KELOMPOK 7
Disusun Oleh :
Abdul hakim (223300416172)
Renata Yosephine Sukanto (223300416168)
Bagus Satrio Tri Pamungkas (223300416182)
Danang Bayu Aji Soekamto (223300436176)
Irwan Syah NPM (223300426143)
Edi Subandono (223300416163)
Pembimbing :
Dr. Ismail Rumandan, S.H, M.H
FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR
Kelompok 7
BAB 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terciptanya keamanan
dalam negeri
Kepolisian juga diatur dalam Undang undang Negara Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. POLRI tumbuh dan berkembang sebagai
satu kesatuan institusi kepolisian yang utuh seperti halnya TNI. Karena itu, dalam Pasal
30 ayat (4) UUD 1945, ditegaskan, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat
Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Sedangkan Pasal 30 ayat
(3) menentukan bahwa “Tentara Nasional Indonesia…. sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”.
Dengan demikian, baik POLRI maupun TNI sama-sama merupakan alat negara, artinya
bukan alat pemerintah apa lagi alat partai politik, dan kedua organisasi merupakan satu
kesatuan institusi yang bersifat nasional yang tidak dapat dipecah-pecah atas dasar
kedaerahan. Karena itu, dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
mungkin mengembangkan pengertian tentang struktur organisasi kepolisian seperti yang
dipraktikkan di lingkungan negara-negara federal, seperti di Amerika Serikat yang
memiliki struktur organisasi yang terdesentralisasi.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan secara singkat sejarah pembentukan polisi
2. Apa fungsi dan tugas polri?
3. Bagaimana Peranan kepolisian dalam penegakan hukum?
D. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang dipakai dalam
penelitian adalah survey hukum (legal survey).Teknik penentuan Sampel dalam
penelitian ini adalah Purposive Sampling. Penelitian ini mengambil pandangan
masyarakat dan mengambil kasus sebagai sampel pembahasan
BAB 2
PEMBAHASAN
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan
aparat hukum. Dalam arti sempit aparatur hukum yang terlibat dalam proses tegaknya
hukum itu,d imulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir
pemasyarakatan. Setiap aparat dansuatu interelasi. Sistem peradilan pidana aparatur
terkait mencakup pula pihak-pihak yangsebagai wadah penegakan hukum harus
bersangkutandengan tugas atau perannya yaituselalu mempromosikan kepentingan terkait
dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan,hukum dan keadilan. Apapun teori
penyelidikan, penyidikan, penuntutan,keadilan yang dipergunakan, definisi pembuktian,
penjatuhan vonis dan pemberiankeadilan harus mencakup: kejujuran (fair- sanksi serta
upaya pemasyarakatan kembaliness), tidak memihak (impartiality), dan (resosialisasi)
terpidana dan juga aparatur penegakpemberian sanksi dan hadiah yang patut
hukum dapat memberikan kenyamanan masyarakat disekitarnya.
Penegak hukum diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk
menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan dengan semestinya dan
seharusnya. Hukum ditegakkan demi kepentingan masyarakat sehingga tercapainya
masyarakat yang aman dan tentram.
Didalam ilmu Kriminologi penegakan hukum sangatlah diperlukan dikarenakan untuk
memberikan efek jera terhadap para penjahat baik secara sosiologis dan ekonomis. Selain
itu juga para penjahat akan mendapatkan celaan/ejekan dari masyarakat bahkan
mengakibatkan korban jiwinya dirinya.
Hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan rasa keadilan bagi masyarakat. untuk
mewujudkan keadilan hukum harus ditegakkan. Fungsi dari penegakan hukum adalah
untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan
oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai
dengan bingkai (frame-work) yang telah ditetapkan oleh suatu UU atau hukum.
Pengaktualisasian atau konkritasi aturan hukum tersebut dalam kenyataan salah satunyas
dilaksanakan oleh kepolisian.
Sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah menyangkut
penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan perilaku nyata manusia. Dari aspek
ontolog/hakekat hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin kehidupan sosial
masyarakat, karena hukum dan masyarakat teradapat
bagi(appropriate reward and punishment). Selama ini peran penegak hukum kepolisian
secara normatif (hukum formal), dalam proses penegakan hukum pidana (integrated
criminal justice system) adalah: pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; kedua, memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna; ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; keempat,
membebaskan rasa bersalah pada terpidana
dan memaafkan terpidana.
