Anda di halaman 1dari 36

1

MODUL 5
Organisasi kEPOLISIAN republik indonesia

Oleh :
PROF. DR. HJ. IMAS ROSIDAWATI WIRADIRJA, S.H.,M.H
Dr. H. ABDUL MUIS BJ, Drs., S.H., M.H

A. PENDAHULUAN :

Menurut Sadjijono kedudukan kepolisian dalam sistem ketatanegaraan


mendekatkan pada suatu pengertian kedudukan yang dikemukakan Phillipus
M.Hadjon dalam mengartikan istilah kedudukan lembaga negara, bahwa pertama
kedudukan diartikan sebagai posisi suatu lembaga negara dibandingkan dengan
lembaga lain; kedua kedudukan adalah posisi suatu lembaga negara didasarkan
pada fungsi utamanya. Berdasarkan rumusan Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002
tentang Polri, pasal 2 berbunyi “ fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat”.

Undang – undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI memposisikan


Polri berada dibawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Disamping
itu telah ada beberapa instrumen hukum yang mengatur tentang kedudukan
lembaga Polri dibawah Presiden.

B. CAPAIAN PEMBELAJARAN :

Tujuan yang hendak dicapai dalam pembentukan modul 5 ini adalah Setelah
menyelesaikan pertemuan ini, mahasiswa dapat mengerti, memahami dan
menjelaskan tentang : Organisasi Kepolisian RI. Di dalam modul 5 ini sudah dimuat
rangkuman materi beserta latihan soal dan test formatif berikut instruksi dalam
penyelesaian soal. Setelah mempelajari modul 5 ini, diharapkan memahami dan
mampu menjelaskan terkait hal-hal sebagai berikut :
2

Kedudukan Polisi Dalam SistemKetatanegaraan

Penanggung Jawab daerah Hukum

Struktur Organisasi Polri

Hubungan dan Tata kerja Organisasi Polri

Pengawasan Polri

Tanggung Gugat Tindakan Polri

C. METODE

1. Untuk dapat memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang tumbuh dibalik materi

ajar, perlu dikembangkan metode yang tepat dan mudah digunakan.

2. Metode pembelajaran menekankan pada prinsip Studen Center Learning (SCL),


yakni pembelajaran yang berpusat pada kepentingan belajar mahasiswa.

3. Syarat utama untuk dapat mengembangkan pembelajaran ini ialah, mahasiswa


harus menumbuhkan kesenangan belajar. Kemudian focus dan konsentrasi pada
nilai-nilai yang ada dibalik materi pembelajaran.

4. Belajar tidak sekedar menggugurkan kewajiban tugas, tapi focus pada upaya

Meningkatkan keilmuan mahasiswa berkaitan dengan tupoksi kepolisian.


3

D. MATERI PERKULIAHAN

I. Kedudukan Kepolisian dalam Sistem Ketatanegaraan.

Berdasarkan rumusan Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Polri,


pasal 2 berbunyi “ fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara
dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat; pasal 5 ayat ( 1 )
Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri; ayat ( 2 ) Kepolisian Negara RI adalah
Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran
sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ). Sebagai alat negara, Kepolisian Negara RI
dengan sendirinya tunduk pada Hukum Negara dan setia kepada Konstitusi,
selanjutnya rumusan peran Polri dalam pasal 5 ayat ( 1 ) menjadi acuan tugas pokok
dalam rumusan pasal 13 tentang tugas pokok polri :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada


masyarakat.

1. Kedudukan Kepolisian.

Kedudukan Kepolisian Negara RI ( Polri ) tidak diatur dalam Undang –


Undang Dasar Negara RI 1945, seperti halnya Angkatan Darat ( AD ),
Angkatan Laut ( AL ), dan Angkatan Udara ( AU ), yakni “ Presiden memegang
kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan
Udara “. Akan tetapi ketentuan dalam pasal 30 ayat ( 5 ) Undang – Undang
Dasar Negara RI 1945 mensyaatkan adanya tindak lanjut pembentukan
undang – undang tentang susunan dan kedudukan, hubungan kewenangan
Polri dalam menjalankan tugasnya.

Konsekuensi logis ketentuan pasal 30 ayat ( 5 ) UUD 1945 tersebut


dibentuklah Undang – undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
RI yang memposisikan Polri berada dibawah Presiden dan
bertanggungjawab kepada Presiden. Disamping itu telah ada beberapa
instrumen hukum yang mengatur tentang kedudukan lembaga Polri dibawah
4

Presiden, yaitu Peraturan Presiden No. 89 Tahun 2000 dan Ketetapan MPR-
RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.

Apabila diamati sejarah perkembangan keinginan dan upaya untuk


memposisikan Polri melalui suatu proses perjuangan, bahkan pertentangan
yang serius antar beberapa lembaga yang menginginkan Kepolisian berada
dibawah lembaganya, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Kehakiman, Kejaksaan Agung sebagaimana digambarkan oleh Daniel S.
Lev.dalam Sadjijono ( 2008 : 56 ), bahwa sesudah pengakuan kedaulatan
timbul dua persoalan yang saling berkaitan tentang posisi Kepolisian
Nasional, yaitu : Pertama, adalah tentang Kementerian manakah yang
seharusnya berwenang atas Angkatan Kepolisian.

Dalam hal ini Kementerian Kehakiman dan Kementerian Dalam


Negeri masing – masing ingin memasukkan Kepolisian dibawah
wewenangnya; Kedua, Pihak – pihak lain yang mengusulkan agar Kepolisian
tetap dibawah kekuasaan Perdana Menteri atau dibentuk Kementerian baru,
yakni Kementerian Keamanan yang dipimpin oleh Jaksa Agung. Tarik
menarik terjadi karena adanya suatu anggapan bahwa membawahi
Kepolisian akan memperkuat kekuasaan dan prestise Kementerian
bersangkutan yang berhasil memenangkannya, sehingga persaingan untuk
itu semakin menjadi sengit.

Secara berurutan sejarah menunjukkan bahwa posisi atau kedudukan


Kepolisian berada pada : Tahun 1946, Polri yang semula berada dibawah
Kementerian Dalam Negeri berpindah menjadi dibawah Perdana Menteri;
Tahun 1947, Polri dimiliterisasi dan dibawah Menteri Pertahanan selaku
Koordinator Keamanan; Pada Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (
RIS ), Polri dibawah Menteri Dalam Negeri dan pada Tahun 1949 dibawah
Presiden setelah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia; Tahun 1951
– 1959 Polri berada dibawah Perdana Menteri; Tahun 1959, Kepala
Kepolisian Negara ( KKN ) menjadi Menteri Negara Ex-offisio dan
diikutsertakan dalam rapat – rapat kabinet; Tahun 1960 – 1968, Polri
dibawah Kompartemen Pertahanan dan Keamanan, KKN sebagai Menteri
dibawah Menteri Utama Koordinator Pertahanan Keamanan ( Hankam );
Tahun 1963 – 1999, Polri merupakan bagian integral dari ABRI dibawah
Menhankam/Pangab, kemudian dibawah Pangab; Tanggal 1 April 1999,
Polri dikeluarkan dari ABRI, masuk dalam Departemen Pertahanan dan
Keamanan, berada dibawah Menteri Pertahanan; Tanggal 1 Juli 2000, Polri
dibawah Presiden berdasarkan dan diperkuat dengan Ketetapan MPR-RI No.
5

VI/MPR/200 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR-RI No.
VII/MPR/2000 tentang Peranan TNI dan Polri. Dalam pelaksanaan kebijakan
Pemerintah, Kapolri dilibatkan dalam sidang – sidang kabinet dan
disejajarkan dengan Panglima TNI.

Sehingga kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan yang


menganut sistem pemerintahan presidentil, dimana Negara dipimpin oleh
Presiden dalam jabatannya selaku Kepala Negara maupun sebagai Kepala
Pemerintahan, mendelegasikan salah satu fungsi pemerintahan terutama
dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, melalui
pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
serta penegakkan hukum. Konsekuensi dari menjalankan salah satu fungsi
pemerintahan tersebut, maka kedudukan kepolisian berada dibawah
Presiden yang secara ketatanegaraan tugas pemerintahan tersebut adalah
merupakan amanat Konstitusi UUD 1945 dilimpahkan sebagai tugas
lembaga eksekutif yang dikepalai oleh Presiden. Namun demikian
perdebatan mengenai kedudukan Polri dibawah Presiden tampaknya masih
berlanjut untuk memposisikan Lembaga Polri yang ideal sesuai sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Oleh karena itu dalam memposisikan Polri,
hendaknya berdasarkan kepentingan bangsa dan negara melalui
pertimbangan – pertimbangan yang matang, baik secara filosofis, teoritis,
dan yuridis formal.

