berobat dimana hal tersebut dapat berkembang menjadi faktor risiko TB Multi Drug Resistance (TB MDR) yang butuh penanganan lebih kompleks serta pembiayaan yang tidak sedikit. Sedangkan saat ini upaya penanggulangan masih terkendala dan masih terjadi kesenjangan antara estimasi Tuberkulosis di Indonesia dengan jumlah kasus Tuberkulosis yang ditemukan dan tercatat melalui Software Informasi Tuberkulosis (SITB) lebih dari 30%. Artinya masih banyak kasus yang tidak tercatat atau tidak ditemukan di populasi. Padahal, dunia mentargetkan pengurangan jumlah kasus (eliminasi) TB di tahun 2030. Akselerasi program dalam rangka eliminasi TB tahun 2030 dapat dilakukan melalui dua strategi pertama dengan meminimalisir data yang hilang (under reported) dengan melakukan pencatatan dan penghimpunan data kasus di Pelayanan Kesehatan. Kedua, untuk meminimalisir kasus yang tidak terdeteksi dapat dilakukan dengan strategi active case finding melalui skrining dan investigasi kontak pada populasi yang dianggap rentan salah satunya di pondok pesantren. Skrining di pondok pesantren sudah dilakukan mulai tahun 2019 namun dengan jumlah terbatas dan belum meluas sehingga masih dimungkinkan adanya kasus yang tidak terdeteksi. Dari hasil deteksi dini tahun 2019 diketahui bahwa 2,29% dari santri yang diperiksa Tuberkulosis menderita Tuberkulosis. Oleh sebab itu upaya deteksi dini perlu dilakukan untuk menemukan kasus dan mengobati segera sehingga tidak menjadi sumber penularan di komunitasnya. Selain itu pengendalian faktor risiko lingkungan fisik juga perlu dilakukan sebagai langkah mitigasi meluasnya kasus jika ditemukan kasus positif di pesantren. Berdasarkan latar belakang tersebut kajian dan riset mendalam mengenai faktor lingkungan fisik dan alur deteksi dini kasus TB di pondok pesantren perlu dilakukan dalam rangka menemukan dasar untuk advokasi dengan pihak terkait. Dengan harapan, penemuan kasus Tuberkulosis di pesantren dapat maksimal, upaya promotif prefentif maupun kuratif rehabilitatif bisa dilakukan sedini mungkin serta muncul kesadaran dan pemahaman bahwa Tuberkulosis adalah suatu masalah yang perlu diperhatikan dan ditanggulangi. 4. Rencana yang akan dilakukan setelah menyelesaikan Pendidikan Magister di Program Pascasarjana UGM : Langkah konkrit kontribusi dan wujud pengabdian saya terhadap permasalahan Tuberkulosis di Indonesia akan saya awali dari lingkungan terdekat saya di pesantren, dengan memaksimalkan upaya active case finding. Pesantren sebagai salah satu kelompok populasi berisiko tinggi terinfeksi Tuberkulosis perlu mendapat perhatian khusus dan pemantauan berkesinambungan bukan hanya yang bersifat insidental pada momen-momen tertentu. Namun, kerap kali hal ini tidak bisa berjalan maksimal antara lain disebabkan terbatasnya waktu dan tenaga kesehatan yang tersedia ketika hanya bertumpu pada Institusi Kesehatan mengingat jumlah pesantren dan santri di Indonesia yang tidak sedikit. Namun saya menyadari penuh bahwa tidak semua pondok pesantren dapat melakukannya secara mandiri mengingat masih terbatasnya sumber daya Kesehatan yang dimiliki, oleh karenannya upaya pemberdayaan diperlukan. Salah satunya dengan membentuk dan melatih Kader Tuberkulosis pesantren yang bertugas dalam upaya penemuan kasus dan skrining berkala di dalam pondok pesantren dengan melibatkan masyarakat pondok pondok pesantren itu sendiri serta menghimpun data yang telah dikumpulkan dalam sebuah sistem surveilans Tuberkulosis berbasis pondok pesantren. Seperti halnya yang telah saya lakukan dalam rangka pengendalian COVID-19 lalu, saya akan mengawali langkah ini di beberapa pesantren percontohan. Pesantren yang menjadi pilihan saya terbagi menjadi 2, yakni pesantren yang sudah memiliki sistem kesehatan baik poskestren, klinik, maupun rumah sakit. Kedua, pesantren yang belum memiliki sistem kesehatan yang berjalan, dengan demikian saya akan mendapatkan gambaran studi kelayakan sistem surveilans tuberkulosis berbasis pondok pesantren dari kedua kategori pesantren tersebut. Untuk mempermudah langkah dalam melakukan pendekatan kepada pesantren maka, saya akan berkoordinasi dengan Direktorat Pendidikan Diniyah Dan Pondok Pesantren beserta jajarannya serta jejaring alumni CSSMoRA yang sedang mengabdi di pondok pesantren yang tersebar di seluruh nisantara. Ketika program intervensi tersebut sudah berjalan dan memperlihatkan output yang baik maka saya akan mencoba berkoordinasi dan berkolaborasi dengan organisasi yang memiliki cakupan yang lebih luas lagi seperti Pesantren Sehat Nusantara, Medissacare dan lainnya. Dengan demikian jejaring tersebut dapat diberdayakan untuk program penanggulangan Tuberkulosis di Pesantren secara nasional. Adapun program ini dimulai dengan mensosialisasikan pengetahuan dasar tentang Tuberkulosis, cara skrining, serta simulasi yang dapat dilakukan secara luring maupun daring. Output yang dihasilkan adalah penemuan kasus tuberkulosis berbasis data dari surveilans pesantren yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan oleh stakeholder terkait. Saya memiliki harapan, ketika surveilans Tuberkulosis berbasis pondok pesantren terbentuk, analisis juga dilakukan sehingga selain penemuan kasus dan data morbiditas, juga dapat diketahui faktor risiko Tuberkulosis dari masing- masing pondok pesantren yang tentunya memiliki karakteristik yang berbeda degan harapan, upaya promotif prefentif maupun kuratif rehabilitatif yang dilakukan tepat, sesuai dengan kebutuhan. Di semester ketiga dan keempat saya akan fokus pada penyusunan tesis, penelitian, publikasi ilmiah serta memperkuat pengalaman lapangan dalam bidang epidemiologi. Setelah selesai menjalankan studi saya berkeinginan untuk menjadi pakar epidemiologi sekaligus dosen dengan harapan melalui profesi tersebut saya bisa berkontribusi dalam pendidikan, penelitian sekaligus pengabdian masyarakat yang merupakan wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.