Penjelasan secara konsep teoritis
tersebut di atas, penegakan hukum yang ingin di capai adalah keadilan procedural dan
tidak menyentuh keadilan substantive, oleh karena itu penegakan hukum oleh kepolisian
yang diinginkan tidak semata menjalankan aturan akan tetapi berusaha keluar dari aturan
untuk mencapai keadilan restorative (Restorative justice).
Restorative justice menjadi wacana yang sangat popular di tengah kejenuhan masyarakat
yang melihat hukum formal didominasi aliran pemikiran positivisme dan tidak bisa
optimal mengakomodir rasa keadilan masyarakat karena lebih mengedepankan kepastian
hukum (Rechtssicherheit). Restorative justice hadir dengan menawarkan konsep
penyelesaian tidak formalistik yang sekedar mengedepankan sisi legalistic formal, tetapi
dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku
membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang
melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan
victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari
perbuatannya). Selain itu, sistem peradilan pidana yang ada sekarang dianggap tidak lagi
dapat memberikan perlindungan terhadap HAM serta transparansi terhadap kepentingan
umum yang semakin tidak dirasakan. Kenyataan menunjukan bahwa banyak masyarakat
lebih memilih menyelesaikan perkara pidana yang dialaminya diluar sistem24.
Penyelesaian diluar sistem baik dilakukan oleh para pihak (pelaku dan korban secara
mandiri) ataupun dengan melibatkan petugas penegak hukum. Ketidakpuasan terhadap
Sistem Peradilan Pidana dengan demikian terkait tidak saja dengan mekanisme
penanganan perkara dan administrasi, tetapi juga Hasil akhir dari proses yang berjalan.
Terdapat pandangan salah bahwa seringkali ukuran keberhasilan penegakan hukum
hanya ditandai dengan keberhasilan mengajukan tersangka ke pengadilan dan kemudian
dijatuhi hukuman. Seharusnya ukuran keberhasilan penegakan hukum oleh aparat
penegak hukum ditandai dengan tercapainya nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.
Lembaga Kepolisian adalah salah satu lembaga penegak hukum yang diharapkan dapat
menjalankan mekanisme restorative justice ini. Tujuan dibentuknya Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya
ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kepolisian Negara RI merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Pasal 16. Hubungan Kepolisian Negara dengan instansi-instansi lain didasarkan atas
sendi-sendi hubungan fungsionil, dengan mengindahkan hierarchi masing-masing fihak.
Pasal 17. Dalam hal terjadi gangguan ketertiban dan keamanan umum, dalam hal mana
diduga bahwa tenaga Kepolisian Negara tidak mencukupi untuk mengatasinya, maka diberikan
bantuan militer, menurut peraturan-peraturan yang berlaku tentang bantuan militer. Pasal
18. (1) Mengenai tugas serta kedudukan Kepolisian Negara pada waktu Negara
dinyatakan dalam keadaan bahaya, berlaku peraturan-peraturan perundang-undangan tentang
keadaan bahaya.
(2) Kepolisian Negara dapat diikut-sertakan secara fisik didalam pertahanan dan ikut
serta didalam pengalaman usaha pertahanan guna mencapai potensi maximal dari rakyat di dalam
pertahanan total.
BAB 3
Penetapan Perbuatan Melawan Hukum Oleh Polisi Dalam Melaksanakan Tugas Sebagai
Penyelidik dan Penyidik Perkara Pidana
Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat obyektif adalah perbuatan yang
bersifat melawan hukum. Hal ini di kaitkan pada asas legalitas yang tersirat di dalam pasal 1 ayat
1 KUHP. Suatu perbutan yang telah memenuhi rumusan perundang-undangan pidana, dan
dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan ata kesalahannya, berakibat orang itu
dapat dijatuhi pidana. Mengenai sifat melawan hukum perbuatan tersebut, ternyata bahwa
perbuatan yang memenui rumusan delik tidak selalu bersifat melawan hukum, dengan akibat
pelakunya tidak dapat dijatuhi pidana. Misalnya seorang polisi yang karena tugasnya menangkap
atau menahan seorang yang dicurigai sebagai pelaku tindak pidana. Perbuatan menangkap dan
menahan itu sendiri memenuhi rumusan passal 333 KUHP yaitu merampas kemerdekaan orang.
Tetapi karena polisi tersebut menjalankan tugas, yang juga diatur oleh perundang-undangan yang
memberi kewenangan kepadanya untuk menangkap dan menahan orang, maka sifat melawan
hukum perbuatan polisi itu dihapuskan.