2. Susunan Kepolisian.

Manusia adalah makhluk sosial dimana untuk memelihara ketenangan


bekerja dan menciptakan perasaan aman maka masyarakat memerlukan
suatu kelompok manusia yang diberi pekerjaan atau tugas untuk menjaga
dan memelihara keamanan, dalam perkembangan baik kwantitatif maupun
kwalitatif dibuatkan wadah sendiri yang disebut dengan “ Organ Kepolisian “.
Terbentuknya organ kepolisian ada 2 ( dua ) macam, yaitu : a. Disusun dan
dibentuk dari bawah artinya organ kepolisian yang dipilih oleh masyarakat
sendiri ( kelompok keluarga ) dan lingkungan dimana bertempat tinggal “ Kin
Police “; b. Disusun dan dibentuk dari atas artinya organ kepolisian yang
disusun dan dibentuk oleh penguasa atau negara karena memerlukan organ
tersebut untuk melindungi warganya, dalam hal ini penguasa atau negara
menunjuk orang – orang atau badan – badan untuk menjalankan tugas polisi
“ Rule Appointed Police “. Susunan Kepolisian adalah jenjang kesatuan
kepolisian dalam menjalankan organisasi kepolisian, untuk Kepolisian
Negara RI diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 70 Tahun 2002 yang
6

substansinya pada pasal 3 ayat ( 1 ) Organisasi Polri disusun secara


berjenjang dari tingkat pusat sampai kewilayahan; ayat ( 2 ) Organisasi Polri
tingkat pusat disebut Markas Besar; ayat ( 3 ) Organisasi Polri tingkat
kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah ( Polda ).

Perjenjangan ini kemudian ditindak lanjuti dan dirinci ditingkat


Mabes Polri berdasar Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/53/X/2002 dan
ditingkat daerah/wilayah terdiri dari Polda, Polwil, Polres dan Polsek yang
masing – masing memiliki unsur sesuai kebutuhan dan bidang yang
disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, diatur berdasarkan Keputusan
Kapolri No. Pol. : Kep/54/X/2002, dan lebih lanjut dikeluarkan Peraturan
Pemerintah RI No. 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara
RI.

3. Pembagian dan Perubahan Daerah Hukum Kepolisian.

Pembagian dan perubahan daerah hukum Kepolisian Negara RI


ditetapkan dengan mempertimbangkan kepentingan, kemampuan, fungsi
dan peran kepolisian, luas wilayah serta keadaan penduduk; sebagaimana
daerah hukum kepolisian diatur pasal 6 ayat ( 2 ) Dalam rangka pelaksanaan
peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara RI dibagi dalam daerah hukum
menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara RI, ayat ( 3 )
Ketentuan mengenai daerah hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 )
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya diterbitkan dan atau dikeluarkan Peraturan Pemerintah


RI No. 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara RI, pada
pasal 4 ayat ( 1 ) daerah hukum kepolisian meliputi :

a. Daerah hukum kepolisian markas besar untuk wilayah Negara


Kesatuan RI;

b. Daerah hukum kepolisian daerah untuk wilayah provinsi;

c. Daerah hukum kepolisian resort untuk wilayah kabupaten;

d. Daerah hukum kepolisian sektor untuk wilayah kecamatan;

Ketentuan ayat ( 3 ) selain dari daerah hukum kepolisian sebagaimana


dimaksud pada ayat ( 1 ) dan ( 2 ), daerah hukum kepolisian meliputi
pula kawasan diplomatik, yaitu Kedutaan Besar Indonesia serta kapal
laut dan pesawat udara berbendera Indonesia diluar negeri.
7

Kemudian bunyi pasal 5 tidak termasuk kedalam daerah hukum


kepolisian sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 adalah kawasan
diplomatik kedutaan besar asing, kantor perwakilan badan
internasional, kapal laut dan pesawat udara berbendera asing, serta
tempat lain sesuai peraturan perundang – undangan.

II. Penanggungjawab Daerah Hukum.

1. Daerah Hukum Kepolisian

Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Wilayah


Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Konstitusi
Undang Undang Dasar 1945, yang disempurnakan dengan Undang Undang RI
Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The
Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut).
Bagi Bangsa dan Negara Republik, Konvensi ini mempunyai arti yang penting
karena untuk pertamakalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh
lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah
memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.

Pengakuan resmi asas Negara Kepulauan ini merupakan hal yang


penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana
termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis
garis Besar Haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan
Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan
keamanan. Yang dimaksud dengan “Negara Kepulauan” menurut Konvensi ini
adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan
kepulauan dan dapat mencakup pulau pulau lain.

Selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2007


tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia ( Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4714 ), selanjutnya pada pasal 7 mengatur
Penanggungjawab daerah hukum kepolisian adalah :

a. Kepala Kepolisian Negara RI untuk wilayah Negara Kesatuan RI;

b. Kepala Kepolisian Daerah untuk wilayah provinsi;

c. Kepala Kepolisian Resort untuk wilayah kabupaten/kota;


8

d. Kepala Kepolisian Sektor untuk wilayah kecamatan. Tidak terlihat


adanya Kepolisian Wilayah ( Polwil ) dan Pos Polisi; Kepolisian Wilayah untuk
wilayah – wilayah diluar pulau Jawa, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan Nusa Tenggara telah ditingkatkan menjadi Kepolisian Daerah ( Polda ),
namun dipulau Jawa yaitu di Polda Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,
Kepolisian Wilayah yang berkedudukan bukan diwilayah provinsi ( eks
Karesidenan ) masih tetap dipertahankan, sedangkan Pos Polisi disetiap
kelurahan dan/atau didesa/daerah – daerah lainnya keberadaannya masih
dipertahankan bahkan diperkuat dengan kehadiran Perpolisian Masyarakat (
Polmas “ community policing ).

Diatur pada Bab IV Ketentuan Peralihan, pasal 8 berbunyi : Pada saat


berlakunya Peraturan Pemerintah ini, daerah hukum Kepolisian Wilayah,
Kepolisian Wilayah Kota Besar, Kepolisian Kota Besar, Kepolisian Resort Metro,
Kepolisian Resort Kota, Kepolisian Sektor Metro, Kepolisian Sektor Kota masih
tetap berlaku sampai diadakan perubahan.

2. Reformasi Birokrasi.

Sejalan dengan perkembangan reformasi birokrasi maka terjadi


pembaharuan susunan organisasi Polri sesuai dengan dikeluarkannya
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan
Organisasi dan Tatakerja Kepolisian Negara Republik Indonesia. Didalam Bab II
Susunan Organisasi, Pasal 13 ayat ( 1 ) Organisasi Polri disusun secara
berjenjang dari tingkat pusat sampai tingkat daerah berdasarkan daerah hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; ayat ( 2 ) Organisasi
Polri dari tingkat pusat sampai tingkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
( 1 ) terdiri dari :

a. Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Mabes


polri,

b. Kepolisian Daerah, disingkat Polda,

c. Kepolisian Resort, disingkat Polres, dan d. Kepolisian Sektor, disingkat


Polsek.
9

III. Struktur Organisasi Kepolisian Negara R.I. ( Polri ).

Didalam setiap organisasi manapun dan apapun sebaiknya ada dan selalu
mempunyai struktur organisasi baik secara formal maupun informal. Struktur
formal meliputi bagan organisasi dan garis otoritas sweperti Kepala, Wakil Kepala,
Kepala – kepala Biro, Direktur – direktur, dan seterusnya. Beranjak dari pengertian
organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Dwight Waldo dalam Sadjijono ( 2008 :
66 ) bahwa organisasi adalah struktur antar hubungan pribadi yang berdasarkan
atas wewenang formal dan kebiasaan didalam suatu sistem organisasi. Dengan
demikian hubungan antara Mabes Polri dengan Polda – polda sampai ketingkat
Polsek adalah sebagai hubungan yang berdasarkan atas wewenang formal dan
sistem administrasi berdasarkan peraturan perundang – undangan yang
mengaturnya.