Sifat melawan hukum sebagai unsur ojektif dari suatu tindak pidana dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa kategori sebagai berikut:
a) Sifat melawan hukum umum; sifat melawan hukum umum merupakan syarat tidak
tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Artinya, untuk dapat dipidanya suatu perbuatan,
maka dengan sendirinya berlaku syarat bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum.
b) Sifat melawan hukum khusus; sifat melawan hukum khusus merupakan sifat melawan
hukum yang tercantum secara tertulis di dalam rumusan delik. Dengan kata lain, sifat melawan
hukum merupakan syarat tertulis dapat dipidananya suatu perbuatan. Sifat melawan hukum
khusus ini sering disebut pula dengan sifat melawan hukum faset.
c) Sifat melawan hukum formal; sifat melawan hukum formal dimaksudkan bahwa suatu
perbuatan baru dapat dikatakan melawan hukum apabila pebuatan tersebut telah memenuhi
unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang. dengan kata lain,
sifat melawan hukum formal baru terjadi apabila rumusan delik dari undangundang telah
terpenuhi.
d) Sifat melawan hukum materiil: sifat melawan hukum materiil dimaksudkan bahwa
suatu sifat melawan hukum berarti melanggar. atau membahayakan kepentingan hukum yang
telah dilindungi oleh pembentuk undang-undang dengan rumusan delik tertentu. ukuran dari
adanya sifat melawan hukum materiil yaitu adanya suatu kepentiangan hukum yang dibahayakan
atau dilanggar oleh suatu perbuatan. Sifat melawan hukum materiil ini tidak perlu untuk
dibuktikan, sebab selain telah ditentukan sebagai sifat yang bertengan dengan undang-undang,
juga bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
Untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kesewenangwenangan polisi dalam
menjalankan tugasnya sebagai penyelidik dan penyidik dalam perkara pidana dan sesuai asas
legalitas perlu kebijakan kriminalisasi (penetapan suatu tindak pidana) dalam pelaksanaan tugas
tersebut.
Untuk itu telah diatur bagaimana seharusnya seorang polisi dalam melkasanakan tugas
penyelidikan dan penyidikan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 8 Tahun 2009
tentang Implementasi Prinip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Perkap Nomor 8 tahun 2009.
Dalam Perkap Nomor 8 tahun 2009 tersebut diatur sejumlah larangan agar dalam menjalankan
tugasnya sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana, polisi tidak melakukan perbuatan
melawan hukum. Pada Pasal 12 Perkap Nomor 8 tahun 2009 dinyatakan bahwa pelaksanaan tugas
penyelidikan harus dilengkapi dengan Surat perintah yang sah, terkecuali dalam keadaan yang
mendesak sesuai yang diperintahkan oleh Pimpinan yang berwenang;
dalam melaksanakan tindakan penyelidikan setiap petugas wajib menghargai norma-norma yang
berlaku, bertindak manusiawi dan menjalankan tugasnya sesuai dengan etika kepolisian dan
dalam melaksanakan investigasi setiap petugas dilarang melakukan tindakan yangn berlebihan
sehingga merugikan pihak lain.
Selanjutnya pada Pasal 13 Perkap Nomor 8 tahun 2009 tersebut secara tegas dinyatakan bahwa
(1) melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan
informasi, keterangan atau pengakuan;
(2) menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan di luar proses
hukum atau secara sewenang-wenang;
(3) memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;
(4) memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan laporan hasil
penyelidikan;
(5) merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau memutarbalikkan kebenaran;
(6) melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara
Sementara itu pengaturan tentang bagaimana seorang polisi bertindak agar tidak terjebak
dalam perbuatan melawan hukum dalam melakukan tugas penyidikan suatu perkara pidana, diatur
dalam Pasal 27 Perkap Nomor 8 tahun 2009 yang menyatakan setiap petugas yang melakukan
tindakan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa wajib:
a. memberikan kesempatan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa untuk
menghubungi dan didampingi pengacara sebelum pemeriksaan dimulai.