Berdasarkan Keputusan Presiden RI No.70 Tahun 2002, struktur organisasi


ditingkat Mabes Polri memiliki unsur – unsur yang terdiri dari : unsur Pimpinan,
unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf, unsur Pelaksana pendidikan
dan/atau Pelaksana Staf Khusus, dan satuan organisasi penunjang lainnya. Tindak
lanjut dari Keppres No. 70 Tahun 2002, dikeluarkan Keputusan Kapolri No.Pol. :
Kep/5/V/ 2019, tanggal 6 Mei 2019, tentang Organisasi dan Tata kerja satuan –
satuan organisasi pada tingkat Mabes Polri yang meliputi : Unsur Pimpinan :
Kapolri dan Wakapolri, Unsur-Unsur Pengawas dan Pembantu Pimpinan; Itwasum,
As Ops, Asrena, As SDM, As Log, Div Provam, Div Kum, Div Humas, Div Hubinter, Div
TIK, Sahli, Yanma, Setum, Spripim. Unsur Pelaksana Tugas Pokok ; Ba Intelkam,
Baharkam, Ba Reskrim, Kor Lantas, Kor Brimob, Densus 88 AT. dan Unsur
Pendukung ; Lemdiklat (Sespim, STIK, AKPOL, Setukpa, Diklatsus Jatrans, Diklat
Reserse, Pusdik, SPN. ), Puslitbank ( Pus Keu, Pus Dokkes, Pusjarah. )

Pembagian tugas dan tanggungjawab organisasi Kepolisian ditingkat Polda,


meliputi : Unsur Pimpinan : Kapolda dan Wakapolda, Unsur Pengawas dan
Pembantu Pimpinan/Pelayanan ; Itwasda, Bid Propam, Bid Humas, Bid Kum, Bid
TIK, Ro Ops, Rorena, Ro SDM, Ro Log, Spripim, Setum, Yanma. Unsur Pelaksana
Tugas Pokok ; Dit Intelkam, Dit Reskrim Um, Dit Rekrim Sus, Ditres Narkoba, Dit
Binmas, Dit Samapta, Dit Lantas, Dit Pam Obvit, Sat Brimob, SPKT, Dit Tahti. Unsur
Pendukung ; SPN, Bid Keu, Bid Dokkes. Jenjang organisasi Kepolisian daerah ini
berdasarkan Kapolri No. Pol. Kep/14/IX/2018, tanggal 21 September 2019, terdiri
dari Kepolisian Daerah (polda), Kepolisian Resort ( Polres ) dan Kepolisian Sektor (
Polsek ). Untuk Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Polres/Polsek diatur
berdasarkan keputusan Kapolri No. Pol. Kep/23/X/2010.
10

Esensi penjenjangan struktur organisasi Kepolisian adalah sebagai


penetapan pembagian daerah hukum, pendelegasian wewenang dan tanggungjawab
dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan peranan kepolisian sesuai peraturan
perundang – undangan yang mengaturnya. Dalam periode reformasi birokrasi
terjadi pembaharuan pada susunan struktur organisasi Polri berdasarkan Peraturan
Presiden RI Nomor 52 Tahun 2010, pasal 13 ayat (1) Organisasi Polri disusun secara
berjenjang dari tingkat pusat sampai tingkat daerah berdasarkan daerah hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan;ayat (2) Organisasi Polri
dari tingkat pusat sampai tingkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari : a.Markas Besar Kepolisisan Negara Republik Indonesia disingkat Mabes
Polri, b. Kepolisian Daerah disingkat Polda, c.Kepolisian Resort disingkat Polres, dan
d. KepolisianSektor disingkat Polsek.1

IV. Hubungan dan Tata Kerja Organisasi Kepolisian.

Pengorganisasian merupakan fungsi yang harus dijalankan pada semua


tingkatan dan jenis kegiatan dan bentuk organisasi besar atau kecil, bisnis atau
negara/pemerintah. Fungsi pengorganisasian penting untuk mewujudkan struktur
organisasi, uraian tugas dari setiap bidang/bagian menjadi jelas, pembagian
wewenang dan tanggungjawab menjadi jelas, memperlihatkan antar tugas atau
pekerjaan dari setiap unit kerja, sumber daya manusia dan materiel sarana
prasarana yang dibutuhkan dapat diketahui. Hubungan kerja merupakan bentuk
komunikasi dan adalah merupakan kewajiban bagi setiap
instansi/institusi/badan/lembaga pemerintahan maupun swasta/independen agar
tugas – tugas dapat dilaksanakan tanpa adanya kesimpang siuran, tanpa tumpang
tindih, dan kekaburan atau kerancuan.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai lembaga/alat negara


pengemban salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan
kamtibmas, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat, memerlukan kerjasama fungsional dan kemampuan menampung
aspirasi hanya dapat tercapai dengan melaksanakan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi secara tepat, baik dan benar.2

1
Kepolisian Negara RI, Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2018, tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Daerah.

2
Kepolisian Negara RI, Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2019, tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Satuan Organisasi pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Indonesia.
11

1. Hubungan Internal Kepolisian.

Lembaga Kepolisian Negara RI merupakan organisasi yang disusun


secara berjenjang mulai dari tingkat Mabes Polri sampai ketingkat daerah (
Polda, Polres dan Polsek ), artinya antara tingkat pusat dan daerah secara
struktural memiliki keterikatan dan hubungan yang tidak terpisahkan; atau
dapat dipastikan bahwa Kepolisian Daerah adalah merupakan perpanjangan
tangan dari Mabes Polri dalam melaksanakan tugas, fungsi, peran dan
wewenang kepolisian demi tercapainya tujuan oranisasi polri sebagaimana
yang telah diprogramkan oleh pimpinan polri. Hubungan dan tata kerja
organisasi yang dimaksud adalah hubungan secara internal yaitu hubungan
vertikal, hubungan horizontal dan hubungan fungsional.

Dari uraian tersebut, artinya seseorang anggota polri yang bertugas


misalnya di reserse kriminal Polda Metropolitan Jakarta berdasarkan
hubungan dan tata kerja kepolisian, bisa saja melakukan tugas penyelidikan,
penangkapan tersangka atau bahkan melakukan penggerebegan dan
penggeledahan di daerah hukum kepolisian yang lainnya; hal ini sejalan dan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – undang No. 2 Tahun
2002 pasal 6 ayat ( 1 ) yang berbunyi “ Kepolisian Negara RI dalam
melaksanakan peran dan fungsi kepolisian sebagai dimaksud dalam pasal 2
dan pasal 5 meliputi seluruh Negara RI.

2. Hubungan Eksternal.

Hubungan eksternal ialah hubungan kerja antara instansi/institusi/


badan/departemen/lembaga pemerintah atau non depertemenyang secara
fungsional mempunyai hubungan kerja didalam pelaksanaan tugas
pemerintahan.

a. Hubungan Polri dengan Badan/Lembaga dalam negeri.

Setiap departemen/instansi/badan/lembaga pemerintah


secara fungsional bertugas dan bertanggungjawab atas suatu bidang
substansi pemerintahan, dan fungsionalisasi menentukan siapa harus
bekerja sama dengan siapa tentang apa dan siapa yang harus
memprakarsai hubungan kerjasama tersebut, yang pada hakikatnya
mencakup seluruh penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara
RI secara kebulatan multi fungsional dengan pendekatan
interdisipliner hubungan tata cara kerja.
12

1). Hubungan dengan Pemerintah / Pemerintah Daerah.

Berdasarkan ketentuan Undang – undang RI No. 2 Tahun


2002 pasal 42 ayat ( 2 ) tentang Kepolisian Negara RI, bahwa “
hubungan dan kerjasama didalam negeri dilakukan terutama
dengan unsur – unsur pemerintah daerah, penegak hukum,
badan / lembaga, instansi lain serta masyarakat dengan
mengembangkan asas partisipasi dan asas subsidiaritas “.
Hubungan kerjasama tersebut didasarkan atas sendi –
sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling
membantu, mengutamakan kepentingan umum serta
memperhatikan hierarki. Didalam Undang – undang RI No. 23
Tahun 2014 yang diperbaharui dengan Undang – undang RI
No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah telah dengan
jelas dan tegas memisahkan urusan pemerintahan yang
menjadi urusan Pemerintah pada pasal 10 ayat ( 3 ) huruf b
dan c, yang isinya meliputi : a. Politik luar negeri; b.
Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal
nasional; dan f. Agama. Kewenangan dibidang keamanan yang
menjadi tanggungjawab kepolisian tidak diserahkan kepada
daerah otonom dan tetap menjadi kewenangan pemerintah
pusat. Dalam Undang – undang RI No. 23 Tahun 2014 pasal 43
ayat ( 1 ) huruf f yang dirubah dalam Undang – undang RI No. 9
Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah pasal 27 ayat ( 1 )
huruf c : Kepala Daerah berkewajiban untuk memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat didaerahnya.

Rumusan didalam pasal termasuk masih bersifat umum,


perlu diatur lebih lanjut penjabaran pelaksanaannya dengan
Peraturan Pemerintah yang mengatur secara khusus realitas
operasional kinerja tentang mekanisme dan kerjasama
terperinci antara Kepolisian Daerah dengan Pemerintah
Daerah. Memang sudah diterbitkan Kesepakatan Bersama
antara Menteri Dalam Negeri dengan Kepala Kepolisian Negara
RI tentang penyelenggaraan dan pembinaan keamanan,
ketenteraman dan ketertiban umum yang dituangkan dalam
Memori of Undestanding ( MOU ) No. 119/1527/SJ Tahun
2002 dan No. Pol. B/2300/VII/2002 tanggal 17 Juli 2002.
MOU dimaksud menginsruksikan kepada Gubernur dan
13

Kapolda untuk menindak lanjutinya sampai ketingkat


Kecamatan dan Polsek.

Tanggungjawab memelihara ketenteraman dan ketertiban


masyarakat yang menjadi kewajiban Kepala Daerah tidak
terpisahkan dan berkait erat dengan pemeliharaan keamanan
yang diselenggarakan oleh kepolisian selaku alat negara
pengemban fungsi pemerintahan ( pusat ).

Pemerintah Daerah menjadi mitra dan satu misi dengan


kepolisian mengedapankan prinsip koordinasi, khususnya
dalam mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum atau
masyarakat, sebagaimana diamanatkan juga dalam Keputusan
Presiden RI No. 89 Tahun 2000 pasal 2 ayat ( 3 ).

2). Hubungan Polri dengan Unsur – unsur Criminal Justice


System ( Sistim Peradilan Pidana ).

Sistem peradilan pidana Indonesia ( Criminal Justice


System ) menurut Muladi ( 2002 : 4 ) “ merupakan suatu
jaringan ( network ) peradilan yang menggunakan hukum
pidana sebagai sarana utamanya, baik Hukum Pidana
Formil, Hukum Pidana Materiil maupun Hukum
Pelaksanaan Pidana “.

Apabila dicermati hubungan antara Polri dengan


lembaga – lembaga yang tergabung dalam Criminal Justice
System ( Kejaksaan, Pengadilan, Advokat/pengacara
penasehat hukum/pembela, dan Lembaga Pemasyarakatan
) adalah merupakan hubungan legalitas fungsional yaitu
suatu hubungan yang didasarkan pada ketentuan undang –
undang yang mengatur fungsi yang melekat dan diemban
oleh masing – masing lembaga ( sub-system ) unsur sistem
peradilan pidana. Kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan
adalah dalam rangka penegakkan hukum pidana dan
hubungan ini bersifat administratif yang lebih mencakup
kepada penekanan lembaga, orang dan mekanisme proses
pidana.

Landasan Yuridis fungsi masing – masing lembaga


terdapat pada Undang – undang RI No. 8 Tahun 1981
14

tentang KUHAP, Undang – undang RI No. 5 Tahun 1991


diperbaharui dengan Undang – undang RI No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan, Undang – undang RI No. 2 Tahun
2005 diperbaharui dengan Undang – undang RI No. 8
Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang – undang RI
No. 14 Tahun 1970 dipebaharui dengan Undang – undang
RI No. 35 Tahun 1999 dan Undang – undang RI No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang –
Undang RI No. 28 Tahun 1997 diperbaharui dengan
Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Polri,
Undang – undang RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999, dan
Undang-undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hubungan Polri dengan unsur – unsur yang tergabung


dalam sistem peradilan pidana ( Criminal Justice
System ) dapat dirinci sebagai berikut :

a). Hubungan Polri dengan Kejaksaan ( Jaksa


Penuntut Umum ).

Penyidik polri berkewajiban mengirimkan Surat


Pemebritahuan dimulainya Penyidikan ( SPDP ) kepada
Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) sesuai pasal 109 ayat ( 1 )
KUHAP; Penyidik menyerahkan berkas Berita Acara
Pemeriksaan ( BAP ) sesuai pasal 110 ayat ( 1 ) KUHAP;
Memperbaiki dan menyempurnakan berkas BAP yang
dikembalikan oleh JPU, sesuai pasal 110 ayat ( 3 )
KUHAP; Menyerahkan tersangka dan barang bukti
sesuai pasal 8 ayat ( 3 ) KUHAP; Meminta Surat
Perpanjangan Penahanan sesuai pasal 24 ayat ( 2 )
KUHAP; Memberi tembusan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan sesuai pasal 109 ayat ( 2 )
KUHAP. Dasar yuridis lain dalam hubungan ini adalah
Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Polri
15

dan Undang – undang RI No. 16 Tahun 2004 tentang


Kejaksaan.

b). Hubungan Polri dengan Pengadilan.

Penyidik meminta Surat Penetapan Ijin


Penggeledahan rumah, ijin Penyitaan Barang Bukti
kepada Ketua Pengadilan sesuai pasal 33 ayat ( 1 ) dan
pasal 38 ayat ( 1 ) Undang – undang RI No. 8 Tahun
1981 tentang KUHAP; berdasarkan Surat Edaran Ketua
Mahkamah Agung RI No. 09 Tahun 2009 tentang
Petunjuk Izin Penyidikan Terhadap Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD, dari
ketetntuan Pasal 106 (4) Undang-undang No. 22 Tahun
2003, Mahkamah Agung berpendapat bahwa terhadap
Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota yang diduga melakukan tindak pidana
“korupsi, terorisme dan tindak pidana lain (selain
korupsi dan terorisme) tertangkap tangan”, maka
penyidikan tidak perlu meminta izin/persetujuan
tertulis. Menghadiri sidang pengadilan sebagai saksi
penyidik/perbal lisan apabila diperlukan oleh pihak
yang berkepentingan dalam sidang, bisa dari terdakwa
atau penasehat hukumnya dan bisa dari Hakim yang
memeriksa / menyidangkan perkara. Dasar yuridis
masing – masing diatur dalam Undang – undang RI No.
2 Tahun 2002 tentang Polri, Undang – undang RI No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang
– undang RI No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan
Umum.

c). Hubungan Polri dengan


Advokat/Pembela/Pengacara Penasehat
Hukum.

Advokat/Penasehat hukum berhak mendampingi


tersangka pada tingkat pemeriksaan penyidik sesuai
pasal 54, 69, dan 70 Undang –undang RI No. 8 Tahun
1981 tentang KUHAP;
16

Terhadap pemeriksaan tersangka yang diancam


hukuman mati atau penjara 15 ( lima belas ) tahun
keatas, atau bagi yang tidak mampu mendatangkan
advokat/pengacara penasehat hukum/pembela, maka
penyidik berkewajiban mencari dan/atau
mendatangkan advokat untuk mendampingi tersangka
dalam pemeriksaan sesuai pasal 56 ayat ( 1 ) Undang –
undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Peraturan
Undang – undang lain yang juga menjadi dasar hukum
hubungan adalah Undang – undang RI No. 2 Tahun
2002 tentang Polri dan Undang – undang RI No. 18
Tahun 2003 tentang Advokat.

d). Hubungan Polri dengan Lembaga


Pemasyarakatan.

Polri dapat memberikan bantuan pengawalan


terhadap para terdakwa dari/ke sidang pengadilan ke
lembaga pemasyarakatan, terutama para terdakwa
yang dihukum berat; Polri membantu dalam pencarian
narapidana yang melarikan diri ( kabur ) dari tahanan
dan/atau menangkap pelaku – pelaku kejahatan (
residivis ) yang bersembunyi di lembaga
pemasyarakatan, seperti kejahatan narkoba dan lain –
lain.

Jadi hubungan Kepolisian Negara RI dalam hal


penyidik dengan unsur – unsur Criminal Justice System
/ Peradilan Pidana tersebut merupakan hubungan
fungsional, sedangkan hubungan dalam hal sebagai
lembaga/badan/instansi/institusi adalah merupakan
hubungan horizontal dimana antara satu dengan yang
lain hubungannya tidak terstruktur, akan tetapi
mengikat yang dapat menimbulkan sah atau tidaknya
suatu tindakan hukum.
17

3). Hubungan Polri dengan TNI.

Hubungan antara Polri dengan TNI dirumuskan


dalam Undang – undang Ri No. 2 Tahun 2002 pasal 41
ayat ( 1 ) berbunyi “ Dalam rangka melaksanakan tugas
keamanan, Polri dapat meminta bantuan TNI yang
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”, dan
ayat ( 2 ) berbunyi “ Dalam keadaan darurat militer dan
keadaan perang, polri memberikan bantuan kepada TNI
sesuai dengan peraturan perundang – undangan “.
Bantuan yang diberikan oleh TNI sebagai dimaksud
dalam Pasal 41 ayat ( 1 ) tersebut diatas, dalam
pelaksanaan opersionalnya berada dibawah komando
dan pengendalian Polri; dengan demikian bantuan yang
dimaksud bersifat koordinatif dan kemitraan yang
mendasarkan pada fungsional.

Kerjasama dan bantuan diatur berdasarkan


Undang – Undang RI No. 2 Tahun 2002 pasal 41 ayat ( 1
) dan ayat ( 2 ), dan Undang – Undang RI No. 34 Tahun
2004 tentang TNI, pada pasal 7 ayat ( 2 ) tugas pokok
sebagaimana pada ayat ( 1 ) dilakukan dengan ( a )
huruf b angka 10 “ membantu Polri dalam rangka tugas
keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur
dalam undang – undang; sebagai tindak lanjut
Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 pasal 2 ayat ( 3 ) “
Dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan
dan kegiatan keamanan, TNI dan POLri harus
bekerjasama dan saling membantu “.

4). Hubungan Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri


Sipil.