b. segera melakukan pemeriksaan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan;
c. memulai pemeriksaan dengan menanyakan keadaan kesehatan dan kesiapan yang
akan diperiksa;
d. menjelaskan status keperluan terperiksa dan tujuan pemeriksaan;
e. mengajukan pertanyaan secara jelas, sopan dan mudah dipahami oleh terperiksa;
f. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan tujuan pemeriksaan;
g. memperhatikan dan menghargai hak terperiksa/saksi untuk memberikan keterangan
secara bebas;
h. menghormati hak saksi/terperiksa untuk menolak memberikan informasi mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan rahasia jabatannya;
i. melaksanakan pemeriksaan dalam waktu yang secukupnya dengan memperhatikan
kondisi dan kesediaan yang diperiksa;
j. memberikan kesempatan kepada terperiksa untuk istirahat, melaksanakan ibadah,
makan, dan keperluan pribadi lainnya sesuai peraturan yang berlaku;
k. membuat berita acara pemeriksaan semua keterangan yang diberikan oleh
saksi/terperiksa sesuai dengan tujuan pemeriksaan;
i. membacakan kembali hasil pemeriksaan kepada yang diperiksa dengan bahasa yang
dimengerti, sebelum pemeriksaan diakhiri;
l. membubuhkan tanda tangan pemeriksa, terperiksa/saksi dan/atau orang yang
menyaksikan jalannya pemeriksaan; dan
m. memberikan kesempatan saksi atau tersangka untuk memberikan keterangan
tambahan sekalipun pemeriksaan sudah selesai.
Begitu juga dalam melakukan penyidikan atau pemeriksaan terhadap saksi, tersangka
atau terperiksa, petugas polisi dilarang:
a. memeriksa saksi, tersangka atau terperiksa sebelum didampingi oleh penasihat hukumnya,
kecuali atas persetujuan yang diperiksa;
b. menunda-nunda waktu pemeriksaan tanpa alasan yang sah, sehingga merugikan pihak
terperiksa;
c. tidak menanyakan keadaan kesehatan dan kesiapan yang diperiksa pada awal pemeriksaan; d.
tidak menjelaskan status keperluan terperiksa dan tujuan pemeriksaan;
d. mengajukan pertanyaan yang sulit dipahami terperiksa, atau dengan cara membentak-bentak,
menakuti atau mengancam terperiksa;
e. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan tujuan pemeriksaan;
f. melecehkan, merendahkan martabat dan/atau tidak menghargai hak terperiksa;
g. melakukan kekerasan atau ancaman kekerasanan baik bersifat fisik atau psikis dengan
maksud untuk mendapatkan keterangan, informasi atau pengakuan;
h. memaksa saksi, tersangka/terperiksa untuk memberikan informasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan rahasia jabatannya;
i. membujuk, mempengaruhi atau memperdaya pihak yang diperiksa untuk melakukan tindakan
atau tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan hak-hak yang diperiksa;
j. melakukan pemeriksaan pada malam hari tanpa didampingi oleh penasihat hukum dan tanpa
alasan yang sah;
k. tidak memberikan kesempatan kepada terperiksa untuk istirahat, melaksanakan ibadah,
makan, dan keperluan pribadi lainnya tanpa alas an yang sah;
l. memanipulasi hasil pemeriksaan dengan cara tidak mencatat sebagian keterangan atau
mengubah keterangan yang diberikan terperiksa yang menyimpang dari tujuan pemeriksaan;
m. menolak saksi atau tersangka untuk mengajukan saksi yang meringankan untuk diperiksa;
n. menghalangi-halangi penasehat hukum untuk memberikan bantuan hokum kepada saksi/
tersangka yang diperiksa;
o. melakukan pemeriksaan ditempat yang melanggar ketentuan hukum;
Penyelidikan pada dasarnya bukanlah suatu tindakan yang berdiri sendiri. Oleh karena itu,
penyelidikan dapat dikatakan sebagai bagian dari fungsi penyidikan.
Penyidikan
Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.”
Pada dasarnya penyidikan adalah tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang
merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa.
Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan
berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada
tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai
tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan
“mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang
ditemukan dan juga menentukan pelakunya.
BAB 4
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan penulis terhadap perbandingan sistem hukum mengenai
disiplin hukum, maka dapat diambil kesimpulan :
1. Tugas dan Fungsi Kepolisian Sebagai Penegak Hukum Menurut UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dilihat pada Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002
mengenai fungsi Kepolisian. Fungsi kepolisian adalah “salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan kemanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
2. Faktor penghambat kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum yaitu :
B. Saran
Sebaiknya masyarakat turut membantu tugas Kepolisian sehingga terjalin hubungan yang
baik antara masyarakat dan Polri dan sehingga terhindar dari benturan yang dapat merugikan
masyarakat dan citra Polri sendiri. Serta sebaiknya polri sebagai penegak hukum dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak melakukan pilih kasih dalam menindaki pelaku
tindak pidana.