Hubungan Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri


Sipil ( PPNS ) didasarkan pada konsistensi dan
konsekuensi, bahwa Penyidik Polri mempunyai tugas
mengkoordinasikan dan mengawasi penyidikan yang
dilakukan oleh PPNS. Hal ini sebagaimana diatur dalam
Undang – undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
18

pasal 6 ayat ( 1 ) huruf b yang menyebutkan “ Penyidik


adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang oleh undang – undang “, dan pasal 7 ayat ( 2
) yang menyebutkan “ Penyidik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6 ayat ( 1 ) huruf b dan pasal 6 ayat ( 2 )
huruf b KUHAP mempunyai wewenang sesuai dengan
undang – undang yang menjadi dasar hukumnya masing
– masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada
dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut
dalam pasal 6 ayat ( 1 ) huruf a “ ( Penyidik Polri ).

Selanjutnya proses mekanisme untuk menjadi


penyidik diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1983 tentang kepangkatan penyidik. Dari
berbagai departemen – departemen pemerintah yang
memiliki penyidik pegawai negeri sipil ( PPNS ) seperti :
Bea Cukai, Kehutanan, Dinas Pajak, Dinas
Ketenagakerjaan, Dinas Perikanan, Balai Pengawasan
Obat dan Makanan ( Balai POM ), Satuan Polisi Pamong
Praja ( Satpol PP ), dan lain – lain.

Hubungan Penyidik Polri dan Penyidik PNS


adalah hubungan koordinatif fungsional dalam rangka
penegakkan hukum; namun dalam kenyataannya
bahwa fungsi koordinasi dan pengawasan yang diemban
oleh penyidik polri kurang efektif karena disamping
keterbatasan personil polri dan komunikasi yang
kurang, membuka peluang PPNS tanpa koordinasi
dengan penyidik polri dan BAP hasil penyidikan PPNS
langsung dikirim kepada Jaksa Penuntut Umum dan
Kejaksaan juga menerimanya.

Sehingga perlu rekomendasi hubungan Polri


dengan berbagai dinas/instansi/badan/lembaga yang
memiliki PPNS mutlak perlu dan harus ditingkatkan.
Kalau tidak, boleh jadi PPNS ingin menjadi Penyidik
yang berdiri sendiri akibatnya di Negara ini bisa
terdapat berbagai macam penyidik yang pada gilirannya
membingungkan masyarakat ( artinya tidak konsisten
dan konsekuen atas Undang – undang RI No. 8 Tahun
19

1981 dan Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983 ).


Perkembangan perubahan politik birokrasi dengan
program privatisasi banyak Perusahaan/Badan Usaha
Milik Negara (BUMN ) yang memiliki PPNS berubah
status menjadi PT.Persero dikelola swasta, seperti Dinas
Kereta Api, Telkom, PLN, dan Dinas Kehutanan,
sehingga kewenangan untuk dapat ditunjuk menjadi
PPNS dan melakukan penyidikan terhadap undang –
undang yang menjadi dasar hukumnya akan berubah
jadi tidak berwenang.

5). Hubungan Polri dengan Kepolisian Khusus ( Polsus


).

Polri sebagai inti pembina keamanan dan


ketertiban masyarakat dan aparat penegak hukum,
bertugas dan bertanggungjawab untuk melakukan
pembinaan terhadap unsur – unsur potensi keamanan
masyarakat yang harus seirama dengan tuntutan
perkembangan perubahan masyarakat demi
pembangunan bangsa dan negara.

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 372 Tahun


1962 tentang Koordinasi dan Pengawasan Alat – alat
Kepolisian Khusus, maka telah dilakukan kerjasama
antara Kapolri dengan berbagai pimpinan
instansi/institusi/badan/lembaga pemerintah maupun
swasta tentang pembentukan kepolisian khusus
dan/atau satuan – satuan pengamanan, seperti
Keputusan Bersama antara Menteri Pangak dengan
Menteri Keuangan No. Pol. 47/SK/MK/1966 dan No.
117/MK/ 1966 tentang Pembentukan Polsus Bank (
Satpam ). Selanjutnya perkembangan perubahan
pembinaan lebih lanjut kepolisian mengeluarkan
Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 6 Tahun
2006 tentang Pembinaan Kepolisian Khusus.
20

6). Hubungan Polri dengan Pengamanan Swakarsa


lainnya.

Mengingat begitu banyaknya keputusan –


keputusan bersama ( MOU ) dengan berbagai
kementerian/lembaga pemerintah/instansi/institusi
dan swasta, serta berdasarkan hasil pertemuan antara
Kapolri dengan instansi/institusi/perusahaan –
perusahaan yang mengelola satuan – satuan
pengamanan tanggal 19 Juni 1980 dan hasil pertemuan
antara Kapolri dengan wakil – wakil dari
departemen/sekjen – sekjen, di Mabes Polri pada
tanggal 18 Desember 1980, maka sesuai dengan
tanggungjawab dan peraturan perundang – undangan
yang berlaku, Polri berkewajiban mengatur dan
mengarahkan usaha pengelolaan satuan pengamanan
sesuai kebutuhan yang sangat mendesak itu.

Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No.


Skep/126/XII/1980 tanggal 30 Desember 1980 tentang
Pola Pembinaan Satpam, menandai dimulainya
pembinaan satuan pengamanan secara profesional.
Pola Pembinaan Satpam dibagi dalam tiga tahap yaitu :
Jangka pendek , pembinaan pelaksanaan tugas satpam
yang searah dan sejalan dengan kebijaksanaan dibidang
keamanan dan ketertiban masyarakat; Jangka sedang,
pembinaan peningkatan kemampuan teknis profesional
satpam, sehingga mampu melaksanakan
pengamanandilingkungan kawasan kerja yang sesuai
dengan sifat dan keadaan masing – masing
instansi/institusi/badan/lembaga/perusahaan yang
bersangkutan; Jangka panjang, pembinaan
terwujudnya sistem keamanan swakarsa secara terarah
dan terkoordinir diseluruh Indonesia.

Jelaslah hubungan antara Polri dengan Satuan –


satuan Pengaman, dimana sebagai Pembina dan
Pengawas dalam kegiatan segala bentuk – bentuk
pengamanan swakarsa. Selanjutnya untuk pengaturan
pembinaan satuan pengamanan pada organisasi,
21

perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah


ditetapkan/dikeluarkan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara RI No. 24 Tahun 2007 tanggal 10 Desember
2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan
Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga
Pemerintah.

7). Hubungan Polri dengan Komisi Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 2002


tentang Komisi Pemberantasan tindak Pidana
Korupsi,berdasarkan Pasal 39 (3) Penyelidik, penyidik,
dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari
instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 41 berbunyi, Komisi Pemberantasan


Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang
telah diikuti oleh Pemerintah RI.

Pasal 42 berbunyi, Komisi Pemberantasan


Korupsi berwenang mengoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan
militer dan peradilan umum.

Pasal 44 (5) berbunyi, dalam hal penyidikan


dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau
kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan
melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
22

b. Hubungan Polri dengan Negara/Badan/Lembaga – Lembaga


Internasional.

Berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri RI No.


245/PM/1954 tanggal 5 Oktober 1954, Djawatan Kepolisian
Negara ( DKN ) ditunjuk dan ditetapkan sebagai Biro Pusat
Nasional Indonesia ( National Central Bereau Indonesia )
mewakili Pemerintah Republik Indonesia didalam organisasi
International Police.

Djawatan Kepolisian Negara ( DKN ) sekarang menjadi


Kepolisian Negara RI ( Polri ) melalui National Central Bereau (
NCB ) atau lebih dikenal International Police ( Interpol )
Indonesia dapat menjalin hubungan kerjasama dengan
berbagai Negara/Badan/Lembaga-lembaga Internasional
sesuai dengan tujuan organisasi International Central Police
Organization ( ICPO ) yaitu berdasarkan pasal 2 Anggaran
Dasar I.C.P.O :

( 1 ) Untuk menjalin dan memajukan kerjasama yang


seluas – luasnya antara semua Badan – badan Kepolisian
Kriminal dalam batas – batas hukum Negara masing – masing
serta dengan semangat pernyataan bersama tentang Hak – hak
Asasi Manusia; dan

( 2 ) Mendirikan dan mengembangkan semua badan


yang secara efektif akan dapat membantu dalam bidang
pencegahan dan pemberantasan kejahatan. 3 Interpol
Indonesia, dimana Kapolri adalah sebagai Head NCB Indonesia
menyelenggarakan tugas kewajiban sebagai “ National Central
Bereau “ dan “ Service Correspondent “ termasuk pembinaan
saluran komunikasi Interpol mewakili Pemerintah dalam
hubungan ICPO, sesuai penugasan mewakili Pemerintah
Indonesia dalam kegiatan/usaha pencegahan dan
pemberantasan kejahatan internasional serta senantiasa
memelihara hubungan koordinatif fungsional.

Dalam menyelenggarakan Kerjasama Internasional


Kepolisian, Interpol Indonesia harus tetap berpegang teguh

3
( Interpol Indonesia : 1978 )
23

kepada beberapa asas pokok dengan beberapa prinsip, yaitu :


Pertama, prinsip Kedaulatan Nasional, pihak – pihak yang
melakukan hubungan kerjasama internasional kepolisian,
harus tetap saling menghormati dan menjaga kedaulatan
nasional masing – masing Negara;

Kedua, prinsip Hukum Pidana Umum, dalam rangka kerjasama


pencegahan dan pemberantasan kejahatan internasional,
harus merupakan tindak pidana yang melanggar ketentuan
Pidana Umum dan masing – masing Negara yang
bersangkutan.

Contoh : Aborsi, di Indonesia adalah merupakan


kejahatan, boleh jadi di Negara lain tidak dilarang;

Ketiga, prinsip Universal, tidak ada suatu Negara yang dapat


mentolerir terjadinya suatu kejahatan. Oleh karena itu harus
dilakukan kerjasama internasional kepolisian untuk
memberantas para penjahat yang melarikan diri ke negara lain
dalam bentuk perjanjian ekstradisi;

Keempat, prinsip Kerjasama, metode kerjasama dalam wadah


Interpol ditentukan oleh pertukaran bentuk – bentuk
kejahatan internasional dan setiap Negara yang bekerjasama
harus memperoleh/mendapat manfaatnya; Kelima, prinsip
Organisasi yang Fleksibel, organisasi Interpol harus fleksibel,
pertumbuhan dan penyempurnaan struktur organisasi harus
cermat dengan metode – metode baru berdasarkan pemikiran
global.

E. Pengawasan Kepolisian.

Istilah pengawasan di Indonesia merupakan terjemahan dan sinonim dari


istilah “ control “, menurut Henry Fayol dikutipan Irfan Fachruddin ( 2004 ) dalam
Sadjijono ( 2008 : 159 ) mengemukakan “ Kontrol adalah penelitian apakah segala
sesuatu dilakukan sesuai dengan rencana, perintah – perintah dan prinsip – prinsip
yang telah ditetapkan “, selanjutnya menurut pemahaman Sadjijono ( 2008 : 160 )
bahwa “ Pengawasan mengandung arti suatu perhatian atas kegiatan yang
dilakukan, agar tetap berada pada batas – batas wewenang, tanggungjawab dan
24

norma – norma yang mengikat, sehingga kegiatan yang dilaksanakan menjadi efektif
tidak terjadi penyimpangan atau kesalahan. Dengan demikian dikaitkan dengan “
pengawasan kepolisian “ mengandung arti suatu kegiatan yang dilakukan agar
dalam pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian tetap berada pada batas – batas
wewenang, tanggungjawab dan norma – norma yang mengikat, sehingga tugas dan
wewenang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang
berlaku dan sesuai dengan tujuan dari tugas dan wewenang diberikan “.

Pengaturan eksistensi pengawasan dilingkungan kepolisian ditingkat Mabes


Polri diformulasikan dalam Keputusan Presiden RI No. 70 Tahun 2002 dirumuskan
pada pasal 4 ayat ( 1 ) Inpektorat Pengawasan Umum disingkat Itwasum adalah
unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf bidang pengawasan yang berada
dibawah Kapolri; dan ayat ( 2 ) Itwasum bertugas membantu Kapolri dalam
penyelenggaraan pengawasan dan pemeriksaan umum dan perbendaharaan dalam
lingkungan Polri termasuk satuan – satuan organisasi non struktural yang dibawah
pengendalian Kapolri. Tindak lanjut dari Keppres RI No. 70 Tahun 2002 tersebut
dikeluarkan Keputusan Kapolri No. Pol. Kep/5/V/2019 tentang Organisasi dan
Tatakerja Satuan – satuan Organisasi pada Tingkat Mabes Polri, dan Keputusan
Kapolri No. Pol. Kep/14/X/2018 tentang Organisasi dan Tatakerja Satuan – satuan
Organisasi pada Tingkat Polda.

Dalam Keputusan Kapolri No. Pol. Kep/54/X/2002 eksistensi, tugas dan


wewenang Itwasda diatur dalam pasal 9 ayat ( 1 ) Itwasda adalah unsur pembantu
pimpinan dan pelaksana staf pada Polda yang berada dibawah Kapolda; ayat ( 2 )
Itwasda bertugas menyelenggarakan pengawasan dan pemeriksaan umum dan
perbendaharaan dalam lingkungan Polda termasuk satuan – satuan organisasi non
struktural yang berada dibawah pengendalian Kapolda; dan ayat ( 3 ) mengatur
rincian tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 ). Dari sisi kelembagaan yakni
subyek ( pengawas ) dan obyek ( yang diawasi ), pengawasan kepolisian dapat
dibedakan menjadi 2 ( dua ), yakni pengawasan yang bersifat “ internal “ dan yang
bersifat “ eksternal “; Pengawasan” internal “ adalah pengawasan yang dilakukan
oleh badan atau lembaga yang secara struktural berada dalam lingkungan lembaga
kepolisian, yaitu pengawasan yang dilakukan Itwasum Polri dan Itwasda; disisi lain
ada pengawasan fungsional yang lebih cenderung dilakukan oleh bidang – bidang
lain diluar bidang pengawasan terstruktur dalam lembaga kepolisian, seperti
dilakukan oleh Divisi Propam Mabes Polri atau Bidang Propam Polda.

Sedangkan pengawasan “ eksternal “ adalah pengawasan yang dilakukan oleh


badan atau organ yang berada diluar struktur organisasi/lembaga kepolisian.
Pengawasan ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
25

Pengawasan “ eksternal secara langsung “ seperti pengawasan yang dilakukan oleh


BPK, KPK, pengawasan sosial oleh Komisi Kepolisian Nasiona, LSM, ICW, Goverment
Watch, dan kontrol politis oleh MPR dan/atau DPR. Kemudian pengawasan “
eksternal secara tidak langsung “ yang dilakukan melalui badan peradilan, baik
peradilan umum maupun peradilan administrasi atau badan – badan lain seperti
Komisi Ombudsman Nasional, Komnas HAM, dan lain-lain.

F. Tanggung gugat Tindakan Kepolisian.

Tanggunggugat ( aansprakelijkheid ) tindakan kepolisian yang melanggar


hukum ( onrechtmatige daad ), melekat pada lembaga kepolisian maupun
pribadi/individu aparatut kepolisian. Melekat tanggunggugat lembaga ketika
pelanggaran hukum dilakukan oleh aparatur kepolisian dalam rangka menjalankan
tugas dan wewenang lembaga dan menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi
rakyat, oleh karena itu akibat/konsekuensi yang timbul dari tindakan tersebut
melekat tanggunggugat lembaga.

Akan tetapi apabila kesalahan tersebut dengan sengaja dilakukan oleh


aparatur kepolisian ketika menjalankan tugas dan wewenangnya dengan tindakan
sewenang – wenang ( willekeur )maupun penyalahgunaan wewenang (
detournementdee pouvoir ) sehingga bertentangan dengan asas – asas umum
pemerintahan yang baik dan menimbulkan kerugian bagi rakyat, maka melekat
tanggunggugat secara pribadi/individu aparatur yang bersangkutan. Atau
kesalahan tersebut dilakukan ketika tidak sedang dalam menjalankan tugas dan
wewenang kepolisian, walaupun jabatan kepolisian ini melekat pada setiap anggota
kepolisian tidak mengenal waktu selama masih dinas kepolisian.

Kewenangan kepolisian untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum


yang bertanggungjawab, tindakan inipun harus tetap memperhatikan norma –
norma hukum, sehingga apabila bertentangan dengan norma hukum maka tindakan
kepolisian yang dilakukan dikategorikan melanggar hukum ( onrechtsmatige
overheidsdaad ), oleh karena itu “ tindakan lain “ tersebut harus :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya


tindakan jabatan;

c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
26

d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;

e. Menghormati hak – hak asasi manusia.

Konsep dasar tindakan kepolisian tersebut dapat dikategorikan “ melanggar


hukum “ , apabila :

a. Ada suatu perbuatan;

b. Perbuatan itu harus melanggar hukum ( onrecgtmatig );

c. Pelaku harus mempunyai kesalahan ;

d. Perbuatan itu menimbulkan kerusakan atau kerugian ( ada hubungan


caussal ‘ sebab akibat ‘ ) “;

e. Norma yang dilanggar bermaksud untuk melindungi kepentingan orang


yang terkena atau orang yang menderita.

Aparatur kepolisian yang melakukan tindakan atas dasar hak dan


kewenangannya dan dalam batas – batas wewenang undang – undang maupun
batas – batas kebebasan bertindak ( diskresi ) tanpa melanggar hak orang lain, pada
asasnya tidak berbuat melanggar hukum ( onrechtmatig ), meskipun orang lain
menderita kerugian.

Sebagaimana dirumuskan dalam Undang – undang RI No. 1 Tahun 1946


diperbaharui Undang – undang No. 73 Tahun 1958 tentang berlakunya KUHP
diseluruh Indonesia dan Undang – undang No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan
KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, pada :

Pasal 48 : “ Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa,


tidak dipidana “;

Pasal 49 ayat ( 1 ) : “ Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk


pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan
hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (
eerbaarheid ) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana “; ayat ( 2
) : “ Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu , tidak
dipidana”;

Pasal 50 : “ Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan


ketentuan undang – undang, tidak dipidana “;
27

Pasal 51 ayat ( 1 ) : “ Barang siapa melakukan perbuatan untuk


melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang,
tidak dipidana “; ayat ( 2 ) : “ Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak
menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan etikad baik
mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya
termasuk dalam lingkungan pekerjaannya “.

Tindakan kepolisian yang bertentangan dengan peraturan perundang –


undangan dan norma yang dirumuskan dalam Asas – asas Umum Pemerintahan
yang Baik ( AAUPB ) maupun peraturan kebijaksanaan masuk kategori melanggar
Undang – undang RI No. 5 Tahun 1986 jo Undang – undang RI No. 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pasal 53 ayat ( 2 ), juga diatur dan ditegaskan
dalam Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Polri,
Peraturan Pemerintah RI No. 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusi
Peradilan Umum bagi Anggota Polri, dan norma – norma yang ada dalam Kode Etik
Profesi Polri berdasarkan Keputusan Kapolri No.Pol. Kep/32/VII/2003 tanggal 1
Juli 2003 diubah dengan Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006. R. Soetojo P. ( 1979 )
dalam Sadjijono ( 2008 : 188 ), tanggunggugat dari tindakan menurut hukum
keperdataan dalam Bergelijke Wetboek ( B.W. ) diatur dalam pasal 1365 s/d 1380,
yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatig ) yaitu suatu
perbuatan atau kelalaian yang apakah mengurangi hak orang lain atau melanggar
kewajiban hukum orang yang berbuat, apakah bertentangan dengan sikap hati –
hati, yang pantas didalam lalu lintas masyarakat terhadap orang lain atau
barangnya.

Berpijak dari konsep dasar perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige


daad ) maka perbuatan melanggar hukum tindakan kepolisian adalah berkaitan
dengan “ perilaku “ atau “ perbuatan “ aparatur kepolisian ketika menjalankan tugas
dan wewenangnya; Tanggunggugat dapat diajukan oleh pihak yang menderita
kerugian atau pihak lain yang berkepentingan sebagaimana dirumuskan dalam
Undang – undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, pada pasal 1 butir 22 : “
Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang – undang ini “, dan pasal 95 ayat ( 1 ) ditambah satu unsur alasan lagi yaitu :
“ karena tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang “ melalui
Peradilan Umum sebagaimana diatur pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah
RI No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah RI No. 27
28

Tahun 1983 tanggal 1 Agustus 1983 dan lebih lanjut dengan Surat Keputusan
Menteri Keuangan tanggal 31 Desember 1983 No. 983/KMK.01/1983.

Lebih lanjut dirumuskan “ rehabilitasi “ dalam pasal 1 butir 23 dan pasal 97 “


Rehabilitasi adalah hak seseorang yang mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang atau karena alasan
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan “ karena pada dasarnya
setiap manusia melekat hak keperdataan sesuai Undang – undang RI No. 8 Tahun
2004 tentang Kewenangan Peradilan Umum, pasal 2; Undang – undang RI No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 2 dan pasal 10; dan Undang –
undang RI No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Aspek hukum atas tindakan kepolisian yang melanggar hukum


(onrechtmatige daad) meliputi tiga aspek, yakni aspek hukum pidana, aspek hukum
perdata, dan aspek hukum administrasi. Berkaitan dengan aspek hukum diatas,
maka tanggunggugat secara kelembagaan melalui peradilan umum dan peradilan
administrasi, sedangkan tanggunggugat secara pribadi (individu) melalui peradilan
umum, melalui atasan yang Berwenang Menghukum (Ankum) dalam pelanggaran
disiplin, maupun melalui Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) terhadap
pelanggaran etika profesi Polri. Hal ini tergantung jenis dan macam peraturan
hukum yang dilanggar, dimana masing-masing memiliki mekanisme sendiri-sendiri.

Ditinjau dari subyek hukum tanggunggugat atas onrechtmatige overheidsdaad


dalam menjalankan tugas dan wewenang kepolisian, ada dua subyek hukum yang
harus bertanggungjawab, yakni tanggunggugat secara pribadi (individu) dan
tanggungjawab lembaga (jabatan).

1. Tanggung gugat Pribadi (individu)

Konsep dasar tanggunggugat terhadap pribadi (individu)


tersebut sebagai konsekuensi akibat kesalahannya secara pribadi
telah nyata-nyata terbukti bersalah pada saat menjalankan tugas dan
wewenang tindakan kepolisian, dimana atas kesalahan tersebut
menimbulkan kerugian bagi seseorang, sehingga pihak yang
menderita kerugian dapat mengajukan tanggunggugat ganti kerugian
terhadap individu maupun lembaga. Landasan yuridis tanggunggugat
perdata pada rumusan pasal 1365 B.W. (Bergelijke Wetboek) yang
berlaku bagi setiap orang maupun badan hukum.
29

Tanggunggugat perdata akan melekat ketika individu aparatur


kepolisian ataupun lembaga kepolisian telah melakukan pelanggaran
hukum. Tanggunggugat melekat pada individu aparatur kepolisian,
ketika lembaga tidak terbukti bersalah dan pelanggaran hukum nyata-
nyata sengaja ataupun karena lalainya dilakukan oleh anggota Polri
pribadi. Disini perlu adanya konsep dasar pembuktian perbuatan
pelanggaran hukum oleh penguasa, baru kemudian akan muncul
tanggunggugat perdata. Oleh karena itu pembuktian kesalahan
bermula dari gugatan pra-peradilan maupun gugatan melalui
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), baru kemudian aspek
perdatanya, namun tidak menutup kemungkinan gugatan langsung
melalui Peradilan Umum dalam kapasitas konteks gugatan perdata,
karena pada dasarnya setiap manusia melekat hak keperdataan.

Berkaitan dengan dengan gugatan ganti kerugian yang diatur


dalam Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pasal 77
huruf b, dimana gugatan ganti kerugian dapat diderikan dalam pra
peradilan, yakni ganti kerugian bagi mereka yang ditangkap atau
ditahan tidak sah, dan menjadi wewenang hakim pra-peradilan.
Tanggunggugat ganti kerugian dalam pra-peradilan bukanlah
tanggunggugat perdata berdasarkan pasal 1365 B.W., sehingga
tindakan kepolisian yang melanggar hukum dan tidak masuk pada
elemen pra-peradilan, pertanggungjawabannya melalui gugatan
perdata.

2. Tanggung gugat Lembaga (Jabatan)

a. Peradilan Tata Usaha Negara

Dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat


No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VII/MPR/2000 tentang Peran
TNI dan Polri, dan diundangkannya Undang-undang No. 2 Tahun 2002
sebagai pengganti Undang-undang No. 28 Tahun 1997 tentang Polri,
maka Polri bukan lagi sebagai unsur Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) dan merupakan kepolisian sipil (civil policce –non
militer) yang memiliki karakter dan jati diri sendiri.

Didalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri


ditegaskan, bahwa “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan,
30

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Menjalankan fungsi


pemerintahan adalah menjalankan fungsi administrasi , oleh karena
itu penyelenggaraan fungsi kepolisian adalah menyelenggarakan
fungsi administrasi.

Sebelum keluarnya kedua Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000


dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 serta Undang-undang RI No. 2
Tahun 2002, kepolisian tunduk pada Undang-undang N0. 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer, dimana dalam Bab V tentang Hukum
Acara Tata Usaha Militer pasal 265 ayat (1) menyebutkan, bahwa :
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu usaha Keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan
Militer Tinggi yang berwenang yang berisi tuntutan supaya Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan tersebut
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau rehabilitasi”. Ketika kepolisian tunduk pada
Undang-undang No. 37 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
sengketa tata usaha yang terjadi dilingkungan kepolisian diselesaikan
melalui Peradilan Militer Tinggi, sebagai konsekuensi karena
kepolisian masih merupakan bagian dari unsur ABRI.

Setelah terjadi terjadi pemisahan secara kelembagaan dan


perbedaan peran antara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian,
maka kepolisian tidak lagi tunduk pada Undang-undang No. 37 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer, tetapi tunduk pada Peradilan Umum.

Dengan berlakunya Peradilan Umum bagi Kepolisian


implikasinya Kepolisian bukan lagi militer, akan tetapi sebagai
aparatur sipil dan tunduk pada hukum sipil, sehingga anggota
kepolisian memiliki persamaan hukum dengan masyarakat sipil.
Lembaga kepolisian menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang
masuk pada tugas dan wewenang administrasi dan
merupakan/sebagai obyek hukum administrasi, maka lembaga
kepolisian masuk pada lingkup Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Oleh karenanya segala keputusan (beschikkking) yang


dikeluarkan oleh kepolisian sebagai kategori Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) dan wewenang penyelenggaraan kepolisian
merupakan obyek hukum administrasi, sehingga apabila timbul
sengketa maka penyelesaiannya melalui gugatan PTUN, dengan
31

ketentuan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 53 ayat (1) : Orang


atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi; ayat (2) : Alasan-alasan yang dapat digunakan
dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

Namun demikian tidak menutup kemungkinan tanggunggugat


berdasarkan pasal 1365 B.W.(KUH Perdata) ditujukan kepada jabatan
(lembaga) sebagai perbuatan tanggung renteng atas tindakan yang
dilakukan oleh pribadi (individu) anggota kepolisian, atau memang
nyata-nyata lembaga telah bersalah melakukan tindakan melanggar
hukum dan sesuai/mencocoki pasal 1365 B.W., dimana menanggung
kewajiban untuk ganti kerugian atas tindakan yang dilakukan.

b. Pra Peradilan

Tanggunggugat yudisial terhadap pra peradilan diajukan


melalui peradilan umum. Tanggunggugat ini lazimnya disebut
dengan istilah pra peradilan, yakni untuk menguji sah tidaknya
tindakan Polri yang berkaitan dengan penangkapan, penahanan,
dan penghentian penyidikan serta ganti rugi dan atau rehabiltasi,
yang secara lengkap diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal 77 yang
substansinya, bahwa : “Pengadilan negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini tentang : a. Sah atau tidaknya
penagkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penhentian
penyntytan; b. Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seseorang
yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.”

Gugatan pra peradilan dengan substansi mengujui sah dan


tidaknya suatu penagngkapan atau penahanan dapat diajukan
oleh tersangka (orang yang ditangkap/ditahan), oleh keluarganya
32

atau oleh kuasa hukumnya. Gugatan pra peradilan ini diajukan


kepada ketua Pengadilan Negeri dengan disertai alasan-
alasannya. Untuk gugatan pra peradilan dengan substansi
pemeriksaan untuk menguji sah dan tidaknya suatu penghentian
penyidikan dapat diajukan oleh penuntut umum (Jaksa) atau
pihak-pihak yang berkepentingan (tersangka, saksi korban atau
kuasa hukumnya). Sedangkan untuk gugatan permintaan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan,
penahananan dan penghentian penyidikan diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan.

Gugatan pra peradilan sebagai bentuk “complain public”


atas tindakan penguasa dalam hal ini kepolisian, sehingga
tanggunggugat diarahkan kepada lembaga kepolisian. Namun
demikian perlu dikaji, bahwa tindakan kepolisian dimaksud
sebagai tindakan atas wewenang yang diberikan oleh lembaga
dan atas kuasa undang-undang untuk melakukan penyidikan,
sehingga gugatan pra peradilan sebagai akibat tindakan
kepolisian yang dilakukan oleh aparatur kepolisian dengan
sengaja atau karena lalainya tidak memenuhi prosedur atau
ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Permasalahannya
jika tindakan aparatur kepolisian tersebut tidak sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan mengapa tanggunggugat terbatas
pada lembaga kepolisian bukan pada individu aparatur kepolisian
?, sedangkan kesalahan terletak pada individu sebagai subyek
hukum yang ketika diberi amanah untuk menjalankan tugas dan
wewenangnya tidak dijalankan sesuai dengan prosedur dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian dalam gugatan pra peradilan atas


keputusan tidak sahnya penangkapan, penahanan dan
penghentian penyidikan bukanlah merupakan lembaga yang
melanggar hukum, akan tetapi individu (aparatur) yang
melanggar hukum dalam menjalankan keekuasaannya. Namun
demikian harus perlu ada pemetaan yang jelas antara kesalahan
lembaga atau kesalahan pribadi (individu) aparatur lembaga.

c. Mal Administrasi

Istilah maladministrasi (maladministration) dalam Kamus


Ilmiah Populer mengandung arti “administrasi yang buruk atau
33

pemerintahan buruk”. Menurut Senaryati Hartono


“maladministrasi diartikan secara umum sebagai perilaku yang
tidak wajar (termasuk penundaan pemberian pelayanan), kurang
sopan dan tidak peduli terhadap masalah yang menimpa
seseorang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan
kekuasaan, termasuk penggunaan kekuasaan secara semena-
mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak
wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif, dan tidak patut
didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-
undang atau fakta tidak masuk akal, atau berdasarkan tindakan
diskriminatif”. Pendapat “Klasifikasi Crossman” yang disitir Anton
Suyata “tindakan-tindakan maladministrasi antara lain mencakup
berprasangka, kelalaian, kurang peduli, keterlambatan, bukan
wewenangnya, tindakan tidak layak, jahat, kejam dan semena-
mena”.

Jenis dan bentuk tindakan maladministrasi internal dapat


berupa : a. Tindakan tidak menaikkan pangkat anggota tanpa
alasan yang sah dsn menimbulkan kerugian dan ketidakadilan, b.
Tindakan pemecatan terhadap siswa dan atau anggota kepolisian
yang dinilai tanpa prosedur; c. Pemberhentian gaji bagi anggota
tanpa landasan yuridis; d. Penjatuhan hukuman tanpa melalui
prosedur; e. Tindakan keberpihakan dan diskriminasi dalam
penjatuhan hukuman dan atau penempatan jabatan yang
berorientasi pada komunitas, produk pendidikan, jenis pangkat
dan jenis kelamin; f. Mutasi anggota dalam jabatan lebih rendah
dengan level pangkat yang ada; g. Dan lain-lain.

Jenis dan bentuk tindakan maladministrasi eksternal dapat


berupa :

a. Menolak laporan masyarakat;

b. Melakukan penganiayaan atau kekerasan kepada


masyarakat;

c. Keberpihakan dalam penanganan perkara;

d. Merubah arah kebenaran materiil perkara;

e. Penyalahgunaan wewenang;

f. Menelantarkan perkara (floatng case);


34

g. Pungutan liar;

h. Menerima suap;

i. Penerbitan surat yang menimbulkan hak tanpa


prosedur;

j. Dan lain-lain.

Keluarnya Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan


Disiplin Anggota Polri dan Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/32/VII/2003 yang
diubah dengan Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri
telah mengakomodir indikator-indikator tindakan maladministrasi kepolisian,
walaupun tidak secara jelas dan tegas memaknai tindakan yang dirumuskan dalam
pasal pasal dimaksud merupakan tindakan maladministrasi. Beberapa pasal yang
mengakomodir indikator maladministrasi kepolisian, seperti diformulasikan dalam
perumusan pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 9 dan pasal 10. Dengan demikian
tindakan maladministrasi kepolisian masuk dua kategori, yakni melanggar
peraturan disiplin dan melanggar kode etik profesi.

E. PENUGASAN

QUIS PERTEMUAN KULIAH KE- 5 :

1. POLRI dalam melaksanakan tugasnya dituntut untuk bertanggung jawab. Jelaskan


apa alasannya ?

2. Mengapa POLRI dalam menjalankan tugasnya harus profesional

3. Jelaskan bagaimana tanggungjawab Yuridis (Hukum Kepolisian) ?

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. PT. Raja Grafindo Presda :
Jakarta. 2010.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Cet. 11, Jakarta : 2016.
35

D.P.M. Sitompul, Edward Syahpernong, Hukum Kepolisian di Indonesia


(Suatu Bunga Rampai), PTIK, Tarsito, Bandung, 1985

Moh. Mahmud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,


Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006

Monang Siahaan. Falsafah dan Filosofi Hukum Acara Pidana. PT GRASINDO.


Jakarta : 2017.

Otje Salman & Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, P.T
Alumni, Bandung, 2004.

Padmo Wahyono dan Abdul Ghofur , Indonesia Negara Berdasarkan atas


Hukum , Ghalia Indonesia , Cetakan pertama 1986, Cetakan ke-12, 2008

Sadjijono, Mengenal Hukum Kepolisian, Laksbang Mediatama, Surabaya,


2008

Sacipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Bina


Cipta, Bandung, 2004.

Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas


Muhammadiyah, Malang, 2005

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, PT.
Citra Aditya Bakti, Alumni, Bandung, 1991.

B.PERUNDANG-UNDANGAN
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

- Undang – Undang Darurat RI No. 12 Tahun 1951.


- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 81 Tentang KUHAP
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP

- Undang – Undang RI No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang – Undang RI 20 Tahun


2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

- Undang – Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Internet dan Transaksi


Elektronik
- Undang – Undang RI No. 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Teroris.
36

- Undang – Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman.


- Undang – Undang RI No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
- Undang – Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
- Undang – Undang RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
- Undang – Undang RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
- Undang – Undang RI No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang – Undang RI 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional (
BNN ).
- Kepolisian Negara RI, Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2019, tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi pada Tingkat Markas Besar
Kepolisian Negara Indonesia.
- Kepolisian Negara RI, Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2018, tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Daerah.

C. SUMBER LAIN :
- Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1977

- Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1986

Anda mungkin juga menyukai